• Tidak ada hasil yang ditemukan

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP

Oleh

Rommy Pratama*)

Abstrak

Kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil, keadaan masyarakat yang jauh dari kata sejahtera (unwelfare), dan gejolak-gejolak lainnya, diyakini sebagai faktor pemicu semakin meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan kerawanan sosial yaitu berupa tindak pidana. Berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang penderita gangguan jiwa sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara implisit dikandung makna yaitu untuk menentukan jiwa seseorang yang cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit sehingga ia tidak dapat dipertanggung-jawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, merupakan tugas seorang yang benar-benar expert dalam menangani masalah gangguan jiwa. Tidak semua orang bisa menentukan hal tersebut, dan disinilah letak peran seorang psikiater. Dengan metode pendekatan yuridis normatif, dan spesifikasi penelitian yang diskriptif-analitis dalam melaksanakan penelitian ini, diketahui bahwa peran psikiater dalam hal ini adalah sebagai ahli dan dapat dilibatkan dalam setiap kepentingan pemeriksaan proses peradilan pidana. Psikiater sebagai legal agent berkewajiban membantu aparat penegak hukum demi tercapainya keadilan yang tanpa cacat (precise justice).

Kata Kunci : Psikiater, Ketidakmampuan Bertanggung Jawab, Proses Peradilan Pidana

A. PENDAHULUAN

Sebagai suatu negara yang dalam konstitusinya disebut sebagai negara hukum (Rechts Staat), konsekuensinya Indonesia harus melengkapi dirinya dengan sejumlah perangkat hukum yang berfungsi untuk menjaga integri-tasnya sebagai negara hukum. Kon-sekuensi lainnya ialah segala tingkah laku seseorang di dalam masyarakat, harus berdasarkan pada hukum yang berlaku. Oleh karena itu prinsip Rule of Law harus dipegang teguh dan disadari oleh setiap warga negara dan aparat penegak hukum. Prinsip ini terjelma dalam 3 unsur utama, yaitu:

1. pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia

2. peradilan yang bebas dan tidak memihak

3. legalitas dalam arti hukum, baik formil atau materiil.1

Ketiga unsur tersebut merupakan rangkaian yang tidak bisa diabaikan meskipun hanya satu unsur, karena ketiga unsur tersebut merupakan suatu rangkaian yang terpadu dalam pene-gakan hukum demi tercapainya suatu keadilan.

1 Andi Hamzah, ed, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia,1986, halaman 13

(2)

Selain itu, untuk tercapainya suatu keadilan juga harus ada keserasian antara kebebasan dan ketertiban, arti-nya dalam membatasi kebebasan yang dimiliki setiap individu, hukum ber-fungsi sebagai sarana untuk membatasi kebebasan. Salah satu hukum yang mengatur mengenai ketertiban adalah hukum pidana.

Menurut Moeljatno, Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar atau aturan untuk:

1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai an-caman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. menentukan dengan cara bagaimana

pengenaan pidana itu dapat dilak-sanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.2

Dari rumusan di atas, dapat disim-pulkan bahwa rumusan pada poin pertama mengenai masalah perbuatan pidana dan poin kedua mengenai masa-lah pertanggung jawaban pidana, ter-masuk dalam bidang hukum pidana materiil dengan bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan rumusan pada poin ketiga berkaitan dengan masalah hukum pidana formil (hukum acara pidana), yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adanya penentuan mengenai per-buatan yang dilarang atau yang tidak boleh dilakukan di dalam Kitab

2 Ibid, halaman 71

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun peraturan hukum pidana lain diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka selain perbuatan-per-buatan yang telah diatur, tidak dapat dilakukan proses hukum ataupun pe-nuntutan, karena menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

“Tiada suatu perbuatan boleh dikum, melainkan atas ketentuan hu-kum pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada per-buatan itu”.

