• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN MUTU BIBIT TORBANGUN (Plecranthus amboinicus Spreng.) DENGAN PEMILIHAN ASAL SETEK DAN PEMBERIAN AUKSIN PIPIN APRIANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENINGKATAN MUTU BIBIT TORBANGUN (Plecranthus amboinicus Spreng.) DENGAN PEMILIHAN ASAL SETEK DAN PEMBERIAN AUKSIN PIPIN APRIANI"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN MUTU BIBIT TORBANGUN (Plecranthus

amboinicus

Spreng.) DENGAN PEMILIHAN ASAL SETEK

DAN PEMBERIAN AUKSIN

PIPIN APRIANI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peningkatan Mutu Bibit Torbangun (Plecranthus amboinicus Spreng.)denganPemilihan Asal Setek dan Pemberian Auksin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Pipin Apriani

NIM A24100150

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada kerja sama yang terkait.

(4)
(5)

ABSTRAK

Pipin Apriani. Peningkatan Mutu Bibit Torbangun (Plecranthus amboinicus

Spreng.)denganPemilihan Asal Setek dan Pemberian Auksin. Dibimbing oleh M RAHMAD SUHARTANTO.

Torbangun adalah sayuran indigenous yang daunnya dapat digunakan sebagai tanaman obat. Perbanyakan torbangun telah dilakukan secara vegetatif dengan setek, akan tetapi metode perbanyakan setek pada torbangun belum dikembangkan. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan kombinasi terbaik antara asal setek dan konsentrasi auksin yang tepat sehingga menghasilkan bibit torbangun yang vigor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2014 di Unit Konservasi dan Budi Daya Biofarmaka (UKBB), Cikabayan, IPB, Bogor. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama terdiri dari dua faktor yaitu asal setek (pucuk, tengah dan pangkal) dan konsentrasi auksin (0, 20, dan 40 ppm). Faktor pada percobaan kedua yaitu panjang asal setek pucuk (3.5, 7 dan 10.5 cm) dan konsentrasi auksin (0, 20, dan 40 ppm). Setek asal pucuk pada percobaan 1 merupakan setek yang sama pada setek asal pucuk dengan panjang 7 cm di percobaan 2, hal ini dilakukan karena keterbatasan tanaman torbangun sebagai bahan setek. Percobaan terdiri dari 15 kombinasi faktor dan diulang sebanyak 3 kali dan masing-masing kombinasi faktor terdapat 10 tanaman contoh sehingga didapat 450 satuan percobaan. Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) faktorial dengan 2 faktor. Setek yang berasal dari pucuk adalah setek paling baik digunakan untuk menghasilkan bibit torbangun yang vigor. Pemberian konsentrasi auksin sampai dengan 40 ppm tidak berpengaruh nyata pada semua tolok ukur keberhasilan setek torbangun. Setek asal pucuk dengan panjang 10.5 cm paling baik digunakan untuk meningkatkan jumlah tunas dan panjang akar bibit torbangun.

(6)

ABSTRACT

PIPIN APRIANI. The Improvement Seedling Quality of Torbangun with Using of Combination Part of Stem Cuttings and Auxsin Concentration (Plectranthus

amboinicus Spreng.). Supervised by M RAHMAD SUHARTANTO.

Torbangun is an indigenous vegetable that its leaves used as herbal plant. Torbangun propagation still done vegetatively by cutting, but it has not been developed. The purpose of this research is to get the best combination part of stem cuttings and auxin concentration, in order to achieve vigor cutting. This research was conducted at Conservation and Biopharmaca Cultivation, Cikabayan IPB, Bogor from January until March 2014. This research consisted of 2 experiments. The first experiment treatments were part of stem cuttings torbangun (tips, central and base) and auxin concentrations (0, 20 and 40 ppm). Second experiment treatments were length of tips cuttings torbangun (3.5, 7, and 10.5 cm) and auxin concentration (0, 20, dan 40 ppm). Because of limited seed, tips cuttings at first experiment was same with tips cuttings with 7 cm length at second experimment. There were 15 combination of treatments, 3 replications and each treatment consisted of 10 cuttings, in this way a total was 450 cuttings. The experiments was laid out in Randomized Completely Block Design – Factorial with two factor. The result of this experiments showed that tips was the best part of stem cuttings to achieve vigor cutting torbangun. All concentrated of auxin until 40 ppm did not affect to cutting’s indicator. 10.5 cm of length tips cuttings was the best to increase long roots and nodes of torbangun.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

PENINGKATAN MUTU BIBIT TORBANGUN (Plecranthus

amboinicus

Spreng.) DENGAN PEMILIHAN ASAL SETEK

DAN PEMBERIAN AUKSIN

PIPIN APRIANI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Peningkatan Mutu Bibit Torbangun (Plecranthus amboinicus

Spreng.) denganPemilihan Asal dan Pemberian Auksin

Nama : Pipin Apriani

NIM : A24100150

Disetujui oleh

Dr Ir M Rahmad Suhartanto, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc Agr Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari-Maret 2014 ini adalah Peningkatan Mutu Bibit Torbangun (Plecranthus amboinicus Spreng) dengan Pemilihan Asal Setek dan Pemberian Auksin.

Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini, yaitu:

1. Dr Ir M Rahmad Suhartanto, MSi sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dukungan selama penelitian dan penulisan skripsi.

2. Dr Ir Winarso D Widodo, MS sebagai dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dalam penulisan skripsi.

3. Dr Ir Ketty Suketi, MSi sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan dan sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dalam penulisan skripsi.

4. Teknisi unit konservasi dan budi daya biofarmaka (UKBB) yang telah mempersiapkan tempat dan bahan penelitian.

5. Bapak Sairoh SE dan Ibu Sri Dayati, orang tua penulis dan saudara-saudara yang selalu mendo’akan dan memberikan dukungan serta kasih sayang.

6. Staf pengajar dan staf Komisi Pendidikan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

7. Teman-teman yang sudah membantu dalam pengamatan.

Semoga hasil penelitian ini memberikan manfaat terhadap pelestarian dan pemanfaatan tanaman indigenous.

Bogor, Juli 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1  Latar Belakang 1  Tujuan Penelitian 2  Hipotesis 2  TINJAUAN PUSTAKA 2  Botani Torbangun 2 

Asal dan Panjang Setek 3 

Konsentrasi Auksin 3 

Inisiasi Akar 4 

Media Tanam 4 

METODE 5 

Lokasi dan Waktu Penelitian 5 

Bahan Penelitian 5 

Alat Penelitian 5 

Prosedur Percobaan 5 

Analisis Data 7 

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 

Kondisi Umum 9 

Pengaruh Pemilihan Asal Setek dan Konsentrasi Auksin terhadap Tolok Ukur

Keberhasilan Setek Torbangun 10 

Pengaruh Panjang Setek Asal Pucuk dan Konsentrasi Auksin terhadap Tolok

Ukur Keberhasilan Setek Torbangun 15 

KESIMPULAN DAN SARAN 17 

Kesimpulan 17 

Saran 17 

DAFTAR PUSTAKA 18 

(14)

DAFTAR TABEL

1 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh asal setek dan konsentrasi auksinterhadap tolok ukur keberhasilan setek torbangun yang

diamati 10 2 Pengaruh asal setek terhadap keberhasilan persentase setek

hidup torbangun (%) 11 3 Pengaruh asal setek terhadap jumlah tunas 12 4 Pengaruh asal setek terhadap jumlah cabang

