• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Ternak Kerbau Populasi Ternak Kerbau di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Ternak Kerbau Populasi Ternak Kerbau di Indonesia"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ternak Kerbau

Kerbau termasuk dalam sub-famili Bovinae, genus Bubalus. Kerbau domestik (Bubalus bubalus) terbagi menjadi dua kelompok yaitu kerbau Rawa (swamp buffalo) dan kerbau Sungai (river buffalo). Kerbau Rawa dan kerbau Sungai mempunyai karakteristik yang berbeda. Kerbau Rawa memiliki tanduk yang melengkung ke belakang, sedangkan kerbau Sungai memiliki tanduk yang melingkar ke bawah. Kerbau Sungai merupakan kerbau penghasil susu. Produksi susu seekor ternak kerbau Sungai mencapai 6-7 liter/hari. Kerbau Rawa umumnya digunakan sebagai ternak pekerja dan penghasil daging. Kerbau Rawa tidak dapat digunakan sebagai ternak penghasil susu karena hanya mampu menghasilkan susu sebanyak 1-1,5 liter/hari (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

Kerbau Rawa jantan dan betina memiliki umur pubertas yang berbeda. Kerbau Rawa jantan lebih cepat mengalami pubertas daripada kerbau Rawa betina. Rata-rata seekor kerbau Rawa jantan akan mengalami pubertas pada umur 24,77 bulan, sedangkan kerbau Rawa betina mengalami pubertas di umur 27,23 bulan. Kerbau Rawa mulai beranak pada umur 3,9 tahun dan memiliki masa kebuntingan sekitar 11 bulan (Muthalib, 2006). Jarak beranak kerbau Rawa adalah 20-24 bulan. Kerbau Rawa memiliki pertambahan bobot badan harian sekitar 0,3-0,9 kg dengan persentase karkas < 50% (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Populasi Ternak Kerbau di Indonesia

Populasi ternak kerbau di Indonesia mencapai 2.010.007 ekor pada tahun 2010 dan tersebar di seluruh provinsi. Persebaran populasi ternak kerbau ini cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Angka pertumbuhan populasi ternak kerbau di Indonesia pada tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Tabel 1. Meskipun mengalami peningkatan, pertumbuhan populasi kerbau dinilai tidak berkembang dengan semestinya. Hal tersebut disebabkan karena kerbau memiliki angka kelahiran yang rendah, dewasa tubuh yang lambat serta daya tahan tubuh terhadap panas yang rendah (Indraningsih et al., 2006).

(2)

Tabel 1. Penyebaran Populasi Kerbau di Indonesia pada Tahun 2006-2010 Provinsi 2006 2007 2008 2009 2010 Aceh 371,143 390,334 280,662 290,772 308,179 Sumut 261,794 189,167 155,341 156,210 157,084 Sumbar 211,531 192,148 196,854 202,997 221,459 Riau 51,791 50,362 49,116 51,697 52,674 Jambi 72,117 72,206 72,008 73,852 76,133 Sumsel 86,777 90,160 77,271 75,217 83,167 Bengkulu 48,693 51,255 29,105 32,038 35,400 Lampung 36,408 38,991 40,016 42,346 42,721 Babel 756 759 815 982 985 Kepri 0 252 24 0 0 DKI Jakarta 143 83 33 12 12 Jabar 149,444 149,030 145,847 142,465 143,890 Jateng 112,963 109,004 102,591 105,506 107,616 DI Yogya 4,990 4,761 4,607 4,312 4,363 Jatim 54,198 53,364 49,700 49,698 49,700 Banten 146,453 144,944 153,004 151,976 156,670 Bali 6,775 5,988 4,474 4,122 4,162 NTB 155,166 153,822 161,450 155,307 163,702 NTT 142,257 144,981 148,772 150,403 153,409 Kalbar 4,079 2,222 2,278 1,772 1,808 Kalteng 16,560 17,100 17,186 5,740 5,797 Kalsel 41,435 43,096 43,971 44,603 45,789 Kaltim 8,810 9,091 11,691 13,401 13,454 Sulut 27 0 0 0 0 Sulteng 4,491 4,181 4,234 4,256 4,290 Sulsel 129,565 120,003 130,109 124,141 124,543 Sultra 7,613 6,951 7,708 7,031 7,172 Gorontalo 0 0 7 7 18 Sulbar 16,157 14,833 14,920 13,028 15,058 Maluku 23,164 25,303 26,012 27,565 29,211 Malut 16 68 174 75 75 Irjabar 0 1 1 0 0 Papua 1,290 1,319 1,365 1,396 1,536 Indonesia 2,166,606 2,085,779 1,930,716 1,932,927 2,010,077

