• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres 1. Pengertian Stres - KONSELING SINGKAT BERFOKUS SOLUSI UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA - UMBY repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres 1. Pengertian Stres - KONSELING SINGKAT BERFOKUS SOLUSI UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA - UMBY repository"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

14

A. Stres

1. Pengertian Stres

Stres adalah reaksi individu terhadap sumber stres (stresor), baik positif maupun negatif, yang individu nilai memiliki pengaruh signifikan serta mengancam kemampuan diri dalam menyesuaikan dengan tuntutan stresor (King, 2017). Stres melibatkan aspek emosi, biologis, kognitif, dan perilaku (Ogden, 2004; Sarafino & Smith, 2011; Scott, 2008). Sarafino dan Smith (2011) menyebutkan terdapat 2 komponen dalam menjelaskan stres, yaitu perubahan fisiologi dan persepsi terhadap peristiwa.

Stres (Sarafino, 1998) adalah suatu keadaan yang dihasilkan ketika seseorang dan lingkungan saling memengaruhi, baik nyata atau tidak nyata, antara tuntutan situasi dan sumber-sumber yang ada pada individu, menyangkut kondisi biologis, psikologis, atau psikososial. Dalam peristiwa stres, sekurang-kurangnya ada 3 hal yang saling terkait, yaitu hal, peristiwa, orang, keadaan yang menjadi sumber stres (stresor), orang yang mengalami stres dan hubungan antara keduanya yang merupakan transaksi.

(2)

sebagai penyebab stres berbeda pada tiap-tiap individu. Aldwin (2007) menambahkan bahwa stres terjadi karena adanya tuntutan lingkungan, sumber daya yang dimiliki individu, dan proses kognitif. Ice dan James (2007) mengartikan stres sebagai sebuah proses diawali dengan hadirnya stimulus yang memunculkan reaksi emosi, perilaku, dan/atau fisiologis individu yang dipengaruhi faktor personal, biologis, dan nilai-nilai budaya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah sebuah proses dimulai dari munculnya stimulus yang memunculkan reaksi subjektif, baik emosi, biologis, kognisi, dan perilaku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang menuntut sumber daya individu dan dipengaruhi faktor personal, biologis, dan nilai-nilai budaya individu.

2. Gejala-gejala Stres

Gejala – gejala stres menurut Sarafino dan Smith (2011), yaitu:

a. Gejala fisiologis, seperti gangguan sistem kekebalan tubuh, jantung berdebar cepat dan kuat, kelelahan, gangguan pada tekanan darah, gangguan tidur.

b. Gejala psikis/emosi, seperti cemas, takut, perasaan sedih, marah. c. Gejala perilaku, seperti agresif, gangguan konsentrasi, impulsif, jarang

bersosialisasi, tidak peka terhadap kondisi orang lain, sikap bermusuhan dengan orang lain.

(3)

Ice dan James (2007) menyatakan bahwa reaksi individu terhadap stres berbentuk perilaku, afeksi, dan fisiologis. Reaksi stres dapat muncul bersamaan atau satu persatu. Hal ini juga memungkinkan reaksi stres saling memengaruhi. Misalnya, respon perilaku (merokok atau konsumsi alkohol) terhadap stres memengaruhi aspek fisiologis. Respon perilaku terhadap stres dapat berwujud positif dan negatif. Wujud respon positif antara lain olahraga, aktivitas spiritual, atau mencari dukungan sosial. Wujud respon negatif antara lain meningkatnya perilaku merokok atau konsumsi alkohol. Respon afeksi terhadap stres memunculkan emosi-emosi negatif. Respon fisiologis terhadap stres membuat aktif kelenjar hipotallami pituitari dan simpatetis arenal sistem adrenal.

Taylor (Kholidah, 2009) menjabarkan tentang respon terhadap stres pada mahasiswa, yaitu:

a. Respon fisiologis

Respon fisiologis terhadap stres memiliki beragam bentuk dan melibatkan sistem saraf dan endokrin. Stres memicu sistem saraf simpatik menjadi aktif sehingga tekanan darah dan detak jantung meningkat lebih cepat, konduksi kulit meningkat, dan pernapasan bertambah berat. Mahasiswa dengan kondisi stres menunjukkan kondisi wajah memucat, keringat dingin, dan jantung berdebar keras. b. Respon kognitif

(4)

respon stres terhadap situasi yang tidak diharapkan, seperti kebingungan dan hambatan untuk konsentrasi, hambatan performansi pada tugas-tugas kognitif, dan pikiran-pikiran tidak wajar.

c. Respon emosional dan perilaku

Respon emosional meliputi ketakutan, kecemasan, merasa malu, marah, stres, sikap sabar, tabah, dan penyangkalan. Respon perilaku stres yang umum terjadi adalah melawan stresor (fight) atau melarikan diri dari ancaman (flight).

Kesimpulannya adalah stres dapat dikenali dari respon individu terhadap stres seperti aspek fisiologis, emosi, kognisi, dan perilaku. Respon terhadap stres saling memengaruhi, seperti respon perilaku memengaruhi aspek kognisi atau sosial. Seseorang dengan kondisi stres akan mengalami kecemasan atau sedih dan secara kognisi cenderung kesulitan untuk konsentrasi dan kontrol diri rendah. Gejala perilaku terlihat cenderung agresif dan jarang bersosialisasi dan disertai dengan keluhan fisik.

