• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN MANAJEMEN KONFLIK

SUAMI DAN ISTRI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Cisilia Asti Kurniasari

NIM : 009114161

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK:

Bunda Maria dan Putera-Nya terkasih Yesus Kristus

Bapak Fx. Sudarto dan Ibu E. Parinah

Mbok Uwo dan Pak Uwo di atas sana

Mas Danarku

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Agustus 2007

Penulis,

(6)

MOTTO

“Bersukacitalah dalam

pengharapan, sabarlah dalam

kesesakan, dan bertekunlah dalam

doa…”

(7)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan manajemen

konflik antara suami dan istri. Dalam penelitian ini ada lima gaya manajemen

konflik yaitu Menghindar, Dominasi, Membantu, Kompromi dan

Mempersatukan.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah suami dan istri, sedangkan

manajemen konflik berfungsi sebagai variable tergantung. Subjek penelitian ini

adalah 45 pasang suami istri yang tinggal di dusun Ngagul-agulan, Ngaranan,

Jetis Depok. Subjek penelitian diperoleh dengan teknik purposive random

sampling.Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala manajemen

konflik. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam

penelitian ini adalah“ Uji t Independent Sample t-test.”

Hasil penelitian untuk masing-masing gaya manajemen konflik adalah

sebagai berikut: Gaya Manajemen Konflik Menghindar, didapat t hasil 6.843 {df:

88; sig 2 tailed < α (0.05)}, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan gaya

manajemen konflik Menghindar antara suami dan istri. Gaya Manajemen Konflik

Dominasi diperoleh t hasil 6.590{df: 87.485; sig 2 tailed< α (0.05)}, maka dapat

dikatakan bahwa ada perbedaan gaya manajemen konflik Dominasi suami dan

istri. Gaya Manajemen Konflik Membantu diperoleh t hasil 3.230 {df: 68.671; sig

2 tailed <α(0.05)}, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan gaya manajemen

konflik Membantu suami dan istri. Gaya Manajemen Konflik Kompromi

diperoleh t hasil -0.263{df: 79.283; sig 2 tailed > α (0.05), maka dapat dikatakan

bahwa tidak ada perbedaan gaya manajemen konflik Kompromi antara suami dan

istri. Gaya Manajemen Konflik Mempersatukan diperoleh t hasil sebesar -0.382

{df: 76.596; sig 2 tailed > α (0.05), maka dapat dikatakan tidak ada perbedaan

(8)

ABSTRACT

This research aimed to explore the difference of conflict management

possessed by husbands and wifes. There were five styles of conflict management

found in this research, namely avoiding, dominating, accomodating,

compromising, and integrating.

The independent variable of the research appeared to be the role of father

and mother, whereas the conflict management functioned as the dependent

variable. The research subjects were the couples who live in Ngagul-agulan,

Ngaranan, Jetis Depok. The researcher employed “purposive random sampling”

in order to choose the subjects. The data gathering was conducted using the

conflict management scale. Furthermore, the researcher made use of the

“independent sample t-test”analysis technique to test the hypothesis.

The results of data analysis revealed there appeared the differences of

conflict management maintained husbands and wifes it was showed by the t-test.

The details of each conflict management were as follows: the t result of the

avoiding conflict management were 6.843 {df: 88; sig 2 tailed < α (0.05)}. It

could be concluded that the conflict management between husbands and wifes

was different. The t results of the dominating conflict management were 6.590{df:

87.485; sig 2 tailed< α (0.05). This results showed that the dominating conflict

management between husbands and wifes was different. The t results of helping

conflict management were 3.230 {df: 68.671; sig 2 tailed < α (0.05)}, showing

that the helping conflict management between husbands and wifes was different.

The t results ofcompromising conflict managementwere -0.263{df: 79.283; sig 2

tailed > α (0.05), revealing that the difference of the compromising conflict

management was not obvious. The t results of integrating conflict management

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan rahmat,

kasih dan berkat-Nya kepada penulis. Atas segala kehendak-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudulPERBEDAAN MANAJEMEN KONFLIK SUAMI DAN ISTRI.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis banyak

sekali mendapat masukan, bimbingan, saran serta bantuan dari berbagi pihak.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang

telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Pertama-tama terimakasih pada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria

tercinta. Tanpa rahmat serta penyertaan dari Bunda dan Putra terkasih-Nya saya

yakin skripsi ini tidak akan selesai sampai detik ini. Karena Bunda jugalah saya

menyadari bahwa kekuatan doa itu benar-benar nyata.

Bpk. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Juga tak lupa penulis mengucapkan terimakasih

kepadaBpk. Drs. H. Wahyudi, M.Si.selaku dosen pembimbing sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah memberikan masukan, saran, serta

bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Mohon maaf jika

saya sering membuat bapak jengkel karena kebodohan saya.Terimakasih bapak

tidak bosan melihat wajah dan skripsi saya selama hampir dua tahun ini.

Ibu A. Tanti Arini, S.Psi., M.Si dan Bapak C. Wijoyo Adinugroho

(10)

sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Ternyata pendadaran tidaklah sengeri

yang saya pikirkan.

Bapak Didik, Pak Agung, yang selalu menyediakan waktu bagi penulis berdiskusi masalah statistik. Makasih atas semua ilmu dan pengetahuan yang telah

diberikan pada penulis.

Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terimakasih atas segala ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan selama penulis

menyelesaikan kuliah.

Terimakasih kepada segenap Staff fakultas Psikologi, Mbak Nanik, Mas Gandung, yang selalu melayani administrasi dan memberikan informasi secara sabar selama penulis beajar di kampus ini.Mas “Muji Beckham”,makasih selalu membuat suasana laboratorium psikologi selalu ceria jadine gak terlalui

deg-degan waktu mau ngetes, makasih juga karena sama-sama fans Beckham, pokoke

Beckham forever! Pak Gie “Si hati malaikat” makasih pak atas kesabaran, senyum yang tak pernah lepas dari bibirmu, juga kebaikan hatimu, belum pernah

saya berjumpa seseorang seperti bapak.

Bapak. Fx. Sudarto dan Ibu E. Parinah, orang tuaku tercinta. Terimakasih atas kesabaran, cinta, dan semangat yang tak henti-hentinya bagi

penulis dalam mengerjakan skripsi ini. “Maturnuwun donganipun kagem ingkang putro.” Skripsi ini hasil dari doa-doa bapak dan ibu, maaf skripsinya lama banget. Saya bangga bisa menjadi salah satu angota keluarga Sudarto,

Masyarakat Dusun Ngaranan, Jetis Depok, dan Ngagul-Agulan

(11)

penelitian yang sangat berguna bagi penulis guna menyelesaikan skripsi ini. Maaf

tidak bisa memberikan sesuatu kecuali kata terimakasih ini.

Untuk adekku Yohanes Bayu “Kondus” Ade Wijaya, makasih selalu menyemangati mbak dengan segala ejekkannya. Justru karena itulah mbak

menjadi semangat lagi mengerjakan skripsi. Tak lupa juga penulis mengucapkan

terimakasih kepada “Pak Uwo” dan “Mbok Uwo” yang tidak sempat melihat penulis menyelesaikan skripsi ini, Asti yakin di atas sana selalu ada doa untuk

cucumu ini.

Saudara-saudaraku tercinta Tiwik “Cempluk” Hayuningtyas, Aan “Onthul”Vendy Purnomo, Ayu “Rintus” Arinta Sari, Rina Bathari, Mayang “ Cape deh”, makasih selalu menyemangati mbak Asti, menghibur ketika mbak sedang sedih dengan canda dan kekonyolan kalian, hanya itu yang kadang bisa

membuatku tertawa. Setiap hari kalian telah memberikan nuansa baru dalam

hidupku.

Bulik Sat dan Om Pri makasih selalu menolong dan membantu keluargaku setiap kali kami mengalami cobaan dan kesusahan. Makasih juga

selalu mengingatkanku untuk selalu meneruskan skripsi ini, jangan sampai

menyerah.

Teman-teman kuliahku Aini, Astri, Ety, Mbak Diyan, Nina, Diana, kebersamaan, keceriaan, kesedihan yang telah kita lewati bersama di kampus

tercinta ini moga tidak akan kita lupakan sampai tua. Terimakasih sudah menjadi

tempat curhat, tempat bertanya. Satu lagi sahabatku, teman seperjuangan, senasib

(12)

Rekan-rekan mudikaku Uci “Menthel”, Swanti “Conggros”, Mbak Tituk, Ningrum, Mbolin, Dayati, mas Iwang “Bladu”, Mardis “Sreet”,dalam Yesus kita berkarya. Makasih ya selalu menemani, memberikan semangat, ngajak

kumpul-kumpul pas aku lagi stres mengerjakan sksripsi. Asti dah selesai ngerjain

skripsinya jadi besok bisa piknik-piknik lagi.

Untuk “Joko” makasih doa, dukungan dan bantuannya. Maaf mbak Asti cuma bisa buat ade repot. Makasih juga atas persaudaraan ini, mungkin hanya

segelintir orang yang bisa memahami Juga buat “Codot” makasih untuk jasa pengetikannya.