Sumber: Direktorat Jendral Peternakan (2010)

Pertumbuhan populasi kerbau yang cenderung meningkat, menunjukkan bahwa kerbau memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai ternak penghasil daging. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging merah di Indonesia. Populasi kerbau di Jawa yang cenderung menurun, disebabkan karena tingginya pemotongan kerbau yang tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitasnya

(3)

(Indraningsih et al., 2006). Muljadi et al. (1980) menyatakan bahwa di Pulau Jawa, sebagian besar peternak kerbau hanya menggunakan kerbau sebagai ternak pekerja, penghasil pupuk serta sebagai tabungan saja.

Kelebihan dan Kelemahan Ternak Kerbau

Kerbau memiliki peranan dalam pemenuhan kebutuhan daging di Indonesia, namun kontribusi kerbau sebagai ternak penghasil daging di Indonesia masih relatif kecil. Meningkatnya impor daging sapi dan bakalan ke Indonesia menyebabkan terjadinya keterbatasan penyediaan oleh negara eksportir, sehingga terjadi kenaikan harga sapi bakalan impor untuk penggemukan. Harga bobot hidup ternak kerbau yang lebih murah menjadi salah satu alasan kerbau sebagai ternak alternatif dalam kegiatan penggemukan (Anggraeni dan Triwulanningsih, 2007).

Tingkat konsumsi daging kerbau di Indonesia masih rendah. Hal ini disebabkan daging yang dihasilkan relatif alot. Umumnya ternak kerbau adalah ternak pekerja. Pemotongan ternak kerbau dilakukan ketika ternak berumur tua, sehingga daging yang dihasilkan lebih alot dan kurang diminati konsumen. Daging kerbau memiliki struktur, komposisi kimia, nilai nutrisi, palatabilitas dan karkas yang hampir sama dengan daging sapi, perbedaan antara daging kerbau dengan daging sapi terletak pada lemakya. Kandungan lemak daging kerbau adalah sekitar 2,42 gram/100 gram, sedangkan daging sapi mengandung sekitar 10,15 gram pada setiap 100 gram daging. Kandungan lemak pada daging kerbau yang lebih sedikit, menyebabkan rendahnya kolesterol yang terkandung dalam daging kerbau. Hal ini menunjukkan bahwa daging kerbau dapat digunakan sebagai alternatif pangan sehat (Usmiati dan Priyanti, 2006).

Kerbau lokal memiliki potensi yang cukup besar sebagai ternak penghasil daging. Kerbau memiliki keunggulan seperti mudah menyesuaikan diri, mampu memanfaatkan pakan yang mengandung serat kasar tinggi dan bermutu rendah dibandingkan sapi. Kemampuan cerna serat kasar kerbau 5% lebih tinggi daripada sapi (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

Priyanti et al. (2005) menyatakan bahwa kerbau merupakan ternak yang mampu bertahan hidup dalam lingkungan yang cukup keras sepanjang tersedia kubangan dan dapat dikembangkan dalam pola ekstensif maupun terintegrasi secara insitu dengan budidaya tanaman lain seperti pertanian, perkebunan, hutan tanaman

