• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Limbah

Berdasarkan UU RI No.23 Tahun 1997, limbah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan. Limbah merupakan buangan dalam bentuk zat cair yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat dan konsentrasinya atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemari atau merusak lingkungan hidup, dan membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Hampir semua kegiatan manusia akan menghasilkan limbah cair ini, termasuk kegiatan industrialisasi.

Air limbah adalah sisa air yang digunakan dalam industri atau rumah tangga yang dapat mengandung zat tersuspensi dan zat terlarut. Air limbah adalah air yang dikeluarkan oleh industri akibat proses produksi dan pada umumnya sulit diolah karena biasanya mengandung beberapa zat seperti : pelarut organik zat padat terlarut, suspended solid, minyak dan logam berat (Metcalf & Eddy, 1991).

Limbah dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Limbah Ekonomis, yaitu limbah yang dapat dijadikan produk sekunder untuk produk lain dan atau mengurangi pembelian bahan baku.

2. Limbah Non-Ekonomis, yaitu limbah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.

Air limbah yang bersifat non-ekonomis tidak diharapkan dari segi estetika maupun sifatnya yang merugikan, terutama karena begitu besarnya kandungan mikroorganisme yang menyebabkan penyakit, serta kandungan bahan-bahan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Air limbah di daerah iklim panas dapat segera kehilangan kadar oksigen terlarutnya dan segera berubah menjadi septik. Hal ini disebabkan iklim panas merupakan iklim yang optimum bagi pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme yang memanfaatkan kadar oksigen terlarut dalam air limbah untuk proses degradasi senyawa-senyawa organik. Air limbah yang septik akan mempunyai bau yang sangat menusuk dan biasanya berasal dari H2S (hidrogen sulfida).

(2)

2.1.1 Sumber Limbah Cair

Ditinjau dari sumber penghasilnya, air limbah dapat dibagi menjadi 3, yaitu: a. Air Limbah Domestik

Sumber utama air limbah rumah tangga dari masyarakat berasal dari perumahan dan daerah perdagangan, daerah perkantoran, daerah fasilitas rekreasi. Buangan manusia sendiri terdiri dari tinja (faeces), urine, dan air penggelontor. Menurut Duncan Mara, 1976, air limbah daerah tropis memiliki harga BOD antara 400-700 mg/L.

Karakteristik air limbah yang berasal dari perumahaan, menurut Winnerberger, 1969 dapat dibedakan menjadi 4 tipe, yaitu :

1. Grey water : Air cucian yang berasal dari dapur, kamar mandi, laundry, dan lain-lain tanpa faeces dan urin

2. Black water : Air yang berasal dari pembilasan toilet (faeces dan urin dengan pembilasan/penyiraman

3. Yellow water : Urin yang berasal dari pemisahan toilet dan urinals (dengan atau tanpa air untuk pembilasan). 4. Brown water : Blackwater tanpa urin atau yellow water

b. Air Limbah Non-Domestik (Air Limbah Industri)

Air limbah industri merupakan air bekas pemakaian yang berasal dari daerah bukan pemukiman seperti wilayah industri, rumah sakit, laboratorium dan lain sebagainya. Air limbah industri berasal dari proses dan operasi industri tersebut.

Jumlah aliran air limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi tergantung dari jenis dan besar kecilnya industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air, serta derajat pengolahan air limbah di industri yang bersangkutan. Untuk memperkirakan jumlah air limbah yang dihasilkan oleh industri yang tidak menggunakan proses basah diperkirakan sekitar 50 m3/ha/hari. Sebagai patokan dapat dipergunakan pertimbangan

85-95% dari jumlah air yang dipergunakan adalah berupa air limbah apabila industri tersebut tidak menggunakan kembali air limbah. Namun jika sebagian air limbah dimanfaatkan kembali, maka jumlah yang dibuang akan lebih kecil lagi.

(3)

c. Air Limbah Tambahan dan Rembesan

Air limbah tambahan merupakan air hujan yang melimpah dari saluran pengering atau saluran air hujan. Air limbah ini disebabkan oleh air hujan yang masuk melebihi daya tampung saluran sehingga limpahan air hujan akan digabung dengan saluran air limbah. Hal ini akan menjadi faktor tambahan yang sangat besar. Sehingga perlu diketahui curah hujan yang ada sehingga banyaknya air yang akan ditampung melalui saluran air hujan atau saluran pengering dan saluran air limbah dapat diperhitungkan (Sugiharto, 1987, dari Madyanova, 2005).

Selain air hujan yang menjadi limpahan, air hujan juga ada yang menguap, diserap oleh tumbuh-tumbuhan dan ada pula yang terinfiltrasi ke dalam tanah dan kemudian menjadi air tanah. Air limbah rembesan merupakan air tanah yang menyusup ke saluran air limbah melalui sambungan-sambungan pipa atau melalui celah-celah yang ada karena kerusakan pipa saluran. Hal ini disebabkan oleh permukaan air tanah bertemu dengan saluran air limbah.

2.1.2 Komposisi Air Limbah

Berdasarkan komposisi dan jenis zat tersuspensi yang terkandung di dalamnya, terdapat perbedaan antara air limbah domestik dengan air limbah yang berasal dari industri. Pencemar pada air limbah domestik dominan berupa bahan organik bersifat organobiologis. Air limbah domestik mengandung sebagian besar padatan tersuspensi baik berukuran besar, sedang maupun kecil (faeces, sisa makanan), partikel koloid maupun terlarut (urine), senyawa kimia (sabun dan detergen), minyak dan lemak.

Karakteristik air limbah domestik dapat bervariasi sesuai dengan kondisi lokal daerah, waktu aktivitas (jam ke hari, hari ke minggu, musim), tipe penyaluran (pemisahan yang lainnya atau kombinasi penyaluran dimana termasuk semburan air), kebiasan, budaya dan gaya hidup masyarakat.

Sedangkan pencemar yang terkandung dalam air limbah industri didominasi oleh bahan anorganik dan bersifat fisika-kimiawi terutama logam berat dan diantaranya tergolong B3. Jenis pencemar dan karakteristik air limbah yang berasal

(4)

jenis bahan baku primer dan sekunder yang dipakai dalam proses, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air dan derajat pengolahan air limbah yang ada.

Selain berbeda dalam komposisi zat tersuspensinya, prosentase kandungan zat tersebut juga berbeda antara limbah yang berasal dari domestik (limbah rumah tangga) dengan limbah industri. Tabel 2.1 berikut memperlihatkan perbedaan konsentrasi beberapa parameter utama dalam pencemaran air antara limbah domestik dengan limbah industri.

Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Limbah Cair Domestik dan Industri

Parameter Limbah Cair Domestik Limbah Cair Industri

BOD 100 – 300 mg/l 0 - > 50000 mg/l

COD 160- 500 mg/l 0 - >100000 mg/l

Total Solid (Padatan Total) 200 – 1000 mg/l 0 - >100000 mg/l

Suspended Solid (Padatan Tersuspensi) 100 – 500 mg/l 0 - >50000 mg/l

Dissolved Solid (padatan Terlarut) 100 – 500 mg/l 0 - >50000 mg/l

Nitrogen Total 5 – 86 mg/l 0 - >5000 mg/l

Phosphor Total 2 – 10 mg/l 0 - >200 mg/l

Logam Berat 0 0 - >2000 mg/l

Minyak dan Lemak 0 – 40 mg/l 0 - >15000 mg/l

Sumber : Wisjnuprapto, 2007.

Bahan-bahan yang terkandung dalam air limbah dapat dikelompokkan seperti terlihat pada gambar 2.1 berikut (Mara, 1976).

Gambar 2.1 Skema pengelompokan bahan yang terkandung di dalam air limbah Air Limbah Air (99,9%) Padatan(0,01%) Organik (70%) Anorganik (30%) Karbohidrat (25%) Lemak(10%) Protein

(5)

Fraksi organik terdiri dari protein, karbohidrat dan lemak. Senyawa-senyawa ini, terutama protein dan karbohidrat, merupakan suatu substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri.

2.2 Air Limbah Rumah Pemotongan Hewan dan Industri Tahu 2.2.1 Gambaran Perlunya Pengolahan Limbah RPH

Limbah RPH pada umumnya tidak membahayakan secara langsung pada kesehatan manusia karena tidak terlibat langsung dalam perpindahan penyakit, tetapi kandungan bahan organiknya yang tinggi dapat menjadi sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini dapat mereduksi kandungan O2 terlarut dalam

air. Secara normal, air mengandung kira-kira 8 ppm O2 terlarut dan standar

minimum untuk kehidupan ikan adalah 5 ppm, dan di bawah standar ini akan menyebabkan kematian ikan dan biota air lainnya.

Bila O2 terlarut dalam air habis sama sekali karena kadar bahan organik

yang tinggi, maka akan timbul bau busuk (karena kondisi air menjadi anaerob) dan warna air menjadi gelap. Bila protein yang terdapat dalam air mengandung sulfur atau kandungan sulfat alamiah dari air tinggi, maka akan dihasilkan gas H2S yang

menimbulkan bau yang tidak diinginkan.

Sebagai upaya menghindari polusi air ini, dibutuhkan suatu standar untuk buangan industri yang akan bervariasi tergantung pada tempat pembuangan efluen, tingkat pengenceran dalam badan air penerima, dan apakah fasilitas kota tersedia untuk penampungan dan penanganan air buangan tersebut. Setidaknya diperlukan penyaringan bahan-bahan padat dan penghilangan lemak sebelum limbah dibuang ke badan air penerima. Apabila tidak tersedia fasilitas pengolahan limbah kota, maka Rumah Pemotongan Hewan tersebut harus menyediakan sendiri sistem penanganan dan pembuangan limbahnya.

RPH yang ada, terutama yang berskala industri rumah tangga, pada umumnya tidak memiliki sarana pengolahan limbah yang memadai. Hal ini bisa berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan. Selain itu dapat menghasilkan bau yang tidak diinginkan dan pencemaran pada perairan bila pembuangan limbah dilakukan secara sembarangan tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Limbah utama RPH berasal dari penyembelihan, penghilangan bulu, penanganan isi perut, pemotongan bagian-bagian yang tidak berguna, dan pekerjaan membersihkan

(6)

daging. Limbah tersebut mengandung darah, lemak, padatan organik dan anorganik. Kandungan COD dan konsentrasi padatan dalam efluen RPH akan tergantung pada pengawasan terhadap air yang digunakan, pemisahan limbah, dan manajemen RPH dalam mengelola limbahnya.

