PROYEK KONSTRUKSI DI INDONESIA
Hermawan
11Mahasiswa Program Studi Doktor Teknnik Sipil Pengutamaan Manajemen Rekayasa dan Konstruksi Fakultas Teknk Sipil dan Lingkungan - Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha No. 10 Bandung Email: hermawan.tjan@gmail.com
ABSTRAK
Carbonfootprint merupakan fenomena yang signifikan setelah isu-isu gas efek rumah kaca diagendakan pada beberapa pertemuan para pimpinan negara. Juni 1992 merupakan awal momentum bagi perkembangan isu efek gas rumah kaca. Momentum yang diselenggarakan di Rio de Janeiro yang dimotori oleh United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) merupakan pertemuan para pemimpin negara untuk sepakat mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change)/UNFCCC. Dalam perkembangan selanjutnya melalui berbagai konferensi antar pihak atau yang lebih dikenal dengan Conference of Parties (COP) menghasilkan kesepakatan internasional yang diselenggarakan melalui konvensi perubahan iklim di Kyoto pada tahun 1997. Kesepakatan internasional merupakan sebuah tata cara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan selanjutnya kesepakatan internasional lebih dikenal dengan nama Protokol Kyoto. Target yang telah disepakati pada Protokol Kyoto adalah penurunan emisi sebesar 5% dari tingkat emisi dari tahun 1990 dan harus dicapai dalam periode 2008-2012. Tindak lanjut dari pertemuan tersebut, beberapa negara melakukan upaya penelitian carbonfootprint, seperti New Zealand, UK, Perancis dan memodelkan dari beberapa sektor yang berbeda seperti building construction, transportasi, industri semen. Tujuan penelitian ini merupakan pra studi untuk memodelkan carbonfootprint pada supply chain proyek konstruksi di Indonesia. Metode yang digunakan pada pra studi ini menggunakan literature review. Keluaran dari penelitian ini adalah jumlah carbon yang dihasilkan dari supply chain proyek konstruksi dan model carbonfootprint nya sehingga dapat memberi kontribusi pengurangan emisi karbon.
Kata kunci: carbonfootprint, supply chain
Latar Belakang
Konsep footprint diawali oleh Rees dan Wackernagel di Universitas Columbia, yang mempunyai tujuan untuk menjelaskan dampak dari kegiatan manusia.[1] Sebagai dasar pemikiran dari kegiatan manusia yang dimaksud dalam pengertian tersebut dimulai dari akhir abad 20 yang merupakan titik awal sejarah ekologi dari perabadan manusia. Kegiatan manusia yang terus berkembang akan berpotensi mengganggu keseimbangan ekologi seperti carrying capacity. Carrying capacity merupakan suatu kondisi jumlah populasi dalam kondisi padat yang tidak terbatas dan tidak ada upaya untuk mengendalikan kondisi tersebut. Dengan demikian carrying capacity ini menjadi sentral dari isu sustainability. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengendalikan carrying capacity, upaya yang telah dilakukan oleh Rees dan Wackernagel[2], menyusun instrumen yang dapat mengakses kebutuhan area dari populasi yang terus bertumbuh. Instrumen tersebut lebih dikenal dengan nama ecological footprint, yang didefinsikan sebagai tool yang digunakan untuk mengukur konsumsi sumber daya dan buangan sebagai akibat dari kegiatan manusia sesuai dengan ruang lingkup dari kegiatan tersebut[2].
