PERBEDAAN MANAJEMEN KONFLIK
SUAMI DAN ISTRI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Cisilia Asti Kurniasari
NIM : 009114161
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK:
Bunda Maria dan Putera-Nya terkasih Yesus Kristus
Bapak Fx. Sudarto dan Ibu E. Parinah
Mbok Uwo dan Pak Uwo di atas sana
Mas Danarku
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Agustus 2007
Penulis,
MOTTO
“Bersukacitalah dalam
pengharapan, sabarlah dalam
kesesakan, dan bertekunlah dalam
doa…”
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan manajemen
konflik antara suami dan istri. Dalam penelitian ini ada lima gaya manajemen
konflik yaitu Menghindar, Dominasi, Membantu, Kompromi dan
Mempersatukan.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah suami dan istri, sedangkan
manajemen konflik berfungsi sebagai variable tergantung. Subjek penelitian ini
adalah 45 pasang suami istri yang tinggal di dusun Ngagul-agulan, Ngaranan,
Jetis Depok. Subjek penelitian diperoleh dengan teknik purposive random
sampling.Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala manajemen
konflik. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam
penelitian ini adalah“ Uji t Independent Sample t-test.”
Hasil penelitian untuk masing-masing gaya manajemen konflik adalah
sebagai berikut: Gaya Manajemen Konflik Menghindar, didapat t hasil 6.843 {df:
88; sig 2 tailed < α (0.05)}, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan gaya
manajemen konflik Menghindar antara suami dan istri. Gaya Manajemen Konflik
Dominasi diperoleh t hasil 6.590{df: 87.485; sig 2 tailed< α (0.05)}, maka dapat
dikatakan bahwa ada perbedaan gaya manajemen konflik Dominasi suami dan
istri. Gaya Manajemen Konflik Membantu diperoleh t hasil 3.230 {df: 68.671; sig
2 tailed <α(0.05)}, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan gaya manajemen
konflik Membantu suami dan istri. Gaya Manajemen Konflik Kompromi
diperoleh t hasil -0.263{df: 79.283; sig 2 tailed > α (0.05), maka dapat dikatakan
bahwa tidak ada perbedaan gaya manajemen konflik Kompromi antara suami dan
istri. Gaya Manajemen Konflik Mempersatukan diperoleh t hasil sebesar -0.382
{df: 76.596; sig 2 tailed > α (0.05), maka dapat dikatakan tidak ada perbedaan
ABSTRACT
This research aimed to explore the difference of conflict management
possessed by husbands and wifes. There were five styles of conflict management
found in this research, namely avoiding, dominating, accomodating,
compromising, and integrating.
The independent variable of the research appeared to be the role of father
and mother, whereas the conflict management functioned as the dependent
variable. The research subjects were the couples who live in Ngagul-agulan,
Ngaranan, Jetis Depok. The researcher employed “purposive random sampling”
in order to choose the subjects. The data gathering was conducted using the
conflict management scale. Furthermore, the researcher made use of the
“independent sample t-test”analysis technique to test the hypothesis.
The results of data analysis revealed there appeared the differences of
conflict management maintained husbands and wifes it was showed by the t-test.
The details of each conflict management were as follows: the t result of the
avoiding conflict management were 6.843 {df: 88; sig 2 tailed < α (0.05)}. It
could be concluded that the conflict management between husbands and wifes
was different. The t results of the dominating conflict management were 6.590{df:
87.485; sig 2 tailed< α (0.05). This results showed that the dominating conflict
management between husbands and wifes was different. The t results of helping
conflict management were 3.230 {df: 68.671; sig 2 tailed < α (0.05)}, showing
that the helping conflict management between husbands and wifes was different.
The t results ofcompromising conflict managementwere -0.263{df: 79.283; sig 2
tailed > α (0.05), revealing that the difference of the compromising conflict
management was not obvious. The t results of integrating conflict management
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan rahmat,
kasih dan berkat-Nya kepada penulis. Atas segala kehendak-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudulPERBEDAAN MANAJEMEN KONFLIK SUAMI DAN ISTRI.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis banyak
sekali mendapat masukan, bimbingan, saran serta bantuan dari berbagi pihak.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Pertama-tama terimakasih pada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria
tercinta. Tanpa rahmat serta penyertaan dari Bunda dan Putra terkasih-Nya saya
yakin skripsi ini tidak akan selesai sampai detik ini. Karena Bunda jugalah saya
menyadari bahwa kekuatan doa itu benar-benar nyata.
Bpk. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Juga tak lupa penulis mengucapkan terimakasih
kepadaBpk. Drs. H. Wahyudi, M.Si.selaku dosen pembimbing sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah memberikan masukan, saran, serta
bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Mohon maaf jika
saya sering membuat bapak jengkel karena kebodohan saya.Terimakasih bapak
tidak bosan melihat wajah dan skripsi saya selama hampir dua tahun ini.
Ibu A. Tanti Arini, S.Psi., M.Si dan Bapak C. Wijoyo Adinugroho
sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Ternyata pendadaran tidaklah sengeri
yang saya pikirkan.
Bapak Didik, Pak Agung, yang selalu menyediakan waktu bagi penulis berdiskusi masalah statistik. Makasih atas semua ilmu dan pengetahuan yang telah
diberikan pada penulis.
Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terimakasih atas segala ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan selama penulis
menyelesaikan kuliah.
Terimakasih kepada segenap Staff fakultas Psikologi, Mbak Nanik, Mas Gandung, yang selalu melayani administrasi dan memberikan informasi secara sabar selama penulis beajar di kampus ini.Mas “Muji Beckham”,makasih selalu membuat suasana laboratorium psikologi selalu ceria jadine gak terlalui
deg-degan waktu mau ngetes, makasih juga karena sama-sama fans Beckham, pokoke
Beckham forever! Pak Gie “Si hati malaikat” makasih pak atas kesabaran, senyum yang tak pernah lepas dari bibirmu, juga kebaikan hatimu, belum pernah
saya berjumpa seseorang seperti bapak.
Bapak. Fx. Sudarto dan Ibu E. Parinah, orang tuaku tercinta. Terimakasih atas kesabaran, cinta, dan semangat yang tak henti-hentinya bagi
penulis dalam mengerjakan skripsi ini. “Maturnuwun donganipun kagem ingkang putro.” Skripsi ini hasil dari doa-doa bapak dan ibu, maaf skripsinya lama banget. Saya bangga bisa menjadi salah satu angota keluarga Sudarto,
Masyarakat Dusun Ngaranan, Jetis Depok, dan Ngagul-Agulan
penelitian yang sangat berguna bagi penulis guna menyelesaikan skripsi ini. Maaf
tidak bisa memberikan sesuatu kecuali kata terimakasih ini.
Untuk adekku Yohanes Bayu “Kondus” Ade Wijaya, makasih selalu menyemangati mbak dengan segala ejekkannya. Justru karena itulah mbak
menjadi semangat lagi mengerjakan skripsi. Tak lupa juga penulis mengucapkan
terimakasih kepada “Pak Uwo” dan “Mbok Uwo” yang tidak sempat melihat penulis menyelesaikan skripsi ini, Asti yakin di atas sana selalu ada doa untuk
cucumu ini.
Saudara-saudaraku tercinta Tiwik “Cempluk” Hayuningtyas, Aan “Onthul”Vendy Purnomo, Ayu “Rintus” Arinta Sari, Rina Bathari, Mayang “ Cape deh”, makasih selalu menyemangati mbak Asti, menghibur ketika mbak sedang sedih dengan canda dan kekonyolan kalian, hanya itu yang kadang bisa
membuatku tertawa. Setiap hari kalian telah memberikan nuansa baru dalam
hidupku.
Bulik Sat dan Om Pri makasih selalu menolong dan membantu keluargaku setiap kali kami mengalami cobaan dan kesusahan. Makasih juga
selalu mengingatkanku untuk selalu meneruskan skripsi ini, jangan sampai
menyerah.
Teman-teman kuliahku Aini, Astri, Ety, Mbak Diyan, Nina, Diana, kebersamaan, keceriaan, kesedihan yang telah kita lewati bersama di kampus
tercinta ini moga tidak akan kita lupakan sampai tua. Terimakasih sudah menjadi
tempat curhat, tempat bertanya. Satu lagi sahabatku, teman seperjuangan, senasib
Rekan-rekan mudikaku Uci “Menthel”, Swanti “Conggros”, Mbak Tituk, Ningrum, Mbolin, Dayati, mas Iwang “Bladu”, Mardis “Sreet”,dalam Yesus kita berkarya. Makasih ya selalu menemani, memberikan semangat, ngajak
kumpul-kumpul pas aku lagi stres mengerjakan sksripsi. Asti dah selesai ngerjain
skripsinya jadi besok bisa piknik-piknik lagi.
