• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba” (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan) - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba” (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan) - FISIP Untirta Repository"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam

Pernikahan Adat Suku Batak Toba”

(Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada

Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Jurnalistik

Program Studi Ilmu Komunikasi

Oleh

Mutia Nurdalilah Simatupang 6662120521

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)
(3)
(4)
(5)

GO BIG, OR GO HOME!

“....Allah Likes Those Who Are Thankful….”

(QS Az-Zumar: 7)

“...If You Are Grateful, I Will Give You More…”

(QS Ibrahim: 7)

Skripsi ini di persembahkan untuk

Mamah Tersayang & Papah, Serta Keluarga Besar

(6)

ABSTRAK

Mutia Nurdalilah Simatupang. NIM. 6662120521. Skripsi. Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan). Pembimbing I: Neka Fitriyah, S. Sos., M.Si. dan Pembimbing II: Teguh Iman Prasetya, M.Si.

Batak Toba dikenal sebagai suku yang sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan sedari dulu. Bagi masyarakat Toba, adat adalah bagian dari kebudayaan elemen masyarakat Batak untuk mempertinggi kualitas kehidupan mereka dan merupakan identitas budayanya. Dalam masyarakat Batak Toba, Ulos dianggap sebagai media solidaritas dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Sehinga Ulos sendiri memiliki kedudukan penting yang berarti dalam tatanan masyarakat Batak Toba. Dalam penelitian ini penulis membatasi konsentrasi permasalahan kepada bagaimana posisi Ulos sebagai elemen tak terpisahkan dari pernikahan adat Batak Toba sebagai media atau alat komunikasi melalui simbol yang direpresentasikan melalui Ulos dalam upacara adat tersebut. Penelitian ini menggunakan Teori Komunikasi Simbolik menurut George Herbert Mead yang terfokus pada tiga konsep utama yaitu society (masyarakat), self (diri), dan mind (pikiran). Metodologi penelitian yang digunakan adalah post-positivis dengan metode studi kasus, jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini adalah: 1. Komunkasi yang dilakukan melalui ulos adalah untuk menyampaikan doa dan harapan. 2. Adanya simbol dan makna yang muncul dan tergambar oleh komunikasi verbal ataupun komunikasi non verbal.3. Tradisi mangulosi yang murni kini mulai mengalami modifikasi dengan alasan efisiensi, bahkan beberapa kalangan justru telah meningalkan adat ini dengan berbagai macam sebab.

(7)

ABSTRACT

Mutia Nurdalilah Simatupang. NIM. 6662120521. Thesis. Embedding process Ulos (Mangulosi) in Marriage Tribe Batak Toba (Mangulosi Case Studies In Symbolic Interaction Perspective on Marriage Mangamputua Gorga Batak Toba-Medan). Supervisor I: Neka Fitriyah, S. Sos., M.Sc. and Supervisor II: True Faith Prasetya, M.Sc.

Toba Batak tribes known as a very faithfully carried out the ceremony in a variety of activities all the time. For the people of Toba, rituals are part of the cultural elements of Batak society to enhance their quality of life and a cultural identity. In Batak Toba, Ulos regarded as a medium of solidarity in the life of individuals and society. So that Ulos itself has a key position, which means in Batak Toba community. In this study the authors limited the concentration of problems to how Ulos position as an indispensable element of the wedding Batak Toba as media or communication through symbols are represented through the Ulos in traditional ceremonies. This study used Symbolic Interaction Theory by George Herbert Mead focused on three main concepts that society (masyarakat), self (diri), and mind (pikiran). The research methodology used is a post-positivist with the case study method, descriptive research with a qualitative approach. The results of this study are: 1. personal communication is done through Ulos is to deliver prayers and hopes. 2. The existence of symbols and meanings emerge and illustrated by a verbal communication or non verbal.3 communication. Mangulosi pure tradition now beginning to experience modification for reasons of efficiency, even some circles it has been customary leaving it with a variety of reasons.

(8)

KATA PENGANTAR

AlhamdulillahiRobbil’Alamiin, segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Alloh SWT karena atas berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua - Medan).

Tujuan penulisan skripsi ini untuk memenuhi sebagian syarat untuk meraih gelar sarjana di program studi Ilmu Komunikasi konsenterasi Jurnalistik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi mewujudkan kesempurnaan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis selalu mendapatkan bimbingan, dorongan, serta semangat dari banyak pihak. Penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ibunda tercinta Nurhayati, dan Ayahanda Ridwan Hasudungan Simatupang yang kusayangi yang telah mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang serta perhatian moril maupun materil. Semoga Alloh selalu memberikan kesehatan, karunia dan keberkahan di dunia dan akhirat atas budi baik yang telah dilimpahkan kepada penulis. Tidak lupa juga, Peneliti mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat., M.Pd. selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Bapak Dr. Agus Sjafari., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi.

4. Ibu Neka Fitriyah , S.Sos,. M.Si, selaku dosen pembimbing I yang telah bersedia membimbing penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

(9)

5. Bapak Teguh Iman Prasetya, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang juga telah bersedia membimbing penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Ibu Mia Dwianna, S. Sos, M. Ikom, selaku dosen Ilmu Komunikasi yang juga telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. 7. Bapak Husnan Nurjuman, S. Ag., M. Si, serta Ibu Puspita Asri

Praceka, S. Sos., M.Ikom selaku dosen Ilmu Komunikasi yang juga telah memberikan banyak ilmu sekaligus sebagai sahabat yang memberi banyak arahan.

8. Kepada seluruh dosen Ilmu Komunikasi Untirta yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis, terima kasih banyak.

9. Opung Michelle, Opung Boru Michelle, Bou Lena dan Amang Boru Naingolan, Uda Rudi dan Inang Uda, Bou Leni dan Amang Boru Nababan. Serta seluruh keluarga Siburian yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini hingga rampung. Mauliate Godang.

10. Keluarga Soemardi: Teh Leni, Kang Wawan, Teh Ade, Mamih, Papih, Emih dan keponakan-keponakanku; Abay, Nindy, dan Kekey, yang selalu memberi motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

11. Terkasih yang juga sebagai sahabat, Zulhilmi Hutagalung, SE, yang selalu menamani dalam masa-masa sulit dan senantiasa memberi dukungan dalam berbagai aktivitas yang positif. Juga mendorong penulis untuk selalu sabar, dan tetap berjuang.

(10)

12. Sahabat yang juga sebagai keluarga Imung, Hilda, Abdul, dan juga Cita, Icha, dan Nilda. Terimakasih semangat dan dukungannya selama ini.

13. Sahabat Seperjuangan Perbojakan United Eda Dian, Eda Yohana, Eko, Jannah, Aci, Ardi, dan Nina. Juga Awwal, Fuji, dan Caca, Diskusi harga mati!.

14. Sahabat JURNAL12TIK yang selalu menyemangati dengan angan-angannya membentuk media yang bersih dan jujur. Terima kasih telah menjadi teman berbagi selama ini.

15. Kawan-kawan di Lab Ilmu Komunikasi (UTV, Radio Tirta FM, Multimedia dan Fotografi) yang telah berbagi suka dan duka selama perkuliahan dan menjadi tempat pelepas penat: Teh Fingkan, Sarah, Teh Syilvi, Bang Galuh, Deni, Hanum, Cindy, Fitra, Ena, Jalal, Arif, Bang Anton, Bang Hegar, Bang Ibad, Bang Dhenim, Pipit, dan seluruh keluarga Lab. Ilmu Komunikasi yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

16. Para Orangers yang sudah seperti keluarga di LPM Orange FISIP Untirta. Bang Ucup, Ka Reni, Teh Dede, Bang Ijung, Pewe, Rien, Ratih, Jesica, Bang Ichsan, Bang Tomi, dan seluruh teman-teman pejuang Orange.