Indikator polutan lain yang bisa dilihat dari limbah RPH adalah warnanya yang merah dan coklat gelap. Hal ini bisa mengakibatkan protes masyarakat sekitar karena mengganggu pemandangan dan nilai estetika bagi pihak yang ingin memanfaatkan badan air tersebut. Kegiatan RPH yang dapat memberikan dampak terhadap kualitas lingkungan sekitarnya dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut :

Tabel 2.2 Sumber Dampak Kegiatan RPH terhadap Lingkungan

Sumber Limbah Asal Bentuk fisik

Limbah Padat

- Kotoran/tinja - Kotoran perut

- Sisa daging, lemak, dan lain-lain

Kandang hewan Pembersihan isi perut

Pembersihan daging Gumpalan Limbah Cair - Pemotongan hewan - Pembersihan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Darah Darah campur air

Pencemaran Udara

- Bau Kandang hewan Gas

Sumber : Rumah Pemotongan Hewan Dago Bengkok, Bandung 2.2.2 Proses Terbentuknya Limbah RPH

Sumber utama air limbah RPH adalah penampungan hewan (kandang) dan ruang pemotongan hewan. Konsentrasi bahan buangan RPH tergantung dari pengaturan dan konstruksi RPH tersebut untuk mencegah masuknya kotoran dari proses pemotongan ke dalam saluran pembuangan limbah.

Sumber air limbah yang pertama yaitu kandang hewan. Pada umumnya di RPH Dago Bengkok kandang hewan berupa kandang terbuka berlantai tanah kotor, ada juga yang sudah tertutup dan berlantai beton. Bagian dari kandang ini terdiri dari kotoran cair dan padat yang dibuang dari kandang pada waktu pembersihan atau pada saat hujan turun (jika kandang tebuka). Volume dan kadar buangan inipun bervariasi. Buangan utama yang dihasilkan RPH yaitu berasal dari

(7)

pemotongan, pembersihan bulu hewan dan bagian dalam, pemotongan daging, dan pencucian. Dari proses-proses ini ruang pemotongan biasanya menghasilkan buangan terbanyak. Sebagian besar terdiri dari darah. Buangan berwarna merah-kecoklatan, kadar BOD tinggi, dan mengandung zat tersuspensi. Selain darah juga mengandung campuran bulu dan kotoran hewan.

Air limbah yang lain berasal dari tempat hewan dikuliti dan dari pembersihan bagian dalam. Kotoran perut dan cairannya dibuang atau digunakan sebagai pupuk, sedangkan caiaran serta air pemcuci masuk ke saluran pembuangan. Buangan ini mengandung kotoran, lemak, daging, dan bulu. Secara skematis proses pemotongan hewan dan proses terbentuknya limbah dari RPH ini dapat dilihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Skema proses pemotongan hewan 2.2.3 Karakteristik Air Limbah RPH

RPH menghasilkan limbah dalam bentuk padatan dan cairan yang berasal dari proses pemotongan dan pembersihan daging hewan yang dipotong. Secara spesifik limbah dalam bentuk cair berupa darah dari proses pemotongan dan pembersihan yang bercampur dengan air untuk pembersihannya.

Efluen dari RPH mengandung air limbah dengan konsentrasi sedang sampai tinggi. Efluen ini mengandung organik terlarut (45%) dan tersuspensi (55%). Kebanyakan organik dihasilkan dari darah dan kotoran. Komposisi dan besarnya aliran umumnya tergantung dari jumlah hewan yang dipotong. (Manjunath et.al,

Ayam hidup

Penyembelihan Perebusan Pencabutan Bulu

Ayam mati bebas bulu siap

dipasarkan Darah Ayam

Air Air bekas rebusan

Air bekas pembersihan

(8)

2000). Mengenai karakteristik air limbah RPH telah dilakukan penelitian oleh Manjunath di India, yaitu seperti terlihat pada tabel 2.3 berikut :

Tabel 2.3 Karakteristik Air Limbah RPH

Parameter konsentrasi

pH 6,5 – 7,3

Suspended Solid 300 – 2300 mg/l

BOD5 600 – 3900 mg/l

Lemak 125 – 400 mg/l

TKN (Total Kjeldahl Nitrogen) 90 – 150 mg/l

Phosphat 8 – 15 mg/l

COD 1100 – 7200 mg/l

Sumber : Manjunath et.al, 2000 2.2.4 Limbah Industri Tahu

Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu maupun pada saat pencucian kedelei. Limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan cair. Limbah padat belum dirasakan dampaknya terhadap lingkungan karena dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak, tetapi limbah cair akan mengakibatkan bau busuk dan bila dibuang langsung ke sungai akan menyebabkan tercemarnya sungai tersebut. Setiap 1 kwintal kedele akan menghasilkan limbah 1,5 - 2 m3 air limbah.

Limbah cair pada industri tahu ini berasal dari proses-proses yang terlibat dalam pembuatan tahu, mulai dari proses awal yaitu pencucian kedele, sampai tahu yang telah jadi. Gambar 2.3 berikut ini memperlihatkan proses pembuatan tahu.

(9)

Mula-mula kedelai yang telah dicuci bersih direndam dalam air bersih selama ±8 jam supaya kedelai mengembang. Kemudian kedelai ditumbuk atau digiling dengan ditambahkan air hangat sedikit demi sedikit sampai berbentuk bubur. Bubur kedelai tersebut dimasak pada tungku dengan suhu 70 – 80ºC, yang ditandai dengan terbentuknya gelembung-gelembung kecil, sambil terus diaduk supaya tidak mengental. Kemudian saring bubur kedelai tersebut, tambahkan batu tahu atau Kalsium sulfat (CaSO4) sebanyak 1 gram atau 3 ml asam cuka untuk 1

liter sari kedelai, dan biarkan supaya mengendap. Terakhir, cetak dan pres endapan tersebut, diamkan sampai agak mengeras selama kurang lebih 15 menit, kemudian potong-potong tahu tersebut, dan siap dipasarkan.

Secara sistematis, proses-proses yang terdapat dalam pembuatan tahu dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut.

(10)

Dari berbagai tahapan proses pembuatan tahu tersebut akan dihasilkan limbah yang berpotensi mengakibatkan pencemaran bagi lingkungan, karena pada umumnya limbah tersebut memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu antara lain :

• Air dari proses perendaman dan pencucian kedelai • Sisa air tahu yang tidak menggumpal

• Potongan tahu yang hancur pada saat proses karena kurang sempurnanya proses penggumpalan

• Air sisa perebusan tahu dengan kunyit dan garam (apabila diproduksi juga tahu kuning)

• Limbah tahu keruh dan berwarna kuning muda keabu-abuan dan bila dibiarkan akan berwarna hitam dan berbau busuk

Limbah cair yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu tersebut mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut, yang akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan hayati dan menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman dimana kuman ini dapat berupa kuman penyakit atau kuman lainnya yang merugikan baik pada tahu sendiri ataupun tubuh manusia. Bila dibiarkan dalam air limbah akan berubah warnanya menjadi coklat kehitaman dan berbau busuk. Bau busuk ini akan mengakibatkan sakit pernapasan. Apabila air limbah ini merembes ke dalam tanah yang dekat dengan sumur maka air sumur itu tidak dapat dimanfaatkan lagi. Apabila limbah ini dialirkan ke sungai maka akan mencemari sungai dan bila masih digunakan maka akan menimbulkan penyakit gatal, diare, dan penyakit lainnya.

Pada tahun 2000 dan 2001 pernah dilakukan pemeriksaan air buangan dari industri tahu dengan mengambil sampel industri tahu dari dua tempat, yaitu Industri Tahu Tauhid Lembang (2001) dan Industri Tahu Cibuntu (2000, 2001). Hasil pemeriksaan air buangan kedua industri tahu tersebut bila dibandingkan dengan baku mutu dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut.

(11)

Tabel 2.4 Hasil Pemeriksaan Air Buangan Industri Tahu

Parameter Satuan Kualitas Air Buangan Industri Tahu

Tauhid Cibuntu

Gol. Baku Mutu

tahun '01 tahun '00 tahun '01 A B

pH - 5.3 4.5 - 5 3.61 6.0 - 9.0

Temperatur ºC 78 36 60 38 40

Daya Hantar Listrik µmhos >1000 19390 5320 - -

Oksigen Terlarut (DO) mg/l 2.3 - - - - Warna Pt-Co 15000 - - - - TSS mg/l 950 2319.6 148 200 400 TDS mg/l 46338 13468 13050 2000 4000 Kekeruhan NTU 136.5 190 - - - COD mg/l 1000 400 118000 100 300 BOD mg/l 3231 3786.21 - 50 150 NTK mg/l 616.352 - 565.6 - - N - Ammonium mg/l 112.064 - 44.8 1 5 N - Organik mg/l 504.288 - 520.8 - - Nitrat mg/l - 2.269 12.16 20 30 Nitrit mg/l - 1.753 0 1 3 Zat Organik mg/l KmnO4 - - 3370.67 - -

Sumber :Katharina Oginawati, 2006

Dari hasil pemeriksaan di atas, parameter-parameter air buangan industri tahu yang melewati baku mutu untuk golongan B adalah sebagai berikut :

1. Temperatur 2. TSS 3. TDS 4. COD 5. BOD 6. N-Amonium

2.3 Pengolahan Air Limbah

Definisi treatment atau pengolahan adalah pemisahan padatan dan stabilisasi polutan. Maksud dari stabilisasi adalah mendegradasi materi organik sampai pada suatu titik dimana reaksi kimia dan biologis tidak berlangsung lagi.

Treatment juga bisa berarti menghilangkan racun atau substansi yang berbahaya

(misalnya logam berat atau phospor) yang bisa menghentikan siklus biologis yang berkelanjutan, meskipun telah terjadi stabilisasi materi organik (Sasse, 1992). Pada

(12)

umumnya bahan pencemar yang menjadi perhatian utama adalah bahan-bahan organik yang larut dan tidak terlarut, berbentuk senyawa nitrogen, fosfor, dan materi inert tidak terlarut.