Untuk “Joko” makasih doa, dukungan dan bantuannya. Maaf mbak Asti cuma bisa buat ade repot. Makasih juga atas persaudaraan ini, mungkin hanya
segelintir orang yang bisa memahami Juga buat “Codot” makasih untuk jasa pengetikannya.
Terakhir untuk “Mas Danar” yang selalu hadir saat tangis dan tawaku, selalu setia menyertaiku, mengantar dan menjemputku kuliah, yang tak
henti-hentinya menyemangatiku untuk tidak menyerah dalam mengerjakan skripsi ini.
Hadirmu membuat hidupku semakin terang dan cerah Terimakasih atas segala
cinta dan kasih sayang, perhatian serta dukungannya, dan tetaplah menjadi
bintang dalam hidupku.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis menantikan saran dan
kritik dari semua pihak yang bersifat membangun. Akhir kata, penulis berharap
semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Yogyakarta, Juli 2007
DAFTAR TABEL
1. Blue Print Skala Manajemen Konflik………..………44
2. Table Spesifikasi Manajemen Konflik……….…...……45
3. Tabel Spesifikasi Skala Manajemen Konflik Uji Coba……..….……51
4. Tabel Spesifikasi Skala Manajemen Konflik Penelitian……...…….51
5. Tabel Uji Reliabilitas………...…52
6. Ringkasan One Sample Kolmogorof Smirnov Test…………...….54
7. Ringkasan Levene Test………...…….56
8. Ringkasan Uji Hipotesis………..……58
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………..………..….………...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….…..……..…....ii
HALAMAN PENGESAHAN……….…...…….…...iii
HALAMAN PERSEMBAHAN...………...……….….……...iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...v
HALAMAN MOTTO...……….………...vi
ABSTRAK...vii
ABSTRACK……….………....viii
KATA PENGANTAR……..………...………...ix
DAFTAR TABEL………..………...…....xiii
DAFTAR ISI...xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan ...………...1
B. Rumusan Masalah..……….………....8
C. Tujuan Penelitian..……….……….8
D. Manfaat Penelitian...……….8
BAB II LANDASAN TEORI A. Manajemen Konflik...9
1. Konflik...9
b. Jenis-jenis Konflik... 11
c. Konflik suami dan Istri...15
2. Manajemen Konflik...26
a. Pengertian Manajemen Konflik... 26
b. Gaya-gaya Manajemen Konflik...27
B. Perbedaan Manajemen Konflik Suami dan Istri...33
C. Hipotesa...39
BAB III METODOLIOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian...40
B. Identifikasi Variabel Penelitian...40
C. Definisi Operasional...41
D. Subjek Penelitian...42
E. Metode Pengumpulan Data...43
F. Validitas dan Reliabilitas...45
G. Metode Analisis Data...47
1. Uji Normalitas...47
2. Uji Homogenitas...48
3. Uji t(Independent Sample t Test)...48
BAB IV PENELITIAN A. Persiapan Penelitian...49
B. Uji Coba...50
D. Hasil Penelitian...52
1. Uji Reliabilitas...52
2. Uji Asumsi...52
a. Uji Normalitas...53
b. Uji Homogenitas...55
3. Uji Hipotesis...57
4. Hasil Penelitian...58
E. Pembahasan...60
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...72
B. Saran...72
DAFTAR PUSTAKA...74
LAMPIRAN...77
1. SKALA MANAJEMEN KONFLIK UJI COBA...78
2. SKALA MANAJEMEN KONFLIK PENELITIAN...79
3. RELIABILITAS...80
4. NORMALITAS...81
5. HOMOGENITAS DAN UJI-t...82
BAB I PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Perkawinan merupakan salah satu tahap kehidupan yang dilewati
manusia, meskipun tidak semua manusia merasakan tahap ini. Perkawinan
mempunyai arti yang sangat penting bagi manusia. Maka dari itu, sebagian
orang akan melakukan perkawinan guna melengkapi kehidupan pribadinya.
Perkawinan merupakan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang saling mengikatkan diri menjadi sepasang suami istri, dan
diharapkan mampu melahirkan keturunan.
Walgito (dalam Widjaja, 1986) menyebutkan bahwa perkawinan
merupakan bersatunya seorang pria dan wanita sebagai suami istri yang
bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam
perkawinan terkandung dua hal, yaitu ikatan lahir dan ikatan batin.
Individu sebagai seorang suami atau istri memasuki kehidupan yang
baru setelah menikah, dimana mereka membawa pandangan, pendapat, dan
kebiasaan sehari-hari yang berbeda. Pernikahan juga membawa suami dan
istri beralih dari hidup yang masih bergantung pada orang tua masing-masing
pada hidup yang mandiri, melepaskan diri dari ketergantungan itu dan
Suami dan istri mulai mengenal hak-hak dan kewajiban, misalnya
mereka harus memikirkan masalah keuangan, mencukupi kehidupan
sehari-hari, merawat dan mendidik anak nantinya, memberikan kasih sayang
terhadap pasangannya dan memperhatikan masalah hubungan sosial dengan
masyarakat sekitar.
Suami dan istri juga harus menyatukan perbedaan-perbedaan yang
mereka miliki, dan berusaha memahami pasangan masing-masing. Baik suami
maupun istri harus memahami bahwa tidak ada pasangan hidup yang
sempurna termasuk dirinya, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan
tersendiri.
Banyak persoalan yang harus dihadapai suami dan istri, seiring
dengan semakin lama usia perkawinan mereka, mulai dari tugas di tempat
kerja, kebutuhan rumah tangga, juga masalah-masalah yang timbul dalam
rumah tangga mereka. Meskipun telah banyak dilakukan persiapan secara
matang dan cukup mendalam pada saat perkenalan dengan masing-masing
pribadi, namun kadangkala juga tidak luput dari kesalahpahaman dan
pertengkaran, perbedaan-perbedaan kecil yang dapat menimbulkan konflik
dan permasalahan antara ayah dan ibu. Suami dan istri menjalankan tugas
dan kewajiban mereka bersama dan berinteraksi pada tempat yang sama
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terjadi kontak dan interaksi yang
intensif. Dengan adanya kontak dan interaksi yang intensif tersebut, maka
Konflik yang terjadi dalam pernikahan lebih besar jika dibanding
dengan konflik yang terjadi pada aspek kehidupan yang lain, karena
bidang-bidang persoalannya yang lebih mendalam meliputi perasaan, kesenangan,
kepercayaan, serta ditambah lagi masalah seks dengan segala tuntutan dan
liku-likunya.
Konflik yang terjadi antara suami dan istri bisa disebabkan oleh
banyak hal. Misalnya, seorang istri yang memutuskan untuk bekerja di luar
rumah, untuk menambah penghasilan keluarga atau karena berkeinginan
menjadi wanita karier. istri merasa bingung dalam membuat pilihan antara
menjadi ibu yang baik, yang memenuhi segala kebutuhan anak dan suami,
atau memfokuskan diri dengan pekerjaan dengan konsekuensi harus
mengesampingkan keluarganya. Hal semacam ini yang sering tidak dapat
dimengerti oleh seorang suami. Seorang suami akan merasa tersinggung,
karena ia merasa tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga sehingga
istrinya harus bekerja. Sebaliknya seorang suami mau tidak mau harus selalu
mengikuti perubahan yang terjadi di tempat ia bekerja agar dapat
mempertahankan jabatan dalam pekerjaan, sedangkan istri kurang mengalami
perubahan yang ada di luar rumah karena dia banyak menghabiskan
waktunya di rumah. Istri hanya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman di
sekitar rumah dan dengan anaknya. Dari sini akan terjadi
perbedaan-perbedaan dalam hal perkembangan hidup. Jika hal ini berlangsung
terus-menerus maka perbedaan akan semakin besar dan akhirnya menimbulkan
Dobos, Thomas dan Moore (1997) mengungkapkan beberapa hal
yang dapat menimbulkan konflik dalam perkawinan yaitu masalah keuangan,
mengurus anak, adanya perbedan gaya hidup, hubungan dengan teman,
masalah dengan mertua, masalah keagamaan dan masalah politik serta
masalah seks.
Konflik yang terjadi antara ayah dan ibu harus segera diselesaikan
secepat mungkin. Konflik jika hanya didiamkan saja atau tidak segera dicari
jalan keluarnya akan semakin berkembang. Konflik-konflik yang lain akan
muncul sebagai akibat dari konflik yang tidak terselesaikan tadi. Konflik
akan menjadi semakin kompleks dan semakin sulit untuk diselesaikan.
Suami dan istri yang tidak dapat menyelesaikan konflik dalam rumah
tangga mereka akan mengalami pertengkaran dan pertentangan yang serius
yang dapat mengganggu aktivitas mereka baik dalam rumah tangga maupun
di tempat mereka bekerja. Hubungan ayah dan ibu akan merenggang,
semakin menjauh dan sulit untuk dipersatukan lagi. Dampak negatif yang
paling buruk dari adanya konflik yang tidak terselesaikan antara ayah dan ibu
adalah terjadinya perceraian.