3. Faktor Penyebab Stres

Stres disebabkan persepsi terhadap stres, strategi koping, kemampuan menguasai situasi, dan kepribadian (Ogden, 2004).

a. Faktor Kognisi

Lazarus dan Folkman (Ogden, 2004) menyebutkan bahwa stres disebabkan persepsi (appraisal). Stres terjadi saat individu menilai

(5)

stresor dan kemampuan dirinya dalam berhadapan dengan stres

(secondary appraisal). Kondisi lingkungan yang dinilai memunculkan

membuat kondisi stres, yaitu pekerjaan, keluarga, tuntutan atau beban berlebih, kejadian dengan banyak makna, dan peristiwa di luar kendali (Ogden, 2004). Strategi koping menjadi faktor penentu individu mengalami stres atau tidak. Koping sebagai cara individu berhadapan dengan stresor yang dinilai telah melampaui kemampuan dan usahanya dengan harapan dirinya tetap dalam kondisi seimbang/normal. Koping dapat dilakukan dengan merubah cara berpikir seseorang tentang masalahnya atau beragam cara untuk menyelesaikan permasalahannya.

b. Faktor Psikologis

Faktor psikologis memengaruhi sistem kekebalan tubuh seseorang. Penelitian menunjukkan peranan mood, nilai-nilai kepercayaan

(beliefs), ekspresi emosi, stres, kontrol diri (self-control), efikasi diri,

ketahanan (hardiness), tingkat penguasaan diri. c. Faktor Dukungan Sosial

Wills (Ogden, 2004) menyebutkan beberapa tipe dukungan sosial, seperti meningkatkan harga diri (self-estem) dari sosial, dukungan informasi, kebersamaan, dan dukungan instrumental.

d. Faktor kepribadian

(6)

kondisi stres dibandingkan tipe B (santai, cenderung diam, dan tidak mendominasi).

Sarafino dan Smith (2011) menyatakan bahwa faktor penyebab stres berasal dari individu, keluarga, dan komunitas sosial. Stresor yang bersumber dari diri sendiri, seperti sakit fisik. Sakit fisik mengakibatkan tuntutan secara fisiologis dan psikis. Stresor dari individu juga berasal dari penilaian individu dan konflik yang muncul dari sebuah peristiwa atau kejadian. Faktor penyebab stres kedua adalah keluarga, seperti kelahiran anak. Kehadiran anak membawa kebahagiaan sekaligus menjadi stresor bagi keluarga., seperti orangtua khawatir kondisi kesehatan bayi. Selain kehadiran anggota keluarga baru, faktor penyebab stres dalam konteks keluarga adalah perceraian pasutri, kematian anggota keluarga, dan anggota keluarga sakit fisik. Faktor penyebab stres ketiga adalah komunitas sosial. Stresor orang dewasa berkaitan dengan pekerjaan dan lingkungan tempat mereka tinggal. Pekerjaan menjadi stresor, seperti beban kerja berlebih, jenis pekerjaan (misalnya profesi dokter yang berkaitan dengan keselamatan hidup orang lain), evaluasi pekerjaan dari atasan, lingkungan fisik tempat bekerja, dan masa pensiun.

(7)

antara lain pekerjaan, lingkungan pekerjaan, situasi dalam keluarga (kehadiran anggota keluarga baru, kematian anggota keluarga, atau perceraian).

4. Efek Stres

Stres mengakibatkan efek negatif pada kondisi fisiologi, perilaku, dan kehidupan sosial individu (Ogden, 2004; Sarafino & Smith, 2011). Stres yang dialami terus menerus memengaruhi kesehatan melalui menurunnya perilaku hidup sehat (meningkatnya konsumsi alkohol dan rokok atau kembali merokok) dan perubahan pada sistem fisiologi (sistem endokrin melepas catecholamines dan corticosteroids yang menyebabkan kerusakan terhadap jantung dan pembuluh darah serta fungsi sistem kekebalan tubuh). Stres juga berperan terhadap sejumlah gangguan kesehatan, seperti asma, sakit kepala migraine, dan kanker.

Pada aspek kognitif, stres memengaruhi kemampuan seseorang untuk mengingat informasi dan perhatian. Seseorang dalam kondisi stres memengaruhi performansi tugas-tugas bersifat kognitif dan proses kognisi, yaitu fungsi eksekutif (fungsi yang berperan dalam mengendalikan dan mengarahkan perilaku). Stres memengaruhi perilaku dan sosial seseorang, seperti menurunnya interaksi sosial dan hidup sehat, cenderung pemarah, agresif, kurang kontrol diri, dan tidak peka terhadap kondisi orang lain.

(8)

aspek saling memberi pengaruh, seperti stres kronis membuat perilaku merokok yang berakibat pada menurunnya kesehatan.

5. Stres pada Mahasiswa

Stresor mahasiswa beragam, seperti persaingan prestasi diantara mahasiswa, ujian, tugas kuliah, tekanan untuk mencapai prestasi akademik yang ditunjukkan dengan IPK yang tinggi, adaptasi dengan lingkungan (kampus atau kos), tuntutan hidup mandiri, strategi koping yang tidak sesuai, ketidakpahaman terhadap pemicu stres, dan hambatan relasi interpersonal (sesama mahasiswa atau dosen) (Kholidah, 2009; Nurhidayati, 2011; Supradewi, 2006; Triaswari, 2014).