Berdasarkan proses yang berlangsung, pengolahan air limbah dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu pengolahan secara kimia, fisika, dan secara proses biologi.

1. Pengolahan limbah secara fisika

Merupakan proses pengolahan limbah tanpa adanya reaksi kimia atau biologi. Setiap tahap dari proses fisika melibatkan tahapan pemisahan materi tersuspensi dari fase fluidanya.

2. Pengolahan limbah secara kimia

Merupakan proses pengolahan limbah yang memanfaatkan reaksi-reaksi kimia untuk mentransformasi limbah berbahaya menjadi tidak berbahaya. Berbagai bentuk pengolahan misalnya seperti : netralisasi, koagulasi-flokulasi, oksidasi dan reduksi, penukaran ion, khlorinasi.

3. Pengolahan limbah secara biologi

Merupakan proses pengolahan limbah dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri, untuk mendegradasi polutan-polutan yang terdapat dalam air limbah.

Limbah yang berasal dari domestik pada umumnya mengandung bahan organik dengan konsentrasi tinggi, sehingga pada umumnya pengolahannya menggunakan proses biologi. Sedangkan air limbah dari industri bersifat lebih kompleks, dengan kandungan bahan kimia yang lebih beragam. Sehingga proses pengolahan yang diperlukan lebih rumit dan melibatkan berbagai proses (baik kimia, fisika, maupun biologi).

(13)

2.3.1 Pengolahan secara Biologi

Merupakan metoda pengolahan yang menggunakan aktivitas biologi dalam penyisihan bahan-bahan pencemar. Pengolahan air buangan secara biologi didasarkan pada penggunaan substansi-substansi pencemar air sebagai nutrien oleh campuran populasi mikroorganisme. Mekanisme ini berlangsung secara alamiah dalam badan-badan air yang sehat, seperti danau dan sungai, sebagai proses purifikasi.

Tujuan dari pengolahan air buangan secara biologi sendiri adalah untuk menstabilisasi materi organik terlarut serta mengkoagulasi dan menyisihkan padatan koloid (Metcalf dan Eddy, 1991). Mekanisme pengolahan biologi adalah mencampurkan air buangan dengan populasi pekat mikroorganisme, dan membiarkannya berkontak selama waktu tertentu yang cukup bagi mikroorganisme tersebut untuk menguraikan dan menyisihkan bahan-bahan pencemar, sampai mencapai tingkat pengolahan yang diinginkan.

Kehadiran mikroorganisme sangat mutlak dalam pengolahan biologi. Pengolahan ini memanfaatkan kemampuan mikroorganisme mengubah bahan koloid dan materi organik karbon terlarut menjadi berbagai jenis gas-gas dan sel-sel baru. Akibat berat spesifik mikroorganisme yang sedikit lebih besar daripada berat spesifik air, sel-sel baru dapat diendapkan secara gravitasi dan kemudian disisihkan. Dengan demikian efisiensi pengolahan biologi tergantung dari kondisi lingkungan yang diterapkan bagi kehidupan mikroorganisme. Untuk setiap jenis air limbah, proses pengolahan biologi merupakan kegiatan kontrol terhadap lingkungan yang diperlukan untuk pertumbuhan optimum mikroorganisme terkait.

Pengolahan limbah secara biologi ini dapat diklasifikasikan berdasarkan tiga macam kriteria, yaitu :

- Pendekatan lingkungan proses - Bentuk transformasi yang dilakukan - Konfigurasi reaktor

(14)

2.3.2 Pendekatan Lingkungan Proses

Klasifikasi berdasarkan lingkungan proses ditinjau dari ketersediaan oksigen dalam lingkungan tempat hidup mikroorganisme. Terdapat lima kondisi ketersediaan oksigen dalam lingkungan, yaitu :

1. Proses Aerob

Merupakan lingkungan dimana oksigen terlarut berada dalam jumlah yang cukup, sehingga oksigen bukan merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan oksigen berfungsi mutlak sebagai terminal akseptor elektron.

2. Proses Anaerob

Merupakan lingkungan dimana oksigen berada dalam jumlah yang kurang, sehingga merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan mikroorganisme. Dalam hal ini yang berperan sebagai akseptor elektron adalah oksigen dalam bentuk yang tidak bebas (senyawa O2), misal NO2-,

NO33, SO42-.

3. Proses Anoksik

Merupakan proses yang memakai senyawa inorganik teroksidasi sebagai akseptor elektron. Oksidasi amonia dan nitrit menjadi nitrat terjadi pada kondisi anoksik (tanpa oksigen) dilakukan oleh bakteri nitrifikasi.

4. Kombinasi proses aerob, anaerob, dan anoksik 5. Sistem kolam atau pond

2.3.3 Bentuk Transformasi yang Dilakukan

Dalam proses pengolahan limbah secara biologi, ada tiga mekanisme dasar yang terjadi untuk menguraikan senyawa-senyawa polutan yang ada, yaitu penyisihan bahan organik terlarut, stabilisasi bahan organik tak terlarut, dan konversi bahan anorganik terlarut.

(15)

1. Penyisihan bahan organik terlarut

Merupakan proses biologi yang utama dalam pengolahan air limbah. Dalam tahap ini, bahan terlarut bertindak sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme. Sehingga bahan organik terlarut akan dikonversi menjadi bahan organik tak terlarut yang kemudian dapat disisihkan dengan cara pengendapan.

2. Stabilisasi bahan organik tak terlarut

Merupakan proses untuk menstabilkan bahan organik tak terlarut hasil proses sebelumnya, menjadi solid atau padatan yang bersifat anorganik dan tidak akan terdegradasi lagi. Tahap ini biasanya digunakan untuk pengolahan lumpur biologi.

3. Konversi bahan anorganik terlarut

Dalam tahap ini terjadi oksidasi biologi pada bahan-bahan anorganik terlarut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Misal konversi NH4 menjadi nitrat dan nitrit dalam kondisi aerob.

2.3.4 Konfigurasi Reaktor

Dalam hal kofigurasi reaktor, proses pengolahan secara biologi masih dibagi berdasarkan tiga kriteria, yaitu :

1. Berdasarkan Macam Pertumbuhan Mikroorganisme

Terdapat tiga macam jenis media pertumbuhan bagi mikroorganisme, antara lain :

a. Suspended growth atau pertumbuhan tersuspensi, mikroorganisme berada pada keadaan tersuspensi dalam air limbah seperti pada reaktor lumpur aktif atau kolam oksidasi.

b. Attached growth atau pertumbuhan terlekat, mikroorganisme tumbuh terlekat pada media pendukung yang berada di dalam air limbah. Media pendukung ini dapat berupa media pendukung yang bergerak

(16)

(rotating biological contactor, fluidized bed, rotortogue), diam (trickling filter,baffled reactor), terendam (fluidized bed) maupun tidak terendam (trickling filter).

c. Kombinasi dari suspended dan attached growth 2. Berdasarkan Kondisi Aliran dalam Reaktor

Terdapat dua jenis pola aliran dalam reaktor pertumbuhan mikroorganisme, yaitu :

a. CSTR (Completely Stirred Tank Reactor), disebut juga sistem tercampur sempurna. Dalam reaktor tipe CSTR ini, baik konsentrasi mikroorganisme maupun konsentrasi substrat terlarut akan sama di setiap titik.

b. PFR (Plug Flow Reactor), disebut juga sistem aliran sumbat. Dalam reaktor tipe ini, konsentrasi substrat dan mikroorganisme berkurang dari influen ke efluen tetapi konsentrasi di penampang melintangnya adalah sama.

3. Berdasarkan Cara Pengumpanan (feeding)

Terdapat tiga macam cara pemberian umpan untuk sebuah reaktor, yaitu : a. Sistem kontinu dimana pemberian umpan dilakukan secara terus

menerus.

b. Sistem batch (curah) dimana pemberian umpan dilakukan hanya sekali, yaitu pada saat awal sebelum reaktor dioperasikan.

c. Sistem semi batch dimana pemberian umpan dilakukan sesekali.

2.4 Proses Anaerob

Proses anaerob merupakan proses pengolahan air limbah yang memanfaatkan aktivitas pertumbuhan mikroorganisme yang berkontak dengan air

(17)

buangan, sehingga mikroorganisme tersebut dapat menggunakan pencemar-pencemar yang ada sebagai bahan makanan dalam kondisi lingkungan tanpa keberadaan oksigen (Qasim, 1985, dari Madyanova, 2005). Sejak tahun 1980-an proses pengolahan anaerobik telah mengalami berbagai macam perkembangan.

Jadi secara umum, proses pengolahan biologi memanfaatkan metabolisme mikroba, yang menggunakan pencemar-pencemar sebagai substrat (sumber energi dan karbon) untuk pertumbuhan, dan konstruksi selnya. Tabel 2.5 berikut ini menunjukkan klasifikasi mikroba berdasarkan sumber energi dan karbonnya : Tabel 2.5 Klasifikasi Umum Mikroorganisme Berdasarkan Sumber Energi dan

Karbon

Klasifikasi Sumber energi Sumber karbon

Autotrofik

Fotoautotrofik Kemoautotrofik

Cahaya

Reaksi redoks anorganik

CO2

CO2 Heterotrofik

Kemoheterotrofik Fotoheterotrofik

Reaksi redoks organik Cahaya

Karbon Organik Karbon Organik

Sumber: Metcalf & Eddy, 1991

Dari tabel 2.5 dapat diketahui bahwa mikroba yang berperan paling besar pada penyisihan materi organik (oksidasi) adalah kemoheterotrof, karena mikroorganisme tersebut menggunakan materi organik sebagai sumber energi dan karbonnya. Yang termasuk kelompok mikroorganisme kemoheterotrof adalah protozoa, jamur dan kebanyakan bakteri (Metcalf dan Eddy, 1991).