Terakhir untuk “Mas Danar” yang selalu hadir saat tangis dan tawaku, selalu setia menyertaiku, mengantar dan menjemputku kuliah, yang tak

henti-hentinya menyemangatiku untuk tidak menyerah dalam mengerjakan skripsi ini.

Hadirmu membuat hidupku semakin terang dan cerah Terimakasih atas segala

cinta dan kasih sayang, perhatian serta dukungannya, dan tetaplah menjadi

bintang dalam hidupku.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis menantikan saran dan

kritik dari semua pihak yang bersifat membangun. Akhir kata, penulis berharap

semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, Juli 2007

(13)

DAFTAR TABEL

1. Blue Print Skala Manajemen Konflik………..………44

2. Table Spesifikasi Manajemen Konflik……….…...……45

3. Tabel Spesifikasi Skala Manajemen Konflik Uji Coba……..….……51

4. Tabel Spesifikasi Skala Manajemen Konflik Penelitian……...…….51

5. Tabel Uji Reliabilitas………...…52

6. Ringkasan One Sample Kolmogorof Smirnov Test…………...….54

7. Ringkasan Levene Test………...…….56

8. Ringkasan Uji Hipotesis………..……58

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………..………..….………...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….…..……..…....ii

HALAMAN PENGESAHAN……….…...…….…...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN...………...……….….……...iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...v

HALAMAN MOTTO...……….………...vi

ABSTRAK...vii

ABSTRACK……….………....viii

KATA PENGANTAR……..………...………...ix

DAFTAR TABEL………..………...…....xiii

DAFTAR ISI...xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan ...………...1

B. Rumusan Masalah..……….………....8

C. Tujuan Penelitian..……….……….8

D. Manfaat Penelitian...……….8

BAB II LANDASAN TEORI A. Manajemen Konflik...9

1. Konflik...9

(15)

b. Jenis-jenis Konflik... 11

c. Konflik suami dan Istri...15

2. Manajemen Konflik...26

a. Pengertian Manajemen Konflik... 26

b. Gaya-gaya Manajemen Konflik...27

B. Perbedaan Manajemen Konflik Suami dan Istri...33

C. Hipotesa...39

BAB III METODOLIOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian...40

B. Identifikasi Variabel Penelitian...40

C. Definisi Operasional...41

D. Subjek Penelitian...42

E. Metode Pengumpulan Data...43

F. Validitas dan Reliabilitas...45

G. Metode Analisis Data...47

1. Uji Normalitas...47

2. Uji Homogenitas...48

3. Uji t(Independent Sample t Test)...48

BAB IV PENELITIAN A. Persiapan Penelitian...49

B. Uji Coba...50

(16)

D. Hasil Penelitian...52

1. Uji Reliabilitas...52

2. Uji Asumsi...52

a. Uji Normalitas...53

b. Uji Homogenitas...55

3. Uji Hipotesis...57

4. Hasil Penelitian...58

E. Pembahasan...60

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...72

B. Saran...72

DAFTAR PUSTAKA...74

LAMPIRAN...77

1. SKALA MANAJEMEN KONFLIK UJI COBA...78

2. SKALA MANAJEMEN KONFLIK PENELITIAN...79

3. RELIABILITAS...80

4. NORMALITAS...81

5. HOMOGENITAS DAN UJI-t...82

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Perkawinan merupakan salah satu tahap kehidupan yang dilewati

manusia, meskipun tidak semua manusia merasakan tahap ini. Perkawinan

mempunyai arti yang sangat penting bagi manusia. Maka dari itu, sebagian

orang akan melakukan perkawinan guna melengkapi kehidupan pribadinya.

Perkawinan merupakan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang saling mengikatkan diri menjadi sepasang suami istri, dan

diharapkan mampu melahirkan keturunan.

Walgito (dalam Widjaja, 1986) menyebutkan bahwa perkawinan

merupakan bersatunya seorang pria dan wanita sebagai suami istri yang

bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam

perkawinan terkandung dua hal, yaitu ikatan lahir dan ikatan batin.

Individu sebagai seorang suami atau istri memasuki kehidupan yang

baru setelah menikah, dimana mereka membawa pandangan, pendapat, dan

kebiasaan sehari-hari yang berbeda. Pernikahan juga membawa suami dan

istri beralih dari hidup yang masih bergantung pada orang tua masing-masing

pada hidup yang mandiri, melepaskan diri dari ketergantungan itu dan

(18)

Suami dan istri mulai mengenal hak-hak dan kewajiban, misalnya

mereka harus memikirkan masalah keuangan, mencukupi kehidupan

sehari-hari, merawat dan mendidik anak nantinya, memberikan kasih sayang

terhadap pasangannya dan memperhatikan masalah hubungan sosial dengan

masyarakat sekitar.

Suami dan istri juga harus menyatukan perbedaan-perbedaan yang

mereka miliki, dan berusaha memahami pasangan masing-masing. Baik suami

maupun istri harus memahami bahwa tidak ada pasangan hidup yang

sempurna termasuk dirinya, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan

tersendiri.

Banyak persoalan yang harus dihadapai suami dan istri, seiring

dengan semakin lama usia perkawinan mereka, mulai dari tugas di tempat

kerja, kebutuhan rumah tangga, juga masalah-masalah yang timbul dalam

rumah tangga mereka. Meskipun telah banyak dilakukan persiapan secara

matang dan cukup mendalam pada saat perkenalan dengan masing-masing

pribadi, namun kadangkala juga tidak luput dari kesalahpahaman dan

pertengkaran, perbedaan-perbedaan kecil yang dapat menimbulkan konflik

dan permasalahan antara ayah dan ibu. Suami dan istri menjalankan tugas

dan kewajiban mereka bersama dan berinteraksi pada tempat yang sama

dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terjadi kontak dan interaksi yang

intensif. Dengan adanya kontak dan interaksi yang intensif tersebut, maka

(19)

Konflik yang terjadi dalam pernikahan lebih besar jika dibanding

dengan konflik yang terjadi pada aspek kehidupan yang lain, karena

bidang-bidang persoalannya yang lebih mendalam meliputi perasaan, kesenangan,

kepercayaan, serta ditambah lagi masalah seks dengan segala tuntutan dan

liku-likunya.

Konflik yang terjadi antara suami dan istri bisa disebabkan oleh

banyak hal. Misalnya, seorang istri yang memutuskan untuk bekerja di luar

rumah, untuk menambah penghasilan keluarga atau karena berkeinginan

menjadi wanita karier. istri merasa bingung dalam membuat pilihan antara

menjadi ibu yang baik, yang memenuhi segala kebutuhan anak dan suami,

atau memfokuskan diri dengan pekerjaan dengan konsekuensi harus

mengesampingkan keluarganya. Hal semacam ini yang sering tidak dapat

dimengerti oleh seorang suami. Seorang suami akan merasa tersinggung,

karena ia merasa tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga sehingga

istrinya harus bekerja. Sebaliknya seorang suami mau tidak mau harus selalu

mengikuti perubahan yang terjadi di tempat ia bekerja agar dapat

mempertahankan jabatan dalam pekerjaan, sedangkan istri kurang mengalami

perubahan yang ada di luar rumah karena dia banyak menghabiskan

waktunya di rumah. Istri hanya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman di

sekitar rumah dan dengan anaknya. Dari sini akan terjadi

perbedaan-perbedaan dalam hal perkembangan hidup. Jika hal ini berlangsung

terus-menerus maka perbedaan akan semakin besar dan akhirnya menimbulkan

(20)

Dobos, Thomas dan Moore (1997) mengungkapkan beberapa hal

yang dapat menimbulkan konflik dalam perkawinan yaitu masalah keuangan,

mengurus anak, adanya perbedan gaya hidup, hubungan dengan teman,

masalah dengan mertua, masalah keagamaan dan masalah politik serta

masalah seks.

Konflik yang terjadi antara ayah dan ibu harus segera diselesaikan

secepat mungkin. Konflik jika hanya didiamkan saja atau tidak segera dicari

jalan keluarnya akan semakin berkembang. Konflik-konflik yang lain akan

muncul sebagai akibat dari konflik yang tidak terselesaikan tadi. Konflik

akan menjadi semakin kompleks dan semakin sulit untuk diselesaikan.

Suami dan istri yang tidak dapat menyelesaikan konflik dalam rumah

tangga mereka akan mengalami pertengkaran dan pertentangan yang serius

yang dapat mengganggu aktivitas mereka baik dalam rumah tangga maupun

di tempat mereka bekerja. Hubungan ayah dan ibu akan merenggang,

semakin menjauh dan sulit untuk dipersatukan lagi. Dampak negatif yang

paling buruk dari adanya konflik yang tidak terselesaikan antara ayah dan ibu

adalah terjadinya perceraian.