Asas ini dikenal sebagai asas legali-tas, atau dalam bahasa latin disebut “Nullum delictum nulla poena sine

praevia lege poenali”.3

Dengan asas legalitas dalam hu-kum pidana, maka kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dapat dihindari, meskipun dengan konsekuensi hukum pidana menjadi rigid dan tidak fleksibel terhadap jenis kejahatan baru yang terus berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Tetapi dengan asas le-galitas, sekurang-kurangnya kepastian hukum dan hak-hak asasi manusia dapat terjamin.

Berkaitan dengan asas legalitas ter-sebut, meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan untuk dapat di-katakan sebagai tindak pidana, tidak serta-merta perbuatan tersebut dapat langsung dijatuhi pidana, karena harus dibuktikan apakah perbuatan tersebut mengandung unsur kesalahan atau tidak. Hal inilah yang dimaksud dengan asas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan diartikan sebagai pertanggungjawaban seseorang atas tindak pidana yang dila-kukannya, apakah ia mampu bertang-gung jawab atas perbuatan itu atau tidak.

3 Ibid, halaman 72

(3)

Berdasarkan Pasal 44 KUHP ayat (1), seseorang yang cacat jiwa dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit tidak dapat dipidana. Kemu-dian pada ayat (2) dijelaskan mengenai kewenangan hakim untuk memerin-tahkan orang yang cacat jiwanya itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan, jika ternyata perbuatan yang dilakukannya tidak dapat diper-tanggung jawabkan kepadanya.

Secara implisit, Pasal 44 ayat (1) KUHP mengandung makna yaitu untuk menentukan jiwa yang cacat dalam tumbuhnya atau terganggunya sese-orang karena penyakit sehingga ia tidak sadar telah melakukan tindak pidana tersebut, merupakan tugas seorang yang benar-benar expert dalam me-nangani masalah jiwa yang bisa

dikata-kan abnormal. Tidak semua orang bisa

menentukan hal tersebut, dan disinilah peran seorang psikiater.

Psikiater sebagai ahli, dalam penyi-dikan ia membantu polisi atau penyidik apabila diminta untuk memeriksa ke-adaan jiwa seorang tersangka, yaitu dengan “visum et repertum psikiatrik”-nya, tetapi jika diminta hadir dimuka pengadilan sebagai saksi ahli, tugasnya adalah membantu hakim supaya dapat memberikan keputusan yang adil demi terciptanya peradilan pidana yang ber-martabat, yaitu dengan cara menge-mukakan fakta-fakta, diagnosa terha-dap keadaan seseorang yang diper-sangkakan telah melanggar hukum, kemudian berdasarkan alat bukti yang cukup ditambah dengan keyakinannya, hakim menyimpulkan dan memutus-kan apakah tersangka dapat dipertang-gungjawabkan atau tidak.

Berdasarkan hal-hal yang telah di-jelaskan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui secara jelas, bagaimanakah Peran Psikiater dalam Sistem Peradilan Pidana, Dikaitkan dengan Pasal 44

KUHP dalam Menentukan Kemampuan Bertanggung Jawab Seseorang.

Berdasarkan uraian di atas tentang peranan psikiater dalam sistem peradil-an pidperadil-ana berkaitperadil-an dengperadil-an keilmuperadil-an- keilmuan-nya dalam menentukan perbuatan yang dilakukan seorang tersangka dapat di-pertanggungjawabkan atau tidak, maka penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Pasal 44 KUHP mengatur tentang tidak mampu bertanggung jawabnya seseorang?

2. Bagaimana peran psikiater dalam pe-nentuan ketidakmampuan bertang-gung jawab dalam Pasal 44 KUHP? B. PEMBAHASAN

Dengan adanya asas legalitas seba-gai ketentuan dalam hukum pidana Indonesia yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, apabila perbuatannya tersebut telah memenuhi rumusan KUHP atau-pun peraturan hukum pidana lain di luar KUHP. Selanjutnya, meskipun telah memenuhi asas legalitas tersebut, tetapi tidak serta-merta dapat langsung dijatuhi pidana, karena harus dibukti-kan apakah perbuatan tersebut me-ngandung unsur kesalahan atau tidak. Hal inilah yang dimaksud dengan asas

Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana

tanpa kesalahan). Kesalahan diartikan sebagai pertanggungjawaban seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, apakah ia mampu bertanggung jawab atas perbuatan itu atau tidak.