2.4.1 Tahapan Proses Pengolahan Biologi secara Anaerob

Pada dasarnya ada dua tingkat temperatur pengoperasian untuk proses anaerob secara konvensional, yaitu :

• Mesophilic yang memiliki suhu optimum sekitar 37°-41°C atau pada temperatur ambien antara 20°-45°C dengan memanfaatkan bakteri

(18)

• Thermophilic yang memiliki suhu optimum sekitar 50°-52°C atau pada temperatur tinggi di atas 70°C dengan memanfaatkan bakteri thermophilic. Waktu tinggal (detensi) dalam reaktor anaerob bervariasi, tergantung jumlah substrat, jenis substrat, dan temperatur dalam reaktor. Pengolahan secara mesophilic memiliki waktu detensi antara 15 sampai 30 hari. Sedangkan untuk tahap thermophilic, proses bisa berlangsung kebih cepat, yaitu hanya sekitar 2 minggu. Proses thermophilic lebih mahal dibandingkan mesophilic, selain itu juga memerlukan energi yang lebih besar, dan kurang stabil. Oleh karena itulah, proses pengolahan secara anaerob pada umumnya terjadi pada tingkat mesophilic.

Proses pengolahan materi organik secara biologi anaerob sampai menghasilkan senyawa-senyawa kimia sederhana, melibatkan sejumlah bakteri yang dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :

1. Kelompok pertama terdiri dari bakteri fermentasi

Bakteri ini berperan dalam proses hidrolisis dan asidogenesis. Proses ini melibatkan peran ekso-enzim untuk menghidrolisis materi-materi polimer, seperti protein, lemak, dan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa organik

yang lebih sederhana. Bentuk yang lebih sederhana ini memungkinkan senyawa – senyawa tersebut masuk ke dalam sel dan melakukan proses

oksidasi-reduksi sehingga menghasilkan asam-asam volatil, karbondioksida, dan hidrogen.

2. Kelompok kedua terdiri dari bakteri asetogenik

Bakteri asetogenik bertugas memecah produk yang dihasilkan pada tahap asidifikasi untuk membentuk asetat, hidrogen, dan karbondioksida.

3. Kelompok ketiga terdiri dari bakteri metanogenik

Bakteri ini berperan dalam konversi asetat atau karbondioksida dan hidrogen menjadi gas metan. Dalam proses pengolahan secara anaerob, substrat metanogenik lain seperti methanol, karbonmonoksida, dan metilamine tidak banyak diperlukan.

(19)

Tahapan-tahapan proses anaerob oleh ketiga kelompok bakteri tersebut dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut (Shuler dan Kargi, 1992) :

Organik tidak terlarut

Hidrolisis enzimatik kondisi asam Organik terlarut

Bakteri pembentuk asam Asam Volatil + Alkohol + H2 + CO2

Metanogen CH4 + CO2 + H2S

Gambar 2.5 Tahap Utama Pengolahan Anaerob

Toerien et al. (1970), dari Madyanova, 2005, membagi proses biokimia anaerobik menjadi empat fase yang terdiri dari hidrolisa, asidogenesa, asetogenesa, dan metanogenesa.

a. Hidrolisa

Merupakan tahap pemutusan rantai atau pemecahan molekul bahan organik kompleks yang panjang menjadi lebih pendek sehingga terbentuk bahan organik yang lebih sederhana. Bahan organik sebagai sumber nutrien diserap dari substrat atau dalam hal ini adalah limbah cair. Pemutusan rantai bertujuan agar bahan organik tersebut lebih mudah diserap dan dicerna oleh bakteri dalam metabolismenya. Menurut Gaudy dan Lim (1980) serta Horan (1990), senyawa organik yang akan dikonsumsi mengalami pelarutan dan reduksi ukuran molekul untuk memudahkan transpor melalui membran sel. Proses ini didukung oleh enzim-enzim ekstraseluler yang dihasilkan mikroorganisme sebagai katalisator. Contohnya adalah pemecahan karbohidrat, lemak dan protein menjadi molekul-mulekul gula, peptida dan asam amino. Molekul hasil hidrolisa akan dimanfaatkan mikroorganisme sebagai sumber karbon dan energi.

(20)

b. Asidogenesa

Pada tahapan ini terjadi penguraian lebih lanjut dari sebagian materi-materi organik hasil proses hidrolisa menjadi senyawa-senyawa alkohol dan asam-asam volatil seperti metanol, etanol, asam butirat, formiat, propionat dan lain-lain. Proses ini dilakukan oleh bakteri-bakteri pembentuk asam yang bersifat fakultatif. Asam-asam yang terbentuk akan menurunkan pH sehingga diperlukan kontrol pH agar tidak menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk metan yang membutuhkan pH optimal 6,5-8.

c. Asetogenesa

Asam-asam volatil, alkohol dan sebagian materi-materi organik hasil proses hidrolisa diubah menjadi asam asetat, asam formiat, H2 dan CO2.

Tahapan ini penting untuk menghindarkan akumulasi asam lemak volatil yang menghambat terjadinya tahapan metanogenesa. Gas H2 dihasilkan oleh bakteri

penghasil hidrogen melalui proses hidrogenesa. Bakteri jenis ini dapat menghasilkan asam tetapi tidak semua bakteri penghasil asam dapat menghasilkan gas H2. Oleh karena itu bakteri jenis ini dimasukkan kedalam

jenis bakteri penghasil asam. Bila gas H2 tidak terbentuk maka fase

nonmetanogen menghasilkan sedikit penurunan COD karena tidak semua elektron yang lepas dalam oksidasi senyawa organik diterima akseptor organik dalam media. Sedangkan bila gas H2 terbentuk penurunan COD akan lebih

signifikan.

d. Metanogenesa

Merupakan tahap terakhir proses anaerob dimana terbentuk metan (CH4)

dan CO2 sebagai produk akhir. Asam asetat diubah menjadi CH4 dan CO2 dan

kemudian CO2 direduksi menjadi CH4. Keberadaan asam asetat merupakan

prekursor dari terbentuknya gas metan (CH4) di dalam reaktor. Persamaan

umum reaksi yang terjadi menurut Droste (1997), adalah sebagai berikut : CH3COOH Æ CH4 + CO2

Bakteri yang bekerja pada tahap ini adalah bakteri pembentuk metan. Metcalf dan Eddy (1991) menyatakan bahwa bakteri ini hanya dapat menggunakan substrat yang terbatas dalam pembentukan metan. Substrat-

(21)

substrat tersebut adalah CO2 + H2, asam format, asam asetat, metanol,

metilamina dan CO2.

Sedangkan reaksi lengkapnya menurut Metcalf dan Eddy (1991), adalah sebagai berikut :

4H2 + CO2 Æ CH4 +2H2O

4HCOOH Æ CH4 + 3CO2 + 2H2O

CH3COOH Æ CH4 + CO2

4CH3OH Æ 3CH4 + CO2 + 2H2O

4(CH3) 3N + H2O Æ 9CH4 + 3CO2 + 6H2O + 4NH3

Kecepatan metabolisme bakteri pembentuk metan lebih kecil daripada bakteri pembentuk asam, sehingga produksi metan merupakan tahap rate-

limiting (reaksi pembatas) dalam penguraian anaerob. Bakteri pembentuk metan

juga lebih sensitif terhadap lingkungan dibandingkan bakteri pembentuk asam sehingga kondisi lingkungan perlu terus dikontrol.

Faktor-faktor lingkungan yang perlu diperhatikan pada tahap metanogenesa ini adalah :

• Tidak ada oksigen.

• pH optimal 6,5-8. Aktivitas mikroorganisme pembentuk metan akan berkurang drastis apabila pH berada diluar batasan tersebut (Droste,1997). Maka bila pH pada tahapan asidogenesa terlalu rendah akan diperlukan buffer untuk menaikkan pH. Penambahan buffer untuk menaikkan alkalinitas dapat berupa penambahan NaHCO3-.

• Alkalinitas 1000-5000 mg/L

• Konsentrasi asam-asam volatil < 250 mg/L • Temperatur kurang lebih 37 oC.

• Perbandingan C/N = 23-30 • Ketersediaan nutrien yang cukup.

• Tidak adanya inhibitor seperti logam-logam berat.

Tabel 2.6 berikut memperlihatkan rentang beberapa parameter yang merupakan kondisi pengoperasian ideal untuk proses fermentasi (Andrews and Graef, 1970).

(22)

Tabel 2.6 Rentang pengoperasian ideal untuk proses fermentasi metan.

Parameter Optimum Ekstrim

Temperatur (ºC) 30 – 35 25 – 40

pH 6,6 – 7,6 6,2 – 8

Alkalinitas (mg/L CaCO3) 2000 – 3000 1000 – 5000

Asam volatil (mg/L asam asetat) 50 – 500 2000

Sumber : Andrews and Graef, 1970

Sedangkan substansi-substansi yang dapat menghambat terjadinya proses fermentasi secara sempurna dapat dilihat pada tabel 2.7 (Andrews and Graef, 1970). Tabel 2.7 Konsentrasi substansi-substansi penghambat proses fermentasi

Substansi Menghambat sedang

(mg/L) Menghambat kuat (mg/L) Sodium 3500 – 5500 8000 Potasium 2500 – 4500 12000 Kalsium 2500 – 4500 8000 Magnesium 1000 – 1500 3000 Sulfida 100 – 200 >200

Sumber : Andrews and Graef, 1970

Keempat fasa dekomposisi secara anaerob dapat dilihat pada gambar 2.6.

4% H2

28% 24%

Organik kompleks 76% Asam organik Lebih kompleks CH4

52%

20% 72% CH3COOH

Tahap 1; Tahap 2: Tahap 3:

Hidrolisis & fermentasi Asetogenesa dan Fermentasi metan Dehidrogenesa

Gambar 2.6 Diagram Skematik Pola Penguraian Karbon Secara Anaerobik Sumber : Metcalf dan Eddy, 1991.

(23)

Indikator yang menunjukkan bahwa suatu proses anaerob mengalami ketidakseimbangan dapat dilihat pada tabel 2.8.

Tabel 2.8 Indikator-indikator proses anaerob yang mengalami ketidakseimbangan

Parameter yang mengalami peningkatan

Parameter yang mengalami penurunan

Konsentrasi asam-asam volatil pH

Total produksi gas Persentase gas-gas CO Stabilisasi air limbah

Sumber : Andrews and Graef, 1970

2.4.2 Perbandingan Proses Pengolahan secara Anaerob dengan Aerob

Proses pengolahan buangan secara anaerob mempunyai beberapa keuntungan penting dibandingkan dengan proses pengolahan biologi secara aerob. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain (letingga dkk, 1979, dari Madyanova, 2005):

1. Mampu mengolah buangan dengan beban organik yang tinggi, karena proses tidak dibatasi oleh kemampuan transfer oksigen pada tingkat konsumsi oksigen yang tinggi.

