• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Usulan Program

FRANSISKANES SIBOLGA

B. Nilai-nilai yang ditawarkan Spiritualitas Santo Fransiskus Asisi 1. Semangat Persaudaraan

4. Semangat Kemiskinan a. Hidup Tanpa Milik

Ungkapan hidup tanpa milik menurut Fransiskus Asisi bukanlah semata-mata suatu rumusan kaul publik dalam arti menolak harta benda material. Ungkapan hidup tanpa milik lebih pada penolakan secara total terutama atas harta milik intern. Penolakan harta benda ekstern hanya merupakan syarat yang perlu untuk mencapai penyerahan diri intern secara utuh seturut arti yang sesungguhnya dari kemiskinan Injil secara sukarela. St. Fransiskus Asisi menganjurkan kepada setiap orang yang masuk Ordo untuk lebih dahulu meninggalkan dunia dengan mempersembahkan kepada Allah pertama-tama harta benda lahiriah mereka dan kemudian diri mereka sendiri secara intern. Hanya mereka yang berani melepaskan harta benda dan tidak menahan apapun sama sekali diperkenankan masuk Ordo untuk menepati Injil. Penolakan milik ekstern ini artinya mengembalikan harta benda kepada Tuhan dari siapa telah diterima dengan cara membagi-bagikannya kepada orang miskin atau yang kekurangan (Iriarte, 1995: 98).

Menurut ajaran askese spesifik St. Fransiskus Asisi, segenap keutamaan dilihat dalam fungsinya demi kemiskinan intern. Keinginan daging selalu bertentangan dengan keinginan roh. Keinginan daging mendorong orang untuk menjadikan kepunyaan Allah menjadi miliknya sendiri dan menjadikannya bagi

kemuliaan diri sendiri. Sedangkan Roh Allah mengajar kita untuk membedakan dalam diri kita apa yang berasal dari Allah dan apa yang dikerjakan dalam diri kita. Maka oleh terang Allah, kita mampu melihat keluhuran kemiskinan sedangkan mata badani tertutup untuk itu. Memuliakan diri sendiri dan menaruh dengki terhadap orang lain sangat berlawanan dengan hidup tanpa milik. Inilah yang dimaksud dengan milik intern yang harus dilepaskan dan mengenakan kemiskinan intern. Seseorang dapat mengenakan kemiskinan intern apabila mampu melepaskan segala cacat pusaka yang dimiliki dan melakukan segala kebaikan yang disadari sebagai karunia dari Tuhan dan semuanya demi kemuliaan Tuhan (Iriarte, 1995: 99).

b. Mengabdi Tuhan dalam Kemiskinan dan Kerendahan Hati

Perendahan Kristus bagi Fransiskus Asisi merupakan kekaguman dan sekaligus menggerakkan dia untuk mengabdi-Nya dalam kemiskinan dan kerendahan hati. Kristus adalah Tuhan atas kemuliaan telah memeluk dengan kasih, khususnya orang-orang miskin, tertindas, mereka yang direndahkan, dihina dan yang disingkirkan oleh masyarakat. Dalam ketaatan dan kerendahan Yesus membuat diri-Nya sebagai orang yang paling hina, memasrahkan diri-diri-Nya direndahkan dan ditolak demi melaksanakan tugas perutusan Bapa yang diberikan kepada-Nya. Terpikat oleh kerendahan Kristus yang demikian, Fransiskus Asisi ingin mengembalikan diri kepada Tuhan dan sesama dalam kemiskinan dan kerendahan hati. Perendahan yang demikian yang dicari oleh Fransiskus Asisi untuk membangun hidupnya sehingga ia meletakkan dasar kuat yang ia pelajari dari Kristus. Kerendahan merupakan yang

pertama dari segala yang harus dipahami sebagai hasrat mengikuti Kristus, menjadi solider dengan mereka yang kurang mendapat perhatian (Sutarja, 1998: 57).

Dalam misteri Ekaristi Kudus, Fransiskus Asisi memandang perendahan Kristus sepenuhnya yang rela memberikan diri-Nya bagi semua orang dalam rupa roti bahkan sampai pada pengosongan diri secara total. Dalam misteri ini, Tuhan menyembunyikan segalanya bahkan hidup-Nya sendiri demi untuk melayani kebutuhan manusia dengan penuh kasih. Inilah yang membuat hati Fransiskus Asisi tergugah untuk melayani tanpa menahan sesuatu apapun bagi dirinya sendiri supaya seperti Kristus, ia diperkenankan menjadi yang terakhir dan terkecil dari semua orang untuk melayani semua orang dengan bebas dan meninggalkan seluruh dirinya. Jadi perendahan merupakan kesiapsediaan mengikuti Kristus dan meninggalkan segala-galanya supaya dapat melayani saudara-saudara dan menjadi saudara dina bagi semua orang (Sutarja, 1998: 60).

Fransiskus Asisi menghayati Injil suci dengan penuh tanggungjawab. Kristus menjadi pusat hidupnya sebagaimana diperkenalkan dalam Injil Dia merendahkan diri-Nya secara total hingga wafat di kayu salib. Fransiskus berupaya dengan berkat Allah untuk menjadi dina, miskin, rendah di antara semua manusia. Hal ini merupakan dasar hidup yang dihayatinya dengan keyakinan, kegembiraan dan kesiapsediaan. Fransiskus menjadi seperti Gurunya melalui semangat kemuridan ini Fransiskus semakin mengenal Kristus dalam diri sesama yang menderita. Pengalaman uniknya dengan orang kusta menjadi titik tolak ziarah kerendahan hati (Eddy Kristianto, 1997: 13-14).