Stres mengakibatkan efek negatif pada kondisi fisik (fisiologis), perilaku, dan kehidupan sosial individu (Ogden, 2004; Sarafino & Smith, 2011). Pada aspek fisiologis, seseorang dengan kondisi stres terus menerus mengalami penurunan fungsi imun tubuh, penyakit jantung, dan sistem endokrin. Pada aspek sosial dan perilaku, kondisi stres yang terus menerus mengakibatkan seseorang menarik diri dari pergaulan sosial, kurang peka terhadap kondisi orang lain, gampang marah sehingga lingkungan sosial melakukan penolakan (Sarafino & Smith, 2011).

(9)

(2017) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stres dan kecenderungan learned helplessness. Artinya, semakin tinggi tingkat stres maka semakin tinggi kecenderungan learned helplessness.

Berdasarkan berbagai uraian yang telah dijelaskan, stres pada mahasiswa diartikan sebagai situasi yang disebabkan oleh faktor akademik, relasi interpersonal, kemampuan diri dalam berhadapan dan mengelola stres sehingga berakibat negatif terhadap aspek fisik, psikososial, dan perilaku mahasiswa.

6. Cara-cara untuk Menurunkan Tingkat Stres

Tingkat stres dapat ditanggulangi dan dikurangi dengan berbagai cara seperti dukungan sosial dan memperkuat kontrol diri, manajemen diri, olahraga, manajemen stres, farmasi, metode perilaku dan kognitif (relaksasi, desensitisasi sistematis, biofeedback, atau meditasi), serta strategi koping (problem focused dan emotion focused) (Sarafino & Smith, 2011). Penelitian-penelitian di Indonesia terkait penanganan stres pada mahasiswa telah telah banyak dikerjakan, seperti pelatihan berpikir positif (Kholidah, 2009), diskusi kelompok dan pelatihan efikasi diri (Rohmah, 2006), pelatihan mentoring (Nurhidayati, 2011), serta pelatihan dzikir (Supradewi, 2006).

Metode lain dalam penanganan stres adalah penerapan konseling singkat berfokus solusi (KSFS). Kim et al. (2017) dalam buku berjudul

Solution-Focused Brief Therapy in Schools: A 360-Degree View of the

(10)

penerapan KSFS di lingkungan pendidikan, pada usia sekolah dasar dan remaja. Kasus-kasus yang ditemui antara lain usaha bunuh diri, kekerasan, perilaku agresif, prestasi akademik, dan hambatan relasi sosial (guru dengan murid atau murid dengan murid).

Lebih jauh lagi, penerapan KSFS pada usia remaja (usia SMP dan SMA) di Indonesia cukup banyak telah dikerjakan dan memberikan hasil positif. Miranda, Patmonodewo, Soetikno, dan Tehuteru (2017) menerapkan KSFS pada remaja perempuan penderita leukimia. Peneliti tidak menemukan perbedaan tingkat self-esteem subjek penelitian sebelum dan sesudah pemberian KSFS. Kaharja (2016) menerapkan KSFS dengan variabel tergantung self-esteem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan meningkatkan self-esteem subjek penelitian. Penelitian dengan variabel tergantung serupa dikerjakan oleh Pratiwi dan Nuryono (2014) dengan subjek penelitian siswa kelas XI. Hasilnya adalah terjadi peningkatan self-esteem pada subjek penelitian. Fadilah dan Setiawati (2015) menerapkan KSFS untuk meningkatkan keterbukaan diri. Subjek penelitian mereka adalah siwa SMP. Hasil yang didapat bahwa perlakuan meningkatkan sikap keterbukaan diri siswa SMP.

Penelitian dengan menguji penerapan KSFS di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia, sejauh peneliti ketahui, belum banyak dikerjakan. Rusandi dan Rachman (2014) menerapkan KSFS untuk meningkatkan

self-esteem mahasiswa. Mereka menjelaskan bahwa self-esteem subjek

(11)

peneliti memilih KSFS sebagai metode perlakuan untuk menurunkan tingkat stres mahasiswa pada penelitian ini.

KSFS, secara singkat, menilai individu mampu dan proses konseling berpusat pada klien. Individu yang mendapatkan KSFS sudah mengalami perubahan bahkan pada sesi pertama. Selain itu, KSFS memandang bahwa seseorang adalah ahli dalam menyelesaikan masalah sehingga peranan konselor sebagai orang yang membantu untuk menemukan kemampuan klien dan menguatkannya.