2. Produksi kelebihan lumpur (biomassa) yang terstabilisasi rendah, sehingga kebutuhan lahan untuk pembuangan lumpur juga menurun. Lumpur yang dihasilkan dari proses pengolahan secara anaerob hanya sekitar 20% dari pengolahan secara aerob.

3. Lumpur mempunyai karakteristik yang baik, sehingga memiliki nilai fungsional sebagai pupuk yang nilai per unit berat kira kira sama dengan lumpur yang diproduksi oleh proses aerobik.

4. Kebutuhan akan nutrien sedikit, berarti juga kebutuhan akan nitrogen dan fosfor berkurang.

5. Tidak diperlukan aerasi, sehingga biaya dan energi yang diperlukan untuk aerasi dapat dihindari. Dalam proses pengolahan secara aerob, untuk setiap 1 kg penyisihan COD diperlukan energi sebesar 0,5 – 0,75 kwh. 6. Terbentuknya produk akhir yang berguna yaitu metan. Untuk produksi

(24)

proses anaerobik terdiri dari 60-70% gas metan dan 30-40% gas karbondioksida. Terdapat juga gas hidrogen, hidrogen sulfida, uap air, amonia dan gas lain dalam jumlah yang relatif kecil.

7. Tidak sensitif terhadap senyawa beracun.

Adapun kelemahan proses pengolahan secara anaerob adalah :

1. Diperlukan waktu 8-12 minggu untuk memulai proses ini (Lettinga et al., 1979, dari Madyanova, 2005).

2. Temperatur cukup tinggi dibutuhkan untuk mepertahankan aktivitas mikroba pada tingkat yang layak.

3. Stabilisasi organik tidak selesai (dibandingkan dengan aerobik) pada waktu pengolahan yang ekonomis.

Agar proses pengolahan secara anaerob lebih efisien, ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain :

1. Tersedia cukup nutrien, seperti N dan P, dan mikronutrien terutama Fe, Co, Ni, dan lain-lain.

2. Hindari terdapatnya udara atau oksigen yang berlebih dalam reaktor. 3. Pada influen harus dijaga agar tidak terdapat zat toksik atau zat-zat lain

yang bersifat sebagai inhibitor. 4. Kondisi pH sekitar 6,8 – 7,2. 5. Adanya alkalinitas yang cukup

6. Kandungan asam-asam volatil dalam reaktor tidak boleh terlalu tinggi. 7. Temperatur sekitar 30º-38ºC (pada range mesophilic).

Pengolahan limbah dengan menggunakan proses biologi secara anaerob ini sesuai untuk melakukan pengolahan limbah industri dengan karakteristik dan jenis tertentu yang berasal dari industri-industri sebagai berikut :

1. Limbah dari proses produksi alkohol 2. Pabrik bir dan anggur

3. Pabrik gula

4. Limbah dari industri yang banyak mengandung kanji dan zat tepung, (seperti jagung, kentang, tapioka, gandum, dan proses pemberian kanji pada industri tekstil)

(25)

5. Pabrik makanan

6. Industri Pulp and Paper 7. Rumah Pemotongan Hewan 8. Industri Petrokimia

2.5 Anaerobic Baffled Reactor

Anaerobic Baffled Reactor (ABR) atau dikenal juga dengan Anaerobic Baffled Septic Tank (ABST) adalah salah satu reaktor hasil modifikasi septic tank

dengan penambahan sekat-sekat. Teknologi ini telah digunakan dan dikembangkan oleh Bachman dkk (1985) untuk mengolah limbah cair sintetik dengan kategori kuat (COD 8000 mg/l) sampai sedang.

Sistem ABR sangat efisien untuk mengolah air buangan sintetis yang relatif kurang kuat (low-strength synthetic wastewater), (Manariotis et al.,2002; Wanasen, 2003), air buangan dari rumah penjagalan hewan (Polprasert et al., 1992; Wanasen, 2003), dan air buangan domestik atau perkotaan (Tosonis et.al, 1994; Orozco et al., 1997; Wanasen, 2003). ABR juga cocok untuk mengolah air buangan yang memiliki kandungan zat tersuspensi tidak terendapkan yang tinggi dan rasio BOD/COD yang rendah, seperti limbah dari kegiatan industri (Wanasen, 2003).

ABR merupakan bioreaktor anaerob yang memiliki kompartemen-kompartemen yang dibatasi oleh sekat-sekat vertikal. ABR mampu mengolah berbagai macam jenis influen. Umumnya sebuah ABR terdiri dari kompartemen-kompartemen yang tersusun seri. Rangkaian kompartemen-kompartemen pada ABR secara seri memiliki keuntungan dalam membantu mengolah substansi yang sulit didegradasi (Sasse, 1998). Aliran limbah cair diarahkan menuju ke bagian bawah sekat (Wanasen, 2003) oleh susunan seri sekat tergantung maupun tegak dan juga tekanan dari influen sehingga air limbah dapat mengalir dari inlet menuju outlet.

Bagian bawah sekat tergantung dibengkokkan 45o untuk mengarahkan aliran air dan mengurangi channelling atau aliran pendek. Bagian downflow lebih sempit dibanding upflow untuk mencegah akumulasi mikroorganisme. Dalam aliran ke atas, aliran melewati sludge blanket, sehingga limbah dapat kontak dengan mikroorganisme aktif. Arah aliran limbah dalam sebuah reaktor ABR dapat dilihat pada gambar 2.7 berikut :

(26)

Gambar 2.7 Anaerobic Baffled Reactor dengan 4 penyekat

Akibat karakteristik aliran dalam reaktor ABR dan gas yang dihasilkan dari tiap-tiap kompartemen tersebut, mikroorganisme di dalam reaktor akan naik secara perlahan dan kemudian membentuk lapisan (selimut) lumpur yang melayang, tetapi bergerak secara horizontal turun ke bagian bawah reaktor dengan laju yang relatif lambat sehingga meningkatkan waktu tinggal sel (Cell Retention Time) atau CRT lebih dari 100 hari pada waktu detensi hidraulik (HRT) 20 jam (Grobicki amd Stuckey, 1991). Hal ini juga akan memisahkan waktu retensi hidrolik (HRT) dengan waktu detensi solid (SRT). Oleh karena itu, konsentrasi mikroorganisme yang tinggi dan penyisihan COD yang baik dapat tercapai. Waktu retensi hidrolik yang singkat cukup bagus untuk pengolahan limbah cair berkekuatan rendah. HRT yang terlalu lama akan dapat menyebabkan kelaparan mikroorganisme pada kompartemen terakhir (Orozco, 1988).

Sebuah unit ABR dengan 3 ruang reaktor, bersama dengan modifikasi fisik, menyediakan sludge retention time (SRT) yang lebih lama dan kinerja yang lebih baik daripada reaktor yang memiliki 2 ruang. Analisis selanjutnya mengatakan bahwa selain menghilangkan solid, 3 ruang reaktor juga lebih efisien dalam mengkonversikan solid yang terperangkap ke dalam bentuk metan (Barber and Stuckey, 1999).

ABR memiliki banyak variasi kompartemen (2-11 kompartemen). Umumnya ABR memiliki 4 kompartemen yang dirangkai secara seri. Kompartemen terakhir dapat ditambahkan filter di bagian atas unit, dengan maksud untuk menyisihkan partikel padatan yang masih ada. Sebuah settler dapat

(27)

diletakkan di akhir unit instalasi, untuk mengendapkan partikel-partikel padatan yang masih ada (Sasse,1998). Gambar 2.8 berikut ini memperlihatkan sebuah reaktor ABR yang memiliki 3 penyekat (terdiri dari 4 kompartemen) :

Gambar 2.8 Anaerobic Baffled Reactor dengan 3 penyekat

Salah satu penelitian di Durban Institute of Technology Afrika Selatan menyatakan bahwa sekat-sekat pada ABR mengatur jalannya aliran dan menahan sejumlah lumpur (biomassa) berkonsentrasi tinggi pada kompartemen-kompartemen yang dibentuk oleh sekat-sekat tersebut. Aliran air yang melewati kompartemen tersebut secara bertahap menyebabkan meningkatnya konsentrasi biomassa. Melalui beberapa prosedur yang dipakai seperti Scanning Electron

Microscopy (SEM), Fluorescent Insitu Hybridisation (FISH) dan DNA sequencing

diketahui bahwa biomassa tersebut dapat beradaptasi secara optimal dengan kondisi reaksi yang spesifik dalam kompartemen. Komunitas biomassa ini juga menunjukkan kekebalan terhadap zat-zat bersifat toksik dan juga tahan dari organic

shock loading. Selain itu dengan melakukan kulturisasi patogen, penelitian diatas

juga memberikan hasil deaktivasi indikator patogen pada komunitas biomassa ABR. Secara umum, penambahan sekat-sekat pada ABR akan meningkatkan efisiensi pengolahan karena dapat memperpanjang waktu detensi (waktu kontak antara air limbah dengan konsentrasi massa bakteri).

2.5.1 Prinsip Kerja ABR

ABR merupakan rektor biologi atau bioreaktor biakan kontinu dimana suplai medium pertumbuhan masuk secara kontinu dan produk yang keluar juga kontinu. Laju alir cairan menuju reaktor sama dengan laju alir cairan keluar dari

(28)

reaktor. Konsekuensinya, ABR mempunyai volume atau level reaktor yang konstan.

ABR merupakan unit pengolahan yang menggunakan prinsip kerja dari beberapa unit pengolahan. Prinsip kerja yang digunakan adalah kombinasi dari prinsip kerja septic tank, fluidised bed reactor dan UASB (Upflow Anaerobic

Sludge Blanket Reactor). Pengoperasian dan pemeliharaannya juga relatif mudah.

Letak perbedaan ABR dengan UASB adalah lapisan lumpur di ABR tidak diflotasikan, hanya diendapkan di bagian bawah unit. ABR juga tidak membutuhkan media granular khusus untuk operasi. Selain itu ABR juga tidak memiliki keterbatasan sistem seperti UASB terutama ekspansi sludge bed yang minimal (Manariotis et. al, 2002).