(4)

industri dan lain sebagainya. Kerbau dapat berkembang dengan baik di daerah agroekosistem yang bervariasi, seperti di padang penggembalaan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki iklim kering. Kerbau juga mampu berkembang dengan baik di wilayah persawahan irigasi maupun non irigasi, serta di daerah pegunungan dan dataran rendah yang berawa-rawa di Kalimantan Selatan. Kemampuan kerbau untuk dapat berkembang dengan baik di berbagai variasi agroekosistem tersebut menunjukkan bahwa kerbau memiliki daya adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

Ternak kerbau juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya yaitu ketidaktahanan terhadap udara yang panas. Pola pengadaptasian kerbau terhadap udara panas adalah dengan berkubang di lumpur (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Ternak kerbau tetap memerlukan tempat untuk berkubang ketika dipelihara secara intensif (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Hal ini disebabkan oleh kulit kerbau yang tebal, berwarna keabu-abuan, berambut hitam serta hanya memiliki sedikit kelenjar keringat sehingga kurang tahan terhadap cuaca yang panas. Kebiasaan berkubang kerbau berfungsi untuk membantu termoregulasi tubuh, agar fungsi fisiologi tubuh kerbau dapat berjalan dengan normal ketika cuaca panas. Kebiasaan berkubang kerbau sangat berpengaruh terhadap pertambahan berat badan kerbau (Poerwoto dan Dania, 2006).

Populasi kerbau memiliki laju perkembangan yang lambat. Lambatnya laju perkembangan populasi kerbau ini disebabkan oleh produksi dan produktivitas ternak kerbau yang rendah, angka kelahiran yang rendah dan kematian anak pra sapih yang tinggi mencerminkan rendahnya produksi dan produktivitas kerbau. Permasalahan ini dipengaruhi oleh sifat alami ternak kerbau yaitu memiliki pertumbuhan yang lambat, angka reproduksi rendah, masa kebuntingan yang lebih panjang daripada sapi, serta daya tahan tubuh yang rendah terhadap penyakit. Kerbau memiliki umur dewasa kelamin yang lebih lambat daripada sapi yaitu sekitar tiga tahun dan calving interval sekitar dua tahun (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Selain itu keterbatasan bibit unggul, kualitas pakan yang rendah, kurangnya modal dan pengetahuan petani terhadap reproduksi kerbau, serta terbatasnya ketersediaan teknologi tepat guna menjadi faktor lain penyebab rendahnya tingkat produksi dan produktivitas ternak kerbau (Siregar dan Diwyanto, 1995).

(5)

Sistem Pemeliharaan Ternak kerbau

Pemeliharaan kerbau dengan sistem intensif belum banyak dilakukan di Indonesia. Pada umumnya, kerbau dipelihara dengan cara digembalakan di padang rumput, sehingga hijauan menjadi makanan utamanya. Hal tersebut menandakan bahwa pakan ternak kerbau tidak berbeda dengan pakan sapi, yaitu terdiri dari hijauan serta limbah hasil pertanian atau perkebunan (Indraningsih et al., 2006).

Kondisi lahan yang semakin sempit menimbulkan permasalahan karena menyebabkan terbatasnya ketersediaan pakan kerbau yang digembalakan. Petani kecil mengatasi permasalahan tersebut dengan memanfaatkan jerami padi, namun jerami padi tidak cukup baik untuk digunakan sebagai pakan ternak kerbau, karena kandungan protein dan karbohidratnya rendah (Dania dan Poerwoto, 2006).

Kerbau yang dipelihara secara intensif cenderung menggunakan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakannya. Namun penggunaan limbah tersebut belum dilakukan secara optimal karena peternak tidak mengetahui kualitas serta kandungan nutrisi dari limbah yang digunakan (Indraningsih et al., 2006). Produktivitas seekor ternak tergantung pada pakan yang diberikan, sehingga pemberian pakan harus mempertimbangkan kualitas, kandungan nutrisi serta ketersediaannya (Indraningsih et al., 2006).