17. Keluarga Earth Hour Serang, Riffa, Ka Sitjam, Bang Raffi, Ayu, Bang Tian, Reza, Bang Santos, Emilia Johari, Mahar, Yudi, Arum, Mada, Bang Mueriece, dan seluruh kawan-kawan EH Serang. Terima kasih dukungan dan kebersamaanya

(11)

18. Keluarga KKM 43, Terima Kasih atas kebersamaannya.

19. Semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapapun yang memerlukan. Aamiin.

Serang, 21 Juli 2016 Penulis,

Mutia Nurdalilah S

(12)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

ABSTRACT

LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PENGESAHAN

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ………. 1

1.2. Rumusan Masalah ……….. 6

1.3. Identifikasi Masalah ……….. 6

1.4. Tujuan Penelitian ………... 7

1.5. Manfaat Penelitian ……… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makna dan Simbol ……… 9

2.1.1. Pengertian Ulos …….………...…. 9

(13)

2.1.2. Manusia Batak dan Budaya Batak Toba……….…….. 13

2.1.3. Interaksionisme Simbolik ....………17 2.1.4 Komunikasi dan Simbol………. 22

2.2. Penelitian Terdahulu ……… 26

B. Pasangan Batak yang Menikah ……… 41

C. Pemberi Ulos (Hula-hula)………. 41

3.5. Teknik Analisis Data……... 42 4.1. Deskripsi Objek Penelitian…………... 45

4.1.1 Deskripsi Tempat Penelitian ………... 45

A. Kota Medan ... 45

(14)

B. Gorga Batak ... 46

4.1.2. Identitas Informan ... ... 48

A. Raja Parhata ……… 48

B. Pengantin yang diadati... 50

C. Hula-hula na Parboru ... 52

4.2. Proses Pernikahan Adat Batak ………... 53

4.2.1 Proses Sebelum Pernikahan ………... 53

4.2.2 Proses Pernikahan Adat ………... 55

4.3 Pembahasan ………... 66

4.3.1Mangulosi Dalam Interaksi Simbolik ... 66

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 69

5.2. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(15)

DAFTAR TABEL

TABEL 1 Penelitian Terdahulu ... 29 TABEL 2 Jadwal Penelitian ... 44

(16)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1 Gorga Batak ... 46

GAMBAR 2 Panyambutan ………... 57

GAMBAR 3Gambar Makan Bersama Seluruh Keluarga dan Kerabat ... 59

GAMBAR 4 Pembagian Jambar………... 60

GAMBAR 5 Ulos ………... 61

GAMBAR 6 Mangulosi... 63

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Transkrip Wawancara Opung Michelle

LAMPIRAN 2 Transkrip Wawancara dr. Loybert Nainggolan LAMPIRAN 3 Transkrip Wawancara Rudi Siburian

LAMPIRAN 4 Dokumentasi

LAMPIRAN 7 Riwayat Hidup Peneli

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Batak Toba belakangan ini banyak sekali melangsungkan pernikahan tanpa upacara adat, khususnya mereka yang merantau. Padahal masyarakat Batak dikenal sebagai suku yang taat adat dan memiliki hubungan erat yang tak dapat dipisahkan dengan budaya. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya agama, pernikahan beda budaya dan lain sebagainya.

Percampuran budaya merupakan pengaruh yang besar dalam perubahan dan pergesaran nilai dalam konteks budaya. Banyaknya orang Batak yang merantau dan tersebar luas di berbagai wilayah di Indonesia bahkan dibeberapa belahan dunia, yang menyebabkan adat yang disakralkan turun temurun pada masyarakat Batak lama kelamaan memudar.

Batak Toba merupakan suku yang berasal dari Tanah Toba yang meliputi Pulau Samosir, Tapanuli Utara, Sibolga, dan sekitarnya. Medan tidak termasuk dalam kawasan Batak Toba karena Kota Medan pada sejarahnya merupakan kota milik suku Melayu sehingga dapat dikatakan bahwa Medan merupakan tempat perantauan suku Batak.

Batak Toba dikenal sebagai suku yang sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan sedari dulu. Bagi masyarakat Toba, adat adalah

1

(19)

bagian dari kebudayaan elemen masyarakat Batak untuk mempertinggi kualitas kehidupan mereka dan merupakan identitas budayanya. Sehingga masyarakat Batak yang mempertahankan adat diakui oleh manusia Batak lainnya karena dianggap mempertahankan keteraturan leluhur sehingga tercipta hubungan secara horizontal sesama warga dan hubungan vertikal kepada leluhurnya.

Pernikahan adat merupakan warisan budaya yang seiring dengan perkembangan zaman, pernikahan multikultur, dan atau karena masuknya budaya lain menyebabkan dihapusnya adat dalam penyatuan dua manusia yang disebut pernikahan. Perubahan zaman yang menyebabkan unsur budaya semakin hari semakin menipis merupakan fenomena yang kini acap kali menjadi penyebab pernikahan adat tidak dibudayakan lagi. Termasuk banyak fenomena Batak perantau yang tidak mempertahankan kebudayaan pernikaan adat Batak secara murni sehinga banyak orang Batak yang merantau tidak paham lagi dengan budaya yang sebenarnya begitu popular dikalangan Batak ini. Adanya perubahan adat yang disesuaikan dengan seiring berkembangnya zaman menyebabkan sedikit banyak yang berubah dalam persoalan adat. Pernikahan adat tidak diindahkan lagi, termasuk unsur didalamnya yang berhubungan dengan pernikahan adat itu sendiri yaitu mangulosi.

Mangulosi memiliki keterikatan kuat dengan Ulos. Ulos merupakan selembar

(20)

direpresentasikan sebagai tindakan dalam wujud mangulosi. Pemberian ulos tersebut sudah disediakan dan ditetapkan mengenai jenis dan siapa pemberi untuk pengantin. Sehingga orang Batak yang melaksanakannya diakui oleh Batak lainnya.

Dalam masyarakat Batak Toba, Ulos dianggap sebagai media solidaritas dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Sehinga Ulos sendiri memiliki kedudukan penting yang berarti dalam tatanan masyarakat Batak Toba. Kehadirannya menjadi pelengkap wajib yang tidak dapat terpisahkan dalam berbagai upacara adat, dalam hal ini termasuk pernikahan adat Batak Toba yang menjadi pusat dalam penelitian ini. Pada realitanya, perkembangannya tidak serta

merta dalam posisi „aman‟ karena bergsernya zaman dan adanya pengaruh dari masuknya unsur-unsur dari luar.

Menurut sejarahnya, Ulos adalah sebuah tanda yang bisa mengayomi dan memberikan kehangatan bagi pemakainya. Tetapi dalam hal ini, Ulos diartikan sebagai sebuah sarana pelindung yang mampu memberikan perlindungan dan kasih sayang oleh sipemberi kepada sipenerima Ulos, sehingga pada saat pemberian Ulos tersebut maksud dan tujuan sipemberi memberikan Ulos tersebut terucapkan melalui proses mangulosi tersebut.

Pemberian Ulos pada upacara perkawinan masyarakat Batak Toba memiliki ragam macam, seperti Ulos Pansamot, Ulos Holong, Mandar Hela, Ulos Bere, Ulos kepada ale-ale dan lain sebagainya. Melihat dari banyaknya

(21)

yang hampir sama, akan tetapi yang menjadi perbedaan adalah ungkapan dari sipemberi kepada sipenerima. Misalnya, pemberian Ulos Hela tidaklah sama penyampaian dan pemberianya. Selain itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat karena memliki makna sendiri, seperti kapan Ulos tersebut digunakan, dalam upacara adat seperti apa, penyampaian Ulos atau siapa subyek penerima Ulos dan bagaimana Ulos tersebut digunakan. Tindakan pemberian Ulos ini pula merupakan wujud sakral yang memegang posisi penting dalam riual adat Batak. Pada dasarnya mangulosi adalah tindakan memberi atau menyelimutkan Ulos disertai dengan umpasa-umpasa (doa) dan dianggap sebagai pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan, serta kebaikan-kebaikan lainnya.