ABR menggabungkan proses-proses sedimentasi dengan penguraian lumpur secara parsial dalam kompartemen yang sama, walaupun pada dasarnya hanya merupakan suatu kolam sedimentasi tanpa bagian-bagian yang bergerak atau penambahan bahan-bahan kimia. Proses yang terjadi di dalam ruang pertama ABR adalah proses pengendapan dan pada ruang-ruang berikutnya terjadi proses penguraian akibat air limbah kontak dengan mikroorganisme.

Operasi ABR merupakan operasi reaktor kontinu tanpa resirkulasi (sejalan). Setiap kali reaktor dimulai, kondisi operasi dan proses dijaga agar selalu konstan. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan aliran masuk berupa limbah cair secara konstan dan dengan menjaga kondisi proses stabil. Hasilnya dalam outflow yang berupa produk biologi atau kimia diperoleh komposisi yang konstan.

Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengoperasian ABR adalah distribusi aliran masuk secara merata dan juga kontak antara substrat yang baru masuk dan yang telah ada di dalam reaktor. Distribusi aliran masuk secara merata dapat dicapai dengan menggunakan kompartemen pendek yang panjangnya <50-60% dari ketinggiannya. Selain itu perlu diperhatikan pada bagian akhir ABR (outlet yang terakhir), sebaiknya berada dibawah permukaan air agar scum yang terjadi tidak terbawa keluar (Sasse, 1998).

Barber dan Stuckey (1999) merekomendasikan bahwa start-up ABR lebih baik dengan konsentrasi mikroorganisme yang tinggi untuk menghasilkan sludge

(29)

dalam beberapa kombinasi prinsip anaerobik proses, yang terdiri dari 3 langkah dasar yaitu hidrolisis, asidogenesis dan metanogenesis.

2.5.2 Kelebihan dan Kekurangan ABR

Menurut Grobicki dan Stuckey (1989) bioreaktor yang efisien harus memiliki waktu tinggal biomassa yang lama dan terjadi pencampuran yang merata untuk menjamin terjadinya kontak yang baik antara sel dan substratnya. ABR dapat memenuhi faktor ini. Mikroorganisme di dalam reaktor cenderung terangkat dan terendapkan kembali akibat terbentuknya gas selama proses. Mikroorganisme tersebut akan bergerak secara perlahan ke arah horizontal dan dengan demikian, air limbah akan bersentuhan dengan biomassa aktif berjumlah besar dalam waktu tinggal yang cukup pada saat melewati reaktor. Mikroorganisme yang tumbuh di setiap kompartemen berbeda-beda tergantung kondisi lingkungan yang mempengaruhi dan materi yang didegradasi sehingga materi organik dalam setiap kompartemen juga bervariasi (Bell, 1997). Populasi yang bermacam-macam ini meningkatkan ketahanan ABR terhadap berbagai variasi beban influen, temperatur serta pH.

Keuntungan yang paling signifikan dari sebuah reaktor ABR adalah kemampuannya untuk memisahkan antara proses asidogenesis dan metanogenesis secara longitudinal di bagian bawah reaktor, sehingga memungkinkan tersedianya kondisi pertumbuhan yang sesuai untuk masing-masing kelompok mikroorganisme yang berbeda.

Disamping itu konstruksi reaktor ini murah dan sederhana, tidak ada bagian yang bergerak atau pencampuran secara mekanik sehingga kehilangan bakteri didalam reaktor sangat kecil dan aliran keluar relatif bebas dari padatan biomassa. Hidrodinamika dan tingkat pencampuran yang terjadi dalam reaktor mempengaruhi kontak antara substrat dengan mikroorganisme sehingga mengkontrol transfer masa dan performansi reaktor.

Sebuah ABR mudah untuk dibangun dan tidak mahal karena tidak ada bagian yang bergerak atau mesin pencampur (mechanical mixing device) (Polprasert et al., 1992). Desain ABR dapat memisahkan asidogenesis dan metanogenesis sehingga keuntungan yang didapat signifikan. Reaktor berlaku seperti sistem dua fase tanpa ada kontrol masalah dan biaya yang tinggi. Selain itu

(30)

karena HRT dan SRT terpisah maka volume limbah yang akan diolah lebih besar dibandingkan reaktor tercampur seperti CSTR dimana HRT = SRT. Karena mikroorganisme tidak tercampur merata dalam reaktor maka konsentrasi mikroorganisme yang terbawa keluar di efluen relatif sedikit.

Boopathy et.al (1988), disadur dari Madyanova, 2005, menemukan bahwa ABR menunjukkan kestabilan kinerjanya. Disamping itu pengurangan resiko

clogging dan ekspansi sludge bed akibat adanya kehilangan mikroorganisme juga

cukup stabil. Hasil observasi menyatakan efisiensi penyisihan COD mencapai sampai dengan 90 %, dan kecepatan produksi metan mencapai 4 volume/day/unit volume dari reaktor.

Menurut Sasse, 1998, kinerja ABR dalam penyisihan COD adalah sekitar 65-90 % sedangkan untuk penyisihan BOD adalah sekitar 70-95 %. Proses maturasi harus diperhatikan pada 3 bulan pertama. Lumpur harus dibersihkan dalam jangka waktu yang teratur, hampir sama halnya dengan pembersihan lumpur pada tangki septik. Tetapi lumpur tetap harus ada yang ditinggalkan dalam reaktor, agar efisiensi unit instalasi terus meningkat. Dan perlu diperhatikan, bahwa jumlah lumpur pada kompartemen dibagian awal unit ABR lebih banyak daripada di kompartemen akhir.

Secara ringkas, keuntungan ABR dibandingkan sistem pengolahan limbah cair lainnya menurut Barber dan Stuckey (1999) adalah sebagai berikut :

a. Konstruksi • Desain simpel.

• Tidak ada bagian bergerak. • Tidak ada pencampuran mekanik. • Pembuatan tidak mahal.

• Resiko penyumbatan kecil. • Resiko ekspansi sludge bed kecil. • Biaya operasi rendah.

b. Biomassa

• Waktu retensi solid tinggi tanpa perlu memberikan media atau ruang pengendapan untuk mikroorganisme menempel.

• Waktu pembentukan lumpur lama dan lumpur yang terbentuk juga sedikit.

(31)

• Umur lumpur lebih lama sehingga pembuangan lumpur dilakukan lebih jarang.

• Tidak memerlukan mikroorganisme dengan kemampuan pengendapan tertentu.

c. Operasi

• Waktu retensi hidrolik rendah.

• Memungkinkan untuk operasi secara intermiten (untuk limbah cair musiman)

• Stabil terhadap shock loading hidrolik dan organik. • Perlindungan terhadap material toksik di influen. • Waktu operasi yang lama tanpa pembuangan lumpur.

• Berfungsi efektif dalam rentang debit dan jumlah beban influen yang cukup luas.

Struktur ABR yang sederhana memungkinkan untuk diubah desainnya tergantung dari karakteristik limbah cair yang akan diolah. Desain hibrid dapat dilakukan untuk meningkatkan performansi reaktor terhadap limbah cair spesifik (Barber dan Stuckey, 1999).

Yang dan Chou (1985) mengemukakan beberapa kelebihan bioreaktor berpenyekat anaerobik dibandingkan dengan biorektor jenis lain yaitu :

a. Sederhana dalam pengoperasian

• Waktu start-up yang lebih singkat jika dibandingkan dengan biorektor filter anaerobik.

• Tidak mudah tersumbat jika dibandingkan dengan UASB dan rektor fluidisasi.

• Tidak memerlukan daur ulang lumpur aktif.

• Tidak terjadi penggumpalan lumpur seperti pada reaktor unggun fluidisasi.

b. Konstruksi sederhana

• Tidak memerlukan media penyaring seperti filter anaerobik.

• Tidak memerlukan pengadukan seperti pada reaktor ideal berpengaduk. Sedangkan menurut Sasse (1998), ABR merupakan bioreaktor yang sederhana dan mudah dioperasikan serta shock loading hidrolik dan organik hanya

(32)

sedikit berpengaruh terhadap efisiensi pengolahan. Mengingat berbagai kelebihan-kelebihan biorektor berpenyekat ini dibandingkan dengan rektor-rekator lain maka penggunaan biorektor ini dalam pengolahan air buangan perlu dikembangkan.

Akan tetapi ABR juga mempunyai kelemahan-kelemahan seperti kurang dalam mempertahankan kecepatan upflow gas dan cairan. ABR juga sulit untuk mempertahankan distribusi merata influen (Tilche dan Vieira, 1991). Selain itu, belum banyak penelitian mengenai penggunaan ABR untuk mengolah limbah cair yang dihasilkan dari industri. Sehingga perlu lebih banyak penelitian sebelum dapat dipastikan bahwa teknologi ABR merupakan salah satu alternatif dalam pengolahan limbah cair dari industri rumah tangga bagi negara berkembang seperti Indonesia. Beberapa hasil penelitian penggunaan bioreaktor berpenyekat anaerobik dapat dilihat pada tabel 2.9 di bawah ini.

Tabel 2.9 Hasil Penelitian penggunaan Biorektor berpenyekat untuk pengolahan berbagai jenis limbah

Laju Pembebanan (gr COD/L/hari)

Efisiensi Penyisihan

COD ( %) Referensi Jenis Limbah

2,5 93 Bachman dkk, 1985 Molase

32 55 Bachman dkk, 1985 Molase

2,5 81 Yang & Chow, 1985 Peternakan babi

3,5 91 Boopathy, 1988 Scotch Whisky

0,95 72 Sri-Anant Wanasen,

2003

Domestik asli

0,027 - 0,0136 88 Wahidah, 2004 Domestik artifisial

0,32 – 0,98 75,78 – 87,04 Madyanova, 2005 Grey water dari hotel

0,797 – 1,219 83,54 – 87,15 Indiyani, 2005 LAS (detergen)

0,4 – 0,6 48,46 – 85,3 Yuniarti, 2007 Limbah RPH dan tahu

Sumber : Indiyani, 2005; Wahidah, 2004; Yuniarti, 2005. 2.3.5 Perhitungan Dimensi ABR

Dalam perhitungan dimensi, hal yang perlu diperhatikan adalah kecepatan aliran. Kecepatan aliran Up-flow tidak boleh lebih dari 2 m/jam, hal ini sangat penting khususnya bila beban hidroliknya tinggi. Beban organik sebaiknya kurang dari 3 kg COD/m3 x hari. Beban lebih tinggi diperbolehkan seiring kenaikan suhu dan substrat yang lebih mudah didegradasi (Sasse, 1998).

