• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRASI AMONIUM SULFAT TERHADAP PRODUKSI NATA DE SAGO. Tuti Harningsih, Nururrahmah, Eka Pratiwi Tenriawaru *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRASI AMONIUM SULFAT TERHADAP PRODUKSI NATA DE SAGO. Tuti Harningsih, Nururrahmah, Eka Pratiwi Tenriawaru *"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

49 PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRASI AMONIUM SULFAT TERHADAP

PRODUKSI NATA DE SAGO

Tuti Harningsih, Nururrahmah, Eka Pratiwi Tenriawaru*

Program Studi Fisika, Fakultas Sains Universitas Cokroaminoto Palopo

*

Email: epta86@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa konsentrasi ammonium sulfat terhadap produksi nata de sago. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri atas pemberian ammonium sulfat dengan konsentrasi 0,2%, 0,4%, 0,6% dan 0,8%. Masing-masing perlakuan difermentasikan selama 15 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi ammonium sulfat tidak berpengaruh terhadap produksi nata de sago. Perlakuan yang memberikan hasil terbaik adalah pemberian konsentrasi ammonium sulfat 0,8% dengan rata-rata berat 82,30 g dan tebal 0,3 cm

Kata kunci: limbah cair sagu, amonium sulfat, Acetobacter xylinum, Nata de sago

PENDAHULUAN

Sagu merupakan salah satu tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat di Kota Palopo dan kabupaten Luwu. Pada tahun 2013, produksi sagu di kota Palopo 85,20 ton (Pemerintah Kota Palopo, 2015) dan di kabupaten Luwu 475,45 ton (Bappeda Kabupaten Luwu, 2015). Produksi sagu yang pesat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif bagi masyarakat. Dampak positif yaitu meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat, sedangkan dampak negatif yaitu menimbulkan limbah.

Proses pengolahan sagu menghasilkan limbah, yang berupa limbah padat dan limbah cair. Limbah padat sagu berupa ampas sagu, yang terdiri dari serat-serat empulur yang diperoleh dari hasil pemarutan/pemerasan isi batang sagu, sedangkan limbah cair sagu merupakan limbah yang diperoleh dari hasil ekstraksi pati sagu dengan menggunakan air. Kedua jenis limbah tersebut masih mengandung sejumlah substansi penting sehingga dapat dimanfaatkan sebagai input organik dalam pertanian berkelanjutan. Akan tetapi, pengelolaan limbah sagu saat ini lebih diarahkan pada limbah padat, sedangkan

(2)

50 limbah cair masih tidak dimanfaatkan.

Limbah cair sagu tersebut bersifat asam, berbau busuk dan konsentrasi padatan tinggi.

Pada umumnya limbah cair tersebut dibuang ke sungai (Sartunus, dkk., 2015) dan terakumulasi pada badan air. Apabila kondisi tersebut dibiarkan berlangsung terus-menerus, akan mengakibatkan akumulasi limbah sagu yang membuat air sungai tercemar. Oleh karena itu, perlu upaya untuk mengurangi limbah cair tersebut. Salah satu cara untuk mengurangi limbah cair sagu adalah dengan pemanfaatan limbah cair sagu sebagai bahan baku dalam pembuatan nata.

Nata merupakan produk yang

dihasilkan dari penerapan bioteknologi, yang memanfaatkan Acetobacter xylinum

dalam proses fermentasi. Pembuatan nata

membutuhkan bahan yang mengandung karbohidrat dan nitrogen. Bahan baku dalam pembuatan nata dapat berupa air kelapa (Hamad dan Kristiono, 2013), rumput laut

Gracillaria sp. (Purwaningsih, dkk., 2007),

kulit pisang (Rossi, dkk., 2008; Harlis dan Muswita, 2015), limbah cair tahu (Azhari, dkk., 2015), timun suri (Herawaty dan Moulina, 2015), kulit singkong (Setyaningtyas, dkk., 2014), nenas (Iskandar, dkk., 2010; Sutanto, dkk., 2012),

limbah nira tebu (Arifiani, dkk., 2015), dan limbah cair sagu (Kasi, dkk., 2016).