Hal itu dikarenakan pengaruh pandangan dualistis mengenai tindak pidana (strafbaar feit) yang memisah-kan antara “pengertian perbuatan pida-na” dan “pertanggungjawaban pidapida-na”, yaitu pengertian perbuatan pidana ti-dak meliputi pertanggung jawaban pi-dana. Pandangan ini adalah

(4)

penyim-pangan dari pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat untuk ada-nya pidana itu kesemuaada-nya merupakan sifat dari perbuatan. Artinya tidak ada pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana.

Perbuatan pidana itu sendiri me-nurut Moeljatno diartikan sebagai per-buatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut atau dapat juga diartikan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asalkan dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.4

Setelah mengetahui definisi dari perbuatan pidana, maka perlu juga un-tuk dikemukakan unsur-unsur perbu-atan pidana. KUHP tidak memberikan unsur-unsur perbuatan pidana secara jelas, sedangkan para Sarjana Hukum Pidana juga tidak adanya keseragaman pendapat mengenai unsur-unsur per-buatan pidana ini, oleh karena itu penulis mengemukakan pendapat dari Moeljatno yang mengemukakan unsur-unsur perbuatan pidana sebagai beri-kut:

“a. kelakuan dan akibat (perbuatan) b. ikhwal atau keadaan yang menyertai

perbuatan

c. keadaan tambahan yang memberat-kan pidana

d. unsur melawan hukum yang obyektif

4 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, halaman 54.

e. unsur melawan hukum yang subyektif.”5

Pengertian pertanggungjawaban da-lam hukum pidana (criminal liability), adalah merupakan kelanjutan dari pengertian perbuatan pidana. Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa untuk dapat dijatuhi pidana masih di-perlukan syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective

guilt). Di negara-negara Anglo Saxon,

disebut dengan asas “Actus non facit

reum, nisi mens sit rea” atau disingkat

asas “Mens Rea” yaitu subjective guilt yang melekat pada sipembuat. Subjec-tive guilt ini dapat berupa kesengajaan (intent) atau kealpaan (negligence).6

Kesalahan menurut Satochid Karta-negara mempunyai dua arti yaitu ke-salahan dalam arti luas dan keke-salahan dalam arti sempit. Dalam arti luas ke-salahan diartikan sebagai ethis sosial (social ethis), yaitu dengan mengambil haluan jiwa yang sehat dari sipelaku sebagai pangkal, sehingga perbuatan yang demikian itu dapat dipertang-gungjawabkan kepadanya, sedangkan kesalahan dalam arti arti sempit yaitu kesalahan yang dipandang dari sudut hukum pidana.7

Kesalahan sebagai dasar untuk per-tanggungan jawab dalam hukum pida-na menurut Simons yaitu berupa ke-adaan psychisch dari sipembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya, dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu

5 Andi Hamzah, ed, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,1986, halaman 76. 6 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang:

Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990, halaman 86.

7 Satochid Kartanegara dalam Andi Hamzah, ed, Op.cit., halaman 77.

(5)

nya dapat dicelakan kepada si pem-buat.8

Menurut Sudarto, unsur-unsur ke-salahan (dalam arti luas) terdiri atas: a. adanya kemampuan bertanggung

ja-wab pada si pembuat (Zurechnungs-fahigkeit), artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.

b. hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), disebut bentuk-bentuk kesa-lahan.

c. tidak adanya alasan yang meng-hapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. 9

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa untuk adanya pertanggungan jawab pidana, dilihat dari dari dua hal yaitu keadaan psikis orang yang me-lakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan psikis ter-sebut dengan perbuatan yang dilaku-kan hingga menimbuldilaku-kan celaan.