(33)

2.3.6 Penanganan Air Efluen dari ABR

Pengolahan air limbah dengan sebuah unit ABR pada umumnya tidak dapat menghilangkan semua mikroorganisme patogen dan zat-zat pencemar lain. Oleh karena itu pada umumnya ABR digunakan sebagai unit pengolahan sekunder secara biologi, sehingga masih diperlukan post treatment terhadap efluen dari unit ABR tersebut. Pada umumnya efluen dari ABR akan dialirkan ke sebuah anaerobic filter untuk proses pendegradasian dan penyaringan lebih lanjut sehingga didapat hasil pengolahan limbah yang lebih sempurna. Pada kasus penggunaan ABR untuk pengolahan air limbah industri tahu dan rumah pemotongan hewan yang berlokasi di Dago Bengkok ini, pada bagian efluen dari reaktor ABR ditambahkan media filter berupa batu apung dan batok kelapa. Selanjutnya air efluen dari ABR ini dialirkan menuju ke reaktor Constructed Wetland. Pembahasan detail mengenai karakteristik, rancangan, dan proses Constructed Wetland akan dibahas pada laporan penelitian lain yang dilakukan oleh rekan saya.

2.3.7 Anaerobic Filter

Anaerobic filter juga dikenal sebagai fixed bed atau fixed film reactor. Unit

ini melakukan pengolahan untuk padatan yang tidak dapat diendapkan dan padatan yang terlarut. Prinsip dari Anaerobic Filter adalah melakukan pengolahan untuk padatan yang tidak dapat diendapkan dan yang terlarut, dengan cara membawa padatan tersebut untuk kontak dengan massa bakteri aktif (Sasse, 1994). Massa bakteri aktif membutuhkan makanan sehingga bakteri tersebut mencerna materi organik yang terdispersi dan terlarut dalam waktu tinggal (retention times) yang singkat (Sasse, 1998).

Sebagian massa bakteri tersebut bersifat pasif (tidak dapat berpindah secara aktif) atau immobile. Massa bakteri tersebut cenderung melekat pada media filter berupa padatan atau pada dinding reaktor. Media filter seperti kerikil, batu-batuan, bongkahan arang, atau kepingan plastik yang didesain khusus sebagai tempat bakteri melekat atau mengendap. Sehingga air buangan yang masuk ke dalam reaktor dapat kontak dengan massa bakteri tersebut secara intensif. Semakin besar permukaan untuk bakteri tersebut tumbuh, semakin cepat proses pencernaan oleh bakteri. Filter yang baik, umumnya sebanyak 90-300 m3 luas permukaan per m2 dari daya tampung volume reaktor. Permukaan filter yang kasar menyediakan area

(34)

yang lebih besar, setidaknya pada fase awal. Selanjutnya bakteri yang tumbuh, membentuk film, di media filter akan menutup lubang-lubang yang kecil di media tersebut. Total luas permukaan dari filter tidak terlalu penting dibandingkan dengan kemampuannya secara fisik untuk menahan partikel padatan (Sasse, 1998). Periode start-up sebuah reaktor anaerobik filter bervariasi antara 3 sampai 9 bulan, tergantung pada jenis substrat dan beban organiknya.

Anaerobik filter ini telah banyak diimplementasikan untuk mengolah air limbah dengan kandungan suspended solid yang rendah, seperti setelah pengolahan primer yang terjadi dalam tangki septik, dan air limbah yang memiliki kandungan rasio BOD/COD rendah. Biogas yang dihasilkan dari proses pengolahan dengan anaerobik filter ini memungkinkan untuk dimanfaatkan lagi jika konsentrasi BOD pada air limbah mencapai <1000 mg/l. Beberapa hasil penelitian penggunaan anaerobik filter untuk mengolah berbagai jenis limbah dapat dilihat pada tabel 2.10. Tabel 2.10 Hasil Penelitian penggunaan anaerobik filter untuk pengolahan

berbagai jenis limbah industri Laju Pembebanan (kgr COD/m3/hari) Efisiensi Penyisihan COD ( %) Temperatur (°C) Jenis Limbah Referensi (peneliti) 3,5

(media plastik) 97 37 Limbah farmasi

Jennet and Dennis

0,56 80 36

Limbah kimia

organik sintetis Sachs et al.

2 70 - Limbah Rendering Obayashi and Roshanravan Sumber : Eckenfelder, 2000.

Anaerobik filter ini dapat digunakan sebagai satu unit sendiri yang utama dalam sistem pengolahan air limbah secara anaerobik. Namun banyak pula anaerobik filter yang digunakan dalam satu rangkaian sistem pengolahan anaerobik, bersama dengan reaktor anaerobik lain sebagai unit pengolahan pendahuluan sebelum air limbah masuk ke anaerobik filter. Sebagai contoh, dapat dipasang pada bagian outlet sebuah unit pengolahan limbah dengan reaktor Anaerobik bersekat, RBC, UASB, ASBR, dan lain-lain.

(35)

Materi filter yang dapat digunakan antara lain kerikil, batu-batuan, bongkahan arang, atau kepingan plastik yang didesain khusus sebagai tempat bakteri melekat atau mengendap. Sehingga air buangan dapat kontak dengan bakteri aktif secara intensif. Pada penelitian ini materi filter yang dipilih terdiri dari dua macam, yaitu batu apung dan batok kelapa, dengan pertimbangan ekonomis. Dari kedua jenis media filter tersebut kemudian dilakukan perbandingan antara kedua macam reaktor, reaktor dengan media filter manakah yang akan menghasilkan pengolahan lebih optimum. Diharapkan dengan adanya tambahan materi-materi filter ini, dapat meningkatkan efisiensi pengolahan ABR sampai dengan 85 %.

2.3.8 Faktor-faktor Lingkungan

Sebagai sebuah reaktor pengolahan biologi yang memanfaatkan aktivitas mikroorganisme, banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja reaktor dan agar tercapai kondisi lingkungan yang optimum untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Diantara faktor-faktor tersebut antara lain :

1. Temperatur

Aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh kondisi temperatur di lingkungan (temperatur di luar sel mikroorganisme). Hal ini disebabkan karena mikroorganisme tidak mempunyai pengaturan suhu internal. Berdasarkan pengaruh yang ditimbulkan terhadap pertumbuhan mikroorganisme terdapat tiga jenis temperatur utama yaitu temperatur maksimum, optimal dan minimum. Pertumbuhan mikroorganisme meningkat secara eksponensial sejalan dengan kenaikan temperatur. Pertumbuhan mencapai titik maksimum pada temperatur optimal dan menurun drastis pada temperatur sedikit diatas temperatur optimal. Penurunan laju pertumbuhan ini disebabkan oleh rusaknya komponen sel yang sensitif terhadap panas, misalnya enzim.

Laju pertumbuhan mikroorganisme meningkat 2 sampai 3 kali tiap kenaikan temperatur 10 oC diantara temperatur minimum dan maksimum (Metcalf & Eddy, 1991). Sedangkan laju pertumbuhan mikroorganisme pada temperatur minimum biasanya berjalan lambat. Laju

(36)

pertumbuhan mikroorganisme berdasarkan kenaikan temperatur dapat dilihat pada gambar 2.9 (Benefield dan Randall,1980).

Gambar 2.9 Pengaruh temperatur terhadap tingkat pertumbuhan mikroorganisme

Menurut O’Rourke, 1968, dari Madyanova, 2005, berdasarkan temperatur optimal mikroorganisme dibagi menjadi :

• Psikofil = mikroorganisme yang tumbuh baik pada temperatur kurang dari 20 oC.

• Mesofil = mikroorganisme yang tumbuh baik pada temperatur 20oC – 55 oC.

• Termofil = mikroorganisme yang tumbuh baik pada temperatur diatas 55 oC.

Kisaran optimum untuk pengolahan anaerobik adalah mesofil dan termofil. Walaupun proses berlangsung lebih cepat pada kisaran termofil, penambahan panas yang dibutuhkan untuk mempertahankan suhu ini tidak sebanding secara ekonomi dengan keuntungan yang diperoleh. Karena itu kebanyakan sistem pengolahan dirancang untuk dioperasikan pada kisaran temperatur mesofilik ke bawah (McCarty, 1964, dari Madyanova, 2005).

Menurut Eckenfelder, Malina, Gloyna Ford (disadur dari Wahidah, 2004) temperatur optimum untuk pengolahan anaerobik adalah 30°-35°C dan 25°-45°C untuk kondisi ekstrem bakteri metan. Oleh karena itu temperatur sebaiknya dipertahankan pada 20°-30°C untuk mendapatkan

Temperatur Laju

pertumbuhan

(37)

hasil yang ekonomis karena tidak diperlukan tambahan alat pemanas pada reaktor.

2. Keberadaan Oksigen

Berdasarkan keberadaan Oksigen di lingkungan yang diperlukan bagi pertumbuhannya, mikroorganisme dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu :

• aerob = mikroorganisme yang membutuhkan oksigen bebas untuk hidup. Oksigen berfungsi sebagai akseptor elektron pada sistem transpor elektron untuk menghasilkan energi. Konsentrasi oksigen dalam lingkungan merupakan faktor pembatas laju pertumbuhan mikroorganisme.

• anaerob = mikroorganisme yang memakai molekul selain oksigen sebagai akseptor elektron seperti NO3-, SO42- atau CO32-.

• fakultatif = mikroorganisme yang memakai oksigen sebagai akseptor elektron akan tetapi apabila tidak ada oksigen maka mikroorganisme tersebut dapat memakai molekul selain oksigen sebagai akseptor elektron.

3. pH

Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion H+ dalam lingkungan, sifat keasaman serta alkalinitas dalam air. Sebagian besar mikroorganisme mempunyai pH optimum pada kondisi netral (pH ± 7), pH minimum ± 5 dan pH maksimum ± 9.

