• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mia Mentari Faroya, Suharnoko dan Endah Hartati Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mia Mentari Faroya, Suharnoko dan Endah Hartati Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN LEMBAGA KONSINYASI SEBAGAI CARA

MENGHAPUSKAN PERIKATAN DAN LEMBAGA KONSINYASI DALAM

PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK

KEPENTINGAN UMUM

Mia Mentari Faroya, Suharnoko dan Endah Hartati

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

Abstrak

Skripsi ini membahas dua sudut pandang suatu lembaga hukum konsinyasi. Pertama, konsinyasi yang berlaku dalam hal perikatan yang diatur pada Buku III KUHPerdata.. Kedua, mengenai konsinyasi yang diimplementasikan dalam mewujudkan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, penulisan skripsi ini bertujuan untuk menggali dan meninjau lebih jauh mengenai keberlakuan dan keabsahan dari lembaga konsinyasi baik sebagai salah satu mekanisme menghapus perikatan maupun sebagai cara berpindahnya hak atas tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Adapun pembahasan yang dilakukan peneliti adalah konsep Lembaga Konsinyasi yang dikenal dalam KUHPerdata kemudian dipergunakan dan diimplementasikan dalam salah satu mekanisme pengadaan tanah yang ada dalam UU No. 2 Tahun 2012. Sehingga sebagai konsekuensinya, ketentuan hukum acara perdata yang khusus mengatur mengenai lembaga hukum ini juga akan dirujuk. Ketentuan hukum acara perdata tersebut terdapat didalam Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering (Rv), Staatsblad 1847 No. 52 jo. 1849 No. 63.

Kata kunci:

Konsinyasi, Penitipan Pembayaran, Hapusnya Perikatan, Pengadaan Tanah, Consignatie

Abstract

The thesis mainly discusses two points of view about consignment. First, about consignment regulating on Chapter III of Indonesian Civil Code. Second, about consignment implementing for land procurement for public purpose. By using literature research method, this thesis aims to review consignmentas one of mechanisms to end a contract and as the way to right of land for public purposing procurement. The point of this thesis is about consignment which known on Civil Code and implemented as one of mechanisms on land procurement regulating on Law of 2012 Number 2. As a consequence, any regulation related about the consignment, regulating on

Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering (Rv), Staatsblad of 1847 Number 52 jo. Staatsblad of 1849 Number 63 will be used as well.

Keywords:

(2)

PENDAHULUAN

Pembidangan hukum terjadi karena aspek-aspek hukum sangat luas, dengan demikian ada dua macam bidang hukum yang disatu pihak mengatur organisasi masyarakat tersebut. Yang terakhir menyangkut pembentukan hukum dan penegakan hukumnya, sehingga tujuan hukum dapat tercapai.

Dari penjabaran mengenai tujuan hukum dan pembidangan hukum tersebut, disadari dalam kehidupan sehari-hari kita tidak dapat terlepas dari kedua hukum tersebut. Dalam hal ini akan dijelaskan latar belakang permasalahan dari bagian kecil kedua pembidangan hukum tersebut, yaitu dari segi hukum perikatan yang merupakan bagian dari Hukum Perdata yang adalah bidang hukum Privat. Dan menjelaskan permasalahan mengenai Hukum Pertanahan yang merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara yang adalah bidang hukum Publik.

Hal ini dimulai dari, adanya perikatan menimbulkan kewajiban bagi salah satu pihak (perikatan sepihak) atau kedua belah pihak (perikatan timbal balik).1 Dalam setiap perikatan paling sedikit terdapat dua subyek hukum yaitu kreditur dan debitur.2 Pihak yang mempunyai kewajiban disebut debitur. Pihak yang berhak menerima prestasi dari debitur, disebut kreditur.3

Dalam pelaksanaan suatu perikatan tersebut, dapat terjadi peristiwa debitur lalai. Dimana pada peristiwa debitur lalai ini, debitur sebagai pihak yang mempunyai kewajiban tidak mau melaksanakan kewajibannya.

Namun pada kenyataannya, tidak tertutup kemungkinan bahwa justru kreditur tidak menginginkan debitur melaksanakan kewajiban debitur kepada kreditur. Kreditur menolak pelaksanaan kewajiban dari debitur.

R. Setiawan, S.H memberikan contoh mengenai keadaan dimana kreditur ternyata melakukan penolakan atas pelaksanaan kewajiban dari debitur, yaitu “A harus menyerahkan sejumlah barang yang dibeli oleh B. Akan tetapi karena harga barang tersebut turun, B tidak mau menerimanya dengan alasan gudangnya penuh.”4

                                                                                                                         

1 Subekti, Hukum Perjanjian, cet 17, (Jakarta: Intermasa, 1998), hlm. 1.

2 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, cet 1 (Bandung: PT Alumni, 2006), hlm, 199.

3Ibid.

(3)

Dengan contoh tersebut dapat dipahami mengapa dapat terjadi kreditur menolak pelaksanaan kewajiban debiturnya. Penolakan mana dapat menempatkan debitur pada keadaan yang membahayakan, yaitu terancam tuduhan telah melakukan wanprestasi. Sekaligus dapat dipahami bahwa hukum harus memberikan jalan keluar penyelesaian keadaan yang merugikan debitur ini. Ternyata, hukum perdata Indonesia telah memberikan jalan keluar untuk keadaan tersebut. Pengaturan hukum tersebut terdapat dalam pasal 1381 KUHPerdata yang bunyinya adalah sebagai berikut:

“Perikatan-perikatan hapus: karena pembayaran; karena penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaharuan utang; karena perjumpaan utang atau kompensasi; karena percampuran utangnya; karena musnahnya barang yang terutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini; karena liwatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.”5

Pengaturan terinci mengenai penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsinyasi) tersebut diuraikan dalam Pasal 1404-1412 KUHPerdata. Dedalam Pasal 1404-1412 KUHPerdata, ditentukan syarat-syarat dari mekanisme konsinyasi tersebut agar dapat dinyatakan sah sebagaimana cara menghapuskan perikatan.