Keadaan bathin dari orang melaku-kan perbuatan pidana tersebut meru-pakan masalah kemampuan bertang-gung jawab dan menjadi dasar penting untuk menentukan adanya kesalahan. Keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana harus dapat dikata-kan normal atau sehat, untuk dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat sebaliknya bagi orang-orang yang jiwanya dikualifikasi-kan tidak normal termasuk dalam rumusan Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan padanya, disebabkan ka-rena jiwanya cacat dalam tum-buhnya (gebrekkige ontwikkeling)

8 Sudarto, Op.cit., halaman 88. 9 Sudarto, Ibid, halaman 91.

atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing) tidak dipidana”. Van Hamel juga memberikan pen-dapat mengenai keadaan normalitas untuk seseorang dapat dipertanggung-jawabkan yaitu:

a. mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri. b. mampu untuk menyadari, bahwa

perbuatannnya itu menurut pan-dangan masyarakat tidak diboleh-kan.

c. mampu untuk menentukan kehen-daknya atas perbuatan-perbuatan itu.10

Oleh karena itu, seseorang yang dikualifikasikan berada diluar keadaan seperti yang diuraikan di atas, tidak dapat untuk dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidananya.

Selanjutnya, jika pasal 44 ayat (1) KUHP itu diteliti lebih lanjut, akan dapat dilihat 2 hal:

a. penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Artinya konstanstasi ke-adaan priadi sipembuat yang berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat dalam pertumbuhannya atau ter-ganggu karena penyakit, dilakukan oleh seorang psikiater (dokter penya-kit jiwa). Psikiater yang menyelidiki bagaimana keadaan jiwa sipembuat pada saat perbuatan dilakukan. b. adanya penentuan hubungan kausal

antara keadaan jiwa si pembuat de-ngan perbuatannya. Maksudnya adalah dari pemeriksaan psikiater tadi, yang menentukan adanya hu-bungan kausal antara keadaan jiwa yang demikian dengan perbuatan tersangka adalah hakim. hakimlah yang menilai apakah tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau tidak.

Dari kedua hal di atas itulah, dikatakan bahwa sistem yang dipakai

10 Loc.cit.

(6)

dalam KUHP dalam menentukan tidak dapat dipertanggungjawabkannya sese-orang adalah deskriptif-normatif. Des-kriptif berarti keadaan jiwa seseorang itu digambarkan “menurut apa adanya” oleh seorang psikiater. Menurut apa adanya, di dalam persidangan maksud-nya adalah digambarkan dengan me-ngingat sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahlian-nya. Seorang psikiater tersebut juga wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Hal ini diatur di dalam Pasal 179 KUHAP ayat (1) dan (2), yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 179

(1) Setiap orang yang diminta pen-dapatnya sebagai ahli kedokter-an kehakimkedokter-an atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. (2) Semua ketentuan tersebut di

atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan keten-tuan bagi mereka mengucapkan sumpah atau janji akan membe-rikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Selanjutnya, normatif karena ha-kimlah yang menilai, berdasarkan hasil pemeriksaan oleh psikiater tadi, sehi-ngga dapat menyimpulkan mampu dan tidak mampunya tersangka untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.

Dapat dilihat bahwa keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah, akan tetapi jika dihubungkan dengan sistem pembuktian di dalam KUHP nasional, yang memakai sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk), keterangan ahli (Psikiater) dapat dikesampingkan jika hakim

berpendapat lain, yaitu dengan melihat alat bukti yang lain, hakim dapat ber-kesimpulan berbeda dari pendapat ahli. Jika ternyata hakim menerima atau menggunakan keterangan ahli (Psiki-ater), berarti dalam hal ini hakim meng-anggap ada hubungan kausal antara perbuatan sipelaku dengan perbuatan yang dilakukannya sehingga pelaku tersebut tidak dapat dipidana, karena hasil pemeriksaan psikiater dan per-buatan pidana yang dilakukan oleh pelaku membuktikan adanya hubung-an kausal tersebut.