Dalam perkembangannya, konsep ecological footprint ini menjadi awal dari berkembangnya carbon footprint. Frase carbon footprint sangat luas dipakai dalam berbagai sektor seperti transportasi, urban, aktivitas di universitas, infrastruktur dan juga pada konstruksi. Pengertian dari carbon footprint dari beberapa sumber adalah sebagai berikut: [3]
a. BP, 2007 memberikan definisi carbon footprint adalah jumlah CO2 yang dihasilkan dari kegiatan
sehari-hari
b. carbonfootprint dihitung dengan mengukur emisi ekivalensi CO2 dari kendaraan yang dimiliki
oleh company, bisnis travel dan pembuangan sampah ke TPA (Patel, 2006)
c. carbonfootprint merupakan sebuah metodologi untuk mengestimasi total efek rumah kaca di dalam karbon yang memiliki ekivalensi dari seluruh siklus sebuah produk yang dimulai dari produksi bahan mentah yang digunakan untuk membuat produk tertentu yang digunakan di dalam manufaktur (Carbon Trust, 2007)
d. carbonfootprint adalah sebuah teknik untuk mengidentifikasi dan mengukur efek gas rumah kaca dari masing-masing kegiatan individu di dalam setiap proses yang berada pada supply chain dan framework untuk menghasilkan produk dari setiap tahapan yang dikerjakan (Carbon Trust, 2007) e. ETAP, 2007 mendefinisikan carbonfootprint adalah ukuran dari dampak kegiatan manusia kepada
lingkungan dalam konteks jumlah efek gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, diukur dalam ton CO2,
f. menurut Grub & Ellis, 2007,carbon footprint adalah sebuah ukuran dari jumlah CO2 yang
dihasilkan dari pembakaran batu bara, dalam kasus organisasi bisnis, jumlah CO2 yang dihasilkan
baik secara langsung atau tidak langsung dari operasi yang dikerjakan setiap hari.
g. POST, 2006 mendefinisikan carbon footprint adalah total jumlah CO2 dan gas lain dari efek gas
rumah kaca yang dihasilkan dari siklus suatu produk secara menyeluruh. Besarnya CO2 dinyatakan
dalam gram CO2 ekivalen per kilowatt hour (gCO2eq/kWh), untuk masing-masing gas yang
dihasilkan dari efek rumah kaca
Berdasarkan pengertian mengenai carbon footprint maka dapat diperoleh kata kunci yaitu upaya untuk mengukur jumlah CO2 dari kegiatan yang telah didefinisikan. Sehingga dapat disimpulkan kembali
bahwa carbon footprint adalah mengukur jumlah total CO2 baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang disebabkan oleh suatu aktivitas yang telah terdefinisi, meliputi seluruh tahapan dari kegiatan tersebut.
Gambar 1. Perkembangan konsep carbon footprint
Sedangkan proses dapat dibagi dua yaitu langsung dan tidak langsung. Sebagai contoh emisi karbon dari proses yang langsung pada konstruksi adalah proses pembuatan beton yang bersifat site mix, emisi karbon yang dihasilkan dapat berupa asap dari molen. Proses tidak langsung yang dapat menjadi emisi karbon pada konstruksi adalah emisi dari berbagai macam yang digunakan pada bangunan seperti kolom bangunan yang menggunaka precast, baja pada bagian atap. Definisi jumlah total menyatakan indicator pada area atau aktifitas yang telah terdefinisi. Satuan yang digunakan dalam jumlah total emisi CO2 dapat dalam kg, ton dan tidak ada satuan CO2 dalam satuan luas seperti hektar, meter persegi atau
satuan luas yang lain.
Salah satu aktivitas yang berkontribusi terhadap peningkatan CO2 adalah sektor konstruksi.
Beberapa penelitian yang berhubungan dengan kontribusi CO2 di sektor konstruksi menunjukkan di Irlandia
pada tahun 2005 memiliki kontribusi sebesar 11.7% dari emisi nasional. Konstruksi perumahan di Jepang mengkonsumsi 416.000 ton Joule dari energi per tahun atau ekivalen dengan 4% dari total domestik energi konsumsi di Jepang. Sedangkan di negara berkembang, 50% dari biaya total energi yang digunakan sangat dekat hubungannya dengan industri konstruksi. Studi terakhir yang dilakukan menunjukkan bahwa konstruksi merupakan satu diantara tiga sektor yang sangat berkontribusi terhadap efek gas rumah kaca di Amerika. [4]
Pendekatan untuk menghitung emisi karbon yang disebabkan oleh kegiatan proyek konstruksi telah dilakukan. Salah satu pendekatan yang telah diimplementasikan adalah menghitung biaya total produk domestik kemudian mengkonversi biaya konstruksi ke dalam jumlah produk domestik yang dihubungkan dengan keuntungan antar industri domestik. Jumlah total energi dan pencemaran yang terjadi terhadap lingkungan diestimasi dengan menggunakan analisa kuantitatif. Metode ini tidak memperhitungkan emisi CO2 yang terjadi selama proses konstruksi. Metode lain yang digunakan adalah memetakan elemen pada
proyek konstruksi yang berpotensi menyebabkan adanya emisi CO2 selama proses kontruksi. Dengan