Jika perceraian terjadi, bukan hanya pasangan suami istri saja yang

merasakan dampaknya. Anak merupakan korban yang paling banyak

merasakan dampak dari adanya perceraian orang tua mereka (Baron &Byrne,

2005). Selain kekurangan kasih sayang, kurang diperhatikan, anak akan

merasa malu dan minder jika bersama teman-teman yang lain yang memiliki

(21)

Contoh adanya konflik dalam keluarga diungkapkan oleh Emil H.

Tambunan ( 2001). Disini diceritakan ada seorang suami yang telah menikah

selama sepuluh tahun, dan telah dikaruniai tiga orang anak. Namun dalam

waktu 10 tahun terakhir dia tidak bisa menikmati arti sebenarnya

berumah-tangga. Dia merasa bahwa istrinya sangat cerewet dan senang mengkritik.

Istrinya akan agresif jika tidak dituruti, dan sering mempermalukan suami di

depan umum, dan mudah tersinggung. Masalah-masalah kecil tersebut,

karena didiamkan oleh sang suami dan selalu mengalah untuk sang istri

selama sepuluh tahun ini menjadi masalah yang besar. Dan bapak tersebut

memutuskan untuk bercerai karena sudah tidak tahan lagi dengan perilaku

istrinya.

Contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa setiap konflik yang

terjadi antara ayah dan ibu harus segera diselesaikan agar jangan sampai

terjadi perceraian. Untuk dapat mengolah, mengatasi, ataupun

menyelesaikan konflik dibutuhkan suatu manajemen konflik.

Manajemen konflik sendiri dapat diartikan sebagai sebuah tugas

mengolah permasalahan yang timbul akibat adanya salah paham atau

perselisihan yang dilakukan individu atau kelompok (Tjosvold dan Tjosvold,

1995). Manajemen konflik disamakan dengan resolusi konflik atau cara

penanggulangan konflik. Selain itu sering pula disebut cara mengatasi

pertentangan dan perselisihan yang timbul baik dalam diri sendiri , antar

individu maupun antar kelompok (Robbins, 2000). Apabila konflik dapat

(22)

persetujuan, sedangkan manajemen konflik yang buruk dapat membuat salah

paham dan hubungan makin memburuk.

Manajemen konflik, dalam penelitian ini, adalah strategi yang

dimiliki ayah atau ibu untuk mengelola, mengatur masalah, mencegah,

mengatasi, ataupun menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka,

sehingga tidak mengakibatkan gangguan keseimbangan dalam menjalankan

rumah tangga mereka. Konflik yang dimaksud adalah konflik interpersonal

dalam menjalankan peran ayah dan peran ibu dalam keluarga. Di sini,

manajemen konflik digunakan untuk menjaga hubungan baik dengan orang

lain. Hal ini berarti seorang individu membutuhkan kemampuan berinteraksi

secara efektif dengan orang lain di masa depan. Seberapa penting tujuan

pribadi bagi seseorang, dan seberapa penting hubungan baik itu bagi

seseorang hal ini akan terlihat dari cara mereka bereaksi dalam melaksanakan

strategi manajemen konflik (Johnson, 1981).

Belajar menggunakan strategi manajemen konflik biasanya dimulai

ketika anak-anak, dan berfungsi secara otomatis. Biasanya seseorang tidak

merancang bagaimana kita bereaksi ketika sedang menghadapi konflik, kita

melakukan strategi menghadapi konflik sealamiah mungkin (Chandra, 2000).

Reaksi setiap individu berbeda dalam menghadapi setiap

permasalahan, karena satu gaya manajemen konflik belum tentu cocok untuk

semua situasi, demikian juga dalam perkawinan. Walaupun seseorang

(23)

akan mempunyai kecenderungan untuk menggunakan satu gaya manajemen

konflik tertentu (Steven A. Beebe, 1996).

Reaksi individu dalam menghadapi konflik dalam perkawinan juga

berbeda. Bodenmann (dalam Baron, 1998) mengatakan bahwa seorang

laki-laki cenderung lebih menghindari berbicara mengenai konflik daripada

wanita. Ayah sebagai seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab dan

mempunyai kekuasaan dalam memutuskan sesuatu dalam keluarga membuat

ayah lebih sering melakukan tindak kekerasan, baik melalui kata-kata atau

tindakan, dibanding seorang ibu. Seorang wanita cenderung lebih

memperhatikan dan menjaga hubungan baik ketika sedang ada konflik,

sedangkan laki-laki cenderung memperhatikan aturan-aturan yang berlaku

hingga tercapainya kesepakatan bersama (David A Decenzo, 2002)

Thomas Lavins (1987) meneliti manajemen konflik pada pasangan

suami istri, menemukan perbedaan gender dalam hal memahami perilaku

pasangannnya. Suami dapat menolak permintaan istri untuk berubah,

sedangkan istri harus menuruti permintaan suami untuk berubah.

Bermacam-macam konflik antara ayah dan ibu serta pentingnya

menggunakan manajemen konflik, membuat penulis ingin mengetahui

bagaimana manajemen konflik yang digunakan ayah dan ibu, dimana

masalah yang mereka hadapi sangat bervariasi dan lebih mudah muncul

karena ayah dan ibu melakukan interaksi yang intensif setiap harinya

(24)

B. Perumusan Masalah

Apakah ada perbedaan manajemen konflik antara suami dan istri?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris mengenai

ada tidaknya perbedaan gaya manajemen konflik antara suami dan istri.

D. Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat yang hendak dicapai dari adanya penelitian ini:

1. Manfaat Teoritis

Memberikan wacana tambahan bagi bidang psikologi, khususnya

psikologi keluarga, sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

bahan literatur untuk penelitian yang lebih relevan di masa yang akan

datang.

2. Manfaat Praktis

Sebagai masukan bagi pasangan suami dan istri, agar lebih dapat

memahami pasangan mereka, terutama dalam menggunakan manajemen

konflik. Agar suami dan istri dapat menggunakan suatu gaya manajemen

konflik yang tepat ketika terjadi konflik, sehingga keharmonisan keluarga

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Manajemen Konflik 1. Konflik

a. Pengertian konflik

Konflik merupakan hal yang melekat dalam kehidupan

manusia. Setiap individu dalam kehidupannya selalu berperang dengan

konflik. Seiring jaman yang semakin maju, konflik akan sering terjadi

seiring dengan meningkatnya irama kehidupan sehari-hari dan kegiatan

dunia usaha yang berjalan semakin cepat.

Banyak sekali definisi yang dikemukakan para ahli mengenai

konflik. Menurut World Book Dictionary konflik adalah perkelahian,

perjuangan, peperangan, ketidaksetujuan, perselisihan, atau

pertengkaran. Konflik dapat berujud konflik kecil seperti

ketidaksetujuan tapi juga dapat berupa konflik besar seperti

peperangan. Kata konflik sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu

Conflictusyang berarti″menyerang bersama-sama dengan kekuatan″. Watkins (dalam Chandra, 1992) berpendapat bahwa konflik

dapat terjadi bila terdapat dua hal. Pertama konflik bisa terjadi bila

sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan

praktis/ operasional dapat saling menghambat. Secara potensial,

(26)

praktis operasional, artinya kemampuan tadi bisa diwujudkan dan

berada dalam keadaan yang memungkinkan perwujudan secara mudah.

Artinya bila kedua pihak tidak dapat menghambat atau tidak melihat

pihak lain sebagai hambatan, maka konflik tidak akan terjadi. Beliau

juga mengungkapkan unsur-unsur yang selalu ada dalam setiap

konflik:

1) Adanya ketegangan yang diekspresikan.

2) Adanya sasaran atau tujuan atau pemenuhan kebutuhan yang

dilihat berbeda, atau yang sesungguhnya bertentangan.

3) Kecilnya kemungkinan untuk pemenuhan kebutuhan yang

dirasakan.

4) Adanya kemungkinan bahwa masing-masing pihak dapat

menghalangi pihak lain dalam pencapaian tujuannya.

5) Adanya saling ketergantungan.

Sementara Daniel Webster (dalam Peg Pickering, 2001)

mendefinisikan konflik sebagai persaingan atau pertentangan antara

pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain, pertentangan tersebut

meliputi pertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan

antarindividu, pertentangan kebutuhan, dorongan, keinginan ataupun

tuntutan. Hal senada juga diungkapkan Hardjana (1994) yang

mengemukakan bahwa konflik adalah perselisihan, pertentangan,

(27)

berlawanan dengan yang satunya sehingga salah satu atau keduanya

merasa terganggu.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

konflik adalah perselisihan, pertentangan yang terjadi karena

perbedaan persepsi, pertentangan antara dua pendapat, atau lebih yang

berkaitan dengan kebutuhan dan hambatan yang dialami baik dalam

proses penyesuaian diri dengan perubahan yang terjadi serta adaptasi

terhadap tuntutan lingkungan yang tidak selalu dapat dilaksanakan

dengan mudah.

b. Jenis-Jenis Konflik

Konflik bisa terjadi kapanpun, dimanapun dan dengan

siapapun, oleh karena itu konflik yang terjadi dalam masyarakat

banyak jenisnya. Banyak ahli dari bidang manajemen, psikologi

maupun sosiologi mengidentifikasikan konflik menurut jenis-jenisnya.

