• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ternak Babi

Babi merupakan hewan monogastrik yang memiliki kesanggupan dalam mengubah bahan makanan secara efisien apabila ditunjang dengan kualitas ransum yang memadai. Ditinjau dari pola makanannya, babi termasuk hewan omnivora, yaitu hewan pemakan segala jenis pakan, baik yang berasal dari binatang atau tumbuh–tumbuhan. Karena pola makannya yang dapat memanfaatkan berbagai jenis sumber pakan tersebut, babi dapat dipelihara secara ekstensif dan diberbagai tempat, dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber pakan setempat. Bahkan karena kemampuannya dalam mencerna berbagai jenis pakan, tidak jarang babi diberi makan sisa–sisa makanan manusia atau berbagai jenis limbah. Dengan demikian dikatakan bahwa pemeliharaan ternak babi relatif lebih mudah dilakukan bila ditinjau dari segi penyediaan pakannya. Selain itu, babi mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kondisi iklim yang beragam (Ardana dan Putra, 2008). Babi berdasarkan jenisnya dapat dikelompokkan menjadi : sus vitatus, sus scrofa yang tersebar di seluruh kawan hutan di Indonesia dan sus barbatus (babi berjenggot) hanya terdapat di beberapa daerah seperti Sumatera, Kalimantan dan Papua (Regan, 2009). Sedangkan babi yang dipelihara saat ini berasal dari babi hutan.

Ditinjau dari segi produktifitas, babi merupakan hewan yang prolifik, yaitu mampu menghasilkan banyak anakan dalam setahun. Kondisi pemeliharaan

(2)

ternak pada umumnya dan babi pada khususnya, untuk di Indonesia, tampaknya belum memadai untuk tercapainya produktifitas yang optimum, walaupun ternak babi yang dipelihara dewasa ini sudah dapat dikategorikan sebagai babi ungul yang didatangkan (diimpor) dari luar negeri, seperti babi Landrace, Saddleback, Yorkshire, Duroc dan lain sebagainya (Kanisius, 1985). Beberapa jenis penyakit pada babi khususnya penyakit parasiter oleh cacing masih banyak ditemukan di lapangan, antara lain Nematodiosis. Penyakit ini disebabkan oleh cacing dari klas nematoda atau cacing gilig. Infeksi cacing ini menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi, karena menyebabkan pertumbuhan ternak menjadi tidak optimal (Silalahi dan Sinaga, 2010).

Program pencegahan penyakit sangat diperlukan agar babi bebas dari infeksi khususnya parasit. Seunggul apapun ternak yang dipelihara serta sebaik apapun manajemen pemeliharaannya, semuanya itu akan kurang bila aspek kesehatan hewan kurang diperhatikan, dalam artian manajemen pencegahan penyakit tidak dilaksanakan sepatutnya oleh peternak (Ardana dan Putra, 2008).

2.2 Sistem Pemeliharaan Ternak Babi di Bali

Sistem pemeliharaan ternak babi dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu sistem pemeliharaan tradisional, semi intensif dan intensif (Kanisius, 1981). Sistem pemeliharaan tradisional dan semi intensif adalah sistem pemeliharaan yang paling umum dilakukan oleh masyarakat di Bali (Yasa, et al., 2005).

(3)

Sistem pemeliharaan tradisional adalah sistem pemeliharaan yang dilakukan secara sederhana. Pemberian pakan babi pada sistem pemeliharaan tradisional ini pada umumnya berasal dari limbah pertanian dan industri turunan dari pertanian itu sendiri, serta limbah rumah tangga. Babi yang dipelihara secara tradisional biasanya di ikat di areal belakang pekarangan rumah. Pemberian pakan tidak teratur dan biasanya ditempatkan pada palung atau tempat pakan yang mudah dipindah-pindahkan serta kurang terjaga kebersihannya. Dalam sistem pemeliharaan semi intensif ternak dikandangkan pada kandang permanen dengan lantai dan dinding kandang yang terbuat dari semen dan atapnya dari seng atau asbes. Cara pemeliharaan dan ransum pakan yang diberikan belum tersusun dengan baik dalam pemenuhan gizi serta tidak adanya pemberian obat cacing dan vaksin. Sedangkan pada peternakan dengan sistem pemeliharaan intensif, manajemen yang diterapkan lebih baik dari sistem pemeliharaan semi intensif (Kanisius, 1981).

2.3 Karakteristik Nematoda Saluran Pencernaan Babi 2.3.1 Ascaris suum

Ascaris suum termasuk ke dalam Phylum Nemathelminthes, Subclass Secernentea, Ordo Ascaridida dan Family Ascarididae. Cacing ini merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada ternak babi, terutama babi muda diseluruh dunia (Soulsby, 1982). Kejadian ascariasis sangat tinggi pada babi-babi di daerah tropis dan sub tropis (Chan, 1997

(4)

dalam Tsuji, et al., 2003). Cacing ini berparasit pada usus halus (Soulsby, 1982).

Ascaris suum memiliki tiga bibir tipis di ujung anterior. Terdapat peninggian bergerigi yang dibentuk oleh deretan gigi yang bentuknya mirip dengan segitiga bertepi lurus sama sisi pada permukaan dalam masing-masing bibir. Cacing jantan panjangnya 15-25 cm dan berdiameter 3-4 mm, dengan spikulum sama besar dan kuat dengan panjang sekitar 2 mm dan mempunyai 69-75 papila kaudal. Betinanya 20-40 cm dengan diameter 5-6 mm, dengan vulva terletak di sekitar 1/3 panjang tubuh dari ujung anterior (Levine, 1990). Telur cacing berukuran 55-75 x 35-50 µm, mempunyai dinding yang tebal serta mempunyai ciri khas yaitu bagian luarnya dilapisi oleh albumin yang tidak rata sehingga membentuk tonjolan yang bergerigi (Bornay, 2006).

Ascaris suum memiliki siklus hidup langsung. Cacing betina mengeluarkan telur 1-1,6 juta setiap hari di dalam usus dan keluar bersama tinja. Telurnya tidak bersegmen ketika sampai di tanah, dan membutuhkan 13-18 hari untuk menjadi infektif di bawah kondisi optimal, atau 31-40 hari pada 18-20 C. Stadium infektif Ascaris suum yaitu larva stadium ke dua yang masih di dalam kulit telur. Babi terinfeksi dengan menelan telur-telur infektif dan kemudian menetas di dalam usus. Larva menembus dinding usus dan migrasi menuju hati melalui sistem porta hepatik. Larva stadium dua tersebut kemudian bermigrasi dan berkembang di dalam hati, menyilih menjadi stadium ke tiga dalam 4-5 hari. Kemudian menuju jantung dan

(5)

paru-paru melalui aliran darah. Larva tersebut berkembang lebih lanjut pada paru-paru, menyilih menjadi stadium ke empat setelah 5-6 hari, dan kemudian bergerak perlahan dari alveoli ke bronkiola, bronki, dan trakea. Puncak dari perpindahan ini terlihat sekitar 12 hari sesudah infeksi. Larva dibatukkan, tertelan, dan mencapai usus kecil dan kemudian menjadi dewasa. Banyak larva stadium ke empat ditemukan dalam usus halus 2-3 minggu sesudah infeksi. Masa prepaten 7-9 minggu, dan sedikit sekali cacing dewasa yang hidup lebih dari satu tahun (Levine, 1990).

Pada stadium larva, ascaris suum dapat mengakibatkan terbentuknya jejas berwarna putih di bawah kapsul hati (milk spot), bronchitis, dan pneumonia. Sedangkan cacing dewasa dalam usus halus dengan jumlah yang banyak sering menyebabkan penyumbatan pada usus, sehingga terjadi kolik dan iritasi hingga enteritis sehingga timbul gejala diare, demam dan anemia. Selain itu teramati kelemahan umum seperti dehidrasi, penurunan berat badan dan kekurusan (Urquhart, et al., 1985).

2.3.2 Trichuris sp

Trichuris suis merupakan cacing dari Phylum Nemathelminthes, Class Adenophorea, Ordo Trichurida, dan Family Trichuridae (Soulsby, 1982). Trichuris suis adalah cacing cambuk pada babi. Ia dijumpai di dalam sekum dan kolon babi di seluruh dunia. Ia mirip dengan Trichuris trchiura pada manusia. Bagian anterior yang ramping sekitar dua pertiga panjang tubuh pada kedua jenis kelamin. Panjang cacing jantan 30-40 mm, dengan

(6)

spikulum 2,0-3,35 mm dan selubung spikulum dipersenjatai dengan sebuah spina. Cacing betina 35-50 mm, dengan telur berukuran 50-56 x 21-25 mikron (Levine, 1990).

Siklus hidup Trichuris suis langsung, dimana tidak ada induk semang antara, dan infeksinya dengan cara termakannya telur yang berisi larva stadium kedua. Telur infektif yang sudah berembrio sangat resisten dan dapat tetap hidup untuk beberapa bulan atau tahun. Perkembangan di dalam induk semang definitif tampaknya berlangsung di dalam lumen usus, dan masa prepaten cacing ini yaitu sekitar 2-3 bulan. Cacing dijumpai terutama di dalam sekum, melekat pada mukosa dengan ujung depannya seperti sebuah jarum (Levine, 1990).

Gangguan oleh parasit ini biasanya terbatas pada organ sekum (usus buntu) dan kolon saja dan dapat terjadi diare 19 hari setelah infeksi. Tanda-tanda penurunan berat badan dimulai dari hari ke-29 infeksi, dan terus berlanjut sampai hewan tersebut mati. Pada infeksi ringan akan terjadi penurunan kondisi akibat diare yang kronis, penurunan bobot badan, anemia serta gejala ikutan lainnya (Soulsby, 1982).

2.3.3 Strongyloides ransomi

Cacing Strongyloides ransomi merupakan cacing yang berasal dari Ordo Rhabditida dan Family Strongyloididae (Soulsby, 1982). Stongyloides ransomi terdapat diseluruh dunia pada mukosa usus halus babi. Cacing betina partenogenetik parasitik panjangnya 3,3-4,5 mikron dan berdiameter 54-62 mikron, dan menghasilkan telur berembrio

(7)

berbentuk elips, berkulit tipis, berukuran 45-55 x 26-35 mikron. Cacing jantan hidup bebas mempunyai panjang 868-899 mikron dengan spikulum melengkung yang panjangnya 26-29 mikron dan gubernakulum dengan panjang 18-19 mikron. Cacing betina hidup bebas panjangnya 1,0-1,1 mm. Dengan masa prepaten yaitu 3-7 hari (Levine, 1990).

Transmisi larva melalui kolostrum merupakan rute infeksi yang paling umum pada anak babi yang sedang menyusui. Cacing dewasa khususnya cacing betina bersembunyi di dalam usus dan menyebabkan iritasi hingga peradangan. Infeksi host dapat terjadi baik dengan penetrasi kulit dan menelan larva infektif. Periode prepatennya yaitu 6–9 hari. Pada saat kebuntingan dan melahirkan akan merangsang munculnya kembali dari larva yang kemudian dapat menginfeksi anak babi melalui kolostrum. Dalam jangka satu minggu setelah kelahiran anak babi, telur cacing bisa ada di dalam kolostrum mereka yang dapat berkembang dalam waktu 24 jam untuk menjadi larva infektif. Dalam infeksi yang ringan, hewan tidak menunjukkan tanda–tanda. Pada infeksi yang berat gejala yang muncul berupa diare berdarah, anemia, kekurusan dan kematian mendadak pada anak babi mungkin akan terjadi. Selama fase migrasi infeksi gejala berupa batuk, nyeri otot, sakit perut dan muntah dapat diamati (Kaufmann, 1996). 2.3.4 Hyostrongylusrubidus

Hyostrongylus rubidus adalah salah satu spesies cacing dari ordo strongylida yang penting dalam peternakan babi. Cacing ini dikenal juga dengan nama “Red Stomach Worm” atau cacing lambung merah

(8)

(Johnstone. 2000, dalam Agustina. 2013). Hyostrongylus rubidus ditemukan hampir diseluruh daerah peternakan babi diseluruh dunia dan menginfeksi semua umur babi (Lintock. 1966).

Secara umum cacing ini memiliki panjang rata-rata 5-10 mm dan tubuhnya langsing (Johnstone. 2000, dalam Agustina. 2013). Cacing jantan panjangnya 4-7 mm dan mempunyai spikulum dengan panjang 127-134 mikron dan gubernakulum 68-71 mikron. Cacing betina panjangnya 5-9 mm dan mempunyai telur berukuran 60-76 x 31-38 mikron. Vulva pada cacing betina berada 1/6 bagian posterior tubuh (Levine. 1990). Hyostrongylus rubidus disebut cacing lambung merah karena memiliki warna merah yang didapat dari makanannya berupa darah, cacing ini menghisap darah pada permukaan lambung babi (Johnstone. 1997, dalam Agustina. 2013).

Tempat predileksi cacing Hyostrongylus rubidus adalah di dalam lambung babi. Babi akan terinfeksi jika larva cacing stadium III mencemari pakan dan termakan oleh babi. Larva infektif stadium III yang termakan, masuk ke dalam lambung dan menembus ke dalam kelenjar lambung. Disana dia tumbuh dan berkembang hingga menjadi larva stadium IV dan akan muncul sebagai cacing muda dalam 17 hari setelah terjadi infeksi, untuk menjadi dewasa dan siap berkembang biak dipermukaan mukosa lambung. Periode prepaten cacing Hyostrongylus rubidus selama kira-kira 3 minggu. Siklus hidup diluar inang terjadi mulai telur cacing dikeluarkan saat babi defekasi. Telur cacing akan berkembang menjadi larva stadium I,

(9)

stadium II dan stadium III. Pada kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan dari telur hingga mencapai stadium III yang infektif membutuhkan waktu selama 7-14 hari (Johnstone. 2000, dalam Agustina. 2013). Temperatur optimal dalam penetasan telur adalah 15-25 ºC. Larva cacing sangat aktif bergerak dan tidak berada pada satu tempat dalam feses saja tetapi juga bisa tersebar pada areal peternakan dan padang rumput (Roepstorff dan Nansen, 1998). Babi yang digembalakan atau diberi makan dedaunan akan mudah tertular cacing ini (Kendall and Small, 1974).

Babi yang terinfeksi oleh cacing Hyostrongylus rubidus akan menunjukkan gejala klinis berupa menurunnya kondisi tubuh, kelemahan, tidak ada koordinasi, kekurusan, kepucatan selaput lendir akibat anemia, tapi biasanya babi jarang mengalami diare (Roepstorff dan Nansen, 1998). Babi yang mengalami infeksi cacing dalam jumlah yang banyak dapat mengalami kematian (Levine, 1990).

Untuk mendiagnose penyakit ini adalah dengan melakukan pemeriksaan feses dengan menemukan telur tipe strongyl atau menemukan parasitnya ketika melakukan bedah bangkai. Tapi bentuk telur cacing Hyostrongylus rubidus sama dengan bentuk telur cacing nodul (Oesophagostomum dentatum) (Pighealth, 2006).

2.3.5 Oesophagustomum Spp

Terdapat beberapa spesies cacing Oesophagostomum yang menyerang babi antara lain Oesophagostomum dentatum, Oesophagostomum brevicaudum, Oesophagostomum georgianum, dan Oesophagostomum

(10)

quadrispinulatum (Levine, 1990). Spesies yang paling umum dijumpai pada babi adalah Oesophagostomum dentatum, cacing ini tersebar diseluruh dunia (Merck, 2003). Keempat jenis cacing ini sangat mirip, sehingga tidak ada gunanya memandang mereka terpisah. Kemungkinan Oesophagostomum dentatum merupakan cacing yang paling umum, tetapi infeksi campuran merupakan hal yang biasa dijumpai (Levine, 1990).

Oesophagostomum dentatum juga dikenal dengan nama cacing nodul. Nama cacing nodul berasal dari nodul yang dibentuk oleh stadium larva dari Oesophagostomum. Nodul ini terbentuk dari jaringan fibrosis yang dirangsang oleh reaksi sistem immunologis induk semang pada lapisan mukosa dari dinding usus besar yaitu caecum dan colon dalam usaha membatasi larva cacing (Corwin and Tubbs, 1993).

Cacing jantan panjangnya 6-10 mm dan berdiameter 200-500 mikron. Mereka mempunyai spikulum dengan panjang berturut-turut 1,15-1,3 mm; 1,0-1,2 mm; 1,0-1,1 mm dan 0,9-1,0 mm. Panjang cacing betina 6-14 mm, dengan telur berukuran 50-80 x 35-70 mikron (Levine, 1990). Vesicle chepalic sangat menonjol, tapi alae cervical pada kenyataannya tidak ada. Papila cervical mengarah ke bagian posterior dari oesophagus. Submedian dari rancangan kepala sangat jelas didepan, seperti halnya sembilan elemen dari mahkota luarnya. Mahkota bagian dalam terdiri dari delapan belas elemen (Soulsby, 1982).

Cacing Oesophagostomum dentatum berpredileksi dalam lumen usus besar babi yaitu caecum dan colon (Levine, 1990). Infeksi cacing

(11)

Oesophagostomum dentatum berlangsung pada saat babi memakan tumbuh-tumbuhan atau pakan yang mengandung larva infektif (Kusumamihardja, 1992).

Larva infektif yang tercerna akan mengalami pergantian kulit dalam usus halus dan sehari setelah infeksi larva menembus dinding usus yakni pylorus sampai ke rectum. Disini ekdisis ketiga mengambil tempat dan larva tumbuh hingga mencapai panjang antara 1,5-2,5 mm, sekarang mereka telah memiliki capsul bucalis sub-globular dengan gigi dorsal dibagian dasar, dan alur cervical sangat jelas. Umumnya larva kembali ke lumen usus setelah 5-7 hari dan bermigrasi menuju colon, dimana mereka akan tumbuh menjadi dewasa setelah mengalami ekdisis keempat. Telur ditemukan pertama kali keluar bersama feses penderita setelah 41 hari terjadi infeksi (Soulsby, 1982).

Diluar tubuh induk telur mengalami awal segmentasi. Dinding telur yang tipis, terdiri dari lapisan dinding sebelah luar yang tersusun dari bahan kitin dan membran vitellinus di dalamnya (Soulsby, 1982). Telur Oesophagostomum dentatum yang keluar bersama tinja akan menetas dalam waktu 24-48 jam dalam tanah yang lembab dengan suhu sekitar 26ºC (Kusumamihardja, 1992). Setelah menetas, larva berada pada stadium I, yaitu bentuk rhabditiform. Makanan larva adalah bakteri dari lingkungan sekitarnya, kemudian terus tumbuh dan menyilih menjadi larva stadium II. Bentuk rhabditiform esophagus berangsur berkurang, kemudian tumbuh menjadi larva yang kutikulanya masih tetap berasal dari stadium

(12)

sebelumnya dan bersifat infeksius (stadium III). Larva infektif stadium III tidak makan bakteri dari alam sekitarnya, tetapi memperoleh makanannya dari granula makanan yang tersimpan di dalam sel-sel intestinum. Stadium infektif dicapai pada kondisi optimum selama 6-7 hari dan stadium pra-infektif sama sekali tidak tahan dengan kekeringan (Soulsby, 1982).

Kemampuan hidup larva pada padang rumput tergantung pada faktor lingkungan. Penyebaran yang signifikan akan terjadi pada kondisi lingkungan yang sesuai yaitu musim panas dikombinasi dengan tumbuh-tumbuhan sebagai pelindungnya. Penyebaran sangat menurun pada saat temperatur rendah dan sepanjang musim kemarau, dimana terdapat sedikit tumbuh-tumbuhan (Roepstorff and Murrell, 1996).

Babi yang terinfeksi oleh cacing Oesophagostomum spp akan menunjukkan gejala klinis berupa hambatan pertumbuhan, kelemahan, kekurusan, menurunnya produksi susu, anemia, enteritis, dan diare (Roepstorff dan Nansen. 1998). Cacing ini juga dapat menimbulkan kematian pada babi (Soulsby, 1982).

2.3.6 Globocephalus urosubulatus

Globocephalus urosubulatus termasuk ke dalam Phylum Nemathelminthes, Ordo Strongylida, dan Family Globocephalidae (Levine, 1994). Cacing jantan dewasa memiliki panjang 3,5–5 mm dan cacing betina 4,5–8 mm (Nanev, 2007). Memiliki ciri khas bucal kapsul yang dipakai untuk menempel pada dinding mukosa usus (Talbot, 1972). Telur

(13)

berdinding tipis dan mengandung larva dengan ukuran panjang 52–56 µm dan lebar 26–35 µm (Flynn and Barker, 2007).

Telur dapat berada dalam kotoran dan untuk berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga membutuhkan waktu sekitar 12–18 hari. Infeksi terjadi dengan menelan larva tahap ketiga atau dengan penetrasi transcutan. Migrasi larva melalui jantung, paru–paru, tenggorokan, kerongkongan, usus (Kaufmann, 1996). Gejala klinis yang muncul bisa berupa anemia, hypoproteinemia, penurunan berat badan progresif dan kekurusan dapat terjadi pada infeksi berat (Kaufmann, 1996). Untuk mendiagnosa dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis yang nampak dan untuk menegakkan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan feses secara mikroskopis untuk menentukan adanya telur cacing dari Globocephalus yang berdinding tipis dan mengandung larva (Talbot, 1972).

2.3.7 Gnathostoma hispidum

Gnasthostoma hispidum merupakan cacing dari Subclass Secernentea, Ordo Spirurida, Superfamily Physalopteroidea dan Family Gnathostomidae (Soulsby, 1982). Cacing ini berbentuk bulat berwarna kemerahan dan transparan. Berpredileksi di dalam lambung babi di Eropa, Asia (Soulsby, 1982) Afrika dan Amerika Serikat (Daengsvang et al, 1964), selain itu juga bisa menginfeksi babi hutan, manusia (Robert dan Janovy, 2000) dan ular (Choi et al., 2007). Cacing jantan berukuran 26 x 1,8 mm sedangkan betinanya berukuran 35 x 2,3 mm. Ciri khas (karakteristik) cacing ini adalah ditemukan bagian yang mengalami

(14)

konstriksi (penyempitan) diantara kepala dan tubuhnya, sehingga cacing ini seolah–olah memiliki leher dan kepala yang berlobus besar. Pada daerah kepala terdapat bibir yang tebal dan empat buah kelenjar cervical. Ciri khas lainnya adalah terdapatnya duri–duri dengan ujung bercabang yang menutupi seluruh tubuhnya (Sandjaja, 2006).

Siklus hidup, telur akan keluar dari tinja babi yang terinfeksi, telur akan menetas di dalam air dan larva satu yang terbebas akan mencari hospes antara yaitu sejenis udang (Cyclop) dan berkembang menjadi larva dua. Cyclop kemudian dimakan oleh hospes transport seperti ikan, katak, atau ular dan berkembang menjadi larva 3 yang bersifat infektif. Apabila hospes transport dimakan oleh hospes definitif yaitu babi, maka larva 3 akan berkembang menjadi larva 4 (cacing muda) dan akhirnya menjadi dewasa di dalam lambung babi (Sandjaja, 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa Pengesahan Laporan Posisi Keuangan Konsolidasian, Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain Konsolidasian Perseroan dan Entitas Anak tahun buku yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pisau pengupas pada alat pengupas sabut kelapa sistem mekanis meliputi gaya pengupasan kelapa, desain pisau, analisa

3 = telah menunjukan perilaku santun (mengatakan ” tolong” dan ” terima kasih” , menghargai dan menghormati orang lain tanpa membeda-bedakan golongan, memandang orang yang

Tahun ini dengan dukungan tren penguatan harga timah dunia yang diperkirakan naik 13% dari tahun 2016 lalu dan peningkatan volume penjualan, pendapatan timah 2017 diperkirakan

RESOLUTIEN : Resolutien yang dibuat oleh Residen atau kepala daerah yang setingkat, bersama-sama dengan Raad van Po licie (Politiek Raad) berupa origineele boek,

Artinya, penyelesaian persoalan pelanggaran HAM berat masa lalu tidak melalui jalur yudisial (persidangan) sebagaimana yang diatur UU 26/2000 yang mengamanatkan kepada DPR

 Primary Lube Oil Pump atau Main Lube Oil pump (Pompa Minyak Pelumas Utama), berfungsi sebagai pompa minyak pelumas utama dan diputar langsung oleh poros turbin gas,

Pengendalian electrohydraulic servo valve dengan menggunakan sistem kontrol SPEEDTRONIC TM MARK V berfungsi untuk mengatur besar kecilnya bukaan bypass valve