Kerbau merupakan ternak potensial untuk dijadikan ternak pedaging. Upaya peningkatan produktivitas kerbau dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen pakan dan manajemen pemeliharaan. Perbaikan kualitas pakan diharapkan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan ternak kerbau. Pemberian pakan serat dan konsentrat berkualitas mampu memberikan laju PBBH hingga 1 kg/hari (Anggraeni dan Triwulanningsih, 2007).

Hendratno et al. (1981) melaporkan bahwa pemberian pakan tambahan berupa bungkil kedelai sebanyak 1,75 kg/ekor/hari pada kerbau jantan umur 2,5-3 tahun menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,75 kg/ekor/hari. Pemberian dedak halus sebanyak 2 kg dan 4 kg/ekor/hari menghasilkan pertambahan bobot badan masing-masing sebesar 0,7 dan 0,78 kg/ekor/hari.

Sapi Peranakan Ongole (PO)

Sapi Peranakan Ongole (PO) populasinya mendominasi sapi potong di Indonesia. Potensi biologik dan reproduksi sapi PO memiliki variasi yang cukup

(6)

besar. Sapi PO memiliki respon yang baik terhadap perubahan dan perbaikan pakan. Nilai rata-rata yang pernah dilaporkan untuk pertambahan bobot badan harian sapi PO antara lain 0,62 kg (prasapih), 0,24 kg (pascasapih), 0,34-0,37 kg (umur 4-12 bulan), 0,31-0,40 kg (umur 13-24 bulan), dan 0,44-0,91 kg (umur 2 tahun) (Astuti, 2004).

Sapi PO adalah sapi yang diperoleh dari persilangan sapi Sumba Ongole dan Sapi Jawa. Sapi PO memiliki karakteristik meliputi ukuran tubuh yang besar dan panjang, berwarna putih (namun punuk sampai leher berwarna putih keabu-abuan dan lututnya berwarna hitam), memiliki kepala yang panjang, tanduknya pendek dan tumpul yang pada bagian pangkalnya berukuran besar, selain itu sapi PO juga memiliki gelambir yang lebar, bergantung, dan berlipat yang tumbuh sampai tali pusar (Payne and Hodges, 1997).

Pertumbuhan Ternak

Pertumbuhan adalah serangkaian perubahan ukuran pada berat hidup ternak, bentuk ternak, dimensi linear dan komposisi tubuh ternak, serta perubahan komponen-komponen tubuh ternak yang meliputi otot, lemak, tulang dan organ. Pertumbuhan seekor ternak adalah kesatuan dari pertumbuhan komponen-komponen tubuhnya. Pertumbuhan komponen-komponen pada tubuh ternak memiliki laju yang berbeda. Perbedaan laju pertumbuhan komponen-komponen pada tubuh ternak, menyebabkan diferensiasi individual sel dan organ. Diferensiasi menyebabkan perbedaan morfologis atau kimiawi seperti perubahan sel-sel embrio menjadi sel-sel otot, tulang, hati, jantung, ginjal, otak,saluran pencernaan, organ reproduksi serta alat pernafasan (Soeparno, 2005).

Pertumbuhan memiliki tiga proses yang utama. Pertama adalah proses dasar pertumbuhan seluler. Pertumbuhan seluler meliputi hyperplasia serta hipertrofi. Hiperplasia adalah pertambahan atau produksi sel-sel baru. Hipertrofi merupakan pembesaran sel serta pertambahan material struktural nonprotoplasmik, contohnya yaitu deposisi lemak, glikogen, plasma darah dan kartilago (Hammond et al., 1984).

Perkembangan merupakan kemajuan gradual kompleksitas yang lebih rendah menjadi kompleksitas yang lebih tinggi. Goodwin (1977) mengartikan perkembangan sebagai perubahan bentuk atau konformasi tubuh. Periode

(7)

pertumbuhan dan perkembangan dibedakan menjadi periode prenatal (sebelum lahir) dan periode postnatal (setelah lahir).