Hal inilah yang menurut Jonkers, juga senada dengan pendapat Moeljat-no, sebagai kebaikan dari sistem des-kriptif normatif, karena seorang tabib (Psikiater) yang memberikan keterang-an pada hakim diketerang-anggap pendapatnya berat sebelah karena Psikiater akan memperhatikan kepentingan orang yang sakit, tetapi hakim sebagai alat yang obyektif dari negara, yang karena jabatannya lebih menpertimbangkan kepentingan manusia dan masyara-kat.11

Perlu untuk diketahui disini, dalam pembuktian di sidang pengadilan per-kara pidana, untuk dapat dijatuhkan-nya pidana, hakim sekurang-kurang-nya harus mempusekurang-kurang-nyai sedikit-dikitsekurang-kurang-nya dua alat bukti dari lima alat bukti seperti yang diatur dalam pasal 184 ayat (1) yang telah disebutkan di atas dan di tambah keyakinan hakim ter-dakwalah yang melakukan tindak pi-dana yang disidangkan tersebut. Ke-tentuan ini terdapat di dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurang-nya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

11 Loc.cit

(7)

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Jadi, hakim dapat memutus pelaku tindak pidana itu dapat atau tidak dapat dipertanggungjawabkan atas per-buatan pidananya tergantung dari penilaian hakim, dengan mengacu pada Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa tidak mampu bertanggung jawab di dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP dikarenakan 2 alasan yaitu:

a. Jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling)

b. Terganggu karena penyakit (ziekelij-ke storing)

Peran Psikiater Dalam Penentuan Ketidakmampuan Bertanggung Jawab Dalam Pasal 44 KUHP

Pasal-pasal yang mengatur tentang keterangan ahli atau dokter (ahli) di dalam H.I.R disebutkan dan tersisip di dalam pasal-pasal di luar Pasal 295, yaitu di dalam Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 83b, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 306 dan Bab X H.I.R tentang saksi yang berlaku juga bagi seorang ahli.12

Di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, disebutkan:

“ alat bukti yang sah, ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.”

Selanjutnya, yang dimaksud deng-an keterdeng-angdeng-an ahli di dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP adalah:

“keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian

12 R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2002, halaman 2

khusus tentang hal yang diperlu-kan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”

Keterangan ahli yang dimaksud di sini adalah keterangan dari seorang psikiater. Psikiater adalah dokter yang mengambil spesialisasi dalam bidang tingkah laku yang tidak normal atau mengalami gangguan jiwa (mental). Untuk kepentingan pemeriksaan, ahli (psikiater) dapat dilibatkan guna kepen-tingan pemeriksaan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan dan persidang-an.

1. Tahap Penyidikan dan Penuntutan Sebelum perkara sampai pada ta-hap persidangan (adjudication), menu-rut sistem yang ditata menumenu-rut KUHAP, harus melalui tahapan yang pertama yaitu tahap sebelum persidangan (pre adjudication). Penyidikan termasuk da-lam tahap Pre adjudication ini. Penyi-dikan menurut ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP adalah “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan me-nurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta me-ngumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pi-dana yang terjadi dan guna menemu-kan tersangmenemu-kanya.”

Dalam penyidikan yang dilakukan oleh penyidik (Pasal 6 ayat (1) KUHAP) inilah, kecurigaan atau dugaan perta-ma kali seorang pelaku tindak pidana tersebut menunjukkan gejala yang tidak normal (gangguan jiwa) ditentu-kan berdasarditentu-kan pengamatan penyidik, oleh karena itu, untuk mendapatkan kepastian akan dugaan tersebut, penyi-dik berwenang untuk mendatangkan seorang psikiater agar dapat memeriksa dan melaporkan mengenai keadaan jiwa tersangka. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik karena

(8)

kewajibannya mempunyai wewenang untuk mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya deng-an pemeriksadeng-an perkara.