menggunakan work breakdown structure kegiatan proyek konstruksi dibagi ke dalam beberapa subbagian pekerjaan. Masing-masing subbagian pekerjaan dibedakan menjadi 3 kategori: material utama dari proyek, peralatan dan material pendukung. Jumlah CO2 dari masing-masing subbagian pekerjaan dihitung kemudian
dijumlahkan secara keseluruhan sehingga akan didapatkan jumlah emisi CO2 dari proyek tersebut. [4]
Footprint
Ecological Footprint
Carbon Footprint
Activities • Transportation • Urban • Household • Infrastructure • Construction Process • Direct On-site, internal • Indirect Off-site, external, embodied, upstream, downstreamPenelitian yang juga dilakukan pada proyek konstruksi oleh Buchanan dan Honey[5] melakukan penelitian terhadap energi dan emisi CO2 yang ada dari material bangunan. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa alumunium dan baja memiliki energi dan emisi CO2 yang besar. Sementara Cole
(1999)[4], memfokuskan emisi CO2 dan energi pada proses on-site construction. Penelitian yang dilakukan menghitung besarnya CO2 dan energi pada on-site construction khususnya pada pekerjaan struktur dengan
menggunakan kayu, baja dan beton. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur yang menggunakan beton memberikan kontribusi yang signifikan terhadap emisi CO2.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. menghiitung besarnya emisi karbon yang terjadi dari rangkaian kegiatan proyek konstruksi dari hulu sampai pelaksanaan proyek konstruksi, khususnya hanya pada material baja tulangan dan semen
b. memodelkan optimasi emisi karbon pada supply chain material baja tulangan dan semen yang digunakan pada proyek konstruksi
Life Cycle Assessment (LCA)
LCA adalah teknik untuk melakukan assessment terhadap aspek lingkungan dan dampak potensial yang berhubungan dengan suatu produk, dengan menyusun atau menginventarisasi input dan output yang relevan dengan produk yang akan dihasilkan, melakukan evaluasi terhadap potensi dampak lingkungan yang berhubungan dengan input dan output dari produk tersebut serta menginterprestasikan hasil dari analisa dan assessment dampak dari setiap tahapan yang berhubungan dengan obyek studi. LCA mempelajari aspek lingkungan dan potensi dampak lingkungan dari siklus produk dari raw material, proses produksi, penggunaan produk dan disposal dari produk tersebut. [6] Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka LCA dapat diuraikan menjadi 4 tahapan yaitu: [7]
a. tujuan, ruang lingkup dan definisi
tahap pertama dari LCA mendefinisikan ruang lingkup studi termasuk mendefinisikan fungsi dari masing-masing bagian, batasan studi, detail dari masing-masing tingkatan dan beban lingkungan yang akan dialokasikan pada masing-masing tingkatan.
b. analisa inventori
tahap kedua pada LCA adalah melakukan inventarisasi inputan dan output yang berhubungan dengan ruang lingkup studi.
c. asesmen dampak
pada tahapan ini, melakukan evaluasi terhadap dampak potensi terhadap lingkungan dengan menggunakan hasil dari life cycle inventory dan menyediakan informasi untuk menginterpretasikan pada fase terakhir
d. interprestasi
tahap akhir dari LCA memberikan kesimpulan, rekomendasi dan pengambilan keputusan berdasarkan batasan studi yang telah ditetapkan pada tahap pertama
Apabila digambarkan maka tahapan LCA dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2. Tahapan pada Life Cycle Assessment (LCA) Sumber: ISO 14040
Pendekatan LCA di proyek konstruksi sangat mungkin untuk diimplementasikan. Beberapa penelitian pada proyek konstruksi telah mengimplementasikan LCA sebagai instrumen untuk melakukan
Life cycle assessment framework Goal and scope
definition Inventory analysis Impact assessment Interpretation Direct application: • Product development • Strategic planning • Public policy making • Marketing • other
assessement terhadap dampak lingkungan sebagai akibat proses kontruksi. Monahan dan Powell (2011) menggunakan LCA sebagai framework untuk melakukan analisa embodied carbon dan energi pada metode konstruksi yang modern pada bangunan rumah. LCA yang digunakan pada penelitian tersebut dibatasi dari cradle to site. Tujuan dari penelitian tersebut untuk menginvestigasi jumlah karbon dari urutan pekerjaan konstruksi pada bangunan rumah, membandingkan dengan pendekatan yang berbeda dan mengidentifikasi area yang berpotensi untuk mengurangi embodied carbon. Ruang lingkup pada penelitian ini dibatasi pada:
a. material dan produk bangunan yang digunakan pada proyek, b. transportasi akhir dari material dan produk bangunan ke proyek c. buangan material pada proyek
d. transportasi untuk membuang waste ke lokasi pembuangan
e. energi yang dibutuhkan selama proses konstruksi dan di pabrik yang memproduksi komponen metode konstruksi modern.