Persyaratan tersebut ditetapkan bukan saja untuk memberikan perlindungan hukum bagi debitur beritikad baik untuk pelaksanaan kewajibannya ditolak oleh kreditur yang beritikad baik, melainkan juga untuk mencegah kemungkinan sebaliknya, yaitu pelanggaran atas hak kreditur.6 Sebab tidak tertutup kemungkinan bahwa debitur memang hendak melaksanakan kewajibannya, namun kreditur menolak karena berpendapat bahwa pelaksanan kewajiban itu tidak sesuai dengan kesepakatan atau undang-undang. Dengan kata lain, terdapat sengketa antara debitur dengan kreditur mengenai pelaksanaan suatu perikatan. Adanya pengaturan mengenai keberlakuan lembaga hukum ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menunjukan bahwa pembuat undang-undang juga telah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan penyelewengan hukum tersebut diatas.

                                                                                                                         

5Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999), Ps 1381.

6 Konsep itikad baik mempunyai penafsiran yang sangat luas. Dalam skripsi ini, itikad baik diartikan sebagai kepatuhan untuk melaksanakan kewajiban yang sudah disepakati dalam perjanjian (pacta sunt servanda)

(4)

Demikian sedikit gambaran permasalahan mengenai konsep lembaga konsinyasi dari segi hukum Perikatan yang diartikan sebagai mekanisme pembayaran yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan. Kemudian dari pembidangan hukum yang berbeda, konsep penawaran dan penitipan pembayaran atau konsinyasi ini juga dikenal dalam ranah hukum pertanahan yang salah satunya saat ini diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Berangkat dari masalah pembebasan tanah yang sangat rawan dalam penanganannya, dan oleh karena tanah disini sebagai unsur penting dalam kehidupan manusia. Sehingga, tanah memegang peranan penting bagi hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas, oleh karena itu satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat, baik yang telah dikuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat maupun hak-hak lainnya menurut UUPA.7

Proses pembebasan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah gani kerugian, maka perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan data-data yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian ganti rugi. Apabila telah mencapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka baru dilakukan pembayaran ganti rugi kemudian dilanjutkan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan.

Apabila pembebasan tanah melalui musyawarah tidak mendapatkan jalan keluar antara pemerintah dengan pemegang hak atas, sedangkan tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum, maka dapat ditempuh dengan cara pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 ini.

Pembangunan yang diperuntukan bagi kepentingan umum dewasa ini menuntut adanya pemenuhan kebutuhan akan pengadaaan tanah secara cepat. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang ini menjadi salah satu payung hukum bagi pemerintah dalam hal mempermudah penyediaan tanah untuk pembangunan tersebut. Melalui kebijakan ini, dengan mekanisme pencabutan atas tanah pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengambil

                                                                                                                         

7 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk

(5)

tanah milik masyarakat secara kebetulan diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.8

Mekanisme musyawarah yang seharusnya menjadi sarana untuk mencari jalan tengah dalam menentukan besarnya ganti kerugian seringkali tidak mencapai kata sepakat dan karenanya dengan alasan kepentingan umum, maka pemerintah melalui panitia pengadaan tanah dapat menentukan secara sepihak besarnya ganti kerugian dan kemudian menitipkannya ke pengadilan negeri setempat melalui prosedur konsinyasi

POKOK PERMASALAHAN

Pokok permasalahan dari penelitian ini berpusat pada suatu keabsahan suatu lembaga konsinyasi yang berlaku bagi dua segi hukum yang berbeda. Terhadap hal tersebut, penulis mengejawantahkan pokok permasalahan tersebut ke dalam dua pertanyaan penelitian, yakni:

1. Bagaimanakah lembaga konsinyasi sebagai mekanisme pembayaran diikuti penyimpanan atau penitipan pada KUHPerdata dalam menghapuskan perikatan? 2. Bagaimanakah konsep penerapan lembaga konsinyasi pada Pengadaan Tanah bagi

Kepentingan Umum dikaitkan dengan konsep konsinyasi yang ada pada KUHPerdata?

TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan pada permasalahan-permasalahan yang ada, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui mengenai lembaga konsinyasi yang diatur pada KUHPerdata dalam menghapuskan perikatan.

2. Mengetahui mengenai konsep dasar dan implementasi lembaga konsinyasi yang diatur pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum dan perbandingannya dengan konsep lembaga konsinyasi yang diatur dalam KUHPerdata.

TINJAUAN TEORITIS                                                                                                                          

(6)

Gambaran Umum Konsinyasi dalam Perikatan

  Pokok pangkal pengaturan tentang konsinyasi terdapat dalam Pasal 1404 KUHPerdata dan seterusnya di KUHPerdata. Dalam Pasal 1404 KUHPerdata telah diberikan definisi gambaran mengenai konsinyasi sebagai suatu lembaga hukum yang berdiri dari dua tahapan, yaitu:

“Jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan penawaran pembayaran tunai apapun yang diutangnya, dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada Pengadilan.”9

Penawaran tentang ketersediaan untuk membayar dan disusul dengan penitipan (yang kemudian dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim) itulah yang dikenal sebagai konsinyasi. Lalu, dari bunyi pasal tersebut, dapat dilihat bahwa tahap pertama adalah debitur melakukan penawaran pembayaran tunai diterima oleh kreditur, maka hapuslah perikatan tersebut. Tahap kedua adalah bilamana kreditur menolak pembayaran tersebut, maka debitur dapat menitipkan uang atau barang yang menjadi objek perjanjian tersebut sebagai bentuk pelaksanaan perikatan antara kreditur dan debitur tersebut.