Psikiater di dalam tahap penyidikan mempunyai kedudukan khusus, yaitu sebagai ahli atau saksi ahli yang mem-punyai pengetahuan di bidang penyakit jiwa, berperan untuk memberikan kete-rangan mengenai keadaan jiwa tersang-ka dalam rangtersang-ka membantu penyidik untuk mengungkap atau membuat terang suatu perkara pidana. Hal ini diatur di dalam Pasal 120 ayat (1) dan (2) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 120

(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

(2) Ahli tersebut mengangkat sum-pah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebab-kan karena harkat serta mar-tabat, pekerjaan atau jabatan-nya yang mewajibkan ia me-nyimpan rahasia dapat meno-lak untuk memberikan kete-rangan yang diminta.

Dalam pemeriksaan tersangka ini, ahli (psikiater) diminta untuk mem-berikan keterangan yang sebaik-baik-nya menurut pengetahuansebaik-baik-nya menge-nai keadaan jiwa tersangka sesuai dengan sumpah atau janji yang di-ucapkannya di muka penyidik. Hasil dari pemeriksaan tersangka tersebut yaitu berupa Visum et Repertum

Psychiatricum, yang menjelaskan

bagaimana keadaan jiwa tersangka, apakah ia dapat dipertanggungjawab-kan atau tidak. Hal ini diperludipertanggungjawab-kan bagi penyidik sebagai dasar untuk memnuat dan melengkapi Berita Acara

Pemeriksaan, sebagai syarat untuk dapat dilanjutkan perkara ini kepada penuntut umum (Penuntutan).

Kemudian penuntut umum meme-riksa berkas perkara, apabila hasil penyelidikan dianggap kurang lengkap maka berkas tersebut dikembalikan ke penyidik untuk dilengkapi. Dalam per-kara tersangka diduga menderita gang-guan jiwa, psikiater juga dapat dili-batkan pada tahap ini, hal ini terjadi apabila pada tahap penyidikan belum diketahui jika tersangka menderita gangguan jiwa, kemudian ada keterang-an dari pihak keluarga atau dugaketerang-an jaksa bahwa tersangka menderita gang-guan jiwa, maka dalam pemeriksaan tambahan berdasarkan Pasal 27 ayat (1) huruf d Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1991 ditentukan bahwa kejaksa-an mempunyai tugas dkejaksa-an wewenkejaksa-ang melengkapi berkas perkara tertentu dan melakukan pemeriksaan tambahan sebelum perkara dilimpahkan ke pe-ngadilan, yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Un-tuk melengkapi berkas perkara dengan pemeriksaan tambahan tersebut, dapat dilakukan pula terhadap ahli (psikia-ter). Jadi, peran psikiater dalam tahap penuntutan ini sama seperti pada tahap penyidikan, cuma berbeda pada tahapannya saja.

2. Tahap Persidangan

Di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, secara tegas disebutkan bahwa kete-rangan ahli merupakan alat bukti yang sah, dan dapat dijadikan salah satu dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusannya. Jika Pasal 184 ayat (1) KUHAP ini, dikaitkan dengan Pasal 44 KUHP mengenai tidak mampu ber-tanggung jawabnya seseorang dikare-nakan cacat jiwa dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka dalam menentukan mampu atau tidak-nya terdakwa untuk

(9)

dipertanggungja-wabkan, hakim akan mendengar kete-rangan dari psikiater terlebih dahulu sebagai pertimbangan sebelum mem-buat suatu putusan. Hal ini disebabkan karena psikiaterlah yang menguasai ilmu mengenai penyakit jiwa ini.