Menurut Black, 1999, dari Madyanova, 2005, berdasarkan tingkat toleransi terhadap asiditas dan alkalinitas di lingkungan, mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi :

• asidofil = mikroorganisme yang tumbuh optimal pada pH 0,1 – 5,4. • netroofil = mikroorganisme yang tumbuh optimal pada pH 5,4 – 8,5. • alkalifil = mikroorganisme yang tumbuh optimal pada pH 8,5 – 11,5.

Untuk tahap pembentukan asam pada proses anaerobik, pH optimum berkisar sebesar 5,0-6,5 (Malina dan Pohland,1992). Untuk

(38)

dari Madyanova, 2005). Benefield dan Randall (1980) memberi kisaran 6,0 - 8,5 dan Droste (1997) memberi kisaran 6,0 - 8,0. Bakteri metanogen merupakan bakteri yang sensitif terhadap pH.

Diatas batas pH tersebut, penguraian tetap berjalan dengan efisiensi yang berkurang. Sedangkan dibawah batas tersebut, efisiensi akan menurun sangat cepat. Kondisi asam akan menghambat pertumbuhan bakteri metanogen. Jika suatu digester ada dalam keadaan setimbang, bakteri asetogen dan metanogen menggunakan asam-asam produk antara secepat laju pembentukan asam-asam tersebut. Peningkatan konsentrasi asam menunjukkan bahwa bakteri pembentuk asam dengan bakteri pembentuk metan tidak dalam keadaan seimbang (Wahidah, 2004).

Nilai alkalinitas pada dasarnya menyatakan jumlah total asam yang dapat dinetralkan oleh basa yang ditambahkan ke dalam sistem (Wahidah, 2004). Karena pH dapat mempengaruhi keberhasilan proses anaerobik, maka perlu ada cukup alkalinitas untuk mengontrol pH pada suatu lingkungan proses anaerobik.

Dalam suatu proses anaerobik, alkalinitas alamiah dapat diproduksi dari pemecahan materi organik. Dimana pada pH tipikal sekitar 7, alkalinitas hadir dalam bentuk bikarbonat. Alkalinitas alami di dalam air buangan juga terjadi karena adanya hidroksida, karbonat dan bikarbonat sebagai unsur-unsur seperti : kalsium, magnesium, natrium atau amonium. Dari kesemua ini, kalsium dan magnesium bikarbonat merupakan bentuk yang paling banyak ditemui (Chow et al., 1972, dari Wahidah, 2004).

Guna mengantisipasi peningkatan konsentrasi asam volatil terlalu tinggi, dikehendaki agar nilai alkalinitas bikarbonat berkisar antara 2500 dan 5000 mg/l sebagai buffer. Jika peningkatan konsentrasi asam volatil terjadi, sehingga terjadi penurunan pH yang serius, alkalinitas bikarbonat tambahan perlu ditambahkon ke dalam reaktor.

4. Ketersediaan Nutrisi

Nutrisi yang cukup sangat diperlukan oleh mikroorganisme agar dapat melakukan reproduksi dan fungsi sel lain dengan baik. Menurut

(39)

Shuler dan Kargi, 1992, nutrien yang dibutuhkan oleh sel mikroorganisme dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu :

• makronutrien = nutrien yang dibutuhkan mikroorganisme dalam konsentrasi tinggi yaitu diatas 10-4 M. Makronutrien terdiri dari karbon, nitrogen, oksigen, hidrogen, sulphur, phospor, magnesium dan kalium.

• mikronutrien = nutrien yang dibutuhkan mikroorganisme dalam konsentrasi rendah yaitu kurang dari 10-4 M. Contoh dari mikronutrien adalah Mo2+, Zn2+, Cu2+, Mn2+, Fe2+, Ca2+, Na+, vitamin, hormon pertumbuhan dan zat-zat pendahulu metabolisme. Kekurangan trace

element dapat menaikkan waktu fase lag dan

menurunkan laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme.

2.3.9 Pertumbuhan Mikroorganisme pada ABR

Pola pertumbuhan mikroorganisme berdasarkan jumlah mikroorganisme dapat dibagi menjadi beberapa fase seperti dapat dilihat pada gambar 2.10.

Gambar 2.10 Kurva pertumbuhan berdasarkan jumlah mikroorganisme Waktu

Jumlah mikroorganisme

(40)

a. Lag phase / fase adaptasi

Fase ini merupakan fase awal dimana mikroorganisme menyesuaikan diri dengan media dan substratnya. Perubahan bentuk dan pertumbuhan mikroorganisme tidak terlihat nyata. Pada kondisi ini sel menyerap substrat dalam jumlah yang signifikan, terjadi sintesa enzim-enzim baru dan mikroorganisme mengalami perbesaran sel. Mikroorganisme belum memulai replikasi atau perbanyakan sel. Fase ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu terjadinya sedikit perubahan terhadap massa sel tanpa diikuti oleh perubahan jumlah sel dan peningkatan laju pertumbuhan menuju karakteristik pertumbuhan fase selanjutnya. Pada bagian ini sel-sel muda menjadi sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan (Gaudy dan Gaudy, 1981). Waktu yang dibutuhkan mikroorganisme untuk aklimatisasi terhadap lingkungan dapat berlangsung cukup lama apabila konsentrasi substrat sebagai sumber nutrien dan faktor-faktor penunjang pertumbuhan tidak mencukupi (Shuler dan Korgi, 1992). b. Log phase / fase logaritmik

Setelah mikroorganisme menyesuaikan diri dengan lingkungan selama fase lag maka mikroorganisme mulai mengadakan perubahan bentuk dan meningkatkan jumlah individu. Pada fase ini pertumbuhan mikroorganisme mengikuti pola eksponensial (logaritmik) terhadap waktu. Pertumbuhan terjadi seimbang dimana semua komponen sel tumbuh dalam laju yang sama. Sel-sel membelah diri menjadi dua bagian dalam waktu yang sama sehingga terjadi peningkatan jumlah mikroorganisme. Peningkatan ini harus diimbangi dengan faktor biologi seperti asosiasi kehidupan diantara mikroorganisme serta faktor non-biologi seperti kandungan nutrien, temperatur, pH dan lainnya. Bila faktor-faktor tersebut optimal maka akan terjadi peningkatan tajam seperti terlihat di kurva pertumbuhan. Konsentrasi nutrien sangat tinggi pada fase ini sehingga laju pertumbuhan tidak dibatasi oleh konsentrasi nutrien tetapi dibatasi oleh kemampuan mikroorganisme dalam memproses substrat.

(41)

c. Declining growth phase / fase penurunan pertumbuhan

Pada fase ini laju pertumbuhan cenderung menurun karena terjadi deplesi atau pengurangan nutrien yang penting bagi mikroorganisme dan terjadi akumulasi produk yang bersifat toksik. Kondisi ini mendorong sel-sel untuk melakukan restrukturisasi sel-sel agar dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang terbatas (Shuler dan Korgi, 1992).

d. Stationary phase / fase stasioner

Merupakan fase dimana populasi mikroorganisme berada dalam tingkatan konstan karena laju pertumbuhan mikroorganisme sama dengan nol (tidak ada pembelahan sel) atau laju pertumbuhan sama dengan laju kematian.

Fase ini dapat menjadi fase terakhir dari fase pertumbuhan mikroorganisme jika setelah tercapai konsentrasi mikroorganisme maksimum semua sel mati dan tidak terdisintegrasi. Tetapi yang terjadi adalah sebagian besar sel tetap hidup dan bermetabolisme yang menghasilkan metabolit sekunder (Shuler dan Korgi, 1992). Dengan kondisi tanpa suplai substrat dan makanan, mikroorganisme akan mencari sumber karbon internal yaitu sel mikroorganisme itu sendiri (substrat endogenous).

Protein enzim yang digunakan untuk memetabolisme substrat eksogen kini tidak diperlukan dan dapat dioksidasi untuk memenuhi kebutuhan sel agar sel dapat tetap bertahan hidup. Pada kultur campuran, akan terjadi interaksi antara sesama spesies dan fenomena saling serang satu spesies oleh spesies lainnya. Sel yang kalah akan mengalami lisis dan mengeluarkan komponen-komponen organik sel yang kemudian menjadi sumber makanan untuk sel mikroorganisme yang lain (Gaudy dan Gaudy, 1981). Fase pertumbuhan kedua dapat terjadi yaitu fase pertumbuhan dimana sel tumbuh berdasarkan komponen organik sel yang mengalami lisis (cryptic growth).

e. Increasing death phase / fase meningkatnya kematian

Kematian mikroorganisme meningkat pada fase ini. Peningkatan ini disebabkan fenomena ketidakhadiran substrat sehingga terjadi autodigesti

Gambar

Gambar 2.1  Skema pengelompokan bahan yang terkandung di dalam air limbah
Tabel 2.2  Sumber Dampak Kegiatan RPH terhadap Lingkungan
Gambar 2.2  Skema proses pemotongan hewan
Tabel 2.3  Karakteristik Air Limbah RPH
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan jenis penyu lainnya, penyu belimbing tidak memiliki rahang yang cukup kuat untuk memecahkan biota laut yang keras.. Mereka umumnya hanya

H301 + H311 + H331 - Toksik jika tertelan, kontak dengan kulit atau terhirup, H314 - Menyebabkan luka bakar parah pada kulit dan kerusakan mata, H372 - Menyebabkan kerusakan

Cara menangkap rusa di penangkaran agar tidak menimbulkan cidera baik pada petugas maupun rusa itu sendiri, ada beberapa cara antara lain dengan cara menjepit leher

Selintas memang biasa, namun ketika diperhatikan dengan seksama ketika mereka berada dalam suatu kelompok, mereka terlihat unik karena saat yang lain memilih

Dalam makalah ini akan dibahas 8 bioma darat utama, diantaranya bioma hutan tropis, bioma sabana, bioma gurun, bioma semak belukar, bioma padang rumput, bioma hutan gugur, bioma

Kebutuhan system pencahayaan alami (matahari) dan buatan pada suatu ruangan harus di pertimbangkan karena berkaitan erat dengan kegiatan yang di

b. Untuk mencapai struktur atom yang stabil, maka ada atom yang cenderung melepaskan elektron dan ada yang cenderung menangkap elektron.. 3) Unsur gas mulia tdk dpt

Calon penerima KUR adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang produktif, anggota keluarga dari karyawan/karyawati yang berpenghasilan tetap, TKI yang purna dari bekerja di