Umpasa-umpasa saat mangulosi diucapkan oleh Raja Parhata, yaitu juru

(22)

pernikahan yang diminta oleh pihak mempelai wanita kepada pihak mempelai laki-laki. Tentu saja Raja Parhata ini bukan lah orang yang sembarang. Raja Parhata dipilih karena ia merupakan orang yang paling paham dengan adat dan paling dituakan.

Dalam penelian ini, Batak adalah suku yang menjadi pusat penelitian. Suku Batak memiliki enam sub bagian yaitu Batak Toba, Mandailing, Simalungun, Karo, Pakpak dan Angkola. Penulis fokus pada sub-suku Batak Toba sebagai titik permasalahan komunikasi dan menjadikan ulos sebagai alat untuk menyampaikan pesan dalam ranah budayanya. Suku Batak merupakan suku tertua di Sumatera Utara yang memiliki tradisi sistem kemasyarakatan, sistem religi, hukum adat, sastra, dan musik.

Alasan penulis memilih Batak Toba sebagai sasaran studi penelitian, karena Batak merupakan suku yang unik karena merupakan suku taat adat dengan masih mempertahankan filosofi kehidupan manusia Batak yaitu Dalihan na tolu, Selain itu masyarakat Batak menggunakan banyak simbol dalam kehidupan adatnya sehingga sangat menarik untuk dikaji dan dijadikan penelitian. Ulos yang menjadi sumber kehangatan utama selain api dan matahari menjadi menarik pula untuk dibahas sehingga peneliti tertarik untuk membahasnya lebih banyak mengenai adat mangulosi dalam penelitian ini.

(23)

direpresentasikan melalui Ulos dalam upacara adat tersebut. Dan peneliti ingin merujuk pada permasalahan fungsi ulos sebagai wujud komunikasi dalam pandangan interaksi simbolik sehingga pelaku mendapat pengakuan dan bagaimana masyarakat Batak Toba yang tidak melaksanakan proses ini dalam ritual pernikahannya karena dipengaruhi oleh hal-hal yang sebelumnya penulis bahas diatas. Kemudian penulis memilik Kota Medan sebagai tempat penelitian dikarenakan Medan adalah Kota yang memiliki ragam budaya dan etnis, memiliki masyarakat yang heterogen sehingga memiliki kemungkinan yang besar terhadap percampuran budaya, juga kota Medan merupakan salah satu kota yang modern. Selain itu Medan kerap dianggap sebagai Kota milik orang Batak, padahal secara histori jelas bukan. Dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan pencarian informasi kepada tokoh-tokoh paham adat Batak Toba atau kepala adat terkait wacana ulos dan komunikasi simbolik dalam upacara adat.

1.2 Rumusan Masalah

(24)

1.3 Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas maka dapat diidentifikasian masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana simbol-simbol dan makna yang terdapat dalam tradisi mangulosi (penyematan Ulos).

2. Bagaimana kaitan tradisi mangulosi (penyematan Ulos) dalam upacara pernikahan adat suku Batak Toba terhadap teori interkasi simbolik?

3. Bagaimana modifikasi yang terjadi pada tradisi mangulosi?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan judul penelitian tentang “Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba”, maka dapat dirumuskan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui simbol-simbol dan makna yang terdapat dalam tradisi mangulosi pernikahan adat Batak Toba.

2. Mengetahui hasil komunikasi dari interaksi simbolik dalam tradisi mangulosi pernikahan adat Batak Toba

(25)

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Untuk mengetahui apa saja makna dari simbol yang terkandung dalam tradisi mangulosi upacara pernikahan adat Batak Toba

2. Untuk mengetahui bagaimanakah hasil interaksi simbolik yang dihasilkan dalam pernikahan adat Batak Toba.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Makna dan Simbol

2.1.1 Pengertian Ulos

Seni tenun merupakan salah satu sumber kekayaan budaya yang keberadaannya harus dijaga. Kekayaan akan hal ini beraneka ragam dan berangkat dari berbagai macam suku di nusantara. Salah satu seni kekayaan tersebut bernama Ulos. Ulos atau sering disebut juga kain Ulos adalah satu busana khas Indonesia khususnya masyarakat Batak, Sumatera Utara. Dari bahasa asalnya Ulos berarti kain. Pada mulanya Ulos digunakan sebagai pembungkus atau penghangat badan. Dalam perkembagannya, Ulos dipakai sebagai bagian dari tata laksana adat. Namun ada pula beberapa yang menolak keberadaan Ulos karena dianggap sebagai benda yang memiliki unsur magis. Sulit diterima oleh akal bagaimana Ulos dicap sebagai benda yang mengandung kuasa gelap, apalagi kini ulos dibuat dengan mesin yang seperti kebanyakan kain dibuat oleh kebanyakan manusia. Berbicara mengenai ulos, ada pula dalam tatanan prosesi adat yang dinamakan dengan Mangulosi, yaitu suatu kegiatan adat yang merupakan proses menyematkan ulos atau menyelimutkan ulos dalam rangkaian prosesi adat Batak salah satunya dalam pernikahan suku Batak Toba.

(27)

Dikatakan oleh Vergouwen (1986) ulos adalah sejenis pakaian yang berbentuk selembar kain. Kain ini ditenun oleh perempuan Batak dengan berbagai pola. Pada awalnya bagi orang Batak menenun ulos adalah suatu tindakan yang mengandung nilai religious-magis (Niessn, 1985). Hal ini terlihat dari adanya banyak larangan yang tidak boleh diabaikan selama proses penenunan sebuah Ulos.

Menurut leluhur batak, yang merupakan salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang batak dahulu memilih hidup di dataran tinggi sehingga memiliki temperatur yang dingin.

Ada tiga hal yang diyakini oleh para leluhur Batak yang memberi kehidupan bagi manusia yaitu: darah, nafas, dan Kehangatan. Sehingga

“rasa hangat” menjadi suatu kebutuhan rakyat Batak. Sumber hangat itu berasal dari tiga hal, yaitu: Api, matahari, dan Ulos. Dan dari ketiganya Ulos-lah yang terpenting karena diyakini praktis dan dapat menghangatkan kapan saja dan di mana saja. Sehingga jadilah Ulos menjadi unsur yang penting dalam adat Batak. Salah satunya dalam pernikahan adat Batak.

(28)

setelah itu ada proses perwarnaan benang. Pada masa lampau, proses ini menggunakan bahan-bahan pewarna alami yang ada disekitarnya. Seperti daun nila, dan rerumputan. Dan kini, proses tersebut sudah langka dilakukan seiring dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan yang lebih kaya menjadikan proses menenun dan pewarnaan pada Ulos lebih variatif. Bahkan penggunaan Ulos kini bukan hanya sebagai untuk kepentingan upacara adat saja, melainkan sudah banya beralih fungsi menjadi bahan fashion dan kepentingan ekonomi.

Arti dan fungsi Ulos sejak dahulu sampai sekarang secara essensial tidak mengalami perubahan, kecuali pada beberapa variasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Bila pada awal pembuatannya, ulos mengandung pengertian yaitu sebagai pakaian sehari-hari yang digunakan untuk menggendong dan pelindung tubuh , maka hal ini tidak berlaku lagi pada masa sekarang. Pada masa kini, nilai Ulos yang tadinya hanya sebatas barang komoditi rumah tangga, kini telah menjadi nilai sakral yang digunakan dalam upacara adat Batak Toba sehingga hal ini menunjukan pentingnya arti dan fungsi Ulos dalam kehidupan masyarakatnya.

(29)

Belakangan ini, banyak pemberian Ulos yang menyimpang dari arti yang sebenarnya, sehingga tidak memiliki arti dan wujud pemberian makna. Ulos na marhadohoan- adat, yang diterima seseorang hanya tiga. Pertama, saat dia dikukuhkan menjadi keluarga pada saat unjuk. Pada saat

itu lah seseorang “resmi menjadi orang”. Pada saat unjuk sebenarnya hanya satu ulos yang diterima oleh pengantin, yaitu ulos hela. Ulos lainnya di sebut sebagai ulos holong, yaitu ulos sebagai pemberian tak bermakna atu dalam arti lain sebagai hadiah,

Ulos kedua, apabila seseorang mengawinkan anak laki-laki (Ulos passamot). Dan yang terakhir adalah ulos tajung atau ulos sampe tua (bisa tak diterima langsung karena menerima ulos saput). Ulos lainnya bukan dalam rangka paradaton (adat) hanya sebagai bunga-bunga atau hiasan dari acara.