B. Konseling Singkat Berfokus Solusi (KSFS)

1. Pendekatan KSFS

KSFS adalah konseling dengan pendekatan fokus pada tujuan dan harapan di masa mendatang dengan proses singkat yang dikembangkan oleh Steve De Shazer dan Insoo Kim Berg. Pendekatan ini menitikberatkan pada pencarian solusi, kualitas positif diri, dan keberhasilan di masa lampau klien. Konselor mendorong klien untuk meneruskan perilaku positif yang sudah terjadi sehingga memberdayakan klien (Corey, 2012). Franklin (2015) menambahkan bahwa KSFS membantu klien untuk mengenali kapasitan dan keberhasilan masa lampau, berpusat pada klien (clien-centered), kolaborasi klien-konselor. Pendekatan KSFS ialah fokus solusi yang berbeda dengan

problem-focused approach. De Shazer (Brasher, 2009) menilai bahwa klien

(12)

Visser (2013) menjelaskan bahwa praktek psikoterapi cenderung fokus pada permasalahan dan faktor-faktor penyebab permasalahan, terapis dinilai sebagai ahli dalam menganalisa permasalahan dan menemukan solusi dari permasalahan, terapis memberi penjelasan tentang permasalahan dan hasil akhir yang perlu dicapai, menggunakan beragam teknik, seperti analisa mimpi, obat-obatan, hipnosis. Visser menambahkan bahwa psikoterapi memerlukan sesi yang panjang dengan mengesampingkan aspek manfaat riil dan berorientasi pada tujuan.

2. Prinsip KSFS

KSFS adalah pendekatan berbasis kompetensi yang lebih menekankan kepada kekuatan, keberhasilan, dan mengarahkan klien kepada kondisi yang akan terjadi di masa mendatang (Lutz, 2014). Lutz menambahkan bahwa pendekatan yang digunakan di KSFS selaras dengan psikologi positif, yaitu menekankan kesejahteraan, keberfungsian optimal, pengalaman-pengalaman positif, serta karakter positif. Konselor percaya bahwa klien memiliki kemampuan untuk membuat diri mereka sendiri sejahtera, percakapan antara klien dan konselor berpusat pada kemampuan dan kekuatan klien, serta konselor memperkuat kemampuan dan karakter positif klien (Lutz, 2014).

(13)

dan mendefinisikan sejelas mungkin hal yang diinginkan klien dalam hidupnya.

Franklin (Lutz, 2014) merangkum prinsip-prinsip KSFS, yaitu fokus pada solusi ketimbang analisis masalah, fokus konseling pada masa depan yang diharapkan klien, konselor mengarahkan klien untuk meneruskan perilaku yang berguna bagi diri klien, permasalahan klien tidak terjadi sepanjang waktu sehingga ada masa saat permasalahan tidak muncul

(exception), kolaborasi konselor dan klien guna menemukan beragam

alternatif pada pola-pola perilaku, pemikiran, dan interaksi yang tidak diinginkan dan bersama-sama membangun ulang pola baru, keberhasilan-keberhasilan kecil berdampak pada keberhasilan-keberhasilan besar, solusi tidak harus berkaitan langsung dengan permasalahan yang telah ditemukan klien dan konselor, dan keterampilan dialog dibutuhkan oleh konselor untuk bersama klien menemukan solusi.

Guterman (2013) menyebutkan prinsip-prinsip KSFS, yaitu fokus pada solusi, pendekatan kolaborasi klien dan konselor, perubahan-perubahan kecil menghasilkan perubahan besar, penekanan pada proses konseling, terbuka pada ekletik, desain konseling singkat dan padat, serta menghargai keberagaman nilai-nilai budaya individu.

(14)

memandang klien sebagai ahli dalam menyelesaikan masalah mereka, resistensi dipandang sebagai cara klien berkomunikasi dengan konselor, pemberian arti terhadap suatu perilaku dinilai sebagai hal yang penting guna menghindari labelisasi, tujuan harus dibuat kecil dan dapat diraih oleh karena perubahan-perubahan kecil membawa pada perubahan besar.

Steve de Shazer (Lutz, 2014) menambahkan bahwa solusi tidak harus berkaitan langsung dengan permasalahan klien. Artinya KSFS langsung fokus pada deskripsi rinci mengenai situasi berbeda yang akan terjadi pada klien saat permasalahan selesai, bukan pada analisa permasalahan atau kondisi patologis klien. KSFS fokus pada konteks saat ini dan masa yang akan datang (De Shazer et al., 2007).

Dari beberapa uraian tentang prinsip KSFS, dapat dirangkum secara ringkas tentang prinsip KSFS yang menjadi dasar kualifikasi konselor KSFS, yaitu.

a. Menekankan pada kekuatan dan keberhasilan masa lampau klien. b. Konselor percaya pada kemampuan klien untuk membuat dirinya

sendiri sejahtera.

c. Memberi penekanan pada masa depan yang diharapkan klien.

d. Konseling mendasarkan pada solusi dibandingkan pemecahan masalah.

e. Kolaborasi antara konselor dan klien.

(15)

h. Solusi tidak harus berkaitan langsung dengan permasalahan.