5 Pengaruh asal setek terhadap perakaran setek saat 7 MST 12 6 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh panjang setek dan konsentrasi

auksin terhadap tolok ukur keberhasilan setek torbangun saat 7 MST 15 7 Pengaruh panjang setek terhadap panjang akar dan jumlah tunas setek

torbangun 15

8 Rekapitulasi nilai rata-rata terhadap tolok ukur keberhasilan

setek torbangun pada umur 7 MST 17

DAFTAR GAMBAR

1 Tanaman torbangun saat umur 4 MST 2 2 Bahan setek torbangun; (a) skema pembagian asal setek torbangun, (b) pemotongan setek torbangun berdasarkan asal setek; pucuk, tengah dan pangkal (kiri ke kanan), (c) panjang setek asal pucuk; 3.5, 7, dan 10.5 cm (kiri ke kanan) 6

3 Kondisi dan penyakit dan hama yang menyerang setek torbangun; (a) kondisi umum tanaman torbangun, (b) penyakit hawar daun dan serangan ulat penggerek daun, (c) serangan cendawan pada media tanam yang ditunjukan pada bulatan merah. 9 4 Setek asal pangkal busu saat umur 4 MST 11 5 Keragaan akar torbangun saat 7 MST; (a) setek asal pucuk, (b) setek

asal tengah, (c) setek asal pangkal 14 6 Pertumbuhan setek torbangun yang berumur 6 MST; (a) asal tengah,

(b) asal pangkal, (c) asal pucuk 14 7 Keragaan akar torbangun saat 7 MST; (a) setek dengan panjang awal 3.5 cm, (b) setek dengan panjang awal 7 cm, (c) setek dengan panjang awal

10.5 cm 17

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sayuran indigenous merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia, dan Indonesia termasuk dalam 3 negara mega keanekaragaman hayati setelah Brazil dan Madagaskar (Baihaki 2003). Sayuran indigenous dapat dijadikan sebagai diversifikasi komoditas hortikultura, akan tetapi perhatian terhadap sayuran indigenous masih kurang, bahkan cenderung ditinggalkan. Akibatnya, beberapa sayuran indigenous kurang dikenal dan mulai terancam punah. Keberadaan sayuran indigenous perlu dilestarikan, karena selain memiliki nilai ekonomi juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan.

Torbangun merupakan salah satu sayuran indigenous yang sangat potensial dikembangkan karena khasiatnya. Damanik et al. (2001) menyatakan bahwa torbangun memiliki efek laktagogum, yang dapat meningkatkan produksi ASI. Kaliappan dan Vinaswatan (2008) menyatakan bahwa torbangun dapat digunakan sebagai obat herbal, seperti : mengobati demam, malaria, batu ginjal, batuk, asma serta sebagai anti kanker dan anti tumor.

Sejauh ini penelitian mengenai torbangun masih sebatas farmakologi saja, belum diimbangi dengan teknik perbanyakannya. Perbanyakan torbangun masih dilakukan secara vegetatif dengan menggunakan setek. Tersedianya bibit torbangun secara tidak langsung juga ikut melestarikan plasma nutfah dan mempermudah proses pelaksanaan penelitian yang berhubungan dengan pengembangan tanaman torbangun lebih lanjut. Berdasarkan hal tersebut, maka pengembangan metode setek torbangun yang tepat sangat diperlukan untuk menghasilkan bibit vigor, yaitu bibit unggul dalam jumlah banyak dan seragam.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan setek berakar dan tumbuh baik adalah sumber bahan setek dan perlakuan terhadap bahan setek (Rohadi dan Nurhasby 2003). Setek batang dapat dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan tipe jaringannya, yaitu hardwood, semihardwood, softwood dan herbaceous

(Hartmann dan Kester 2002). Setek batang torbangun termasuk dalam

herbaceous. Pemilihan asal setek yang tepat adalah metode perbanyakan setek

yang secara teknis sederhana untuk dilakukan. Sampai saat ini belum diketahui asal setek torbangun bagian mana yang mampu menghasilkan bibit torbangun dengan vigor tinggi. Semua asal setek torbangun diharapkan dapat menghasilkan bibit bervigor tinggi yang sama, sehingga tidak ada bagian tanaman yang terbuang.

Usaha lain yang dapat dilakukan untuk menghasilkan bibit torbangun bervigor tinggi adalah dengan memberikan zat pengatur tumbuh auksin. Hal yang perlu diperhatikan dalam faktor auksin terhadap bahan setek adalah konsentrasi yang digunakan. Konsentrasi auksin yang dibutuhkan pada setiap tanaman tidak sama, sehingga penentuan konsentrasi dalam jumlah yang tepat pada tanaman torbangun sangat diperlukan untuk memberikan hasil yang optimum.

(16)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan kombinasi terbaik antara asal setek dan konsentrasi auksin yang tepat sehingga menghasilkan bibit torbangun yang vigor.

Hipotesis

1. Setek yang berasal dari pucuk adalah asal setek yang paling baik digunakan pada setek torbangun

2. Konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin sebesar 20 ppm yang paling tepat untuk memicu pembentukan akar dan tunas setek torbangun

3. Setek pucuk dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin 20 ppm adalah kombinasi terbaik untuk keberhasilan setek torbangun.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Torbangun

Torbangun (Plecranthus amboinicus) merupakan tanaman tradisional yang dikenal dengan nama bangun bangun. Tanaman torbangun memiliki ciri batang berkayu lunak, beruas-ruas dan berbentuk bulat, diameter pangkal ± 15 mm, tengah ±10 mm dan ujung ± 5 mm. Torbangun jarang berbunga akan tetapi pengembangbiakannya mudah dilakukan dengan setek dan cepat berakar di dalam tanah ( Heyne 1987). Torbangun yang ditemukan di lapangan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tanaman torbangun saat umur 4 MST

Siagian dan Rahayu (2000) menyatakan bahwa torbangun tidak berumbi, berbulu halus saat muda, dan berambut pendek jika tua. Tangkai sari bersatu di bagian bawah membentuk tabung mengelilingi putik. Berbiji satu berwarna coklat pucat, permukaan licin, agak bulat pipih. Tanaman ini diperkirakan berasal dari Indonesia dan ada kemungkinan berasal dari Afrika dan India, yang menyebar ke kawasan beriklim hangat, meluas ke pantropik terus menyebar ke Malaysia. Yuniarti (2008) menambahkan bahwa biasa ditanam pada ketinggian 1 000 m dpl,

(17)

3 tempat-tempat yang tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari, dan airnya cukup.

Asal dan Panjang Setek

Asal setek batang dapat dibedakan menjadi 3 bagian, antara lain setek asal pucuk, setek asal batang bagian tengah dan setek asal batang pangkal. Menurut Hartmann dan Kester (2002) menyatakan bahwa bahan setek memiliki nutrisi yang terkandung didalamnya, yaitu ketersediaan air dan kandungan hormon endogen dalam jaringan setek. Yusmaini (2009) melaporkan bahwa jenis bahan setek pucuk memberi pengaruh nyata terhadap kemampuan hidup dan berakar paling tinggi dibandingkan setek pangkal dan setek batang bagian tengah pada vigor setek stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.). Hasil penelitian Muslimawati (2014) pada tanaman poh-pohan (Pilea trinervia Wight.) juga menunjukkan hasil yang sama yaitu bagian pucuk merupakan bagian setek paling baik ditanam untuk pertambahan panjang setek dan jumlah daun.