St. Fransiskus Asisi mengajak para pengikutnya mengikuti kerendahan hati dan kemiskinan Yesus Kristus. Meskipun ia kaya melampaui segalanya namun sudi miskin turun ke dunia yang menjelma melalui bunda-Nya perawan Maria. Jika Yesus sendiri yang adalah Allah berbuat demikian, maka demikian juga para pengikut-Nya hendaknya menyatakan diri dalam penghayatan kemiskinan. Hidup dalam kemiskinan dinyatakan dengan keberanian untuk hidup di tengah-tengah orang kecil yang dipandang hina dan orang-orang sakit yang didasari oleh cinta kepada Tuhan dan sesama. Kemiskinan yang dihayati atas dasar cinta kepada Tuhan dan sesama akan memancarkan kegembiraan dan tidak menjadi suatu beban (Iriarte, 1995: 92).

St. Fransiskus menyadari bahwa Allah adalah kebaikan yang sempurna dan hanya Dialah satu-satunya yang baik. Oleh karena itu, Fransiskus Asisi mengajak saudara-saudaranya untuk mengembalikan semuanya yang baik kepada Tuhan Yang Mahatinggi serta mengakui bahwa semua yang baik adalah milik-Nya. Hendaknya mereka insaf dengan sungguh-sungguh bahwa tidak ada yang mereka miliki selain cacat-cela dan dosa (Iriarte, 1995: 95).

c. Hidup saling Melayani

Sikap kerendahan hati dalam mengikuti Kristus mewajibkan semua saudara dina Fransiskus Asisi baik bawahan maupun atasan untuk hidup saling melayani. Hidup saling melayani tampak dalam semangat persaudaraan dengan saling menyapa sebagai saudara. Di mana pun berada dan bertemu hendaknya menunjukkan bahwa mereka satu sama lain merupakan saudara sekeluarga. Maka yang satu, hendaknya

dengan leluasa menyatakan kebutuhannya kepada yang lain dengan kasih. Jika ada diantara saudara yang sakit, hendaknya saudara yang lainnya melayani sebagaimana mereka sendiri pun ingin dilayani (Ladjar, 1988: 149).

Hidup saling melayani berarti pemberian diri kepada saudara-saudari dengan tulus tanpa memperhitungkan untung rugi. Setiap orang harus menyadari dan selalu ingat akan sabda Yesus ”Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat 20:28). Sabda Yesus ini menjadi dasar bagi persaudaraan untuk saling melayani. Jika setiap orang sadar akan hal itu maka tidak lagi saling menunggu dan saling menuntut melainkan berlomba untuk melayani orang lain. Pelayanan didasarkan atas cinta dan dilaksanakan dalam kerendahan hati. Berani minta maaf dan memaafkan orang lain merupakan wujud dari pelayanan dan kemiskinan. Bertanggungjawab dalam tugas dan melaksanakan dengan gembira demi hidup bersama. Tidak mengukur berat atau ringan suatu pekerjaan atau tugas yang harus ditanggung dengan kata lain segala sesuatu dilaksanakan dengan tulus demi pelayanan.

d. Kebebasan Roh

Fransiskus Asisi atas kebebasannya sendiri meninggalkan ”dunia” dan ingin mencapai yang Ilahi. Pengalaman bebas ini yang dilengkapi dengan rahmat membuat Fransiskus Asisi mampu mendengarkan ”kesaksian Roh.” Fransiskus Asisi percaya bahwa rohlah yang memberi jaminan kepada manusia, bahwa manusia adalah anak-anak Allah. Roh Allah sendiri akan menggerakkan umat-Nya untuk bertindak sebagai

anak Allah. ”Sebab Tuhan adalah Roh; dan dimana ada Roh Allah di situ ada kemerdekaan” (2 Kor 3:17). Dalam diri Fransiskus Asisi, kebebasan roh tampak dalam caranya mendekati Allah, dan dalam caranya membimbing orang-orang lain. Ia percaya bahwa Roh Kudus akan berkarya dan mengajar para saudaranya akan apa yang diketahui. Ia percaya juga bahwa para saudara bersedia dan terbuka menerima pengurapan Roh. Maka untuk menghormati tindakan Roh, ia tidak membatasi kebebasan bertindak kelompok dengan aturan-aturan ketat. Fransiskus Asisi tidak menghendaki adanya peraturan-peraturan yang berlebihan yang membuat setiap anggota merasa terbebani dan dapat membuat hilangnya kebebasan. Ia memberi tanggung jawab bagi setiap orang untuk berbuat yang mereka anggap baik seturut kehendak Tuhan. Dalam Anggaran Dasar dengan sadar ia mengurangi jumlah puasa yang biasa dilakukan dalam ordo religius serta menghapus pantang yang dianggap unsur penting dalam hidup religius (Iriarte, 1995: 65-66). Dalam AngTBul (pasal 3 ayat 13; Ang Bul pasal 3 ayat 14) dikatakan: ”Dan mereka boleh makan makanan apa saja yang dihidangkan bagi mereka sesuai dengan Injil.”