Jika perceraian terjadi, bukan hanya pasangan suami istri saja yang
merasakan dampaknya. Anak merupakan korban yang paling banyak
merasakan dampak dari adanya perceraian orang tua mereka (Baron &Byrne,
2005). Selain kekurangan kasih sayang, kurang diperhatikan, anak akan
merasa malu dan minder jika bersama teman-teman yang lain yang memiliki
Contoh adanya konflik dalam keluarga diungkapkan oleh Emil H.
Tambunan ( 2001). Disini diceritakan ada seorang suami yang telah menikah
selama sepuluh tahun, dan telah dikaruniai tiga orang anak. Namun dalam
waktu 10 tahun terakhir dia tidak bisa menikmati arti sebenarnya
berumah-tangga. Dia merasa bahwa istrinya sangat cerewet dan senang mengkritik.
Istrinya akan agresif jika tidak dituruti, dan sering mempermalukan suami di
depan umum, dan mudah tersinggung. Masalah-masalah kecil tersebut,
karena didiamkan oleh sang suami dan selalu mengalah untuk sang istri
selama sepuluh tahun ini menjadi masalah yang besar. Dan bapak tersebut
memutuskan untuk bercerai karena sudah tidak tahan lagi dengan perilaku
istrinya.
Contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa setiap konflik yang
terjadi antara ayah dan ibu harus segera diselesaikan agar jangan sampai
terjadi perceraian. Untuk dapat mengolah, mengatasi, ataupun
menyelesaikan konflik dibutuhkan suatu manajemen konflik.
Manajemen konflik sendiri dapat diartikan sebagai sebuah tugas
mengolah permasalahan yang timbul akibat adanya salah paham atau
perselisihan yang dilakukan individu atau kelompok (Tjosvold dan Tjosvold,
1995). Manajemen konflik disamakan dengan resolusi konflik atau cara
penanggulangan konflik. Selain itu sering pula disebut cara mengatasi
pertentangan dan perselisihan yang timbul baik dalam diri sendiri , antar
individu maupun antar kelompok (Robbins, 2000). Apabila konflik dapat
persetujuan, sedangkan manajemen konflik yang buruk dapat membuat salah
paham dan hubungan makin memburuk.
Manajemen konflik, dalam penelitian ini, adalah strategi yang
dimiliki ayah atau ibu untuk mengelola, mengatur masalah, mencegah,
mengatasi, ataupun menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka,
sehingga tidak mengakibatkan gangguan keseimbangan dalam menjalankan
rumah tangga mereka. Konflik yang dimaksud adalah konflik interpersonal
dalam menjalankan peran ayah dan peran ibu dalam keluarga. Di sini,
manajemen konflik digunakan untuk menjaga hubungan baik dengan orang
lain. Hal ini berarti seorang individu membutuhkan kemampuan berinteraksi
secara efektif dengan orang lain di masa depan. Seberapa penting tujuan
pribadi bagi seseorang, dan seberapa penting hubungan baik itu bagi
seseorang hal ini akan terlihat dari cara mereka bereaksi dalam melaksanakan
strategi manajemen konflik (Johnson, 1981).
Belajar menggunakan strategi manajemen konflik biasanya dimulai
ketika anak-anak, dan berfungsi secara otomatis. Biasanya seseorang tidak
merancang bagaimana kita bereaksi ketika sedang menghadapi konflik, kita
melakukan strategi menghadapi konflik sealamiah mungkin (Chandra, 2000).
Reaksi setiap individu berbeda dalam menghadapi setiap
permasalahan, karena satu gaya manajemen konflik belum tentu cocok untuk
semua situasi, demikian juga dalam perkawinan. Walaupun seseorang
akan mempunyai kecenderungan untuk menggunakan satu gaya manajemen
konflik tertentu (Steven A. Beebe, 1996).
Reaksi individu dalam menghadapi konflik dalam perkawinan juga
berbeda. Bodenmann (dalam Baron, 1998) mengatakan bahwa seorang
laki-laki cenderung lebih menghindari berbicara mengenai konflik daripada
wanita. Ayah sebagai seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab dan
mempunyai kekuasaan dalam memutuskan sesuatu dalam keluarga membuat
ayah lebih sering melakukan tindak kekerasan, baik melalui kata-kata atau
tindakan, dibanding seorang ibu. Seorang wanita cenderung lebih
memperhatikan dan menjaga hubungan baik ketika sedang ada konflik,
sedangkan laki-laki cenderung memperhatikan aturan-aturan yang berlaku
hingga tercapainya kesepakatan bersama (David A Decenzo, 2002)
Thomas Lavins (1987) meneliti manajemen konflik pada pasangan
suami istri, menemukan perbedaan gender dalam hal memahami perilaku
pasangannnya. Suami dapat menolak permintaan istri untuk berubah,
sedangkan istri harus menuruti permintaan suami untuk berubah.
Bermacam-macam konflik antara ayah dan ibu serta pentingnya
menggunakan manajemen konflik, membuat penulis ingin mengetahui
bagaimana manajemen konflik yang digunakan ayah dan ibu, dimana
masalah yang mereka hadapi sangat bervariasi dan lebih mudah muncul
karena ayah dan ibu melakukan interaksi yang intensif setiap harinya
B. Perumusan Masalah
Apakah ada perbedaan manajemen konflik antara suami dan istri?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris mengenai
ada tidaknya perbedaan gaya manajemen konflik antara suami dan istri.
D. Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat yang hendak dicapai dari adanya penelitian ini:
1. Manfaat Teoritis
Memberikan wacana tambahan bagi bidang psikologi, khususnya
psikologi keluarga, sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
bahan literatur untuk penelitian yang lebih relevan di masa yang akan
datang.
2. Manfaat Praktis
Sebagai masukan bagi pasangan suami dan istri, agar lebih dapat
memahami pasangan mereka, terutama dalam menggunakan manajemen
konflik. Agar suami dan istri dapat menggunakan suatu gaya manajemen
konflik yang tepat ketika terjadi konflik, sehingga keharmonisan keluarga
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Manajemen Konflik 1. Konflik
a. Pengertian konflik
Konflik merupakan hal yang melekat dalam kehidupan
manusia. Setiap individu dalam kehidupannya selalu berperang dengan
konflik. Seiring jaman yang semakin maju, konflik akan sering terjadi
seiring dengan meningkatnya irama kehidupan sehari-hari dan kegiatan
dunia usaha yang berjalan semakin cepat.
Banyak sekali definisi yang dikemukakan para ahli mengenai
konflik. Menurut World Book Dictionary konflik adalah perkelahian,
perjuangan, peperangan, ketidaksetujuan, perselisihan, atau
pertengkaran. Konflik dapat berujud konflik kecil seperti
ketidaksetujuan tapi juga dapat berupa konflik besar seperti
peperangan. Kata konflik sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu
Conflictusyang berarti″menyerang bersama-sama dengan kekuatan″. Watkins (dalam Chandra, 1992) berpendapat bahwa konflik
dapat terjadi bila terdapat dua hal. Pertama konflik bisa terjadi bila
sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan
praktis/ operasional dapat saling menghambat. Secara potensial,
praktis operasional, artinya kemampuan tadi bisa diwujudkan dan
berada dalam keadaan yang memungkinkan perwujudan secara mudah.
Artinya bila kedua pihak tidak dapat menghambat atau tidak melihat
pihak lain sebagai hambatan, maka konflik tidak akan terjadi. Beliau
juga mengungkapkan unsur-unsur yang selalu ada dalam setiap
konflik:
1) Adanya ketegangan yang diekspresikan.
2) Adanya sasaran atau tujuan atau pemenuhan kebutuhan yang
dilihat berbeda, atau yang sesungguhnya bertentangan.
3) Kecilnya kemungkinan untuk pemenuhan kebutuhan yang
dirasakan.
4) Adanya kemungkinan bahwa masing-masing pihak dapat
menghalangi pihak lain dalam pencapaian tujuannya.
5) Adanya saling ketergantungan.
Sementara Daniel Webster (dalam Peg Pickering, 2001)
mendefinisikan konflik sebagai persaingan atau pertentangan antara
pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain, pertentangan tersebut
meliputi pertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan
antarindividu, pertentangan kebutuhan, dorongan, keinginan ataupun
tuntutan. Hal senada juga diungkapkan Hardjana (1994) yang
mengemukakan bahwa konflik adalah perselisihan, pertentangan,
berlawanan dengan yang satunya sehingga salah satu atau keduanya
merasa terganggu.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
konflik adalah perselisihan, pertentangan yang terjadi karena
perbedaan persepsi, pertentangan antara dua pendapat, atau lebih yang
berkaitan dengan kebutuhan dan hambatan yang dialami baik dalam
proses penyesuaian diri dengan perubahan yang terjadi serta adaptasi
terhadap tuntutan lingkungan yang tidak selalu dapat dilaksanakan
dengan mudah.
b. Jenis-Jenis Konflik
Konflik bisa terjadi kapanpun, dimanapun dan dengan
siapapun, oleh karena itu konflik yang terjadi dalam masyarakat
banyak jenisnya. Banyak ahli dari bidang manajemen, psikologi
maupun sosiologi mengidentifikasikan konflik menurut jenis-jenisnya.
Pickering (2000) mengkategorikan konflik menjadi empat jenis konflik
yaitu:
1) Konflik Diri
Konflik diri adalah gangguan emosi yang terjadi dalam diri
seseorang karena ia dituntut menyelesaiakan suatu pekerjaan atau
memenuhi suatu harapan sementara pengalaman, minat, tujuan,
dan tata nilainya tidak sanggup memenuhi tuntutan, sehingga hal
ini menjadi beban baginya. Konflik inipun bisa terjadi apabila
satu sama lain. Konfik diri juga mencerminkan perbedaan antara
yang diinginkan seseorang dengan apa yang dilakukan untuk
mewujudkan perilaku itu.
2) Konflik antar Individu
Konflik antar individu adalah konflik yang terjadi antara dua
individu. Setiap orang mempunyai empat kebutuhan dasar
psikologis yang mana bisa mencetuskan konflik bila tidak
terpenuhi. Keempat kebutuhan dasar psikologis tersebut adalah
sebagai berikut keinginan untuk dihargai, diperlakukan sebagai
manusia, keinginan memegang kendali, keinginan memiliki harga
diri yang tinggi, dan keinginan untuk konsisten. Bila keinginan ini
tidak terpenuhi maka orang akan cenderung untuk memberikan
reaksi membalas, menguasai, mengucilkan diri, atau mengajak
bekerjasama.
3) Konflik dalam Kelompok
Konflik dalam kelompok adalah konflik yang terjadi antara
individu dalam suatu kelompok ( tim, departemen, perusahaan, dan
sebagainya).
4) Konflik antar Kelompok
Konflik antar kelompok melibatkan lebih dari satu kelompok
(beberapa tim, departemen,organisasi, dsb).
William Hendricks (2004) menggolongkan konflik menjadi dua
interpersonal masih dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu konflik
intragroup dan intergroup. Berikut ini penjelasan dari masing-masing
konflik:
1) Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi bagi
individu ketika keahlian, kepentingan, tujuan atau nilai-nilai
digelar untuk memenuhi tugas-tugas atau pengharapan yang jauh
dari menyenangkan.
2) Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal lebih banyak diasosiasikan dengan konflik
yang terjadi antara satu orang dengan orang lain, namun juga bisa
terjadi antara dua orang atau lebih. Konflik interpersonal dibagi ke
dalam dua group, yaitu:
a) Konflik Intragroup adalah konflik yang berada dalam
batasan kelompok kecil.
b) Konflik Intergroup adalah konflik yang menjadi global dan
mencakup beberapa kelompok.
Worchel dan Cooper (1979) juga berpendapat bahwa konflik
dapat dibedakan ke dalam dua bagian besar yaitu: konflik intrapersonal
dan konflik interpersonal. Konflik intrapersonal timbul akibat
ketidaksesuaian antara apa yang diinginkan dengan perkiraan
sebelumnya. Sedangkan konflik interpersonal adalah konflik yang
Konflik yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah konflik
antar individu (interpersonal) yaitu suami dan istri dalam menjalani
kehidupan berkeluarga. Konflik antar pribadi biasanya didasari bahwa
setiap individu itu mempunyai perbedaan dan keunikan, di mana dapat
ditarik kesimpulan bahwa tidak ada dua orang individu yang sama
persis di dalam aspek-aspek jasmaniah maupun rohaniah (Wahyudi,
2005).
Demikian pula dengan pasangan ayah dan ibu, kebersamaan
mereka memungkinkan mereka bergaul secara dekat dan erat sekali,
hal ini memungkinkan terjadinya konflik di antara mereka. Bilamana
dua manusia bergaul secara erat dalam relasi pernikahan maka
ketergantungan dan perselisihan itu pasti terjadi. Hal ini bisa terjadi
karena manusia memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang
lainnya, antara lain dalam hal keinginan, perasaan, pendapat, sikap,
latar belakang, sudut pandang, nilai-nilai serta interaksi kepribadian.
Konflik dalam keluarga terjadi jika salah satu anggota keluarga
(dalam penelitian ini suami dan istri) tidak setuju dengan
kejadian-kejadian dan situasi dalam hidup mereka. Salah satu dari mereka
mungkin tidak setuju dengan perilaku yang layak dan harus
dimunculkan pasangannya ketika menghadapi situasi tertentu, siapa
yang harus melakukan tugas keluarga, bagaimana pendapatan dalam
keluarga harus dibagi, atau bagaimana sebuah keputusan harus dibuat.
salah satu atau keduanya merasakan adanya suatu perbedaan diantara
mereka.
c. Konflik Suami dan Istri
Perkawinan merupakan salah satu tahap dalam kehidupan
manusia yang sangat dinanti-nantikan. Setiap manusia dewasa dan
mempunyai pasangan akan melangsungkan perkawinan. Perkawinan
menurut Walgito (1984) adalah bersatunya seorang pria dan wanita
sebagai suami istri untuk membentuk sebuah keluarga.
Gunarsa (1990) menyatakan bahwa perkawinan merupakan
penyatuan antara dua orang menjadi satu kesatuan yang saling
merindukan, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan,
saling melayani, yang kesemuanya diwujudkan dalam kehidupan yang
dinikmati bersama.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
perkawinan adalah bersatunya dua orang menjadi satu kesatuan guna
menjadi sebuah keluarga dimana terdapat hak-hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi guna mencapai kehidupan keluarga yang rukun dan
bahagia.
Perkawinan berusaha menyatukan perbedaan antara dua
individu yang melangsungkan perkawinan. Perbedaan tersebut antara
lain dalam hal pandangan, pendapat, dan kebiasaan, sifat, latar
Perbedaan-perbedaan yang mereka bawa sebelum menikah
biasanya akan berkembang setelah mereka menjadi suami istri. Banyak
sekali perbedaan-perbedaan antara suami dan istri dalam menjalankan
keluarga mereka. Peplau & Gordon (1985) mengatakan bahwa istri
secara konsisten lebih terbuka pada pasangan mereka daripada suami.
Perempuan cenderung lebih mengekspresikan kelembutan, ketakutan,
dan kesedihan mereka daripada suami yang menganggap bahwa
mengendalikan kemarahan merupakan orientasi yang umum.
Kepribadian seorang laki-laki dan perempuan juga berbeda
(Gunarsa, 2001). Kepribadian perempuan merupakan kesatuan antara
aspek emosi, rasio dan suasana hati. Hal ini terlihat dalam hal
pengambilan keputusan, wanita mengambil keputusan tanpa didahului
pertimbangan dan pemikiran yang masak, namun wanita berhati
lembut dan tenang yang mendorongnya rela menderita dan berkorban
untuk orang yang dia cintai.
Laki-laki sesuai dengan kepribadiannya memiliki kewibawaan,
sikap dan dan pribadinya mempunyai batasan yang jelas antara pikiran,
rasio, emosi, dan suasana hati. Laki-laki lebih mementingkan sesuatu
yang dapat diterima oleh akal daripada maslah yang tidak nyata.
Dalam mengerjakan sesuatu laki-laki terlihat lebih agresif, aktif,
namun kurang memiliki kesabaran.
Pria dalam setiap kegiatannya lebih agresif, aktif dan kurang
emosional pasangan mereka, serta tidak mengekspresikan perasaan dan
pikiran mereka sendiri. Sementara wanita memiliki kelembutan
perasaan, ketenagan, serta kerelaan untuk mengorbankan sesuatu bagi
orang yang dia cintai.
Norman Wright (2004) berpendapat bahwa pada dasarnya
emosi pria dan wanita tidak berbeda. Yang membedakan adalah cara
pengungkapannya. Pria sangat mengandalkan kemampuan kognitif dan
logika, sedangkan wanita sangat mementingkan hubungan dengan
orang lain dan berorientasi pada pasangan.
Tugas dan tanggung jawab yang dijalankan suami dan istri
dalam kehidupan rumah tangga juga berbeda pada umumnya peranan
ayah dan peranan ibu sudah diatur sedemikian rupa sehingga ibu lebih
banyak berhubungan dengan anak dan mempunyai kesibukan rumah
tangga di daam rumah. Ayah sebaliknya, lebih banyak melakukan
kegiatan di luar rumah.
Ayah di dalam keluarga mempunyai peran sendiri, diantaranya
adalah:
1) Pencari nafkah yang bertugas menyediakan kebutuhan keluarga
secara finansial.
2) Sebagai pendidik.
3) Sebagai pelindung dalam keluarga.
4) Sebagai sahabat, yaitu pemecah masalah yang dapat bersikap
Peran ayah yang utama sebagai pencari nafkah keluarga sudah
terkondisi dari jaman dahulu. Ayah mempunyai tanggung jawab terbesar
untuk mencukupi segala kebutuhan keluarga, terlebih kebutuhan secara
finansial. Karena itu ayah biasanya bekerja di luar rumah sehingga kurang
mempunyai waktu bersama-sama dengan keluarganya. Waktunya banyak
dihabiskan di kantor tempat ia bekerja (Gunarsa, 2001). Kaum ibu secara
prinsipal bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anaknya. Ibu lebih
sering berada di rumah daripada ayah dengan perbandingan 9 dengan 3,2
jam per hari (Singgih D Gunarsa, Ny Singgih D Gunarsa, 2001).
Sifat seorang ayah yang biasanya tegas, berwibawa dan
bertanggung jawab terhadap keluarganya, akan menjadi contoh yang baik
bagi anak-anaknya. Ayah juga dapat mengatur dan mengarahkan aktivitas
anak. Misalnya menyadarkan anak bagaimana menghadapi lingkungannya
dan situasi di luar rumah. Ia memberi dorongan, membiarkan anak
mengenal lebih banyak, melangkah lebih jauh, menyediakan perlengkapan
permainan yang menarik, mengajar mereka membaca, mengajak anak
untuk memperhatikan kejadian-kejadian dan hal-hal menarik yang terjadi
di luar rumah.
Sebagai kepala keluarga, seorang ayah harus bisa melindungi
seluruh anggota keluarganya. Ayah merupakan orang pertama yang harus
menghadapi segala ancaman yang mengarah pada keluarga. Ia harus
menciptakan suasana aman dan nyaman bagi keluarganya (Linda Brannon,
Ayah juga berperan sebagai sahabat bagi anak-anaknya. Ayah
dapat berdiskusi dan berusaha memberikan nasihat-nasihat serta jalan
keluar untuk masalah yang sedang dihadapi. Anak biasanya akan
menceritakan pengalaman-pengalaman yang ia rasakan sepanjang hari,
dan ayah harus menjadi pendengar yang baik ketika anaknya sedang
bercerita (Singgih D Gunarsa, 1994).
Dalam kehidupan sehari-harinya perempuan sebagai anggota
masyarakat mempunyai beberapa peran sebagai berikut: yang pertama
perempuan sebagai anggota masyarakat mempunyai peran, pekerjaan, dan
karier. Yang kedua perempuan sebagai anggota keluarga yaitu menjadi
anggota keluarga, istri, dan menjadi ibu.
Perempuan sebagai anggota suatu keluarga mempunyai peran
ganda menurut Betty Friedan (dalam Singgih D Gunarsa, 2001) yaitu:
1) Perempuan sebagai anggota keluarga: memberi inspirasi tentang
gambaran arti hidup dan peranannya sebagai perempuan dan anggota
keluarga.
2) Perempuan sebagai istri: membantu suami dalam menentukan
nilai-nilai yang akan menjadi tujuan hidup yang mewarnai hidup sehari-hari
dan keluarga:
a) Menjadi kekasih suami, menjadi pengabdi dalam membantu
b) Menjadi pendamping suami, bila perlu membina relasi-relasi
dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial, menghadapi,
mengatasi masalah baik diatasi sendiri maupun bersama-sama.
c) Menjadi manajer keuangan yang dilimpahkan oleh suami.
Suami biasanya akan menyerahkan urusan keuangan pada istri
untuk mengatur keuangan dalam keluarga, karena perempuan
dianggap lebih teliti dan pandai dalam mengatur keuangan.
3) Perempuan sebagai pencari nafkah.
Perempuan untuk kepuasan diri bisa menunjukkan kemampuannya
dengan bekerja. Perempuan yang berambisi tinggi, sesudah menikah
bisa juga ingin tetap mengejar karier. Dalam kenyataannya, ada
perempuan yang perlu bekerja di luar atau di dalam rumah untuk
meringankan beban suami dan menambah keuangan dalam keluarga,
atau untuk mengamalkan kemampuannya setelah mempelajari sesuatu
yang memberi kepuasan tersendiri, sambil menambah penghasilan
keluarga.
4) Perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga
Sebagai ibu rumah tangga perempuan mengatur seluruh kehidupan dan
kelancaran rumah tangga, selain itu juga mengatur dan mengusahakan
suasana rumah yang nyaman.
5) Perempuan sebagai ibu bagi anak.
a) Menjadi model tingkah laku anak yang mudah diamati dan
b) Menjadi pendidik: memberi pengarahan, dorongan dan
pertimbangan bagi perbuatan-perbuatan anak untuk membentuk
perilaku.
c) Menjadi konsultan: memberi nasihat, pertimbangan,
pengarahan, dan bimbingan.
d) Menjadi sumber informasi: memberikan pengetahuan,
pengertian dan penerangan.
Sebagai sepasang suami istri, keduanya harus dapat
mengesampingkan perbedaan-perbedaan tersebut dan lebih
memperhatikan kesatuan yang harmonis yang meliputi kesatuan dalam
sikap dan pandangan dalam menjalankan rumah tangga mereka.
Hornby (dalam Walgito,1984) menyatakan pria dan perempuan
disatukan dalam sebuah pernikahan dan mendapatkan status baru
sebagai suami dan istri. Pasangan suami dan istri tinggal bersama dan
keduanya saling mempengaruhi dan bergantung satu sama lain.
Kebersamaan ini memungkinkan mereka begaul secara dekat dan erat
sekali, sekurang-kurangnya dua belas sampai lima belas jam sehari.
Bilamana dua manusia harus bergaul secara erat seperti dalam relasi
pernikahan maka ketergantungan dan perselisihan itu pasti terjadi. Hal
ini disebabkan manusia berbeda satu dan lainnya, antara lain hal
keinginan, perasaan, pendapat, sikap latar belakang, sudut pandang,
nilai-nilai, kebutuhan interaksi, kepribadian. Keharusan untuk bergaul
melakukan interaksi dan kontak yang intensif. Dengan demikian
konflik mengenai berbagai masalah dalam kehidupan mereka relatif
mudah terjadi. Jika dua orang hidup bersama-sama sebagai pasangan,
maka konflik akan meningkat atau ada kebutuhan-kebutuhan yang
tidak terpenuhi. Akibatnya pasangan akan kecewa, frustasi dan merasa
tidak puas sehingga dapat menyulut pertengkaran.
Konflik dalam keluarga terjadi jika salah satu anggota keluarga
( dalam penelitian ini suami dan istri) tidak setuju dengan
kejadian-kejadian dan situasi dalam hidup mereka. Salah satu dari mereka
mungkin tidak setuju dengan perilaku yang layak, yang harus
dimunculkan pasangannya ketika menghadapi situasi tertentu.
Misalnya siapa yang harus melakukan tugas keluarga,bagaimana
pendapatan dalam keluarga harus diatur, atau bagaimana sebuah
keputusan harus dibuat
Adapun masalah-masalah yang sering timbul antara suami istri
dalam sebuah keluarga biasanya berhubungan dengan masalah pribadi
suami istri yang meliputi masa lampau mereka dan masa depan
selanjutnya, masalah pribadi suami istri dengan ipar dan mertua,
masalah nafkah serta pekerjaan ( Singgih D Gunarsa, 1994).
Robby I Chandra (1992) berpendapat bahwa faktor penyebab
timbulnya masalah dalam keluarga yang menyebabkan kegoncangan
tua dari kedua belah pihak suami atau istri. Adapun timbulnya
ketegangan yang bersumber dari suami istri antara lain:
1) Kurangnya saling pengertian antar suami istri karena kurangnya
kemauan untuk mempelajari diri sendiri dan orang lain.
2) Kurang terbuka mengenai masalah tersembunyi yang belum
terselesaikan.
3) Adanya kecurigaan baik dari pemakaian uang, maupun dari segi
hubungan intim dengan orang luar.
4) Ketidakmauan suami untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan
rohani keluarga.
5) Ketidakmampuan suami membimbing istri dan anggota keluarga
karena sibuk dalam tugasnya sehingga istri berperan dalam rumah
tangga, atau suami pendiam dan istri sebaliknya.
6) Ketidakpuasan suami terhadap pelayanan istri, misalnya dalam hal
penyediaan makanan, kurang mengetahui selera suami, atau dalam
hal pelayanan seks.
7) Ketidakpuasan suami terhadap kemampuan istri. Misalnya
pendapatan suami lebih tinggi sehingga dia akan cenderung
menguasai atau menggurui, istri bersifat boros dalam pembelanjaan
sehingga gaji defisit.
8) Ketidakpuasan istri terhadap pelayanan suami. Suami terlalu
Apabila dikelompokkan segala macam masalah antara suami
dan istri dalam sebuah keluarga tadi dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1) Masalah pribadi suami istri yang menyangkut masa lampau mereka
dan masa depan yang akan dijalani mereka.
2) Masalah pribadi suami istri yang memasuki lingkungan keluarga
baru yaitu bersama dengan ipar, kakak, adik, dan lain-lain.
3) Masalah yang berhubungan dengan keluarga baru dan rencananya
akan dibentuk, meliputi hari depan, pendidikan dan perkembangan
anak.
Dalam survey internasional Gurin, dkk (dalam Sears dkk,
1992) 45% orang yang sudah menikah mengatakan bahwa dalam
kehidupan bersama akan muncul berbagai masalah. Memang tidak
dapat dipungkiri bahwa konflik akan selalu muncul pada hubungan
yang dirasa amat istimewa sekalipun. Selanjutnya dikemukakan bahwa
32% pasangan yang menilai pernikahan mereka sangat
membahagiakan melaporkan bahwa mereka juga pernah mengalami
pertentangan, oleh karena itu dapat dikatakan konflik merupakan hal
yang wajar terjadi dalam kehidupan pernikahan. Bahkan konflik yang
terjadi dalam kehidupan pernikahan lebih besar dibanding konflik yang
terjadi pada aspek kehidupan lain, karena bidang-bidang persoalannya
lebih mendalam meliputi perasaan,kesenangan, kepercayaan, serta
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik
yang terjadi pada pasangan suami istri merupakan hal yang wajar
karena mereka berinteraksi sehari-hari dan masing-masing manusia
mempunyai latar belakang, sudut pandang, nilai-nilai maupun
kebutuhan yang berbeda, yang dapat mengakibatkan perbedaan
persepsi, kegagalan dalam berkomunikasi, serta dapat menimbulkan
konflik pada pasangan suami istri.
Disamping itu juga sifat yang dibawa masing-masing baik
suami atau istri yang berbeda, jika tidak cepat beradaptasi juga akan
menimbulkan konflik diantara pasangan tersebut. Misalnya saja dalam
penelitian yang dilakukan oleh Dr. Carol N Jacklin dan Dr. Eleanor E.
Maccoby (dalam Norman Wright, 2004) mengungkapkan adanya
pebedaan jenis kelamin ditinjau dari sudut psikologi menyebutkan
bahwa perempuan lebih dapat mengekspresikan emosi dan berempati
atau berbelaskasihan saat menanggapi perasaan orang lain. Sementara
kebanyakan laki-laki tidak memiliki kosa-kata yang cukup untuk
mengungkapkan perasaannya. Mereka merasa tidak nyaman bila harus
mengutarakan kegagalan, kecemasan, atau kekecewaan mereka.
Sebagai pasangan suami istri sebaiknya mereka mulai
mempelajari sifat-sifat tersebut sehingga dalam keluarga dapat terjalin
komunikasi yang baik, untuk dapat menyelesaikan masalah-maslah
dalam hubungan suami istri dapat memicu timbulnya suatu konflik
antara suami istri (H. Norman Wright, 2004).
2. Manajemen Konflik
a Pengertian Manajemen Konflik
Konflik tidak hanya harus diterima dan dikelola dengan baik,
tetapi juga harus didorong, karena konflik merupakan kekuatan untuk
mendapatkan perubahan dalam suatu lembaga atau kelompok
(Hardjana, 1994). Edelmen, R.J. dalam (Wahyudi, 2005) menegaskan
bahwa, jika konflik dikelola secara sistematis dapat berdampak positif
yaitu, memperkuat hubungan kerjasama, meningkatkan kepercayaan
diri, mempertinggi kreativitas dan produktivitas serta meningkatkan
kepuasan kerja. Oleh karena itu kemampuan manajemen konflik sangat
penting untuk diperhatikan
Manajemen konflik sendiri dapat diartikan sebagai tugas
mengelola suatu permasalahan yang timbul akibat salah paham atau
perselisihan yang dilakukan oleh individu atau kelompok. Apabila
dapat diatasi dengan baik maka hubungan akan meningkat dan
mencapai persetujuan. Sedangkan manajemen konflik yang buruk
dapat membuat semakin salah paham dan membuat buruknya
hubungan interpersonal (Johnson&Johnson, 1994).
Sedangkan tujuan dari adanya manajemen konflik tersebut
adalah mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik
yang selanjutnya dalam mencapai tujuan yang diperjuangkan dan
menjaga hubungan pihak-pihak yang terlibat konflik agar tetap baik
(Hardjana, 1994).
b. Gaya-gaya Manajemen Konflik
Orang yang terlibat dalam situasi konflik memiliki gaya
manajemen konflik yang berbeda-beda. Masing-masing individu dapat
menggunakan beberapa macam gaya, namun seringkali hanya gaya
tertentu yang digunakan seseorang (Killman&Thomas, 1992).
Setiap orang dapat menggunakan manajemen konfik yang
bervariasi tergantung pada situasinya. Suatu gaya manajemen konflik
mungkin cocok untuk satu situasi, tetapi belum tentu cocok untuk
situasi yang lain. Tetapi biasanya seseorang akan memiliki
kecenderungan untuk menggunakan satu gaya manajemen konflik
tertentu (David. A. Decenzo, 1997)
William Hendrick (1992) menyamakan istilah teknik
penyelesaian konflik dengan gaya atau style manajemen konflik yang
dapat diterapkan dalam menyelesaikan konflik. Ada lima macam cara
dalam menghadapi konflik yang terjadi yaitu:
1) Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan(integrating)
Penyelesaian konflik dengan cara integrating yaitu, pihak-pihak
yang terlibat konflik melakukan tukar-menukar informasi. Kedua
belah pihak mempunyai keinginan untuk mengamati perbedaan dan
berkonflik. Penyelesaian konflik dengan mempersatukan
mendorong munculnya kreativitas yang bersangkutan. Kelemahan
gaya penyelesaian ini adalah membutuhkan waktu yang lama dan
dapat menimbulkan kekecewaan karena penalaran dan
perimbangan rasional seringkali dikalahkan oleh komitmen
emosional untuk suatu posisi.
2) Strategi kerelaaan untuk membantu(obliging)
Strategi ini berperan untuk mengurangi perbedaan antar kelompok
dan mendorong pihak-pihak yang terlibat konflik untuk
mencari-cari persamaan. Perhatian pada orang atau kelompok lain, akan
menyebabkan seseorang merasa puas karena keinginannya
dipenuhi oleh pihak lain, walaupun salah satu pihak harus
mengorbankan sesuatu yang penting baginya. Gaya semacam ini
dapat digunakan sebagai strategi yang sengaja untuk mengangkat
atau membuat pihak lain merasa lebih baik dan senang terhadap
suatu isu.
3) Teknik dominasi(dominating)
Teknik ini merupakan kebalikan dari gaya obliging, menekankan
pada kepentingan diri sendiri. Kewajiban sering diabaikan demi
kepentingan pribadi atau kelompok dan cenderung meremehkan
kepentingan orang lain. Teknik dominasi sangat efektif apabila
4) Teknik menghindar(avoiding)
Salah satu strategi dalam pengendalian konflik dengan cara
menghindari suatu permasalahan. Pihak yang menghindar dari
konflik tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang
lain. Gaya menghindar berarti menghindar dari tanggung jawab
atau mengelak dari suatu isu konflik, menghindar dengan lawan
konfliknya, menekan konflik yang terjadi. Aspek negatif dari gaya
ini adalah melemparkan masalah pada orang lain, atau
mengesampingkan masalah.
5) Gaya penyelesaian konflik dengan cara kompromi(compromising)
Gaya ini dikategorikan efektif bila isu konflik mempunyai
kekuatan yang berimbang. Teknik kompromi dapat menjalin
pilihan bila metode lain gagal dan kedua pihak mencari jalan
tengah. Pada kompromi masing-masing pihak rela memberikan
sebagian kepentingannya (win-win solution). Kompromi dapat
berarti membagi perbedaan atau bertukar sesuatu, masing-masing
bersedia mengorbankan sesuatu agar tercapai penyelesaian. Dalam
gaya ini dibutuhkan keahlian untuk bernegosiasi dan
tawar-menawar.
Jika digambarkan maka, lima gaya manajemen konflik yaitu
Menghindar, Dominasi, Membantu, Kompromi, dan Mempersatukan
Diagram 1.
Gaya Manajemen Konflik menurut William Hendrick (1992)
Sedangkan startegi manajemen konflik menurut Johnson &
Johnson (1994) dibedakan menjadi lima macam strategi yang
sealnjutnya akan disebut gaya, yang berdasarkan pada seberapa
penting hubungan baik itu bagi seseorang. Adapun kelima gaya
tersebut adalah:
1) ″The Turtle″ atau ″Withdrawing″
Orang yang menggunakan gaya manajemen konflik ini selalu
berusaha bersembunyi untuk menghindari konflik. Mereka
menyerahkan tujuan pribadinya dan hubungan baiknya. Mereka
tetap menjauh dari permasalahan yang menjadi konflik dan
menjauh dari orang yang berkonflik dengannya.
2) ″The Shark″atau″Forcing″
Orang dengan gaya manajemen konflik ini mencoba untuk
melawan menggunakan kekuatan penuh dengan cara mengancam
sangatlah penting baginya dan hubungan baik tidaklah penting
baginya.. Mereka berpendapat bahwa konflik hanya dapat
dimenangkan oleh salah satu pihak dan pihak yang lain harus
kalah. Kemenangan bagi mereka memberikan rasa kebanggaan dan
keberhasilan, sedangkan kekalahan akan memberikan rasa
kelemahan dan kegagalan serta tidak puas. Mereka selalu mencoba
untuk menyerang, menunjukkan kekuasaan, dan mengintimidasi
(menekan) orang lain.
3) ″Teddy Bear″atau″Smoothing″
Bagi orang yang menggunakan gaya ″Teddy Bear″ hubungan baik
adalah kepentingan yang utama, kemudian mengenai tujuan
mereka sendiri tidaklah begitu penting baginya.Orang dengan gaya
ini ingin diterima dan disukai orang lain. Mereka berpikir bahwa
konflik seharusnya dihindari demi anugerah keharmonisan dan
percaya bahwa konflik dapat didiskusikan tanpa merusak
hubungan baik. Mereka takut bahwa jika konflik berlanjut akan
mengakibatkan salah satu terluka dan menyebabkan hancurnya
hubungan baik. Mereka menyerahkan tujuan mereka demi menjaga
hubungan baik, juga ingin mencoba meluluhkan ketegangan akibat
konflk tanpa merusak hubungan orang lain. Mereka menyatakan
atau menyerahkan tujuannya dan membiarkan orang lain akan
karena mereka takut kalau-kalau nanti konflik ini akan merugikan
hubungan baik.
4) ″The Fox″atau″Compromising″
Orang dengan gaya manajemen konflik ini senang memperhatikan
tujuannya dan juga hubungan baik mereka dengan orang lain.
Mereka selalu mencoba untuk bekerjasama dengan orang lain
untuk memecahkan masalah akibat konflik. Mereka menyerahkan
sebagian tujuan mereka dan membujuk orang lain menyerahkan
sebagian tujuannya juga. Mereka juga mencoba solusi konflik
dimana semua pihak mendapatkan sesuatu dan berada di
tengah-tengah di antara dua posisi ekstrem (kanan-kiri). Mereka
berkeinginan untuk mengorbankan sebagian tujuan mereka dan
hubungan baik mereka, tapi sisi lain demi menemukan persetujuan
bersama yang berakibat baik bagi semua pihak.
5) ″The Owl″atau″Confronting″
Kelompok orang dengan gaya manajemen konflik″The Owl″ lebih
menghargai tujuan mereka sendiri dan hubungan baik mereka.
Mereka memandang konflik sebagai permasalahan yang harus
diselesaikan dan dicarikan solusi yang berguna bagi tujuan mereka
sendiri dan orang lain, demi memperbaiki hubungan baik. Mereka
mencoba untuk mulai berdiskusi, meneliti tentang konflik yang
menjadi permasalahan dengan mencoba solusi yang memuaskan
sampai solusi terbaik ditemukan demi mencapai tujuan mereka dan
orang lain. Selain itu mereka tidak akan puas sampai
ketegangan dan perasaan buruk ditenangkan kembali.
Penelitian ini akan menggunakan gaya manajemen konflik yang
dikemukakan oleh William Hendricks (1992) yang menampilkan lima
gaya manajemen konflik yaitu: mempersatukan, membantu, dominasi,
kompromi, dan menghindar. Dengan melihat kecenderungan para suami
dan istri dalam menggunakan manajemen konflik diharapkan dari hasil
penelitian akan mengetahui apakah ada perbedaan manajemen konflik
antara suami dan istri.
B. Perbedaan Manajemen Konflik Suami-Istri
Laki-laki dan perempuan yang memutuskan untuk mengikatkan
diri menjadi satu kesatuan guna membentuk suatu keluarga yang baru dan
menjadi sepasang suami istri. Masing-masing, baik suami dan istri
memiliki perbedaan dalam beberapa hal diantaranya perbedaan sifat, latar
belakang kehidupan, tugas dan tanggung jawab, dan masih banyak lagi.
Istri lebih ekspresif dan berperasaan daripada suami dalam
pernikahan (Blumstein & Schwart, !983). Istri lebih terbuka mengenai
segala sesuatu yang sedang dia alami. Perempuan akan cenderung lebih
mengekspresikan kelembutan, ketakutan, dan kesedihan daripada
pasangan mereka.
Selain itu juga terdapat perbedaan gender yang kuat dalam hal
banyak daripada suami (Warner, 1986) . sebagian besar istri melakukan
pekerjaan rumah tangga dua atau tiga kali lipat dari yang dilakukan oleh
suami. Bahkan hanya 10% suami yang melakukan pekerjaan rumah tangga
sebanyak istri mereka. Suami lebih banyak menghabiskan waktu mereka
di tempat kerja.
Dalam kehidupan rumah tangga suami dan istri saling mendorong
dan saling mengisi dalam menangani berbagai pekerjaan sehinga suatu
pekerjaan itu nampak bukan sebagai beban. Tetapi ketika terjadi
perubahan, pertentangan emosional, sosial, semangat dan kemunduran
ekonomi maka dapat menimbulkan permasalahan (Save M Dagun, 1990).
Untuk membina hubungan akrab antara suami dan istri diperlukan tekad
baik dan derajad toleransi yang tinggi untuk dapat mengatasi berbagai
masalah.
Permasalahan yang timbul biasanya disebabkan karena
masing-masing suami dan istri saling bertentangan. Misalnya saja ayah atau suami
harus selalu mengikuti dan menyesuaikan diri pada setiap perubahan yang
terjadi di tempat ia bekerja untuk mempertahankan kedudukan dan
posisinya. Suami mengalami suatu proses hidup psikis yang lebih dinamis,
yang akhirnya tidak sesuai lagi dengan hidup psikis istri, karena istri hanya
tinggal di rumah dan kurang mengikuti perubahan-perubahan yang
terjadi di lingkungan luar rumah. Perbedaan perkembangan tersebut
membuat jarak makin membesar sehingga membentuk jurang yang
menimbulkan masalah yang pelik dalam keluarga (Astuti dalam Miniatrix,
2003).
Ibu yang memutuskan untuk menjadi perempuan karier dengan
alasan untuk menopang keuangan keluarga juga memiliki kebimbangan di
mana ia harus menentukan seberapa banyak ia harus meluangkan waktu
bersama anak dan keluarga disamping ia juga harus menyisihkan waktu
untuk pekerjaannya. Sebagai seorang suami jika istri bekerja sering merasa
diremehkan. Ia merasa istrinya tidak puas dengan penghasilan keluarga
yang otomatis meremehkan dirinya sebagai pencari nafkah. Selain itu
anak- anak juga kekurangan kasih sayang dan rumah kurang terawat
(Slameto, 2003).
Konflik yang terjadi antara suami dan istri harus segera dicari jalan
keluarnya, dan sebisa mungkin jangan menunda penyelesaian konflik. Jika
konflik hanya didiamkan saja dan tidak dicari jalan keluarnya maka
konflik akan meruncing dan semakin sulit untuk mengatasinya.
Untuk mencegah terjadinya permasalahan yang berlarut-larut yang
akhirnya menuju pada perceraian, masing-masing individu harus memilki
manajemen konflik yang tepat. Berbeda orang menggunakan manajemen
konflik dengan cara yang berbeda pula. Setiap orang mempunyai
kemampuan untuk menggunakan berbagai macam gaya manajemen
konflik, tetapi tetap saja mempunyai kecenderungan untuk menggunakan
salah satu gaya manajemen konflik (David. A. Decenzo, 1992). Tidak ada
Pickering, 2000), oleh karena itu penting untuk mengembangkan
kemampuan menggunakan setiap gaya manajemen konflik sesuai dengan
situasi.
Manajemen konflik pada manusia berdasarkan kedua jenis
kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan menurut Cancian (1987)
menyatakan bahwa perempuan lebih berhasrat untuk menghindari konflik
dan memelihara hubungan baik mereka daripada laki-laki. Selain itu
perempuan merasa bertanggung jawab untuk memelihara hubungan
tersebut. Blomstein&Schwartz (1983), menambahkan bagaimanapun
perempuan lebih mempermasalahkan, membenci yang mereka hadapi,
tetapi tetap berusaha untuk berbuat hal yang benar. Pada saat memberikan
penjelasan, perempuan memiliki kecenderungan menggunakan
perbandingan untuk memenangkan pendapat mereka. Namun demikian
perempuan lebih memilih untuk menghindari konflik bila hal tersebut
mungkin untuk dilakukan untuk menjaga hubungan mereka. Ketika
konflik menghasilkan kekerasan, maka wanita akan cenderung merasa
disakiti daripada laki-laki.
Hal ini didukung pendapat (Brannon, 1999) yang berpendapat
bahwa dalam menghadapi konflik, perempuan menggunakan gaya
manajemen konflik dengan pemikiran-pemikiran, supaya hubungan
mereka tetap terpelihara. Perempuan memiliki ruang untuk menghindari
Ketika konflik menghasilkan kekerasan, perempuan mungkin lebih terluka
daripada laki-laki pada saat terjadi konfrontasi.
Sementara Borisoff & Victor (1989) mengemukakan bahwa
sesungguhnya ketrampilan berkomunikasi berguna untuk mengemukakan
efektivitas manajemen konflik termasuk di dalamnya keterbukaan,
keterusterangan, asertif, empati, kredibel, fleksibel, bisa mendengarkan
secara aktif. Banyak asumsi tentang bagaimana perempuan dan laki-laki
berbeda dalam segala hal. Salah satunya adalah H. Norman Wright (2004)
yang menyatakan bahwa pria dan perempuan berbeda dalam cara berpikir,
bertindak, menghadapi, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat
saling melengkapi, tetapi kerap kali menimbulkan konflik dalam
pernikahan.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang juga menyangkut
bagaimana laki-laki dan perempuan berbeda dalam menghadapi konflik
diungkapkan pula oleh David A. Decenzo (1997), yang menyebutkan
bahwa perempuan menjalin hubungan untuk mendapatkan kedekatan,
sedangkan laki-laki menjalin hubungan untuk mencapai tujuan tertentu.
Perempuan selalu menjaga hubungan interpersonal agar dinamis untuk
memeperoleh hubungan yang sehat sedangkan laki-laki kurang
memeperhatikan hubungan yang dinamis. Perempuan selalu
memperhatikan kepentingan bersama, sedangkan laki-laki cenderung
berusaha untuk tetap menjaga hubungan baik, sebaliknya laki-laki akan
terpaku pada aturan hingga kesepakatan bersama tercapai.
Banyak penelitian telah membuktikan banyak hal seperti di atas,
misalnya laki-laki lebih mendengarkan daripada memberikan pendapat.
Salah satu diantarnya adalah penelitian yang dilakukan Thomas Levin
(1987) yang meneliti tentang manajemen konflik pada pasangan.
Penelitian ini menemukan bahwa ada perbedaan gender dalam hal suami
istri meminta untuk memahami perilaku masing-masing pasangannya.
Dalam hal ini suami-suami dapat menolak permintaan istri-isri mereka
untuk berubah karena perilaku laki-laki mencerminkan ciri kepribadian
yang tidak berubah. Sedangkan para istri harus bisa berubah sebagai
respon terhadap permintaan suami karena perilaku perempuan mudah
berubah. Keyakinan suami terhadap manajemen konflik memberikan
mereka kekuatan lebih dalam hubungan, mereka dapat meminta haknya
C. HIPOTESA
Hipotesa penelitian dari penelitian ini adalah ada perbedaan
manajemen konflik antara suami dan istri yang meliputi:
1. Ada perbedaan Gaya Manajemen Konflik Menghindar antara suami
dan istri.
2. Ada perbedaan Gaya Manajemen Konflik Dominasi antara suami dan
istri.
3. Ada perbedaan Gaya Manajemen Konflik Membantu antara suami dan
istri.
4. Ada perbedaan Gaya Manajemen Konflik Kompromi antara suami dan
istri.
5. Ada perbedaan Gaya Manajemen Konflik Mempersatukan antara
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian komparasional, yang berbentuk
perbandingan dari dua sampel atau lebih. Penelitian ini termasuk penelitian
komparatif karena ingin melihat apakah ada perbedaan manajemen konflik
antara suami dan istri.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua variabel. Variabel-variabel tersebut
adalah:
1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab kemunculan
dari variabel terikat (Kerlinger, 1996). Variabel bebas merupakan variabel
yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
suami dan istri.
2. Variabel Tergantung
Variabel tergantung sering disebut variabel terikat. Variabel terikat
merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena
adanya variabel bebas. Dengan demikian variabel terikat dipandang
sebagai konsekuensi variabel bebas (Kerlinger, 1996). Variabel terikat
C. Definisi Operasional
Definisi operasional melekatkan arti pada suatu variabel dengan cara
menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk
mengukur variabel itu. Definisi semacam itu memberikan batasan atau arti
suatu variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk
mengukur variabel tersebut.
Definisi operasional dari variabel-variabel yang dipakai dalam
penelitian ini adalah:
1. Suami dan Istri
Suami adalah laki-laki dewasa yang telah melangsungkan
perkawinan secara resmi menurut hukum dan agama.
Istri adalah perempuan dewasa yang telah melangsungkan
perkawinan secara resmi menurut hukum dan agama.
2. Manajemen Konflik
Manajemen konflik adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh
masing-masing individu, dalam hal ini ayah dan ibu, untuk mengelola,
mengatur masalah, mencegah, mengatasi, ataupun menyelesaikan konflik
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari pasangan suami istri tersebut.
Masalah-masalah tersebut antara lain masalah pribadi suami dan istri yang
meliputi masa lampau dan masa depan mereka, masalah pribadi suami istri
dengan mertua dan anggota keluarga lain, masalah nafkah serta pekerjaan,
masalah anak. Cara individu untuk mengolah konflik yang terjadi disebut
adalah lima gaya manajemen konflik menurut William Hendricks (1992).
Kelima gaya manajemen konflik tersebut adalah: Manajemen Konflik
Menghindar, Manajemen Konflik Dominasi, Manajemen Konflik
Membantu, Manajemen Konflik Kompromi, dan Manajemen Konflik
Mempersatukan.
D. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah pasangan suami dan istri yang telah
melangsungkan pernikahan secara resmi menurut agama maupun hukum dan
yang bertempat tinggal di tiga desa yang telah ditentukan oleh penulis yaitu
dusun Ngagul-agulan, Jetis Depok dan Ngaranan. Subjek yang akan dipakai
dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri yang memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1. Memiliki anak
Karena dengan adanya anak dimungkinkan bertambahnya konflik antara
suami dan istri.
2. Salah satu pasangan harus memiliki pekerjaan tetap.
Karena dengan adanya pekerjaan maka tangung jawab akan bertambah
bukan hanya dalam keluarga, tetapi juga di tempat kerja. Bertambahnya
tangung jawab memungkinkan timbulnya konflik.
3. Latar belakang pendidikan
Karena lokasi pengambilan sampel adalah masyarakat yang tinggal di
maka di sini akan dipilih subjek yang memiliki latar belakang pendidikan
SMP, SLTA, PT atau yang sederajat.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
mencakup dua hal yaitu: identitas diri subjek, serta skala manajemen konflik
yang dipakai suami istri dalam menghadapi konflik yang ada tersebut.
Identitas diri subjek didapat dari lembar daftar isian yang diberikan
kepada subjek bersamaan dengan dibagikannya skala manajemen konflik.
Adapun isi dari lembar identitas diri adalah untuk mengetahui nama, jenis
kelamin, jumlah anak, latar belakang pendidikan, dan pekerjaan.
Skala merupakan salah satu alat ukur psikologis yang lebih banyak
dipakai untuk mengukur aspek afektif (Azwar, 2002). Skala berupa pernyataan
atau pertanyaan yang tidak langsung mengukur atribut yang hendak diukur,
melainkan mengungkap indikator perilaku atribut yang bersangkutan.
Sedangkan respon subjek untuk suatu skala tidak diklasifikasiksan sebagai
jawaban salah atau benar. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan
secara sungguh-sungguh, hanya saja jawaban yang berbeda akan
diinterpretasikan berbeda pula.
Dalam penelitian ini alat pengumpul datanya berupa skala manajemen
konflik. Skala ini terdiri dari 100 item manajemen konflik. Item-itemnya
berupa pernyataan yang di dalamnya terdapat 50 item favorable dan 50 item
lagi unfavorable. Tiap-tiap gaya manajemen konflik yaitu Menghindar,
masing-masing 20 item (10 favorabel dan 10 unfavorabel). Skala ini menggunakan 4
alternatif jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS),
Sangat Tidak Setuju (STS). Pemberian skor yang digunakan adalah sebagai
berikut: untuk item yang favorable, penilaian bergerak dari angka empat
sampai dengan angka satu. Jawaban SS= 4, S= 3, TS= 2, STS=1. Sedangkan
untuk pernyataan yang unfavorable maka sebaliknya, penilaian bergerak dari
angka satu ke angka empat, SS= 1, S=2, TS= 3, STS=4. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1
Blue Print Skala Manajemen konflik
No Komponen Jumlah
Item
%
1 Gaya Manajemen Konfik Menghidar
Tidak menempatkan nilai pada diri sendiri dan orang lain.
Menghindar dari tanggung jawab, lari dari masalah yang dihadapi.
20 20
2 Gaya Manajemen Konflik Domin