Gambar 3. Flow chart proses lifecycle pada studi kasus Monahan dan Powell Sumber: Monahan, J, Powell, J.C., 2011
Hasil dari penelitian Monahan, J, Powell, J.C., (2011) bahwa embodied carbon dari rumah yang dibangun dengan menggunakan material panel kayu yang dibuat di pabrik berjumlah 35tCO2. Sebagai model
pembanding, rumah yang dibuat dengan menggunakan konstruksi batu bata menghasilkan embodied carbon sebesar 52 tCO2, atau 51% lebih tinggi dari model sebelumnya.
Seperti pada fase LCA, maka sebagai aplikasi langsung dari penelitian ini berupa strategic planning yang terdiri dari:
a. meningkatkan penggunaan komponen bangunan yang dibuat secara pabrikasi,
b. mempertimbangkan penggunaan spesifikasi material dan pemilihan material yang bersifat ramah terhadap lingkungan
c. desain dan penempatan material yang tepat pada struktur (seperti material yang bermassa besar dapat berfungsi sebagai penyerap panas)
d. strategi meminimalkan buangan material.
Penelitian berikutnya yang menggunakan LCA sebagai instrumen untuk menghitung emisi karbon diimplementasikan pada proyek jaringan pipa air minum[8]. Penelitian ini dilatarbelakangi bahwa infrastruktur kebutuhan air minum di Amerika sangat besar, diperkirakan $274 milyar dari tahun 2000 sampai tahun 2019. Dengan investasi yang sangat besar ini, maka sector ini mempunyai potensi untuk dimonitor dampak lingkungan dari pengadaan infrastruktur ini. Artinya dengan adanya monitoring terhadap dampak lingkungan, akan berpotensi menurunkan kontribusi CO2 di Amerika[8]. Tujuan dari penelitian ini
untuk mendemonstrasikan model estimasi emisi karbon dari life cycle pengadaan infrastruktur air minum. Life cycle pada penelitian ini dimulai dari raw material, pabrikasi pipa yang digunakan di proyek, transportasi, pengoperasian, pemeliharaan pipa, pembongkaran dan pembuangan atau recycling. Emisi CO2
dihitung dan dibandingkan dari empat macam pipa yang digunakan pada proyek tersebut. Adapun life cyle dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 4. Life cycle proyek jaringan air minum Sumber: Piratla, Kaylan R., et.al., 2012
Hasil dari penelitian proyek jaringan air minum diperoleh bahwa dari 4 macam pipa yang digunakan melalui life cycle, emisi CO2 berkisar antara 1.463,23 sampai 1.524,98 t bergantung dari jenis bahan pipa
yang digunakan. Berdasarkan jumlah emisi karbon, pipa jenis PVC O memiliki emisi karbon yang relative kecil dibandingkan dengan jenis pipa yang lain. Sedangkan pipa bermutu tinggi (ductile pipe) memiliki emisi karbon sekitar 4.22% lebih tinggi dari pipa jenis PVC O. Kontribusi emisi karbon dalam life cycle proyek jaringan air minum berkisar antara 97.7 sampai dengan 98.6%.[8] Selain LCA yang merupakan instrumen untuk mengakses potensi dampak lingkungan akibat dari sebuah kegiatan adalah analisis analisis ekonomi input output (E I-O). Analisa ekonomi I-O dikembangkan oleh Wassily Leontif pada tahun 1930-an. Model ini mengkombinasikan interaksi data antara sektor nasional dengan sektor ekonomi. Dengan menggunakan operasi matrik, setiap perubahan di dalam permintaan dari sebuah sector dapat dikuantifikasi ke dalam dampak lingkungan atau sumber daya yang digunakan. Model E I-O ini mempertimbangkan
T ra n s p o rt T ra n s p o rt R e c y le d T ra n s p o rt
dampak langsung maupun tidak langsung.[9] Sebagai contoh sebuah gedung akan dibangun, tentunya dampak langsung dari pembangunan gedung ini akan membutuhkan material seperti semen, baja, pasir dan lain-lain. Apabila dikaitkan dengan emisi karbon, maka emisi karbon dari masing-masing material tersebut akan langsung mempunyai dampak yang dimulai dari pengambilan material sampai ke proyek. Dampak yang tidak langsung adalah proses setelah gedung itu selesai, maka secara tidak langsung adanya gedung tersebut dapat memberikan dampak ekonomi terhadap lokasi di sekitarnya. Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kelemahan dari masing-masing, maka beberapa peneliti menggabungkan metode LCA dan E I-O yang disebut dengan metode hybrid life cycle.