Perkembangan akar dan tunas setek dipengaruhi oleh kandungan bahan makanan terutama karbohidrat dan nitrogen. Semakin panjang setek semakin besar kandungan karbohidrat, sehingga akar yang dihasilkan semakin banyak (Hartmann dan Kester 2002). Winarto (2005) menyatakan bahwa umumnya setek sambung nyawa yang umum digunakan adalah setek batang dengan panjang setek berkisar 7-15 cm. Menurut penelitian Santoso (2008) perbanyakan tanaman jarak pagar secara vegetatif dapat dilakukan dengan setek batang berukuran panjang 30 cm dengan diameter 2.0-2.4 cm. Penelitian Kurniatusulihat (2009) pada setek terubuk (Saccharum edule Hasskarl) menunjukkan setek dengan 3 buku dapat meningkatkan bobot bunga, jumlah tunas dan persentase bunga berkelobot lebih besar dibandingkan dengan setek terubuk 1 buku dan 2 buku. Sparta et al. (2012) menghasilkanwaktu muncul tunas, jumlah tunas, panjang tunas dan panjang akar pada setek buah naga 20 cm lebih baik dibandingkan setek buah naga dengan panjang 10 cm.

Konsentrasi Auksin

Penggunaan zat pengatur tumbuh sangat berpengaruh terhadap tanaman. Salah satu jenis zat pengatur tumbuh adalah auksin (Acquaah 2004). Kandungan auksin mempengaruhi kemampuan batang untuk berakar. Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan adalah zat pengatur tumbuh yang mengandung

1-naphtalene-acetamide (NAD), 2-methyl-1-naphtalene-acetic acid (MNAA),

3-methyl-1-naphtalene-acetamide (MNAD), indole-3-butiric acid (IBA), dan

tetramethyl-thiuram disulfide (Thiram) (Manurung 1987). Puttileihalat (2007)

menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh termasuk dalam kelompok auksin yang aktif mempercepat dan memperbanyak keluarnya akar sehingga penyerapan air dan unsur hara tanaman akan bertambah dan dapat mengimbangi pemguapan air pada bagian tanaman yang berada di atas tanah.

Pemberian zat pengatur tumbuh auksin dalam jumlah yang tepat akan memberikan hasil optimum, sehingga penentuan konsentrasi yang tepat dalam pemberian zat pengatur tumbuh auksin pada tanaman sangat diperlukan. Wiratri (2005) dalam penelitiannya melaporkan bahwa kombinasi setek pucuk dengan

(18)

4

cara perendaman dalam larutan Rootone F 100 ppm menunjukkan hasil paling baik digunakan pada setek Gmelina (Gmelina arborea Linn). Hasil penelitian Amanah (2009) pada pertumbuhan bibit setek lada juga dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh auksin. Konsentrasi auksin terbaik pada panjang tunas (15.14 cm) dan jumlah akar (7.78) adalah 12.5 g/l.

Menurut Hartmann dan Kester (2002) umumnya konsentrasi auksin berkisar antara 20 ppm untuk spesies mudah berakar dan 200 ppm untuk spesies yang sulit berakar. McMahon et al. (2007) setek batang pembiakan tanaman herbaceous

seperti Coleus, Carnation dan Aglonema tergolong yang mudah berakar. Berdasarkan pustaka tersebut, maka konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin yang akan digunakan pada penelitian ini adalah 0 ppm, 20 ppm, dan 40 ppm. Aplikasi pemakaian zat pengatur tumbuh auksin auksin yang digunakan adalah metode perendaman, karena pada setek berkayu lembut (softwood, herbaceous) jumlah larutan yang diabsorbsi akan tergantung pada jumlah air yang diabsorbsi.

Inisiasi Akar

Inisiasi akar merupakan salah satu aspek tumbuh tanaman dengan menghasilkan bagian-bagian atau organ baru. Pertambahan jumlah akar merupakan salah satu ciri inisiasi tersebut. Rambut akar dapat tumbuh dari akar utama (akar lateral) atau berasal dari jaringan batang tumbuhan (akar adventif) yang dipacu dengan pemberian zat pengatur tumbuh auksin dalam jumlah tertentu ( Mukherji dan Ghosh 2000).

Hasil penelitian Hidayat dan Rusdiana (2005) menunjukkan proses pembentukan akar pada tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) dari hasil perbanyakan secara setek berbeda dengan penyemaian benih. Akar sekunder memiliki jumlah yang lebih banyak dari pada akar primer.

Media Tanam

Media tanam sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan setek. Salah satu syarat media tanam yang baik adalah porositas, yaitu kemampuan media menyerap air dan steril (Yasman dan Smits 2009). Menurut Hardjowigeno (2007) topsoil merupakan tanah lapisan teratas yang mengandung bahan organik, berwarna gelap dan memiliki kedalaman 25 cm yang disebut dengan lapisan olah tanah. Hasil penelitian Fatimah dan Handarto (2008) menunjukan faktor media tanam topsoil meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang dan bobot segar total tanaman sambiloto.

Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kandang ternak baik kotoran padat maupun kotoran cair yang tercampur dengan sisa makanan atau alas kandang (Lingga 1994). Secara umum dalam setiap ton pupuk kandang mengandung 5 kg N, 3 kg P2O5 dan 5 kg K2O serta unsur-unsur hara esensial lain dalam jumlah yang relatif kecil (Hardjowigeno 2007).

(19)

5

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Percobaan dilaksanakan di Unit Konservasi dan Budi Daya Biofarmaka (UKBB), Cikabayan, IPB, Bogor pada bulan 31 Januari sampai dengan 26 Maret 2014.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan yaitu tanaman torbangun yang telah berumur 1.5 bulan yang diperoleh dari Unit Koservasi dan Budi Daya Farmaka (UKBB), IPB, furadan 3G, zat pengatur tumbuh auksin yang mengandung NAD, MNAA, dan thyram, polybag, media tanam berupa campuran topsoil dan pupuk kandang dengan perbandingan (1:1), aquades, fungisida dan paranet dengan kerapatan 50%.

Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan selama penelitian, antara lain; gunting setek, gembor, penggaris dan kamera.

Prosedur Percobaan

Penelitian terdiri atas dua percobaan, percobaan pertama terdapat 2 faktor yaitu asal setek (pucuk, tengah, dan pangkal) dan konsentrasi auksin (0, 20 dan 40 ppm), sedangkan faktor pada percobaan kedua adalah panjang setek asal pucuk (3.5, 7 dan 10.5 cm) dan 3 taraf konsentrasi auksin (0, 20, dan 40 ppm).

Persiapan lahan dan media tanam

Pelaksanaan penelitian dimulai dengan mempersiapkan lahan. Lahan dibersihkan dari kotoran dan gulma yang tumbuh, kemudian dipasangi paranet dengan kerapatan 50 %. Luas lahan dibagi menjadi 3 ulangan. Masing-masing ulangan terdapat 150 satuan percobaan. Media tanam dimasukkan ke dalam

polybag sebanyak 450 polybag yaitu tanah topsoil dan pupuk kandang dengan

perbandingan volume (1:1).