Pickering (2000) mengkategorikan konflik menjadi empat jenis konflik

yaitu:

1) Konflik Diri

Konflik diri adalah gangguan emosi yang terjadi dalam diri

seseorang karena ia dituntut menyelesaiakan suatu pekerjaan atau

memenuhi suatu harapan sementara pengalaman, minat, tujuan,

dan tata nilainya tidak sanggup memenuhi tuntutan, sehingga hal

ini menjadi beban baginya. Konflik inipun bisa terjadi apabila

(28)

satu sama lain. Konfik diri juga mencerminkan perbedaan antara

yang diinginkan seseorang dengan apa yang dilakukan untuk

mewujudkan perilaku itu.

2) Konflik antar Individu

Konflik antar individu adalah konflik yang terjadi antara dua

individu. Setiap orang mempunyai empat kebutuhan dasar

psikologis yang mana bisa mencetuskan konflik bila tidak

terpenuhi. Keempat kebutuhan dasar psikologis tersebut adalah

sebagai berikut keinginan untuk dihargai, diperlakukan sebagai

manusia, keinginan memegang kendali, keinginan memiliki harga

diri yang tinggi, dan keinginan untuk konsisten. Bila keinginan ini

tidak terpenuhi maka orang akan cenderung untuk memberikan

reaksi membalas, menguasai, mengucilkan diri, atau mengajak

bekerjasama.

3) Konflik dalam Kelompok

Konflik dalam kelompok adalah konflik yang terjadi antara

individu dalam suatu kelompok ( tim, departemen, perusahaan, dan

sebagainya).

4) Konflik antar Kelompok

Konflik antar kelompok melibatkan lebih dari satu kelompok

(beberapa tim, departemen,organisasi, dsb).

William Hendricks (2004) menggolongkan konflik menjadi dua

(29)

interpersonal masih dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu konflik

intragroup dan intergroup. Berikut ini penjelasan dari masing-masing

konflik:

1) Konflik Intrapersonal

Konflik intrapersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi bagi

individu ketika keahlian, kepentingan, tujuan atau nilai-nilai

digelar untuk memenuhi tugas-tugas atau pengharapan yang jauh

dari menyenangkan.

2) Konflik Interpersonal

Konflik interpersonal lebih banyak diasosiasikan dengan konflik

yang terjadi antara satu orang dengan orang lain, namun juga bisa

terjadi antara dua orang atau lebih. Konflik interpersonal dibagi ke

dalam dua group, yaitu:

a) Konflik Intragroup adalah konflik yang berada dalam

batasan kelompok kecil.

b) Konflik Intergroup adalah konflik yang menjadi global dan

mencakup beberapa kelompok.

Worchel dan Cooper (1979) juga berpendapat bahwa konflik

dapat dibedakan ke dalam dua bagian besar yaitu: konflik intrapersonal

dan konflik interpersonal. Konflik intrapersonal timbul akibat

ketidaksesuaian antara apa yang diinginkan dengan perkiraan

sebelumnya. Sedangkan konflik interpersonal adalah konflik yang

(30)

Konflik yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah konflik

antar individu (interpersonal) yaitu suami dan istri dalam menjalani

kehidupan berkeluarga. Konflik antar pribadi biasanya didasari bahwa

setiap individu itu mempunyai perbedaan dan keunikan, di mana dapat

ditarik kesimpulan bahwa tidak ada dua orang individu yang sama

persis di dalam aspek-aspek jasmaniah maupun rohaniah (Wahyudi,

2005).

Demikian pula dengan pasangan ayah dan ibu, kebersamaan

mereka memungkinkan mereka bergaul secara dekat dan erat sekali,

hal ini memungkinkan terjadinya konflik di antara mereka. Bilamana

dua manusia bergaul secara erat dalam relasi pernikahan maka

ketergantungan dan perselisihan itu pasti terjadi. Hal ini bisa terjadi

karena manusia memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang

lainnya, antara lain dalam hal keinginan, perasaan, pendapat, sikap,

latar belakang, sudut pandang, nilai-nilai serta interaksi kepribadian.

Konflik dalam keluarga terjadi jika salah satu anggota keluarga

(dalam penelitian ini suami dan istri) tidak setuju dengan

kejadian-kejadian dan situasi dalam hidup mereka. Salah satu dari mereka

mungkin tidak setuju dengan perilaku yang layak dan harus

dimunculkan pasangannya ketika menghadapi situasi tertentu, siapa

yang harus melakukan tugas keluarga, bagaimana pendapatan dalam

keluarga harus dibagi, atau bagaimana sebuah keputusan harus dibuat.

(31)

salah satu atau keduanya merasakan adanya suatu perbedaan diantara

mereka.

c. Konflik Suami dan Istri

Perkawinan merupakan salah satu tahap dalam kehidupan

manusia yang sangat dinanti-nantikan. Setiap manusia dewasa dan

mempunyai pasangan akan melangsungkan perkawinan. Perkawinan

menurut Walgito (1984) adalah bersatunya seorang pria dan wanita

sebagai suami istri untuk membentuk sebuah keluarga.

Gunarsa (1990) menyatakan bahwa perkawinan merupakan

penyatuan antara dua orang menjadi satu kesatuan yang saling

merindukan, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan,

saling melayani, yang kesemuanya diwujudkan dalam kehidupan yang

dinikmati bersama.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

perkawinan adalah bersatunya dua orang menjadi satu kesatuan guna

menjadi sebuah keluarga dimana terdapat hak-hak dan kewajiban yang

harus dipenuhi guna mencapai kehidupan keluarga yang rukun dan

bahagia.

Perkawinan berusaha menyatukan perbedaan antara dua

individu yang melangsungkan perkawinan. Perbedaan tersebut antara

lain dalam hal pandangan, pendapat, dan kebiasaan, sifat, latar

(32)

Perbedaan-perbedaan yang mereka bawa sebelum menikah

biasanya akan berkembang setelah mereka menjadi suami istri. Banyak

sekali perbedaan-perbedaan antara suami dan istri dalam menjalankan

keluarga mereka. Peplau & Gordon (1985) mengatakan bahwa istri

secara konsisten lebih terbuka pada pasangan mereka daripada suami.

Perempuan cenderung lebih mengekspresikan kelembutan, ketakutan,

dan kesedihan mereka daripada suami yang menganggap bahwa

mengendalikan kemarahan merupakan orientasi yang umum.

Kepribadian seorang laki-laki dan perempuan juga berbeda

(Gunarsa, 2001). Kepribadian perempuan merupakan kesatuan antara

aspek emosi, rasio dan suasana hati. Hal ini terlihat dalam hal

pengambilan keputusan, wanita mengambil keputusan tanpa didahului

pertimbangan dan pemikiran yang masak, namun wanita berhati

lembut dan tenang yang mendorongnya rela menderita dan berkorban

untuk orang yang dia cintai.

Laki-laki sesuai dengan kepribadiannya memiliki kewibawaan,

sikap dan dan pribadinya mempunyai batasan yang jelas antara pikiran,

rasio, emosi, dan suasana hati. Laki-laki lebih mementingkan sesuatu

yang dapat diterima oleh akal daripada maslah yang tidak nyata.

Dalam mengerjakan sesuatu laki-laki terlihat lebih agresif, aktif,

namun kurang memiliki kesabaran.

Pria dalam setiap kegiatannya lebih agresif, aktif dan kurang

(33)

emosional pasangan mereka, serta tidak mengekspresikan perasaan dan

pikiran mereka sendiri. Sementara wanita memiliki kelembutan

perasaan, ketenagan, serta kerelaan untuk mengorbankan sesuatu bagi

orang yang dia cintai.

Norman Wright (2004) berpendapat bahwa pada dasarnya

emosi pria dan wanita tidak berbeda. Yang membedakan adalah cara

pengungkapannya. Pria sangat mengandalkan kemampuan kognitif dan

logika, sedangkan wanita sangat mementingkan hubungan dengan

orang lain dan berorientasi pada pasangan.

Tugas dan tanggung jawab yang dijalankan suami dan istri

dalam kehidupan rumah tangga juga berbeda pada umumnya peranan

ayah dan peranan ibu sudah diatur sedemikian rupa sehingga ibu lebih

banyak berhubungan dengan anak dan mempunyai kesibukan rumah

tangga di daam rumah. Ayah sebaliknya, lebih banyak melakukan

kegiatan di luar rumah.

Ayah di dalam keluarga mempunyai peran sendiri, diantaranya

adalah:

1) Pencari nafkah yang bertugas menyediakan kebutuhan keluarga

secara finansial.

2) Sebagai pendidik.

3) Sebagai pelindung dalam keluarga.