Penelitian yang mengimplementasikan hybrid life cycle dilakukan oleh Cass dan Mukherjee (2011)[10] untuk menghitung emisi gas rumah kaca pada pembangunan jalan raya khususnya pada perkerasan jalan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengembangkan dan memberikan ilustrasi metode yang dapat diaplikasikan oleh instansi negara yang terkait untuk melakukan pembobotan emisi life cycle di dalam perencanaan macam-macam perkerasan. Model skema hybrid LCA yang dipakai pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 5. Skema Hybrid LCA Sumber: Cass dan Mukherjee., 2011
Pada studi ini, EIO LCA digunakan untuk menghitung produksi material yang digunakan pada masing-masing proyek, bersamaan dengan itu juga menghitung dampak dari bahan bakar dan peralatan yang digunakan pada proyek tersebut. EIO LCA ini sangat bergantung kepada akurasi material dan peralatan yang digunakan pada masing-masing perencanaan dan metode pelaksanaan konstruksi. Hasil penelitian yang diperoleh adalah total emisi karbon dari model hybrid yang digunakan 787,19 mega ton untuk model 1 dan 1.383,28 mega ton per jalur dengan panjang 1 mil. Emisi karbon yang dihasilkan dari produksi material, peralatan dan bakan bakar yang digunakan untuk pembangunan jalan raya tersebut berjumlah 90% untuk model hybrid 1 dan 94% untuk model hybrid 2. Dampak penggunaan peralatan dan transportasi kurang lebih 6-10% dari total emisi karbon selama tahap konstruksi.
Metode Pengukuran Emisi CO2 pada Proyek Konstruksi
Salah satu indikator yang sering digunakan untuk melakukan penilaian terhadap keberlanjutan adalah jumlah CO2 yang dihasilkan dari suatu aktivitas. Aktivitas ini dapat bermacam-macam seperti
transportasi,pabrik ataupun secara khusus proyek konstruksi. Sektor konstruksi menjadi sektor utama yang berkontribusi meningkatnya CO2 di udara. Sebagai contoh di Irlandia sektor konstruksi diklaim sebagai
sektor yang harus bertanggung jawab dari total emisi karbon secara nasional di negara tersebut. Jumlah CO2 yang dihasilkan pada tahun 2005 sebesar 13.81 mt CO2eq. Sedangkan di Jepang, konsumsi dari
konstruksi yang digunakan untuk perumahan diperkirakan sebesar 4% dari total konsumsi energi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa di negara berkembang termasuk di dalamnya Indonesia diperoleh bahwa jumlah total biaya untuk pemenuhan energi sebesar 50% dengan pengguna terbanyak dari kegiatan
konstruksi. Selain itu juga diperoleh hasil bahwa sektor konstruksi berada di posisi ketiga dari industri lain yang menjadi penyebab kontribusi CO2. [4]
Paradigma keberhasilan proyek yang semula pada biaya, mutu dan waktu telah mengalami pergeseran atau mempertimbangkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak negatif yang dimaksud adalah emisi CO2 yang dihasilkan dari kegiatan konstruksi, yang dimulai dari cradle to gate. Beberapa upaya dilakukan untuk mengoptimalkan emisi CO2 dari kegiatan konstruksi, seperti:
a. Leontief [11], menghitung besarnya energi dan polutan yang ada di lingkungan dengan cara menghitung biaya total produk domestik, dimana di dalamnya termasuk sektor konstruksi, kemudian mengekivalensikan biaya sektor konstruksi sebagai bagian dari produk domestik, sehingga analisa yang digunakan berupa analisa kuantitatif. Namun metode ini belum memasukkan besarnya emisi CO2 yang dihasilkan dari transportasi seperti pengambilan material
ataupun peralatan yang digunakan pada proyek tersebut.