3. Teknik KSFS

Teknik yang sering digunakan KSFS (Kottler & Shepard, 2011) adalah sebagai berikut.

a. Miracle question

“Jika keajaiban terjadi dan masalah Anda hilang, apa yang

berbeda/berubah dan bagaimana Anda tau?”. Kalimat “apa yang

berbeda/berubah dan bagaimana Anda tau?” pada teknik ini

mengajak klien untuk membayangkan secara jelas kondisi dirinya saat masalah terpecahkan. Jawaban dari klien mengandung solusi-solusi atau strategi pemecahan masalah yang akan menjadi bahan diskusi klien dan konselor terkait masalah klien. Teknik miracle question bertujuan mengenali solusi dan sumber daya yang ada dan mengklarifikasi tujuan klien secara realistis. Teknik miracle question bisa digunakan pada sesi pertama dan sesi selanjutnya (O’Connell dalam Palmer 2011).

b. Pretending

(16)

kemampuan untuk menurunkan berat badan. Kemungkinan kedua adalah klien menilai konselor tidak masuk dan semakin kuat untuk menurunkan berat badannya.

c. Exception Finding

Konselor dan klien bersama-sama menemukan saat masalah tidak muncul. Situasi saat masalah tidak muncul menjadi indikasi bahwa klien memiliki solusi dalam mengelola atau menyelesaikan masalah. Konselor membantu klien untuk mengenali beragam metode yang sudah dilakukan sehingga masalah dapat dikelola atau diselesaikan dengan baik.

d. Scaling question

Konselor mengajak klien untuk mengukur perubahan yang telah terjadi sepanjang proses konseling terkait pencapaian tujuan klien. Teknik ini juga membantu klien menentukan langkah-langkah dalam meraih perubahan. Misalnya, “sebutkan 1 atau 2 hal yang ingin Anda lakukan dalam minggu ini guna meningkatkan atau menurunkan 2

poin?”.

e. Task assignments

(17)

Dari uraian yang sudah ada, dapat dirangkum bahwa teknik-teknik yang digunakan di KSFS adalah miracle question, pretending, finding exception,

scaling question, dan task assignments.

4. Tahap-tahap KSFS

Proses KSFS dibagi menjadi 3 garis besar (O’Connell, 2001), yaitu:

a. Problem talk

Konselor memperhatikan dan mendengarkan permasalahan klien. Hal-hal yang dilakukan konselor pada proses ini, yaitu mengakui dan membenarkan permasalahan klien; meminta klien untuk merangkum permasalahan dalam satu kata dan menjabarkan kata dalam kalimat; mengubah permasalahan menjadi tujuan; menggunakan deskripsi operasional/deskripsi konkret ketimbang label; fleksibel dalam gaya konseling; dan mendefinisikan ulang masalah.

b. Future talk

(18)

c. Strategy talk

Tahap strategy talk terjadi setelah klien mengetahui tujuan atau harapan di masa depan. Tahap ini menggali sebanyak mungkin langkah untuk sampai tujuan. Langkah-langkah yang didapatkan mendasarkan pada langkah-langkah yang pernah berhasil dilakukan klien. Strategi yang digunakan oleh konselor mendasarkan pada prinsip utilisasi (utilization). Zeig dan Munion (O’Connell, 2001) menjelaskan prinsip utilisasi sebagai usaha konselor menggunakan beragam hal yang dibawa klien saat proses konseling, seperti ketidaksadaran, kesadaran, sumber daya, pengalaman, kemampuan, kegemaran, relasi, sikap, permasalahan, dan kekurangan.

Proses KSFS menurut Lutz (2014) adalah sebagai berikut. a. Mengenali kekuatan dan sumber daya klien

(19)

sarana yang sangat membantu untuk memperkuat fokus pada solusi. Cara lainnya adalah pujian terhadap hal-hal positif atau pengalaman sukses klien dalam menghadapi masalah.

b. Penentuan tujuan konseling

Penentuan tujuan konseling dilakukan bersama antara klien dan konselor. Artinya ada kesepakatan antara klien dan konselor. Hal ini dilakukan mengingat bahwa harapan atau keinginan klien tentu lebih dari satu. Hal ini dapat dilakukan dengan menanyakan tentang situasi yang diinginkan klien di masa mendatang. Penentuan tujuan membantu proses dan keberhasilan konseling serta memperkuat relasi klien-konselor. Tujuan konseling harus realistis, spesifik, dapat diraih (skala kecil), operasional, positif, dan kalimat proaktif. Konselor dalam membantu klien menentukan tujuan dapat menggunakan teknik

miracle question. Teknik Scaling membantu klien menyusun langkah

langkah dalam meraih tujuan konseling. c. Akhir sesi

(20)

scaling kepada klien), dan melakukan langkah-langkah kecil guna mencapai tujuan yang diinginkan klien.

Guterman (2013) membuat tahapan yang berbeda, yaitu pelaksanaan

pretreatment change sebelum masuk ke sesi pertama. Guterman menyatakan

bahwa perubahan positif sudah terjadi pada rentang waktu klien memutuskan untuk melakukan konsultasi dan pertemuan awal. Pretreatment change dapat dilakukan pada konteks konselor sudah atau belum mendengarkan penjelasan tentang permasalahan dari klien. Cara ini akan memicu tercapainya tujuan dan penyelesaian lebih cepat terkait permasalahan klien. Konselor menggunakan teknik exception pada tahap pretreatment change. Klien mampu mengidentifikasi

exception adalah tanda tercapai tujuan dan penyelesaian masalah klien.

Sesi pertama konseling terdiri atas memahami permasalahan dan menentukan tujuan, mengenali dan memperkuat exception (kondisi saat klien bebas dari permasalahan atau tetap mengalami permasalahan dalam tingkat rendah), serta menyusun tugas. Tahap memahami permasalahan dapat dimulai dengan pertanyaan konselor kepada klien, seperti, “apa yang mendorong Anda untuk

datang menemui saya?” atau “ada permasalahan apa sehingga Anda memutuskan

datang menemui saya pada hari ini?”. Cara lain dalam memahami permasalahan

(21)

pintu masuk untuk mengenali exception dan membantu klien untuk keluar dari diri mereka.