Limbah cair sagu dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan nata karena mengandung pati yang dapat digunakan sebagai sumber karbon untuk membentuk pilisakarida (Kasi, dkk., 2016). Selain kandungan pati, pembuatan nata juga membutuhkan suplai nitrogen. Peningkatan konsentrasi nitrogen dapat meningkatkan jumlah polisakarida yang dibentuk. Salah satu sumber nitrogen tambahan adalah ammonium sulfat (Patria, dkk., 2013). Akan tetapi, konsentrasi ammonium sulfat optimum berbeda untuk setiap bahan baku yang digunakan. Konsentrasi optimal untuk

nata de banana skin adalah 0,83% (Rossi, dkk., 2008), untuk nata de Gracillaria sp sebanyak 0,75% (w/v) (Purwaningsih, dkk., 2007). Sedangkan konsentrasi optimal untuk

nata de sago belum pernah dilaporkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ammonium sulfat terhadap produksi nata de sago.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang terdiri atas konsentrasi ammonium sulfat sebagai variabel bebas dan produksi nata de sago sebagai variabel terikat. Produksi nata de sago diuji dengan

(3)

51 menggunakan parameter berat dan tebal

nata de sago.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kompor, panci, gelas ukur 250 mL, gelas ukur 1000 mL, gelas ukur 50 mL, batang pengaduk, pisau pengiris nata, saringan, nampan/wadah 15 buah untuk fermentasi, kertas koran, tali pengikat/karet, ember/baskom, timbangan analitik, kertas pH, mistar penggaris dan corong.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair sagu 8 L, gula pasir 800 g, amonium sulfat (ZA), asam cuka, starter Acetobacter xylinum 1200 mL, alkohol 70%.

Prosedur

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan, yaitu pemberian ammonium sulfat 0,2%, 0,4%, 0,6%, dan 0,8%. Masing-masing perlakuan diulangi sebanyak 3 kali dengan lama waktu fermentasi 15 hari. Sampel merupakan limbah cair sagu yang masih segar diambil langsung dari pabrik pengolahan sagu di desa Buntu Awo Kecamatan Walenrang Utara Kabupaten Luwu yang diendapkan selama beberapa menit untuk menghasilkan lindi sagu. Selanjutnya, lindi sagu disaring

untuk menghilangkan material-material atau kotoran yang tidak diinginkan.

Lindi sagu selanjutnya dimasukkan ke dalam panci sebanyak 8 L untuk dimasak hingga mendidih selama kurang lebih 30 menit untuk membunuh mikroorganisme yang akan mencemari produk yang dihasilkan. Selama perebusan ditambahkan gula pasir sebanyak 800 g, diaduk hingga rata. Lalu menambahkan asam cuka sedikit demi sedikit hingga mencapai pH 3-4. Perebusan dihentikan setelah tingkat pH tercapai untuk mencegah penguapan asam secara berlebihan. Setelah mendidih lalu dituangkan ke dalam nampan plastik sebanyak 500 mL untuk setiap nampan.

Nampan yang sudah berisi media kemudian ditambahkan ammonium sulfat (ZA) sesuai perlakuan. Penentuan konsentrasi ammonium sulfat (ZA) yaitu diberi 4 perlakuan P0: kontrol (0%), P1: 0,2%, P2: 0,4%, P3: 0,6% dan P4: 0,8%. Pemberian ZA pada media dalam keadaan panas sambil diaduk sehingga mudah larut.

Setiap nampan yang berisi fermentasi yang telah didinginkan tersebut ditambahkan bibit (starter) sebanyak 80 mL. Starter yang digunakan adalah starter yang telah diremajakan dan berumur 2 hari. Nampan diinkubasi pada tempat yang bersih, terhindar dari debu, ditutup untuk

(4)

52 menghindari terjadinya kontaminasi. Nata

de sago dipanen pada umur 15 hari dalam

bentuk lapisan atau lembaran. Kemudian nata dicuci dengan menggunakan air bersih, kemudian menimbang berat dan mengukur ketebalan nata yang dihasilkan.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis dengan ANOVA

(Analisis of Varian) dalam bentuk uji F =

0,05, jika menunjukkan pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT (beda nyata terkecil) taraf kepercayaan = 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan yaitu penambahan berbagai konsentrasi ammonium sulfat (ZA) pada media nata de sago dapat dilihat dari parameter kuantitatif yang meliputi berat dan tebal. Pada penelitian ini bakteri yang digunakan adalah Acetobacter xylinum

karena merupakan bakteri yang mampu mengubah gula menjadi lembaran benang-benang selulosa. Pembentukan benang-benang tesebut, mulanya seperti flagel kemudian membentuk mikrofibril selulosa di sekitar permukaan tubuhnya lalu membentuk serabut selulosa yang sangat banyak sehingga dapat membentuk suatu massa yang kokoh dan dapat mencapai ketebalan tertentu. Pada akhirnya susunan selulosa

tersebut akan tampak seperti lembaran putih transparan dengan permukaan licin dan halus. Berikut adalah gambar dokumentasi

nata de sago yang dihasilkan dari limbah

cair sagu.