b. Acquaye dan Duffy (2010) memperbaiki metode yang digunakan oleh Leontif dengan cara mengalikan intensitas energi yang digunakan secara langsung, intensitas energi yang tidak digunakan secara langsung dengan faktor emisi karbon, sehingga akan diperoleh total jumlah energi yang digunakan baik secara langsung dan tidak langsung dari setiap pekerjaan yaitu CO2
yang dihasilkan dari proses konstruksi dan CO2 yang dihasilkan di luar proses konstruksi. [4]
c. Li, Zhu dan Zhang, melakukan pendekatan melalui work breakdown structure (WBS), proyek konstruksi dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu, input, proses dan output. Input meliputi jenis pekerjaan dan sumber daya yang dibutuhkan, emisi yan ditimbulkan baik secara langsung ataupun tidak langsung, biaya untuk pengadaan materil, dari bagian input akan diperoleh jumlah total emisi CO2 dan biaya total dari masing-masing sumber daya. Proses meliputi pendefinisian fungsi dari
obyek dan kendala, proses optimasi dengan model Particel Swarm kemudian optimalisasi dengan diagram pareto. Sedangkan tahap output nya adalah pemilihan solusi dengan trade-off. Pemodelan perhitungan yang dilakukan dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Perhitungan yang dilakukan dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu: [4]
• Emisi yang langsung dihasilkan dari kegiatan di proyek atau on-site dengan rumus:
Ed = Qed x Fe + Qdd x Fd (1)
dimana :
Ed = emisi yang dihasilkan dari kegiatan proyek
Qed dan Qdd = konsumsi energi dari penggunaan alat yang berenergi listrik dan diesel
Fe = dan Fd = faktor konversi untuk alat berbahan bakar listrik dan diesel sebesar 0.004t CO2-e/kg
• Emisi yang tidak langsung yang dihasilkan dari material yang digunakan dengan rumus:
(2)
dimana :
Emp = emisi yang dihasilkan dari kegiatan tidak langsung Qj = jumlah material yang digunakan
Fj = faktor konversi untuk alat berbahan bakar listrik dan diesel sebesar 0.004t CO2-e/kg
Gambar 6. Kerangka perhitugan emisi karbon Sumber: Liu S., Rao, T., Tam, Chi Ming., 2012
• Emisi karbon yang langsung dihasilkan dari transportasi
(3)
Emt = emisi yang dihasilkan dari transportasi material Qej dan Qdj = konsumsi listrik dan diesel untuk transportasi material Fe dan Fd = faktor konversi untuk material
Berikut ini adalah faktor konversi untuk beberapa material
Tabel 1. Faktor konversi emisi karbon untuk material Building material CO2 emission factor (t/unit)
Wood (m3) -0.84
Cement (m3) 3.21
Concrete (m3) 1.14
Steel (t) 3.79
Alumunium (t) 8.59
Sumber: Buchanan, A.H. & Honey, B.G., (1994)
Sehingga total emisi karbon adalah hasil penjumlahan dari emisi dari kegiatan konstruksi, emisi dari jumlah material dan emisi transportasi material. Sementara perhitungan emisi karbon yang pernah dilakukan pada studi kasus embodied carbon pada kolom precast concrete[12], faktor konversi menggunakan berbagai sumber yang berbeda seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Sumber informasi material dan konsumsi energi Materials, embodied carbon dan
konsumsi energi
Sumber
Emisi embodied carbon pada semen Nisbet, et. al (2000) Emisi embodied carbon pada agregat Hammond and Jones (2008) Emisi embodied carbon pada baja World Steel Association (2008) Emisi karbon dari transportasi (hulu) DEFRA (2005), Mc. Kinnon (2008) Energi untuk mixing plant Hasil survey di lapangan Faktor emisi untuk pembangkit National Environment Agency (2009) Faktor emisi untuk truck dalam posisi tidak
aktif
Stodolsky, et. al. (2000)
Sumber: Peng, W., Pheng, Low S., 2011
Pada penelitian ini, untuk transportasi ditentukan nilai tengah per kilo meter 30 g CO2 per kilometer,