Tahap-Tahap Konsinyasi dalam Perikatan

R. Setiawan, S.H. berpendapat bahwa konsinyasi dapat dilakukan sekalipun belum ada penolakan dari kreditur:

“… Pasal 1404 KUHPerdata yang berbunyi ‘jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan’, menimbulkan kesan seolah-olah penawaran pembayaran hanya dapat dilakukan setelah adanya penolakan dari kreditur. Ketentuan dalam pasal tersebut tidak mensyaratkan bahwa untuk sahnya penawaran pembayaran harus terlebih dahulu ada penolakan dari kreditur, tetapi hanya mengemukakan bahwa dalam hal penawaran pembayaran terjadi setelah adanya penolakan. Jadi, penawaran dapat saja dilakukan sekalipun belum ada penolakan kreditur.”10

Alasan yang dipakai oleh R. Setiawan, S.H adalah bahwa Pasal 1404 KUHPerdata tidak mengatakan bahwa penolakan kreditur adalah syarat agar lembaga hukum ini dapat dilaksanakan.

                                                                                                                         

9Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjirosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999), Ps 1404.

(7)

Tentunya argumentasi tersebut tidak cukup jika tidak diberikan contoh yang nyata, dalam keadaan bagaimana seseorang dapat mengambil langkah konsinyasi jika penyebabnya bukanlah penolakan dari kreditur? Sayangnya, R. Setiawan, S.H. tidak memberikan contoh kenyataan dimana konsinyasi dilakukan sekalipun tidak ada penolakan dari kreditur. Lagipula, pendapat tersebut tentunya sulit untuk diterima jika rasio diciptakan lembaga hukum ini diperhatikan, yaitu:

“Mengapa diadakan kemungkinan untuk konsinyasi? Lembaga konsinyasi disediakan untuk mengatasi keadaan dalam mana seorang kreditur menolak untuk menerima dalam mana seorang kreditur menolak untuk menerima pembayaran atau penyerahan barang tertentu …, sedangkan perjanjian itu sudah jatuh tempo.”11

Artinya, jika pendapat ini diikuti, tentu saja kepentingan yang melatarbelakangi diciptakannya lembaga hukum ini oleh pembuat undang-undang, akan menjadi tidak jelas. Karena lembaga hukum ini disediakan bagi masyarakat, justru karena adanya kemungkinan kreditur menolak pelaksanaan prestasi dari debitur.

Namun, didalam praktek, konsinyasi sering digunakan dalam keadaan dimana kreditur tidak diketahui keberadaannnya. Contohnya, ketika debitur sudah bersudah payah mencoba menghubungi kreditur, tetapi tidak berhasil dihubungi. Kemudian, untuk merealisasikan itikad baik dari si debitur ini dalam melaksanakan kewajibannya sekaligus juga waspada atas adanya tuntutan kelalaian, debitur menggunakan lembaga hukum ini. Peristiwa seperti inilah yang dikiranya dapat dijadikan contoh bagi pendapat R. Setiawan, S.H. Dengan contoh yang dimaksud, maka dapat ditemukan kesepakatan bahwa kata “penolakan: tidak perlu selalu dimaksudkan sebagai tindakan aktif atau langsung dari kreditur menolak pelaksanaan kewajiban dari debitur. Tetapi, dapat juga dimaksudkan sebagai tindakan pasif atau tidak langsung dari kreditur dalam hal tidak memberitahukan debitur dimana kreditur berada. Hal mana mengakibatkan debitur tidak dapat melaksanakan kewajiban.

Sehubungan dengan adanya dua tahap konsinyasi, maka perlu juga diperhatikan bahwa apabila tahap penawaran tersebut gagal, undang-undang memberikan hak bagi debitur untuk menempuh tahap berikutnya, yaitu penyimpanan atau penitipan. Namun, timbul ketidakjelasan apakah tahap kedua ini hanya dapat dilakukan apabila tahap pertama telah dilaksanakan namun                                                                                                                          

(8)

hasilnya adalah gagal. Sehingga, artinya penyimpanan atau penitipan tidak dapat dilakukan apabila penawaran belum dilakukan. Mengenai hal ini, undang-undang juga tidak secara langsung memberikan suatu ketegasan mengenai pengaturan tersebut. R. Setiawan, S.H. menunjuk pada pasal 1412 KUHPerdata sebagai suatu ketentuan khusus dimana penawaran tunai tidak dilakukan, akan tetapi penyimpanan atau penitipan dapat tetap dilakukan.12 Adapun bunyi Pasal 1412 KUHPerdata tersebut adalah sebagai berikut:

“Jika apa yang harus dibayarkan berupa sesuatu barang yang harus diserahkan ditempat dimana barang itu berada, maka si berutang harus mengingatkan si berpiutang dengan perantaraan pengadilan supaya mengambilnya dengan sepucuk akta, … . Jika peringatan ini telah dijalankan dan si berpiutang tidak mengambil barangnya maka si berutang dapat diizinkan oleh Hakim untuk menitipkan barang tersebut disuatu tempat lain.”