Gambar 1. Nata de sago hasil penelitian

Berdasarkan hasil pengukuran berat

nata de sago yang terbuat dari limbah cair

sagu pada berbagai konsentrasi ammonium sulfat dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

(5)

53 Tabel 1. Berat rata-rata nata de sago pada berbagai konsentrasi ammonium sulfat

Perlakuan Ulangan Jumlah (g) Rata-rata (g) Signifikansi

1 2 3 P0 (0%) 91 12 23 126 42,00 P1 (0,2%) 0 0 0 0 0 P2 (0,4%) 0 0 0 0 0 P3 (0,6%) 26 17 146 189 63,00 P4 (0,8%) 23 164 60 247 82,30

Hasil pengukuran tebal nata de sago

dengan pemberian berbagai konsentrasi

ammonium sulfat (ZA) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tebal rata-rata nata de sago pada berbagai konsentrasi ammonium sulfat

Perlakuan Ulangan Jumlah (cm) Rata-rata (cm) Signifikansi

1 2 3 P0 (0%) 0,1 0,1 0,1 0,3 0,10 P1 (0,2%) 0 0 0 0 0 P2 (0,4%) 0 0 0 0 0 P3 (0,6%) 0,1 0,1 0,3 0,5 0,17 P4 (0,8%) 0,1 0,5 0,3 0,9 0,30

Berdasarkan hasil analisis statistik uji anava pada parameter berat dan tebal nata

de sago diperoleh bahwa signifikansi

α>α=0,05. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi ammonium sulfat tidak berpengaruh pada tebal dan berat nata

de sago, sehingga uji tidak dilanjutkan pada

uji BNT. Akan tetapi, berat dan tebal nata

de sago yang dihasilkan pada

masing-masing perlakuan berbeda-beda. Jumlah kandungan nitrogen dalam media pembuatan

nata de sago menjadi salah satu faktor

penyebab perbedaan berat dan tebal nata de sago yang diperoleh dalam penelitian.

Berdasarkan hasil pengukuran berat dan tebal nata de sago pada tabel 1 dan tabel 2 tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata bahwa penambahan ammonium sulfat (ZA) 0,8 % (P4) yang paling tinggi dibandingkan dengan penambahan ammonium sulfat (ZA) 0,6% (P3). Pada konsentrasi 0,8% (P4) dengan berat tertinggi yaitu 82,30 g dengan tebal 0,9 cm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ammonium sulfat yang diberikan, maka semakin berat nata

(6)

54 yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian yang dilaksanakan oleh Rossi, dkk. (2008) yang menemukan bahwa penggunaan konsentrasi 0,83% memberikan hasil yang optimal. Patria, dkk. (2013) mengemukakan bahwa konsentrasi ammonium sulfat 0,7% menghasilkan tebal tertinggi pada nata de soya.

Menurut Purwaningsih, dkk. (2007), tebal nata de Gracillaria sp. cenderung meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ammonium sulfat karena ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen diperlukan untuk merangsang pertumbuhan serta aktivitas bakteri. Kecukupan nitrogen dalam bahan mampu menstimulir bakteri dalam mensintesa selulosa dan menghasilkan nata paling tebal. Kekurangan nitrogen menyebabkan sel kurang tumbuh dan menghambat pembentukan enzim yang diperlukan sehingga proses fermentasi dapat mengalami kegagalan dalam pembentukan

nata.

Rossi, dkk. (2008) mengemukakan bahwa ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen merupakan faktor yang dapat merangsang pertumbuhan Acetobacter

xylinum dalam bentuk nata sehingga jumlah

bakteri meningkat. Konsentrasi 0,8% mampu meningkatkan jumlah bakteri hingga 11,27 log cfu/mL. Lapisan selulosa pada

nata merupakan hasil sekresi sel bakteri

Acetobacter xylinum. Pertumbuhan dan

perkembangan yang optimal dari

Acetobacter xylinum akan meningkatkan

produksi enzim sellulosa sintetase yang berperan sebagai biokatalisator dalam pembentukan selulosa. Jika aktivitas bakteri meningkat maka nata yang dihasilkan juga akan semakin tebal dan berat.