Akan tetapi kini, prosesi pemberian Ulos tidak serta merta mengikuti aturan lama. Hal ini dapat dilihat pada praktik pemberian ulos yang dilakukan oleh sejumlah pihak kepada para pejabat pemerintahan, atau pun pihak luar masyarakat Batak itu sendiri, sehingga menimbulkan kerancuan. Berikut jenis-jenis ulos dalam paradaton yaitu sebagai berikut:

a. Ulos passamot, diberikan suhut parboru

(30)

c. Ulos tu pamarai diberikan pamarai dari parboru

d. Ulos tu si hutti ampang diberikan tulang

e. Ulos tu simolohon atau amanguda diberikan oleh amanguda atau simandokkon .

Di luar yang telah disebutkan di atas, sebagaimana susuai adat Ulos dari tulang sijalo tintin marangkup dan ulos dari tulang ni pangolin diberikan terakhir, sekaligus pajabuhon bere-nya.

Pada hakekatnya di atas, ulos merupakan simbol-simbol, atau lambang-lambang yang digunakan untuk menentukan kedudukan seseorang atau kelompok, lambang kekerabatan dan juga sebagai simbol komunikasi dalam proses penyampaian pesan, berita, atau keinginan. Hal ini juga berlaku dalam upacara pernikahan adat Batak Toba.

2.1.2 Manusia Batak dan Budaya Batak Toba

(31)

ketidakadaan dokumen sejarah purba yang tertulis dan diyakini dengan pasti. Adapun hasil penelitan lain menyebutkan bahwa asal mula suku Batak Toba adalah dari keturunan imigran gelombang kedua yaitu Proto Melayu, yang datang dari Cina Selatan. Dilihat dari sudut perkembangan peradaban manusa, maka suku Batak sudah ada kira-kira sejak tahun 3000 SM, demikianlah pendapat Paul Padersen (1975). Tetapi secara genealogis-antropologis, St. E. Harahap mengatakan bahwa yang dimaksud dengan suku Batak adalah penduduk asli yang berdiam dan bermukim di daerah yang benama Tapanuli, bagian utara dan barat-laut pulau Sumatera. Suku Batak terdiri dari lima sub suku atau cabang yaitu suku Toba, Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Angkola-Mandailing dan dari sub suku tersebut memiliki ciri khas masing-masing, antara lain dalam bahasa dan dialek, struktur kemasyarakatan, dan juga adat-istiadat. Mereka juga memiliki ciri khas bersama yaitu memiliki marga dan pola dasar kekerabatan yang disebut dengan Dalihan na tolu.

Dalihan na tolu adalah ungkapan flosofi hidup kekerabatan suku

(32)

Prinsip dasar hubungan ketiga unsur kekerabatan itu adalah keseimbangan. Keseimbangan hubungan, sebagaimana tungku masak membutuhkannya agar beban sama dan tidak berakibat runtuhnya tungku dan menumpahkan bebannya. Harus ada kesadaran bahwa semua orang Batak akan berada dalam semua unsur tatanan tersebut supaya keseimbangan menjadi nyata.

Mengenai Penamaan Batak dan artinya, terdapat sejumlah tafsiran dan pandangan. Salah satu di antaranya, kata Batak bermakna penunjukan satu suku di Pulau Sumatera. Makna lain, berdasarkan kamus dewan

1998, adalah berarti “mengembara”, “merompak”, “menyamun”, dan “merampas”. Dalam hal ini menurut agama Malim (suatu keyakinan

leluhur Batak) mempercayai semua manusia di dunia pada mulanya berasal dari Sianjur Mulamula yang letaknya di kaki gunung Pusuk Buhit, sebuah nama kampung (huta) yang berarti bukit tertinggi yang berada di Tanah Batak (sebutan daerah asal suku Batak yaitu Tapanuli).

(33)

didefenisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan, ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi yang diperoleh sekelompok besar dari generasi ke generasi melalui usaha individu atau usaha kelompok.

Budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati, dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita. Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan, oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisinya untuk mengirim, memperhatikan, dan mengartikan pesan.

Pada dasarnya adat Batak merupakan rangkaian peraturan yang tidak tertulis yang mengatur segala ospek kehidupan orang perorangan, keluarga atau rumah tangga dan masyarakat Batak secara keseluruhan (Vergouwen, 1986). Rangkaian tersebut membentuk suatu siklus kehidupan sehingga harus dilewati atau dilalui dalam upacara adat Batak Toba.

(34)

permulaan penciptaan dunia oleh Dewata Mulajadi Nabolon dan bersifat konservatif serta tidak berubah.

Dalam peristiwa perkawinan, ada dua suhut, yaitu suhut dari pihak hula-hula dan suhut dari pihak boru. Bagi upacara pernikahan adat Batak Toba baik dari pihak laki-laki maupun perempuan merupakan suhut. Hal ini karena masing-masing keduanya merupakan pihak yang

mengundang kerabat masing-masing.

Selama proses upacara pernikahan adat berlangsung, mempelai akan menerima hadiah (tumpak) dari para tamu undangan dan kerabat berupa Ulos, dekke (ikan), uang, dan beras. Dalam pernikahan Batak Toba pemberian Ulos ataupun beras memiliki pesan simbolik. Mereka yang memberikan uang berlaku sebagai pihak yang ikut dalam proses

“pembelian” mempelai perempuan. Sementara bagi yang memberikan

beras, dekke (ikan) dan ulos adalah mereka yang mendapat hak atas penerimaan uang dari pihak yang menikahi anak perempuannya, (Vergouwen, 2004).

2.1.3 Interaksionisme Simbolik

(35)

Simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang bekembang di Eropa dan memiliki kemiripan dengan teori Weber sehingga hal tersebut membuktikan bahwa Mead terilhami oleh Weber.

Dalam teori ini, Mead mengemukakan bahwa makna muncul sebagai interaksi di antara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara tertentu Dalam deskripsi Mead,

proses “pengambilan peran” menduduki tempat penting. Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental kedalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan oleh pihak lain, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Artinya, geraklah yang menentukan. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu.

(36)

yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu (self), dengan melakukan tindakan sejalan dengan orang lain.

Mead mendefenisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna yang sama. Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain.

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2001:68). Pertama, konsep diri. Menurut Blumer, manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak dibawah pengaruh perangsang-perangsang dari luar maupun dalam, melainkan “organisme

yang sadar akan dirinya”. Dikarenakan ia seorang diri, ia mampu

memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan diri sendiri.

(37)

Ketiga, konsep objek. Menurut Blumer manusia hidup ditengah objek-objek. Kata objek dimengerti dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi sasaran perhatian aktif manusia. Kata Blumer, objek dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan, kebendaan, ataupun hal yang bersifat abstrak seperti konsep kebebasan.

Keempat, konsep interaksi sosial dalam pandangan Blumer aalah bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental kedalam posisi orang lain. Oleh penyesuaian timbal-balik, proses interaksi dalam keseluruhannya menjadi suatu proses yang melebihi jumlah total unsur-unsurya berupa maksud, tujuan, dan sikap masing-masing individu.

Kelima, Keep Joint Action, pada konsep ini Blumer mengganti istilah sosial art dari Mead dengan istilah Joint Action. Artinya aksi kolektif yang mahir dimana perbuatan-perbuatan masing-masing peserta dicocokan dan diserasikan satu sama lain. Sebagai contoh, Blumer menyebutkan, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara perkawinan, dan sebagainya, realitas sosial dibentuk dari Joint Action dan merupakan konsep sosiologi sebenarnya.

(38)

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan orang lain.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sedang berlangsung.