Jadi, terdapat kemungkinan bahwa penyimpanan atau penitipan dilakukan bukan karena penawaran ditolak, tetapi peringatan tidak ditanggapi oleh kreditur. Dalam praktek pengadilan, peringatan sebagaimana tersebut dikenal sebagai somasi dengan perantara pengadilan.

Dengan adanya kemungkinan tersebut, penjelasan sebelumnya mengenai variasi pelaksanaan yang berkaitan dengan tahap-tahap konsinyasi, dilengkapi menjadi sebagai berikut :

1. Pertama: Penawaran pembayaran tunai saja, atau peringatan/somasi dengan perantara pengadilan saja.

2. Kedua: penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan. Atau peringtan/somasi dengan perantaran pengadilan yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.

METODE PENELITIAN

  Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu dilihat dari sudut tujuannya13, penelitian ini termasuk dalam penelitian Yuridis Normatif.14 Dilihat dari sifatnya15, penelitian ini termasuk penelitian eksplanatoris, yaitu bertujuan menggambarkan, menjelaskan secara lebih mendalam mengenai prinsip-prinsip hukum konsinyasi agar penerapan lembaga                                                                                                                          

12 R. Setiawan, Op. Cit., hlm. 115.

13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 51.

14 Penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan yang tidak melakukan observasi ke lapangan dengan mencari narasumber.

(9)

konsinyasi ini sah sebagai salah satu cara hapusnya suatu perikatan. Adanya syarat-syarat sahnya lembaga hukum ini merupakan perlindungan hukum bagi debitur yang beritikad baik dari kreditur yang beritikad tidak baik, dan juga melindungi kreditur yang beritikad baik dari debitur yang beritikad tidak baik.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder.16 Adapun yang

dimaksud dengan data sekunder adalah data yang diperoleh tidak langsung dari masyarakat atau tidak secara empiris melainkan telah menjadi literatur atau bahan bacaan. Bahan bacaan ini adalah buku-buku, undang-undang, serta jurnal ilmiah. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan.17 Dengan menelusuri literatur, buku yang berisi interpretasi atas peraturan perundang-undangan, menganalitis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan jurnal imiah. Data akan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif18 yaitu secara deduktif menerapkan prinsip-prinsip hukum perikatan perdata barat dan hukum kebendaan perdata barat untuk menafsirkan ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai lembaga hukum penawaran pembayaran secara tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsinyasi).

Data akan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif19 yang akan disajikan dalam

bentuk deskriptif-analitis20 Setelah tahap mengumpulkan dan menganalisis data selesai, maka peneliti akan memasuki tahap berikutnya yaitu melakukan penulisan laporan yang dituangkan dalam laporan yang bersifat deskriptif-analitis atas permasalahan yang diangkat.

HASIL PENELITIAN

Pada konsinyasi dalam perikatan, Pasal 1405 KUHPerdata menentukan syarat-syarat agar suatu penawaran pembayaran tunai, sah yang terdiri dari syarat materiil dan syarat formil. Dalam                                                                                                                          

16Ibid., hlm 52

17 Alat pengumpulan data terbagi menjadi tiga, yaitu studi pustaka, wawancara, dan observasi atau pengamatan. Karena penelitian ini merupakan penelitian normatif, bukan empiris atau sosiologis, maka studi pustaka adalah alat pengumpulan data paling tepat.

18 Penelitian dengan pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang menggambarkan hasil dari pengumpulan data untuk memahami gejala yang ditelitinya

19 Penelitian dengan pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang menggambarkan hasil dari pengumpulan data untuk memahami gejala yang ditelitinya. Ibid., hlm. 32

20 Penulisan dengan metode deskriptif-analitis merupakan penulisan dengan menjabarkan gejala yang terjadi kemudian diolah dan dianalisis mengenai gejala tersebut. Ibid., hlm. 68.

(10)

syarat materiil sendiri diatur pula mengenai syarat obyek konsinyasi, yaitu perikatan yang hendak dihapus dengan konsinyasi dalam tahap pembayaran tunai, ditentukan dalam Pasal 1405 ayat (4) (5) KUHPerdata dan mengenai syarat subyek konsinyasi yaitu subyek yang berhak mengajukan konsinyasi adalah seorang yang berkuasa membayar. Orang yang berkuasa membayar itu dapat merupakan subyek hukum materiil maupun subyek hukum materiil kepada siapa langkah hukum konsinyasi itu ditujukan adalah si kreditur pribadi (sebagai subyek hukum materiil dalam perikatan) atau orang lain sejauh berkuasa menerima atau menolak penawaran itu (sebagai subyek hukum formil dalam perikatan).

Lalu, untuk syarat formil yaitu pengaturan mengenai prosedur penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsinyasi). Terdiri dari syarat obyek dalam hal ini, karena perikatannya adalah menyerahkan sesuatu, maka penolakan kreditur akan penyerahan sesuatu itu oleh debitur, harus diatasi dengan penyerahan sesuatu melalui lembaga hukum ini. Dengan sistematika alur berpikir ini, akhirnya diketahui yang menjadi obyek dari penyerahan konsinyasi adalah sesuatu.21 Selanjutnya juga diatur mengenai syarat subyek, subyek hukum formil adalah subyek hukum yang bertindak bukan untuk kepentingan hukumnya sendiri, melainkan untuk kepentingan hukum dari subyek hukum lain dalam rangka formalitas hukum. Sebagai suatu syarat procedural, menjadi jelas bahwa konsinyasi itu tidak boleh dilakukan oleh pihak lain kecuali notaris atau jurusita. Artinya, subyek hukum materiil dalam konsinyasi tidak boleh melakukan penawaran pembayaran tunai.