Tahap berikutnya adalah membuat tujuan. Salah satu konsep yang bisa digunakan adalah metode SMART (spesific, measureable, achieveable, relevant,

dan time-based). Jika klien belum mampu membuat tujuan, konselor dan klien

menggunakan teknik exception. Teknik Exception membantu klien dalam menghadapi permasalahan mereka. Konselor memperkuat perilaku klien yang menemukan exception dengan serangkaian pertanyaan tertentu, baik yang sudah pernah terjadi maupun memiliki potensi untuk terjadi.

Penting untuk menentukan tujuan yang operasional dan konkret (Perry, 2010). Tujuan yang operasional dan konkret membantu klien meraih tujuan sehingga menaikkan harapan dan selanjutnya mampu meningkatkan motivasi klien untuk terus mencoba. Salah satu metode menentukan tujuan ialah SPAMO (spesific -tidak kabur atau umum; positive-apa yang diinginkan klien; achievable-klien mampu meraih tujuan secara mandiri; measureable-dapat diukur; observable -dapat diamati).

(22)

yang telah disusun dalam proses konseling, dimulai dari selesai sesi dan sesi berikutnya.

Tahap sesi kedua dan selanjutnya terdiri atas evaluasi efektivitas tugas yang dikerjakan klien serta evaluasi ulang permasalahan dan tujuan. Hal ini menjaga fokus klien senantiasa berorientasi pada solusi sehingga perubahan terus terjadi. Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini, yaitu:

a. Konselor mengulang rangkuman pada pertemuan sebelumnya dan bertanya tentang tugas yang telah dikerjakan klien. Tujuannya adalah mengajak klien untuk mengenali perubahan positif yang telah terjadi sejak pertemuan sebelumnya. Konselor dapat mengajak klien mengenali exception dan konselor memperkuat exception yang sudah disadari klien. Selain teknik

exception, konselor menggunakan teknik scaling atau buku catatan yang

dipakai klien untuk mencatat perubahan-perubahan positif atau kesuksesan yang sudah dicapai klien.

b. Tahap selanjutnya adalah evaluasi ulang permasalahan dan tujuan. Konselor menilai bahwa klien telah banyak melakukan perubahan positif yang semakin mengarahkan klien pada tujuannya atau bahkan klien telah mencapai tujuannya. Oleh karena itu, konselor perlu bertanya kepada klien untuk melanjutkan konseling atau melakukan terminasi.

(23)

memberi pujian kepada klien di akhir sesi, mengajak klien untuk melanjutkan usaha yang sudah dikerjakan dalam rangka mencapai tujuan, dan meminta klien untuk mengamati perubahan-perubahan yang terkait pencapaian tujuan atau klien menentukan tugas rumah. Tahap ketiga adalah sesi 2 dan selanjutnya adalah sesi tindak lanjut dengan melakukan review pertemuan sebelumnya dan mengajak klien mengenali beragam perubahan positif terkait permasalah atau tujuan, mengevaluasi efektivitas tugas rumah, evaluasi ulang tentang tujuan dan permasalahan. Tahap terakhir ialah terminasi dengan mengevaluasi ulang permasalahan dan tujuaan serta mempertanyakan tentang kelanjutan konseling.

C. Konsep Teoritik Konseling Singkat Berfokus Solusi

Konsep teoritik KSFS mendasarkan pada rangkuman teori-teori KSFS yang akan digunakan sebagai panduan alur kerja intervensi penelitian. Tahapan KSFS ialah, pertama ialah problem-free talk, yaitu konselor mengajak klien mengenali beragam kualitas positif diri klien, sumber daya klien, bakat dan minat, kesukaan, dan keberhasilan atau prestasi klien. Selanjutnya, konselor masuk ke tahap kedua, yaitu pretreatment change dengan tujuan mengenali perubahan-perubahan positif terkait permasalahan partisipan.

(24)

tujuan atau klien menentukan tugas rumah. Tahap ketiga adalah sesi 2 dan selanjutnya adalah sesi tindak lanjut dengan melakukan review pertemuan sebelumnya dan mengajak klien mengenali beragam perubahan positif terkait permasalah atau tujuan, mengevaluasi efektivitas tugas rumah, evaluasi ulang tentang tujuan dan permasalahan.

(25)

Keterangan:

= rincian kegiatan

Gambar 1. Alur Kerja Intervensi

Sesi 1

Sesi 2

1. Klien mengenali kekuatan, kualitas positif diri, keberhasilan masa lampau (problem free-talk)

2. Tujuan klien

3. Rangkuman kegiatan pujian kepada klien

4. Mengenali perubahan positif

Sesi 3

Sesi 4

1. Review kegiatan

2. Pretreatment change

3. Strategy talk

4. Rangkuman kegiatan dan apresiasi kepada

klien

5. Mengenali perubahan positif

1. Review kegiatan dan re-evaluasi tujuan

2. Rangkuman kegiatan dan apresiasi kepada

klien

3. Mengenali perubahan positif

1. Terminasi intervensi

2. Rangkuman kegiatan dan pujian kepada klien

(26)

D. Konseling Singkat Berfokus Solusi

Untuk Menurunkan Tingkat Stres Pada Mahasiswa

Mahasiswa dalam kesehariannya menghadapi beragam situasi yang dapat ditanggapi secara positif atau negatif, baik atau buruk (Lazarus & Folkman, 1984). Suatu peristiwa dinilai positif oleh mahasiswa, yaitu sebagai tantangan dan kesempatan untuk berkembang dan pada sisi lain situasi ini berpotensi menjadi sumber stres. Misalnya persaingan prestasi diantara mahasiswa, ujian, tugas kuliah, adaptasi dengan lingkungan sosial, tuntutan hidup mandiri, strategi koping yang tidak sesuai, ketidakpahaman terhadap pemicu stres, dan hambatan relasi interpersonal (Kholidah, 2009; Nurhidayati, 2011; Supradewi, 2006; Triaswari, 2014). Kondisi stres yang berlangsung terus menerus pada individu berdampak negatif pada kesehatan, perilaku, dan kehidupan sosial (Ogden, 2004; Sarafino & Smith, 2011). Triaswari (2014) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tingginya tingkat stres akan mengakibatkan kesejahteraan psikologis mahasiswa menurun.

(27)

karena itu, diperlukan metode intervensi guna membantu mahasiswa berhadapan dan mengelola stres serta tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa. Salah satu metode tersebut adalah konseling singkat berfokus solusi (KSFS).

KSFS percaya bahwa individu mampu secara mandiri membuat diri mereka sejahtera dan pada saat kondisi tekanan dan stres kondisi tersebut menjadi terhalangi (Luzt, 2014). Konselor masuk pada tahap problem-free talk, yaitu proses konselor untuk mengenali kekuatan positif mahasiswa yang akan berguna untuk menyelesaikan permasalahan atau mencapai harapan dan membangun relasi antara konselor dengan klien (Luzt, 2014). Tahap ini juga membantu klien mengenali dan mengoptimalkan sumber daya individu yang terlupakan sementara oleh karena mahasiswa berada dalam kondisi stres (O’Connell, 2001). Pengenalan karakter positif oleh klien (positive self esteem) terhadap diri sendiri mengakibatkan klien menilai bahwa mereka berdaya dan mampu menghadapi permasalahan (Lutz, 2014). Hasil penelitian Hubbs et al. (2012) dan Aboalshamat et al. (2017) menyimpulkan bahwa stres dan self-esteem memiliki korelasi negatif. Artinya, tingkat stres mahasiswa yang tinggi mengakibatkan self-esteem turun.

Self-esteem yang rendah mengakibatkan mahasiswa merasa sedih, kesepian, dan

pesimis (Orth & Robins, 2013).

(28)

(O’Connell, 2001). Hal ini terjadi di selanjutnya, yaitu problem talk (O’Connell, 2001). Quick (1996) menyebut problem talk sebagai tahap klarifikasi permasalahan dan memilih yang penting bagi klien. Dialog interaktif antara klien dan konselor membuat permasalahan menjadi jelas atau konkret sehingga klien mengetahui permasalahan yang sebenarnya dan menjadi langkah baik bagi proses konseling selanjutnya. Artinya, klien dan konselor mengetahui tujuan atau harapan klien terhadap kegiatan konseling (Luzt, 2014; O’Connell, 2001). Tujuan atau harapan yang jelas membantu klien dan konselor menyusun langkah-langkah kecil yang bisa diraih oleh klien sehingga menimbulkan kepercayaan diri untuk mencapai harapan konseling (O’Connell, 2001). Penelitian menyatakan bahwa percaya diri (efikasi diri), optimisme, atau resiliensi memiliki korelasi negatif dengan stres (Kaur & Amin, 2017; Kevereski et al., 2016). Artinya tingkat stres individu rendah disebabkan naiknya tingkat rasa percaya diri individu. Lebih jauh lagi, Patnaik (2013) menyebutkan bahwa sikap optimis berdampak positif pada aspek afeksi dan motivasi serta membantu individu mengelola stres sehingga mampu berfungsi secara optimal.

(29)

(O’Connell, 2001). Hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa percaya diri (efikasi diri), optimisme, atau resiliensi memiliki korelasi negatif dengan stres (Kaur & Amin, 2017; Kevereski et al., 2016). Artinya tingkat stres individu rendah disebabkan naikknya tingkat rasa percaya diri individu. Patnaik (2013) secara khusus melihat bahwa sikap optimis berdampak positif pada aspek afeksi dan motivasi serta membantu individu mengelola stres sehingga mampu berfungsi secara optimal.

Pada kedua dan selanjutnya, konselor dan klien akan melanjutkan mengidentifikasi perubahan-perubahan positif. Konselor memperkuat perubahan positif dan langkah-langkah yang sudah dilakukan sehingga perubahan positif terus terjadi pada diri klien. Pada saat klien menilai diri mereka mampu untuk mandiri dalam mengelola permasalahan dan mencapai harapan klien, maka proses konseling dihentikan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik

scaling untuk mengukur kesiapan klien mandiri dalam mengelola permasalahan

(O’Connell, 2001).

E. Landasan Teori

(30)

menerus menilai bahwa dirinya tidak berdaya dan kemampuannya terbatas, akibat yang ditimbulkan adalah pandangan negatif klien terhadap dirinya bahwa dirinya akan terus berada di bawah masalah. Pandangan negatif pada diri sendiri yang berkepanjangan menutup pandang positif diri klien tentang kapabilitas dan kompetensi klien dalam menghadapi permasalahan (O’Connell, 2001). Selain penilaian negatif, stres juga berdampak negatif terhadap aspek fisiologis, perilaku dan emosi individu (Ice & James, 2007; Sarafino & Smith, 2011; Taylor, 1995).

KSFS memiliki asumsi bahwa mahasiswa mampu secara mandiri membuat diri mereka sejahtera dan pada saat kondisi stres kondisi tersebut menjadi terhalangi (Luzt, 2014). KSFS memunculkan dan menyadarkan individu tentang kekuatan dan karakter positif yang mampu menjadi kekuatan untuk mengurangi efek stres. Pengenalan karakter positif oleh klien (positive self

esteem) terhadap diri sendiri mengakibatkan klien menilai bahwa mereka berdaya

dan mampu menghadapi permasalahan (Lutz, 2014). Hasil penelitian Hubbs et al. (2012) dan Aboalshamat et al. (2017) menyimpulkan bahwa stres dan self-esteem memiliki korelasi negatif. Artinya, tingkat stres mahasiswa yang tinggi mengakibatkan self-esteem turun. Self-esteem yang rendah mengakibatkan mahasiswa merasa sedih, kesepian, dan pesimis (Orth & Robins, 2013).

(31)

dan optimisme individu. Hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa percaya diri (efikasi diri), optimisme, atau resiliensi memiliki korelasi negatif dengan stres (Kaur & Amin, 2017; Kevereski et al., 2016). Artinya tingkat stres individu rendah disebabkan naiknya tingkat rasa percaya diri individu. Patnaik (2013) menyebutkan bahwa sikap optimis berdampak positif pada aspek afeksi dan motivasi serta membantu individu mengelola stres.

(32)

Keterangan:

: dampak : indikasi

: pengaruh perlakuan

KSFS : Konseling Singkat

Berfokus Solusi

Gambar 2. Skema Landasan Teori

Tingkat stres tinggi prestasi akademik, ujian, mandiri, tugas

kuliah, dan penyesuaian diri dengan lingkungan baru

dirinya memiliki kapabilitas dan keberhasilan dalam mengelola permasalahan.

Indikasi:

 Fisik: kesehatan fisik

menurun

 Perilaku dan sosial:

menurun interaksi sosial, perilaku agresif, meningkat konsumsi rokok dan alkohol.

 Psikis: cemas, takut, sikap

bermusuhan.

 Kognitif: gangguan

konsentrasi dan tugas-tugas kognitif, kontrol diri rendah.

KSFS

Tingkat stres rendah

Indikasi:

 Perilaku dan sosial: meningkatkan kontak sosial (bertemu teman

atau bergabung dengan komunitas sosial), perilaku hidup sehat

 Psikis: emosi negatif menurun, optimisme meningkat dalam

menjalani kegiatan perkuliahan, persepsi positif meningkat terhadap diri sendiri.

 Kognisi: strategi koping adaptif, konsentrasi terhadap tugas-tugas kognisi, kontrol diri, pikiran-pikiran positif

Tahap KSFS  Sesi problem-free talk.  Sesi Pre-treatment change.

 Sesi 1, yaitu pemahaman

masalah dan penentuan tujuan konseling dan tugas (jika diinginkan klien). Konselor menggunaan teknik KSFS (exception, scaling, miracle question, pujian di setiap akhir sesi).

 Sesi 2, follow-up, review tugas (teknik exception, scaling)

(33)

F. Hipotesis

Gambar

Gambar 1. Alur Kerja Intervensi
Gambar 2. Skema Landasan Teori

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan : Asupan zat gizi yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada wanita menopause adalah asam lemak jenuh (SFA), sedangkan asupan asam lemak tidak jenuh (MUFA,

Menurut Rosa A.S (2015:44) menjelaskan bahwa “Database Management System atau dalam bahasa indonesia sering disebut Sistem Managemen Basis Data adalah suatu sistem aplikasi yang

Tugas akhir ini membahas tentang lateral buckling yang terjadi pada subsea pipeline akibat suatu pergerakan aksial pada pipeline yang disebut dengan pipeline walking..

Sistem drainase di Kabupaten Barru memanfaatkan topografi yang cukup terjal dan berbukit-bukit.Dengan kondisi seperti itu, air hujan yang jatuh dapat mengalir

Dalam rangka memenuhi peningkatan kebutuhan akan tenaga listrik khususnya di pulau jawa sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah serta untuk meningkatkan pemanfaatan sumber

Berdasarkan analisis regresi faktor abiotik terhadap keanekaragaman, kemerataan dan kekayaan jenis Collembola pada perkebunan apel didapatkan hasil bahwa faktor abiotik

lahan kelapa sawit TBM pada 4 dan 8 MSA, gulma rumput ditekan pada 12 MSA, dan gulma teki ditekan pada 4 MSA, terdapat perubahan komposisi jenis gulma akibat

Peneliti membatasi penelitian pada pemeliharaan hubungan interpersonal antara Ustadz sebagai fasilitator dalam berkomunikasi dengan masyarakat penerima manfaat di