Pada tabel di atas juga terlihat bahwa pada perlakuan kontrol (P0) memiliki berat yaitu 42,00 g dengan ketebalan 0,10 cm. Hal ini menunjukkan bahwa limbah cair sagu mengandung nitrogen yang dapat digunakan oleh Acetobacter xylinum. Syakir dalam Zaimah dan Prihastanti (2012) mengemukakan bahwa limbah sagu mengandung nitrogen, posfor, kalium, kalsium, dan magnesium. Afreen dan Lokeshappa (2014) mengemukakan bahwa komponen penting bagi pertumbuhan

Acetobacter xylinum adalah karbon dan

nitrogen.

Tabel 1 dan 2 tersebut juga menunjukkan bahwa tidak terbentuknya

nata pada pemberian ammonium sulfat 0,2% dan 0,4%. Tidak terbentuknya nata tersebut dapat disebabkan karena berbagai faktor, baik faktor internal dari bakteri Acetobacter

xylinum maupun faktor luar. Faktor internal

(7)

55 dan fase pertumbuhan starter pada saat

digunakan (Azhari, dkk., 2015). Starter bakteri yang digunakan dalam penelitian ini berumur 48 jam karena pada umur biakan starter 48 jam bakteri Acetobacter xylinum

berada pada fase logaritma yaitu waktu generasi paling pendek, pembiakan bakteri berlangsung cepat, sel-sel membelah dan jumlahnya meningkat. Akan tetapi, adanya perubahan pada media dapat menyebabkan bakteri Acetobacter xylinum memasuki tahap adaptasi sehingga sel belum mengalami pertumbuhan.

Faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan pembentukan nata adalah jumlah nutrisi dalam media, suhu, pH, dan ketersediaan oksigen. Faktor lain yang mempengaruhi hasil yang diperoleh mengenai berat nata adalah adanya kontaminasi oleh jamur dan adanya gas-gas yang terperangkap pada saat proses fermentasi, seperti H2S dan CH4. Kondisi ini akan mengganggu produksi optimal nata

oleh starter bakteri Acetobacter xylinum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tebal nata yang dihasilkan dari limbah cair sagu masih sangat tipis. Hal ini diduga disebabkan karena rendahnya kandungan karbohidrat yang terdapat di dalam limbah cair sagu. Selain itu, diduga sebagian besar karbohidrat yang terdapat dalam limbah cair

sagu masih berupa polisakarida sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terurai. Oleh karena itu, diperlukan studi lebih lanjut untuk mengetahui waktu optimal bagi pembentukan nata de sago dan perlu dilakukan analisis tentang jenis karbohidrat yang terdapat pada limbah cair sagu sagu. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian konsentrasi ammonium sulfat tidak berpengaruh terhadap produksi nata de sago. Perlakuan yang memberikan hasil terbaik adalah pemberian konsentrasi ammonium sulfat 0,8% dengan rata-rata berat 82,30 g dan tebal 0,3 cm.

DAFTAR PUSTAKA

Afreen, S. S. dan Lokeshappa B. 2014.

Production of Bacterial Cellulose from Acetobacter xylinum using Fruit

Wastes as Substrate. The International

Journal of Science and Technoledge, 2

(8): 57-64.

Arifiani, N., T. A. Sani, A. S. Utami. 2015. Peningkatan Kualitas Nata de Cane

dari Limbah Nira Tebu Metode

Budchips dengan Penambahan Ekstrak

Tauge sebagai Sumber Nitrogen.

(8)

56 Azhari. M., Sunarto dan Wiryanto. 2015.

Pemanfaatan Limbah Cair Tahu Menjadi Nata se Soya dengan Menggunakan Air Rebusan Kecambah Kacang Tanah dan Bakteri

Acetobacter xylinum. Jurnal Ekosains,

VII (1): 1-14.

Bappeda Kabupaten Luwu. 2015. Luwu dan

Angka 2015 (Online).

http://bappeda.luwukab.go.id/dokume n-15-luwudalamangka2014.html. Diakses pada tanggal 27 Mei 2016. Hamad, A. dan Kristiono. 2013. Pengaruh

Penambahan Sumber Nitrogen terhadap Hasil Fermentasi Nata de

Coco. Momentum, 9 (1): 62-65.

Harlis, P. M. dan Muswita. 2015. Pemanfaatan Acetobacter xylinum

terhadap Peningkatan Kualitas Nata de

Banana Skin. Biospesies, 8 (1): 29-33.

Herawaty, N. dan M. A. Moulina. 2015. Kajian Variasi Konsentrasi Sukrosa terhadap Karakteristik Nata Timun Suri (Cucumis sativus L.). Agritepa, II (1): 89-104.

Iskandar, M. Zaki, S. Mulyati, U. Fathanah, I. Sari, Juchairawati. 2010. Pembuatan Film Selulosa dari Nata de Pina.

Jurnal Rekayasa Kimia &

Lingkungan, 7 (3): 105-111.

Kasi, P. D., E. P. Tenriawaru, L. G. S. Anggriani. 2016. Pemanfaatan Limbah Cair Sagu sebagai Bahan Baku Nata

de Sago. Prosiding Seminar Nasional

Kimia - Lombok2016: 377-384.

Patria, A., M. Muzaifa, Zurrahmah. 2013. Pengaruh Penambahan Gula dan Amonium Sulfat terhadap Kualitas Nata de Soya. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia, 5 (3): 1-5.

Pemerintah Kota Palopo. 2015. Palopo

dalam Angka 2015 (Online).

http://www.palopokota.go.id/content/u

ploads/images/palopo-dalam- angka/Kota-Palopo-Dalam-Angka-2015.pdf. Diakses pada tanggal 27 Mei 2016.

Purwaningsih, S., E. Salamah, A. Setiani. 2007. Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan Amonium Sulfat terhadap Mutu

Nata Gracilaria Sp. Buletin Teknologi

Pertanian, X (2): 35-47.

Rossi, E., U. Pato, S. R. Damanik. 2008. Optimalisasi Pemberian Ammonium Sulfat terhadap Produksi Nata de Banana Skin. Sagu, 7 (2): 30-36. Sartunus, P. A., A. Ahmad, Syarfi. 2015.

Efisiensi penyisihan Chemical Oxygen Demand (COD) Limbah Cair Pabrik Sagu Menggunakan Bioreaktor Hibrid

(9)

57 Anaerob Dua Tahap dengan Variabel

Laju Pembebanan Organik. Jom FTEKNIK, 2 (1): 1-11.

Setyaningtyas, N., A. Kusrijadi, A. Suryatna. 2014. Pembuatan Nata de

Cassava dari Kulit Singkong

Menggunakan Sumber Nitrogen Ekstrak Tauge sebagai Sumber Nitrogen. Jurnal Sains dan Teknologi

Kimia, 5 (2): 124-131.

Sutanto, A. 2012. Pineapple Liquid Waste

as Nata de Pina Raw Material.

Makara Teknologi, 16 (1): 63-67.

Zaimah, F. dan E. Prihastanti. 2012. Uji Penggunaan Kompos Limbah Sagu terhadap Pertumbuhan Tanaman Strawberry (Fragaria vesca L.) di Desa Plajan Kabupaten Jepara. Buletin

Gambar

Gambar 1. Nata de sago hasil penelitian
Tabel 2. Tebal rata-rata nata de sago pada berbagai konsentrasi ammonium sulfat

Referensi

Dokumen terkait

Hijauan sebagai bahan pakan ternak mengandung glikosida sianogenik yang merupakan metabolit sekunder yang dapat menghasilkan HCN yang bersifat toksik pada pemecahan

Adaptasi sosial yang dilaku- kan oleh sebagian pengrajin tahu dan tempe lebih khusus peng- rajin yang berasal dari daerah Jawa antara lain adalah meng- ikuti

Hasil penelitian menunjukan: (1) Nilai-nilai moral yang ditanamkan di TK Dharma Wanita melalui kegiatan pembelajaran diantaranya adalah: tolong menolong, saling

Dari hasil perbaikan yang telah dilaksanakan oleh guru dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran dengan menerapkan strategi pembelajaran Cooperative Learning,

Gagasan bahwa audit umum tidak dirancang untuk mengungkapkan kecurangan, sampai saat ini tercermin dari praktik audit yang peduli dengan kecurangan yang

Berdasarkan konsep-konsep yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, karakteristik penyuluh pertanian yang terdiri dari: umur, jenis kelamin, pendidikan,

perekat sumberdaya manusia sehingga mereka bergerak secara bersama-sama ke arah tujuan yang sama, yaitu memberikan layanan dengan kualitas setinggi mungkin kepada

pengetahuan para pakar, sehingga para peternak dapat mengetahui cara membudidayakan bibit unggul pada ternak sapi dan kambing mereka, tetapi sistem pakar tidak dapat