4) Sebagai sahabat, yaitu pemecah masalah yang dapat bersikap

(34)

Peran ayah yang utama sebagai pencari nafkah keluarga sudah

terkondisi dari jaman dahulu. Ayah mempunyai tanggung jawab terbesar

untuk mencukupi segala kebutuhan keluarga, terlebih kebutuhan secara

finansial. Karena itu ayah biasanya bekerja di luar rumah sehingga kurang

mempunyai waktu bersama-sama dengan keluarganya. Waktunya banyak

dihabiskan di kantor tempat ia bekerja (Gunarsa, 2001). Kaum ibu secara

prinsipal bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anaknya. Ibu lebih

sering berada di rumah daripada ayah dengan perbandingan 9 dengan 3,2

jam per hari (Singgih D Gunarsa, Ny Singgih D Gunarsa, 2001).

Sifat seorang ayah yang biasanya tegas, berwibawa dan

bertanggung jawab terhadap keluarganya, akan menjadi contoh yang baik

bagi anak-anaknya. Ayah juga dapat mengatur dan mengarahkan aktivitas

anak. Misalnya menyadarkan anak bagaimana menghadapi lingkungannya

dan situasi di luar rumah. Ia memberi dorongan, membiarkan anak

mengenal lebih banyak, melangkah lebih jauh, menyediakan perlengkapan

permainan yang menarik, mengajar mereka membaca, mengajak anak

untuk memperhatikan kejadian-kejadian dan hal-hal menarik yang terjadi

di luar rumah.

Sebagai kepala keluarga, seorang ayah harus bisa melindungi

seluruh anggota keluarganya. Ayah merupakan orang pertama yang harus

menghadapi segala ancaman yang mengarah pada keluarga. Ia harus

menciptakan suasana aman dan nyaman bagi keluarganya (Linda Brannon,

(35)

Ayah juga berperan sebagai sahabat bagi anak-anaknya. Ayah

dapat berdiskusi dan berusaha memberikan nasihat-nasihat serta jalan

keluar untuk masalah yang sedang dihadapi. Anak biasanya akan

menceritakan pengalaman-pengalaman yang ia rasakan sepanjang hari,

dan ayah harus menjadi pendengar yang baik ketika anaknya sedang

bercerita (Singgih D Gunarsa, 1994).

Dalam kehidupan sehari-harinya perempuan sebagai anggota

masyarakat mempunyai beberapa peran sebagai berikut: yang pertama

perempuan sebagai anggota masyarakat mempunyai peran, pekerjaan, dan

karier. Yang kedua perempuan sebagai anggota keluarga yaitu menjadi

anggota keluarga, istri, dan menjadi ibu.

Perempuan sebagai anggota suatu keluarga mempunyai peran

ganda menurut Betty Friedan (dalam Singgih D Gunarsa, 2001) yaitu:

1) Perempuan sebagai anggota keluarga: memberi inspirasi tentang

gambaran arti hidup dan peranannya sebagai perempuan dan anggota

keluarga.

2) Perempuan sebagai istri: membantu suami dalam menentukan

nilai-nilai yang akan menjadi tujuan hidup yang mewarnai hidup sehari-hari

dan keluarga:

a) Menjadi kekasih suami, menjadi pengabdi dalam membantu

(36)

b) Menjadi pendamping suami, bila perlu membina relasi-relasi

dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial, menghadapi,

mengatasi masalah baik diatasi sendiri maupun bersama-sama.

c) Menjadi manajer keuangan yang dilimpahkan oleh suami.

Suami biasanya akan menyerahkan urusan keuangan pada istri

untuk mengatur keuangan dalam keluarga, karena perempuan

dianggap lebih teliti dan pandai dalam mengatur keuangan.

3) Perempuan sebagai pencari nafkah.

Perempuan untuk kepuasan diri bisa menunjukkan kemampuannya

dengan bekerja. Perempuan yang berambisi tinggi, sesudah menikah

bisa juga ingin tetap mengejar karier. Dalam kenyataannya, ada

perempuan yang perlu bekerja di luar atau di dalam rumah untuk

meringankan beban suami dan menambah keuangan dalam keluarga,

atau untuk mengamalkan kemampuannya setelah mempelajari sesuatu

yang memberi kepuasan tersendiri, sambil menambah penghasilan

keluarga.

4) Perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga

Sebagai ibu rumah tangga perempuan mengatur seluruh kehidupan dan

kelancaran rumah tangga, selain itu juga mengatur dan mengusahakan

suasana rumah yang nyaman.

5) Perempuan sebagai ibu bagi anak.

a) Menjadi model tingkah laku anak yang mudah diamati dan

(37)

b) Menjadi pendidik: memberi pengarahan, dorongan dan

pertimbangan bagi perbuatan-perbuatan anak untuk membentuk

perilaku.

c) Menjadi konsultan: memberi nasihat, pertimbangan,

pengarahan, dan bimbingan.

d) Menjadi sumber informasi: memberikan pengetahuan,

pengertian dan penerangan.

Sebagai sepasang suami istri, keduanya harus dapat

mengesampingkan perbedaan-perbedaan tersebut dan lebih

memperhatikan kesatuan yang harmonis yang meliputi kesatuan dalam

sikap dan pandangan dalam menjalankan rumah tangga mereka.

Hornby (dalam Walgito,1984) menyatakan pria dan perempuan

disatukan dalam sebuah pernikahan dan mendapatkan status baru

sebagai suami dan istri. Pasangan suami dan istri tinggal bersama dan

keduanya saling mempengaruhi dan bergantung satu sama lain.

Kebersamaan ini memungkinkan mereka begaul secara dekat dan erat

sekali, sekurang-kurangnya dua belas sampai lima belas jam sehari.

Bilamana dua manusia harus bergaul secara erat seperti dalam relasi

pernikahan maka ketergantungan dan perselisihan itu pasti terjadi. Hal

ini disebabkan manusia berbeda satu dan lainnya, antara lain hal

keinginan, perasaan, pendapat, sikap latar belakang, sudut pandang,

nilai-nilai, kebutuhan interaksi, kepribadian. Keharusan untuk bergaul

(38)

melakukan interaksi dan kontak yang intensif. Dengan demikian

konflik mengenai berbagai masalah dalam kehidupan mereka relatif

mudah terjadi. Jika dua orang hidup bersama-sama sebagai pasangan,

maka konflik akan meningkat atau ada kebutuhan-kebutuhan yang

tidak terpenuhi. Akibatnya pasangan akan kecewa, frustasi dan merasa

tidak puas sehingga dapat menyulut pertengkaran.

Konflik dalam keluarga terjadi jika salah satu anggota keluarga

( dalam penelitian ini suami dan istri) tidak setuju dengan

kejadian-kejadian dan situasi dalam hidup mereka. Salah satu dari mereka

mungkin tidak setuju dengan perilaku yang layak, yang harus

dimunculkan pasangannya ketika menghadapi situasi tertentu.

Misalnya siapa yang harus melakukan tugas keluarga,bagaimana

pendapatan dalam keluarga harus diatur, atau bagaimana sebuah

keputusan harus dibuat

Adapun masalah-masalah yang sering timbul antara suami istri

dalam sebuah keluarga biasanya berhubungan dengan masalah pribadi

suami istri yang meliputi masa lampau mereka dan masa depan

selanjutnya, masalah pribadi suami istri dengan ipar dan mertua,

masalah nafkah serta pekerjaan ( Singgih D Gunarsa, 1994).

Robby I Chandra (1992) berpendapat bahwa faktor penyebab

timbulnya masalah dalam keluarga yang menyebabkan kegoncangan

(39)

tua dari kedua belah pihak suami atau istri. Adapun timbulnya

ketegangan yang bersumber dari suami istri antara lain:

1) Kurangnya saling pengertian antar suami istri karena kurangnya

kemauan untuk mempelajari diri sendiri dan orang lain.

2) Kurang terbuka mengenai masalah tersembunyi yang belum

terselesaikan.

3) Adanya kecurigaan baik dari pemakaian uang, maupun dari segi

hubungan intim dengan orang luar.

4) Ketidakmauan suami untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan

rohani keluarga.

5) Ketidakmampuan suami membimbing istri dan anggota keluarga

karena sibuk dalam tugasnya sehingga istri berperan dalam rumah

tangga, atau suami pendiam dan istri sebaliknya.

6) Ketidakpuasan suami terhadap pelayanan istri, misalnya dalam hal

penyediaan makanan, kurang mengetahui selera suami, atau dalam

hal pelayanan seks.

7) Ketidakpuasan suami terhadap kemampuan istri. Misalnya

pendapatan suami lebih tinggi sehingga dia akan cenderung

menguasai atau menggurui, istri bersifat boros dalam pembelanjaan

sehingga gaji defisit.

8) Ketidakpuasan istri terhadap pelayanan suami. Suami terlalu

(40)

Apabila dikelompokkan segala macam masalah antara suami

dan istri dalam sebuah keluarga tadi dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

1) Masalah pribadi suami istri yang menyangkut masa lampau mereka

dan masa depan yang akan dijalani mereka.

2) Masalah pribadi suami istri yang memasuki lingkungan keluarga

baru yaitu bersama dengan ipar, kakak, adik, dan lain-lain.