Konsinyasi sendiri dalam bidang pertanahan saat ini diatur dalam Pasal 42 Undang-undang No. 2 Tahun 2012, yang menyatakan bila musyawarah dalam hal lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan atau alihkan, secara teknis ketempat lain telah dilakukan dalam waktu 120 hari dari undangan pertama dan tidak tercapai kesepakatan, maka Panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi dan menitipkan ganti rugi uang ke Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Hal tersebut dilakukan juga bila terjadi sengketa pemilikan setelah penetapan ganti rugi.

Konsinyasi dipilih setelah mekanisme musyawarah yang seharusnya menjadi saran untuk mencari jalan tengah dalam menentukan besarnya besarnya ganti kerugian sering kali tidak mencapai kata sepakat. Lalu karenanya dengan alasan kepentingan umum maka pemerintah                                                                                                                          

21 Harus diperhatikan perbedaan istilah yang dipergunakan: Bukan “Obyek penawaran penawaran tunai”, tetaoi “obyek penyerahan melalui konsinyasi.”

(11)

melalui panitia pengadaan tanah dapat menentukan secara sepihak besarnya ganti rugi dan kemudian menitipkannya ke Pengadilan Negeri setempat melalui mekanisme konsinyasi. Hal itulah yang kemudian menjadi permasalahan, bahwa konsinyasi yang diterapkan dalam Undang-undang ini berbeda dengan konsinyasi yang diatur dalam KUHPerdata, dimana dalam KUHPerdata konsinyasi dapat dilakukan jika sebelumnya terdapat hubungan hukum antara para pihak. Sedangkan dalam Undang-undang justru sebaliknya, konsinyasi diterapkan disaat kesepakatan antara para pihak tidak tercapai, tidak ada hubungan hukum sama sekali diantara para pihak tersebut.

Dalam Pengadaan tanah dikenal konsep konsinyasi, yaitu suatu mekanisme penitipan ganti rugi yang dilakukan dengan permohonan penitipan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Mengenai penitipan ganti rugi atau konsinyasi, Prof. Boedi Harsono menyatakan bahwa ada asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan tanah dan perlindungan hukum yang diberikan oleh Hukum Tanah Nasional kepada para pemegang hak atas tanah yaitu:22

“Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun (juga untuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang dihaki seseorang, harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemenang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya.”

Sehubungan dengan hal yang disebutkan diatas, dalam keadaan biasa untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan/atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya. Termasuk juga penggunaan lembaga penawaran pmebayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan Negeri, seperti yang diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata.

Dalam keadaan memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk menyelenggarakan kepentingan umum dan tidak mungkin menggunakan tanah lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara pencabutan hak, yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961. Karena dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar kesepakatan bersama maupun melalui                                                                                                                          

(12)

pencabutan hak, pemgang haknya meliputi tanahnya, bangunan dan tanaman milik pemegang hak, melainkan juga kerugian-keruagian lain yang dideritanya sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan. Bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, sehingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.

“Menurut Prof. Maria S. W Sumardjono, aturan baku mengenai kapan tanah dapat dikuasai bila masih ada pihak ang tidak bersedia menerima ganti kerugian adalah bahwa hak atas tanah harus dilepaskan, diikuti dengan penerimaan pembatalan ganti kerugian yang dituangkan dalam Berita Acara dan setelah itu tanah baru dapat dikuasai untuk dimulai kegiatan fisik pembangunannya.”23

Dengan demikian sulit dipahami jika masih ada pihak yang belum melepaskan hak atas tanahnya karena tidak bersedia menerima ganti kerugian dang anti kerugiannya dititipkan ke Pengadilan Negeri, tanahnya sudah dapat dikuasai oleh pihak yang memerlukan tanah. Jika hal ini ditempuh melalui cara pencabutan hak atas tanah, memang dibenarkan karena dasar hukumnya adalah Undang-undang. Undang-undang No. 2 Tahun 2012 mengatur tentang hal tersebut bahwa hak seseorang dianggap telah dilepasankan walaupun yang bersangkutan tidak bersedia menerima ganti kerugian dan hal ini dapat terjadi dengan “meminjam tangan” Pengadilan Negeri, maka hal ini cukup merisaukan, karena dapat mengurangi dan membatasi ata justru meniadakan hak seseorang itu termasuk dalam ranah Hak Asasi Manusia yang harus diatur dalam Undang-undang.

Sehingga merupakan suatu kejanggalan apabila putusan Panitia Pengadaan Tanah dianggap final dan mengikat dengan dititipkannya ganti kerugian ke Pengadilan Negeri dan hal itu memberi kewenangan bagi pihak yang memerlukan tanah untuk menguasai tanahnya, sedangkan kemungkinan pihak yang berkeberatan masih menempuh upaya melalui Pasal 17 Perpres No. 65 Tahun 2006 yang saat ini diatur dalam Pasal 42 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai dengan kewenangan disertai dengan penjelasan mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut. Lalu, akan menjadi suatu hal yang janggal apabila putusan                                                                                                                          

(13)

yang diambil oleh Panitia tersebut bersifat final, sedangkan terhadap putusan Presiden pun (berkenaan dengan ganti kerugian) asih dapat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa penitipan ganti kerugian, akan tetap membuka kemungkinan untuk ditempuh acara pencabutan hak yang diatur dengan Undang-undang.

Sedangkan terkait masalah konsinyasi, Prof. Arie Sukanti Hutagalung, SH, MLI, menyatakan bahwa,

“untuk memberi wadah lembaga konsinyasi tersebut, maka seharusnya dikonstruksikan jika tanah, bangunan, tanaman atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat ditemukan setelah ada panggilan 3 kali selanjutnya diakhiri dengan pengumuman di Kantor Kecamatan dan Kantor Kelurahan/Desa setempat, maka kompensasi yang menjadi hak orang yang tidak ditemukan tersebut diberikan dalam bentuk uang oleh pihak yang memerlukan tanah dan disimpan dalam satu rekening yang dikelola oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat setempat.”24

Oleh karenanya dengan alasan kepentingan umum maka pemerintah melalui Panitia Pengadaan Tanah dapat menentukan secara sepihak besarnya ganti rugi dan kemudian menitipkannya ke Pengadilan Negeri setempat melalui prosedur konsinyasi. Hal inilah yang kemudian yang menjadi permasalahan, bahwa konsinyasi yang diatur dalam KUHPerdata, dimana dalam KUHPerdata konsinyasi dapat dilakukan jika sebelumnya terdapat hubungan hukum antara para pihak. Sedangkan dalam Peraturan Perundang-undangan mengatur sebaliknya, konsinyasi diterapkan disaat kesepakatan antara para pihak tidak tercapai, tidak ada hubungan hukum sama sekali diantara para pihak tersebut. Sehingga dari uraian tersebut bahwa penerapan konsinyasi jelas secara hukum tidak selaras dan bertentangan.25

PEMBAHASAN

Agar mendapatkan suatu pembahasan yang komperhensif, penulis dalam penelitiannya ini melakukan studi kasus terhadap dua pembahasan konsinyasi ini. Mengenai konsinyasi sebagai cara menghapuskan perikatan, menganalisis Putusan Nomor 527 PK/Pdt/2003. Pada putusan ini, yang menjadi objek konsinyasi ini tak lain tak bukan ialah perikatan yang terjadi                                                                                                                          

24 Shinta Pratiwi, Penyelesaian Masalah Penentuan Besar Ganti Rugi Pembebasan Tanah Untuk

Pembangunan Melalui Konsinyasi, (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011). hlm. 61. 25Ibid.,

(14)

antara para pihak, yaitu Penggugat dan Tergugat berupa perikatan jual beli tanah dan bangunan yang berdiri diatasnya di Jalan Kalibata Pulo, Gang MHT Jakarta Selatan. Selanjutnya mengenai syarat subyek, dalam kasus yang diulas ini, yang menjadi seorang yang berkuasa membayar ialah Penggugat atau Debitur. Penggugat atau Debitur inilah yang merupakan subyek hukum materiil dalam kasus ini. Subyek hukum materiil ialah subyek yang dapat melakukan pembayaran adalah pihak yang berkepentingan maupun tidak berkepentingan. Pihak yang berkepentingan adalah subyek hukum material dalam perikatan. Pihak yang tidak berkepentingan adalah subyek hukum formil dalam perikatan.26 Dalam hal ini jelas Penggugat atau Debitur disini ialah subyek hukum material dalam perikatan. Karena Penggugat atau Debitur disini adalah seorang yang berkepentingan untuk diberikan haknya memperoleh prestasi dari Tergugat dan Turut Tergugat atau dalam hal ini dapat disebut sebagai Kreditur. Namun, baik sebagai subyek hukum materiil ataupun subyek hukum formil perikatan itu dapat menjadi subyek hukum materiil dama konsinyasi.27 Penggugat atau Debitur tersebut adalah subyek hukum materiil karena perikatan itulah yang hendak dihapuskan dengan konsinyansi ini. Penggugat adalah subyek yang tertaut dengan perikatan sebagai obyek materiil konsinyasi. Perikatan tersebut adalah sumber hubungan hukum antara subyek-subyek hukum materiil, yaitu debitur dengan kreditur atau Penggugat dengan Tergugat dan Turut Tergugat.

Berikutnya, terkait konsinyasi dalam pengadaan tanah, penulis menjadikan putusan kasus waduk kedung ombo yang saat terjadi masih berlakukannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975. Sehingga, Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut, prosedur pembebasan tanah adalah sebagai berikut:

a) Instansi yang memerlukan tanah harus mengajukan permohonan pembebasan hak atas tanah kepada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya,

                                                                                                                         

26 Kepentingan disini adalah dalam arti teknis hukum yaitu kepentingan terhadap si lawan dan obyek perikatan. Sebab, dapat terjadi seorang yang bertindak atas nama sendiri itu sebetulnya punya kepentigan (dalam arti sehari-hari) terhadapa si debitur. Katakanlah A membayar utang B kepada C, karena A jatuh cinta pada B dan berusaha merebut hati B. secara hukum, A tidak mempunyai kepentingan. A adalah subyek formal dalam perikatan. Bandingkan Subekti, Ibid., hlm. 65.

27 Dikatakan dapat, sebab dalam hak mengajukan perkara di muka pengadilan Pasal 123 HIR mensyaratkan kuasa khusus. Karena itu, apabila kuasa diberikan oleh si debitur itu tidak khusus, tidak dapatlah si kuasa

(15)

b) Setelah menerima permohonan, maka Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk mengadakan penelitian terhadap data/keterangan.

c) Dalam mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada diatasnya berdasarkan harga umum setempat.

d) Jika terdapat perbedaan taksiran ganti rugi diantara para anggota panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota. e) Pelaksanaan pembebasan tanah harus dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. f) Keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai besar/bentuknya ganti rugi tersebut

disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah dan para anggota yang turut mengambil keputusan.

g) Setelah menerima keputusan besar/bentuknya ganti rugi, maka instasi dan para pemegang hak atas tanah yang bersangkutan memberitahukan kepada Pantia Pembebasan Tanah tentang persetujuan atau penolakannya atas penentuan besar/bentuk ganti rugi yang telah ditetapkan itu. Jika terjadi penolakan, harus disertai pula dengan alasan-alasan penolakannya.

h) Panitia Pembebasan Tanah setelah menerima dan mempertimbangkan alasan penolakan tersebut, dapat mengambil sikap sebagai berikut:

a. Tetap kepada putusan semula.

b. Meneruskan surat penolakan dimaksud dengan disertai pertimbangan-pertimbangan kepada Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diputuskan.

i) Bilamana telah tercapai kata sepakat mengenai besar/bentuknya ganti rugi, maka dilakukan pembayaran ganti rugi sejumlah uang telah disetujui bersama dengan pembayaran ganti rugi itupula dilakukan penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnnya 4 orang anggota Panitia Pembebasan Tanah, diantaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan.

(16)

Sedangkan tahap pengadaan tanah yang diselenggarakan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2012, melalui tahapan:28

1. Perencanaan yang didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan priorotas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah instansi yang bersangkutan.

2. Persiapan yang dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi dengan melaksanakan:

a. Pemberitahuan rencana pembangunan kepada masyarakat pada rencana lokasi pembangunan

b. Pendataan awal lokasi rencana pembangunan pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah, yang data tersebut digunakan untuk Konsultasi Publik rencana pembangunan

c. Konsultasi Publik rencana pembangunan yang dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak. Kesepakatan lalu dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan. Apabila ada yang keberatan maka dilaksanakan Konsultasi Publik ulang dengan pihak yang keberatan. Apabila masih terdapat pihak yang keberatan setelah adanya Konsultasi Publik ulang, instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada gubernur setempat. Lalu gubernur membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan. Hasil kajian tim berupa rekomendasi, berdasarkan rekomdasi tersebut gubernur mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan itu. Dalam hal setelah adanya penetapan masih ada pihak yang keberatan, maka pihak yang berhak tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap penetapan tersebut.

3. Pelaksanaan pengadaan tanah kepada Lembaga Pertanahan meliputi:

a. Invetarisas dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah

b. Penilaian ganti kerugian                                                                                                                          

28 Arie Sukanti Hutagalung dkk, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Larasan, 2012), hlm. 223-228.

(17)

c. Musyawarah penetapan ganti kerugian yang hasil kesepakatannya menjadi dasar pemberian ganti kerugian. Apabila tidak terjadi kesepakatan, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat. Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian. Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung RI. Putusan Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang megajukan keberatan.

d. Pemberian ganti kerugian

Apabila terdapat pihak yang menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung, ganti kerugian dapat dititipkan oleh pengadilan negeri setempat.

Penitipan ganti kerugian juga dilakukan terhadap:

1) Pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau

2) Objek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian: a) Sedang menjasi objek perkara dipengadilan;

b) Masih dipersengketakan di pengadilan;

c) Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau d) Menjadi jaminan bank.

Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak telah dilaksanakan atau pemberian ganti rugi kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat buktinya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjasi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

4. Penyerahan hasil.

Demikian sedikit penjabaran perbedaan mengenai penitipan pembayaran dari Peraturan Menteri Dalam Negeri dengan Undang-undang mengenai Pengadaan Tanah. Namun, terlepas dari perbedaan tersebut, dilihat dari waktu terjadinya kasus dan peraturan perundang-undangan

(18)

yang berlaku mengatur pada saat itu, maka Peraturan Menteri Dalam Negeri tahun 1975 tersebut menjadi pisau analisis untuk membahas kasus ini, dengan tidak mengabaikan Undang-undang terbaru pada saat ini untuk menujukan perbandingannya.

Dari syarat-syarat yang ada dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut, jika dianalisis dalam Putusan Kasus Waduk Kedung Ombo dalam permasalahan mendasar mengenai ganti rugi, dinyatakan oleh para pemilik hak atas tanah bahwa ganti rugi Proyek Waduk Kedung Ombo yang ditetapkan secara sepihak dan jumlahnya sangat minim sehingga dari Mahkamah Agung sendiri membenarkan adanya penggunaan lembaga hukum konsinyasi uang kepada Pengadilan berdasarkan Pasal 1404 KUHPerdata.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Lembaga konsinyasi disediakan sebagai mekanisme pemenuhan suatu kewajiban hukum berdasarkan perjanjian yang sudah ada sebelumnya. Secara sistematik, lembaga ini tidak dapat berdiri sendiri. Lembaga konsinyasi hanya dapat terjadi apabila sebelumnya telah ada suatu hubungan hukum tertentu antara para pihak untuk melakukan pembayaran atau penyerahan suatu barang tertentu. Hukum acara perdata yang ada di Indonesia dalam HIR tidak memberikan pengaturan tentang acara konsinyasi, maka lembaga-lembaga hukum yang memberi pengaturan tentang prosedur acara tertentu sebagaimana yang terdapat dalam Rv dapat dipergunakan. Adapun prosedur beracara dalam hal konsinyasi dalam ketentuan Pasal 809 – 812 Rv yaitu, bila barang atau uang yang ditawarkan tidak diterima, maka debitur boleh menitipkannya di Pengadilan, asal memperhatikan apa yang diatur dalam Bab IV Buku III KUHPerdata. Kasus Konsinyasi Jual Beli dalam Putusan Nomor 527 PK/Pdt/2003, merupakan konsinyasi yang sesuai dengan syarat keabsahan konsinyasi, baik syarat materiil dan syarat formil serta prosedur konsinyasi yang diatur dalam Rv. Sebab, memang konsinyasi ialah suatu lembaga acara yang disediakan oleh undang-undang bagi debitur yang beritikad baik untuk melaksanakan kewajibannya dengan bantuan pejabat publik, yaitu pengadilan atau notaris.

2. Putusan Mahkamah Agung dalam Kasus Waduk Kedung Ombo, terdapat kesalahan penerapan hukum acara. terdapat gugatan pokok dan permohonan konsinyasi. Dalam

(19)

kasus ini Pengadilan Negeri salah menerapkan hukum karena menyatakan permohonan-permohonan konsinyasi sah dan berharga, padahal terjadi perselisihan antara kreditur (kelompok masyarakat) dengan debitur (pemerintah) mengenai pelaksanaan kewajiban hukum debitur. Oleh pemerintah, penetapan-penetapan sah dan berharganya konsinyasi itu kemudian dijadikan dasar beralihnya hak masyarakat atas tanah menjadi tanah negara. Hal yang terjadi dalam Kasus Waduk Kedung Ombo adalah penitipan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri telah ada sebelum didahului dengan kesediaan untuk melakukan pembayaran, namun telah dinyatakan sah dan berharga penitipan tersebut. Dalam perkara Kasasi, Mahkamah Agung membatalkan penetapan tersebut, padahal konsinyasi tersebut tidak menjadi pokok perkara dalam gugatan kreditur (masyarakat). Kemudian dinyatakan dalam pertimbangan hakim dalam putusan PK, bahwa hal tersebut adalah salah penerapan hukum. Karena dalam kasasi tersebut, gugatan konsinyasi tidak menjadi pokok perkara. Hakim tidak dapat menjatuhkan putusan tentang penawaran penitipan dan konsinyasi itu sebelum putusan dalam pokok perkara. Sehingga, berarti bahwa dalam hal penawaran dan konsinyasi dilakukan sementara hubungan hukum yang mendasari adanya penawaran dan konsinyasi itu dilakukan sekaligus dalam putusan mengenai dikabulkan atau tidaknya hubungan hukum yang dijadikan dasar adanya penawaran dan konsinyasi itu. Karena pada prinsipnya, konsinyasi hanya dibenarkan apabila tidak ada sengketa lagi tentang hubungan hukum yang mendasarinya. Pengaturan mengenai mekanisme konsinyasi dalam hal pengadaan tanah sejak diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 hingga diatur saat ini dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum tidak mengatur mengenai prosedur dan teknis mengenai hukum acara konsinyasi secara khusus. Sehingga, dalam hal hukum acara konsinyasi pada pengadaan Tanah masih harus merujuk pada hukum acara perdata mengenai konsinyasi yang diatur dalam Rv.

SARAN

Berdasarkan uraian tersebut, penulis mengemukakan saran sebagai berikut:

1. Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat tertinggi yang mempunyai kewenangan untuk memberikan penafsiran hukum pada tingkat terakhir, membuat suatu pedoman mengenai konsinyasi secara terperinci agar menjadi rujukan dalam hal praktik konsinyasi

(20)

kedepannya. Agar, tidak terjadi sesat pikir atau simpang siur terhadap pelaksanaan lembaga hukum konsinyasi. Baik konsinyasi dalam KUHPerdata maupun konsinyasi dalam hal Pengadaan Tanah.

2. Membuat suatu batasan dan pengaturan yang jelas terhadap konsinyasi yang dimaksudkan dalam Pengadaan Tanah dan kejelasan mengenai hukum acara konsinyasi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Hutagalung, Arie Sukanti, dkk. Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, cet. 1, Jakarta: Pustaka Larasan, 2012.

Setiawan, R. ,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, cet.4. Bandung: Bina Cipta, 1987. Subekti. Hukum Perjanjian. cet 17. Jakarta: Intermasa, 1998.

Sutedi, Adrian. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, cet 1. Bandung: PT Alumni, 2006

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio, Jakarta: Pradya Paramita, 1999.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta: UI Press, 1986.

Pratiwi, Shinta. Penyelesaian Masalah Penentuan Besar Ganti Rugi Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Melalui Konsinyasi, Jakarta: Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Pertemuan pertama membahas tentang gerak melingkar. Pada pertemuan pertama, sebaiknya guru mempersiapkan materi yang akan diajarkan, semisal gambar mesin jam analog,

Sehingga hipotesis 4 dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa ” Diduga komitmen organisasi, budaya organisasi dan kompensasi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap

Oleh karena itu pada persamaan regresi untuk hipotesis pertama dan kedua, selain menggunakan variabel bebas kualitas disclosnre (DISC) juga akan menggunakan tiga variabel kontrol

Dalam masa yang sama, terdapat hubungan yang signifikan dan agak tinggi antara motivasi belajar kursus Penghayatan Etika dan Peradaban dengan tanggapan pelajar terhadap

ž Seorang pemimpin dapat saja menunjukkan tipe kepemimpinan yang berbeda dalam situasi yang berbeda... KEPRIBADIAN PENGALAMAN HARAPAN PEMIMPIN HARAPAN DAN PERILAKU ATASAN

Hampir tidak terukurnya jumlah akumulasi logam berat Pb dari bulan pertama ke bulan kedua pemeliharaan pada setiap organ ikan nila merah, diikuti dengan peningkatan laju

dan kakek dari pihak ibu korban ...51 Tabel 4.10 Kemiripan alel masing-masing loki korban ...55 Tabel 4.11 Perbandingan Hasil pengukuran kemiripan Profil DNA ...56 Tabel 4.12

Fakta lapangan yang ditemukan adalah responden yang memiliki motivasi yang cukup disebabkan oleh kenaikan pangkat yang tepat waktu, lingkungan kerja dimana