Periode pertumbuhan prenatal terbagi atas tiga periode, yaitu periode ovum, embrio dan fetus, sedangkan periode pertumbuhan postnatal dibedakan menjadi dua periode, yaitu sebelum penyapihan dan sesudah penyapihan. Laju pertumbuhan postnatal mula-mula terjadi sangat lambat, lalu cepat, dan akan berangsur melambat kembali, kemudian pertumbuhan akan berhenti ketika ternak mencapai kedewasaan (Swatland, 1984).

Pertumbuhan memiliki tiga proses yang utama. Pertama adalah proses dasar pertumbuhan seluler. Pertumbuhan seluler meliputi hyperplasia serta hipertrofi. Hiperplasia adalah pertambahan atau produksi sel-sel baru. Hipertrofi merupakan pembesaran sel serta pertambahan material struktural nonprotoplasmik, contohnya yaitu deposisi lemak, glikogen, plasma darah dan kartilago (Hammond et al., 1984).

Ternak dalam satu bangsa memiliki perbedaan dalam merespon faktor-faktor yang berasal dari lingkungan seperti nutrisional, fisis dan mikrobiologis. Perbedaan respon tersebut mengakibatkan perbedaan kadar laju pertumbuhan. Perbedaan laju pertumbuhan di antara bangsa ternak dan individu ternak dalam suatu bangsa disebabkan karena ukuran tubuh dewasa yang berbeda. Bangsa ternak yang besar akan lahir dengan bobot lebih berat serta memiliki pertumbuhan yang lebih cepat daripada bangsa ternak yang kecil (Berg dan Butterfield, 1976).

Nutrisi adalah faktor yang memberikan pengaruh besar pada pertumbuhan. Pemberian pakan pada ternak harus memperhatikan komposisi nutrisinya. Sistem pemeliharaan intensif harus menggunakan pakan yang memiliki kandungan protein yang tinggi dan kandungan lemak yang rendah (Parakkasi 1999).

Penelitian yang dilakukan Hafid (2004) menunjukkan bahwa arah pertumbuhan alometri potongan komersial karkas dari dua bangsa sapi yaitu ACC dan BX relatif sama. Pola pertumbuhan diawali dari distal kaki mengarah ke badan (proksimal), dimana pada bagian tungkai kaki (shin) depan menuju ke pangkal lengan (blade), dada (brisket) dan pundak (chuck), sedangkan dari tungkai kaki belakang (shank) menuju abdomen (flank), pangkal paha (rump) terus kearah pinggang (loin). Pada bagian dorsal tubuh pola pertumbuhan diawali dari arah leher dan punggung (chuck) menuju punggung (cuberoll) dan terhenti di pinggang (loin).

(8)

Loin adalah bagian tubuh yang paling lambat bertumbuh sedang yang paling awal bertumbuh adalah tungkai kaki dan kepala (cranium).

Karakteristik Karkas

Usaha pemotongan ternak pedaging menghasilkan komponen karkas dan komponen non karkas. Komponen karkas adalah komponen yang bernilai ekonomi lebih tinggi daripada komponen non karkas, sesuai dengan tujuan pemotongan ternak, yaitu untuk mendapatkan daging. Nilai komersil karkas sangat dipengaruhi oleh proporsi otot, tulang dan lemak (Berg dan Butterfield, 1976).

Tujuan utama dari penggemukan ternak adalah memperoleh ternak dengan bobot karkas yang optimal. Kuantitas dan kualitas karkas yang baik dari seekor ternak dapat diketahui dengan melakukan penilaian karkas. Penilaian karkas dilakukan untuk mengidentifikasi jumlah daging yang terdapat pada karkas. Tujuan lain dari usaha penggemukan adalah untuk memperbaiki kualitas karkas. Kualitas karkas adalah nilai pada karkas yang dihasilkan oleh seekor ternak terhadap suatu kondisi pemasaran. Nilai karkas dari seekor ternak ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu berat karkas, jumlah total daging yang dihasilkan, serta kualitas daging yang dihasilkan. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas karkas diantaranya adalah deposit lemak dalam karkas. Lama proses penggemukan berhubungan dengan pertambahan bobot badan, grade,dan komposisi karkas ternak. Hubungan tersebut yaitu semakin lama penggemukkan maka pertambahan bobot badan semakin turun, tetapi persentase karkas meningkat dan mencapai grade prime minimal mencapai grade standart. Lama penggemukkan juga berpengaruh pada peningkatan kadar lemak dalam karkas (Parakkasi, 1999).