meskipun The Department for Environment, Food and Rural Affairs/DEFRA memberikan faktor konversi dari 7 g CO2 sampai dengan 60 g CO2. Berikut ini adalah contoh perhitungan emisi karbon yang telah
dilakukan pada penelitian tersebut:
Tabel 3. Perhitungan CO2 dari kegiatan tranportasi
Sumber: Peng, W., Pheng, Low S., 2011
Material Negara Persentase dalam 3 tahun terakhir
Pelabuhan Bongkar Muat
Jarak transportasi (dari pelabuhan ke Singapore)
(km)
Intensitas
transportasi CO2 (kg/t)
Jumlah Total CO2 dalam tranportasi (kg/t)
Jepang 50.5 Yokohama 5292 158.76
Taiwan 20.5 Kaohsiung 2952 88.56
Malaysia 19.8 Klang 325 9.75
Thailand 8.4 Laem Chabang 1351 40.53
China 0.5 Shanghai 3801 114.03 China 70.8 Shanghai 3801 114.03 Korea 17.7 Pusan 4574 137.22 Jepang 3.9 Yokohama 5292 158.76 Indonesia 44.3 Cigading 893 26.79 Malaysia 35.9 Klang 325 9.75 China 16.4 Shanghai 3801 114.03 Sement Baja Agregat 1042000 1216000 357000
Tabel 4. Embodied Carbon dari Model Kolom Pracetak
Sumber: Peng, W., Pheng, Low S., 2011 Referensi
[1] Rees, W., Wackernagel, M., 1996, Urban Ecological Fooprints: Why cannot be sustainable-and why they are a key to sustainability, Elsevier Science Inc.
[2] East, A.J., 2008, What is carbonfootprint? An overview of definitions and methodologies, Report of Horticulture Austraila Ltd.
[3] Wiedmann, T., Minx, J., 2007, A definistion of carbonfootprint? ISA UK Research Report & Consulting.
[4] Liu, Sha. et.al., 2012, Optimizing cost and CO2 emission for construction projects using particle swarm optimation, Journal of Habitat International, p:1-8.
[5] Buchanan, A.H., Honey, B.G., 1994, Energy and carbon dioxide implications of building construction, Journal of Energy and Building, 20, p:205-217.
[6] ISO 14040, Environmental management-life cycle assessment-principles and framework.
[7] Monahan, J, Powell, J.C., 2011, An embodied carbon and energy analysis of modern methods of construction in housing: a case study using a lifecyle assessment framework, Journal of Energy and Buildings, 43 p:179-188.
[8] Piratla, Kaylan R., et.al., 2012, Estimation of CO2 emissions from the life cycle of a potable water pipeline project, Journal of Management in Engineering, ASCE, January 2012.
[9] Bilec, Mellisa, M., 2007, A hybrid life cycle assessment model for construction process, the dissertation at University of Pittsburgh.
[10] Cass, D dan Mukherjee, A., 2011, Calculation of greenhouse gas emissions for highway construction operations by using a hybrid life-cycle assessment approach: case study for pavement operations, the dissertation at University of Pittsburgh.
[11] Acquaye, A.A., & Duffy, A.P., 2010, Input-output analysis of Irish construction sector greenhouse gas emissions, Building and Environment, 45, p: 784-791.
[12] Peng, W., Pheng, Low S., 2011, Managing the embodied carbon of precast concrete coloumns, Journal of Materials in Civil Engineering, August 2011.
Raw Material dan kebutuhan energi Jumlah Satuan Faktor emisi Satuan Emisi Karbon (kg
CO2) Raw Material Semen 320.1130 kg 0.4970 kg CO2/kg 159.0962 Agregat 540.6600 kg 0.0050 kg CO2/kg 2.7033 Tulangan 178.0000 kg 1.7000 kg CO2/kg 302.6000 Kebutuhan energi
Transportasi untuk semen (internasional) 320.1300 kg 104.2000 kg CO2/t 33,357.5460
Transportasi untuk agregat (internasional) 540.6600 kg 121.6000 kg CO2/t 65,744.2560
Transportasi untuk baja tulangan (internasional) 178.0000 kg 35.7000 kg CO2/t 6,354.6000
Operasi batching plant 68.6000 kW. h/m3 0.5233 kg CO2/kW.h 25.5200
Transportasi ready mix (lokal) 24.1500 km 0.1200 kg CO2/km/t 9.7721
Transportasi baja tulangan (lokal) 24.1500 km 0.1200 kg CO2/km/t 1.0317
Produksi beton pracetak 6.5000 kW. H 0.5233 kg CO2/kW.h 3.4015