Menurut Mead Interaksi Simbolik merupakan kesatuan dari Mind (pikiran), Self (diri), dan Society (social). Di mana mind adalah sebagai pikiran yang dibentuk dan terbentuk. Artinya pikiran yang terbentuk pada masyarakat Batak adalah sebagai manusia yang ingin mempertahankan eksistensi sebagai manusia Batak dengan mempertahankan adat leluhur secara turun-temurun. Sehingga para calon penantin memiliki kenginan untuk melaksanakan mangulosi pada pernikahan adatnya.

Selanjutnya self, adanya keinginan untuk melaksanakan serta menjunjung Dalihan Na Tolu sebagai akar atau sumber terbentuknya adat Batak yang direpresentasikan melalui beragam macam aturan yang ada sebagai tradisi pada Budaya Batak, dalam hal ini termasuk juga Mangulosi (penyematan ulos) dalam pernikahan adat Batak. Tahap ini

(39)

Dalihan Na Tolu adalah sumber adat Batak yang merupakan

unsur mutlak yang mengatur antara hubungan diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Sehingga pada tahap selanjutnya yaitu Society, melaksanakan adat sesuai aturan yang telah ditentukan dari masa ke masa ke setiap generasi Batak, termasuk dalam wujud mangulosi dalam hal ini adalah tidak lain untuk melahirkan pengakuan sosial sebagai manusia Batak yang sejatinya taat adat.

2.1.4 Komunikasi dan Simbol

Simbol memiliki hubungan yang erat dengan teori Susanne Langer yang menciptakan teori terkemuka bernama teori simbol. Menurut Langer perasaan manusia dimediasikan oleh konsepsi, simbol dan bahasa. Tanda (sign) adalah stimulus yang menandakan kehadiran dari suatu hal. Dengan demikian, sebuah tanda memiliki kaitan erat dengan makna dan kejadian.

Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola, atau bentuk. Menurut Langer konsep adalah makna yang disepakati sama-sama di antara pelaku komunikasi. Sebuah simbol adalah sebuah instrument pemikiran. Simbol adalah konseptualisasi manusia tentang suatu hal, sebuah simbol ada untuk untuk sesuatu.

(40)

simbol yang tentu saja memiliki makna dan arti sehingga dalam prosesinya dianalogikan dengan beragam benda, bentuk, dan gerakan yang memiliki maksud. Seperti adanya pembagian jambar pada pernikahan adat Batak, pemberian tupak sampai tradisi mangulosi dengan meggunakan ulos tertentu oleh orang yang telah ditentang pula merupakan hal yang tentu saja memiliki makna. Ulos sendiri memilki artian penting pada masyarakat Batak, karena merupakan lambang kehangatan. Sehingga tidak aneh jika setiap prosesi adat suku ini tidak bisa melupakan ulos sebagai perangkat utama dalam adat.

(41)

sebagai bentuk dari objek simbolik yang telah direncanakan atau terencana sesuai tradisi turun-temurun melalui budaya.

Secara etismologis, simbol berasal dari kata Yunani “Sym

-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan)

dikaitkan dengan satu ide, (Hartoko dan Rahmanto, 1998: 133). Ada juga yang menyebutkan “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan suatu sesuatu hal kepada seseorang (Herustato, 2000:10).

Dalam bahasa komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menujuk satu dan lainnya berdasarkan kesepakatan kelompok orang. (Alex Sobur, Semiotika Komunikasi 2004: 157)

Semua pakaian yang dengan segala modelnya seperti yang dikemukakan Thorsten Veblen dalam bukunya Theory of the Leisure Class (1899), adalah simbolik: Bahan, potongan, dan hiasannya antara lain ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan mengenai kehangatan kenyamanan, dan kepraktisannya (Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya, 2005: 97)

(42)

gerak-gerik tubuh, ekspresi wajah, sentuhan, pakaian, diam, dan ciri paralingusitik. Walau kekuatannya tidak sebesar komunikasi verbal, namun menurut Mead komunikasi nonverbal tidak bisa diremehkan. Ini disebabkan karena jumlah tanda atau simbol yang berfungsi dalam komunikasi memiliki jumlah yang tak terbatas.

Selaras dengan itu, Alfred Schutz yang sejajar dengan pemikiran Mead ini menyatakan bahwa ada motif dalam komunikas simbolik tergantung dari maksud rangsangan yang dicari dan ditafsirkan dari pelaku komunikasi. Schutz menggolongkan motif ini sebagai tujuan, harapan, rencana, minat dan sebagainya. Sedang motif lain adalah merujuk pada pengalaman masa lalu. Dalam proses mangulosi seperti yang telah ditulis pada pembahasan sebelumnya bahwa tradisi ini memiliki motif yang berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Schutz yaitu adanya harapan dan tujuan serta pengalaman dari masa lalu yang kemudian menjadikan kebiasaan yang dilakukan turun-temurun sehingga oleh karena itu terbentuklah menjadi sebuah rangkaian dalam prosesi adat.

(43)

menjadi pemberi Ulos pun merupakan orang yang telah ditentukan sehingga pesan dan tujuan dari penyematan ulos sampai pada si pengantin sebagai si penerima Ulos.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai Ulos sebelumnya pernah diteliti oleh beberapa peneliti, dengan persfektif yang berbeda-beda. Dibawah ini merupakan penelitian terdahulu yang pernah diajukan oleh peneliti sebelumnya :

(44)

keberadaan

upacara adat suku Jawa. dalam pernikahan

(45)

diri orang

(46)
(47)

Ketiga penelitian tersebut hampir memiliki kasus yang serupa dengan pembahasan mengenai Ulos dan fungsinya serta meneliti mengenai pernikahan adat. Kedua penelitian di atas mengangkat tema mengenai Ulos dalam berbagai perspektif. Seperti pada penelitian yang berjudul Wacana Ulos Batak Toba Dalam Studi Kasus Tiga mailing List Batak Toba : Silaban BrotherHood, Batak Cyber Community dan Batak Gaul Community. (Oleh: Eva Solina Gultom, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Magister, Ilmu Susastra, Universitas Indonesia, 2012). Pada penelitian ini memiliki kesamaan dalam meneliti mengenai Ulos. Perbedaannya penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah menggunakan metode yang berbeda. Dalam Penelitian yang berjudul

“Wacana Ulos Batak Toba dalam studi Kasus Tiga Mailing List Batak Toba: Silaban VrotherHood, Batak Cyber Community dan Batak Gaul Community”, menggunakan metode kuantitatif dan membahas mengenai keberadaan Ulos dengan agama Kristen, membahas mengenai nilai-nilai adat yang bertentangan dengan Injil. Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan terfokus kepada penyematan Ulos dalam upacara adat yakni pernikahan adat Batak Toba.

(48)

suatu suku, namun dalam penelitian tersebut lebih membahas musik yang dipakai dalam tiap langkahnya prosesi adat secara spesifik.

Ada pula penelitian di luar ketiga penelitian di atas yang pernah diteliti sebelumnya yaitu berjudul Modifikasi Ulos Batak (Studi Etnografi Tentang Perubahan Fungsi dan Ekonomi Kreatif) (Oleh:Nesya Presella Siburian, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Departemen Antropologi Sosial, Universitas Sumatera Utara, ).

Persamaan dengan skripsi ini adalah membahas mengenai kain Ulos. Namun, skripsi tersebut membahas mengenai perubahan fungsi Ulos yang dikenal sakral dalam berbagai upacara adat Batak menjadi kain yang memiliki nilai jual tinggi setelah adanya modifikasi dan memiliki nilai ekonomi. Modifikasi Ulos adalah fokus utama dalam penelitian tersebut.

(49)

sebagai tempat penelitian. Sedangkan penelitian ini meneliti pernikahan adat Batak yang terjadi di daerah perantauan yaitu Medan yang tentu keberadaanya tetap dipertahankan di tengah-tengah masyarakat yang hetero dan modern , serta perubahan pola pikir karena bukan merupakan daerah asli di mana Batak dan aturan adatnya lahir.

2.3 Kerangka Berfikir

Kerangka berpikir merupakan penggambaran alur pikiran peneliti sebagai kelanjutan dari kajian teori untuk memberikan penjelasan kepada pembaca guna memperjelas maksud penelitian.

Proses mangulosi dilihat dari sisi interaksi simbolik menjadi teori yang dijadikan sebagai landasan penelitian ini, bagaimana mangulosi memiliki kaitan dengan komunikasi dan membuktikan teori tersebut tentang bagaimana hubungan suatu budaya yang dilakukan secara turun-temurun dalam hal ini proses penyematan ulos. Sehingga menciptakan hasil yang dibentuk dari mind, self, and society sebagaimana yang diterangkan oleh Mead dalam teorinya tersebut. Dalam prosesi adat ini terjadi beberapa tindakan komunikasi yang didalamnya terdapat komunikasi nonverbal karena melakukan kegiatan komunikasi non bahasa, yaitu menggunakan ulos sebagai cara berkomunikasi dengan kegiatan penyematan ulos (mangulosi) dalam pernikahan adat suku batak, sub suku Batak Toba tersebut.

(50)

diantaranya, interaksionisme simbolik dimana dalam interaksionisme simbolik tersebut bahwa adanya interaksi melalui simbol-simbol atau tanda-tanda yang terdapat dalam proses tradisi penyematan ulos dalam pernikahan adat batak toba.

Hal ini membuktikan bahwa komunikasi tidak hanya dapat dilakukan secara bahasa, namun dengan non bahasa. Seperti dalam tradisi pernikahan adat Batak Toba, kegiatan tersebut bukan hanya semata-mata tradisi melainkan ada unsur sakral yang mengandung pesan dan dijaga dari generasi ke generasi.

Peneliti ingin menggambarkan bahwa ada hubungan yang diciptakan Ulos sebagai media dalam kegiatan mangulosi pada pernikahan adat Batak Toba yang merupakan budaya Batak yang telah dibangun sekian lama kemudian menciptakan interaksi simbolik. Interaksi simbolik tersebut memiliki makna khusus sebagai pesan dan saling berhubungan dengan yang dibentuk oeh mind, self and society para pelaku proses tersebut. Sehingga dapat digambarkan dengan

(51)

Mangulosi dalam Interaksi Simbolik (Mead)

Dari bagan di atas digambarkan bahwa peneliti menemukan adanya keterkaitan antara teori interaksi simbolik dalam proses adat pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan. Bahwa proses mangulosi dengan media ulos sebagai simbol untuk menyampaikan pesan. Pesan tersebut digambarkan dengan komunikasi bentuk verbal dan non verbal sebagaimana yang dituturkan dalam teori interaksi simbolik yang mana dibentuk dengan komunikasi verbal dan non verbal yang merupakan simbol-simbol yang sangat penting dan dipahami bersama.

Interaksi simbolik memiliki tiga komponen utama, yaitu mind, self, dan society. Sebagaimana yang digambarkan oleh Mead melalui teorinya bahwa

Pernikahan Adat Batak Toba

Ulos Proses

Mangulosi

Penyampaian Pesan

Interaksi Simbolik

Mind Self Society

“Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba”

(Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan)

(52)
(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Menurut Sugiyono (2011:2), metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat kata kunci yang harus diperhatikan yaitu, cara ilmiah, tujuan, dan kegunaan.

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut buku Penulisan Kualitatif yang ditulis Burhan Bungin (2007), Metode Penelitian Kualitatif Metode kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan yang ada dalam individu, kelompok, masyarakat atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dalam dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Miles and Huberman, 1994:6-7).

Dalam penelitian ini peneliti ingin mendapatkan informasi mengenai makna yang terdapat dalam prosesi adat mangulosi pada pernikahan adat Batak Toba mengenai bagaimana proses komunikasi dan interaksi simbolik yang terdapat dalam proses adat tersebut. Maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus. Menurut Rachmat Kriyantono dalam buku Teknik Praktis Riset Komunikasi (2006), studi kasus adalah sebuah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, menjelaskan,

(54)

secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis. Sehingga dengan metode ini peneliti berharap dapat menguraikan dengan rinci bagaimana proses mangulosi berlangsung.

Secara umum ada tiga sifat tujuan penelitian yaitu besifat penemuan adalah penelitian yang tidak pernah ada sebelumnya dan data-data yang tidak pernah ditemui sebelumnya. Kedua bersifat pembuktian adalah penelitian yang bersifat membuktikan keragu-raguan dari penelitian yang pernah ada sebelumnya. Dan ketiga adalah bersifat pengembangan yang bersifat mengembangkan dan memperdalam mengenai hasil penelitian yang pernah diteliti sebelumnya.

Menurut Sugiyono, bila dilihat dari level of expenation penelitian kualitatif bisa menghasilkan informasi yang deskriptif yaitu memberikan penggambaran yang menyeluruh dan jelas terhadap situasi yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptis untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dan perspektif partisipan.

(55)

yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan bagaimana sehingga dapat memahami objek peneliti dan menjadi riset sebagai bukti baik.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti berupaya untuk memperoleh informasi secara mendalam mengenai bagaimana prosesi adat mangulosi dalam pernikahan suku Batak Toba di Medan dalam rangkaian adat, bagaimana peranan interaksi simbolik dan wujud komunikasi terlibat dalam prosesnya dan upaya bagaimana mereka dalam menjaga dan melestarkan upacara adat ini sebagai masyarakat perantauan. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui prosesi mangulosi dan ingin menggambarkan proses adat ini secara terperinci dan mendalam.

3.2 Paradigma Penelitian

Paradigma mengandung pandangan tentang dunia, cara pandang untuk menyederhanakan kompleksitas dunia nyata dan karenanya dalam konteks pelaksanaan penelitian, memberi gambaran pada kita mengenai apa yang penting, apa yang dianggap sah untuk dilakukan, serta apa yang dapat diterima akal sehat. Paradigma juga bisa diartikan sebagai kumpulan asumsi secara logis mengarahkan cara berfikir dan cara penelitian.

(56)

Paradigma post-positivis beranggapan bahwa permasalahan harus dipahami secara holistik dan kontekstual, artinya bahwa objek penelitian merupakan sesuatu yang apabila diteliti dan dipahami bagian perbagian maka akan berhubungan dengan bagian-bagian yang lain dan akan membentuk suatu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, objek dari suatu masalah juga harus dipahami sesuai dengan konteksnya. Permasalahan dalam paradigma post-positivis tidak akan ditemukan apabila peneliti hanya mengamati dan membuat

jarak dengan obyek penelitian. Hal tersebut karena dalam paradigma post-positivis terdapat unsur emosi, perilaku, dan perasaan yang dapat dimengerti dan

dipahami apabila peneliti terlibat langsung dan merasakan sendiri kenyataan yang terjadi sebenarnya. Peneliti harus mampu mengungkap data yang sebenarnya melalui kegiatan observasi dengan memahami setiap bentuk kegiatan mangulosi yang dilakukan oleh mempelai dan instrumen yang terlibat dalam proses pernikahan adat Batak Toba di Kota tersebut.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif ini menggunakan teknik pengumpulan data dilapangan yaitu dilakukan teknik observasi, serta teknik wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses mangulosi dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut:

3.3.1 Teknik Observasi

(57)

penelitian. Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian mempunyai alasan, antara lain:

a. Teknik ini digunkana untuk mengumpulkan data mengenai kegiatan yang dilakukan oleh subjek penelitian.

b. Data yang dikumpulkan dapat diamati dengan jelas dan rinci mengenai penelitian tersebut.

Melalui teknik ini peneliti dapat mengamati agai mana proses komunikasi dalam interaksi simbol pada kegiatan mangulosi. Sebelumnya peneliti telah mengamati bagaimana adat yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh masyarakat Batak.

3.3.2 Teknik Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung atau bertatap muka dengan informan agar bisa mendapatkan data lengkap dan mendalam sesuai dengan objek penelitian. Wawancara ini dilakukan dengan frekuensi tingi dan berulang-ulang secara intensif. Dengan melakukan teknik wawancara, peneliti akan melakukan interaksi dengan subjek penelitian agar peneliti dapat menafsirkan berbagai jawaban yang telah dinyatakan melalui wawancara tersebut.