Kualitas karkas dipengaruhi oleh faktor sebelum pemotongan dan faktor setelah pemotongan. Genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan, bahan aditif dalam pakan (hormon, antibiotik dan mineral), dan stress adalah faktor-faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas karkas. Faktor setelah pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas karkas meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode penyimpanan dan preservasi (Soeparno, 2005).

(9)

Bobot Potong dan Bobot Karkas

Bobot potong merupakan bobot ternak yang dihitung ketika ternak akan dipotong. Bobot karkas adalah bobot ternak yang telah dipotong tanpa darah, kulit, visera, kepala, ekor dan shank. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Nuraini et al. (2010) bobot potong dan bobot karkas dipengaruhi oleh umur. Pada kerbau jantan umur 2-4 tahun, bobot potong dan bobot karkasnya lebih tinggi daripada kelompok umur dibawah 2 tahun.

Bobot karkas dapat didasarkan pada berat segar atau estimasi berat karkas yang dihitung dari berat karkas dingin (layu) 1,02. Penyusutan berat karkas selama pelayuan diestimasikan sekitar 2%. Karkas yang kualitasnya lebih tinggi mempunyai perkembangan otot yang baik dan deposisi lemak yang memadai didalan otot intercostals (Swatland, 1984).

Persentase Karkas

Persentase karkas merupakan perbandingan antara berat karkas dengan berat badan dikalikan 100%. Persentase karkas terhadap berat hidup biasanya meningkat sesuai dengan peningkatan berat hidup, tetapi persentase bagian non karkas seperti kulit, darah, lambung dan usus kecil dan hati menurun. Ternak muda sebagian besar tersusun dari bagian-bagiantubuh tersebut dibandingkan dengan ternak tua dan lebih besar. Umumnya, karkas sapi memiliki presentase sebesar 50% -60% dari bobot potongnya. Kerbau memiliki persentase karkas yang relatif lebih kecil dibandingkan sapi yaitu kurang dari 50% (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Daging

Daging pada setiap bagian tubuh ternak memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan karakter daging memberikan pengaruh pada sifat produk olahan daging yang dihasilkan. Daging adalah komponen utama karkas. Karkas juga tersusun dari lemak jaringan adipose, tulang, tulang rawan, jaringan ikat dan tendo. Komponen-komponen tersebut menentukan ciri-ciri kualitas dan kuantitas daging. Estimasi jumlah daging yang dihasilkan dari suati karkas disebut kualitas hasil (Usmiati dan Priyanti, 2006).

(10)

Potongan Komersial Karkas

Karkas yang berasal dari ternak ruminansia besar seperti kerbau dan sapi, memiliki ukuran yang besar dan bobot yang berat. Proses transportasi karkas dalam keadaan utuh tidak praktis untuk dilakukan. Penanganan terhadap transportasi karkas kerbau dan sapi memerlukan metode tertentu untuk mempermudah pelaksanaannya, yaitu dengan cara membelah karkas menjadi empat bagian. Seperempat bagian depan karkas disebut forequarter, sedangkan seperempat bagian belakangnya disebut hindquarter. Potongan eceran karkas diperlukan untuk mempermudah pemasaran. Potongan primal karkas sapi dari bagian seperempat karkas depan terdiri dari bahu (chuck) termasuk leher, rusuk, paha depan, dada (breast) yang dibedakan menjadi dua yaitu dada depan (brisket) dan dada belakang (blade). Bagian seperempat karkas belakang terdiri dari paha (round) dan paha atas (rump), loin (sirloin dan tenderloin), serta flank (Soeparno, 2005).

Bagian seperempat karkas depan (forequarter) dan seperempat karkas belakang (hindquarter) diperoleh dengan memisahkan rusuk 12 dan 13. Rusuk terakhir termasuk ke dalam bagian seperempat karkas belakang. Pemisahan potongan-potongan primal seperempat karkas depan dan seperempat karkas belakang dilakukan dengan menghitung tujuh vertebral central kearah depan (dalam posisi karkas tergantung ke arah bawah) dari perhubungan sacrallumbar. Bagian seperempat karkas depan dan seperempat belakang dipisahkan dengan pemotongan otot-otot intercostals dan abdominal mengikuti bentuk melengkung dari rusuk ke 12. Bagian bahu dipisahkan dari rusuk dengan memotongan secara tegak lurus melalui vertebral column dan otot intercostals atau antara rusuk ke-lima dan ke-enam. Rusuk dari dua dada belakang dipisahkan dengan membuat potongan dari anterior ke posterior. Bahu dari dada depan (brisket) dipisahkan dengan memotong tegak lurus rusuk ke lima, kira-kira arah proximal terhadap tulang siku (olecranon) (Soeparno, 2005).

Potongan primal karkas bagian seperempat belakang diawali dengan memisahkan ekses lemak didekat pubis dan di bagian posterior otot abdominal. Flank dipisahkan dengan cara memotong ujung distal tensor fascia lata, anterior dari rectus femoris kearah rusuk ke 13 (kira-kira 20 cm dari vertebral column). Bagian paha (round) dipisahkan dari paha atas (rump) dengan memotong melalui bagian

(11)

distal terhadap ichium kira-kira berjarak 1 cm, sampai bagian kepala dari tulang femur, kemudian paha atas dipisahkan dari sirloin dengan memotong antara vertebral sacral ke empat dan ke lima dan berakhir dibagian ventral terhadap acetabulum pelvis. Sirloin dipisahkan dari shortloin dengan suatu potongan tegak lurus terhadap vertebral column dan melalui vertebral lumbar, antara lumbar ke-lima dan ke-enam (Soeparno, 2005).

Minyak Ikan Lemuru

Maryana (2002) menyatakan bahwa minyak ikan lemuru (sardinella longiseps) merupakan hasil samping pada industri pengalengan ikan lemuru yang memiliki potensial sebagai sumber asam lemak tak jenuh. Minyak ikan lemuru mengandung konsentrasi EPA (% b/b dari total asam lemak) lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak essensialnya (EPA 7,8% b/b vs asam stearat 0,9% b/b, asam oleat 2,1% b/b, asam linoleat 0,3% b/b, asam linolenat 0,2% b/b dan DHA 3,1% b/b) (Tasse, 2010). Kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan lemuru adalah sekitar 85,61%. Manfaat penambahan lemak dalam pakan ruminansia adalah sebagai sumber asam lemak esensial, meningkatkan jumlah energi pada ransum, meningkatkan palatabilitas ransum dan menurunkan produksi metan dalam rumen serta memperbaiki rasio asetat dan propionat. Peningkatan palatabilitas ransum akan meningkatkan total konsumsi ransum pada ternak. Penurunan produksi metan di dalam rumen, akan meningkatkan efiensi penggunaan energi (Parakkasi, 1999).

Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

Bahan dasar dalam pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) adalah minyak ikan lemuru. CGKK dibuat dengan dengan mencampurkan minyak ikan lemuru dengan larutan asam klorida (HCl). Larutan HCl (1:1,25 b/v) akan menghidrolisis minyak ikan. Hidrolisis asam merupakan hidrolisis yang digunakan dalam pembuatan CGKK. Hidrolisis asam bertujuan membentuk asam lemak bebas, Asam lemak tak jenuh bebas dapat terbentuk akibat proses oksidasi. Keunggulan dari hidrolisis asam adalah waktu dalam pembentukan asam lemak bebas yang lebih cepat sehingga asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak ikan lemuru tidak banyak teroksidasi. Agar tidak mudah teroksidasi maka hidrolisis asam minyak ikan diberi tambahan larutan KOH. Hidrolisis asam minyak ikan tersebut akan

(12)

menghasilkan garam karboksilat. Garam karboksilat yang telah terbentuk kemudian dicampur dengan onggok dengan perbandingan dan dikeringkan di dalam oven yang bersuhu 32 oC sampai kadar airnya 15% (Tasse, 2010).

Gambar

Tabel 1. Penyebaran Populasi Kerbau di Indonesia pada Tahun 2006-2010  Provinsi  2006  2007  2008  2009  2010  Aceh  371,143  390,334  280,662  290,772  308,179  Sumut  261,794  189,167  155,341  156,210  157,084  Sumbar  211,531  192,148  196,854  202,997  221,459  Riau  51,791  50,362  49,116  51,697  52,674  Jambi  72,117  72,206  72,008  73,852  76,133  Sumsel  86,777  90,160  77,271  75,217  83,167  Bengkulu  48,693  51,255  29,105  32,038  35,400  Lampung  36,408  38,991  40,016  42,346  42,721  Babel  756  759  815  982  985  Kepri  0  252  24  0  0  DKI Jakarta  143  83  33  12  12  Jabar  149,444  149,030  145,847  142,465  143,890  Jateng  112,963  109,004  102,591  105,506  107,616  DI Yogya  4,990  4,761  4,607  4,312  4,363  Jatim  54,198  53,364  49,700  49,698  49,700  Banten  146,453  144,944  153,004  151,976  156,670  Bali  6,775  5,988  4,474  4,122  4,162  NTB  155,166  153,822  161,450  155,307  163,702  NTT  142,257  144,981  148,772  150,403  153,409  Kalbar  4,079  2,222  2,278  1,772  1,808  Kalteng  16,560  17,100  17,186  5,740  5,797  Kalsel  41,435  43,096  43,971  44,603  45,789  Kaltim  8,810  9,091  11,691  13,401  13,454  Sulut  27  0  0  0  0  Sulteng  4,491  4,181  4,234  4,256  4,290  Sulsel  129,565  120,003  130,109  124,141  124,543  Sultra  7,613  6,951  7,708  7,031  7,172  Gorontalo  0  0  7  7  18  Sulbar  16,157  14,833  14,920  13,028  15,058  Maluku  23,164  25,303  26,012  27,565  29,211  Malut  16  68  174  75  75  Irjabar  0  1  1  0  0  Papua  1,290  1,319  1,365  1,396  1,536  Indonesia  2,166,606  2,085,779  1,930,716  1,932,927  2,010,077  Sumber: Direktorat Jendral Peternakan (2010)

Referensi

Dokumen terkait

Kenabian merupakan persoalan yang bersumber dari Allah. Karena itu, tidak seorangpun yang mengetahuinya dengan baik. Nabi sebagai penerima wahyu atau

ICZM (Integrated Coastal Zone Management) merupakan suatu pendekatan yang komprehensif yang dikenal dalam pengelolaan wilayah pesisir, berupa kebijakan yang terdiri

Obat utama yaitu obat kronis yang diresepkan oleh Dokter Spesialis/Sub Spesialis di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan dan tercantum pada Formularium Nasional

Resistensi masyarakat Bali tidak akan berhenti ketika SK Reklamasi telah dicabut, tetapi dengan kepekaan sosial yang telah dimiliki, elemen masyarakat Bali berpeluang

Di dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang seperti yang sudah disebutkan di atas

Diagram alir dalam proses simulasi reservoar dimulai dari parameter yang diperlukan hasil modeling geologi reservoir (3D property), pengolahan data

Dapatan kajian ini juga menunjukkan tiada perbezaan yang signifikan di antara persepsi pelajar pendidikan berterusan dan persepsi kakitangan PPB terhadap keberkesanan e-sppb.. Sistem