Di dalam Pasal 186 KUHAP dijelas-kan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Mengenai keterangan ahli ini, jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 133 ayat (2) yang berbunyi:

“ Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut ke-terangan ahli, sedangkan keterang-an yketerang-ang diberikketerang-an oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan”.

Dengan demikian maka keterangan ahli seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 28, Pasal 186 dan Pasal 133 ayat (2) KUHAP, hanya dapat dibe-rikan oleh dokter ahli kedokteran kehakiman, sedangkan keterangan yang didengarkan oleh hakim di persi-dangan, yang bukan dari ahli kedokter-an kehakimkedokter-an bukkedokter-an disebut kete-rangan ahli melainkan hanya berupa keterangan. Psikiater dikelompokkan sebagai dokter ahli kedokteran keha-kiman, karena tugasnya adalah mem-bantu dalam menjernihkan atau me-nyelesaikan suatu perkara pidana.

Bentuk dari keterangan ahli yang termasuk dalam alat bukti surat tadi adalah Visum et Repertum Psychiatri-cum, yaitu sesuatu yang dilihat dan dilaporkan secara tertulis mengenai keadaan jiwa pelaku tindak pidana, berdasarkan yang dilihat psikiater dengan mengingat sumpah jabatannya dan sumpah atau janji di muka penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya menu-rut pengetahuannya mengenai keadaan jiwa tersangka (Pasal 179 ayat (2) KUHAP).

Sehubungan dengan Pasal 133 KUHAP yang berbunyi:

Pasal 133

(1) Dalam hal penyidik untuk ke-pentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permin-taan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

(2) Permintaan keterangan ahli

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara ter-tulis, yang dalam surat itu dise-butkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau saan mayat dan atau pemerik-saan bedah mayat.

Ada hal menarik di sini, kalau kita membaca rumusan dari Pasal 133 ayat (1) memang tidak akan timbul masalah, dan masalah itu timbul jika kita mem-baca dan menghubungkannya dengan penjelasan Pasal 133 ayat (2). Mengenai hal itu, harus diartikan sebagai berikut: - jika keterangan dokter bukan ahli kedokteran kehakiman itu tadi diberikan secara tertulis, maka dapat dianggap sebagai bukti “surat”. Seperti yang ditentukan dalam Pasal 133 ayat (2) bahwa “keterangan ahli” itu diberikan secara tertulis,

- tetapi jika keterangan dokter bukan ahli kedokteran kehakiman tadi diberikan di dalam sidang, maka dapat diartikan sebagai alat bukti “keterangan saksi”.13

Dari penjelasan di atas, pengguna-an istilah “keterpengguna-angpengguna-an ahli” hpengguna-anya khu-sus untuk keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman saja. Istilah keterangan ahli bagi bukan ahli kedokteran kehakiman, hanya pada

(10)

tahap penyidikan dan menyangkut dengan korban luka, keracunan atau meninggal yang diduga karena peris-tiwa tindak pidana dan untuk kepen-tingan peradilan. Jadi, dapat disimpul-kan bahwa pengertian umum kete-rangan ahli terdapat dalam pasal 1 butir 28 KUHAP, tetapi untuk dapat dikatakan keterangan ahli di dalam persidangan hanya dilakukan oleh ahli kedokteran kehakiman saja.

Dalam beberapa kasus, hakim dapat meminta psikiater untuk men-jelaskan lagi alat bukti berupa Visum et Repertum Psychiatricum kepada hakim ke muka persidangan (keterangan ahli). Hal ini wajar mengingat bahasa yang digunakan psikiater adalah bahasa medis yang tidak dimengerti oleh hakim. Oleh karena itu psikiater pada umumnya berusaha untuk mengguna-kan bahasa yang sekiranya dapat untuk dimengerti hakim.

Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan psikiater di sidang penga-dilan adalah sebagai ahli atau saksi ahli, dan berperan sebagai legal agent yang memberikan keterangan lisan sehubungan dengan keadaan jiwa ter-dakwa, dalam rangka membantu hakim agar dapat memberikan putusan yang benar dan adil, selanjutnya keterangan ahli tersebut juga merupakan alat bukti yang sah

.