(58)

yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan yang relatif lama.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti saat mewawancarai responden adalah intonasi suara, kecepatan berbicara, sensitifitas pertanyaan, kontak mata, dan kepekaan nonverbal. Dalam mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa (wawancara dengan keluarga responden).

Selanjutnya wawancara dapat dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur, dan dapat dilakukan dengan tatap muka (face to face) maupun menggunakan telepon (Sugiyono, 2006; 138-140).

3.3.2.1 Informan Penelitian

(59)

yaitu orang yang dianggap mengetahui segala bentuk informasi yang dibutuhkan sehingga akan memudahkan peneliti dalam menjelajahi situasisosail yang diteliti.

Faisal S. dengan mengutip pendapat Spradley

mengemukakan bahwa: “situasi sosial untuk sampel awal sangat

disarankan suatu situasi sosial yang di dalamnya menjadi

semacam muara dan banyak domain lainnya”. Selanjutnya menyatakan bahwa sampel sebagai wujud informan penelitian sebagai sumber data sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses enkulturasi sehingga sesuatu itu bukan hanya sekedar diketahui tapi juga dihayati.

2. Mereka yang tergolong masih atau sedang terlibat pada kegiatan tersebut.

3. Mereka yang punya waktu memadai untuk dimintai informasi.

4. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan

informasi berdasarkan „kemasannya‟ sendiri.

(60)

Dalam melakukan wawancara mendalam maka diperlukan beberapa informan yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan penelitian ini. Kriteria informan penelitian yang akan menjadi subjek dalam penelitian ini terdiri dari dari:

A. Raja Parhata (Juru Bicara Adat)

Informan merupakan ketua adat yang mengetahui adat batak toba secara menyeruluh, terutama mengenai Budaya Batak, Pernikahan Adat Batak Toba, Mangulosi dan Ulos serta mengetahui pemaknaan dalam mangulosi pernikahan adat batak toba tersebut.

Kriteria yang tepat untuk dijadikan sebagai informan penelitian dalam golongan Raja Parhata adalah sebagai berikut:

a. Raja parhata yang terlibat dalam pernikahan yang telah ditetapkan.

b. Mengerti adat secara keseluruhan, khususnya dalam pernikahan adat.

(61)

B. Pasangan Batak yang menikah

Pasangan Batak yang menikah adalah informan penelitian dimana yang terlibat langsung dalam proses adat juga sebagai pasangan yang merasakan secara langsung prosesi mangulosi. Adapun kriteria pasangan Batak yang akan diwawancarai adalah:

1. Pasangan Batak yang melaksanakan pesta adat pada Bulan Juni 2016.

2. Pasangan Batak yang paham dengan proses mangulosi. C. Pemberi Ulos (hula-hula)

Informan peneliti selanjutnya adalah suku Batak yang merupakan hula-hula dalam pernikahan Suku Batak pada Bulan Juni 2016. Adapun kriterianya adalah sebagai berikut:

a. Hula-hula pengantin yang memberi ulos kepada pengantin.

b. Memahami simbol dalam proses mangulosi

(62)

3.3.3 Studi Pustaka

Buku, artikel, karya ilmiah, jurnal dan skripsi yang membahas tentang permasalahan-permasalahan yang sama dengan penelitian merupakan bahan sumber pustaka yang dipakai dalam penelitian ini. Dengan metode ini diharapkan dapat membantu menjabarkan hasil penelitian mengenai teori interaksi simbolik yang ada kaitannya dengan tradisi mangulsoi pada pernikahan Batak Toba.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data yang dimaksud adalah untuk menganalisis data-data yang telah diperoleh dari proses wawancara dan observasi. Teknik analisis data menggunkanteknik analisis data kualitatif dengan melakukan analisis secara deskriptif terhadap data yang telah diperoleh dilapangan berupa kata-kata. Adapun langkah yang peneliti gunakan adalah menganalisis data sesuai dengan pendapat yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman yang menganalisis berdasarkan mengacu pada tahapan di bawah ini:

3. 4. 1 Pengumpulan Analisis Data

(63)

Adat dilaksanakan. Mengamati proses mangulosi dengan rinci dan mengikuti proses egiatan tersebut dari awal hingga akhir dan kemudian menemui informan penelitian yang telah disebutkan dipembahasan sebelumnya.

3. 4. 2 Reduksi Data

Raduksi data merupakan proses pemilihan data dan pemusatan perhatian kepada data-data yang dibutuhkan sebagai data utama. Laporan lapangan direduksi kemudian dirangkum dan dipilih hal yang pokok sehingga menjadi fokus pada hal-hal penting.

1. Klasifikasi Data

Data yang telah terkumpul kemudian dikelompokan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu proses mangulosi dalam pola interkasi simbolik.

2. Penyajian Data

Maksud dari penyajian data tersebut agar memudahkan peneliti untuk melihat gambaran secara menyeluruh terhadap penelitiannya. 3. Penarikan Kesimpulan

Setelah melakukan penyejian data barulah kesimpulan awal dapat dilakukan. Sejak penelitian awal dan dalam proses pengumpulan data peneliti harus berusaha melakukan analisis dan mencari makana dari data-data yang telah terkumpul.

(64)

3.4.3 Uji Keabsahan Data

Setelah tahapan analisis data dilakukan, perlu diperhatikan juga keabsahan data yang telah terkumpul. Dalam penelitian ini uji keabsahan data (validitas) dengan menggunakan teknik Triangulasi. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004:330).

Moloeng membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber yang artinya, peneliti hanya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dlam penelitian kualitatif (Patton, 1987:331). Adapun untuk mencapai kepercayaan itu maka diempuh langkah sebagai berikut:

1. Membandingkan hasil pengamatan dengan hasil wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum, dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

(65)

5. Membandingkan hasil wawancara dengan suatu dokumen yang berkaitan.

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi dan waktu penelitian akan disesuaikan dengan kondisi peneliti, sehingga diharapkan pada kegiatan penelitian ini tidak akan menggangu kegiatan utama peneliti maupun kegiatan informan,

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Ruma Gorga Mangampu Tua Jl. Saudara No. 73E Simpang Limun, Kel. Harjosari II Medan.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada Hari Jumat 10 Juni 2016 pukul 08:00 WIB-19.00 WIB.

3.7 Jadwal Penelitian

Jadwal Penelitian adalah patokan peneliti agar waktu dapat terbagi dengan baik sehingga waktu penelitian terjadwal dengan semestinya. Berikut jadwal penelitian disusun dalam bentuk tabel:

(66)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Objek Penelitian

4.1.1 Deskripsi Tempat Penelitian

A. Kota Medan

Medan merupakan ibu kota Sumatera Utara yang memiliki

luas dan dipadati dengan 3.418.645 Jiwa dari hasil sensus tahun 2012. Dengan kepadatan populasi demikian, Medan didiami oleh suku yang beragam salah satunya Batak, kemudian yang lainnya adalah suku Melayu, Jawa, Tionghoa, Mandailing, Minangkabau, Karo, Aceh dan suku Tamil. Dengan demikian terdapat agama yang beragam pula yaitu Islam, Protestan, Budha, Katolik, Hindu dan agama lainnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa Medan merupakan Kota yang heterogen dan memiliki ragam budaya yang dilahirkan dari keberagaman suku, oleh karena itu percampuran budaya bisa dikatakan sangat besar dilihat dari adanya etnis yang tidak sejenis terlebih lagi Medan merupakan kota metropolitan terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota Medan juga merupakan pintu gerbang bagi para wisatawan.

(67)

Secara historis Medan merupakan nama yang diberikan suku asli tempat ini yaitu Melayu dan berasal dari kata Madani yang berarti Tanah lapang atau tempat yang luas. Kota Medan sebelumnya juga adalah sebagai pusat kesultanan Melayu Deli, yang sebelum itu adalah kerajaan Aru. Kemudian pada era selanjutnya terjadilah migrasi besar-besaran dari suku Tionghoa dan Jawa kemudian disusul oleh suku lain pada gelombang selanjutnya termasuk suku Batak. Sehingga dari data tersebut bisa dikatakan bahwa Batak adalah salah satu suku perantauan yang menetap di kota Medan sebagai tempat suku Melayu yang pernah jaya di masa kesulatanan Deli.

B. Deskripsi Tempat Pernikahan Adat Batak (Gorga Batak)

Gambar 4.1. Gorga Batak Mangampu Tua Tampak Depan

(68)

Secara harfiah Gorga merupakan ukiran atau kesenian ukir khas Batak yang dipahat di atas kayu dan terdapat pada bagian luar rumah adat Batak. Namun Gorga juga dapat disebut sebagai corak atau lukisan yang dibuat dengan tiga warna aitu hitam, putih, dan merah yang mewakili warna khas suku Batak.

Tempat acara adat kemudian dinamakan Gorga karena tempat tersebut dipenuhi oleh ragam corak khas Batak. Dan dianggap seagai rumah atau tempat berlangsungnya para orang Batak bertemu sebagai keluarga. Namun belakangan ini seiring keterbatasannya Gorga di daerah-daerah tertentu dan juga telah banyak pula yang meninggalkan adat kemudian Gorga di modern-kan yaitu dengan menjalanmodern-kan pernikahan adat di Gereja atau juga gedung. Tapi biar begitu masih banyak juga yang mempertahankan adat dengan menggelar acara adat di Gorga. Sebelumnya pada masa gedung-gedung masih terbatas, adat dilaksanakan di tanah terbuka atau di tempat terbuka.

(69)

Dalam penelitian ini pesta adat digelar di Ruma Gorga Mangampu Tua dikarenakan Gorga tersebut merupakan Gorga yang ditunjuk sebagai tempat mangadati (acara adat) yang menjadi sumber dalam penelitian ini. Selain itu Ruma Gorga Mangampu Tua adalah gorga yang terdekat dari gereja yang dijadikan sebagai tempat pemberkatan untuk acara adat tersebut yang diadakan di HKBP Simpang Limun hal tersebut turut menjadi alasan keduabelah mempelai mengadakan pesta adat di tempat tersebut.

4.1.2 Identitas Informan

Dalam penelitian ini, peneliti mengobservasi dahulu pelaksanaan pesta adat dan mencari tahu keterlibatan orang-orang yang merupakan instrument penting dalam acara adat tersebut. Lalu kemudian didapatilah beberapa informan dalam penelitian ini merupakan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proses kegiatan acara pernikahan adat dan sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh peneliti yang telah dibahas sebelumnya. Informan yang diwawancarai adalah sebagai berikut:

A. Raja Parhata (Informan Kunci)

Raja parhata adalah orang yang memimpin keberlangsungan

(70)

diharuskan dari kerabat mempelai atau setidaknya memiliki kesamaan marga dengan masing-masing mempelai. Sesuai dengan pembahasan sebelumnya Raja Parhata haruslah paham adat dan dianggap paling mengerti adat sehingga bisa memimpin pesta dengan baik dan sesuai. Mencari informasi mengenai ini tentu saja menarik bagi peneliti, dikarenakan yang mengerti adat lama-kelamaan semakin mengerucut sehingga selain untuk menggenapkan penelitian ini peneliti juga mendapat pengetahuan lebih dalam mengenai adat Batak melalui wawancara mendalam dengan informan. Sebelum melakukan penelitian peneliti berusaha bersikap objektif sebagai bahan pertimbangan ketika melakukan penelitian juga disesuaikan dengan kategori yang dibutuhkan yakni Raja Parhata dari salah satu mempelai dalam pernikahan adat tersebut.

Pada penelitian ini yang bertugas sebagai Raja Parhata dari pihak Parboru adalah Manupan Siburian lalu kemudian akan dipanggil Opung

(71)

sehingga pada akhirnya peneliti memilih Raja Parhata dari pihak parboru sebagai informan pada kategori Raja Parhata.

Opung Michelle tinggal di Jl. Menteng VII Gang. Haji No 12 sejak tahun 1987. Dan merupakan perantau dari daerah kelahirannya yaitu Dolok Sanggul. Merupakan Batak asli, ibunya adalah Boru Purba dari daerah yang sama. Beliau sudah berkecimpung sebagai Raja Parhata sejak 20 tahunan lalu. Menjadi Raja Parhata merupakan sebuah kebanggaan untuk dirinya karena bisa menyalurkan kecintaannya terhadap suku Batak dan juga berperan langsung dalam melestarikan adat Batak yang sudah mulai terkikis di Era ini.

Opung Michelle menikah dengan Boru Sitompul dan dikaruniai tiga anak perempuan dan dua anak laki-laki. Pada umurnya sekarang telah dikaruniai enam orang cucu, dan yang terbesar bernama Michelle yang kemudian menjadi namanya karena dalam adat Batak jika seseorang telah memiliki anak maka nama anak tertuanya menjadi panggilannya dan setelah memiliki cucu maka cucu tertuanya menjadi namanya menggantikan nama anak tertuanya.

B. Pengantin yang Diadati (Informan Kunci)

(72)

Pernikahan ini dapat dikatakan sangat unik bagi kalangan yang awam, karena sesunggungnya keduanya telah melangsungkan pernikahan resmi terdaftar dicatatan sipil pada tahun 2000 lalu tepatnya tanggal 13 bulan Juni dan baru melangsungkan pernikahan adat kurang-lebih 16 tahun setelahnya yaitu jatuh pada tanggal 10 Juni 2016. Hal tersebut mencerminkan bahwa dalam suku Batak adalah penting mengikuti dan melaksanakan tatanan adat yang berlaku agar genap menjadi orang Batak yang lengkap. Hal tersebut juga dikemukakan oleh pengantin pria yang kerap disapa Loy bahwa: “Pernikahan yang belum diadati adalah tidak sempurna dikalangan suku Batak sehingga pada lintas waktu yang cukup

lama pun keduanya haruslah melaksanakan adat sesuai dengan yang

dititipkan oleh para orang Batak terdahulu”. Walaupun tidak sedikit

pasangan Batak yang memilih hanya melaksanakan pernikahan dan pemberkatan di Gereja saja bagi yang beragama Kristen dan menikah KUA bagi yang beragama Islam. Tapi pasangan ini memilih untuk mempertahankan adat leluhur agar dirinya merasa tergenapi dengan harapan didoakan oleh seluruh keluarga agar kehidupan pernikahannya diberkati dan dilindungi.

Gambar

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
Tabel 3.1. Jadwal Penelitian
Gambar 4.1. Gorga Batak Mangampu Tua Tampak  Depan
Gambar 4.2. Panyambutan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dokumen ini dibuat oleh Fungsi gudang untuk meminta Fungsi pembelian melakukan pembelian barang dagang dengan jenis, jumlah, dan mutu seperti yang tercantum dalam Surat tersebut.

Lebar puncak difraksi yang relatif sempit menunjukkan bahwa ukuran kristalit bahan relatif besar, ini dapat dijelaskan dari hasil pengamatan dengan SEM pada Gambar 6. Dari

Menurut Simatupang (2007), kerangka pikir pemerintah dalam merancang kebijakan ketahanan pangan ialah (1) harga yang "terjangkau" dan stabil cukup

Hal itu berarti bahwa SPT13 dapat dimanfaatkan untuk budidaya udang dengan kelas kesesuaian S3 (sesuai marjinal) dengan faktor pembatas ta- nah (t), kualitas air (a), dan iklim

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

 Saat ini pabrik HOKI yang ada di Subang memiliki kapasitas produksi 30 ton per jam, sehingga dengan penambahan ini HOKI bisa meningkatkan kapasitas produksi hingga 50 ton per

Pendapatan rata-rata responden dari hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh responden yang diambil dari TNLL pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada

SOP (standar operasional perusahaan) yang diterapkan oleh perusahaan adalah, mencari karyawan yang memahami sayuran, tidak dipatok tingkat pendidikan, telaten, pandai menyortir