3) Masalah yang berhubungan dengan keluarga baru dan rencananya

akan dibentuk, meliputi hari depan, pendidikan dan perkembangan

anak.

Dalam survey internasional Gurin, dkk (dalam Sears dkk,

1992) 45% orang yang sudah menikah mengatakan bahwa dalam

kehidupan bersama akan muncul berbagai masalah. Memang tidak

dapat dipungkiri bahwa konflik akan selalu muncul pada hubungan

yang dirasa amat istimewa sekalipun. Selanjutnya dikemukakan bahwa

32% pasangan yang menilai pernikahan mereka sangat

membahagiakan melaporkan bahwa mereka juga pernah mengalami

pertentangan, oleh karena itu dapat dikatakan konflik merupakan hal

yang wajar terjadi dalam kehidupan pernikahan. Bahkan konflik yang

terjadi dalam kehidupan pernikahan lebih besar dibanding konflik yang

terjadi pada aspek kehidupan lain, karena bidang-bidang persoalannya

lebih mendalam meliputi perasaan,kesenangan, kepercayaan, serta

(41)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik

yang terjadi pada pasangan suami istri merupakan hal yang wajar

karena mereka berinteraksi sehari-hari dan masing-masing manusia

mempunyai latar belakang, sudut pandang, nilai-nilai maupun

kebutuhan yang berbeda, yang dapat mengakibatkan perbedaan

persepsi, kegagalan dalam berkomunikasi, serta dapat menimbulkan

konflik pada pasangan suami istri.

Disamping itu juga sifat yang dibawa masing-masing baik

suami atau istri yang berbeda, jika tidak cepat beradaptasi juga akan

menimbulkan konflik diantara pasangan tersebut. Misalnya saja dalam

penelitian yang dilakukan oleh Dr. Carol N Jacklin dan Dr. Eleanor E.

Maccoby (dalam Norman Wright, 2004) mengungkapkan adanya

pebedaan jenis kelamin ditinjau dari sudut psikologi menyebutkan

bahwa perempuan lebih dapat mengekspresikan emosi dan berempati

atau berbelaskasihan saat menanggapi perasaan orang lain. Sementara

kebanyakan laki-laki tidak memiliki kosa-kata yang cukup untuk

mengungkapkan perasaannya. Mereka merasa tidak nyaman bila harus

mengutarakan kegagalan, kecemasan, atau kekecewaan mereka.

Sebagai pasangan suami istri sebaiknya mereka mulai

mempelajari sifat-sifat tersebut sehingga dalam keluarga dapat terjalin

komunikasi yang baik, untuk dapat menyelesaikan masalah-maslah

(42)

dalam hubungan suami istri dapat memicu timbulnya suatu konflik

antara suami istri (H. Norman Wright, 2004).

2. Manajemen Konflik

a Pengertian Manajemen Konflik

Konflik tidak hanya harus diterima dan dikelola dengan baik,

tetapi juga harus didorong, karena konflik merupakan kekuatan untuk

mendapatkan perubahan dalam suatu lembaga atau kelompok

(Hardjana, 1994). Edelmen, R.J. dalam (Wahyudi, 2005) menegaskan

bahwa, jika konflik dikelola secara sistematis dapat berdampak positif

yaitu, memperkuat hubungan kerjasama, meningkatkan kepercayaan

diri, mempertinggi kreativitas dan produktivitas serta meningkatkan

kepuasan kerja. Oleh karena itu kemampuan manajemen konflik sangat

penting untuk diperhatikan

Manajemen konflik sendiri dapat diartikan sebagai tugas

mengelola suatu permasalahan yang timbul akibat salah paham atau

perselisihan yang dilakukan oleh individu atau kelompok. Apabila

dapat diatasi dengan baik maka hubungan akan meningkat dan

mencapai persetujuan. Sedangkan manajemen konflik yang buruk

dapat membuat semakin salah paham dan membuat buruknya

hubungan interpersonal (Johnson&Johnson, 1994).

Sedangkan tujuan dari adanya manajemen konflik tersebut

adalah mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik

(43)

yang selanjutnya dalam mencapai tujuan yang diperjuangkan dan

menjaga hubungan pihak-pihak yang terlibat konflik agar tetap baik

(Hardjana, 1994).

b. Gaya-gaya Manajemen Konflik

Orang yang terlibat dalam situasi konflik memiliki gaya

manajemen konflik yang berbeda-beda. Masing-masing individu dapat

menggunakan beberapa macam gaya, namun seringkali hanya gaya

tertentu yang digunakan seseorang (Killman&Thomas, 1992).

Setiap orang dapat menggunakan manajemen konfik yang

bervariasi tergantung pada situasinya. Suatu gaya manajemen konflik

mungkin cocok untuk satu situasi, tetapi belum tentu cocok untuk

situasi yang lain. Tetapi biasanya seseorang akan memiliki

kecenderungan untuk menggunakan satu gaya manajemen konflik

tertentu (David. A. Decenzo, 1997)

William Hendrick (1992) menyamakan istilah teknik

penyelesaian konflik dengan gaya atau style manajemen konflik yang

dapat diterapkan dalam menyelesaikan konflik. Ada lima macam cara

dalam menghadapi konflik yang terjadi yaitu:

1) Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan(integrating)

Penyelesaian konflik dengan cara integrating yaitu, pihak-pihak

yang terlibat konflik melakukan tukar-menukar informasi. Kedua

belah pihak mempunyai keinginan untuk mengamati perbedaan dan

(44)

berkonflik. Penyelesaian konflik dengan mempersatukan

mendorong munculnya kreativitas yang bersangkutan. Kelemahan

gaya penyelesaian ini adalah membutuhkan waktu yang lama dan

dapat menimbulkan kekecewaan karena penalaran dan

perimbangan rasional seringkali dikalahkan oleh komitmen

emosional untuk suatu posisi.

2) Strategi kerelaaan untuk membantu(obliging)

Strategi ini berperan untuk mengurangi perbedaan antar kelompok

dan mendorong pihak-pihak yang terlibat konflik untuk

mencari-cari persamaan. Perhatian pada orang atau kelompok lain, akan

menyebabkan seseorang merasa puas karena keinginannya

dipenuhi oleh pihak lain, walaupun salah satu pihak harus

mengorbankan sesuatu yang penting baginya. Gaya semacam ini

dapat digunakan sebagai strategi yang sengaja untuk mengangkat

atau membuat pihak lain merasa lebih baik dan senang terhadap

suatu isu.

3) Teknik dominasi(dominating)

Teknik ini merupakan kebalikan dari gaya obliging, menekankan

pada kepentingan diri sendiri. Kewajiban sering diabaikan demi

kepentingan pribadi atau kelompok dan cenderung meremehkan

kepentingan orang lain. Teknik dominasi sangat efektif apabila

(45)

4) Teknik menghindar(avoiding)

Salah satu strategi dalam pengendalian konflik dengan cara

menghindari suatu permasalahan. Pihak yang menghindar dari

konflik tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang

lain. Gaya menghindar berarti menghindar dari tanggung jawab

atau mengelak dari suatu isu konflik, menghindar dengan lawan

konfliknya, menekan konflik yang terjadi. Aspek negatif dari gaya

ini adalah melemparkan masalah pada orang lain, atau

mengesampingkan masalah.

5) Gaya penyelesaian konflik dengan cara kompromi(compromising)

Gaya ini dikategorikan efektif bila isu konflik mempunyai

kekuatan yang berimbang. Teknik kompromi dapat menjalin

pilihan bila metode lain gagal dan kedua pihak mencari jalan

tengah. Pada kompromi masing-masing pihak rela memberikan

sebagian kepentingannya (win-win solution). Kompromi dapat

berarti membagi perbedaan atau bertukar sesuatu, masing-masing

bersedia mengorbankan sesuatu agar tercapai penyelesaian. Dalam

gaya ini dibutuhkan keahlian untuk bernegosiasi dan

tawar-menawar.

Jika digambarkan maka, lima gaya manajemen konflik yaitu

Menghindar, Dominasi, Membantu, Kompromi, dan Mempersatukan

(46)

Diagram 1.

Gaya Manajemen Konflik menurut William Hendrick (1992)

Sedangkan startegi manajemen konflik menurut Johnson &

Johnson (1994) dibedakan menjadi lima macam strategi yang

sealnjutnya akan disebut gaya, yang berdasarkan pada seberapa

penting hubungan baik itu bagi seseorang. Adapun kelima gaya

tersebut adalah:

1) ″The Turtle″ atau ″Withdrawing″

Orang yang menggunakan gaya manajemen konflik ini selalu

berusaha bersembunyi untuk menghindari konflik. Mereka

menyerahkan tujuan pribadinya dan hubungan baiknya. Mereka

tetap menjauh dari permasalahan yang menjadi konflik dan

menjauh dari orang yang berkonflik dengannya.