Persiapan bahan setek

Bahan setek berasal dari tanaman torbangun yang berumur 1.5 bulan, yang didapat dari Unit Konservasi dan Budi Daya Biofarmaka. Pengambilan atau pemotongan setek dilakukan di pagi hari hal ini dikarenakan turgor tanaman pada magi hari masih tinggi. Pemotongan setek dibagi menjadi tiga tahapan. Tahapan pertama adalah pemotongan setek yang berasal dari bagian pucuk. Pemotongan setek dilakukan pada cabang yang bertunas atau sedikit dibawah cabang yang bertunas dengan kemiringan 45 derajat. Setek asal pucuk yang digunakan terdiri

(20)

6

atas 3 taraf panjang setek asal pucuk (3.5, 7, dan 10.5 cm), masing-masing disisakan 4 helai daun. Setek asal pucuk dengan panjang 7 cm pada percobaan 2 adalah setek yang sama pada setek asal pucuk di percobaan 1.

Tahapan kedua dan ketiga adalah pemotongan bagian batang, yaitu tengah dan pangkal. Pemotongan setek bagian tengah dan pangkal dipotong dilakukan dengan cara yang sama seperti pemotongan setek asal pucuk, akan tetapi setek diambil dengan panjang yang sama yaitu 7 cm dan untuk setek bagian pangkal tidak disisakan daun. Contoh setek yang diambil sebagai bahan tanam dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Pengambilan bahan setek torbangun; (a) skema pembagian asal setek torbangun, (b) pemotongan setek torbangun berdasarkan asal setek; pucuk, tengah dan pangkal (kiri ke kanan), (c) Panjang setek asal pucuk; 3.5, 7, dan 10.5 cm (kiri ke kanan)

Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Auksin

Setek yang tidak diberi zat pengatur tumbuh auksin (kontrol) segera ditanam. Larutan zat pengatur tumbuh auksin dibuat dengan konsentrasi 20 dan 40 ppm. Larutan dibuat sebanyak 3 kali ulangan untuk masing-masing satuan percobaan. Pemberian auksin pada setek dilakukan dengan cara mencelupkan secara cepat ke larutan sekitar 3 detik.

Penanaman

Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu dibuat lubang tanam pada media agar setek tidak rusak dan zat pengatur tumbuh auksin tidak terbuang percuma karena gesekan dengan media. Setelah itu setek segera ditanam bersamaan dengan pemberian furadan, kemudian media disiram secukupnya agar setek tetap segar. Penyiraman media tanam dilakukan setelah penanaman agar keadaan media tetap cukup air untuk mendorong pertumbuhan setek. Dalamnya penanman setek harus sama, kurang lebih 1/3 panjang setek.

(21)

7

Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan untuk meberikan kondisi yang optimum pada setek. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan berupa penyiraman, penyiangan gulma, dan pengendalian hama dan penyakit. Pembibitan torbangun dipelihara secara intensif dengan penyiraman setiap hari. Penyiangan dilakukan setiap satu minggu sekali untuk mengurangi gulma. Pengendalian gulma dilakukan secara manual yaitu dicabut dengan tangan. Penyemprotan fungisida dilakukan pada media tanam untuk mengatasi serangan cendawan dan penyakit. Kegiatan penyemprotan disesuaikan dengan ada tidaknya serangan. Dosis fungisida yang digunakan dalam penelitian ini 1 gram perliter.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan sejak 3-7 Minggu Setelah Tanam (MST). Tolok ukur yang diamati dalam penelitian ini, antara lain adalah;

Percobaan 1

1. Persentase setek hidup (%), dengan menghitung perbandingan jumlah setek hidup diakhir pengamatan dengan jumlah setek yang ditanam pada awal penelitian. Pengamatan dilakukan saat 7 MST.

2. Persentase setek berakar (%), dengan menghitung perbandingan jumlah setek berakar dengan jumlah setek yang ditanam. Pengamatan dilakukan saat 7 MST.

3. Pnjang akar (cm), diukur dari pangkal (leher akar) sampai ujung akar pada akar utama. Dihitung diakhir pengamatan (7 MST)

4. Tinggi setek (cm), diukur dari permukaan tanah sampai ujung pucuk tertinggi. Dilakukan setiap minggu mulai 3-7 MST.

5. Pertambahan jumlah daun (daun/minggu), dihitung dengan cara hasil pengurangan (jumlah daun diakhir pengamatan – jumlah daun saat penanaman) dibagi lamanya pengamatan dalam satuan minggu.

Percobaan 2

1. Sama seperti percobaan 1 (nomor 1-4)

2. Kecepatan tumbuh (cm/minggu), dihitung dengan rumus :

Kec.Tumbuh = Tinggi Awal Saat Tanam (cm) – Tinggi Akhir (cm) Lama Pengamatan (Minggu)

3. Jumlah daun dihitung dengan jumlah daun yang telah membuka sempurna. Dilakukan setiap minggu mulai 3-7 MST

Analisis Data Percobaan 1

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)-Faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah asal setek (S), yaitu setek asal pucuk (S1), setek asal tengah (S2) dan setek asal pangkal (S3). Faktor kedua adalah penggunaan konsentrasi zat pengatur

(22)

8

tumbuh auksin yaitu 0 ppm (K0), 20 ppm (K2) dan 40 ppm (K4). Terdapat 9 kombinasi faktor dan setiap faktor diulang 3 kali dan masing-masing ulangan terdapat 10 tanaman contoh sehingga didapat 270 satuan percobaan. Berdasarkan rancangan percobaan yang digunakan, maka model umum Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT):

Yij = + i + + ( )ij + , Keterangan :

Yij = pengamatan pada faktor perbedaan asal setek ke-i, dan taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin ke-j = rataan umum

i = pengaruh perbedaan asal setek yang digunakan

βj = pengaruh taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin yang diberikan.

( )ij = interaksi antara pengaruh asal setek ke-i dan konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin ke-j

= galat percobaan.

Percobaan 2

Hasil percobaan 1 dilanjutkan pada percobaan 2. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)-Faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama pada percobaan 2 adalah panjang setek asal pucuk (P), yaitu 3.5 cm (P1), 7 cm (P2), dan 10.5 cm (P3).

Faktor kedua pada percobaan 1 adalah konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin dengan taraf yang sama seperti percobaan 1, yaitu 0 ppm (K0), 20 ppm (K2), dan 40 ppm (K4). Terdapat 9 kombinasi faktor dan setiap faktor diulang 3 kali dan masing-masing ulangan terdapat 10 tanaman contoh sehingga didapat 270 satuan percobaan. Berdasarkan rancangan percobaan yang digunakan, maka model umum Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT):

Yij = + i + + ( )ij + , Keterangan :

Yij = pengamatan pada faktor perbedaan panjang setek ke-i, dan taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin ke-j

= rataan umum

i = pengaruh perbedaan panjang yang digunakan

βj = pengaruh taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin yang diberikan.

( )ij = interaksi antara pengaruh panjang ke-i dan konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin ke-j

= galat percobaan.

Panjang setek asal pucuk 7 cm pada percobaan 2 merupakan setek yang sama pada percobaan 1, hal ini dikarenakan oleh keterbatasan tanaman torbangun sebagai bahan setek. Artinya S1 = P2 merupakan satuan percobaan yang sama. Berdasarkan hal tersebut maka total satuan percobaan adalah terdapat 15

(23)

9 kombinasi faktor dan setiap faktor diulang 3 kali dan masing-masing ulangan terdapat 10 tanaman contoh sehingga didapat 450 satuan percobaan.

Data hasil pengamatan percobaan 1 dan 2 diuji dengan uji-F, apabila hasil berpengaruh nyata maka dilakukan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α = 5%. (Gomez dan Gomez 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Pertumbuhan dan perkembangan setek pada awal penanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti curah hujan, kelembaban, dan pencahayaan di area penanaman setek. Suplai air yang berlebihan akibat curah hujan menyebabkan media mudah terinfeksi, sehingga beberapa setek torbangun rentan serangan penyakit dan menjadi busuk. Salah satu upaya untuk meminimalisir kebusukan adalah dengan mengurangi penyiraman menjadi sehari sekali atau tidak melakukan penyiraman jika hujan.

Curah hujan di dramaga mencapai 337 mm pada bulan Februari, curah hujan menurun menjadi 281 mm pada bulan Maret (Lampiran 1). Penyakit yang menyerang pada saat penyetekan adalah cendawan dan hawar duan. Gejala serangan cendawan dapat dilihat pada media tanam atau setek, yaitu banyak spora-spora berwarna putih. Serangan cendawan yang muncul kemungkinan disebabkan oleh bahan setek, kelembaban yang tinggi, dan aerasi yang kurang, sehingga perlu dilakukan penyemprotan fungisida.

Serangan hama yang ditemui adalah rayap (Macrotermes gilvus Hagen) dan ulat penggerek daun. Gulma dominan yang terdapat di lapang adalah gulma golongan rumput. Pengendalian gulma dilakukan secara manual yaitu mencabut gulma yang tumbuh dengan tangan. Serangan hama dan penyakit serta kondisi umum setek torbangun dapat dilihat pada Gambar 3.

(a) (b) (c)

Gambar 3 Kondisi dan penyakit dan hama yang menyerang setek torbangun; (a) kondisi umum tanaman torbangun, (b) penyakit hawar daun dan serangan ulat penggerek daun, (c) serangan cendawan pada media tanam yang ditunjukan oleh bulatan merah.

(24)

10

Pengaruh Asal Setek dan Konsentrasi Auksin terhadap Tolok Ukur Keberhasilan Setek Torbangun

Hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh asal setek dan konsentrasi auksin terhadap tolok ukur keberhasilan setek torbangun dapat diamati pada Tabel 1. Asal setek berpengaruh sangat nyata pada semua tolok ukur keberhasilan setek torbangun, kecuali pertambahan jumlah daun diakhir pengamatan (7 MST), jumlah tunas saat berumur 3-4 MST dan jumlah cabang saat 5 MST.

Tabel 1 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh asal setek dan konsentrasi auksin terhadap tolok ukur keberhasilan setek torbangun yang diamatia

Tolok Ukur Umur S K S*K KK (%)

(MST)

Persentase Setek Hidup (%)

3 ** tn tn 15.21 4 ** tn tn 21.22 5 ** tn tn 21.38 6 ** tn tn 22.39 7 ** tn tn 26.99 Jumlah Tunas 3 tn tn tn a)12.76 4 tn tn tn a)21.84 5 ** tn tn a)19.56 6 ** tn tn a)18.63 7 ** tn tn a)28.53 Jumlah Cabang 3 ** tn tn a)19.29 4 ** tn tn a)15.98 5 tn tn tn a)17.95 6 * tn tn a)14.74 7 * tn tn a)13.74

Persentase Setek Berakar (%) 7 ** tn tn 26.99

Jumlah Akar 7 ** tn tn 27.58

Panjang Akar (cm) 7 ** tn tn 25.71

Tinggi Setek (cm) 7 ** tn tn 26.62

Pertambahan Jumlah Daun

(helai/minggu) 7 tn tn tn 20.21

aMST : minggu setelah tanam; S : asal setek; K : konsentrasi zat pengatur tumbuh

auksin, S*K : Interaksi; KK : koefisien keragaman; ** : berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; * : berpengaruh nyata pada taraf 5%; tn : tidak berpengaruh nyata; a): data

transformasi dengan √x + 0.5

Konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin tidak berpengaruh nyata terhadap semua tolok ukur keberhasilan setek torbangun. Hal ini diduga konsentrasi yang diberikan terlalu rendah, akan tetapi setek torbangun mampu menghasilkan perakaran, sehingga ada kemungkinan bahwa kandungan auksin endogen dari setek torbangun telah terpenuhi oleh karena itu tidak memerlukan tambahan zpt auksin dari luar untuk menginisiasi perakaran. Interaksi antara asal

(25)

11 setek dan konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin juga tidak berpengaruh nyata terhadap semua tolok ukur keberhasilan setek torbangun.

Persentase Setek Hidup

Berdasarkan hasil uji selang berganda duncan saat 3-7 MST pengaruh asal setek terhadap persentase setek hidup dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Pengaruh asal setek terhadap persentase setek hidup torbangun (%)a.

Umur Asal setek

(MST) Pucuk Tengah Pangkal

3 96.66a 92.22a 41.11b

4 93.33a 84.44a 26.66b

5 93.33a 82.22a 26.66b

6 91.11a 80.00a 22.22b

7 88.88a 76.66a 20.00b

aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama

tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Setek yang berasal dari pucuk dan tengah memiliki persentase setek hidup yang lebih tinggi dibandingkan setek yang berasal dari pangkal sejak 3-7 MST (Tabel 2). Hal ini diduga karena jaringan pada setek pucuk dan tengah masih muda dibandingkan setek pangkal atau setek pangkal sudah tidak meristematik lagi. Hasil penelitian Hossain dan Bhuiyan (2006) menunjukkan bahan setek muda memiliki juvenilitas tinggi serta kandungan auksin dan sitokinin yang tinggi sehingga pertumbuhan batang setek jambu biji (Psidium guajava Linn) mudah terbentuk.

Kemampuan adaptasi masing-masing asal setek terhadap lingkungan diduga turut mempengaruhi persentase setek hidup torbagun. Setek yang berasal dari pucuk dan tengah lebih mampu menghadapi deraan cuaca dibandingkan setek yang berasal dari pangkal. Hal tersebut menyebabkan setek asal pangkal lebih banyak mengalami kebusukan. Kebusukan ditunjukkan oleh pangkal setek berwarna coklat dan busuk disertai batang tidak berisi jaringan lagi.

(26)

12

Jumlah Tunas

Berdasarkan hasil uji selang berganda duncan pengaruh asal setek terhadap tolok ukur jumlah tunas saat 4-7 MST dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Pengaruh asal setek terhadap jumlah tunasa)

Umur Asal Setek

(MST) Pucuk Tengah Pangkal

4 2.81a 2.07b 1.13c

5 2.33a 1.40b 1.04c

6 2.94a 2.44b 1.21c

7 2.94a 2.15b 1.22c

aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak

berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Setek yang berasal dari pucuk lebih banyak menghasilkan tunas dibandingkan setek yang berasal dari tengah dan pangkal sejak umur 4 -7 MST. Hal ini diduga bagian pucuk merupakan tempat auksin diproduksi dalam jumlah besar. Menurut Hartmann and kester (2002) tunas terbentuk akibat adanya proses morfogenesis yang menyangkut pertumbuhan dan diferensiasi oleh beberapa sel yang memacu terbentuknya organ. Munculnya tunas dipengaruhi oleh hormon endogen, salah satunya auksin.

Jumlah Cabang

Berdasarkan hasil uji selang berganda duncan pengaruh asal setek terhadap tolok ukur jumlah cabang saat 3-7 MST kecuali saat 5 MST dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Pengaruh asal setek terhadap jumlah cabanga)

Umur Asal Setek

(MST) Pucuk Tengah Pangkal

3 1.15c 1.64a 1.42b

4 1.30c 1.72a 1.47b

6 1.60ab 1.82a 1.53b

7 1.61ab 1.84a 1.55b

aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak

berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Setek yang berasal dari tengah lebih banyak menghasilkan cabang dibandingkan setek yang berasal dari tengah dan pangkal sejak umur 3-4 MST, Setek asal tengah lebih banyak menghasilkan cabang dibandingkan setek asal pangkal saat umur 6-7 MST akan tetapi jumlah cabang yang dihasilkan oleh setek asal tengah dan pucuk sama, dan setek yang dihasilkan oleh setek asal pangkal

(27)

13 sama dengan setek asal pucuk. Hal ini diduga bagian pucuk dan tengah merupakan jaringan muda yaitu tempat auksin diproduksi dalam jumlah besar. .

Perakaran Setek Torbangun

Pengamatan terhadap setiap tolok ukur perakaran dilakukan pada akhir pengamatan, yaitu 7 MST. Berdasarkan hasil uji selang berganda duncan pengaruh asal setek terhadap tolok ukur perakaran dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Pengaruh asal setek terhadap keberhasilan perakaran setek saat 7 MSTa

Tolok Ukur Asal Setek

Pucuk Tengah Pangkal

Persentase Setek Berakar (%) 88.88a 76.66a 20.00b

Jumlah Akar 65.44a 45.00b 13.55c

Panjang Akar (cm) 4.07a 3.96a 2.64b

Tinggi Setek (cm) 29.65a 21. 55b 19.50b

aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf uji 5%.

Setek yang berasal dari pucuk dan tengah memiliki persentase setek berakar dan panjang akar yang lebih tinggi dibandingkan setek asal pangkal (Tabel 5). Setek yang berasal dari pucuk memiliki jumlah akar yang paling tinggi dibandingkan setek asal tengah maupun pangkal pada akhir pengamatan (7 MST). Akar yang dimiliki setek torbangun merupakan akar serabut sehingga kurang kuat perakarannya.

Rendahnya jumlah akar setek pangkal diduga karena jaringan terlalu tua mempersulit proses tumbuhnya akar sehingga diperlukan faktor tambahan untuk menginisiasi akar, akan tetapi dalam penelitian ini pemberian zat pengatur tumbuh auksin tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perakaran. Menurut Moko (2004) penurunan kemampuan berakar pada jaringan tua karena berkurangnya kandungan senyawa fenol yang berfungsi sebagai auksin, selain itu jaringan tua telah terbentuk jaringan schlerenchym yang sering menghambat inisiasi akar adventif.

Munculnya akar pada setek merupakan penentu tingkat keberhasilan proses penyetekan. Pemilihan asal setek yang tepat sangat penting karena mempengaruhi kecepatan tumbuh akar. Penelitian Nurhayati (2000) menunjukkan banyaknya jumlah akar menyebabkan penyerapan hara dan air lebih optimal pada tanaman seuseureuhan (Piper aduncum Linn), sehingga proses fisiologi akan berlangsung lebih baik untuk mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan tunas

Persediaan makanan berupa senyawa karbohidrat dan nitrogen untuk setek sangat diperlukan bagi pertumbuhan akar dan tunas. Pucuk umumnya mengandung C/N lebih tinggi dibandingkan bagian setek lainnya. Menurut Agung (2010) bahan setek berupa batang dengan warna kulit bagian dalam terlihat kehijauan menandakan adanya kandungan auksin, nitrogen dan karbohidrat yang tinggi sehingga akan mempercepat timbulnya akar. Keragaan akar torbangun dapat dilihat pada Gambar 5.

(28)

14

(a) (b) (c)

Gambar 5 Keragaan akar torbangun saat 7 MST; (a) setek asal pucuk (b) setek asal tengah, (c) setek asal pangkal

Tinggi setek torbangun

Tinggi setek diamati mulai minggu ke-3 setelah penanaman hingga akhir pengamatan (7 MST). Merujuk pada Tabel 5, setek yang berasal pucuk mampu menghasilkan setek torbangun yang paling tinggi dibandingkan setek yang berasal dari tengah maupun pangkal. Tinggi bibit sangat penting dalam perbanyakan setek sebab semakin tinggi bibit maka semakin banyak bahan tanam (setek) yang dapat digunakan. Perbandingan tinggi setek torbangun dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 6 Pertumbuhan setek torbangun yang berumur 6 MST; (a) asal tengah, (b) asal pangkal, (c) asal pucuk

Pengaruh Panjang Setek Asal Pucuk dan Konsentrasi Auksin terhadap Tolok Ukur Keberhasilan Torbangun

Tingkat ketersediaan bibit torbangun yang sehat dalam jumlah banyak dapat meningkatkan hasil produksi, akan tetapi kebutuhan tanaman torbangun yang dibutuhkan untuk bahan setek juga semakin banyak. Bahan setek torbangun

(a)

(29)

15 masih dalam kondisi terbatas dan sejauh ini belum ada rekomendasi untuk panjang setek torbangun yang tepat. Berdasarkan hasil percobaan 1, setek asal pucuk adalah asal setek yang paling baik untuk digunakan (Tabel 1-5), sehingga panjang setek asal pucuk torbangun yang efektif perlu di dapatkan.

Penelitian ini menggunakan 3 taraf panjang setek asal pucuk yaitu 3.5, 7, dan 10.5 cm dan konsentrasi auksin dengan 3 taraf yakni 0 ppm, 20 ppm dan 40 ppm. Hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh panjang setek dan konsentrasi auksin terhadap tolok ukur keberhasilan setek torbangun dapat diamati pada Tabel 6.

Tabel 6 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh panjang setek dan konsentrasi auksin terhadap tolok ukur keberhasilan setek torbangun saat 7 MSTa Tolok Ukur P K (Konsentrasi) P*K KK (%)

(Panjang Setek)

Persentase Setek Hidup (%) tn tn tn 13.56

Persentase Setek Berakar( %) tn tn tn 13.56

Panjang Akar (cm) ** tn tn 13.19

Jumlah Tunas ** tn tn 16.60

Jumlah Cabang tn tn tn 7.63

Kec.tumbuh (cm/minggu) ** tn tn 11.31

Jumlah Daun tn tn tn 15.42

aMST : minggu setelah tanam; P*K : Interaksi;** : berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% ; tn : tidak berpengaruh nyata;

Panjang setek pucuk berpengaruh sangat nyata terhadap tolok ukur panjang akar, jumlah tunas, dan kecepatan tumbuh saat 7 MST. Konsentrasi auksin pada semua taraf dan interaksi antara panjang setek dengan konsentrasi auksin tidak berpengaruh nyata terhadap semua tolok ukur keberhasilan setek torbangun.

Panjang Akar dan Jumlah Tunas

Pengamatan terhadap setiap tolok ukur perakaran dilakukan pada akhir pengamatan, yaitu 7 MST. Berdasarkan hasil uji selang berganda duncan saat 7 MST pengaruh panjang setek asal pucuk terhadap tolok ukur perakaran dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Pengaruh panjang setek asal pucuk terhadap panjang dan jumlah tunas setek torbanguna

Tolok Ukur Panjang Setek (cm)

3.5 7 10.5 Panjang Akar (cm) 3.19c 4.07b 4.69a

Jumlah Tunas 6.78b 7.64b 9.12a Kec.Tumbuh (cm/minggu) 4.46a 4.44a 3.84b aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama

(30)

16

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa setek asal pucuk dengan panjang 10.5 cm memiliki panjang akar dan jumlah tunas yang lebih tinggi dibandingkan setek asal pucuk dengan panjang 3.5 dan 7 cm. Hal ini diduga karena ketersediaan bahan makanan pada setek dengan panjang 10.5 cm lebih tingi dibandingkan setek dengan panjang 3.5 cm maupun 7 cm. Menurut Magingo dan Dick (2001) pertumbuhan akar pada setek batang dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat dan panjang setek. Semakin panjang setek yang digunakan maka pertumbuhan panjang akarnya semakin baik karena lebih banyak cadangan makanan yang digunakan untuk mendukung pertumbuhan akarnya. Hasil penelitian Febriana (2009) menambahkan bahwa panjang setek apokad 20 cm lebih baik digunakan dibandingkan dengan panjang setek 10 cm. Panjang setek 20 cm mampu meningkatkan nilai seluruh peubah yang diamati, seperti persentase setek tumbuh, persentase setek bertunas, jumlah tunas, dan panjang tunas.

(a) (b) (c)

Gambar 7 Keragaan akar torbangun saat 7 MST; (a) setek dengan panjang awal 3.5 cm, (b) setek dengan panjang awal 7 cm, (c) setek dengan panjang awal 10.5 cm

Kecepatan Tumbuh Setek

Setek asal pucuk dengan panjang 3.5 dan 7 cm mengalami kecepatan tumbuh setek lebih tinggi dibandingkan setek asal pucuk dengan panjang awal 10.5 cm. Berdasarkan uji selang berganda duncan setek asal pucuk dengan panjang 3.5 cm memiliki nilai kecepatan tumbuh sebesar 4.46a dan 4.44a untuk setek pucuk dengan panjang 7 cm, sedangkan setek pucuk 10.5 cm sebesar 3.84b. Hal ini diduga setek dengan panjang 10.5 cm memiliki bagian yang telah berkembang menuju jaringan dewasa, sehingga tidak semua bagian mengalami pertumbuhan.

Tanaman torbangun masih dalam kondisi terbatas sehingga diperlukan panjang setek yang efektif digunakan untuk menghemat bahan setek. Dilihat dari jumlah daun yang dihasilkan oleh setek asal panjang setek pucuk 3.5 cm tidak berbeda nyata dengan setek 10.5 cm, hal ini sangat penting karena daun merupakan bagian yang diambil atau dimanfaatkan dari torbangun. Berikut ini

(31)

17 adalah rekapitulasi nilai pengaruh panjang setek terhadap keberhasilan setek torbangun.

Tabel 8 Rekapitulasi nilai rata-rata pengaruh panjang setek terhadap tolak ukur keberhasilan setek torbangun pada umur 7 MST

Parameter Panjang Setek (cm)

3.5 cm 7 cm 10.5 cm

Persentase Stek Hidup (%) 81.11 88.89 82.22

Jumlah Tunas 6.79 7.64 9.12

Persentase Stek Berakar (%) 81.11 88.89 82.22

Panjang Akar (cm) 3.19 4.07 4.69

Kecepatan Tumbuh (cm/minggu) 2.3 4.2 2

Jumlah Daun 24.70 24.74 24.79

Merujuk pada Tabel 5 didapatkan bahwa panjang akar dan jumlah daun yang dihasilkan oleh setek 10.5 cm asal pucuk tidak mempengaruhi hasil baik persentase setek hidup, berakar, maupun jumlah daun yang akan dipanen, sehingga setek 3.5 cm maupun 7 cm asal pucuk juga dapat digunakan sebagai bahan setek karena keberhasilan tolok ukur lain tidak berbeda nyata.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Setek yang berasal dari pucuk adalah setek yang paling baik untuk menghasilkan bibit torbangun yang vigor, berdasarkan tolok ukur yang diamati yaitu persentase setek hidup, persentase setek berakar, panjang akar, jumlah akar, jumlah tunas, tinggi setek, dan pertambahan jumlah daun. Konsentrasi auksin sampai dengan taraf 40 ppm tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan mutu bibit torbangun. Panjang setek asal pucuk 10.5 cm cm paling baik digunakan karena meningkatkan jumlah tunas dan panjang akar pada setek torbangun dibandingkan setek yang lebih pendek.

.

Saran

Penelitian mengenai jumlah buku pada setek torbangun perlu dilakukan, karena sangat penting utntuk mengatasi penggunaaan setek torbangun disaat tanaman torbangun masih terbatas seperti saat ini.

Penelitian mengenai aplikasi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin dalam penyetekan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, karena pengaruh konsentrasi auksin pada tingkat keberhasilan setek torbangun tidak nyata.

(32)

18

DAFTAR PUSTAKA

Acquaah, G. 2004. Horticulture Principles And Practices. Jilid III. New Jersey (US): Pearson Education.

Agung S. 2010. Kunci Sukses memperbanyak Tanaman. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

Amanah S. 2009. Pertumbuhan bibit lada (Piper ningrum Linnaeus) pada beberapa macam media dan konsentrasi auksin. Surakarta (ID) : Universitas Sebelas Maret Pr.

Baihaki A. 2003. Aspek Sosial ekonomi dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati Jawa Barat. Ekologi dan Biodeversitas Tropika. 2(2):54-60.

Damanik R, Damanik N, Daulay Z, Saragih S, Premier R, Wattanapenpaiboon N, Wahlqvist ML. 2001. Consumption of bangun-bangun leaves (Coleus

amboinicus) to increase breast milk production among Batakneese

women in North Sumatra Island, Indonesia. Proceedings of the Nutrition Society of Australia. 25: S67

Fatimah S, Handarto BM. 2008. Pengaruh komposisi media tanam terhadap pertumbuhan hasil tanaman sambiloto (Andrographis paniculata). J Embrio. 5(2):131-139

Febriana S. 2009. Pengaruh kosentrasi zat pengatur tumbuh dan panjang setek terhadap pembentukan akar dan tunas pada setek apokad (Persea americana Mill.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Sjamsudin E, Justika SB, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research.

Hardjowigeno S. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada.

Hartmann HT, Kester DE. 2002. Plant Propagation, Principles and Practice. 7th edition. New Jersey (US): Prentice Hall, Inc.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Sarana Wana Jaya.

Hidayat Y, Rusdiana O. 2005. Respon pertumbuhan akar tanaman sengon

(Paraserianthes falcataria) terhadap kepadatan dan kandungan air

tanah podsolik merah kuning. J Manajemen Huant Tropis. 6(2):43-53 Hossain MA, Bhuiyan MK. 2006. Clonal propagation guava (Psidium guajava

Linn.) by stem cutting from mature stock plants. J Forestry. 17(4):301-304

Kaliappan ND, Viswanathan PK. 2008. Pharmacognostical studies on the leaves of Plectranthus amboinicus Spreng. Int J Green Pharm. 2(3):182-184 Kurniatusulihat N. 2009. Pengaruh bahan setek dan pemupukan terhadap produksi

terubuk (Saccharum edule Hasskarl). Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Lingga P. 1994. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta (ID): Penebar Swadaya Magingo FSS, Dick JM. 2001. Propagation of Two Miombo Woodlan Trees by

Leafy Stem Cuttings Obtained from Seedlings. JAgroforestry System.1 (51):49-55.

(33)

19 Manurung SO. 1987. Status dan potensi zat pengatur tumbuh serta penggunaan

rootone-f dalam perbanyakan tanaman pucuk gamelina (Gmelina

arborea Linn) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

McMahon MJ, Kofranek AM, Rubatzky VE. 2007. Hartsman’s Plan Science Growth Development and Utilization of Cultivated Plants. 4th ed. Ohio Pearson Prentice Hall.

Moko H. 2004. Teknik Perbanyakan Tanaman Hutan Secara Vegetatif. Volume ke-1. Bogor (ID): Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Informasi.

Mukherji S, Ghosh B. 2000. Plant Physiology. New Delhi (IN): Tata McGrow Hill Pub Com Ltd.

Muslimawati N. 2014. Pertumbuhan setek batang pohpohan (Pilea trinervia

Wight.) pada umur tanaman, bagian batang dan media tanam yang berbeda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nurhayati AD. 2000. Pengaruh bahan setek dan rootone-f terhadap pertumbuhan seuseureuhan (Piper aduncum Linn.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Puttileihalat M. 2001. Pengaruh Rootone F dan ukuran diameter batang terhadap pertumbuhan tunas setek batang pulai Gading (Alstonia scholaris). J Man Hut Trop. 6 (2): 43-52.

Rohadi D, Nurhasby. 2003. Potensi Benih Generatif dan Vegetatif dalam Pembangunan Hutan Tanaman. Makalah Temu Lapang dan Ekspose Hasil penelitian UPT Badan Litbang Kehutanan Wilayah Sumatera; 2002 Juli 27; Palembang, Indonesia. Palembang (ID) : Badan Litbang Kehutanan.

Santoso BB, Hasnam, Hariyadi, Susanto S, Purwoko BS. 2008. Perbanyakan vegetatif tanaman jarak pagar (Jatropha culcas L.) dengan setek batang: pengaruh panjang dan diameter setek. Bul Agron Indonesia. 36(3):225-262

Siagian MH, Rahyu M. 2000. Etnobotani Plecranthus amboinicus (Lour.) Spreng di Daerah Batak Toba, Tapanuli Utara – Sumatera Utara. Surabaya (ID): Symposium Penelitian Bahan Obat Alami X. Halaman 163-170 Sparta A, Andini M, Rahman T. 2012. Pengaruh berbagai panjang setek terhadap

pertumbuhan setek buah naga (Hylocereus polyryzus). J Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Bengkulu.

Winarto WP. 2005. Sambung Nyawa Budidaya dan Pemanfaatan untuk Obat. Jakarta(ID): Penebar Swadaya

Wiratri N. 2005. Pengaruh cara pemberian Rootone F terhadap induksi akar setek Gmelina (Gmelina arborea Linn). [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Wudianto. 2003. Membuat Setek , Cangkok dan Okulasi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya

Yasman I, Smits WTM. 2009. Metode Pembuatan Setek Dipterocarpaceae. Samarinda (ID): Balai Penelitian Kehutanan

Yuniarti T. 2008. Ensiklopedia tanamn Obat Tradisional. Jakarta (ID): Medpress Yusmaini F. 2009. Pengaruh jenis bahan setek dan penyungkupan terhadap

keberhasilan dan vigor setek stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

(34)

20

Lampiran 1 Data iklim bulanan

Lokasi : Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor Lintang : 0631' LS

Bujur : 10644' BT Elevasi : 207 m

Bulan Dramaga (mm) Curah Hujan

Feb-14 337 Mar-14 281

Lokasi : Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor Lintang : 0634' 41.9'' LS

Bujur : 10647'4.3'' BT Elevasi : 261 m

Bulan Rata-rata (°C) Suhu Rata-rata (%) Kelembaban Angin Terbesar

Arah Kec (Knot)

Feb-14 25.0 89.0 N/W/S 11.0

(35)

21

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lahat, Sumatera Selatan pada tanggal 16 April 1992 dari Bapak Sairoh SE dan Ibu Sri Dayati. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Lahat. Di tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten Lahat dan diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.

Penulis aktif sebagai panitia kegiatan kampus, yaitu Masa Perkenalan Departemen (MPD) 2012 sebagai anggota hubungan masyarakat (Humas) dan panitia Sponsorship dalam acara Festival Bunga dan Buah Nusantara (FBBN) 2013. Penulis mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Agronomi (HIMAGRON) periode 2011/2012 sebagai staf departemen Internal dan periode 2012/2013 sebagai sekretaris departemen Internal. Semester genap tahun ajaran 2013/2014 penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknik Budidaya Tanaman dan Ilmu Tanaman Perkebunan.

Gambar

Gambar 3 Kondisi dan penyakit dan hama yang menyerang setek torbangun; (a)   kondisi umum tanaman torbangun, (b) penyakit hawar daun dan  serangan ulat penggerek daun, (c) serangan cendawan pada media  tanam yang ditunjukan oleh bulatan merah
Tabel 1 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh asal setek dan konsentrasi    auksin terhadap tolok ukur keberhasilan setek torbangun yang diamati a
Tabel 5 Pengaruh asal setek terhadap keberhasilan perakaran setek saat 7 MST a
Gambar 5 Keragaan akar torbangun saat 7 MST; (a) setek asal pucuk                   (b) setek asal tengah, (c) setek asal pangkal
+3

Referensi

Dokumen terkait

(1)  Salah  satu  asumsi  teori  makna  asali  adalah  bahwa  makna  tidak  dapat  dideskripsikan  tanpa  memakai  perangkat  “makna  asali”.  Makna  asali 

Dihasilkan 5 ( lima ) indikator spesifik yang digunakan sebagai parameter yang dapat langsung diukur sebagai bagian dari penilaian indikator stratejik yaitu Noble gas

Pertanian organik tidak hanya sebatas meniadakan penggunaan input sintesis, tetapi juga pemanfaatan sumber-sumber daya alam secara berkelanjutan, produksi

Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat 2 Peraturan Pemerintahan nomor 24 tahun 1997 bahwa dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah

Kehidupan beragama antara jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Slawi dengan masyarakat muslim di Desa Balapulang Kulon ini terjalin harmonis atau rukun tidak

menjelaskan gambar hasil belajar siswa setelah menggunakan media pembelajaran Schoology pada siswa kelas X Multimedia 1 dan kelas X Multimedia 2 di SMK Negeri 3

Saat ini terdapat permasalahan dalam pencatatan dan pembuatan laporan pembayaran SPP dan banyaknya kehilangan informasi pembayaran SPP hingga data-data yang penting dalam

Oleh sebab itu, menjadi wajar apabila Nadia Fadil dan Mayanthi Fernando dalam artikel kritiknya terhadap kajian-kajian ‘everyday Islam’, termasuk penelitian Schielke, mengatakan