PROSEES PEMATAANGAN PRRIBADI BERRDASARKKAN NILAI--NILAI SPIRITUUALITAS SSANTO FRRANSISKUSS ASISI
SKRIPSI
Diaajukan untuk MMemenuhi Saalah Satu Syaarat M
Memperoleh Gelar Sarjanaa Pendidikan
Proggram Studi Ilmmu Pendidikaan Kekhususaan Pendidikann Agama Katoolik
Oleh Elizzabeth Sireggar
NIMM: 0711240019
PROGGRAM STUUDI ILMUU PENDIDIKKAN KEKHUSUUSAN PENNDIDIKAN AGAMA KKATOLIK
J
JURUSAN ILMU PENNDIDIKAN
FAKULTAAS KEGURUUAN DAN IILMU PENNDIDIKAN UNNIVERSITAAS SANATAA DHARMMA
YOOGYAKARTTA
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada yang kucintai Kongregasi OSF Sibolga yang telah mendewasakan aku, para suster komunitas Saudara Leo Yogyakarta yang mencintaiku
MOTTO
“Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada
Allah, Bapa kita.”
(Kolose 3:17)
Judul skripsi PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS BAGI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER-SUSTER FRANSISKANES SIBOLGA DALAM PROSES PEMATANGAN PRIBADI BERDASARKAN NILAI-NILAI SPIRITUALITAS ST. FRANSISKUS ASISI. Pemilihan judul ini didasari oleh suatu kerinduan dan harapan penulis akan pemahaman dan penghayatan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi yang benar dan utuh dalam hidup persaudaraan OSF Sibolga. Spiritualitas St. Fransiskus Asisi merupakan semangat dan cara hidup sesuai dengan Injil Yesus Kristus. Dengan menghayati nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi para suster yunior telah hidup sesuai Injil.
Para suster OSF Sibolga yang telah memilih hidup menurut semangat dan teladan hidup St. Fransiskus Asisi dan Konstitusi OSF Sibolga diharapkan mampu memahami dan menghayati nilai spiritualitas dengan utuh. Namun, kerapkali nilai-nilai spiritualitas tidak tampak dalam kehidupan para suster. Cara hidup yang diteladankan St. Fransiskus Asisi yang menjadi pedoman dan semangat hidup para pendiri OSF Sibolga kurang dapat diterapkan dalam kehidupan para suster zaman sekarang. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup sebagian para suster dalam persaudaraan. Gaya hidup yang kurang memiliki semangat dan daya juang telah memasuki hidup para suster sehingga semangat untuk bertekun dan setia pada komitmen menjadi terlupakan. Situasi ini menjadi tantangan dalam menghayati nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi. Para suster perlu bersikap tegas pada pilihan hidup sebagai religius yang menjadi pilihannya sendiri dalam menanggapi panggilan Tuhan.
Menyadari bahwa dalam praksis hidup sehari-hari nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi kurang dapat dilaksanakan, perlu usaha pembinaan terus-menerus sehingga dalam proses pematangan pribadi nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dapat dihayati dan diterapkan dalam hidup persaudaraan.
Untuk menanggapi permasalahan tersebut ditawarkan salah satu bentuk pembinaan melalui katekese model Shared Christian Praxis. Dengan model katekese yang dialogis dan pastisipatif ini, peserta diajak untuk merefleksikan secara kritis pengalaman penghayatan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dalam hidup sehari-hari. Pengalaman tersebut akan dikonfrontasikan dengan semangat hidup St. Fransiksus Asisi dan Konstitusi OSF Sibolga sehingga tumbuh suatu sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi untuk meningkatkan penghayatan dan penerapan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dalam hidup persaudaraan.
The title of this graduating paper is THE FORMATOR OF THE RELIGIOUS LIFE FOR THE JUNIOR SISTERS OF THE CONGREGATION OF THE SISTERS OF FRANSISCAN OF SIBOLGA IN THE PROCESS OF PERSONAL MATURATION BASED ON THE SPIRITUAL VALUES OF ST. FRANCIS OF ASSISI. This title was selected due to the writer’s longing and hope for the correct and full understanding and comprehension of the spiritual values of St. Francis of Assisi in the congregational life of the OSF (the St. Francis Order) of Sibolga. The spirituality of St. Francis of Assisi is the spirit and way of life in acordance with the Gospel of Jesus Christ. By comprehending the spiritual values of St. Francis of Assisi, the junior sisters have lived in accordance with the Gospel.
The sisters of the OSF of Sibolga who have chosen to live in accordance with the spirit and exemplary life of St. Francis of Assisi and the Constitution of the OSF of Sibolga are expected to be able to fully understand and live out the spiritual values. However, the spiritual values are often imperceptible in the life of the sisters. The way of life exemplified by St. Francis of Assisi, which becomes the guidance and spirit of life of the founders of the OSF of Sibolga is not easy to practice in the life of the sisters nowadays. This is perceptible in the lifestyle of some sisters of the congregation. A lifestyle which lacks of spirit and willpower has entered into the life of the sisters so that the spirit to persevere and to be faithful to their commitments can be forgotten. This situation presents a challenge in living out the spiritual values of St. Francis of Assisi. The sisters need to be firm with their choice of life as religious, which has become their own choice, in response to the call of God.
Realizing that, in the practice of everyday life, the spiritual values of St. Francis of Assisi is not easy to conduct, a continuous formation effort is necessary so that, in the process of personal maturation, the spiritual values of St. Francis of Assisi can be lived out and practiced in the congregational life.
In response to this problem, one type of formation through a cathecism of the Shared Christian Praxis model is offered. With this dialogic and participative cathecism model, the participants are invited to critically reflect their experience in living out the spiritual values of St. Francis of Assisi in everyday life. Their experience is confronted with the spirit of life of St. Francis of Assisi and the Constitution of the OSF of Sibolga so that new attitude and awareness which provide motivation to improve their comprehesion and practice of the spiritual values of St. Francis of Assisi in the congregational life can grow.
Puji dan syukur kepada Tuhan yang maha baik, karena kasih-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER-SUSTER FRANSISKANES SIBOLGA DALAM PROSES PEMATANGAN PRIBADI BERDASARKAN NILAI-NILAI SPIRITUALITAS ST. FRANSISKUS ASISI.
Skripsi ini merupakan karya ilmiah dan sumbangan terhadap pembinaan hidup religius khususnya kepada para suster yunior OSF Sibolga dan sekaligus untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Pendidikan di FKIP-JIP-Prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Proses penulisan skripsi ini tidak berjalan dengan mulus, namun penulis dapat belajar untuk semakin tekun dan tidak mudah putus asa. Penulis sangat berterimakasih kepada berbagai pihak yang telah menyumbangkan ide dan gagasannya, kemudahan dan kesempatan sehingga memungkinkan terselesaikannya skripsi ini. Secara khusus terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ., selaku Kaprodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang telah berkenan dan sabar membimbing penulis selama kuliah di kampus IPPAK.
2. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ., Sebagai pembimbing utama, yang penuh kesabaran dan kerelaan untuk mendampingi, membimbing, dan memberi masukan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini dari awal hingga selesai.
pembimbing akademik yang memberi semangat, masukan dan dukungan baik selama kuliah maupun dalam penyusunan skripsi ini.
4. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd. sebagai dosen penguji III yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan dan dukungan kepada penulis. 5. Para Dosen dan staf Karyawan IPPAK yang telah membimbing dan memberi
dukungan selama penulis kuliah di IPPAK Sanata Dharma Yogyakarta.
6. Dewan Pimpinan Regio dan seluruh persaudaraan OSF Sibolga yang memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi penulis untuk studi di IPPAK Universitas Sanata Dharma.
7. Segenap suster yunior Kongregasi OSF Sibolga, di komunitas Nias, Tapanuli Tengah, Medan dan para suster di mana pun berada baik yang masih studi maupun yang sudah berkarya, yang telah berpartisipasi memberikan dukungan moral dam material kepada penulis selama belajar sampai selesai skripsi ini. 8. Teman-teman angkatan 2007/2008 khususnya Sr. Mariela CB, Sr. Hironima
KSFL dan saudara Rikardus OFM yang selalu memberi semangat, kegembiraan, masukan dan pinjaman buku untuk penyelesaian skripsi ini.
9. Para suster OSF Sibolga komunitas Demangan Yogyakarta, yang mendukung dan menyemangati penulis selama studi dan saat penulisan skripsi ini.
10.Bapak, kakak dan adik-adikku yang memberi semangat dan dukungan dan selama penulis menempuh studi di Yogyakarta.
menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis menyadari, bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan yang membutuhkan koreksi dari para pembaca, baik dari segi penulisan maupun dari segi isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca sekalian. Terima kasih.
Yogyakarta, 12 April 2012
Penulis
Elizabeth Siregar
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penulisan ... 4
D. Manfaat Penulisan ... 4
E. Metode Penulisan... 5
F. Sistematika Penulisan ... 5
BAB II. SPIRITUALITAS SANTO FRANSISKUS ASISI DALAM PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER-SUSTER FRANSISKANES SIBOLGA ... 7
A. Pengertian Spiritualitas ... 7
1. Pengertian Spiritualitas secara umum ... 7
2. Spiritualitas St. Fransiskus Asisi ... 9
B. Nilai-nilai yang Ditawarkan Spiritualitas St. Fransiskus Asisi ... 10
1. Semangat Persaudaraan ... 10
3. Semangat Doa ... 13
4. Semangat Kemiskinan ... 15
a. Hidup Tanpa Milik ... 15
b. Mengabdi Tuhan dalam Kemiskinan dan Kerendahan Hati ... 16
c. Hidup Saling Melayani ... 18
d. Kebebasan Roh... 19
C. Spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga ... 20
1. Sejarah Kongregasi OSF di Reute ... 21
a. Latar Belakang Berdirinya OSF Sibolga ... 22
b. Tujuan Berdirinya Kongregasi OSF Sibolga ... 23
c. Visi dan Misi Kongregasi OSF Sibolga ... 24
2. Nilai-nilai Spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga ... 25
a. Cinta Persaudaraan dalam Komunitas ... 25
b. Kasih kepada sesama Menderita ... 26
D. Pembinaan Hidup Religius ... 27
1. Pengertian Pembinaan secara Umum ... 27
a. Tujuan Pembinaan ... 28
b. Pendekatan-pendekatan dalam Program Pembinaan ... 29
2. Hidup Religius ... 30
a. Pengertian Hidup Religius ... 31
b. Tujuan Pembinaan Hidup religius ... 32
c. Aspek yang Diharapkan Tumbuh dalam Hidup Religius ... 33
E. Dinamika Pembinaan Yuniorat... 34
1. Tahap Pembinaan Religius ... 35
a. Pembinaan Aspiran ... 35
b. Pembinaan Postulat ... 35
c. Pembinaan Novisiat ... 36
d. Pembinaan Yuniorat ... 37
2. Pembinaan Kematangan Pribadi Yuniorat ... 39
a. Keterbukaan dan Kepercayaan ... 39
b. Komunitas ... 39
c. Pendampingan dan Bimbingan ... 41
d. Pembina ... 41
e. Tanggungjawab Pribadi ... 42
f. Pengolahan Diri ... 43
1) Doa ... 43
2) Keheningan dan Kesadaran ... 44
F. Ciri-ciri Kedewasaan Pribadi ... 45
1. Memiliki Keyakinan Diri ... .... 45
2. Mampu Mempercayai Orang Lain ... 45
3. Memiliki Sikap Realistis ... .... 46
4. Memiliki Cinta yang Tidak Egois ... ... 46
BAB III. PENELITIAN TENTANG PENGHAYATAN NILAI-NILAI SPIRITUALITAS ST. FRANSISKUS ASISI DALAM PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS SUSTER YUNIOR OSF SIBOLGA ... 48
A. Gambaran Umum Suster Yunior OSF Sibolga ... 48
1. Gambaran Suster Yunior OSF Sibolga ... 48
B. Persiapan Penelitian ... 49
1. Latar Belakang Penelitian ... 49
2. Rumusan Masalah ... 50
3. Tujuan Penelitian ... 51
4. Pengumpulan Data ... 51
5. Responden Penelitian ... 52
6. Variabel Penelitian ... 52
7. Instrumen Pengumpulan Data ... 53
8. Prosedur Pengolahan Data ... 53
C. Laporan dan Pembahasan Hasil Penelitian ... 54
1. Laporan Penelitian ... 55
2. Pembahasan Hasil Penelitian ... 61
3. Kesimpulan Penelitian ... 70
BAB IV. PENDEKATAN KATEKETIS DALAM USAHA MENINGKATKAN PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI OSF SIBOLGA ... 72
A. Gambaran Umum Katekese ... 72
1. Pengertian Katekese ... 72
2. Bentuk Katekese... 75
3. Tujuan Katekese ... 75
4. Isi Katekese ... 77
5. Tugas Katekese ... 77
6. Unsur-unsur Katekese ... 78
B. Peranan Katekese dalam Meningkatkan Penghayatan Spiritualitas St. Fransiskus Asisi ... 80
1. Katekese Membantu Pengungkapan Pengalaman Konkrit Peserta ... 80
2. Katekese Membantu Proses Peningkatan Penghayatan Nilai-nilai Spiritualitas St. Fransiskus Asisi ... 81
C. Pemilihan Model Katekese ... 81
1. Model Shared Christian Praxis ... 82
2. Langkah-langkah Katekese Model Shared Christian Praxis ... 84
D. Usulan Program Katekese ... 86
1. Latar Belakang Penyusunan Program ... 86
2. Tujuan Penyusunan ... 87
3. Tema dan Tujuan... 88
4. Penjabaran Program Katekese... 89
5. Petunjuk Pelaksanaan ... 91
BAB V. PENUTUP ... 106
A. Kesimpulan ... 106
B. Saran ... 109
DAFTAR PUSTAKA ... 111
LAMPIRAN ... 113
Lampiran 1: Surat Pengantar Penelitian ... (1)
Lampiran 2: Surat Pengantar Penelitian ke Komunitas ... (2)
Lampiran 3: Kuesioner Penelitian ... (3)
Lampiran 4: Daftar Suster Yunior OSF Sibolga ... (6)
Lampiran 5: Pedoman Wawancara ... (8)
Lampiran 6: Hasil Wawancara ... (9)
Lampiran 7: Cerita untuk Katekese ... (11)
A. Singkatan Kitab Suci
Semua singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan Kitab Suci sesaui dengan daftar singkatan Perjanjian Baru dalam Alkitab Katolik Deutrokanonik cetakan tahun 2000 oleh Bimas Katolik Departemen Agama, Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV. Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.
Mat : Matius
Mrk: Markus
Luk: Lukas
Kis: Kisah para Rasul 2 Kor: 2 Korintus 1Ptr: 1 Petrus
Gal: Galatia
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
` CT: Cathechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979
KHK: Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983.
PC: Perfectae Caritatis, Dokumen Konsili Vatikan II tentang pembaruan dan penyesuaian hidup religius secara umum
xix
C. Singkatan lain
PKKI: Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
AngTBul: Anggaran dasar yang diteguhkan dengan bulla (tahun 1223); biasa diistilahkan dengan Anggaran Dasar definitip.
AngBul: Anggaran dasar dengan bulla (tahun 1221) Konst: Konstitusi OSF Sibolga
Art: Artikel
AD: Anggaran Dasar
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Panggilan hidup sebagai religius pada zaman ini dihadapkan dengan sejumlah
tantangan dan godaan yang bersifat instan. Banyak para pemudi masuk sebagai
calon anggota tarekat religius tergolong dalam generasi instan yang memiliki
kecenderungan ingin langsung hidup enak, tidak memiliki kesabaran dan daya tahan
untuk memulai sesuatu dari bawah, cepat menyerah bila berhadapan dengan
kesulitan, berpenampilan terlalu percaya diri, merasa sudah tahu dan jarang mau
bertanya kepada para pendahulu yang sudah berpengalaman. Sulit membuat
komitmen untuk seumur hidup, kenyataan ini tampak dari lebih mudahnya orang
ganti haluan dalam memilih jalan hidup ketika mengalami keraguan atau kesulitan.
Adanya gejala individualisme semakin banyak ditemukan misalnya: kuatnya
keinginan untuk mengejar aktualisasi diri, sulitnya membangun hidup berkomunitas
dan semangat kebersamaan (Darminta, 2003: 236-240).
Tantangan-tantangan tersebut berangkat dari situasi zaman yang terus berubah
dan sekaligus perubahan mentalitas dan paradigma terhadap hidup. Seorang yang
memilih hidup religius juga berhadapan dengan perubahan-perubahan tersebut.
Perubahan-perubahan antara lain berkaitan dengan kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan, kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi, dan lain sebagainya.
peradaban manusia. Namun disisi lain kemajuan-kemajuan tersebut semakin
membuat manusia terasing dari dirinya sendiri dan lebih parah lagi bisa menjadi
sumber yang merusak manusia dan dunianya (Sudiarja, 2003:11).
Dalam kenyataan, kemajuan teknologi yang semakin canggih kadang-kadang
juga membawa pengaruh terhadap perkembangan pribadi suster yunior. Apabila
pribadi suster yunior kurang dewasa dan matang akan mudah terpengaruh oleh
tawaran-tawaran dan terbawa arus, tidak mempunyai sikap dan prinsip yang kuat.
Dalam hidup bersama di komunitas sering para suster yunior mengalami
hambatan baik dari luar dan dari dalam diri suster yunior sendiri. Hambatan dari luar
sering dijumpai oleh suster yunior misalnya: kesibukan studi, tuntutan kerja yang
terlalu banyak, situasi komunitas. Selain itu tidak adanya keteladanan dan
kesungguhan dari suster senior untuk ikut serta membimbing dan membina para
suster yunior.
Sedangkan hambatan dari dalam diri yunior sendiri adalah tidak disiplin dalam
aturan yang ditetapkan di komunitas, kurang berefleksi, malas membaca dan
merenungkan Anggaran Dasar dan konstitusi kongregasi, hidup doa yang dangkal
dan enggan untuk mengolah perasaan, nilai-nilai spiritualitas kongregasi yang kurang
diperdalam dan terlalu terlena dengan kemapanan.
Menanggapi masalah-masalah yang terjadi kongregasi berusaha untuk
meningkatkan pembinaan hidup religius agar pribadi para suster yunior semakin
matang dan mantap tidak mudah terpengaruh atau pun goyah bila menghadapi situasi
para suster yunior, sebagai pribadi yang terus bertumbuh perlu dibimbing dan
diarahkan untuk menemukan nilai-nilai spiritualitas yang hakiki.
Keprihatinan penulis dalam hal ini secara khusus terarah pada upaya pembinaan
para suster yunior dalam Kongregasi OSF Sibolga. Sejauh pengamatan penulis, para
suster yunior dalam Kongregasi OSF Sibolga perlu dibantu untuk bertumbuh dalam
kematangan pribadi sebagai seorang pengikut Santo Fransiskus Asisi.
Oleh karena itu penulis mengangkat judul skripsi PEMBINAAN HIDUP
RELIGIUS PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER-SUSTER
FRANSISKANES SIBOLGA DALAM PROSES PEMATANGAN PRIBADI
BERDASARKAN NILAI-NILAI SPIRITUALITAS SANTO FRANSISKUS ASISI.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan antara lain:
1. Bagaimana spiritualitas St. Fransiskus Asisi ditanamkan dalam pembinaan hidup
religius para suster yunior OSF Sibolga ?
2. Sejauh mana nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dihayati para suster
yunior OSF Sibolga dalam proses pematangan pribadi ?
3. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pembinaan hidup religius
bagi para suster yunior OSF Sibolga dalam proses pematangan pribadi
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini sesuai dengan judul : Pembinaan
Hidup Religius Para Suster yunior OSF Sibolga dalam Proses pematangan Pribadi
Berdasarkan Spiritualitas St. Fransiskus Asisi.
1. Mengenal spiritualitas St. Fransiskus Asisi dan pembinaan hidup religius para
suster yunior OSF Sibolga.
2. Menggali penghayatan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dalam diri para
suster yunior OSF Sibolga.
3. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pembinaan hidup
religius suster yunior OSF Sibolga dalam proses pematangan pribadi berdasarkan
nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi.
D. Manfaat Penulisan
Penulisan ini dapat memberi manfaat:
1. Bagi penulis, memahami secara mendalam secara teoritis nilai-nilai spiritualitas
St. Fransiskus Asisi dalam pembinaan hidup religius dan memampukan penulis
untuk berefleksi sebagai suster yunior OSF Sibolga.
2. Memberikan sumbangan kepada kongregasi dalam mengevaluasi proses
pembinaan hidup religius para suster yunior OSF Sibolga yang selama ini
3. Meningkatkan kemampuan para pembina dalam membuat persiapan proses
pembinaan dan memotivasi para suster yunior OSF Sibolga untuk tetap
bersemangat dalam mengikuti pembinaan hidup religius.
E. Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan metode deskriptif analisis yakni menggambarkan
secara nyata keadaan yang terjadi dalam pembinaan hidup religius suster yunior OSF
Sibolga. Penelitian dilakukan melalui kuesioner dan wawancara yang dikumpulkan
penulis untuk mencari data. Pendekatan deskriptif ini juga dilakukan dengan studi
pustaka serta penemuan refleksi pribadi.
F. Sistematika Penulisan
Judul yang dipilih Pembinaan Hidup Religius Para Suster Yunior Kongregasi
Suster-suster Fransiskanes Sibolga dalam Proses Pematangan Pribadi Berdasarkan
Nilai-nilai Spiritualitas St. Fransiskus Asisi. Secara keseluruhan penulisan ini terbagi
dalam lima bab. Adapun perinciannya sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan: latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, sistematika
Bab II Spiritualitas St. Fransiskus Asisi dalam Pembinaan Hidup Religius Suster Yunior OSF Sibolga.
Bab kedua ini memaparkan tentang pengertian spiritualitas secara umum, lalu
dijelaskan mengenai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dan dipaparkan juga tentang
Spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga dan pembinaan hidup religius suster yunior
OSF Sibolga.
Bab III Metodologi Penelitian
Bab ini berisi penelitian tentang penghayatan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus
Asisi dalam pembinaan hidup religius yunior OSF Sibolga, dengan pemahaman ini
diharapkan para suster yunior OSF Sibolga mampu memiliki kematangan pribadi
berdasarkan spiritualitas St. Fransiskus Asisi.
Bab IV Usulan Program
Bab ini merupakan usulan program katekese model Shared Christian Praxis bagi
para suster yunior OSF Sibolga yang meliputi: pengertian katekese model Shared
Christian Praxis, tujuan, usulan tema-tema katekese Shared Christian Praxis dan
usulan persiapan katekese Shared Christian Praxis.
Bab V Penutup
BAB II
SPIRITUALITAS SANTO FRANSISKUS ASISI DALAM PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER-SUSTER
FRANSISKANES SIBOLGA
Dalam pembinaan, para religius muda sudah mengetahui spiritualitas St.
Fransiskus Asisi, namun dalam hidup sehari-hari religius muda belum memahami
secara mendalam semangat, bentuk dan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi
yang menjadi teladan dan semangat kongregasi. Oleh karena itu, bab II ini akan
terlebih dahulu menguraikan pengertian spiritualitas secara umum dan spiritualitas St.
Fransiskus Asisi, kemudian membahas pembinaan hidup religius suster yunior OSF
Sibolga. Pada bagian akhir akan dipaparkan pribadi yunior yang dewasa menurut
Kongregasi Suster-suster Fransiskanes Sibolga.
A. Pengertian Spiritualitas
1. Pengertian Spiritualitas secara Umum
Spiritualitas berasal dari kata Latin Spiritus yang berarti roh, jiwa, semangat.
Dari kata Latin ini terbentuk kata Prancis ι’esprit dan kata bendanya la spiritualitĕ.
Dari kata ini, kita mengenal dalam bahasa Inggris spirituality yang dalam bahasa
Indonesia menjadi spiritualitas. Kata spiritualitas sering merupakan kata yang
dilawankan dengan kata “materia” atau “korporalitas.” Disini spiritualitas berarti
bersifat kebendaan dan korporalitas yang bersifat badani atau yang berkaitan dengan
tubuh ( Hardjana, 2005: 64).
Spiritualitas adalah istilah baru yang menandakan ’kerohanian’ atau ’hidup
rohani.’ Kata ini menekankan segi kebersamaan’ bila dibandingkan dengan kata
yang lebih tua, yaitu ’kesalehan’ yang menandakan hubungan orang perorangan
dengan Allah. Selain itu spiritualitas dapat diterapkan pada aneka bentuk kehidupan
rohani, misalnya ’spiritualitas modern’ atau ’spiritualitas kaum awam.’ Spiritualitas
mencakup dua segi yakni askese atau usaha melatih-diri secara teratur supaya terbuka
dan peka terhadap sapaan Allah. Segi lain adalah mistik sebagai aneka bentuk dan
tahap pertemuan pribadi dengan Allah. Askese menandakan jalan dan mistik tujuan
hidup keagamaan manusia. Dasar hidup rohani dan semua bentuk spiritualitas sejati
adalah Roh (=Spiritus; Latin) yaitu Roh Kristus sebagaimana diungkapkan dalam
Injil. Orang yang peka akan sapaan Allah mengalami buah kehadiran Roh dalam
hatinya.
Spiritualitas lebih mengarah pada hubungan pribadi dengan Tuhan sebagai
anugerah Roh Kudus.
keberadaan orang beriman sejauh dialami sebagai anugerah Roh Kudus yang meresapi seluruh dirinya (Heuken, 2001: 11).
2. Spiritualitas Santo Fransiskus Asisi
Spiritualitas yang dikembangkan dan dihayati oleh St. Fransiskus Asisi tidak
jauh berbeda dari pengertian spiritualitas secara umum di atas, namun jelas sekali
bahwa ada kekhasannya dari spiritualitas St. Fransiskus Asisi. Kekhasan itu dapat
dilihat dari perjalanan panggilan St. Fransiskus Asisi.
Fransiskus mengikuti Kristus dibentuk oleh pertemuannya dengan Yesus yang
tersalib di Gereja San Damiano. Pengalaman-pengalaman ini membuat St. Fransiskus
dan pengikutnya mengikuti Kristus yang miskin dan tersalib hingga dia sama sekali
serupa dengan-Nya di La Verna (Lanur, 1996: 23).
Fransiskus sadar sepenuhnya bahwa panggilannya datang dari Allah.
Fransiskus menyebutnya dalam wasiat dengan istilah melakukan pertobatan, yaitu
menunjuk pada perjalanan panggilan yang harus ditempuh dalam terang sabda Allah.
Secara bertahap dia sadar akan rencana Allah terhadap dirinya. Karena itu, dia terikat
pada Allah dengan iman yang teguh. Hidup dalam pertobatan menurut Fransiskus
adalah suatu perjalanan hidup menurut Injil; hidup dalam pertobatan terus-menerus
harus dipandang sebagai anugerah dari Tuhan. Rahmat itu diterima dengan
menghayati perubahan total secara batiniah dan lahiriah dalam hidup (Conti, 2006:
Fransiskus mewujudkan Injil seperti yang tertulis secara harafiah. Maka dapat
dikatakan spiritualitas Fransiskus adalah mengikuti jejak Kristus seperti dalam Injil.
Fransiskus dalam hidupnya tidak mengejar barang atau ajaran tetapi dia hanya
mengikuti Kristus, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia (Groenen, 2005 :
27-28). Dalam hal ini Heuken (2001: 92) mengatakan:
Hidup rohani Fransiskus dapat dirangkum demikian: konkrit, khas, manusiawi serta etis. Ia memelihara devosi mendalam kepada kemanusiaan Yesus, khususnya kepada Kristus Yang tersalib, sehingga ia memperoleh stigmata. Devosi ini mempersiapkan kesenian realistis, yang agak seram pada abad keempat dan kelima belas. Akan tetapi, Fransiskus sendiri lebih cocok dengan cahaya yang lembut seperti tampak pada karya seni Giotto. Santo ini memulai devosi pada kanak-kanak Yesus yang menumbuhkan kebiasaan membuat palungan kanak-kanak Jesus pada hari Natal. Fransiskus mengikuti Injil secara konkrit. Injil menjiwai seluruh hidupnya, sehingga menjadi suatu tafsiran yang hidup. Ia patuh kepada sabda Allah dan Gereja yang dia cintai, walaupun Gereja saat itu sedang mengalami krisis berat.
B. Nilai-nilai yang ditawarkan Spiritualitas Santo Fransiskus Asisi 1. Semangat Persaudaraan
Dalam seluruh Perjanjian Baru orang Kristiani suka disebut ”saudara” oleh
para rasul dan kelompok mereka dinamakan ”Persaudaraan” (1Ptr 2, 17:5,9)
”Namun kamu semua adalah saudara dan janganlah kamu disebut guru, sebab satulah
gurumu yang ada di surga yakni Kristus; dan janganlah kamu mau disebut bapak di
atas bumi, sebab satulah Bapamu yakni yang ada di surga” (Mat 23:8). Umat
Kristiani pertama sebagaimana digambarkan dalam Kisah Para Rasul, sungguh suatu
persaudaraan, tempat semua, bahkan milik jasmani menjadi milik bersama (Kis
Injil. Fransiskus mengambilnya menjadi cita-cita yang mau dilaksanakan serta
diwujudkannya di tengah penganutnya, supaya Injil dan kelompok rasuli hidup
kembali dalam masyarakat gerejawi.
Dengan demikian ide persaudaraan merupakan unsur dari Konsili Vatikan II:
Perfectae Caritatis tentang hidup bersama dalam art.15; Menurut teladan Gereja
perdana, ketika golongan kaum beriman hidup sehati dan sejiwa.” Ada pun kumpulan
orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang
berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala
sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (Kis 4:32).
Para Rasul adalah sekelompok orang bersaudara di bawah pimpinan Kristus.
Demikianlah saudara dina sekelompok orang bersaudara di bawah pimpinan Kristus
dan seperti persaudaraan dalam Perjanjian Baru, bahwa semua orang di hadapan
Tuhan dan di dalam Kristus setara dan sederajat tanpa perbedaan apa pun. Tuhan ada
bagi Yahudi dan Yunani, pria dan wanita, budak atau majikan sebab semua adalah
satu di dalam Kristus (Gal 3:28). Semua itu diambil alih oleh Fransiskus sebagai azas
untuk mengatur hubungan saudara dina dan orang lain dalam kerasulan (Anggaran
Dasar, 1226).
Kontitusi OSF, art. 3 mengatakan: ”Asal, gambaran serta kepenuhan setiap
persaudaraan adalah Allah Tritunggal. Dia telah memanggil kita bersama menjadi
satu persaudaraan rohani. Setiap suster dipanggil untuk membagikan anugerah yang
diberikan Allah kepadanya dan untuk menjadikan persekutuan kita tempat belas
Teks inilah yang merupakan dasar hidup bersama dalam persaudaraan OSF
Sibolga yang sampai sekarang dihayati juga oleh para pengikut St. Fransiskus Asisi.
2. Semangat Pertobatan
Semangat hidup dalam pertobatan menjadi suatu kekhasan dari para pengikut
St. Fransiskus Asisi. Setiap kongregasi yang bernaung di bawah semangat St.
Fransiskus Asisi menghayati pertobatan Injili dalam semangat doa, kemiskinan dan
kehinadinaan. Pengikut Fransiskus juga melihat pertobatan Injili itu sebagai rahmat
dari Allah dan bukan pertama-tama karena usaha manusia. Setiap saudara yang
melakukan pertobatan diberi pikiran, hati, kesadaran baru dan selalu diterangi Injil,
berpikir seperti Kristus dengan hati yang baru menyembah Allah dan mencintai
sesama menurut teladan Kristus.
Istilah melakukan pertobatan merupakan suatu panggilan hidup. Pengikut
Fransiskus menyadari bahwa Tuhan memanggilnya untuk karya misi khusus dari
Tuhan. Mereka dipanggil Allah mengikuti Kristus lebih dekat melalui hidup religius
khususnya pola hidup Injili yang diinspirasikan oleh Roh Tuhan kepada Fransiskus
untuk hidup dalam pertobatan. Fransiskus melakukan pertobatan dengan
mewujudkannya dalam tindakan berpuasa, kesaksian hidup sederhana dan rendah
hati. Fransiskus berpuasa menjalin hubungan erat dengan Allah dijalankan dengan
berdoa. Puasa juga sama dengan merendahkan diri di hadapan Allah, berpantang dari
makanan serta menempatkan diri dihadapan Allah dalam ketergantungan dan
Saat Fransiskus menemukan hidup pertobatan dengan serta merta bersorak
kegirangan: ”Inilah yang kuinginkan, inilah yang kucari, inilah yang hendak
kulakukan dengan segenap hati.” Tanpa menunggu sedikitpun, ia menanggalkan
pakaian musafirnya, yang hingga saat itu dipandang sebagai tanda ”hidup dalam
pertobatan” ia mengenakan jubah sederhana yang dirancangnya sendiri, pakai seutas
tali dengan kaki telanjang. Ia mulai berkotbah perihal Kerajaan Allah dan mengajak
semua orang bertobat. Ini terjadi pada tahun ketiga pertobatannya (Wasiat ayat 14).
Hendaklah mereka menjauhkan diri dari segala kejahatan dan bertekun dalam yang baik hingga akhir; sebab Putra Allah sendiri akan datang dalam semarak keagungan-Nya dan berkata kepada semua orang yang telah mengenal dan menyembah, serta mengabdi kepada-Nya dalam pertobatan (art. 2b).
Melalui nasehat yang dirumuskan dalam bentuk pujian, Fransiskus
mengundang semua orang untuk melakukan pertobatan. Setiap orang diajak untuk
menjauhkan diri dari kejahatan dan melakukan pekerjaan yang baik, bila
menghendaki pada akhir kehidupan ini memperoleh berkat dan berada dalam
Kerajaan Surga (Conti, 2006: 12).
3. Semangat Doa
Berdoa dilihat sebagai perkembangan dan puncak dari pertobatan. Dalam doa
dikontemplasikan misteri dan karya Tuhan yang satu dan tunggal, dan mengangkat
pujian dan ucapan syukur kepada Bapa dengan perantaraan Kristus dalam Roh
saudara-saudari dengan menyingkapkan kedalaman pengalaman rohani dan mistik mereka
(Conti, 2006: 51).
Saudara-saudari bersama semua makluk-Nya hendaklah memuji Tuhan, raja
langit dan bumi. Hendaklah mereka mengucap syukur kepada-Nya karena dengan
kehendak-Nya yang kudus dan melalui Putra-Nya yang tunggal bersama dengan Roh
Kudus, ia telah menciptakan segala sesuatu yang rohaniah dan jasmaniah dan kita
diciptakan-Nya menurut citra dan persamaan-Nya (Conti, 2006: 58).
Doa pujian, sembah bakti dan puji syukur yang dilantunkan saudara-saudari
dengan tak henti-hentinya kepada Allah yang mahatinggi dan mahabaik, mendapat
wujud nyata dalam ofisi ilahi yakni doa ibadat harian. Mereka selalu merayakan
ibadat harian sebagai persaudaraan dalam kesatuan dengan Kristus dan Gereja-Nya.
Doa kontemplatif dihayati saudara-saudari yang dipanggil Tuhan kepada
hidup kontemplatif, biara klausura secara teologis dipandang selaras dengan ide
tinggal di tempat sunyi dimana Kristus memanggil Para Rasul untuk berdoa (Mrk
6:31). Klausura pertapaan menjadi tempat pewahyuan dan keselamatan. Di sana
mereka menghayati peristiwa keluaran dan misteri padang gurun.
Doa persaudaraan yang terbuka atau aktif disebut doa kosmik, dihadapan
saudara-saudari yang melakukan pertobatan secara bebas dengan segenap ciptaan
dapat mengungkapkan diri selaras dengan rencana Allah. Melalui pertobatan, para
saudara mencapai kebebasan anak-anak Allah. Mereka mengarahkan suara bersama
Doa kosmik dan persudaraan kosmik merupakan konsep yang berhubungan satu sama
lain (Conti, 2006: 56-57).
4. Semangat Kemiskinan a. Hidup Tanpa Milik
Ungkapan hidup tanpa milik menurut Fransiskus Asisi bukanlah semata-mata
suatu rumusan kaul publik dalam arti menolak harta benda material. Ungkapan hidup
tanpa milik lebih pada penolakan secara total terutama atas harta milik intern.
Penolakan harta benda ekstern hanya merupakan syarat yang perlu untuk mencapai
penyerahan diri intern secara utuh seturut arti yang sesungguhnya dari kemiskinan
Injil secara sukarela. St. Fransiskus Asisi menganjurkan kepada setiap orang yang
masuk Ordo untuk lebih dahulu meninggalkan dunia dengan mempersembahkan
kepada Allah pertama-tama harta benda lahiriah mereka dan kemudian diri mereka
sendiri secara intern. Hanya mereka yang berani melepaskan harta benda dan tidak
menahan apapun sama sekali diperkenankan masuk Ordo untuk menepati Injil.
Penolakan milik ekstern ini artinya mengembalikan harta benda kepada Tuhan dari
siapa telah diterima dengan cara membagi-bagikannya kepada orang miskin atau
yang kekurangan (Iriarte, 1995: 98).
Menurut ajaran askese spesifik St. Fransiskus Asisi, segenap keutamaan
dilihat dalam fungsinya demi kemiskinan intern. Keinginan daging selalu
bertentangan dengan keinginan roh. Keinginan daging mendorong orang untuk
kemuliaan diri sendiri. Sedangkan Roh Allah mengajar kita untuk membedakan
dalam diri kita apa yang berasal dari Allah dan apa yang dikerjakan dalam diri kita.
Maka oleh terang Allah, kita mampu melihat keluhuran kemiskinan sedangkan mata
badani tertutup untuk itu. Memuliakan diri sendiri dan menaruh dengki terhadap
orang lain sangat berlawanan dengan hidup tanpa milik. Inilah yang dimaksud dengan
milik intern yang harus dilepaskan dan mengenakan kemiskinan intern. Seseorang
dapat mengenakan kemiskinan intern apabila mampu melepaskan segala cacat pusaka
yang dimiliki dan melakukan segala kebaikan yang disadari sebagai karunia dari
Tuhan dan semuanya demi kemuliaan Tuhan (Iriarte, 1995: 99).
b. Mengabdi Tuhan dalam Kemiskinan dan Kerendahan Hati
Perendahan Kristus bagi Fransiskus Asisi merupakan kekaguman dan
sekaligus menggerakkan dia untuk mengabdi-Nya dalam kemiskinan dan kerendahan
hati. Kristus adalah Tuhan atas kemuliaan telah memeluk dengan kasih, khususnya
orang-orang miskin, tertindas, mereka yang direndahkan, dihina dan yang
disingkirkan oleh masyarakat. Dalam ketaatan dan kerendahan Yesus membuat
diri-Nya sebagai orang yang paling hina, memasrahkan diri-diri-Nya direndahkan dan ditolak
demi melaksanakan tugas perutusan Bapa yang diberikan kepada-Nya. Terpikat oleh
kerendahan Kristus yang demikian, Fransiskus Asisi ingin mengembalikan diri
kepada Tuhan dan sesama dalam kemiskinan dan kerendahan hati. Perendahan yang
demikian yang dicari oleh Fransiskus Asisi untuk membangun hidupnya sehingga ia
pertama dari segala yang harus dipahami sebagai hasrat mengikuti Kristus, menjadi
solider dengan mereka yang kurang mendapat perhatian (Sutarja, 1998: 57).
Dalam misteri Ekaristi Kudus, Fransiskus Asisi memandang perendahan
Kristus sepenuhnya yang rela memberikan diri-Nya bagi semua orang dalam rupa roti
bahkan sampai pada pengosongan diri secara total. Dalam misteri ini, Tuhan
menyembunyikan segalanya bahkan hidup-Nya sendiri demi untuk melayani
kebutuhan manusia dengan penuh kasih. Inilah yang membuat hati Fransiskus Asisi
tergugah untuk melayani tanpa menahan sesuatu apapun bagi dirinya sendiri supaya
seperti Kristus, ia diperkenankan menjadi yang terakhir dan terkecil dari semua orang
untuk melayani semua orang dengan bebas dan meninggalkan seluruh dirinya. Jadi
perendahan merupakan kesiapsediaan mengikuti Kristus dan meninggalkan
segala-galanya supaya dapat melayani saudara-saudara dan menjadi saudara dina bagi semua
orang (Sutarja, 1998: 60).
Fransiskus Asisi menghayati Injil suci dengan penuh tanggungjawab. Kristus
menjadi pusat hidupnya sebagaimana diperkenalkan dalam Injil Dia merendahkan
diri-Nya secara total hingga wafat di kayu salib. Fransiskus berupaya dengan berkat
Allah untuk menjadi dina, miskin, rendah di antara semua manusia. Hal ini
merupakan dasar hidup yang dihayatinya dengan keyakinan, kegembiraan dan
kesiapsediaan. Fransiskus menjadi seperti Gurunya melalui semangat kemuridan ini
Fransiskus semakin mengenal Kristus dalam diri sesama yang menderita. Pengalaman
uniknya dengan orang kusta menjadi titik tolak ziarah kerendahan hati (Eddy
St. Fransiskus Asisi mengajak para pengikutnya mengikuti kerendahan hati
dan kemiskinan Yesus Kristus. Meskipun ia kaya melampaui segalanya namun sudi
miskin turun ke dunia yang menjelma melalui bunda-Nya perawan Maria. Jika Yesus
sendiri yang adalah Allah berbuat demikian, maka demikian juga para pengikut-Nya
hendaknya menyatakan diri dalam penghayatan kemiskinan. Hidup dalam kemiskinan
dinyatakan dengan keberanian untuk hidup di tengah-tengah orang kecil yang
dipandang hina dan orang-orang sakit yang didasari oleh cinta kepada Tuhan dan
sesama. Kemiskinan yang dihayati atas dasar cinta kepada Tuhan dan sesama akan
memancarkan kegembiraan dan tidak menjadi suatu beban (Iriarte, 1995: 92).
St. Fransiskus menyadari bahwa Allah adalah kebaikan yang sempurna dan
hanya Dialah satu-satunya yang baik. Oleh karena itu, Fransiskus Asisi mengajak
saudara-saudaranya untuk mengembalikan semuanya yang baik kepada Tuhan Yang
Mahatinggi serta mengakui bahwa semua yang baik adalah milik-Nya. Hendaknya
mereka insaf dengan sungguh-sungguh bahwa tidak ada yang mereka miliki selain
cacat-cela dan dosa (Iriarte, 1995: 95).
c. Hidup saling Melayani
Sikap kerendahan hati dalam mengikuti Kristus mewajibkan semua saudara
dina Fransiskus Asisi baik bawahan maupun atasan untuk hidup saling melayani.
Hidup saling melayani tampak dalam semangat persaudaraan dengan saling menyapa
sebagai saudara. Di mana pun berada dan bertemu hendaknya menunjukkan bahwa
dengan leluasa menyatakan kebutuhannya kepada yang lain dengan kasih. Jika ada
diantara saudara yang sakit, hendaknya saudara yang lainnya melayani sebagaimana
mereka sendiri pun ingin dilayani (Ladjar, 1988: 149).
Hidup saling melayani berarti pemberian diri kepada saudara-saudari dengan
tulus tanpa memperhitungkan untung rugi. Setiap orang harus menyadari dan selalu
ingat akan sabda Yesus ”Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani” (Mat 20:28). Sabda Yesus ini menjadi dasar bagi persaudaraan untuk
saling melayani. Jika setiap orang sadar akan hal itu maka tidak lagi saling menunggu
dan saling menuntut melainkan berlomba untuk melayani orang lain. Pelayanan
didasarkan atas cinta dan dilaksanakan dalam kerendahan hati. Berani minta maaf dan
memaafkan orang lain merupakan wujud dari pelayanan dan kemiskinan.
Bertanggungjawab dalam tugas dan melaksanakan dengan gembira demi hidup
bersama. Tidak mengukur berat atau ringan suatu pekerjaan atau tugas yang harus
ditanggung dengan kata lain segala sesuatu dilaksanakan dengan tulus demi
pelayanan.
d. Kebebasan Roh
Fransiskus Asisi atas kebebasannya sendiri meninggalkan ”dunia” dan ingin
mencapai yang Ilahi. Pengalaman bebas ini yang dilengkapi dengan rahmat membuat
Fransiskus Asisi mampu mendengarkan ”kesaksian Roh.” Fransiskus Asisi percaya
bahwa rohlah yang memberi jaminan kepada manusia, bahwa manusia adalah
anak Allah. ”Sebab Tuhan adalah Roh; dan dimana ada Roh Allah di situ ada
kemerdekaan” (2 Kor 3:17). Dalam diri Fransiskus Asisi, kebebasan roh tampak
dalam caranya mendekati Allah, dan dalam caranya membimbing orang-orang lain.
Ia percaya bahwa Roh Kudus akan berkarya dan mengajar para saudaranya akan apa
yang diketahui. Ia percaya juga bahwa para saudara bersedia dan terbuka menerima
pengurapan Roh. Maka untuk menghormati tindakan Roh, ia tidak membatasi
kebebasan bertindak kelompok dengan aturan-aturan ketat. Fransiskus Asisi tidak
menghendaki adanya peraturan-peraturan yang berlebihan yang membuat setiap
anggota merasa terbebani dan dapat membuat hilangnya kebebasan. Ia memberi
tanggung jawab bagi setiap orang untuk berbuat yang mereka anggap baik seturut
kehendak Tuhan. Dalam Anggaran Dasar dengan sadar ia mengurangi jumlah puasa
yang biasa dilakukan dalam ordo religius serta menghapus pantang yang dianggap
unsur penting dalam hidup religius (Iriarte, 1995: 65-66). Dalam AngTBul (pasal 3
ayat 13; Ang Bul pasal 3 ayat 14) dikatakan: ”Dan mereka boleh makan makanan apa
saja yang dihidangkan bagi mereka sesuai dengan Injil.”
C. Spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga
Sebelum menjelaskan spiritualitas kongregasi OSF Sibolga, akan dibahas
sekilas sejarah kongregasi OSF Sibolga serta visi dan misi kongregasi. Gambaran
1. Sejarah Kongregasi OSF Reute
Kongregasi OSF di Reute berdiri pada tahun 1848. Ketika itu terjadi
kekacauan politik di Jerman akibat dari revolusi Prancis tahun 1783 yang melanda
seluruh Eropa. Perkembangan Gereja Katolik terhimpit dengan melarang dan
menutup biara-biara yang sedang tumbuh dan berkembang saat itu. Maka muncullah
lima gadis muda sederhana yang tidak terpelajar dari kota Ehingen (Jerman Selatan)
yang mana awalnya mereka melayani orang-orang sakit yang miskin dan terlantar.
Para Suster pendiri tidak bermaksud menjadi biarawati tetapi kehendak Allah
menuntun mereka untuk hidup bersama. Akhirnya komunitas kecil terbentuk dan
hidup mereka didasari oleh semangat St. Fransiskus Asisi dan Anggaran Dasar Ordo
ke III.
Pada tanggal 13 Desember 1854 diadakan penjubahan Sr. M. Margaretha
Bloching di Gereja St. Maria Ehingen. Dalam arsip keuskupan Rottenburg ditemukan
tulisan bahwa ”Hati para suster dipenuhi semangat St. Fransiskus Asisi.” Mereka
menghayati ketaatan mutlak dan penuh sukacita. Mereka juga menghayati hidup
dalam kemiskinan dengan mengenakan pakaian dan makan-makanan yang
sederhana. Pengorbanan dan kerelaan untuk merawat orang sakit, lanjut usia, cacat,
mengasuh dan mendidik anak menjadi tujuan utama dalam pelayanan para suster.
Pada tahun 1875, jumlah anggota persaudaraan sudah 125 orang dan tersebar
di dua puluh dua komunitas. Saat itu, para suster mulai mencari rumah induk di
berbagai kota kemudian memilih tempat di Reute yakni suatu gedung biara yang
Beata Elisabeth seorang biarawati Fransiskan yang sangat sederhana. Para suster
memilih Beata Elisabeth yang baik menjadi pelindung Kongregasi OSF Reute
(Konst OSF, 1982: 87).
a. Latar Belakang Berdirinya Kongregasi OSF di Sibolga
Setelah Konsili Vatikan II, para uskup menghimbau agar para
biarawan-biarawati dari Eropa melibatkan diri dalam karya misi. Saat Uskup Gratian Grimm,
Administrator Prefektur Apostolik Sibolga singgah di Reute menghadiri Konsili
Vatikan II, pemimpin umum OSF membicarakan tentang karya misi di Keuskupan
Sibolga. Mereka membuat kesepakatan bersama untuk memulai karya pelayanan di
Keuskupan Sibolga.
Pada tanggal 7 Oktober 1964, lima suster misionaris dari Reute menapakkan
kaki di Indonesia, Medan. Para suster melakukan perutusan yang disemangati
kharisma pendiri yakni ”melayani Allah dalam diri manusia yang menderita”, inilah
juga yang mendasari semua karya tarekat OSF Sibolga. Para suster memulai karya
pelayanan dalam bidang sosial dan kesehatan di wilayah Prefektur Apostolik Sibolga,
karena karya pelayanan para suster pada awalnya berada di Keuskupan Sibolga
maka persaudaraan OSF yang berada di Indonesia sering disebut OSF Sibolga
(Dokumen Kongregasi OSF Sibolga).
Saat itu belum ada rencana untuk membuka biara karena dilihat sudah ada
empat biara Fransiskanes di Sumatera Utara. Sebelum membuka karya para suster
Pada bulan Agustus 1965 mereka memulai karya Balai Pengobatan, Taman
Kanak-kanak dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) bagi para putri di Padang
Sidempuan. Pada bulan Februari 1972, karya pelayanan diperluas ke Pangaribuan-
Barus, Tapanuli Tengah dan pada bulan April 1976 meluas sampai ke Pulau Nias
tepatnya di Idanő Gawo, Tetehősi.
Pada bulan Oktober 1976 persaudaraan yang kecil memutuskan menjadi
Regio dan berpusat di Padang Sidempuan. Sejak itu persaudaraan mulai memikirkan
untuk menerima calon sebagai anggota Kongregasi. Setelah beberapa tahun
persaudaraan semakin berkembang maka tahun 1980 karya pelayanan dikembangkan
ke berbagai tempat yakni: Pulau Tello, Manduamas, Pandan, Sibolga, Gunung Sitoli,
Mela dan Pematang Siantar. Persaudaraan melihat bahwa karya yang ditangani para
suster membutuhkan tenaga yang terampil dan profesional maka di buka komunitas
studi di Yogyakarta tahun 1994. Persaudaraan mulai mengembangkan karya ke arah
Indonesia Timur yakni Nangaroro dan sekarang telah dibuka satu komunitas lagi di
Mataloko, Flores. Pada tahun 2006 persaudaraan membuka komunitas di Medan
untuk rumah transit dan rumah studi para suster (Dokumen Kongregasi OSF Sibolga).
b. Tujuan Berdirinya Kongregasi OSF Sibolga
Para suster menghayati hidup dan karya perutusan karena ketertarikan kepada
daya kasih dan pengosongan diri Yesus yang menjelma menjadi manusia untuk
mewujudkan kasih-Nya para suster melaksanakan karya dengan melayani Allah
dapat membantu, melayani orang-orang kecil dan menderita yang memerlukan kasih
dan pelayanan.
c. Visi dan misi Kongregasi OSF Sibolga
Visi Kongregasi OSF Sibolga adalah hidup berdasarkan semangat Injil dan
St. Fransiskus Asisi, para suster memancarkan belaskasih Allah dengan mengangkat
dan memulihkan citra Allah dalam diri sesama yang menderita dan membaharui diri
secara terus-menerus dalam terang Injil.
Misi Kongregasi OSF Sibolga adalah para suster OSF terlibat dalam gerak
keprihatinan Yesus Kristus untuk memulihkan martabat manusia sebagai citra Allah
melalui karya-karya tarekat (Dokumen Kongregasi OSF Sibolga).
Berita Regio OSF Sibolga (2000: 4) mengulas tentang penghayatan
spiritualitas secara konkrit. Para suster yunior diajak untuk merefleksikan,
mengintrospeksi dan mengevaluasi diri dalam kaitannya dengan ”Basic formation
dan On going Formation.” Setelah mendalami dan menggali bersama dengan Romo
Mardi Prasetya SJ, dirumuskan bahwa spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga yakni:
mengabdi Allah dalam diri sesama yang menderita, mengikuti Kristus yang tersalib
menurut teladan dan semangat St. Fransiskus Asisi sesuai dengan Injil.
Dasar spiritualitas para suster OSF Sibolga adalah warisan rohani bapak
Serafik St. Fransiskus Asisi. Dengan mendasarkan diri pada penghayatan semangat
dan keteladanan St. Fransiskus Asisi sesuai dengan Injil sebagaimana dikatakan di
Seperti Fransiskus, yang kepadanya Tuhan sendiri mewahyukan bahwa dia harus ”hidup menurut Injil Suci” (Wasiat 14), demikian juga kita dipanggil untuk mendengarkan sabda Allah dan melaksanakannya. Yesus Kristus adalah pusat hidup kita. Dia adalah jalan, kebenaran dan kehidupan (Yoh 14:6). Kita mengikuti Kristus yang tersalib dan bangkit. Kita menyatakan Dia kepada manusia melalui hidup kita (Konst, 1992: art.1).
2. Nilai-nilai Spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga
Setelah diuraikan tentang spiritualitas St. Fransiskus Asisi yang menjadi
semangat para suster OSF Sibolga, sekarang akan dituliskan mengenai nilai-nilai
spiritualitas yang dihayati para suster OSF Sibolga dalam hidup persaudaraan. Ada
dua nilai yang hendak diuraikan yaitu: a. Cinta persaudaraan dalam komunitas b.
Kasih kepada yang menderita.
a. Cinta Persaudaraan dalam Komunitas
Semangat persaudaraan yang diteladankan St. Fransiskus Asisi dihayati para
suster OSF Sibolga dalam hidup berkomunitas. Cinta persaudaraan dalam komunitas
menjadi kekhasan yang dapat menghadirkan persaudaraan yang penuh kasih bagi
semua orang. Setiap anggota hendaknya menyumbangkan anugerah, bakat yang
dimiliki untuk membangun persaudaraan yang penuh cinta kasih. Harapan dari St.
Fransiskus Asisi dan pendiri OSF Sibolga ini dituangkan dalam Konstitusi ”Setiap
suster dipanggil untuk membagikan anugerah yang diberikan Allah kepadanya dan
untuk menjadikan persekutuan kita tempat belas kasih, sukacita dan damai bagi setiap
Apabila para suster menyadari bahwa setiap saudari merupakan anugerah dari
Allah dan persaudaraan menjadi persekutuan belaskasih maka terciptalah
persaudaraan yang penuh sukacita dan damai karena para suster hidup saling
mengasihi satu sama lain.
b. Kasih kepada Yang Menderita
Fransiskus menemukan Kristus dalam diri orang miskin lewat pertemuannya
dengan Si kusta. Sejak saat itu ia merasakan perubahan yang sungguh dalam
hatinya. Akhirnya ia pergi kepada orang-orang kusta dan hidup bersama mereka. Ia
melayani mereka semua dengan amat sungguh-sungguh demi Tuhan, ia membasuh
segala yang membusuk, bahkan membersihkan nanah dan luka-luka mereka.
Kristus selalu mewahyukan diri-Nya kepada orang yang mencarinya lewat
orang-orang yang butuh pertolongan, Fransiskus menyatakan itu kepada
pengikut-pengikutnya sebagai hadiah. Iman Fransiskus selama hidupnya dikobarkan oleh
pertemuannya dengan orang-orang miskin sebagai kehadiran Kristus. Celano
menuliskan: Kekurangan dan kesengsaraan apa saja ia lihat dalam diri seseorang,
serta merta ia mengenal Kristus. Apa saja ia lihat dalam diri orang yang
berkekurangan dan papa, kepapaan mana saja, ia mengalihkannya segera kepada diri
Kristus. Itu sebabnya dalam diri semua orang miskin, ia melihat Putera seorang
Perawan yang miskin. Ia berkata kepada saudara-saudaranya, bila saudara melihat
seorang miskin, cerminan Tuhan dan Bunda-Nya yang miskin yang berada di
yang ditanggung-Nya demi kita (Iriarte, 1995: 21). Fransiskus telah menunjukkan
cintanya Kepada Kristus dalam diri orang miskin. Rahmat dalam pertobatan
Fransiskus bukanlah yang istimewa maka para pengikutnya mampu juga untuk
mencintai Kristus dalam diri orang miskin dan menderita.
Dalam kronik dituliskan bahwa awalnya para suster pendiri OSF
melakukan pelayanan untuk merawat orang-orang sakit yang miskin dan terlantar.
Semangat pelayanan ini menjadi kharisma kongregasi ” Terpaut kepada daya kasih
pengosongan diri Allah, para suster OSF Sibolga melayani Allah dalam diri orang
yang menderita dan terbuka untuk penderitaan zaman ini seperti yang diteladankan
Kristus: ”Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk 22:27).
D. Pembinaan Hidup Religius
Setelah dibahas secara singkat tentang spiritualitas kongregasi OSF Sibolga,
di sini penulis akan menguraikan pengertian pembinaan hidup religius secara umum
dan pendekatan-pendekatannya.
1. Pengertian Pembinaan secara Umum
Pembinaan merupakan suatu proses belajar untuk dapat melepaskan hal-hal
yang sudah dimiliki dan mempelajari hal yang baru yang belum dimiliki sekaligus
sebagai latihan dan pendidikan pembinaan. Pembinaan menekankan pengembangan
manusia dalam segi afektif, praksis, psikomotorik yang bertujuan membantu orang
pengetahuan dan kecakapan baru demi mencapai tujuan hidup yang sedang dijalani
secara lebih efektif (Mangunhardjana, 1986: 11).
Pengertian pembinaan ini dapat diartikan juga sebagai usaha, tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil, demi memperoleh hasil
yang lebih baik. Dengan demikian pemahaman akan nilai-nilai baru yang sedang
dipelajari menjadi kecakapan dan pengetahuan yang dapat membantu hidup
seseorang (Mangunhardjana, 1986: 32)
a. Tujuan Pembinaan
Pembinaan bukan merupakan hal yang fundamental dalam meningkatkan
mutu pribadi dan pengetahuan, sikap, kemampuan dan kecakapan seseorang, namun
pembinaan dapat membantu dan mempengaruhi pola hidup seseorang. Pembinaan
bertujuan memampukan seseorang membaharui diri dan meningkatkan efektivitas
hidup dan karya. Pembinaan dapat menganalisis situasi hidup secara positif maupun
negatif dan memampukan orang untuk bertanggungjawab terhadap apa yang menjadi
tuntutan hidup (Mangunhardjana, 1986: 13).
Menurut Mardi Prasetya (2001: 24) tujuan pembinaan merupakan
transformasi diri dalam Kristus, menjadi murid Kristus menyertakan dinamika untuk
membentuk hidup atas dasar nilai-nilai yang ditawarkan oleh Kristus agar kita
diubah oleh nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu tujuan transformasi diri ini perlu
dilihat secara khusus supaya pembinaan tetap dilihat sebagai tujuan yang tertinggi
dihayati dalam hidup panggilan maka tujuan praktis yang lain harus diletakkan di
bawahnya. Konsili Vatikan II, dalam dekrit pembaharuan dan penyesuaian hidup
religius tentang pembinaan para anggota religius menegaskan:
Tetapi penyesuaian hidup religius dengan tuntutan-tuntutan zaman kita sekarang hendaknya jangan melulu bersifat lahiriah. Jangan sampai pula mereka yang berdasarkan Anggaran Dasar tarekat bertugas merasul di luar ternyata tidak mampu menunaikan tugas mereka. Untuk maksud itu hendaknya mereka, sesuai dengan bakat, kecerdasan dan watak-perangai pribadi masing-masing diberi pendidikan secukupnya tentang cara-cara hidup dan cara-cara pandang serta berpikir dalam masyarakat sekarang. Hendaklah diselenggarakan pembinaan melalui perpaduan unsur-unsurnya yang serasi sedemikian rupa, sehingga membantu para anggota mencapai keutuhan hidup (Perfectae Caritatis art. 18).
Dari beberapa pandangan di atas bahwa pembinaan sangat membantu
seseorang untuk membentuk hidup dan kemampuan untuk membaharui diri
sehingga nilai-nilai dasar panggilan untuk menjadi murid Kristus dapat selalu
dihayati dalam hidup secara terus-menerus.
b. Pendekatan-pendekatan dalam Program Pembinaan
Dalam pembinaan, setiap orang atau kelompok dapat mengenal beberapa
pendekatan utama dalam program pembinaan, karena program pembinaan
merupakan prosedur yang dijadikan landasan untuk menentukan isi dan urutan
kegiatan pembinaan yang akan dilaksanakan. Mangunhardjana (1986: 17)
mengemukakan tiga pendekatan dalam program pembinaan.
Pertama, pendekatan informatif yang menyampaikan informasi kepada para
pengetahuan, pengalaman mereka. Setiap peserta diperlakukan sebagai orang yang
belum mengetahui segala sesuatu dan tidak mempunyai pengalaman. Proses
pendekatan ini sering menggunakan metode ceramah sehingga partisipasi para
peserta dalam pembinaan sangat kurang dan terbatas pada permintaan penjelasan
atau menyampaikan pertanyaan mengenai hal yang belum dipahami.
Kedua, pendekatan partisipatif berlandaskan kepercayaan bahwa para
peserta merupakan sumber pembinaan yang utama. Dalam pembinaan, pengetahuan,
dan pengalaman serta keahlian peserta sangat dibutuhkan. Pembinaan ini lebih
merupakan situasi belajar bersama yang mana pembina dan para peserta saling
belajar satu sama lain.
Ketiga, pendekatan eksperensial berkeyakinan bahwa belajar yang sejati
terjadi karena pengalaman pribadi yang langsung dipelajari. Dalam pendekatan ini
peserta secara langsung terlibat pada situasi dan pengalaman dalam bidang yang
dijadikan sebagai pembinaan. Oleh karena itu, dituntut keahlian yang tinggi dari
seorang pembina.
2. Hidup Religius
Setelah dibahas tentang pembinaan penulis akan menguraikan secara singkat
a. Pengertian Hidup Religius
Hidup religius mengandung suatu proses panggilan seseorang menuju
manusia yang semakin penuh dalam Kristus. Hidup religius merupakan panggilan
untuk mengenal, mengikuti dan bersatu dengan Kristus. Pada dasarnya panggilan itu
dialami setiap orang Kristiani. Oleh karena itu panggilan untuk hidup sebagai religius
sama dengan panggilan hidup Kristiani. Hanya saja hidup religius memiliki kekhasan
yakni; mau menyatakan dengan sejelas-jelasnya bahwa hidup Kristiani secara hakiki
bersifat panggilan khusus (Rukiyanto, 2011: 4).
Dokumen gerejawi tentang pedoman-pedoman pembinaan dalam
lembaga-lembaga religius (Congregation for Institutes of Consecrated life and Societies of
Apostolic Life, Rome; 1990) dikatakan bahwa hidup religius adalah hidup yang
dibaktikan dengan kaul;
Hidup yang dibaktikan dengan kaul atas nasehat-nasehat injili adalah bentuk kehidupan tetap di mana orang beriman, dengan mengikuti Kristus secara lebih dekat atas dorongan Roh Kudus, dipersembahkan secara utuh kepada Tuhan yang paling dicintai, agar demi kehormatan bagi-Nya dan demi pembangunan Gereja serta keselamatan dunia. Mereka dilengkapi dengan dasar baru dan khusus, mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah dan sebagai tanda unggul dalam Gereja mewartakan kemuliaan surgawi.
Hidup Religius merupakan gerakan menuju kedalaman hidup berdasarkan
asal dan tujuan, keabadian hidup manusia dalam Tuhan. Kekhasan hidup religius
berasal dari apa yang disebut kharisma hidup religius. Kedalaman hidup religius yang
berdasarkan kharisma yang diterima akan tampak dalam orientasi hidup yang
Dalam menjalani hidup panggilannya banyak kaum religius mengalami
kesulitan untuk menyediakan disposisi yang subur buat persemaian benih panggilan
karena sering terjadi ketegangan antara hidup dalam roh dan kelemahan manusia.
Maka kaum religius diharapkan mampu melakukan pengolahan hidup dan
mengintegrasikan arah hidup dalam roh dengan disposisi kedewasaan dan pembinaan
diri terus-menerus. Pembinaan diri ini dapat dilakukan terus-menerus apabila kaum
religius selalu membina relasi, menghayati hidup Yesus dan ikut serta dalam tugas
perutusan-Nya (Mardi Prasetya, 2001: 25).
b. Tujuan Pembinaan Hidup Religius
Menjadi murid Kristus menyertakan dinamika untuk membentuk hidup atas
dasar nilai-nilai yang ditawarkan oleh Kristus kemudian nilai-nilai itu mengubah
hidup agar semakin menjadi serupa dengan Kristus. Proses ini sering disebut dengan
transformasi-diri dalam Kristus. Maka tujuan pembinaan hidup religius adalah suatu
proses mentransformasi diri dalam Kristus (Mardi Prasetya, 2001: 24).
Joko Suyanto (1994: 60) mengemukakan bahwa kesatuan dengan Yesus
membawa kaum religius kepada kesucian, kepenuhan dan kedalaman hidup batin.
Hidup yang penuh akan melimpah keluar sehingga orang lain dapat merasakannya.
Religius yang suci berarti religius yang mampu menghadirkan Yesus dalam hidup
keseharian dengan sesamanya. Hal ini dimungkinkan karena Roh Kristus sendiri
tinggal dalam dirinya dan seluruh langkah dan gerak hidupnya dalam bimbingan-Nya.
Dengan demikian kita dapat berseru dan berkeyakinan seperti Paulus, “Aku hidup,
tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”
(Gal 2:20).
c. Aspek yang Diharapkan Tumbuh dalam Hidup Religius
Aspek yang diharapkan cukup bertumbuh dalam diri seorang religius dalam
proses inkorporasi ini terkandung dalam keutamaan-keutamaan, menurut Mardi
Prasetya (2001: 57-58) ada enam aspek yang diharapkan tumbuh dalam diri seorang
religius yakni:
1) Aspek kognitif, yakni pengertian yang semakin mendalam tentang tarekat,
spiritualitas, kharisma dan gerak dinamis kerasulan tarekat sehingga selalu
mempunyai insigt dan saran untuk berkonfrontasi dengan kenyataan hidup yang
terus berjalan dan berubah.
2) Aspek sosial, yakni kemampuan untuk senantiasa mengadakan pembaruan dan
penyesuaian diri karena bertumbuhnya kemampuan sosialisasi dan adaptasi yang
seimbang dalam dunia sosial yang semakin kompleks tanpa hanyut ditelan arus
dan akses negatif dari modernisasi.
3) Aspek afektif, yakni kemampuan dalam menata batin sampai mencapai tahap
kebebasan batin dalam arti, tidak mudah diombang-ambingkan oleh gejolak emosi
dan perasaan sendiri, mampu menata dan mengendalikan sesuai tujuan hidupnya
4) Aspek rohani, yakni semakin memiliki cinta yang personal atau kedekatan hidup
pada Tuhan semakin menjadi murid Yesus yang sejati dan semakin berjalan
kearah konfigurasi dengan Kristus yang membuatnya makin mampu mengurangi
pengaruh dari kelemahan dan cacat pusakanya, mampu menanggung resiko,
konsekuensi dari pilihan hidup religiusnya dan mampu memanggul salibnya setiap
hari.
5) Aspek apostolis, yakni semakin memancarkan keterlibatan hidup apostolik yang
didasarkan pada keprihatinan Kristus dalam situasi dan kondisi konkrit sesuai
dengan kepekaan yang dicanangkan oleh tiap tarekat dan opsi real yang
diputuskan oleh provinsi dalam kerjasama dengan keuskupan setempat.
6) Aspek fisik, yakni berhubungan dengan kesehatan fisik dan pemeliharaan
kesehatan karena afektivitas yang tinggi dan inteligensi yang tinggi tidak akan
banyak berguna kalau secara fisik ia tidak sehat.
E. Dinamika Pembinaan Yuniorat
Di sini penulis akan membahas mengenai dinamika pembinaan yuniorat.
Kongregasi OSF Sibolga termasuk salah satu Lembaga Hidup Bakti yang secara
umum para suster melewati tahap-tahap pembinaan dari pembinaan di Aspiran,
Postulat, Novisiat, Yuniorat maupun yang sudah berkaul kekal on going formation.
1. Tahap Pembinaan Religius
Setiap calon yang memasuki suatu Lembaga Hidup Bakti tertentu harus
melalui tahap-tahap pembinaan. Mereka ditempa dalam proses perkenalan
Kongregasi yang mereka masuki. Berikut ini akan diuraikan secara singkat
tahap-tahap pembinaan religius untuk:
a. Pembinaan Aspiran
Aspiran merupakan masa bagi para calon untuk lebih mengenal Kongregasi
OSF Sibolga. Masa aspiran juga kesempatan untuk melihat dan mengasah bakat
yang dimiliki oleh aspiran. Tujuan khusus dari masa aspirat menurut Konstitusi
dikatakan:
Seorang calon yang merasa terpanggil dan hendak masuk dalam hidup membiara namun belum mengenal cara hidup kongregasi diberi kesempatan untuk lebih mengenal kongregasi yang sudah dipilih dan sekaligus melihat lebih dalam panggilannya. Masa ini biasanya dilakukan di komunitas-komunitas yang ditunjuk untuk mendampingi para aspiran. Masa aspiran ini berlangsung selama satu tahun (Konst, art. 36).
b. Pembinaan Postulat
Kata Postulat berasal dari kata “Postulare” yang berarti “mengajukan
permohonan.” Penerimaan calon dan pembina Postulan diatur dalam Kitab Hukum
Kanonik :
Masa postulan merupakan langkah awal bagi calon untuk mengenal
kehidupan membiara melalui kongregasi yang dimasukinya (Mardi Prasetya, 1992:
292). Para postulan dibina menjadi manusia Kristiani dan diperkenalkan cara hidup
Kongregasi. Para postulan dibimbing untuk memurnikan kembali motivasi awal
karena motivasi awal menjadi dasar yang sangat memegang peranan penting bagi
seorang postulan supaya ia semakin berkembang. Jadi masa postulan tekanannya
lebih kepada pemurnian motivasi awal dan memperkenalkan cara hidup membiara.
Keputusan untuk menerima seorang calon masuk postulat diatur dalam Konstitusi:
Masa postulat berlangsung selama satu tahun. Di sini para postulan hidup bersama-sama di salah satu tempat yang ditentukan oleh pemimpin umum dengan persetujuan dewannya. Yang diutamakan dalam masa postulat ialah pembinaan dan perkembangan postulan menuju manusia Kristiani dan perkembangan kedalam persaudaraan. Para postulan diperkenalkan riwayat hidup dan spiritualitas Santo Fransiskus Asisi, agar mereka semakin mengenal persaudaraan Fransiskan dan bidang-bidang karyanya (Konst, art. 2.2).
c. Pembinaan Novisiat
Masa novisiat merupakan masa istimewa bagi calon untuk mengalami
kehidupan membiara yang sesungguhnya. Kata ”novis” berasal dari kata ”novicius”
yang berarti ”orang baru” yang belum berpengalaman.” Pada masa novisiat ini,
seorang novis mulai melibatkan diri untuk menjalankan hidup berkomunitas dan
dituntun untuk melaksanakan nasihat-nasihat Injil. Para novis diajak untuk menjajaki
kesungguhan sikap dan motivasi dasar panggilannya bersama seorang magistranya
(Mardi Prasetya, 2001: 43). Tentang masa novisiat ini diatur dalam Konstitusi: