• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS PENGATURAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ANALISIS PENGATURAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ANALISIS PENGATURAN KOMPENSASI DAN

RESTITUSI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Pengaturan Kompensasi dan Restitusi terhadap korban pelanggaran HAM Berat

UU Perlindungan Saksi dan Korban membuka kembali diskursus tentang pemulihan (reparasi)30 kepada korban, termasuk korban pelanggaran HAM yang berat.31 Undang-undang ini mengatur tentang hak korban untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Kompensasi diberikan kepada korban pelanggaran HAM yang berat, sementara restitusi merupakan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.32

Pengaturan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban sedikit berbeda dengan UU Pengadilan HAM yang juga memberikan pengaturan atas hak kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM yang berat. Untuk implementasi hak- hak korban tersebut, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat.

Terdapat 3 (tiga) peraturan pokok dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam konteks untuk menganalisa regulasi tentang kompensasi dan restitusi. Untuk memperkuat analisa atas regulasi tersebut, penulis akan menganalisa praktik-praktik penerapan hak atas kompensasi dan restitusi di pengadilan HAM.

30

Yang dimaksud pemulihan (reparation) dalam tulisan ini adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun immaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Dalam hal ini pemulihan merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada korban, yang diantaranya mencakup kompensasi, restitusi dan rehabilitasi

31

Pelanggaran HAM yang berat berdasarkan Undang-undang No. 26 tahun 2000 adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lihat pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 32 Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban.

(2)

Table 1:

Regulasi Nasional tentang Korban

No Regulasi Tentang Keterangan

1 UU No. 8 Tahun 1981

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

1. Mengatur tentang ganti kerugian kepada tersangka, terdakwa atau terpidana karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (Pasal 95). 2. Perkara pidana yang menimbulkan kerugian pada pihak lain, dapat menetapkan untuk penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal 98). 2 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Negara melalui Departemen Keuangan dibebani tanggung jawab untuk menyelesaikan pembayaran ganti kerugian yang dikabulkan pengadilan. 3 Keputusan Menteri Keuangan RI No. 983/KMK.01/1983 Tanggal 31 Desember 1983 Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian

Ganti kerugian adalah ganti kerugian

sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 KUHAP.

4 UU No. 26 Tahun 2000

Pengadilan HAM Mengatur tentang hak atas Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban (KKR) Pelanggaran HAM yang Berat (Pasal 35 ayat 1). 5 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran

1. Mengatur tentang tata cara pemberian KRR korban pelanggaran HAM yang Berat.

(3)

Ham yang Berat 2. Mengatur tentang bentuk dan besaran KRR.

3. Mengatur tentang pihak yang wajib membayarkan KRR. 6 UU No. 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi dan Korban

1. Mengatur tentang hak atas kompensasi dalam kasus

pelanggaran HAM yang berat (Pasal 7 ayat 1 (a)).

2. Mengatur tentang hak restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab

pelaku tindak pidana (Pasal 7 ayat 1 b)).

Sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, istilah kompensasi dan restitusi kepada korban kejahatan hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah “ganti kerugian”. Pada awalnya ganti kerugian kepada korban kejahatan, dapat dilihat dalam KUHAP yang dibebankan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHAP juga dikenal hak untuk memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Ganti kerugian bagi tersangka, terdakwa atau terpidana ini ditujukan bagi pihak yang mengalami kesalahan prosedur dalam proses peradilan pidana. Sementara rahabilitasi diberikan kepada terdakwa yang dibebaskan atau dilepaskan dalam putusan pengadilan.

Pasal 1 angka 22 KUHAP:

“Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutan yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini.”

(4)

Pasal 2 angka 23 KUHAP:

“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini.”

KUHAP mengatur tiga hak hukum yang dapat digunakan oleh korban oleh korban kejahatan dalam proses peradilan pidana. Pertama, hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum, yaitu hak untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penghentian penyidikan dan/atau penghentian penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 77 jo 80 KUHAP). Kedua, hak korban kejahatan yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi, yaitu hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168 KUHAP) dan hak bagi keluarga korban, dalam hal korban meninggal dunia, untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi untuk melakukan otopsi (Pasal 134-136 KUHAP). Ketiga, hak untuk menuntut ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita akibat kejahatan (Pasal 98-101 KUHAP).

Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana adalah berupa mempercepat proses untuk memperbaiki ganti kerugian yang diderita oleh korban kejahatan sebagai akibat perbuatan terdakwa dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan perkara ganti kerugian yang pada hakikatnya merupakan perkara perdata.

Bila mengacu pada sistem pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban, KUHAP lebih dekat dengan sistem bahwa kompensasi bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana. Hal ini dapat terlihat dalam ketentuan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam Pasal 98 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi:

(5)

“Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.”

Yang dimaksud dengan “orang lain” adalah pihak korban kejahatan, yakni perbuatan terdakwa yang merupakan suatu tindak pidana menimbulkan kerugian bagi orang tersebut. Kata “dapat” mengandung arti bahwa hakim ketua sidang berwenang untuk menerima atau menolak permohonan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian dengan perkara pidananya. Dengan demikian diberikan keleluasaan bagi hakim ketua sidang untuk menentukan kebijakan apakah digabungkan atau diajukan secara perdata. Hal ini berhubungan dengan permintaan penggabungan perkara perdata yang menyangkut orang lain yang tidak terlibat dengan perbuatan pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Jika hal ini terjadi, maka hakim ketua sidang kemungkinan akan menolak untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian tersebut. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01. PW. 07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan, antara lain dirumuskan:

“…..gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata digabungkan pada perkara pidananya, dang anti rugi tersebut dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana…”

Jika turut dipertanggungjawabkan kepada pihak lain, maka hakim ketua sidang tidak salah apabila menolak penggabungan ganti kerugian tersebut. Sedangkan jika hanya terdakwa saja yang digugat pertanggungjawabannya maka hakim ketua sidang tidak

(6)

beralasan untuk menolak penggabungan perkara tersebut. Permintaan penggabungan perkara ganti kerugian hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, atau jika penuntut umum tidak hadir maka permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.33

1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya

pada perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.

Mengenai yang dapat dimintakan ganti kerugian diatur dalam Pasal 99 KUHAP, yang berbunyi:

2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang

mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

Berdasarkan Pasal 99 ayat (2) KUHAP, ganti kerugian yang dapat diputus hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, sehingga tuntutan lain daripada itu harus dinyatakan tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa.

Jika pada amar putusan dimuat “tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa”, maka pengajuan perkara perdata yang dimaksud, bukan merupakan perkara ne bis in idem. Tetapi jika amar putusan hanya memuat “tidak dapat diterima” maka akan menimbulkan masalah ne bis in idem.34

33

Pasal 98 KUHAP. 34

Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hlm. 85.

(7)

Amar putusan suatu penggabungan perkara memuat putusan tentang perkara pidana dan perdata. Keterkaitan putusan perdata dan putusan pidana, dimuat dalam Pasal 99 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi:

“Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.”

Hal yang dirumuskan pada Pasal 99 ayat (3) tersebut merupakan konsekuensi logis karena tuntutan ganti kerugian mengikuti perkara pidana karena timbulnya suatu tuntutan perdata tersebut sebagai akibat pidana yang terjadi. Pada Pasal 100 KUHAP, lebih jelas memperlihatkan keterkaitan putusan perdata dan putusan pidana, yang dirumuskan sebagai berikut:

1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara

pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.

2) Apabila terjadi suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.

Dengan demikian, jika terdakwa/tergugat telah menerima putusan pengadilan negeri maka pemohon ganti kerugian/penggugat tidak dapat mengajukan banding. Hal ini diperjelas lagi pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01. PW. 07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan (Bab IV), yang memuat:

“Apabila terdakwa/terhukum dalam perkara pidananya tidak mengajukan banding, maka penggugat ganti kerugian tidak dapat mengajukan banding dalam perkara perdatanya; tetapi dalam hal terhukum naik banding, maka pengadilan tinggi dapat memeriksa kembali putusan penggantian kerugian, apabila penggugat meminta pemeriksaan banding. Ketentuan-ketentuan hukum acara perdata berlaku dalam pemeriksaan gugatan ganti kerugian.”

(8)

Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP dan keputusan menteri kehakiman tersebut dapat diketahui masalah pokok adalah perkara pidana sedangkan perkara gugatan ganti kerugian merupakan tambahan (asseoir), yang tidak dapat dipisahkan dengan perkara pokok. Maka jika perkara pidananya telah bekekuatan hukum tetap, pihak penggugat ganti kerugian tidak dapat mengajukan upaya hukum. Namun jika terdakwa mengajukan banding dalam perkara pidananya maka dibuka kesempatan bagi pihak penggugat untuk mengajukan banding.

Mengenai pelaksanaan eksekusi dari hakim ini, secara khusus tidak diatur dalam KUHAP akan tetapi dalam Pasal 101 KUHAP dijelaskan bahwa ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam KUHAP tidak diatur lain, dengan cara demikian maka eksekusi perkara gugatan ganti kerugian dilakukan secara perdata.

Mengenai eksekusi tersebut selanjutnya dijelaskan dalam Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 14. PW. 07.03 Tahun 1983 butir 15, sebagai berikut:

a. Gugatan perdatanya tidak diberi nomor tersendiri;

b. Pelaksanan putusan ganti kerugian yang digabungkan tersebut, dilakukan menurut tata cara putusan perdata;

c. Pelaksanaan putusan ganti kerugian tersebut tidak dibebankan kepada jaksa.

(9)

Maka eksekusi putusan ganti kerugian ini dapat dilaksanakan jika putusan perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap. Apabila terpidana yang dibebani kewajiban dalam amar putusan untuk membayar ganti kerugian akan tetapi tidak secara sukarela memenuhi kewajibannya, maka penggugat dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara agar putusan tersebut dieksekusi. Permintaan tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tertulis. Berdasarkan permintaan eksekusi tersebut maka Ketua Pengadilan Negeri atau hakim yang memutus perkata tersebut, memerintahkan kepada terpidana (tergugat) untuk selambat-lambatnya dalam waktu 8 hari agar memenuhi putusan tersebut. Apabila setelah lewat watu 8 hari terpidana belum memenuhi kewajibannya, maka hakim akan menerbitkan surat perintah untuk menyita barang bergerak milik terpidana yang diperkirakan senilai dengan kewajiban yang diputuskan untuk dipenuhi. Jika barang bergerak tersebut tidak mencukupi, maka barang yang tidak bergerak ikut disita. Penyitaan ini dinamakan penyitaan eksekutorial yang dilakukan oleh Panitera dibantu dengan 2 orang saksi.35

Pada prakteknya gugatan ganti kerugian yang ditempuh melalui prosedur penggabungan perkara pidana dan perdata, mengalami beberapa kendala antara lain:36

1. Tanggung jawab mengganti kerugian bersifat individual, yakni ditujukan kepada pelaku tindak pidana saja dan tidak bisa dilimpahkan kepada pihak lain. Hal ini mengakibatkan tidak memungkinkan bagi korban untuk mendapatkan jaminan dilaksanakannya putusan ganti rugi akibat ketidakmampuan pelaku;

35

Ibid, hlm. 96. 36

Mudzakir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Rangkuman Disertasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum, 2001, hlm. 40.

(10)

2. Memerlukan tindakan aktif korban kejahatan, yaitu harus mengajukan permohonan sebelum jaksa mengajukan tuntutan sedangkan banyak dari korban kejahatan yang pada umumnya tidak mengetahui mengenai prosedur hukum tentang ganti kerugian;

3. Perkara gugatan ganti kerugian merupakan tambahan (accesoir), yang tidak dapat dipisahkan dengan perkara pokok (perkara pidananya), maka jika perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap, pihak penggugat tidak dapat mengajukan upaya hukum.

Dengan demikian, pengaturan dalam KUHAP mengenai perlindungan terhadap korban atas hak-haknya belum mendapat cukup pengaturan jika dibandingkan perlindungan kepada hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana.37

37

Beberapa dekade yang lalu telah dikeluhkan bahwa kepedulian pada tersangka/terdakwa sudah sedemikian tingginya, sehingga menimbulkan persepsi bahwa ‘the pendulum has swung too far.’ Oleh karenanya sudah tiba saatnya perhatian yang lebih besar diberikan pula pada pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi --termasuk saksi korban. Lihat Naskah Akademis RUU Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana, disusun oleh Sentra HAM UI dan Indonesia Corruption Watch.

Pengakuan hak-hak korban dikuatkan dan diakui dalam sistem hukum nasional dengan diundangkannya UU Pengadilan HAM walaupun untuk hukum acaranya masih memakai mekanisme dari KUHAP. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam UU Pengadilan HAM adalah hak khusus yang diberikan kepada korban pelanggaran HAM yang berat.

Pasal 35 ayat (1) UU Pengadilan HAM menyatakan :

“Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi”.

(11)

Namun, kompensasi dan restitusi korban pelanggaran HAM yang berat ini diletakkan dalam kerangka “ganti kerugian”. Hal ini terlihat dalam definisi tentang kompensasi dan restitusi dalam UU Pengadilan HAM maupun dalam PP No. 3 Tahun 2002. Pasal 1 PP No. 3 Tahun 2002:

“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.”

“Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.”

Berdasarkan ketentuan di atas, ganti kerugian kepada korban pelanggaran HAM yang berat dibebankan kepada dua pihak yakni pelaku kejahatan dan negara. Pelaku kejahatan atau pihak ketiga dibebankan untuk mengganti kerugian korban, dan inilah yang didefinisikan dengan “restitusi”. Sementara dalam kompensasi, pembebanan biaya ganti kerugian kepada korban dilakukan oleh pemerintah ketika pelaku atau

pihak ketiga tidak mampu membayar ganti kerugian secara penuh kepada korban. Dengan ketentuan ini, muncul konsep tanggung jawab negara terhadap korban kejahatan (pelanggaran HAM yang berat).

Namun dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak dijelaskan bagaimana kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dimohonkan, hanya disebutkan harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak.38

Karena dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak diatur mengenai tata cara pengajuan permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi maka tata cara pengajuan kompensasi,

38

(12)

restitusi, dan rehabilitasi dalam Pengadilan HAM dilakukan sesuai dengan tata cara ganti kerugian dan rehabilitasi dalam KUHAP.39

1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:

Kelemahan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam KUHAP secara otomatis juga menjadi kelemahan dalam pengaturan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam PP No. 3 Tahun 2002.

Selain kelemahan di atas, terdapat permasalahan lain dalam PP No. 3 Tahun 2002, yaitu mengenai siapa yang berhak mengajukan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Dalam Pasal 1 ayat (3) PP No. 33 Tahun 2002 memang dijelaskan siapa korban, tetapi tidak dijelaskan apakah mereka dapat mengajukan gugatan tersebut dengan cara perwakilan seperti diwakilkan oleh Komnas HAM atau lembaga non pemerintah. Hal ini penting untuk dijelaskan mengingat pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary

crime dengan jumlah korban yang biasanya tidak sedikit dan antara lokasi tempat

kejadian dengan dilakukannya persidangan yang sangat jauh sehingga dapat mengakibatkan ketidaktahuan para korban tentang perkara dengan terdakwa yang telah merugikan mereka dan para korban dapat kehilangan haknya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Hak atas kompensasi dan restitusi kembali diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 7, ganti kerugian kepada korban kejahatan menggunakan istilah kompensasi dan restitusi. Namun, tidak ada penjelasan tentang maksud dari kompensasi dan restitusi. Pasal 7 UU Perlindungan Saksi dan Korban:

a) Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat;

39

Hal ini melihat pada ketentuan Pasal 10 UU Pengadilan HAM yangmengatur bahwa dalam hal tidak ditentukan lain dalam UU ini, hukum acara atas perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.

(13)

b) Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.

Terjadi pembedaan dalam menentukan tanggung jawab pemenuhan hak-hak korban khususnya berkaitan dengan restitusi. Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, restitusi dapat diberikan kepada semua korban tindak pidana yang terjadi, dan tidak terbatas pada korban pelanggaran HAM yang berat sebagaimana hak atas kompensasi. Kedua, restitusi hanya menjadi tanggung jawab pelaku dan tidak menyertakan kewajiban bagi pihak ketiga, sebagaimana pengertian restitusi dalam UU Pengadilan HAM.

B. Mekanisme Kompensasi dan Restitusi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat

Dengan demikian, ada dua pengaturan dan pendefinisian yang sedikit berbeda tentang kompensasi dan restitusi, yakni yang diatur dalam UU Pengadilan HAM dan UU Perlindungan Saksi dan Korban (Lihat tabel 2).

Tabel 2:

Hak-hak kepada korban atas Kompensasi dan Restitusi

No Regulasi Hak-hak korban Keterangan

1. UU No. 8 Tahun 1981

1. Ganti rugi kepada tersangka, terdakwa atau terpidana. 2. Pihak ketiga yang mengalami kerugian karena adanya kejahatan.

Dimungkikan korban kejahatan mendapatkan ganti kerugian atas kejahatan yang terjadi pada dirinya 2. UU No. 26 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 Kompensasi:

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.

Kompensasi untuk korban

(14)

3. UU No. 13 Tahun 2006

Kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat

Restitusi bagi korban tindak pidana

Disamping perbedaan definisi, bentuk ganti kerugian kepada korban dalam KUHAP, UU Pengadilan HAM dan UU Perlindungan Saksi dan Korban juga mempunyai pengaturan yang berbeda. Ganti kerugian kepada korban dalam KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Hal ini terlihat bahwa pengaturan tentang adanya ganti kerugian korban dalam KUHAP hanya “ditempelkan” pada pengaturan tentang penggabungan gugatan dalam perkara pidana. Namun, dipahami bahwa kerugian korban kejahatan dalam KUHAP yang dapat dimintakan gugatan untuk penggantian hanya pada kerugian materiil dan tidak mencakup pada kerugian imateriil.

Sementara, UU Pengadilan HAM mengatur lebih rinci tentang bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Bentuk-bentuk ganti kerugian ini dapat dilihat dalam

Restitusi :

Restitusi adalah ganti kerugian yang

diberikan kepada korban atau keluarganya

oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa:

1. pengembalian harta milik; 2. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;

3. atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Restitusi untuk korban

(15)

definisi mengenai restitusi yang merupakan ganti rugi kepada korban atau keluarganya yang mencakup:

a. pengembalian hak milik;

b. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu.40

Bentuk-bentuk ganti kerugian tersebut, jika dibebankan kepada negara maka terminologi yang digunakan bukan lagi “restitusi” tetapi “kompensasi”. Artinya, bahwa bentuk-bentuk ganti rugi untuk korban dalam UU Pengadilan HAM adalah sama, baik untuk restitusi maupun kompensasi.

UU Perlindungan Saksi dan Korban justru tidak memberikan pengaturan tentang bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi kepada korban. Penjelasan undang-undang tersebut juga tidak ditemukan definisi dan penjelasan mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Tidak dijelaskannya bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, kemungkinan akan diatur kemudian dalam Peraturan Pemerintah. Pemahaman ini dapat dilihat dari ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban:

(2) Keputusan mengenenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan peraturan pemerintah.

Berdasarkan regulasi dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) diatas, terdapat tiga hal.

Pertama, dalam Peraturan Pemerintah yang akan dibentuk juga akan mengatur tentang

40

(16)

pengertian “kompensasi” dan “restitusi” termasuk bentuk-bentuk ganti kerugiannya.

Kedua, dari Peraturan Pemerintah tersebut, hakim dapat menetapkan dalam keputusannya bentuk ganti kerugian kepada korban. Ketiga, hakim mempunyai keleluasaaan untuk menetapkan bentuk ganti kerugian kepada korban dalam hal tidak ada regulasi yang mengatur tentang bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi.

Pemenuhan hak atas kompensasi dan restitusi sebagaiman diatur dalam UU Pengadilan HAM telah dipraktekkan dalam pengadilan HAM. Hukum acara pengadilan HAM yang digunakan, selama tidak diatur khusus, mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.41

Perlu ditambahkan disini bahwa dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak mengajukan ke pengadilan hak atas kompensasi atau restitusi. Ketentuan ini memunculkan mekanisme baru dalam prosedur pengajuan hak atas kompensasi atau restitusi yakni terlibatnya LPSK dalam prosedur pengajuan. Pengaturan tersebut menunjukkan dua penafsiran, yakni; Pertama, bahwa tuntutan ganti kerugian (kompensasi dan restitusi) hanya bisa diajukan oleh korban melalui LPSK. Kedua, korban dapat mengajukan ganti kerugian melalui LPSK, dan dapat juga mengajukan ganti kerugian dengan prosedur yang lainnya misalnya KUHAP. Untuk memastikan prosedur baku, perlu keselarasan dengan regulasi yang lainnya misalnya dengan KUHAP dan PP No. 3 Tahun 2002. Jika tidak ada keselarasan dalam prosedur pengajuan hak atas kompensasi dan restitusi ini maka kemungkinan akan menimbulkan kebingungan bagi Akibatnya, prosedur pengajukan kompensasi dan restitusi juga mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.

41

(17)

korban, tentang mekanisme yang akan digunakan dalam mengajukan tuntutan kompensasi dan restitusi.

Sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas, hak atas kompensasi dan restitusi baik dalam UU Pengadilan HAM merupakan hak dari korban pelanggaran HAM yang berat. Sementara dalam UU Pengadilan HAM, hak atas kompensasi hanya ditujukan pada korban pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 UU Pengadilan HAM adalah kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.

Merujuk pada hukum internasional, setidaknya terdapat dua ketidaksesuaian dengan hukum internasional yakni mengenai mengenai penggunaan istilah, yakni perbedaan dalam penggunaan kata “kompensasi” dan “restitusi”. Penggunaan terminologi kompensasi dan restitusi dalam hukum nasional memiliki definisi yang sangat terbatas. UU Pengadilan HAM maupun UU Perlindungan Saksi dan Korban hanya mengenal bentuk-bentuk pemulihan, tetapi tidak mengenai hak atas pemulihannya itu sendiri. Hak atas pemulihan yang dimaksud disini adalah hak menunjuk pada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran HAM berat. Pemulihan itu dikenal dengan istilah kompenasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemulihan tersebut merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada para korban. Dengan demikian, maksud dari pemulihan ini adalah usaha memperbaiki masa lalu dan menetapkan norma-norma untuk masa depan. Meskipun telah mengakui hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat, perlu untuk meletakkan kembali dan menyesuaikan maksud dari hak-hak atas pemulihan sesuai dengan norma dan hukum internasional.

(18)

Pasal 1 ayat (4) PP No. 3 tahun 2002, menyebutkan bahwa kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Definisi ini sama dengan definisi yang terdapat dalam Pasal 35 UU Pengadilan HAM. Kemudian konsep kompensasi ini dimasukkan juga menjadi salah satu hak korban dalam Pasal 7 UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Dari pengertian ini, “kompensasi” dapat ditafsirkan bahwa ganti kerugian kepada korban diambil alih oleh negara dari kewajiban pelaku atau pihak ketiga untuk membayar ganti kerugian. Sehingga harus dibaca

bahwa untuk adanya kompensasi, harus terlebih dahulu ada pelaku yang dinyatakan bersalah dan dipidana serta diperintahkan untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Tetapi, karena pelaku tidak mampu membayarnya, yang bisa disebabkan karena korbannya terlalu banyak atau jumlahnya ganti kerugian yang terlalu besar, maka negara akan mengambil alih tanggungjawab pelaku ini. Pengertian inilah yang tampak

dalam praktek di pengadilan HAM Indonesia.

Definisi kompensasi seperti ini menyempitkan makna kompensasi, terutama yang terkait dengan tanggung jawab negara atas pemulihan terhadap korban. Dan tentunya sangat berbeda jauh dengan prinsip-prinsip hukum HAM internasional, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kompensasi adalah kewajiban yang harus dilakukan negara terhadap korban pelanggaran HAM yang berat untuk melakukan pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah.42

42

Dalam hal ini kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran HAM, seperti : kerugian fisik dan

(19)

Jadi, pengertian dari kompensasi itu diberikan kepada korban bukan karena pelaku tidak mampu, tetapi sudah menjadi kewajiban negara (state obligation) untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran HAM yang berat dan mengakibatkan adanya korban.

Hasilnya dapat dilihat dari tiga Pengadilan HAM yang sudah dilaksanakan di Indonesia. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi. Pengalaman Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur menunjukkan bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan ada korban sebagai akibat pelanggaran HAM tersebut tetapi karena pelaku tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, secara otomatis tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak-hak korban atas kompensasi dan restitusi digantungkan dengan adanya kesalahan pelaku. Dalam arti, korban baru akan mendapatkan kompensasi dan restitusi apabila pelakunya dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Apabila peristiwa pelanggaran HAM-nya terbukti dan pelaku dinyatakan bersalah, maka korban berhak atas kompensasi. Apabila tidak terbukti, maka korban tidak berhak mendapatkan kompensasi (dan atau restitusi).

Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok telah secara nyata menerapkan dan mengadopsi kekeliruan dalam memahami konsep kompensasi dan restitusi. Hal ini tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban mendapatkan kompensasi

mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan yang hilang (lost opportunity), misalnya pendidikan dan pekerjaan; hilangnya mata pencaharian dan kemampuan mencari nafkah; biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal; kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; kerugian terhadap reputasi atau martabat; biaya-biaya lain yang masuk akal dikeluarkan untuk memperoleh pemulihan.

(20)

dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya pelaku.43

Salah satu masalah mendasar berkaitan dengan pemberian kompensasi dan restitusi adalah adanya klausul yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi harus dalam amar putusan pengadilan.

Padahal, sudah menjadi prinsip hukum HAM internasional bahwa korban pelanggaran HAM berhak mendapatkan kompensasi (dan restitusi) tanpa harus menunggu apakah pelakunya dipidana atau tidak.

Disamping kekeliruan pengadopsian konsep hak atas pemulihan korban, UU Pengadilan HAM juga menimbulkan sejumlah permasalahan, terutama yang berkaitan dengan prosedur dalam pemenuhan hak-hak korban. Hal ini terkait dengan adanya klausul yang menyatakan bahwa korban dapat memperoleh hak-haknya melalui proses pengadilan. Padahal prosedur yang tersedia di pengadilan tersebut tidak disiapkan secara jelas dan lengkap. Akibatnya, prosedur yang tersedia tersebut semakin menjauhkan hak korban atas kompensasi dan restitusi.

44

Ketentuan ini tentunya sangat kontradiktif dengan tujuan kompensasi ini, yakni untuk memulihkan korban ke keadaan semula (restitutio in integrum) dan prinsip dalam Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa korban baru akan mendapatkan kompensasi dan restitusi ketika sudah ada putusan Pengadilan HAM yang berkekuatan tetap, yakni ketika tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh atau semua upaya hukum sudah ditempuh, mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali, sehingga putusan kompensasi tidak bisa segera dieksekusi atau dilaksanakan. Akibatnya korban tidak dapat segera melakukan pemulihan, dan semakin panjang pula jalan yang harus ditempuh oleh korban untuk mendapatkan hak-haknya.

43

Putusan No. 01/Pid. HAM/Ad Hoc/2003/PN.JKT.PST atas nama Sutrisno Mascung, dkk, 20 Agustus 2004,

44

(21)

PP No. 3 tahun 2002 yang menyatakan bahwa pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak.45

Untuk pengadilan HAM Timor-Timur, isu kompensasi dan restitusi sama sekali tidak muncul dalam persidangan, baik dari pihak korban, jaksa penuntut umum maupun hakim. Hal ini disebabkan karena PP No. 3 Tahun 2002 dikeluarkan setelah berlangsungnya persidangan.

Dapat dibayangkan berapa lama waktu yang harus dilalui korban untuk memperoleh hak-haknya, mulai dari terjadinya pelanggaran HAM yang berat; penyelidikan oleh Komnas HAM; penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan Agung; proses PN tingkat pertama, banding dan kasasi dan peninjuan kembali (PK).

Sebaiknya pengajuan kompensasi ini tidak harus menunggu sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Pengajuan dapat dilakukan sesaat setelah korban dipanggil Komnas HAM sebagai saksi (korban) dalam pelanggaran HAM yang berat. Karena sejak penyelidikan, Komnas HAM sudah dapat mengidentifikasi siapa-siapa yang menjadi saksi dan atau korban. Jadi, prosesnya tidak harus menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Salah satu masalah penting yang luput dari perhatian pembuat UU berkaitan dengan masalah kompensasi dan restitusi adalah tidak diatur dan tidak ditentukannya jangka waktu pengajuan permohonan kompensasi dan restitusi.

46

45

Lihat Pasal 2 ayat (2) PP No. 3 Tahun 2002.

46

PP No. 3 tahun 2002 dikeluarkan pada tanggal 13 Desember 2002. Sedangkan proses persidangan telah dilangsungkan sejak Februari 2002.

Sehingga, para pihak yang berkepentingan, dalam hal ini korban, jaksa penuntut umum dan hakim, tidak dapat langsung memahami dan menginternalisasi ketentuan yang terdapat didalamnya. Akibatnya, hakim dan jaksa

(22)

penuntut umum, terutama jaksa penuntut umum tidak mampu memaknai signifikansi dan pentingnya hak-hak pemulihan bagi korban.47

Secara umum PP No. 3 Tahun 2002 hanya menetapkan pihak yang berhak mendapatkan kompensasi dan restitusi serta instansi pemerintah terkait yang berwenang melakukan pembayaran, namun tidak menyinggung jumlah atau besaran kompensasi dan restitusi yang dapat diajukan atau diklaim oleh korban. Akibatnya, sebagaimana terjadi di Pengadilan HAM Tanjung Priok, korban dan keluarganya melakukan penghitungan Dalam kasus Tanjung Priok dan Abepura, para korban mengajukan permohonan secara langsung ke pengadilan pada saat mereka diperiksa sebagai saksi di pengadilan. Mekanisme ini sebenarnya cukup baik, mengingat korban dapat secara langsung meminta apa yang diinginkan kepada majelis hakim yang memeriksa perkaranya. Permasalahannya adalah hanya para korban yang dipanggil pengadilan saja yang dapat mengajukan permohonan atas kompensasi dan restitusi, sedangkan korban yang tidak dipanggil untuk menjadi saksi di pengadilan tidak memiliki peluang untuk mengajukan permohonan tersebut.

Disamping pengajuan secara langsung ke pengadilan, korban juga menyampaikan permohonannya melalui jaksa penuntut umum. Ini dilakukan korban dengan harapan pada saat jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan, akan disertakan permohonan kompensasi dan restitusi yang dimohonkan para korban. Berbagai cara yang ditempuh korban ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan Pasal 35 UU Pengadilan HAM jo PP No. 3 Tahun 2000 yang menentukan bahwa kompensasi dan restitusi harus dicantumkan dalam amar putusan.

47

Progress Report Pengadilan HAM Tanjung Priok # 6, “Kompensasi, Restitusi dan Rehabiltasi Pelanggaran HAM yang berat” Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 30 April 2004.

(23)

sendiri terhadap jumlah kerugian yang dialami, baik kerugian materiil maupun imateriil. Kerugian materiil adalah kerugian yang bisa dihitung dengan uang yang mencakup kerugian harta benda, pekerjaan, pengobatan, dan transportasi. Sedangkan kerugian immateriil atau kerugian yang tidak bisa dihitung dengan uang mencakup stigmatisasi, pengungkapan kebenaran, dan trauma psikologis.48

Sedangkan untuk peristiwa Abepura, metode yang digunakan dalam menghitung kerugian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kerugian yang secara riil dialami serta biaya-biaya lain yang dikeluarkan, misalnya pembunuhan secara kilat; penyiksaan; meninggal dalam tawanan polisi; mereka yang mengalami cacat tetap, dan mereka yang harta miliknya dirusak. Kerugian kerusakan dan penderitaan yang dialami ini kemudian Menurut pihak korban, acuan untuk menghitung formulasi penghitungan kerugian materiil didasari pada Keputusan Mahkamah Agung Nomor 74 K/FIP/1969 pada 14 Juni 1969 mengenai Penilaian Uang Dilakukan Dengan Harga Emas. Lalu, didasari pula Keputusan Mahkamah Agung Nomor 63 K/PDT/1987 pada 15 Agustus 1988 mengenai Pembayaran Ganti Kerugian Yang Didasari Pada 6 Persen Per Tahun. Sehingga muncul sebuah rumus yakni nilai kerugian dikalikan harga emas tahun 2004 dibagi harga emas tahun N (tahun peristiwa terjadi-red), hasilnya dikali 0,5. Setelah diketahui hasilnya, ditambah enam persen dari hasil tersebut. Sehingga, rumus ditambah enam persen dari rumus menghasilkan nilai kerugian secara total.

Metode penghitungan kerugian ini kemudian diserahkan korban, melalui Kontras kepada Kejaksaan Agung untuk dijadikan bahan pertimbangan ketika menyusun tuntutan hukum (requisitor) mengenai kompensasi dan restitusi.

48

(24)

dinyatakan dalam jumlah uang yang dituntut. Beberapa dari jumlah ini adalah jumlah aktual biaya yang dikeluarkan oleh korban yaitu biaya rumah sakit dan biaya kerusakan harta benda. Jumlah lain adalah jumlah simbolis, yang kebanyakan merupakan hitungan adat, termasuk dalam hal ini adalah kerugian karena nafkah tidak lagi dapat diusahakan karena cacat tetap dan biaya perdamaian. Kesemuanya ini dihitung secara persis sesuai dengan yang dialami.

Berbagai metode penghitungan kerugian muncul sebagai dampak langsung dari tidak jelasnya pengaturan mengenai kompensasi dan restitusi sebagaimana terdapat dalam PP No. 3 Tahun 2002.

Sebenarnya pada tanggal 6 Oktober 2004, pemerintah yang saat itu dikepalai oleh Megawati Soekarnoputri, telah mengeluarkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang selanjutnya akan disebut UU KKR. Undang-undang ini dibentuk untuk mengungkap kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk budaya menghargai HAM sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional demi kepentingan para korban dan/atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi. UU KKR merupakan implikasi dari Pasal 47 UU Pengadilan HAM yang menerangkan bahwa:

1) Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebgaimana dimaksud adalam ayat

(25)

Dalam UU KKR, definisi tentang kompensasi dan restitusi mempunyai arti yang berbeda seperti yang ditemukan dalam UU Pengadilan HAM jo PP No. 3 Tahun 2002, yang menerangkan bahwa:49

Dilihat dari tugas dan wewenang komisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa komisi tersebut mempunyai kewenangan yang penuh dalam membantu pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, mulai dari menerima laporan dari pelaku, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya; melakukan penyelidikan dan klarifikasi mengenai pelanggaran HAM berat; memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam permohonan amnesti, menyampaikan rekomendasi pada pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan/atau rehabilitasi.

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sesuai dengan kemampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental.

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

Dapat dilihat perbedaan antara definisi kompensasi dalam UU KKR ini dengan UU pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002. Dalam UU KKR, kompensasi memunculkan tanggung jawab negara mengenai ganti kerugian bagi korban secara penuh, bukan karena pelaku tidak mampu seperti arti kompensasi dalam UU Pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002.

50

Salah satu alat kelengkapan komisi tersebut adalah subkomisi yang mana mempunyai tugas memberikan pertimbangan hukum dalam pemberian kompensasi, Keuntungan dari terbentuknya komisi tersebut adalah terjaminnya hak-hak korban.

49

Pasal 1 ke-6 dan 7 UU KKR. 50

(26)

restitusi dan rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat dari palanggaran HAM yang berat. Hal ini dapat membantu korban dalam menjamin hak-haknya untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tanpa proses yang panjang seperti yang diatur dalam KUHAP.

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini mempunyai tugas dan wewenang yang jelas. Berbeda dengan halnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang dibentuk melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK sebagai lembaga yang mandiri tidak cukup mengkoordinir kepentingan korban pelanggaran HAM yang berat dalam hal pengajuan kompensasi dan restitusi.

Namun pada 7 Desember 2006, UU KKR telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan Pasal 27 UU KKR tidak jelas. Pasal 27 tersebut dianggap telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dalam memberikan hak kepada korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

BAB III

PRAKTIK PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI BAGI KORBAN DALAM KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA

A. Upaya-upaya Dalam Rangka Pemberian Kompensasi dan Restitusi bagi Korban Pelanggaran HAM Berat

Indonesia telah meratifikasi ICCPR, sebagai salah satu wujud komitmen negara Indonesia untuk menjamin hak asasi warga negaranya. ICCPR merupakan instrumen hukum Internasional yang menindak lanjuti perlindungan hak asasi manusia yang telah

Referensi

Dokumen terkait

The objective is to combine the benefits of case study method of teaching with online discussion forum to enhance the quality of learning while making this an assessment component

Proses pengujian JST dilakukan dengan cara memasukkan data pola keluaran enose masing-masing sampel bahan herbal yang hendak diujikan ke dalam sistem pengujian JST dan

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Pokja PKLK pendidikan inklusif, dinas pendidikan Kota Padang (2013: 3) yang menjadi sasaran dalam layanan identifikasi dan asesmen

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Untuk membantu peserta didik mengembangkan keahlian, mereka harus menginternalisasi pengetahuan atau kemampuan baru dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang baru

Berdasarkan data AC setelah lepas braket dan saat ini menggunakan uji Wilcoxon, didapatkan nilai yang sama dengan data DHC yaitu p<0,005, menunjukkan adanya perbedaan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah aplikasi SPK berbasis komputer menggunakan metode SAW telah dibuat dimana aplikasi dapat memasukan biodata calon siswa,

Iz toga vizualnom inspekcijom podataka moˇ zemo do- biti ideju o tome za koje se vrijednosti kovarijate izgladivaˇ c ne´ ce ponaˇsati najbolje u smislu pristranosti i u kojem smjeru