C. PENUTUP

1. Pengaturan mengenai tidak mampu bertanggungjawabnya seseorang yang melakukan tindak pidana di dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, hanya ditujukan secara tegas terhadap orang-orang yang memenuhi alasan sebagai berikut:

a. jiwanya cacat dalam pertumbuhan (gebrekkige ontwikkeling), dan b.terganggu karena penyakit

(zieke-lijke storing).

Seseorang yang dalam keadaan ter-sebut di atas, tidak dapat dipidana karena berdasarkan asas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan) orang tersebut tidak me-menuhi unsur kesalahan. Pasal 44 ayat (2) KUHP merupakan kelanjutan dari Pasal 44 ayat (1) KUHP, yaitu apabila pelaku tindak pidana telah memenuhi ketentuan di dalam Pasal 44 ayat (1) maka hakim membe-baskan dari segala tuntutan hukum dan dengan penetapan, memerintah-kannya untuk dimasukkan ke Ru-mah Sakit Jiwa selama satu tahun sebagai percobaan.

2. Peran psikiater di dalam sistem pera-dilan pidana yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 44 KUHP sebagai legal agent dalam membantu aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan (penyidikan, pemeriks-aan tambahan pada tahap penuntut-an dpenuntut-an pemeriksapenuntut-an di persidpenuntut-angpenuntut-an) untuk menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya diduga menderita gangguan jiwa. Kedudukannya ada-lah sebagai ahli atau saksi ahli dan dapat dilibatkan dalam setiap ta-hapan pemeriksaan tersebut. Dasar hukumnya adalah:

 Dalam tahap penyidikan: Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP dan Pasal 120 ayat (1) dan (2) KUHAP.

 Dalam tahap penuntutan (peme-riksaan tambahan): Pasal 14 huruf b KUHAP jo Pasal 27 ayat (1) huruf d Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Dalam tahap persidangan: Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP, Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP, Pasal 186 KUHAP.

(11)

D. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku

Hamzah, Andi, ed, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indone-sia,1986)

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) Nawawi Arief, Barda, Bunga Rampai

Kebijakan Hukum Pidana, (Ban-dung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996)

---, Pelengkap Bahan Kuliah Hukum Pidana I, (Sema-rang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990)

Pariaman, Dt. Tan, Hasan Basri Saanin, Psikiater dan Pengadilan (Psikia-tri Forensik Indonesia), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983)

Soeparmono R., Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2002)

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990)

Sutarto, Suryono, Hukum Acara Pidana Jilid I, (Semarang: Badan Pener-bit Universitas Diponegoro, 2005) Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan II edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, hasil analisis data kuantitatif yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan tarif pajak efektif kini setelah amnesti pajak mencerminkan bahwa

Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Terdapat pengaruh positif yang signifikan motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar KKPI siswa kelas XI

Dengan membagi bidang grafik kita dalam zona yang berbeda, kita dapat mengaktifkan input sensor untuk memicu atau mengaktifkan output: misalnya, motor atau suara dari EV3

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukan bahwa jenis dan komposisi nutrisi media tanam jamur tiram putih memberikan pengaruh yang nyata pada persentase

Penanaman pakcoy dengan menggunakan media hydroton dan penambahan unsur hara N,P,K menggunakan Pupuk Organik Cair POC dari limbah tahu dan daun kirinyuh Chromolaena odorata

Contohnya adalah masih banyak orang yang berfikir sempit tentang hukum potong tangan kepada pelaku tindak pidana pencurian dalam Islam.. Paradigma seperti ini akhirnya

Dalam daftar istilah Himpunan Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan

Dampak lain yang dirasakan oleh guru-guru dan warga sekolah dari kegiatan PAK ini adalah sebagai berikut; (1) Siswa menjadi tertib, disiplin, tepat waktu datang ke sekolah dan