2) ″The Shark″atau″Forcing″

Orang dengan gaya manajemen konflik ini mencoba untuk

melawan menggunakan kekuatan penuh dengan cara mengancam

(47)

sangatlah penting baginya dan hubungan baik tidaklah penting

baginya.. Mereka berpendapat bahwa konflik hanya dapat

dimenangkan oleh salah satu pihak dan pihak yang lain harus

kalah. Kemenangan bagi mereka memberikan rasa kebanggaan dan

keberhasilan, sedangkan kekalahan akan memberikan rasa

kelemahan dan kegagalan serta tidak puas. Mereka selalu mencoba

untuk menyerang, menunjukkan kekuasaan, dan mengintimidasi

(menekan) orang lain.

3) ″Teddy Bear″atau″Smoothing″

Bagi orang yang menggunakan gaya ″Teddy Bear″ hubungan baik

adalah kepentingan yang utama, kemudian mengenai tujuan

mereka sendiri tidaklah begitu penting baginya.Orang dengan gaya

ini ingin diterima dan disukai orang lain. Mereka berpikir bahwa

konflik seharusnya dihindari demi anugerah keharmonisan dan

percaya bahwa konflik dapat didiskusikan tanpa merusak

hubungan baik. Mereka takut bahwa jika konflik berlanjut akan

mengakibatkan salah satu terluka dan menyebabkan hancurnya

hubungan baik. Mereka menyerahkan tujuan mereka demi menjaga

hubungan baik, juga ingin mencoba meluluhkan ketegangan akibat

konflk tanpa merusak hubungan orang lain. Mereka menyatakan

atau menyerahkan tujuannya dan membiarkan orang lain akan

(48)

karena mereka takut kalau-kalau nanti konflik ini akan merugikan

hubungan baik.

4) ″The Fox″atau″Compromising″

Orang dengan gaya manajemen konflik ini senang memperhatikan

tujuannya dan juga hubungan baik mereka dengan orang lain.

Mereka selalu mencoba untuk bekerjasama dengan orang lain

untuk memecahkan masalah akibat konflik. Mereka menyerahkan

sebagian tujuan mereka dan membujuk orang lain menyerahkan

sebagian tujuannya juga. Mereka juga mencoba solusi konflik

dimana semua pihak mendapatkan sesuatu dan berada di

tengah-tengah di antara dua posisi ekstrem (kanan-kiri). Mereka

berkeinginan untuk mengorbankan sebagian tujuan mereka dan

hubungan baik mereka, tapi sisi lain demi menemukan persetujuan

bersama yang berakibat baik bagi semua pihak.

5) ″The Owl″atau″Confronting″

Kelompok orang dengan gaya manajemen konflik″The Owl″ lebih

menghargai tujuan mereka sendiri dan hubungan baik mereka.

Mereka memandang konflik sebagai permasalahan yang harus

diselesaikan dan dicarikan solusi yang berguna bagi tujuan mereka

sendiri dan orang lain, demi memperbaiki hubungan baik. Mereka

mencoba untuk mulai berdiskusi, meneliti tentang konflik yang

menjadi permasalahan dengan mencoba solusi yang memuaskan

(49)

sampai solusi terbaik ditemukan demi mencapai tujuan mereka dan

orang lain. Selain itu mereka tidak akan puas sampai

ketegangan dan perasaan buruk ditenangkan kembali.

Penelitian ini akan menggunakan gaya manajemen konflik yang

dikemukakan oleh William Hendricks (1992) yang menampilkan lima

gaya manajemen konflik yaitu: mempersatukan, membantu, dominasi,

kompromi, dan menghindar. Dengan melihat kecenderungan para suami

dan istri dalam menggunakan manajemen konflik diharapkan dari hasil

penelitian akan mengetahui apakah ada perbedaan manajemen konflik

antara suami dan istri.

B. Perbedaan Manajemen Konflik Suami-Istri

Laki-laki dan perempuan yang memutuskan untuk mengikatkan

diri menjadi satu kesatuan guna membentuk suatu keluarga yang baru dan

menjadi sepasang suami istri. Masing-masing, baik suami dan istri

memiliki perbedaan dalam beberapa hal diantaranya perbedaan sifat, latar

belakang kehidupan, tugas dan tanggung jawab, dan masih banyak lagi.

Istri lebih ekspresif dan berperasaan daripada suami dalam

pernikahan (Blumstein & Schwart, !983). Istri lebih terbuka mengenai

segala sesuatu yang sedang dia alami. Perempuan akan cenderung lebih

mengekspresikan kelembutan, ketakutan, dan kesedihan daripada

pasangan mereka.

Selain itu juga terdapat perbedaan gender yang kuat dalam hal

(50)

banyak daripada suami (Warner, 1986) . sebagian besar istri melakukan

pekerjaan rumah tangga dua atau tiga kali lipat dari yang dilakukan oleh

suami. Bahkan hanya 10% suami yang melakukan pekerjaan rumah tangga

sebanyak istri mereka. Suami lebih banyak menghabiskan waktu mereka

di tempat kerja.

Dalam kehidupan rumah tangga suami dan istri saling mendorong

dan saling mengisi dalam menangani berbagai pekerjaan sehinga suatu

pekerjaan itu nampak bukan sebagai beban. Tetapi ketika terjadi

perubahan, pertentangan emosional, sosial, semangat dan kemunduran

ekonomi maka dapat menimbulkan permasalahan (Save M Dagun, 1990).

Untuk membina hubungan akrab antara suami dan istri diperlukan tekad

baik dan derajad toleransi yang tinggi untuk dapat mengatasi berbagai

masalah.

Permasalahan yang timbul biasanya disebabkan karena

masing-masing suami dan istri saling bertentangan. Misalnya saja ayah atau suami

harus selalu mengikuti dan menyesuaikan diri pada setiap perubahan yang

terjadi di tempat ia bekerja untuk mempertahankan kedudukan dan

posisinya. Suami mengalami suatu proses hidup psikis yang lebih dinamis,

yang akhirnya tidak sesuai lagi dengan hidup psikis istri, karena istri hanya

tinggal di rumah dan kurang mengikuti perubahan-perubahan yang

terjadi di lingkungan luar rumah. Perbedaan perkembangan tersebut

membuat jarak makin membesar sehingga membentuk jurang yang

(51)

menimbulkan masalah yang pelik dalam keluarga (Astuti dalam Miniatrix,

2003).

Ibu yang memutuskan untuk menjadi perempuan karier dengan

alasan untuk menopang keuangan keluarga juga memiliki kebimbangan di

mana ia harus menentukan seberapa banyak ia harus meluangkan waktu

bersama anak dan keluarga disamping ia juga harus menyisihkan waktu

untuk pekerjaannya. Sebagai seorang suami jika istri bekerja sering merasa

diremehkan. Ia merasa istrinya tidak puas dengan penghasilan keluarga

yang otomatis meremehkan dirinya sebagai pencari nafkah. Selain itu

anak- anak juga kekurangan kasih sayang dan rumah kurang terawat

(Slameto, 2003).

Konflik yang terjadi antara suami dan istri harus segera dicari jalan

keluarnya, dan sebisa mungkin jangan menunda penyelesaian konflik. Jika

konflik hanya didiamkan saja dan tidak dicari jalan keluarnya maka

konflik akan meruncing dan semakin sulit untuk mengatasinya.

Untuk mencegah terjadinya permasalahan yang berlarut-larut yang

akhirnya menuju pada perceraian, masing-masing individu harus memilki

manajemen konflik yang tepat. Berbeda orang menggunakan manajemen

konflik dengan cara yang berbeda pula. Setiap orang mempunyai

kemampuan untuk menggunakan berbagai macam gaya manajemen

konflik, tetapi tetap saja mempunyai kecenderungan untuk menggunakan

salah satu gaya manajemen konflik (David. A. Decenzo, 1992). Tidak ada

(52)

Pickering, 2000), oleh karena itu penting untuk mengembangkan

kemampuan menggunakan setiap gaya manajemen konflik sesuai dengan

situasi.

Manajemen konflik pada manusia berdasarkan kedua jenis

kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan menurut Cancian (1987)

menyatakan bahwa perempuan lebih berhasrat untuk menghindari konflik

dan memelihara hubungan baik mereka daripada laki-laki. Selain itu

perempuan merasa bertanggung jawab untuk memelihara hubungan

tersebut. Blomstein&Schwartz (1983), menambahkan bagaimanapun

perempuan lebih mempermasalahkan, membenci yang mereka hadapi,

tetapi tetap berusaha untuk berbuat hal yang benar. Pada saat memberikan

penjelasan, perempuan memiliki kecenderungan menggunakan

perbandingan untuk memenangkan pendapat mereka. Namun demikian

perempuan lebih memilih untuk menghindari konflik bila hal tersebut

mungkin untuk dilakukan untuk menjaga hubungan mereka. Ketika

konflik menghasilkan kekerasan, maka wanita akan cenderung merasa

disakiti daripada laki-laki.

Hal ini didukung pendapat (Brannon, 1999) yang berpendapat

bahwa dalam menghadapi konflik, perempuan menggunakan gaya

manajemen konflik dengan pemikiran-pemikiran, supaya hubungan

mereka tetap terpelihara. Perempuan memiliki ruang untuk menghindari

(53)

Ketika konflik menghasilkan kekerasan, perempuan mungkin lebih terluka

daripada laki-laki pada saat terjadi konfrontasi.

Sementara Borisoff & Victor (1989) mengemukakan bahwa

sesungguhnya ketrampilan berkomunikasi berguna untuk mengemukakan

efektivitas manajemen konflik termasuk di dalamnya keterbukaan,

keterusterangan, asertif, empati, kredibel, fleksibel, bisa mendengarkan

secara aktif. Banyak asumsi tentang bagaimana perempuan dan laki-laki

berbeda dalam segala hal. Salah satunya adalah H. Norman Wright (2004)

yang menyatakan bahwa pria dan perempuan berbeda dalam cara berpikir,

bertindak, menghadapi, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat

saling melengkapi, tetapi kerap kali menimbulkan konflik dalam

pernikahan.

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang juga menyangkut

bagaimana laki-laki dan perempuan berbeda dalam menghadapi konflik

diungkapkan pula oleh David A. Decenzo (1997), yang menyebutkan

bahwa perempuan menjalin hubungan untuk mendapatkan kedekatan,

sedangkan laki-laki menjalin hubungan untuk mencapai tujuan tertentu.

Perempuan selalu menjaga hubungan interpersonal agar dinamis untuk

memeperoleh hubungan yang sehat sedangkan laki-laki kurang

memeperhatikan hubungan yang dinamis. Perempuan selalu

memperhatikan kepentingan bersama, sedangkan laki-laki cenderung

(54)

berusaha untuk tetap menjaga hubungan baik, sebaliknya laki-laki akan

terpaku pada aturan hingga kesepakatan bersama tercapai.

Banyak penelitian telah membuktikan banyak hal seperti di atas,

misalnya laki-laki lebih mendengarkan daripada memberikan pendapat.

Salah satu diantarnya adalah penelitian yang dilakukan Thomas Levin

(1987) yang meneliti tentang manajemen konflik pada pasangan.

Penelitian ini menemukan bahwa ada perbedaan gender dalam hal suami

istri meminta untuk memahami perilaku masing-masing pasangannya.

Dalam hal ini suami-suami dapat menolak permintaan istri-isri mereka

untuk berubah karena perilaku laki-laki mencerminkan ciri kepribadian

yang tidak berubah. Sedangkan para istri harus bisa berubah sebagai

respon terhadap permintaan suami karena perilaku perempuan mudah

berubah. Keyakinan suami terhadap manajemen konflik memberikan

mereka kekuatan lebih dalam hubungan, mereka dapat meminta haknya

(55)

C. HIPOTESA

Hipotesa penelitian dari penelitian ini adalah ada perbedaan

manajemen konflik antara suami dan istri yang meliputi:

1. Ada perbedaan Gaya Manajemen Konflik Menghindar antara suami

dan istri.

2. Ada perbedaan Gaya Manajemen Konflik Dominasi antara suami dan

istri.

3. Ada perbedaan Gaya Manajemen Konflik Membantu antara suami dan

istri.

4. Ada perbedaan Gaya Manajemen Konflik Kompromi antara suami dan

istri.

5. Ada perbedaan Gaya Manajemen Konflik Mempersatukan antara

(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian komparasional, yang berbentuk

perbandingan dari dua sampel atau lebih. Penelitian ini termasuk penelitian

komparatif karena ingin melihat apakah ada perbedaan manajemen konflik

antara suami dan istri.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel. Variabel-variabel tersebut

adalah:

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab kemunculan

dari variabel terikat (Kerlinger, 1996). Variabel bebas merupakan variabel

yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau

timbulnya variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

suami dan istri.

2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung sering disebut variabel terikat. Variabel terikat

merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena

adanya variabel bebas. Dengan demikian variabel terikat dipandang

sebagai konsekuensi variabel bebas (Kerlinger, 1996). Variabel terikat

(57)

C. Definisi Operasional

Definisi operasional melekatkan arti pada suatu variabel dengan cara

menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk

mengukur variabel itu. Definisi semacam itu memberikan batasan atau arti

suatu variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk

mengukur variabel tersebut.

Definisi operasional dari variabel-variabel yang dipakai dalam

penelitian ini adalah:

1. Suami dan Istri

Suami adalah laki-laki dewasa yang telah melangsungkan

perkawinan secara resmi menurut hukum dan agama.

Istri adalah perempuan dewasa yang telah melangsungkan

perkawinan secara resmi menurut hukum dan agama.

2. Manajemen Konflik

Manajemen konflik adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh

masing-masing individu, dalam hal ini ayah dan ibu, untuk mengelola,

mengatur masalah, mencegah, mengatasi, ataupun menyelesaikan konflik

yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari pasangan suami istri tersebut.

Masalah-masalah tersebut antara lain masalah pribadi suami dan istri yang

meliputi masa lampau dan masa depan mereka, masalah pribadi suami istri

dengan mertua dan anggota keluarga lain, masalah nafkah serta pekerjaan,

masalah anak. Cara individu untuk mengolah konflik yang terjadi disebut

(58)

adalah lima gaya manajemen konflik menurut William Hendricks (1992).

Kelima gaya manajemen konflik tersebut adalah: Manajemen Konflik

Menghindar, Manajemen Konflik Dominasi, Manajemen Konflik

Membantu, Manajemen Konflik Kompromi, dan Manajemen Konflik

Mempersatukan.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pasangan suami dan istri yang telah

melangsungkan pernikahan secara resmi menurut agama maupun hukum dan

yang bertempat tinggal di tiga desa yang telah ditentukan oleh penulis yaitu

dusun Ngagul-agulan, Jetis Depok dan Ngaranan. Subjek yang akan dipakai

dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri yang memenuhi

persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Memiliki anak

Karena dengan adanya anak dimungkinkan bertambahnya konflik antara

suami dan istri.

2. Salah satu pasangan harus memiliki pekerjaan tetap.

Karena dengan adanya pekerjaan maka tangung jawab akan bertambah

bukan hanya dalam keluarga, tetapi juga di tempat kerja. Bertambahnya

tangung jawab memungkinkan timbulnya konflik.

3. Latar belakang pendidikan

Karena lokasi pengambilan sampel adalah masyarakat yang tinggal di

(59)

maka di sini akan dipilih subjek yang memiliki latar belakang pendidikan

SMP, SLTA, PT atau yang sederajat.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini

mencakup dua hal yaitu: identitas diri subjek, serta skala manajemen konflik

yang dipakai suami istri dalam menghadapi konflik yang ada tersebut.

Identitas diri subjek didapat dari lembar daftar isian yang diberikan

kepada subjek bersamaan dengan dibagikannya skala manajemen konflik.

Adapun isi dari lembar identitas diri adalah untuk mengetahui nama, jenis

kelamin, jumlah anak, latar belakang pendidikan, dan pekerjaan.

Skala merupakan salah satu alat ukur psikologis yang lebih banyak

dipakai untuk mengukur aspek afektif (Azwar, 2002). Skala berupa pernyataan

atau pertanyaan yang tidak langsung mengukur atribut yang hendak diukur,

melainkan mengungkap indikator perilaku atribut yang bersangkutan.

Sedangkan respon subjek untuk suatu skala tidak diklasifikasiksan sebagai

jawaban salah atau benar. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan

secara sungguh-sungguh, hanya saja jawaban yang berbeda akan

diinterpretasikan berbeda pula.

Dalam penelitian ini alat pengumpul datanya berupa skala manajemen

konflik. Skala ini terdiri dari 100 item manajemen konflik. Item-itemnya

berupa pernyataan yang di dalamnya terdapat 50 item favorable dan 50 item

lagi unfavorable. Tiap-tiap gaya manajemen konflik yaitu Menghindar,

(60)

masing-masing 20 item (10 favorabel dan 10 unfavorabel). Skala ini menggunakan 4

alternatif jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS),

Sangat Tidak Setuju (STS). Pemberian skor yang digunakan adalah sebagai

berikut: untuk item yang favorable, penilaian bergerak dari angka empat

sampai dengan angka satu. Jawaban SS= 4, S= 3, TS= 2, STS=1. Sedangkan

untuk pernyataan yang unfavorable maka sebaliknya, penilaian bergerak dari

angka satu ke angka empat, SS= 1, S=2, TS= 3, STS=4. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1

Blue Print Skala Manajemen konflik

No Komponen Jumlah

Item

%

1 Gaya Manajemen Konfik Menghidar

 Tidak menempatkan nilai pada diri sendiri dan orang lain.

 Menghindar dari tanggung jawab, lari dari masalah yang dihadapi.

20 20

2 Gaya Manajemen Konflik Domin

Gambar

Tabel 1Blue Print Skala Manajemen konflik
Tabel. 2Spesifikasi Skala Manajemen Konflik
Tabel 3Spesifikasi Skala Manajemen Konflik Uji Coba
Tabel 5
+4

Referensi

Dokumen terkait

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah