• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembinaan hidup religius para suster yunior kongregasi suster-suster Fransiskanes Sibolga dalam proses pematangan pribadi berdasarkan nilai-nilai spiritualitas Santo Fransiskus Asisi - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pembinaan hidup religius para suster yunior kongregasi suster-suster Fransiskanes Sibolga dalam proses pematangan pribadi berdasarkan nilai-nilai spiritualitas Santo Fransiskus Asisi - USD Repository"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

PROSEES PEMATAANGAN PRRIBADI BERRDASARKKAN NILAI--NILAI SPIRITUUALITAS SSANTO FRRANSISKUSS ASISI

SKRIPSI

Diaajukan untuk MMemenuhi Saalah Satu Syaarat M

Memperoleh Gelar Sarjanaa Pendidikan

Proggram Studi Ilmmu Pendidikaan Kekhususaan Pendidikann Agama Katoolik

Oleh Elizzabeth Sireggar

NIMM: 0711240019

PROGGRAM STUUDI ILMUU PENDIDIKKAN KEKHUSUUSAN PENNDIDIKAN AGAMA KKATOLIK

J

JURUSAN ILMU PENNDIDIKAN

FAKULTAAS KEGURUUAN DAN IILMU PENNDIDIKAN UNNIVERSITAAS SANATAA DHARMMA

YOOGYAKARTTA

(2)
(3)
(4)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada yang kucintai Kongregasi OSF Sibolga yang telah mendewasakan aku, para suster komunitas Saudara Leo Yogyakarta yang mencintaiku

(5)

MOTTO

“Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada

Allah, Bapa kita.”

(Kolose 3:17)

                       

(6)
(7)
(8)

Judul skripsi PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS BAGI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER-SUSTER FRANSISKANES SIBOLGA DALAM PROSES PEMATANGAN PRIBADI BERDASARKAN NILAI-NILAI SPIRITUALITAS ST. FRANSISKUS ASISI. Pemilihan judul ini didasari oleh suatu kerinduan dan harapan penulis akan pemahaman dan penghayatan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi yang benar dan utuh dalam hidup persaudaraan OSF Sibolga. Spiritualitas St. Fransiskus Asisi merupakan semangat dan cara hidup sesuai dengan Injil Yesus Kristus. Dengan menghayati nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi para suster yunior telah hidup sesuai Injil.

Para suster OSF Sibolga yang telah memilih hidup menurut semangat dan teladan hidup St. Fransiskus Asisi dan Konstitusi OSF Sibolga diharapkan mampu memahami dan menghayati nilai spiritualitas dengan utuh. Namun, kerapkali nilai-nilai spiritualitas tidak tampak dalam kehidupan para suster. Cara hidup yang diteladankan St. Fransiskus Asisi yang menjadi pedoman dan semangat hidup para pendiri OSF Sibolga kurang dapat diterapkan dalam kehidupan para suster zaman sekarang. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup sebagian para suster dalam persaudaraan. Gaya hidup yang kurang memiliki semangat dan daya juang telah memasuki hidup para suster sehingga semangat untuk bertekun dan setia pada komitmen menjadi terlupakan. Situasi ini menjadi tantangan dalam menghayati nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi. Para suster perlu bersikap tegas pada pilihan hidup sebagai religius yang menjadi pilihannya sendiri dalam menanggapi panggilan Tuhan.

Menyadari bahwa dalam praksis hidup sehari-hari nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi kurang dapat dilaksanakan, perlu usaha pembinaan terus-menerus sehingga dalam proses pematangan pribadi nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dapat dihayati dan diterapkan dalam hidup persaudaraan.

Untuk menanggapi permasalahan tersebut ditawarkan salah satu bentuk pembinaan melalui katekese model Shared Christian Praxis. Dengan model katekese yang dialogis dan pastisipatif ini, peserta diajak untuk merefleksikan secara kritis pengalaman penghayatan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dalam hidup sehari-hari. Pengalaman tersebut akan dikonfrontasikan dengan semangat hidup St. Fransiksus Asisi dan Konstitusi OSF Sibolga sehingga tumbuh suatu sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi untuk meningkatkan penghayatan dan penerapan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dalam hidup persaudaraan.

(9)

The title of this graduating paper is THE FORMATOR OF THE RELIGIOUS LIFE FOR THE JUNIOR SISTERS OF THE CONGREGATION OF THE SISTERS OF FRANSISCAN OF SIBOLGA IN THE PROCESS OF PERSONAL MATURATION BASED ON THE SPIRITUAL VALUES OF ST. FRANCIS OF ASSISI. This title was selected due to the writer’s longing and hope for the correct and full understanding and comprehension of the spiritual values of St. Francis of Assisi in the congregational life of the OSF (the St. Francis Order) of Sibolga. The spirituality of St. Francis of Assisi is the spirit and way of life in acordance with the Gospel of Jesus Christ. By comprehending the spiritual values of St. Francis of Assisi, the junior sisters have lived in accordance with the Gospel.

The sisters of the OSF of Sibolga who have chosen to live in accordance with the spirit and exemplary life of St. Francis of Assisi and the Constitution of the OSF of Sibolga are expected to be able to fully understand and live out the spiritual values. However, the spiritual values are often imperceptible in the life of the sisters. The way of life exemplified by St. Francis of Assisi, which becomes the guidance and spirit of life of the founders of the OSF of Sibolga is not easy to practice in the life of the sisters nowadays. This is perceptible in the lifestyle of some sisters of the congregation. A lifestyle which lacks of spirit and willpower has entered into the life of the sisters so that the spirit to persevere and to be faithful to their commitments can be forgotten. This situation presents a challenge in living out the spiritual values of St. Francis of Assisi. The sisters need to be firm with their choice of life as religious, which has become their own choice, in response to the call of God.

Realizing that, in the practice of everyday life, the spiritual values of St. Francis of Assisi is not easy to conduct, a continuous formation effort is necessary so that, in the process of personal maturation, the spiritual values of St. Francis of Assisi can be lived out and practiced in the congregational life.

In response to this problem, one type of formation through a cathecism of the Shared Christian Praxis model is offered. With this dialogic and participative cathecism model, the participants are invited to critically reflect their experience in living out the spiritual values of St. Francis of Assisi in everyday life. Their experience is confronted with the spirit of life of St. Francis of Assisi and the Constitution of the OSF of Sibolga so that new attitude and awareness which provide motivation to improve their comprehesion and practice of the spiritual values of St. Francis of Assisi in the congregational life can grow.

(10)

Puji dan syukur kepada Tuhan yang maha baik, karena kasih-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER-SUSTER FRANSISKANES SIBOLGA DALAM PROSES PEMATANGAN PRIBADI BERDASARKAN NILAI-NILAI SPIRITUALITAS ST. FRANSISKUS ASISI.

Skripsi ini merupakan karya ilmiah dan sumbangan terhadap pembinaan hidup religius khususnya kepada para suster yunior OSF Sibolga dan sekaligus untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Pendidikan di FKIP-JIP-Prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Proses penulisan skripsi ini tidak berjalan dengan mulus, namun penulis dapat belajar untuk semakin tekun dan tidak mudah putus asa. Penulis sangat berterimakasih kepada berbagai pihak yang telah menyumbangkan ide dan gagasannya, kemudahan dan kesempatan sehingga memungkinkan terselesaikannya skripsi ini. Secara khusus terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ., selaku Kaprodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang telah berkenan dan sabar membimbing penulis selama kuliah di kampus IPPAK.

2. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ., Sebagai pembimbing utama, yang penuh kesabaran dan kerelaan untuk mendampingi, membimbing, dan memberi masukan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini dari awal hingga selesai.

(11)

pembimbing akademik yang memberi semangat, masukan dan dukungan baik selama kuliah maupun dalam penyusunan skripsi ini.

4. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd. sebagai dosen penguji III yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan dan dukungan kepada penulis. 5. Para Dosen dan staf Karyawan IPPAK yang telah membimbing dan memberi

dukungan selama penulis kuliah di IPPAK Sanata Dharma Yogyakarta.

6. Dewan Pimpinan Regio dan seluruh persaudaraan OSF Sibolga yang memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi penulis untuk studi di IPPAK Universitas Sanata Dharma.

7. Segenap suster yunior Kongregasi OSF Sibolga, di komunitas Nias, Tapanuli Tengah, Medan dan para suster di mana pun berada baik yang masih studi maupun yang sudah berkarya, yang telah berpartisipasi memberikan dukungan moral dam material kepada penulis selama belajar sampai selesai skripsi ini. 8. Teman-teman angkatan 2007/2008 khususnya Sr. Mariela CB, Sr. Hironima

KSFL dan saudara Rikardus OFM yang selalu memberi semangat, kegembiraan, masukan dan pinjaman buku untuk penyelesaian skripsi ini.

9. Para suster OSF Sibolga komunitas Demangan Yogyakarta, yang mendukung dan menyemangati penulis selama studi dan saat penulisan skripsi ini.

10.Bapak, kakak dan adik-adikku yang memberi semangat dan dukungan dan selama penulis menempuh studi di Yogyakarta.

(12)

menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis menyadari, bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan yang membutuhkan koreksi dari para pembaca, baik dari segi penulisan maupun dari segi isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca sekalian. Terima kasih.

Yogyakarta, 12 April 2012

Penulis

Elizabeth Siregar  

           

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 4

E. Metode Penulisan... 5

F. Sistematika Penulisan ... 5

BAB II. SPIRITUALITAS SANTO FRANSISKUS ASISI DALAM PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER-SUSTER FRANSISKANES SIBOLGA ... 7

A. Pengertian Spiritualitas ... 7

1. Pengertian Spiritualitas secara umum ... 7

2. Spiritualitas St. Fransiskus Asisi ... 9

B. Nilai-nilai yang Ditawarkan Spiritualitas St. Fransiskus Asisi ... 10

1. Semangat Persaudaraan ... 10

(14)

3. Semangat Doa ... 13

4. Semangat Kemiskinan ... 15

a. Hidup Tanpa Milik ... 15

b. Mengabdi Tuhan dalam Kemiskinan dan Kerendahan Hati ... 16

c. Hidup Saling Melayani ... 18

d. Kebebasan Roh... 19

C. Spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga ... 20

1. Sejarah Kongregasi OSF di Reute ... 21

a. Latar Belakang Berdirinya OSF Sibolga ... 22

b. Tujuan Berdirinya Kongregasi OSF Sibolga ... 23

c. Visi dan Misi Kongregasi OSF Sibolga ... 24

2. Nilai-nilai Spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga ... 25

a. Cinta Persaudaraan dalam Komunitas ... 25

b. Kasih kepada sesama Menderita ... 26

D. Pembinaan Hidup Religius ... 27

1. Pengertian Pembinaan secara Umum ... 27

a. Tujuan Pembinaan ... 28

b. Pendekatan-pendekatan dalam Program Pembinaan ... 29

2. Hidup Religius ... 30

a. Pengertian Hidup Religius ... 31

b. Tujuan Pembinaan Hidup religius ... 32

c. Aspek yang Diharapkan Tumbuh dalam Hidup Religius ... 33

E. Dinamika Pembinaan Yuniorat... 34

1. Tahap Pembinaan Religius ... 35

a. Pembinaan Aspiran ... 35

b. Pembinaan Postulat ... 35

c. Pembinaan Novisiat ... 36

d. Pembinaan Yuniorat ... 37

(15)

2. Pembinaan Kematangan Pribadi Yuniorat ... 39

a. Keterbukaan dan Kepercayaan ... 39

b. Komunitas ... 39

c. Pendampingan dan Bimbingan ... 41

d. Pembina ... 41

e. Tanggungjawab Pribadi ... 42

f. Pengolahan Diri ... 43

1) Doa ... 43

2) Keheningan dan Kesadaran ... 44

F. Ciri-ciri Kedewasaan Pribadi ... 45

1. Memiliki Keyakinan Diri ... .... 45

2. Mampu Mempercayai Orang Lain ... 45

3. Memiliki Sikap Realistis ... .... 46

4. Memiliki Cinta yang Tidak Egois ... ... 46

BAB III. PENELITIAN TENTANG PENGHAYATAN NILAI-NILAI SPIRITUALITAS ST. FRANSISKUS ASISI DALAM PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS SUSTER YUNIOR OSF SIBOLGA ... 48

A. Gambaran Umum Suster Yunior OSF Sibolga ... 48

1. Gambaran Suster Yunior OSF Sibolga ... 48

B. Persiapan Penelitian ... 49

1. Latar Belakang Penelitian ... 49

2. Rumusan Masalah ... 50

3. Tujuan Penelitian ... 51

4. Pengumpulan Data ... 51

5. Responden Penelitian ... 52

6. Variabel Penelitian ... 52

7. Instrumen Pengumpulan Data ... 53

8. Prosedur Pengolahan Data ... 53

(16)

C. Laporan dan Pembahasan Hasil Penelitian ... 54

1. Laporan Penelitian ... 55

2. Pembahasan Hasil Penelitian ... 61

3. Kesimpulan Penelitian ... 70

BAB IV. PENDEKATAN KATEKETIS DALAM USAHA MENINGKATKAN PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI OSF SIBOLGA ... 72

A. Gambaran Umum Katekese ... 72

1. Pengertian Katekese ... 72

2. Bentuk Katekese... 75

3. Tujuan Katekese ... 75

4. Isi Katekese ... 77

5. Tugas Katekese ... 77

6. Unsur-unsur Katekese ... 78

B. Peranan Katekese dalam Meningkatkan Penghayatan Spiritualitas St. Fransiskus Asisi ... 80

1. Katekese Membantu Pengungkapan Pengalaman Konkrit Peserta ... 80

2. Katekese Membantu Proses Peningkatan Penghayatan Nilai-nilai Spiritualitas St. Fransiskus Asisi ... 81

C. Pemilihan Model Katekese ... 81

1. Model Shared Christian Praxis ... 82

2. Langkah-langkah Katekese Model Shared Christian Praxis ... 84

D. Usulan Program Katekese ... 86

1. Latar Belakang Penyusunan Program ... 86

2. Tujuan Penyusunan ... 87

3. Tema dan Tujuan... 88

4. Penjabaran Program Katekese... 89

5. Petunjuk Pelaksanaan ... 91

(17)

BAB V. PENUTUP ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111

LAMPIRAN ... 113

Lampiran 1: Surat Pengantar Penelitian ... (1)

Lampiran 2: Surat Pengantar Penelitian ke Komunitas ... (2)

Lampiran 3: Kuesioner Penelitian ... (3)

Lampiran 4: Daftar Suster Yunior OSF Sibolga ... (6)

Lampiran 5: Pedoman Wawancara ... (8)

Lampiran 6: Hasil Wawancara ... (9)

Lampiran 7: Cerita untuk Katekese ... (11)

                         

(18)

A. Singkatan Kitab Suci

Semua singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan Kitab Suci sesaui dengan daftar singkatan Perjanjian Baru dalam Alkitab Katolik Deutrokanonik cetakan tahun 2000 oleh Bimas Katolik Departemen Agama, Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV. Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

Mat : Matius

Mrk: Markus

Luk: Lukas

Kis: Kisah para Rasul 2 Kor: 2 Korintus 1Ptr: 1 Petrus

Gal: Galatia

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

` CT: Cathechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979

KHK: Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983.

PC: Perfectae Caritatis, Dokumen Konsili Vatikan II tentang pembaruan dan penyesuaian hidup religius secara umum

(19)

xix   

C. Singkatan lain

PKKI: Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia

AngTBul: Anggaran dasar yang diteguhkan dengan bulla (tahun 1223); biasa diistilahkan dengan Anggaran Dasar definitip.

AngBul: Anggaran dasar dengan bulla (tahun 1221) Konst: Konstitusi OSF Sibolga

Art: Artikel

AD: Anggaran Dasar

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Panggilan hidup sebagai religius pada zaman ini dihadapkan dengan sejumlah

tantangan dan godaan yang bersifat instan. Banyak para pemudi masuk sebagai

calon anggota tarekat religius tergolong dalam generasi instan yang memiliki

kecenderungan ingin langsung hidup enak, tidak memiliki kesabaran dan daya tahan

untuk memulai sesuatu dari bawah, cepat menyerah bila berhadapan dengan

kesulitan, berpenampilan terlalu percaya diri, merasa sudah tahu dan jarang mau

bertanya kepada para pendahulu yang sudah berpengalaman. Sulit membuat

komitmen untuk seumur hidup, kenyataan ini tampak dari lebih mudahnya orang

ganti haluan dalam memilih jalan hidup ketika mengalami keraguan atau kesulitan.

Adanya gejala individualisme semakin banyak ditemukan misalnya: kuatnya

keinginan untuk mengejar aktualisasi diri, sulitnya membangun hidup berkomunitas

dan semangat kebersamaan (Darminta, 2003: 236-240).

Tantangan-tantangan tersebut berangkat dari situasi zaman yang terus berubah

dan sekaligus perubahan mentalitas dan paradigma terhadap hidup. Seorang yang

memilih hidup religius juga berhadapan dengan perubahan-perubahan tersebut.

Perubahan-perubahan antara lain berkaitan dengan kemajuan di bidang ilmu

pengetahuan, kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi, dan lain sebagainya.

(21)

peradaban manusia. Namun disisi lain kemajuan-kemajuan tersebut semakin

membuat manusia terasing dari dirinya sendiri dan lebih parah lagi bisa menjadi

sumber yang merusak manusia dan dunianya (Sudiarja, 2003:11).

Dalam kenyataan, kemajuan teknologi yang semakin canggih kadang-kadang

juga membawa pengaruh terhadap perkembangan pribadi suster yunior. Apabila

pribadi suster yunior kurang dewasa dan matang akan mudah terpengaruh oleh

tawaran-tawaran dan terbawa arus, tidak mempunyai sikap dan prinsip yang kuat.

Dalam hidup bersama di komunitas sering para suster yunior mengalami

hambatan baik dari luar dan dari dalam diri suster yunior sendiri. Hambatan dari luar

sering dijumpai oleh suster yunior misalnya: kesibukan studi, tuntutan kerja yang

terlalu banyak, situasi komunitas. Selain itu tidak adanya keteladanan dan

kesungguhan dari suster senior untuk ikut serta membimbing dan membina para

suster yunior.

Sedangkan hambatan dari dalam diri yunior sendiri adalah tidak disiplin dalam

aturan yang ditetapkan di komunitas, kurang berefleksi, malas membaca dan

merenungkan Anggaran Dasar dan konstitusi kongregasi, hidup doa yang dangkal

dan enggan untuk mengolah perasaan, nilai-nilai spiritualitas kongregasi yang kurang

diperdalam dan terlalu terlena dengan kemapanan.

Menanggapi masalah-masalah yang terjadi kongregasi berusaha untuk

meningkatkan pembinaan hidup religius agar pribadi para suster yunior semakin

matang dan mantap tidak mudah terpengaruh atau pun goyah bila menghadapi situasi

(22)

para suster yunior, sebagai pribadi yang terus bertumbuh perlu dibimbing dan

diarahkan untuk menemukan nilai-nilai spiritualitas yang hakiki.

Keprihatinan penulis dalam hal ini secara khusus terarah pada upaya pembinaan

para suster yunior dalam Kongregasi OSF Sibolga. Sejauh pengamatan penulis, para

suster yunior dalam Kongregasi OSF Sibolga perlu dibantu untuk bertumbuh dalam

kematangan pribadi sebagai seorang pengikut Santo Fransiskus Asisi.

Oleh karena itu penulis mengangkat judul skripsi PEMBINAAN HIDUP

RELIGIUS PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER-SUSTER

FRANSISKANES SIBOLGA DALAM PROSES PEMATANGAN PRIBADI

BERDASARKAN NILAI-NILAI SPIRITUALITAS SANTO FRANSISKUS ASISI.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan beberapa

permasalahan antara lain:

1. Bagaimana spiritualitas St. Fransiskus Asisi ditanamkan dalam pembinaan hidup

religius para suster yunior OSF Sibolga ?

2. Sejauh mana nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dihayati para suster

yunior OSF Sibolga dalam proses pematangan pribadi ?

3. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pembinaan hidup religius

bagi para suster yunior OSF Sibolga dalam proses pematangan pribadi

(23)

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini sesuai dengan judul : Pembinaan

Hidup Religius Para Suster yunior OSF Sibolga dalam Proses pematangan Pribadi

Berdasarkan Spiritualitas St. Fransiskus Asisi.

1. Mengenal spiritualitas St. Fransiskus Asisi dan pembinaan hidup religius para

suster yunior OSF Sibolga.

2. Menggali penghayatan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dalam diri para

suster yunior OSF Sibolga.

3. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pembinaan hidup

religius suster yunior OSF Sibolga dalam proses pematangan pribadi berdasarkan

nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan ini dapat memberi manfaat:

1. Bagi penulis, memahami secara mendalam secara teoritis nilai-nilai spiritualitas

St. Fransiskus Asisi dalam pembinaan hidup religius dan memampukan penulis

untuk berefleksi sebagai suster yunior OSF Sibolga.

2. Memberikan sumbangan kepada kongregasi dalam mengevaluasi proses

pembinaan hidup religius para suster yunior OSF Sibolga yang selama ini

(24)

3. Meningkatkan kemampuan para pembina dalam membuat persiapan proses

pembinaan dan memotivasi para suster yunior OSF Sibolga untuk tetap

bersemangat dalam mengikuti pembinaan hidup religius.

E. Metode Penulisan

Penulisan ini menggunakan metode deskriptif analisis yakni menggambarkan

secara nyata keadaan yang terjadi dalam pembinaan hidup religius suster yunior OSF

Sibolga. Penelitian dilakukan melalui kuesioner dan wawancara yang dikumpulkan

penulis untuk mencari data. Pendekatan deskriptif ini juga dilakukan dengan studi

pustaka serta penemuan refleksi pribadi.

F. Sistematika Penulisan

Judul yang dipilih Pembinaan Hidup Religius Para Suster Yunior Kongregasi

Suster-suster Fransiskanes Sibolga dalam Proses Pematangan Pribadi Berdasarkan

Nilai-nilai Spiritualitas St. Fransiskus Asisi. Secara keseluruhan penulisan ini terbagi

dalam lima bab. Adapun perinciannya sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan: latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, sistematika

(25)

Bab II Spiritualitas St. Fransiskus Asisi dalam Pembinaan Hidup Religius Suster Yunior OSF Sibolga.

Bab kedua ini memaparkan tentang pengertian spiritualitas secara umum, lalu

dijelaskan mengenai spiritualitas St. Fransiskus Asisi dan dipaparkan juga tentang

Spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga dan pembinaan hidup religius suster yunior

OSF Sibolga.

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini berisi penelitian tentang penghayatan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus

Asisi dalam pembinaan hidup religius yunior OSF Sibolga, dengan pemahaman ini

diharapkan para suster yunior OSF Sibolga mampu memiliki kematangan pribadi

berdasarkan spiritualitas St. Fransiskus Asisi.

Bab IV Usulan Program

Bab ini merupakan usulan program katekese model Shared Christian Praxis bagi

para suster yunior OSF Sibolga yang meliputi: pengertian katekese model Shared

Christian Praxis, tujuan, usulan tema-tema katekese Shared Christian Praxis dan

usulan persiapan katekese Shared Christian Praxis.

Bab V Penutup

(26)

BAB II

SPIRITUALITAS SANTO FRANSISKUS ASISI DALAM PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER-SUSTER

FRANSISKANES SIBOLGA

Dalam pembinaan, para religius muda sudah mengetahui spiritualitas St.

Fransiskus Asisi, namun dalam hidup sehari-hari religius muda belum memahami

secara mendalam semangat, bentuk dan nilai-nilai spiritualitas St. Fransiskus Asisi

yang menjadi teladan dan semangat kongregasi. Oleh karena itu, bab II ini akan

terlebih dahulu menguraikan pengertian spiritualitas secara umum dan spiritualitas St.

Fransiskus Asisi, kemudian membahas pembinaan hidup religius suster yunior OSF

Sibolga. Pada bagian akhir akan dipaparkan pribadi yunior yang dewasa menurut

Kongregasi Suster-suster Fransiskanes Sibolga.

A. Pengertian Spiritualitas

1. Pengertian Spiritualitas secara Umum

Spiritualitas berasal dari kata Latin Spiritus yang berarti roh, jiwa, semangat.

Dari kata Latin ini terbentuk kata Prancis ι’esprit dan kata bendanya la spiritualitĕ.

Dari kata ini, kita mengenal dalam bahasa Inggris spirituality yang dalam bahasa

Indonesia menjadi spiritualitas. Kata spiritualitas sering merupakan kata yang

dilawankan dengan kata “materia” atau “korporalitas.” Disini spiritualitas berarti

(27)

bersifat kebendaan dan korporalitas yang bersifat badani atau yang berkaitan dengan

tubuh ( Hardjana, 2005: 64).

Spiritualitas adalah istilah baru yang menandakan ’kerohanian’ atau ’hidup

rohani.’ Kata ini menekankan segi kebersamaan’ bila dibandingkan dengan kata

yang lebih tua, yaitu ’kesalehan’ yang menandakan hubungan orang perorangan

dengan Allah. Selain itu spiritualitas dapat diterapkan pada aneka bentuk kehidupan

rohani, misalnya ’spiritualitas modern’ atau ’spiritualitas kaum awam.’ Spiritualitas

mencakup dua segi yakni askese atau usaha melatih-diri secara teratur supaya terbuka

dan peka terhadap sapaan Allah. Segi lain adalah mistik sebagai aneka bentuk dan

tahap pertemuan pribadi dengan Allah. Askese menandakan jalan dan mistik tujuan

hidup keagamaan manusia. Dasar hidup rohani dan semua bentuk spiritualitas sejati

adalah Roh (=Spiritus; Latin) yaitu Roh Kristus sebagaimana diungkapkan dalam

Injil. Orang yang peka akan sapaan Allah mengalami buah kehadiran Roh dalam

hatinya.

Spiritualitas lebih mengarah pada hubungan pribadi dengan Tuhan sebagai

anugerah Roh Kudus.

(28)

keberadaan orang beriman sejauh dialami sebagai anugerah Roh Kudus yang meresapi seluruh dirinya (Heuken, 2001: 11).

2. Spiritualitas Santo Fransiskus Asisi

Spiritualitas yang dikembangkan dan dihayati oleh St. Fransiskus Asisi tidak

jauh berbeda dari pengertian spiritualitas secara umum di atas, namun jelas sekali

bahwa ada kekhasannya dari spiritualitas St. Fransiskus Asisi. Kekhasan itu dapat

dilihat dari perjalanan panggilan St. Fransiskus Asisi.

Fransiskus mengikuti Kristus dibentuk oleh pertemuannya dengan Yesus yang

tersalib di Gereja San Damiano. Pengalaman-pengalaman ini membuat St. Fransiskus

dan pengikutnya mengikuti Kristus yang miskin dan tersalib hingga dia sama sekali

serupa dengan-Nya di La Verna (Lanur, 1996: 23).

Fransiskus sadar sepenuhnya bahwa panggilannya datang dari Allah.

Fransiskus menyebutnya dalam wasiat dengan istilah melakukan pertobatan, yaitu

menunjuk pada perjalanan panggilan yang harus ditempuh dalam terang sabda Allah.

Secara bertahap dia sadar akan rencana Allah terhadap dirinya. Karena itu, dia terikat

pada Allah dengan iman yang teguh. Hidup dalam pertobatan menurut Fransiskus

adalah suatu perjalanan hidup menurut Injil; hidup dalam pertobatan terus-menerus

harus dipandang sebagai anugerah dari Tuhan. Rahmat itu diterima dengan

menghayati perubahan total secara batiniah dan lahiriah dalam hidup (Conti, 2006:

(29)

Fransiskus mewujudkan Injil seperti yang tertulis secara harafiah. Maka dapat

dikatakan spiritualitas Fransiskus adalah mengikuti jejak Kristus seperti dalam Injil.

Fransiskus dalam hidupnya tidak mengejar barang atau ajaran tetapi dia hanya

mengikuti Kristus, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia (Groenen, 2005 :

27-28). Dalam hal ini Heuken (2001: 92) mengatakan:

Hidup rohani Fransiskus dapat dirangkum demikian: konkrit, khas, manusiawi serta etis. Ia memelihara devosi mendalam kepada kemanusiaan Yesus, khususnya kepada Kristus Yang tersalib, sehingga ia memperoleh stigmata. Devosi ini mempersiapkan kesenian realistis, yang agak seram pada abad keempat dan kelima belas. Akan tetapi, Fransiskus sendiri lebih cocok dengan cahaya yang lembut seperti tampak pada karya seni Giotto. Santo ini memulai devosi pada kanak-kanak Yesus yang menumbuhkan kebiasaan membuat palungan kanak-kanak Jesus pada hari Natal. Fransiskus mengikuti Injil secara konkrit. Injil menjiwai seluruh hidupnya, sehingga menjadi suatu tafsiran yang hidup. Ia patuh kepada sabda Allah dan Gereja yang dia cintai, walaupun Gereja saat itu sedang mengalami krisis berat.

B. Nilai-nilai yang ditawarkan Spiritualitas Santo Fransiskus Asisi 1. Semangat Persaudaraan

Dalam seluruh Perjanjian Baru orang Kristiani suka disebut ”saudara” oleh

para rasul dan kelompok mereka dinamakan ”Persaudaraan” (1Ptr 2, 17:5,9)

”Namun kamu semua adalah saudara dan janganlah kamu disebut guru, sebab satulah

gurumu yang ada di surga yakni Kristus; dan janganlah kamu mau disebut bapak di

atas bumi, sebab satulah Bapamu yakni yang ada di surga” (Mat 23:8). Umat

Kristiani pertama sebagaimana digambarkan dalam Kisah Para Rasul, sungguh suatu

persaudaraan, tempat semua, bahkan milik jasmani menjadi milik bersama (Kis

(30)

Injil. Fransiskus mengambilnya menjadi cita-cita yang mau dilaksanakan serta

diwujudkannya di tengah penganutnya, supaya Injil dan kelompok rasuli hidup

kembali dalam masyarakat gerejawi.

Dengan demikian ide persaudaraan merupakan unsur dari Konsili Vatikan II:

Perfectae Caritatis tentang hidup bersama dalam art.15; Menurut teladan Gereja

perdana, ketika golongan kaum beriman hidup sehati dan sejiwa.” Ada pun kumpulan

orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang

berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala

sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (Kis 4:32).

Para Rasul adalah sekelompok orang bersaudara di bawah pimpinan Kristus.

Demikianlah saudara dina sekelompok orang bersaudara di bawah pimpinan Kristus

dan seperti persaudaraan dalam Perjanjian Baru, bahwa semua orang di hadapan

Tuhan dan di dalam Kristus setara dan sederajat tanpa perbedaan apa pun. Tuhan ada

bagi Yahudi dan Yunani, pria dan wanita, budak atau majikan sebab semua adalah

satu di dalam Kristus (Gal 3:28). Semua itu diambil alih oleh Fransiskus sebagai azas

untuk mengatur hubungan saudara dina dan orang lain dalam kerasulan (Anggaran

Dasar, 1226).

Kontitusi OSF, art. 3 mengatakan: ”Asal, gambaran serta kepenuhan setiap

persaudaraan adalah Allah Tritunggal. Dia telah memanggil kita bersama menjadi

satu persaudaraan rohani. Setiap suster dipanggil untuk membagikan anugerah yang

diberikan Allah kepadanya dan untuk menjadikan persekutuan kita tempat belas

(31)

Teks inilah yang merupakan dasar hidup bersama dalam persaudaraan OSF

Sibolga yang sampai sekarang dihayati juga oleh para pengikut St. Fransiskus Asisi.

2. Semangat Pertobatan

Semangat hidup dalam pertobatan menjadi suatu kekhasan dari para pengikut

St. Fransiskus Asisi. Setiap kongregasi yang bernaung di bawah semangat St.

Fransiskus Asisi menghayati pertobatan Injili dalam semangat doa, kemiskinan dan

kehinadinaan. Pengikut Fransiskus juga melihat pertobatan Injili itu sebagai rahmat

dari Allah dan bukan pertama-tama karena usaha manusia. Setiap saudara yang

melakukan pertobatan diberi pikiran, hati, kesadaran baru dan selalu diterangi Injil,

berpikir seperti Kristus dengan hati yang baru menyembah Allah dan mencintai

sesama menurut teladan Kristus.

Istilah melakukan pertobatan merupakan suatu panggilan hidup. Pengikut

Fransiskus menyadari bahwa Tuhan memanggilnya untuk karya misi khusus dari

Tuhan. Mereka dipanggil Allah mengikuti Kristus lebih dekat melalui hidup religius

khususnya pola hidup Injili yang diinspirasikan oleh Roh Tuhan kepada Fransiskus

untuk hidup dalam pertobatan. Fransiskus melakukan pertobatan dengan

mewujudkannya dalam tindakan berpuasa, kesaksian hidup sederhana dan rendah

hati. Fransiskus berpuasa menjalin hubungan erat dengan Allah dijalankan dengan

berdoa. Puasa juga sama dengan merendahkan diri di hadapan Allah, berpantang dari

makanan serta menempatkan diri dihadapan Allah dalam ketergantungan dan

(32)

Saat Fransiskus menemukan hidup pertobatan dengan serta merta bersorak

kegirangan: ”Inilah yang kuinginkan, inilah yang kucari, inilah yang hendak

kulakukan dengan segenap hati.” Tanpa menunggu sedikitpun, ia menanggalkan

pakaian musafirnya, yang hingga saat itu dipandang sebagai tanda ”hidup dalam

pertobatan” ia mengenakan jubah sederhana yang dirancangnya sendiri, pakai seutas

tali dengan kaki telanjang. Ia mulai berkotbah perihal Kerajaan Allah dan mengajak

semua orang bertobat. Ini terjadi pada tahun ketiga pertobatannya (Wasiat ayat 14).

Hendaklah mereka menjauhkan diri dari segala kejahatan dan bertekun dalam yang baik hingga akhir; sebab Putra Allah sendiri akan datang dalam semarak keagungan-Nya dan berkata kepada semua orang yang telah mengenal dan menyembah, serta mengabdi kepada-Nya dalam pertobatan (art. 2b).

Melalui nasehat yang dirumuskan dalam bentuk pujian, Fransiskus

mengundang semua orang untuk melakukan pertobatan. Setiap orang diajak untuk

menjauhkan diri dari kejahatan dan melakukan pekerjaan yang baik, bila

menghendaki pada akhir kehidupan ini memperoleh berkat dan berada dalam

Kerajaan Surga (Conti, 2006: 12).

3. Semangat Doa

Berdoa dilihat sebagai perkembangan dan puncak dari pertobatan. Dalam doa

dikontemplasikan misteri dan karya Tuhan yang satu dan tunggal, dan mengangkat

pujian dan ucapan syukur kepada Bapa dengan perantaraan Kristus dalam Roh

(33)

saudara-saudari dengan menyingkapkan kedalaman pengalaman rohani dan mistik mereka

(Conti, 2006: 51).

Saudara-saudari bersama semua makluk-Nya hendaklah memuji Tuhan, raja

langit dan bumi. Hendaklah mereka mengucap syukur kepada-Nya karena dengan

kehendak-Nya yang kudus dan melalui Putra-Nya yang tunggal bersama dengan Roh

Kudus, ia telah menciptakan segala sesuatu yang rohaniah dan jasmaniah dan kita

diciptakan-Nya menurut citra dan persamaan-Nya (Conti, 2006: 58).

Doa pujian, sembah bakti dan puji syukur yang dilantunkan saudara-saudari

dengan tak henti-hentinya kepada Allah yang mahatinggi dan mahabaik, mendapat

wujud nyata dalam ofisi ilahi yakni doa ibadat harian. Mereka selalu merayakan

ibadat harian sebagai persaudaraan dalam kesatuan dengan Kristus dan Gereja-Nya.

Doa kontemplatif dihayati saudara-saudari yang dipanggil Tuhan kepada

hidup kontemplatif, biara klausura secara teologis dipandang selaras dengan ide

tinggal di tempat sunyi dimana Kristus memanggil Para Rasul untuk berdoa (Mrk

6:31). Klausura pertapaan menjadi tempat pewahyuan dan keselamatan. Di sana

mereka menghayati peristiwa keluaran dan misteri padang gurun.

Doa persaudaraan yang terbuka atau aktif disebut doa kosmik, dihadapan

saudara-saudari yang melakukan pertobatan secara bebas dengan segenap ciptaan

dapat mengungkapkan diri selaras dengan rencana Allah. Melalui pertobatan, para

saudara mencapai kebebasan anak-anak Allah. Mereka mengarahkan suara bersama

(34)

Doa kosmik dan persudaraan kosmik merupakan konsep yang berhubungan satu sama

lain (Conti, 2006: 56-57).

4. Semangat Kemiskinan a. Hidup Tanpa Milik

Ungkapan hidup tanpa milik menurut Fransiskus Asisi bukanlah semata-mata

suatu rumusan kaul publik dalam arti menolak harta benda material. Ungkapan hidup

tanpa milik lebih pada penolakan secara total terutama atas harta milik intern.

Penolakan harta benda ekstern hanya merupakan syarat yang perlu untuk mencapai

penyerahan diri intern secara utuh seturut arti yang sesungguhnya dari kemiskinan

Injil secara sukarela. St. Fransiskus Asisi menganjurkan kepada setiap orang yang

masuk Ordo untuk lebih dahulu meninggalkan dunia dengan mempersembahkan

kepada Allah pertama-tama harta benda lahiriah mereka dan kemudian diri mereka

sendiri secara intern. Hanya mereka yang berani melepaskan harta benda dan tidak

menahan apapun sama sekali diperkenankan masuk Ordo untuk menepati Injil.

Penolakan milik ekstern ini artinya mengembalikan harta benda kepada Tuhan dari

siapa telah diterima dengan cara membagi-bagikannya kepada orang miskin atau

yang kekurangan (Iriarte, 1995: 98).

Menurut ajaran askese spesifik St. Fransiskus Asisi, segenap keutamaan

dilihat dalam fungsinya demi kemiskinan intern. Keinginan daging selalu

bertentangan dengan keinginan roh. Keinginan daging mendorong orang untuk

(35)

kemuliaan diri sendiri. Sedangkan Roh Allah mengajar kita untuk membedakan

dalam diri kita apa yang berasal dari Allah dan apa yang dikerjakan dalam diri kita.

Maka oleh terang Allah, kita mampu melihat keluhuran kemiskinan sedangkan mata

badani tertutup untuk itu. Memuliakan diri sendiri dan menaruh dengki terhadap

orang lain sangat berlawanan dengan hidup tanpa milik. Inilah yang dimaksud dengan

milik intern yang harus dilepaskan dan mengenakan kemiskinan intern. Seseorang

dapat mengenakan kemiskinan intern apabila mampu melepaskan segala cacat pusaka

yang dimiliki dan melakukan segala kebaikan yang disadari sebagai karunia dari

Tuhan dan semuanya demi kemuliaan Tuhan (Iriarte, 1995: 99).

b. Mengabdi Tuhan dalam Kemiskinan dan Kerendahan Hati

Perendahan Kristus bagi Fransiskus Asisi merupakan kekaguman dan

sekaligus menggerakkan dia untuk mengabdi-Nya dalam kemiskinan dan kerendahan

hati. Kristus adalah Tuhan atas kemuliaan telah memeluk dengan kasih, khususnya

orang-orang miskin, tertindas, mereka yang direndahkan, dihina dan yang

disingkirkan oleh masyarakat. Dalam ketaatan dan kerendahan Yesus membuat

diri-Nya sebagai orang yang paling hina, memasrahkan diri-diri-Nya direndahkan dan ditolak

demi melaksanakan tugas perutusan Bapa yang diberikan kepada-Nya. Terpikat oleh

kerendahan Kristus yang demikian, Fransiskus Asisi ingin mengembalikan diri

kepada Tuhan dan sesama dalam kemiskinan dan kerendahan hati. Perendahan yang

demikian yang dicari oleh Fransiskus Asisi untuk membangun hidupnya sehingga ia

(36)

pertama dari segala yang harus dipahami sebagai hasrat mengikuti Kristus, menjadi

solider dengan mereka yang kurang mendapat perhatian (Sutarja, 1998: 57).

Dalam misteri Ekaristi Kudus, Fransiskus Asisi memandang perendahan

Kristus sepenuhnya yang rela memberikan diri-Nya bagi semua orang dalam rupa roti

bahkan sampai pada pengosongan diri secara total. Dalam misteri ini, Tuhan

menyembunyikan segalanya bahkan hidup-Nya sendiri demi untuk melayani

kebutuhan manusia dengan penuh kasih. Inilah yang membuat hati Fransiskus Asisi

tergugah untuk melayani tanpa menahan sesuatu apapun bagi dirinya sendiri supaya

seperti Kristus, ia diperkenankan menjadi yang terakhir dan terkecil dari semua orang

untuk melayani semua orang dengan bebas dan meninggalkan seluruh dirinya. Jadi

perendahan merupakan kesiapsediaan mengikuti Kristus dan meninggalkan

segala-galanya supaya dapat melayani saudara-saudara dan menjadi saudara dina bagi semua

orang (Sutarja, 1998: 60).

Fransiskus Asisi menghayati Injil suci dengan penuh tanggungjawab. Kristus

menjadi pusat hidupnya sebagaimana diperkenalkan dalam Injil Dia merendahkan

diri-Nya secara total hingga wafat di kayu salib. Fransiskus berupaya dengan berkat

Allah untuk menjadi dina, miskin, rendah di antara semua manusia. Hal ini

merupakan dasar hidup yang dihayatinya dengan keyakinan, kegembiraan dan

kesiapsediaan. Fransiskus menjadi seperti Gurunya melalui semangat kemuridan ini

Fransiskus semakin mengenal Kristus dalam diri sesama yang menderita. Pengalaman

uniknya dengan orang kusta menjadi titik tolak ziarah kerendahan hati (Eddy

(37)

St. Fransiskus Asisi mengajak para pengikutnya mengikuti kerendahan hati

dan kemiskinan Yesus Kristus. Meskipun ia kaya melampaui segalanya namun sudi

miskin turun ke dunia yang menjelma melalui bunda-Nya perawan Maria. Jika Yesus

sendiri yang adalah Allah berbuat demikian, maka demikian juga para pengikut-Nya

hendaknya menyatakan diri dalam penghayatan kemiskinan. Hidup dalam kemiskinan

dinyatakan dengan keberanian untuk hidup di tengah-tengah orang kecil yang

dipandang hina dan orang-orang sakit yang didasari oleh cinta kepada Tuhan dan

sesama. Kemiskinan yang dihayati atas dasar cinta kepada Tuhan dan sesama akan

memancarkan kegembiraan dan tidak menjadi suatu beban (Iriarte, 1995: 92).

St. Fransiskus menyadari bahwa Allah adalah kebaikan yang sempurna dan

hanya Dialah satu-satunya yang baik. Oleh karena itu, Fransiskus Asisi mengajak

saudara-saudaranya untuk mengembalikan semuanya yang baik kepada Tuhan Yang

Mahatinggi serta mengakui bahwa semua yang baik adalah milik-Nya. Hendaknya

mereka insaf dengan sungguh-sungguh bahwa tidak ada yang mereka miliki selain

cacat-cela dan dosa (Iriarte, 1995: 95).

c. Hidup saling Melayani

Sikap kerendahan hati dalam mengikuti Kristus mewajibkan semua saudara

dina Fransiskus Asisi baik bawahan maupun atasan untuk hidup saling melayani.

Hidup saling melayani tampak dalam semangat persaudaraan dengan saling menyapa

sebagai saudara. Di mana pun berada dan bertemu hendaknya menunjukkan bahwa

(38)

dengan leluasa menyatakan kebutuhannya kepada yang lain dengan kasih. Jika ada

diantara saudara yang sakit, hendaknya saudara yang lainnya melayani sebagaimana

mereka sendiri pun ingin dilayani (Ladjar, 1988: 149).

Hidup saling melayani berarti pemberian diri kepada saudara-saudari dengan

tulus tanpa memperhitungkan untung rugi. Setiap orang harus menyadari dan selalu

ingat akan sabda Yesus ”Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk

melayani” (Mat 20:28). Sabda Yesus ini menjadi dasar bagi persaudaraan untuk

saling melayani. Jika setiap orang sadar akan hal itu maka tidak lagi saling menunggu

dan saling menuntut melainkan berlomba untuk melayani orang lain. Pelayanan

didasarkan atas cinta dan dilaksanakan dalam kerendahan hati. Berani minta maaf dan

memaafkan orang lain merupakan wujud dari pelayanan dan kemiskinan.

Bertanggungjawab dalam tugas dan melaksanakan dengan gembira demi hidup

bersama. Tidak mengukur berat atau ringan suatu pekerjaan atau tugas yang harus

ditanggung dengan kata lain segala sesuatu dilaksanakan dengan tulus demi

pelayanan.

d. Kebebasan Roh

Fransiskus Asisi atas kebebasannya sendiri meninggalkan ”dunia” dan ingin

mencapai yang Ilahi. Pengalaman bebas ini yang dilengkapi dengan rahmat membuat

Fransiskus Asisi mampu mendengarkan ”kesaksian Roh.” Fransiskus Asisi percaya

bahwa rohlah yang memberi jaminan kepada manusia, bahwa manusia adalah

(39)

anak Allah. ”Sebab Tuhan adalah Roh; dan dimana ada Roh Allah di situ ada

kemerdekaan” (2 Kor 3:17). Dalam diri Fransiskus Asisi, kebebasan roh tampak

dalam caranya mendekati Allah, dan dalam caranya membimbing orang-orang lain.

Ia percaya bahwa Roh Kudus akan berkarya dan mengajar para saudaranya akan apa

yang diketahui. Ia percaya juga bahwa para saudara bersedia dan terbuka menerima

pengurapan Roh. Maka untuk menghormati tindakan Roh, ia tidak membatasi

kebebasan bertindak kelompok dengan aturan-aturan ketat. Fransiskus Asisi tidak

menghendaki adanya peraturan-peraturan yang berlebihan yang membuat setiap

anggota merasa terbebani dan dapat membuat hilangnya kebebasan. Ia memberi

tanggung jawab bagi setiap orang untuk berbuat yang mereka anggap baik seturut

kehendak Tuhan. Dalam Anggaran Dasar dengan sadar ia mengurangi jumlah puasa

yang biasa dilakukan dalam ordo religius serta menghapus pantang yang dianggap

unsur penting dalam hidup religius (Iriarte, 1995: 65-66). Dalam AngTBul (pasal 3

ayat 13; Ang Bul pasal 3 ayat 14) dikatakan: ”Dan mereka boleh makan makanan apa

saja yang dihidangkan bagi mereka sesuai dengan Injil.”

C. Spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga

Sebelum menjelaskan spiritualitas kongregasi OSF Sibolga, akan dibahas

sekilas sejarah kongregasi OSF Sibolga serta visi dan misi kongregasi. Gambaran

(40)

1. Sejarah Kongregasi OSF Reute

Kongregasi OSF di Reute berdiri pada tahun 1848. Ketika itu terjadi

kekacauan politik di Jerman akibat dari revolusi Prancis tahun 1783 yang melanda

seluruh Eropa. Perkembangan Gereja Katolik terhimpit dengan melarang dan

menutup biara-biara yang sedang tumbuh dan berkembang saat itu. Maka muncullah

lima gadis muda sederhana yang tidak terpelajar dari kota Ehingen (Jerman Selatan)

yang mana awalnya mereka melayani orang-orang sakit yang miskin dan terlantar.

Para Suster pendiri tidak bermaksud menjadi biarawati tetapi kehendak Allah

menuntun mereka untuk hidup bersama. Akhirnya komunitas kecil terbentuk dan

hidup mereka didasari oleh semangat St. Fransiskus Asisi dan Anggaran Dasar Ordo

ke III.

Pada tanggal 13 Desember 1854 diadakan penjubahan Sr. M. Margaretha

Bloching di Gereja St. Maria Ehingen. Dalam arsip keuskupan Rottenburg ditemukan

tulisan bahwa ”Hati para suster dipenuhi semangat St. Fransiskus Asisi.” Mereka

menghayati ketaatan mutlak dan penuh sukacita. Mereka juga menghayati hidup

dalam kemiskinan dengan mengenakan pakaian dan makan-makanan yang

sederhana. Pengorbanan dan kerelaan untuk merawat orang sakit, lanjut usia, cacat,

mengasuh dan mendidik anak menjadi tujuan utama dalam pelayanan para suster.

Pada tahun 1875, jumlah anggota persaudaraan sudah 125 orang dan tersebar

di dua puluh dua komunitas. Saat itu, para suster mulai mencari rumah induk di

berbagai kota kemudian memilih tempat di Reute yakni suatu gedung biara yang

(41)

Beata Elisabeth seorang biarawati Fransiskan yang sangat sederhana. Para suster

memilih Beata Elisabeth yang baik menjadi pelindung Kongregasi OSF Reute

(Konst OSF, 1982: 87).

a. Latar Belakang Berdirinya Kongregasi OSF di Sibolga

Setelah Konsili Vatikan II, para uskup menghimbau agar para

biarawan-biarawati dari Eropa melibatkan diri dalam karya misi. Saat Uskup Gratian Grimm,

Administrator Prefektur Apostolik Sibolga singgah di Reute menghadiri Konsili

Vatikan II, pemimpin umum OSF membicarakan tentang karya misi di Keuskupan

Sibolga. Mereka membuat kesepakatan bersama untuk memulai karya pelayanan di

Keuskupan Sibolga.

Pada tanggal 7 Oktober 1964, lima suster misionaris dari Reute menapakkan

kaki di Indonesia, Medan. Para suster melakukan perutusan yang disemangati

kharisma pendiri yakni ”melayani Allah dalam diri manusia yang menderita”, inilah

juga yang mendasari semua karya tarekat OSF Sibolga. Para suster memulai karya

pelayanan dalam bidang sosial dan kesehatan di wilayah Prefektur Apostolik Sibolga,

karena karya pelayanan para suster pada awalnya berada di Keuskupan Sibolga

maka persaudaraan OSF yang berada di Indonesia sering disebut OSF Sibolga

(Dokumen Kongregasi OSF Sibolga).

Saat itu belum ada rencana untuk membuka biara karena dilihat sudah ada

empat biara Fransiskanes di Sumatera Utara. Sebelum membuka karya para suster

(42)

Pada bulan Agustus 1965 mereka memulai karya Balai Pengobatan, Taman

Kanak-kanak dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) bagi para putri di Padang

Sidempuan. Pada bulan Februari 1972, karya pelayanan diperluas ke Pangaribuan-

Barus, Tapanuli Tengah dan pada bulan April 1976 meluas sampai ke Pulau Nias

tepatnya di Idanő Gawo, Tetehősi.

Pada bulan Oktober 1976 persaudaraan yang kecil memutuskan menjadi

Regio dan berpusat di Padang Sidempuan. Sejak itu persaudaraan mulai memikirkan

untuk menerima calon sebagai anggota Kongregasi. Setelah beberapa tahun

persaudaraan semakin berkembang maka tahun 1980 karya pelayanan dikembangkan

ke berbagai tempat yakni: Pulau Tello, Manduamas, Pandan, Sibolga, Gunung Sitoli,

Mela dan Pematang Siantar. Persaudaraan melihat bahwa karya yang ditangani para

suster membutuhkan tenaga yang terampil dan profesional maka di buka komunitas

studi di Yogyakarta tahun 1994. Persaudaraan mulai mengembangkan karya ke arah

Indonesia Timur yakni Nangaroro dan sekarang telah dibuka satu komunitas lagi di

Mataloko, Flores. Pada tahun 2006 persaudaraan membuka komunitas di Medan

untuk rumah transit dan rumah studi para suster (Dokumen Kongregasi OSF Sibolga).

b. Tujuan Berdirinya Kongregasi OSF Sibolga

Para suster menghayati hidup dan karya perutusan karena ketertarikan kepada

daya kasih dan pengosongan diri Yesus yang menjelma menjadi manusia untuk

mewujudkan kasih-Nya para suster melaksanakan karya dengan melayani Allah

(43)

dapat membantu, melayani orang-orang kecil dan menderita yang memerlukan kasih

dan pelayanan.

c. Visi dan misi Kongregasi OSF Sibolga

Visi Kongregasi OSF Sibolga adalah hidup berdasarkan semangat Injil dan

St. Fransiskus Asisi, para suster memancarkan belaskasih Allah dengan mengangkat

dan memulihkan citra Allah dalam diri sesama yang menderita dan membaharui diri

secara terus-menerus dalam terang Injil.

Misi Kongregasi OSF Sibolga adalah para suster OSF terlibat dalam gerak

keprihatinan Yesus Kristus untuk memulihkan martabat manusia sebagai citra Allah

melalui karya-karya tarekat (Dokumen Kongregasi OSF Sibolga).

Berita Regio OSF Sibolga (2000: 4) mengulas tentang penghayatan

spiritualitas secara konkrit. Para suster yunior diajak untuk merefleksikan,

mengintrospeksi dan mengevaluasi diri dalam kaitannya dengan ”Basic formation

dan On going Formation.” Setelah mendalami dan menggali bersama dengan Romo

Mardi Prasetya SJ, dirumuskan bahwa spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga yakni:

mengabdi Allah dalam diri sesama yang menderita, mengikuti Kristus yang tersalib

menurut teladan dan semangat St. Fransiskus Asisi sesuai dengan Injil.

Dasar spiritualitas para suster OSF Sibolga adalah warisan rohani bapak

Serafik St. Fransiskus Asisi. Dengan mendasarkan diri pada penghayatan semangat

dan keteladanan St. Fransiskus Asisi sesuai dengan Injil sebagaimana dikatakan di

(44)

Seperti Fransiskus, yang kepadanya Tuhan sendiri mewahyukan bahwa dia harus ”hidup menurut Injil Suci” (Wasiat 14), demikian juga kita dipanggil untuk mendengarkan sabda Allah dan melaksanakannya. Yesus Kristus adalah pusat hidup kita. Dia adalah jalan, kebenaran dan kehidupan (Yoh 14:6). Kita mengikuti Kristus yang tersalib dan bangkit. Kita menyatakan Dia kepada manusia melalui hidup kita (Konst, 1992: art.1).

2. Nilai-nilai Spiritualitas Kongregasi OSF Sibolga

Setelah diuraikan tentang spiritualitas St. Fransiskus Asisi yang menjadi

semangat para suster OSF Sibolga, sekarang akan dituliskan mengenai nilai-nilai

spiritualitas yang dihayati para suster OSF Sibolga dalam hidup persaudaraan. Ada

dua nilai yang hendak diuraikan yaitu: a. Cinta persaudaraan dalam komunitas b.

Kasih kepada yang menderita.

a. Cinta Persaudaraan dalam Komunitas

Semangat persaudaraan yang diteladankan St. Fransiskus Asisi dihayati para

suster OSF Sibolga dalam hidup berkomunitas. Cinta persaudaraan dalam komunitas

menjadi kekhasan yang dapat menghadirkan persaudaraan yang penuh kasih bagi

semua orang. Setiap anggota hendaknya menyumbangkan anugerah, bakat yang

dimiliki untuk membangun persaudaraan yang penuh cinta kasih. Harapan dari St.

Fransiskus Asisi dan pendiri OSF Sibolga ini dituangkan dalam Konstitusi ”Setiap

suster dipanggil untuk membagikan anugerah yang diberikan Allah kepadanya dan

untuk menjadikan persekutuan kita tempat belas kasih, sukacita dan damai bagi setiap

(45)

Apabila para suster menyadari bahwa setiap saudari merupakan anugerah dari

Allah dan persaudaraan menjadi persekutuan belaskasih maka terciptalah

persaudaraan yang penuh sukacita dan damai karena para suster hidup saling

mengasihi satu sama lain.

b. Kasih kepada Yang Menderita

Fransiskus menemukan Kristus dalam diri orang miskin lewat pertemuannya

dengan Si kusta. Sejak saat itu ia merasakan perubahan yang sungguh dalam

hatinya. Akhirnya ia pergi kepada orang-orang kusta dan hidup bersama mereka. Ia

melayani mereka semua dengan amat sungguh-sungguh demi Tuhan, ia membasuh

segala yang membusuk, bahkan membersihkan nanah dan luka-luka mereka.

Kristus selalu mewahyukan diri-Nya kepada orang yang mencarinya lewat

orang-orang yang butuh pertolongan, Fransiskus menyatakan itu kepada

pengikut-pengikutnya sebagai hadiah. Iman Fransiskus selama hidupnya dikobarkan oleh

pertemuannya dengan orang-orang miskin sebagai kehadiran Kristus. Celano

menuliskan: Kekurangan dan kesengsaraan apa saja ia lihat dalam diri seseorang,

serta merta ia mengenal Kristus. Apa saja ia lihat dalam diri orang yang

berkekurangan dan papa, kepapaan mana saja, ia mengalihkannya segera kepada diri

Kristus. Itu sebabnya dalam diri semua orang miskin, ia melihat Putera seorang

Perawan yang miskin. Ia berkata kepada saudara-saudaranya, bila saudara melihat

seorang miskin, cerminan Tuhan dan Bunda-Nya yang miskin yang berada di

(46)

yang ditanggung-Nya demi kita (Iriarte, 1995: 21). Fransiskus telah menunjukkan

cintanya Kepada Kristus dalam diri orang miskin. Rahmat dalam pertobatan

Fransiskus bukanlah yang istimewa maka para pengikutnya mampu juga untuk

mencintai Kristus dalam diri orang miskin dan menderita.

Dalam kronik dituliskan bahwa awalnya para suster pendiri OSF

melakukan pelayanan untuk merawat orang-orang sakit yang miskin dan terlantar.

Semangat pelayanan ini menjadi kharisma kongregasi ” Terpaut kepada daya kasih

pengosongan diri Allah, para suster OSF Sibolga melayani Allah dalam diri orang

yang menderita dan terbuka untuk penderitaan zaman ini seperti yang diteladankan

Kristus: ”Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk 22:27).

D. Pembinaan Hidup Religius

Setelah dibahas secara singkat tentang spiritualitas kongregasi OSF Sibolga,

di sini penulis akan menguraikan pengertian pembinaan hidup religius secara umum

dan pendekatan-pendekatannya.

1. Pengertian Pembinaan secara Umum

Pembinaan merupakan suatu proses belajar untuk dapat melepaskan hal-hal

yang sudah dimiliki dan mempelajari hal yang baru yang belum dimiliki sekaligus

sebagai latihan dan pendidikan pembinaan. Pembinaan menekankan pengembangan

manusia dalam segi afektif, praksis, psikomotorik yang bertujuan membantu orang

(47)

pengetahuan dan kecakapan baru demi mencapai tujuan hidup yang sedang dijalani

secara lebih efektif (Mangunhardjana, 1986: 11).

Pengertian pembinaan ini dapat diartikan juga sebagai usaha, tindakan dan

kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil, demi memperoleh hasil

yang lebih baik. Dengan demikian pemahaman akan nilai-nilai baru yang sedang

dipelajari menjadi kecakapan dan pengetahuan yang dapat membantu hidup

seseorang (Mangunhardjana, 1986: 32)

a. Tujuan Pembinaan

Pembinaan bukan merupakan hal yang fundamental dalam meningkatkan

mutu pribadi dan pengetahuan, sikap, kemampuan dan kecakapan seseorang, namun

pembinaan dapat membantu dan mempengaruhi pola hidup seseorang. Pembinaan

bertujuan memampukan seseorang membaharui diri dan meningkatkan efektivitas

hidup dan karya. Pembinaan dapat menganalisis situasi hidup secara positif maupun

negatif dan memampukan orang untuk bertanggungjawab terhadap apa yang menjadi

tuntutan hidup (Mangunhardjana, 1986: 13).

Menurut Mardi Prasetya (2001: 24) tujuan pembinaan merupakan

transformasi diri dalam Kristus, menjadi murid Kristus menyertakan dinamika untuk

membentuk hidup atas dasar nilai-nilai yang ditawarkan oleh Kristus agar kita

diubah oleh nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu tujuan transformasi diri ini perlu

dilihat secara khusus supaya pembinaan tetap dilihat sebagai tujuan yang tertinggi

(48)

dihayati dalam hidup panggilan maka tujuan praktis yang lain harus diletakkan di

bawahnya. Konsili Vatikan II, dalam dekrit pembaharuan dan penyesuaian hidup

religius tentang pembinaan para anggota religius menegaskan:

Tetapi penyesuaian hidup religius dengan tuntutan-tuntutan zaman kita sekarang hendaknya jangan melulu bersifat lahiriah. Jangan sampai pula mereka yang berdasarkan Anggaran Dasar tarekat bertugas merasul di luar ternyata tidak mampu menunaikan tugas mereka. Untuk maksud itu hendaknya mereka, sesuai dengan bakat, kecerdasan dan watak-perangai pribadi masing-masing diberi pendidikan secukupnya tentang cara-cara hidup dan cara-cara pandang serta berpikir dalam masyarakat sekarang. Hendaklah diselenggarakan pembinaan melalui perpaduan unsur-unsurnya yang serasi sedemikian rupa, sehingga membantu para anggota mencapai keutuhan hidup (Perfectae Caritatis art. 18).

Dari beberapa pandangan di atas bahwa pembinaan sangat membantu

seseorang untuk membentuk hidup dan kemampuan untuk membaharui diri

sehingga nilai-nilai dasar panggilan untuk menjadi murid Kristus dapat selalu

dihayati dalam hidup secara terus-menerus.

b. Pendekatan-pendekatan dalam Program Pembinaan

Dalam pembinaan, setiap orang atau kelompok dapat mengenal beberapa

pendekatan utama dalam program pembinaan, karena program pembinaan

merupakan prosedur yang dijadikan landasan untuk menentukan isi dan urutan

kegiatan pembinaan yang akan dilaksanakan. Mangunhardjana (1986: 17)

mengemukakan tiga pendekatan dalam program pembinaan.

Pertama, pendekatan informatif yang menyampaikan informasi kepada para

(49)

pengetahuan, pengalaman mereka. Setiap peserta diperlakukan sebagai orang yang

belum mengetahui segala sesuatu dan tidak mempunyai pengalaman. Proses

pendekatan ini sering menggunakan metode ceramah sehingga partisipasi para

peserta dalam pembinaan sangat kurang dan terbatas pada permintaan penjelasan

atau menyampaikan pertanyaan mengenai hal yang belum dipahami.

Kedua, pendekatan partisipatif berlandaskan kepercayaan bahwa para

peserta merupakan sumber pembinaan yang utama. Dalam pembinaan, pengetahuan,

dan pengalaman serta keahlian peserta sangat dibutuhkan. Pembinaan ini lebih

merupakan situasi belajar bersama yang mana pembina dan para peserta saling

belajar satu sama lain.

Ketiga, pendekatan eksperensial berkeyakinan bahwa belajar yang sejati

terjadi karena pengalaman pribadi yang langsung dipelajari. Dalam pendekatan ini

peserta secara langsung terlibat pada situasi dan pengalaman dalam bidang yang

dijadikan sebagai pembinaan. Oleh karena itu, dituntut keahlian yang tinggi dari

seorang pembina.

2. Hidup Religius

Setelah dibahas tentang pembinaan penulis akan menguraikan secara singkat

(50)

a. Pengertian Hidup Religius

Hidup religius mengandung suatu proses panggilan seseorang menuju

manusia yang semakin penuh dalam Kristus. Hidup religius merupakan panggilan

untuk mengenal, mengikuti dan bersatu dengan Kristus. Pada dasarnya panggilan itu

dialami setiap orang Kristiani. Oleh karena itu panggilan untuk hidup sebagai religius

sama dengan panggilan hidup Kristiani. Hanya saja hidup religius memiliki kekhasan

yakni; mau menyatakan dengan sejelas-jelasnya bahwa hidup Kristiani secara hakiki

bersifat panggilan khusus (Rukiyanto, 2011: 4).

Dokumen gerejawi tentang pedoman-pedoman pembinaan dalam

lembaga-lembaga religius (Congregation for Institutes of Consecrated life and Societies of

Apostolic Life, Rome; 1990) dikatakan bahwa hidup religius adalah hidup yang

dibaktikan dengan kaul;

Hidup yang dibaktikan dengan kaul atas nasehat-nasehat injili adalah bentuk kehidupan tetap di mana orang beriman, dengan mengikuti Kristus secara lebih dekat atas dorongan Roh Kudus, dipersembahkan secara utuh kepada Tuhan yang paling dicintai, agar demi kehormatan bagi-Nya dan demi pembangunan Gereja serta keselamatan dunia. Mereka dilengkapi dengan dasar baru dan khusus, mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah dan sebagai tanda unggul dalam Gereja mewartakan kemuliaan surgawi.

Hidup Religius merupakan gerakan menuju kedalaman hidup berdasarkan

asal dan tujuan, keabadian hidup manusia dalam Tuhan. Kekhasan hidup religius

berasal dari apa yang disebut kharisma hidup religius. Kedalaman hidup religius yang

berdasarkan kharisma yang diterima akan tampak dalam orientasi hidup yang

(51)

Dalam menjalani hidup panggilannya banyak kaum religius mengalami

kesulitan untuk menyediakan disposisi yang subur buat persemaian benih panggilan

karena sering terjadi ketegangan antara hidup dalam roh dan kelemahan manusia.

Maka kaum religius diharapkan mampu melakukan pengolahan hidup dan

mengintegrasikan arah hidup dalam roh dengan disposisi kedewasaan dan pembinaan

diri terus-menerus. Pembinaan diri ini dapat dilakukan terus-menerus apabila kaum

religius selalu membina relasi, menghayati hidup Yesus dan ikut serta dalam tugas

perutusan-Nya (Mardi Prasetya, 2001: 25).

b. Tujuan Pembinaan Hidup Religius

Menjadi murid Kristus menyertakan dinamika untuk membentuk hidup atas

dasar nilai-nilai yang ditawarkan oleh Kristus kemudian nilai-nilai itu mengubah

hidup agar semakin menjadi serupa dengan Kristus. Proses ini sering disebut dengan

transformasi-diri dalam Kristus. Maka tujuan pembinaan hidup religius adalah suatu

proses mentransformasi diri dalam Kristus (Mardi Prasetya, 2001: 24).

Joko Suyanto (1994: 60) mengemukakan bahwa kesatuan dengan Yesus

membawa kaum religius kepada kesucian, kepenuhan dan kedalaman hidup batin.

Hidup yang penuh akan melimpah keluar sehingga orang lain dapat merasakannya.

Religius yang suci berarti religius yang mampu menghadirkan Yesus dalam hidup

keseharian dengan sesamanya. Hal ini dimungkinkan karena Roh Kristus sendiri

tinggal dalam dirinya dan seluruh langkah dan gerak hidupnya dalam bimbingan-Nya.

(52)

Dengan demikian kita dapat berseru dan berkeyakinan seperti Paulus, “Aku hidup,

tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”

(Gal 2:20).

c. Aspek yang Diharapkan Tumbuh dalam Hidup Religius

Aspek yang diharapkan cukup bertumbuh dalam diri seorang religius dalam

proses inkorporasi ini terkandung dalam keutamaan-keutamaan, menurut Mardi

Prasetya (2001: 57-58) ada enam aspek yang diharapkan tumbuh dalam diri seorang

religius yakni:

1) Aspek kognitif, yakni pengertian yang semakin mendalam tentang tarekat,

spiritualitas, kharisma dan gerak dinamis kerasulan tarekat sehingga selalu

mempunyai insigt dan saran untuk berkonfrontasi dengan kenyataan hidup yang

terus berjalan dan berubah.

2) Aspek sosial, yakni kemampuan untuk senantiasa mengadakan pembaruan dan

penyesuaian diri karena bertumbuhnya kemampuan sosialisasi dan adaptasi yang

seimbang dalam dunia sosial yang semakin kompleks tanpa hanyut ditelan arus

dan akses negatif dari modernisasi.

3) Aspek afektif, yakni kemampuan dalam menata batin sampai mencapai tahap

kebebasan batin dalam arti, tidak mudah diombang-ambingkan oleh gejolak emosi

dan perasaan sendiri, mampu menata dan mengendalikan sesuai tujuan hidupnya

(53)

4) Aspek rohani, yakni semakin memiliki cinta yang personal atau kedekatan hidup

pada Tuhan semakin menjadi murid Yesus yang sejati dan semakin berjalan

kearah konfigurasi dengan Kristus yang membuatnya makin mampu mengurangi

pengaruh dari kelemahan dan cacat pusakanya, mampu menanggung resiko,

konsekuensi dari pilihan hidup religiusnya dan mampu memanggul salibnya setiap

hari.

5) Aspek apostolis, yakni semakin memancarkan keterlibatan hidup apostolik yang

didasarkan pada keprihatinan Kristus dalam situasi dan kondisi konkrit sesuai

dengan kepekaan yang dicanangkan oleh tiap tarekat dan opsi real yang

diputuskan oleh provinsi dalam kerjasama dengan keuskupan setempat.

6) Aspek fisik, yakni berhubungan dengan kesehatan fisik dan pemeliharaan

kesehatan karena afektivitas yang tinggi dan inteligensi yang tinggi tidak akan

banyak berguna kalau secara fisik ia tidak sehat.

E. Dinamika Pembinaan Yuniorat

Di sini penulis akan membahas mengenai dinamika pembinaan yuniorat.

Kongregasi OSF Sibolga termasuk salah satu Lembaga Hidup Bakti yang secara

umum para suster melewati tahap-tahap pembinaan dari pembinaan di Aspiran,

Postulat, Novisiat, Yuniorat maupun yang sudah berkaul kekal on going formation.

(54)

1. Tahap Pembinaan Religius

Setiap calon yang memasuki suatu Lembaga Hidup Bakti tertentu harus

melalui tahap-tahap pembinaan. Mereka ditempa dalam proses perkenalan

Kongregasi yang mereka masuki. Berikut ini akan diuraikan secara singkat

tahap-tahap pembinaan religius untuk:

a. Pembinaan Aspiran

Aspiran merupakan masa bagi para calon untuk lebih mengenal Kongregasi

OSF Sibolga. Masa aspiran juga kesempatan untuk melihat dan mengasah bakat

yang dimiliki oleh aspiran. Tujuan khusus dari masa aspirat menurut Konstitusi

dikatakan:

Seorang calon yang merasa terpanggil dan hendak masuk dalam hidup membiara namun belum mengenal cara hidup kongregasi diberi kesempatan untuk lebih mengenal kongregasi yang sudah dipilih dan sekaligus melihat lebih dalam panggilannya. Masa ini biasanya dilakukan di komunitas-komunitas yang ditunjuk untuk mendampingi para aspiran. Masa aspiran ini berlangsung selama satu tahun (Konst, art. 36).

b. Pembinaan Postulat

Kata Postulat berasal dari kata “Postulare” yang berarti “mengajukan

permohonan.” Penerimaan calon dan pembina Postulan diatur dalam Kitab Hukum

Kanonik :

(55)

Masa postulan merupakan langkah awal bagi calon untuk mengenal

kehidupan membiara melalui kongregasi yang dimasukinya (Mardi Prasetya, 1992:

292). Para postulan dibina menjadi manusia Kristiani dan diperkenalkan cara hidup

Kongregasi. Para postulan dibimbing untuk memurnikan kembali motivasi awal

karena motivasi awal menjadi dasar yang sangat memegang peranan penting bagi

seorang postulan supaya ia semakin berkembang. Jadi masa postulan tekanannya

lebih kepada pemurnian motivasi awal dan memperkenalkan cara hidup membiara.

Keputusan untuk menerima seorang calon masuk postulat diatur dalam Konstitusi:

Masa postulat berlangsung selama satu tahun. Di sini para postulan hidup bersama-sama di salah satu tempat yang ditentukan oleh pemimpin umum dengan persetujuan dewannya. Yang diutamakan dalam masa postulat ialah pembinaan dan perkembangan postulan menuju manusia Kristiani dan perkembangan kedalam persaudaraan. Para postulan diperkenalkan riwayat hidup dan spiritualitas Santo Fransiskus Asisi, agar mereka semakin mengenal persaudaraan Fransiskan dan bidang-bidang karyanya (Konst, art. 2.2).

c. Pembinaan Novisiat

Masa novisiat merupakan masa istimewa bagi calon untuk mengalami

kehidupan membiara yang sesungguhnya. Kata ”novis” berasal dari kata ”novicius”

yang berarti ”orang baru” yang belum berpengalaman.” Pada masa novisiat ini,

seorang novis mulai melibatkan diri untuk menjalankan hidup berkomunitas dan

dituntun untuk melaksanakan nasihat-nasihat Injil. Para novis diajak untuk menjajaki

kesungguhan sikap dan motivasi dasar panggilannya bersama seorang magistranya

(Mardi Prasetya, 2001: 43). Tentang masa novisiat ini diatur dalam Konstitusi:

Gambar

Tabel 1. Pemahaman Spiritualitas St. Fransiskus Asisi N=28
Tabel 2. Penghayatan Spiritualitas St. Fransiskus Asisi N=28
Tabel 3. Pelaksanaan Pembinaan
Tabel 4. Upaya Meningkatkan Pembinaan Spiritualitas dalam  Mencapai Kematangan Pribadi
+4

Referensi

Dokumen terkait