• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

JALANCAGAK KABUPATEN SUBANG

Paramitha Wirdani Ningsih Marlina

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Status Gizi dan Pola Asuh Lingkungan dengan Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah pada Keluarga Miskin Kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Paramitha Wirdani Ningsih Marlina

(3)

PARAMITHA WIRDANI NINGSIH MARLINA. Study of Relationship between Nutritional Status, Parenting, and Cognitive Development of Preschool Children in Poor Families at Jalancagak Sub-district Subang District. Under direction of FAISAL ANWAR and LILIK KUSTIYAH.

The objective of this study was to examine the relationship between nutritional status, and parenting, and cognitive development of preschool children in poor families. Design of this study is a cross-sectional with sample size was 152 children. The result showed that significant correlation between nutritional status and cognitive development (p-value = 0.028) and parenting and cognitive development (p-value = 0.038). Influencing factor for cognitive development was parenting (OR = 0.328, 95% CI = 0.121-0.892).

Keywords : nutritional status, parenting, cognitive development, preschool children

(4)

dan Pola Asuh Lingkungan dengan Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah pada Keluarga Miskin Kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang. Dibimbingan oleh FAISAL ANWAR and LILIK KUSTIYAH.

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan dengan adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Sumber daya manusia (SDM) dikatakan berkualitas bila memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima dan menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi. Pencapaian pembangunan manusia yang berkualitas dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (BAPPENAS, 2010) menyatakan bahwa dari laporan Human Development

Reports, UNDP, tahun 2010 IPM Indonesia dikategorikan dalam ‘medium human development’ dan menduduki ranking 108 dari 182 negara.

Sejalan dengan itu status gizi balita di Indonesia juga masih sangat mengkhawatirkan. Terlihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 (Kemenkes Balitbang, 2010) melaporkan bahwa prevalensi balita menderita status gizi kurang sebesar 17.9% dan gizi buruk sebesar 4.9%. Selain itu juga Depdiknas tahun 2002 melaporkan dari 26 juta anak usia dini (0-6 tahun), baru 17% anak yang mengikuti pendidikan usia dini. Padahal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu jenjang pendidikan yang diselenggarkan sebelum jenjang pedidikan dasar (Kemendiknas 2010).

Data Riskesdas 2010 juga melaporkan bahwa persentase balita yang mengalami gizi kurang yang berasal dari keluarga yang tingkat pengeluaran Rumah Tangga per kapitanya berada di kuintil 1 sebesar 15.6% dan untuk gizi buruk sebesat 7.1%. Selain itu juga persentasi balita yang mengalami gizi kurang yang kepala keluarganya bekerja menjadi petani atau nelayan atau buruh sebesar 15.2 %. Ini menggambarkan bahwa sosial ekonomi rumah tangga berpengaruh terhadap status gizi balita di dalam keluarga tersebut. Dimana kondisi kurang gizi akan berdampak pada penurunan kualitas SDM.

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Growth, Cognitive

Development and Psychosocial of Preschool Children in Poor Farmer and Non-Farmer Households, yang dibiayai oleh Neys Van Hoogstraten Foundation

(Khomsan et al. 2011). Desain penelitian ini adalah cross-sectional study. Penelitian berlokasi Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat, pada bulan Oktober 2011 hingga Juli 2012. Berdasarkan perhitungan jumlah sampel minimum yang didapat adalah sebanyak 400 sampel, maka sampel untuk setiap desa masing-masing adalah 80 sampel. Untuk penelitian ini, desa yang dipergunakan sebagai sampel adalah desa Kumpay dan Bunihayu. Adapun alasan pemilihan ke dua desa tersebut adalah mata pencaharian pokok penduduk ke dua desa sangat beragam serta jumlah posyandu yang aktif. Setelah melalui proses cleaning data, maka sampel dari 160 menjadi 152 sampel. Pengurangan ini dikarenakan data yang dimiliki oleh sampel tersebut tidak lengkap untuk variabel karakteristik keluarga dan karakteristik anak.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer melalui wawancara menggunakan kuisioner serta observasi atau pengukuran secara langsung, data sekunder diperoleh dari kantor desa dan posyandu setempat. Data primer meliputi karakteristik keluarga (usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua, dan besar keluarga), karakteristik anak (usia anak, jenis kelamin, berat badan lahir), pengetahuan sikap dan praktik ibu terhadap gizi dan

(5)

kognitif. Data sekunder meliputi, jumlah balita setempat, keadaan umum lokasi, dan data demografi. Data primer meliputi karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan sikap dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan, keikutseraan dalam PAUD dikumpulkan melalui wawancara dengan alat bantu kuesioner. Data asupan gizi anak menggunakan metode recall 2 x 24 jam, pola asuh lingkungan menggunakan wawancara dengan instrument HOME, status gizi anak pengukuran tinggi badan dan penimbangan berat badan, perkembangan kognitif dengan instrument Depdiknas 2004.

Analisis yang digunakan adalah univariat, bivariat dan multivariat. Analisis univariat atau analisis deskriptif menggambarkan sebaran variabel yang diteliti dalam kuisioner berdasarkan persen dan rataan. Analisis uji beda menggunakan

t-test Independen, untuk melihat perbedaan berdasarkan kelompok PAUD dan

non PAUD. Analisis bivariat yang digunakan adalah uji korelasi Chi-Square digunakan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pola asuh lingkungan, pengetahuan, sikap dan praktek ibu terhadap gizi dan kesehatan, status gizi, asupan energi dan protein anak dengan perkembangan kogniitif anak usia prasekolah. Uji Regresi Logistik berganda digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi asupan gizi anak dan yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak usia prasekolah.

Hasil penelitian ini dimana hampir sebagian besar (82.2%) anak tidak terlibat dalam kegiatan pendidikan anak usia dini, baik PAUD, Taman Kanak-Kanak, atau Taman bermain. Hanya 17.8% anak yang terlibat dalam pendidikan usia dini. Berdasarkan karakteristik keluarga sebagian besar ibu berada di usia dewasa muda (90.8%) dan demikian pula untuk ayah sebagian besar berada di usia dewasa muda (69.1%). Sebagian besar (63.2%) termasuk ke dalam kategori keluarga kecil. Sebagian besar (86.2%) ayah memiliki tingkat pendidikan rendah, dengan rata-rata lama pendidikan sebesar 7.49 tahun. Demikian pula untuk ibu, sebagian besar (93.4%) ibu memiliki tingkat pendidikan rendah, dengan rata-rata lama pendidikan sebesar 7.46 tahun. Umumnya ibu tidak bekerja atau tergolong ibu rumah tangga yaitu sebesar 75.7% dan ayah bekerja pada sektor non pertanian sebesar 63.8% dengan rata-rata pendapatan per kapita sebesar Rp. 266 005.70 dengan standar deviasi Rp. 116 729.68.

Karakteristik anak, mayoritas berasal pada kelompok usia 36-48 bulan (56.6%) dengan persentasi terbesar untuk jenis kelamin anak yang mengikuti penelitian ini adalah perempuan sebesar 53.9%. sebagian besar (97.4%) lahir dengan berat badan normal dan terdapat 2.6% anak yang mengalami berat badan lahir rendah (BBLR). Berdasarkan pengetahuan ditemukan bahwa sebanyak 79.0% ibu memiliki pengetahuan yang kurang, ditemukan bahwa sebanyak 96.0% ibu memiliki sikap yang baik, dan ditemukan bahwa sebanyak 77.6% ibu memiliki praktik yang baik.

Asupan gizi anak, sebanyak 67.1% anak yang memiliki tingkat kecukupan energi yang tidak normal, dan sementara 73.6% anak yang memiliki tingkat kecukupan protein yang tidak normal. Berdasarkan status gizi, ditemukan bahwa sebanyak 73.7% anak memiliki status gizi yang normal berdasarkan indeks BB/U, ditemukan bahwa sebanyak 65.1% anak memiliki status gizi yang normal berdasarkan indeks TB/U, sebanyak 84.2% anak memiliki status gizi yang normal berdasarkan indeks BB/TB. Berdasarkan pola asuh lingkungan, ditemukan bahwa sebanyak 77.0% anak memiliki pola asuh lingkungan yang kurang. Berdasarkan perkembangan kognitif, ditemukan bahwa sebanyak 77.0% anak memiliki perkembangan kognitif yang kurang.

(6)

berdasarkan indeks BB/TB (p=0.012), dan pola asuh lingkungan (p=0.014) dengan keikutsertaan dalam PAUD.

Terdapat hubungan yang positif signifikan antara usia ibu (p-value=0.042) dan pekerjaan ayah (p-value=0.023) dengan pengetahuan ibu terhadap gizi dan kesehatan. Terdapat hubungan yang positif signifikan antara pekerjaan ibu (p-value=0.045) dan jenis kelamin anak (p-value=0.016) dengan tingkat kecukupan energi. Terdapat hubungan yang positif signifikan antara pengetahuan ibu(p-value=0.051) terhadap tingkat kecukupan protein. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan gizi baik tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi anak usia prasekolah. Terdapat hubungan yang positif signifikan antara pekerjaan ayah (p-value=0.002), lama pendidikan ibu (p-value=0.051), lama pendidikan ayah (p-value=0.009), besar keluarga (p-value=0.000)dan pendapatan per kapita (p-value=0.007) dengan pola asuh lingkungan. Terdapat hubungan yang positif signifikan antara status gizi indeks BB/U (p-value=0.028) dan pola asuh lingkungan (p-value=0.038) dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah.

Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kecukupan energi adalah jenis kelamin anak dengan OR=0.418 (95%; CI=0.194-0.904). Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kecukupan protein adalah pekerjaan ibu dengan OR=2.531 (95%; CI=1.016-6.307). Faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan kognitif adalah pola asuh lingkungan dengan OR=0.328 (95%; CI=0.121-0.892).

Kata kunci: status gizi, pola asuh lingkungan, perkembangan kognitif, anak usia prasekolah

(7)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

JALANCAGAK KABUPATEN SUBANG

Paramitha Wirdani Ningsih Marlina

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

(9)

Judul Tesis : Studi Keterkaitan antara Status Gizi dan Pola Asuh Lingkungan dengan Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah pada Keluarga Miskin Kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang

Nama : Paramitha Wirdani Ningsih Marlina

NIM : I 151100091

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat

drh. M. Rizal. M. Damanik, MRepSC, PhD

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

(10)

segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Studi Keterkaitan antara Status Gizi dan Pola Asuh Lingkungan dengan Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah pada Keluarga Miskin Kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang”. Tesis ini ditujukan untuk memenuhi tugas akhir pada Program Studi Magister Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberi usulan, saran, kritik dan motivasi dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS. dan Tim yang telah memberikan kesempatan dan izin untuk mengikuti penelitian Growth, Cognitive Development and Psychosocial of

Preschool Children in Poor Farmer and Non-Farmer Households, yang dibiayai

oleh Neys Van Hoogstraten Foundation. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS. selaku penguji luar komisi.

Penghargaan khusus diberikan kepada ayahanda Eddy P. Siahaan dan Ibunda Sumarni Simbolon yang telah menghantarkan penulis hingga ke jenjang pendidikan Magister dengan kasih sayang dan doa. Kemudian kepada Rivai Sunardi, Bella Cerelia, seluruh keluarga, rekan-rekan S2 GMS 2010, Tio Renova dan tim enumerator Subang yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas doa dan dukungannya, serta bintang kecil yang menyinari dan hadir memberi warna dalam hidupku.

Penulis berharap tesis ini dapat menjadi salah satu bagian dari rangkaian penyusun bagi landasan ilmu pengetahuan dan bermanfaat untuk semua.

Bogor, Oktober 2012

(11)

merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Eddy P. Siahaan dan Ibu Sumarni Simbolon. Tahun 2004, penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis meraih gelar Sarjana Sains tahun 2008 dari Departemen Biokimia, dengan judul skripsi “Konsentrasi Flavonoid dan Lethal Concentration 50 (LC

50) Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper crocatum)” Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian

Bogor dengan lama studi 46 bulan.

Selama mengikuti perkuliahan S1, penulis pernah melaksanakan Praktik Lapangan di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia dan menulis laporan ilmiah yang berjudul “Analisis Pola Protein dari Bunga dan Daun Kelapa Sawit Normal dan Abnormal”. Selain itu penulis juga pernah aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan dengan berbagai kegiatan eksternal maupun internal, yaitu sebagai staff Departemen Informasi, Komunikasi, dan Kesekretariatan Community of Research and Education in Biochemistry (CREB’s) pada periode 2006/2007 dan Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (PMK IPB) pada Komisi Pelayanan Siswa pada tahun 2004 hingga 2008. Penulis juga pernah menjadi Koordinator dan Pengajar Agama Kristen di SMA Negeri 2 Bogor pada tahun 2005 hingga 2008.

Setelah lulus penulis pernah bekerja di PT. Dayasembada Swadarma, Jakarta sebagai Store Manager hingga tahun 2010. Tahun 2010, penulis melanjutkan kembali pendidikan Strata 2 (S2) pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti perkuliahan S2, penulis pernah menjadi enumerator untuk penelitian “Growth, Cognitive Development and Psychosocial of Preschool Children in Poor

Farmer and Non-Farmer Households” kerja sama Dept. Ilmu Gizi Masyarakat IPB

dan Neys Van Hoogstraten Foundation tahun 2011 dan enumerator Penelitian “Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) dan Status Anemian terhadap Status Gizi dan Daya Ingat Sesaat Anak SDN 1 Pasanggrahan Purwakarta” kerja sama Dept. Ilmu Gizi Masyarakat IPB dan LSM Nurani Dunia tahun 2012.

(12)

DAFTAR TABEL ……….. xv

DAFTAR GAMBAR……… .. xviii DAFTAR LAMPIRAN………..…. xix

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 4 Tujuan Umum ... 4 Tujuan Khusus ... 4 Hipotesis ... 5 Manfaat ... 5 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Status Gizi dan Pengukurannya ... 7

Karakteristik Keluarga ... 9

Usia Orang Tua ... 9

Besar Keluarga ... 10

Pekerjaan Orang Tua... 10

Pendapatan Keluarga ... 11

Pendidikan Orang Tua ... 12

Karakteristik Anak ... 13

Usia Anak Prasekolah... 13

Berat Badan Bayi Lahir ... 14

Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan ... 14

Asupan Energi dan Protein Anak ... 15

Pola Asuh Lingkungan ... 16

Perkembangan Kognitif ... 17

Pendidikan Anak Usia Dini ... 19

KERANGKA PEMIKIRAN ... 22

METODE ... 24

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 27

Pengolahan dan Analisis Data... 28

Definisi Operasional ... 32

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

Keikutsertaan PAUD ... 34

Karakteristik Keluarga Sampel ... 35

Usia Orang Tua ... 35

Besar keluarga... 36

Pendidikan Orang Tua ... 37

(13)

Karakteristik Sampel ... 42

Usia dan Jenis Kelamin Anak Prasekolah ... 42

Berat Badan Lahir ... 43

Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan ... 44

Pengetahuan Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan ... 44

Sikap dan Praktik Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan ... 46

Asupan Zat Gizi ... 52

Status Gizi Anak Usia Prasekolah ... 56

Pola Asuh Lingkungan ... 59

Perkembangan Kognitif ... 66

Analisis Hubungan antar Variabel ... 68

Hubungan antara Karakterisktik Keluarga dengan Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan ... 68

Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Asupan Gizi Anak. 72 Hubungan antara Karakteristik Anak dengan Asupan Gizi Anak ... 75

Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu dengan Asupan Gizi Anak ... 77

Hubungan antara Asupan Gizi Anak dengan Status Gizi Anak. ... 78

Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Pola Asuh Lingkungan ... 80

Hubungan antara Pola Asuh Lingkungan dengan Perkembangan Kognitif Anak ... 81

Hubungan antara Status Gizi dan Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah ... 86

Hubungan antara Keikutsertaan PAUD dan Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah ... 87

Hubungan Antara Genetik dengan Perkembangan Kognitif ... 88

Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Asupan Zat Gizi Anak Usia Prasekolah ... 90

Tingkat Kecukupan Energi. ... 90

Tingkat Kecukupan Protein. ... 91

Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah ... 92

SIMPULAN DAN SARAN ... 96

Simpulan ... 96

Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 97

(14)

1 Prevalensi masalah gizi pada balita Kabupaten Subang ... 4 2 Standar tingkat pencapaian perkembangan kognitif anak usia

prasekolah ... 20 3 Variabel, jenis dan cara pengumpulan data ... 27 4 Pengkategorian variabel penelitian ... 30 5 Sebaran sampel berdasarkan usia orang tua terhadap

keikutsertaan PAUD ... 35 6 Sebaran sampel berdasarkan besar keluarga terhadap

keikutsertaan PAUD ... 36 7 Sebaran sampel berdasarkan lama pendidikan orang tua ... 37 8 Sebaran sampel berdasarkan pekerjaan orang tua terhadap

keikutsertaan PAUD ... 39 9 Pendapatan per kapita dalam sebulan ... 41 10 Sebaran sampel berdasarkan usia dan jenis kelamin ... 42 11 Sebaran sampel berdasarkan berat badan lahir anak terhadap

keikutsertaan PAUD ... 44 12 Sebaran sampel berdasarkan pengetahuan ibu dan keikutsertaan

PAUD ... 44 13 Sebaran sampel berdasarkan sikap ibu dan keikutsertaan PAUD... 47

14 Sebaran sampel berdasarkan praktik ibu dan keikutsertaan PAUD 49 15 Sebaran sampel berdasarkan praktik pemberian makan anak ... 50 16 Sebaran sampel berdasarkan jadwal makan anak ... 51 17 Sebaran sampel berdasarkan sikap ibu dalam memberi makan

anak... 52 18 Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan menurut kelompok usia

anak... 53 19 Sebaran sampel berdasarkan tingkat kecukupan energi dan

keikutsertaan PAUD ... 53 20 Sebaran sampel berdasarkan tingkat kecukupan protein dan

(15)

22 Sebaran sampel menurut status gizi indeks BB/U dan

keikutsertaan PAUD ... 56 23 Sebaran sampel menurut status gizi indeks TB/U dan

keikutsertaan PAUD ... 57 24 Sebaran sampel menurut status gizi indeks BB/TB dan

keikutsertaan PAUD ... 58 25 Sebaran sampel menurut status gizi berdasarkan indeks

BB/TB dan keikutsertaan PAUD ... 60 26 Sebaran sampel berdasarkan subskala pola asuh lingkungan

dan keikutsertaan PAUD ... 61 27 Sebaran sampel berdasarkan perkembangan kognitif dan

keikutsertaan PAUD ... 66 28 Hubungan antara karakterisktik keluarga dangan pengetahuan

ibu terhadap gizi dan kesehatan ... 69 29 Hubungan antara karakterisktik keluarga dengan sikap ibu

terhadap gizi dan kesehatan ... 69 30 Hubungan antara karakterisktik keluarga dengan praktik ibu

terhadap gizi dan kesehatan ... 71 31 Hubungan antara karakteristik keluarga dengan tingkat

kecukupan energi ... 73 32 Hubungan antara karakteristik keluarga dengan tingkat

kecukupan protein ... 74 33 Hubungan antara karakteristik anak dengan tingkat kecukupan

energi ... 75 34 Hubungan Antara Karakteristik Anak Dengan Tingkat Kecukupan

Protein ... 76 35 Hubungan antara pengetahuan, sikap dan praktik ibu dengan

tingkat kecukupan energi ... 77 36 Hubungan antara pengetahuan, sikap dan praktik ibu dengan

tingkat kecukupan protein ... 78 37 Hubungan tingkat kecukupan energi dengan status gizi anak ... 78 38 Hubungan tingkat kecukupan protein dengan status gizi anak ... 79

(16)

lingkungan ... 80 40 Hubungan antara pola asuh lingkungan dengan

perkembangan kognitif anak ... 82 41 Hubungan antara pola asuh lingkungan dengan perkembangan

kognitif anak ... 82 42 Hubungan antara status gizi dan perkembangan kognitif anak

usia prasekolah... 86 43 Hubungan antara keikutsertaan PAUD dan perkembangan

kognitif anak usia prasekolah ... 88 44 Hubungan antara genetik dengan perkembangan kognitif ... 89 45 Hasil uji regresi logistik yang berpengaruh terhadap tingkat

kecukupan energi anak usia prasekolah ... 91 46 Hasil uji regresi logistik yang berpengaruh terhadap tingkat

kecukupan protein anak usia prasekolah ... 92 47 Hasil uji regresi logistik berganda terhadap faktor-faktor yang

(17)
(18)

1 Kerangka pemikiran. ... 23

2 Bagan alir tahapan pengambilan sampel. ... 26

3 Sebaran sampel dalam keikutsertaan dalam PAUD. ... 34

4 Sebaran berdasarkan jenis pekejaan ayah. ... 40

5 Sebaran ibu yang menjawab pertanyaan pengetahuan gizi dengan benar. ... 46

(19)
(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil uji beda t-test antar berbagai variabel ... xiv 2 Hasil analisis uji regrsi logistik berganda ... xv

(21)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan dengan adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Sumber daya manusia (SDM) dikatakan berkualitas bila memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima dan menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi. Pencapaian pembangunan manusia yang berkualitas dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Ada tiga faktor yang menjadi indikator IPM yaitu kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan dengan status gizi masyarakat. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (BAPPENAS 2010) menyatakan bahwa dari laporan Human Development

Reports, UNDP, tahun 2010 IPM Indonesia dikategorikan dalam ‘medium human development’ dan menduduki ranking 108 dari 182 negara. Sejalan dengan itu

status gizi balita di Indonesia juga masih sangat mengkhawatirkan. Terlihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 (Kemenkes Balitbang 2010) melaporkan bahwa prevalensi balita menderita status gizi kurang sebesar 17.9% dan gizi buruk sebesar 4.9%. Dimana kondisi kurang gizi akan berdampak pada penurunan kualitas SDM.

Selain itu juga Depdiknas tahun 2002 melaporkan dari 26 juta anak usia dini (0-6 tahun), baru 17% anak yang mengikuti pendidikan usia dini. Padahal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu jenjang pendidikan yang diselenggarkan sebelum jenjang pedidikan dasar (Kemendiknas 2010). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pasal 1 angka 14 yang menyatakan bahwa PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Kualitas SDM ditentukan oleh keberhasilan tumbuh kembang pada masa kanak-kanak. Berdasarkan faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak ada dua, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar (Darmadji et al. 1984). Faktor dari dalam ini bersifat genetik, dan faktor dari luar yaitu lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor yang sudah ada dalam diri anak sendiri, termasuk hal-hal yang diturunkan oleh orang tua, seperti warna rambut dan bentuk tubuh,

(22)

sedangkan faktor lingkungan adalah faktor keluarga (terutama sikap dan kebiasaan keluarga dalam mengasuh dan mendidik anak, dalam hubungan orang tua dengan anak), pemeliharan, budaya setempat, dan teman bermain.

Menurut Martorell (1996) menyatakan bahwa kekurangan gizi pada balita akan berdampak pada pertumbuhan fisik tertunda, perkembangan motorik dan kognitif tergangguan. Pengaruh ini dapat menyebabkan penurunan IQ sebesar 15 poin. Khomsan (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak yang cepat terjadi pada usia di bawah lima tahun. Bahkan fase pertumbuhan otak cepat (growth spurt) terjadi sampai usia 18 bulan. Status gizi anak pada dua tahun pertama sangat menentukan perkembangan kognitif di masa yang akan datang. Ditambahkan Soedjatmiko (2008) bahwa sejak usia kehamilan enam bulan sampai anak berusia dua tahun, merupakan waktu pertumbuhan percabangan sel-sel otak paling cepat. Semakin sering, bervariasi dan teratur rangsangan atau stimulasi yang diterima sejak usia kehamilan enam bulan sampai usia dua tahun maka semakin kuat hubungan antara sinaps sel-sel di otak kiri dan kanan. Kualitas kecerdasan anak tergantung dari kualitas sel-sel otak yang terbentuk sampai usia 2-3 tahun. Kualitas sel-sel otak tergantung pada ransangan (stimulasi) dan kualitas gizi untuk perkembangan fungsi-fungsi sel-sel otak tersebut. Oleh karena itu kebutuhan gizi dan stimulasi dini sangat penting terutama sejak didalam kandungan sampai berusia 2-3 tahun (Soedjatmiko 2008). Kemudian Rahmaulina dan Hastuti (2008) menyatakan kualitas SDM sangat ditentukan oleh kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak yang dikembangkan melalui pengasuhan oleh keluarga, terutama orang tua. Selain itu, kurangnya gizi akan berdampak pada perubahan perilaku sosial, perhatian menurun, kemampuan belajar, dan rendahnya hasil belajar (Jalal 2009).

Demikian juga dalam penelitian Grantham Mc-Gregor (1995) menemukan bahwa anak yang memiliki status gizi baik akan memiliki tingkat perkembangan yang baik. Status gizi anak usia dini dalam jangka pendek berdampak pada perkembangan otak, pertumbuhan massa otot dan komposisi tubuh, serta pemprograman metabolism zat-zat gizi, sedangkan dampak pda jangka panjang adalah performance kognitif, imunitas dan produktivtas kerja, serta meningkatkan kejadian-kejadian penyakit degeneratif (ACC/SCN 2000). Kemudian Jalal (2009) menyatakan bahwa anak yang memiliki status kesehatan dan gizi yang rendah, cenderung untuk tidak berprestasi di sekolah karena mereka memiliki kemampuan yang rendah dalam berkonsentrasi dan menyerap pembelajaran

(23)

yang diterima. Kemudian berdasarkan hasil studi Zeitlin (2000) menunjukkan bahwa anak yang diasuh dengan baik akan memiliki tingkat perkembangan yang baik. Demikian pula hasil penelitian Anwar (2002) menemukan bahwa ada hubungan antara model pengasuhan anak di bawah dua tahun dengan peningkatkan perkembangan psikososial anak. Hastuti et al. (2010) menyatakan bahwa perkembangan kognitif anak yang rendah dapat mengindikasikan rendahnya tingkat pengasuhan orang tua kepada anak.

Ditambahkan Evans et al. (2000) bahwa perkembangan anak bersifat

holistic dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kesehatan, gizi, sosial,

emosional, dan spiritual. Dengan kata lain, bila kekurangan gizi, status kesehatan rendah, dan tidak optimalnya pengasuhan anak akan menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan kognitif, motorik, sosial dan emosional anak. Selain itu karakteristik ibu, yaitu pengetahuan dan status gizi ibu juga mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh ibu. Myers (1992) menyatakan bahwa banyaknya waktu yang digunakan ibu dalam mengasuh anaknya merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keadaan gizi anak. Pengetahuan ibu tentang gizi dan penerapannya juga mempengaruhi status gizi anak, dan keadaan status gizi ibu mempengaruhi aktifitas pengasuhan anak.

Berdasarkan penelitian Sa’diyyah (1998) menemukan bahwa faktor semakin besar keluarga maka semakin sedikit waktu yang dicurahkan ibu untuk anaknya. Menurut Satoto (1990) bahwa faktor ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Latifah et al. (2010) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara pendapatan per kapita keluarga dan pendidikan ayah dengan stimulasi psikososial, demikian halnya dengan pendidikan ibu. Hasil penelitian Welsch dan Zimmer (2010) menyatakan bahwa berat badan lahir nyata akan mempengaruhi kognitif pada masa kecil.

Adapun permasalahan yang mendasari dari penelitiian ini adalah data Riskesdas 2007 yang melaporkan bahwa persentase balita yang mengalami gizi kurang yang berasal dari keluarga yang tingkat pengeluaran rumah tangga per kapitanya berada di kuintil satu sebesar 15.4% dan untuk gizi buruk sebesar 6.7%. Kemudian Riskesdas 2010 juga melaporkan bahwa persentase balita yang mengalami gizi kurang yang berasal dari keluarga yang tingkat pengeluaran rumah tangga per kapitanya berada di kuintil satu sebesar 15.6% dan untuk gizi

(24)

buruk sebesar 7.1%. Selain itu Riskesdas 2007 melaporkan persentasi balita yang mengalami gizi kurang yang kepala keluarganya bekerja menjadi petani atau nelayan atau buruh sebesar 14.8%. Demikian pula laporan Riskesdas 2010, persentasi balita yang mengalami gizi kurang yang kepala keluarganya bekerja menjadi petani atau nelayan atau buruh sebesar 15.2%. Terjadi peningkatan persentasi baik prevalensi gizi kurang maupun gizi buruk. Ini menggambarkan bahwa sosial ekonomi rumah tangga berpengaruh terhadap status gizi balita di dalam keluarga tersebut.

Berdasarkan BPS (2006), yang melaporkan bahwa Subang merupakan daerah pertanian dan memiliki persentase penduduk miskin yang tergolong tinggi sebesar 18.9% pada tahun 2005. Kemudian Database Kesehatan per Kabupaten melaporkan bahwa Kabupaten Subang tahun 2008 hingga tahun 2010 (Tabel 1) masih memiliki masalah gizi pada balita. Terlihat dari jumlah prevalensi balita yang mengalami masalah gizi cenderung stagnan atau tetap. Meskipun persentasenya masih di bawah 5%, namun diharapkan dapat diselesaikan secara efisien dan efektif agar kualitas SDM Indonesia membaik.

Tabel 1 Prevalensi masalah gizi pada balita Kabupaten Subang

Tahun BBLR (%) BGM (%) Gizi Buruk (%)

2008 2.19 2.47 0.57

2009 2.00 2.74 0.53

2010 1.24 3.95 0.58

Sumber : Database Kesehatan per Kabupaten (2012)

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan kajian secara lebih mendalam mengenai bagaimana keterkaitan antara status gizi dan pola asuh lingkungan dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah pada keluarga miskin.

Tujuan Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara status gizi dan pola asuh lingkungan dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah pada keluarga miskin.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis perbedaan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan, sikap dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan, asupan

(25)

gizi anak, pola asuh lingkungan, dan status gizi anak usia prasekolah berdasarkkan keikutsertaan dalam PAUD.

2. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan, sikap dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan, dengan asupan energi dan protein anak usia prasekolah.

3. Menganalisis hubungan antara asupan energi dan protein anak dengan status gizi anak usia prasekolah.

4. Menganalisis hubungan antara genetik, pola asuh lingkungan, keikutsertaan dalam PAUD, dan status gizi dengan perkembangan kognitif anak.

5. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap asupan gizi dan perkembangan kognitif anak.

Hipotesis

Adapun hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan, sikap dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan, asupan gizi anak, pola asuh lingkungan, dan status gizi anak usia prasekolah berdasarkkan keikutsertaan dalam PAUD.

2. Terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan, sikap dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan, dengan asupan energi dan protein anak usia prasekolah. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara asupan energi dan protein

anak dengan status gizi anak usia prasekolah.

4. Terdapat hubungan yang signifikan antara genetik, pola asuh lingkungan, keikutsertaan dalam PAUD, dan status gizi dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah.

5. Terdapat faktor yang berpengaruh signifikan terhadap asupan gizi anak dan perkembangan kognitif anak usia prasekolah.

Manfaat

Melalui hasil penelitian ini akan menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak usia prasekolah, khususnya pada keluarga miskin. Diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan tentang pola asuh yang tepat untuk

(26)

balita setempat, secara khusus pada usia prasekolah. Dengan diketahuinya faktor-faktor yang mepengaruhi tumbuh kembang anak, dapat membantu orang tua atau pengasuh anak untuk mengetahui bagaimana cara pengasuhan yang baik untuk mendukung tumbuh kembang anak yang optimal. Diharapkan dapat memberikan masukkan bagi para pengambil kebijakan baik untuk program gizi dan kesehatan agar dapat digunakan untuk peningkatan status gizi dan kesehatan ibu dan anak, khususnya untuk keluarga miskin.

(27)

TINJAUAN PUSTAKA Status Gizi dan Pengukurannya

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu (Riyadi 1995), sedangkan Almatsier (2006) mendefinisikan status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.

Status gizi disebut seimbang atau gizi baik bila jumlah asupan zat gizi sesuai yang dibutuhkan. Sedangkan status gizi tidak seimbang dapat dipresentasikan dalam bentuk kurang gizi yaitu bila jumlah asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan dan dalam bentuk gizi lebih yaitu bila asupan melebihi dari yang dibutuhkan (Jus’at et al. 2000). Perkembangan kognitif anak juga turut di pengaruhi oleh status gizi. Gangguan gizi terjadi baik pada gizi kurang maupun status gizi lebih. Status gizi balita yang tidak seimbang menyebabkan pertumbuhan seorang anak akan terganggu, misalnya anak tersebut kurang gizi (underweight), kurus (wasted), pendek (stunted) dan gizi lebih (overweight).

Gibson (2005) menyatakan bahwa penilaian status gizi dapat diukur secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat berupa antropometri, pemeriksaan secara klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan cara survei konsumsi makanan, melihat statistik vital dan faktor ekologi. Ukuran fisik seseorang sangat erat hubungannya dengan status gizi. Indikator yang digunakan adalah tinggi badan (TB), berat badan (BB), lingkaran lengan atas (LLA), lingkar kepala (LK), lingkar dada (LD) dan tebal lemak bawah kulit (TLBK). Oleh sebab itu, banyak penelitian yang menggunankan metode antropometri sebagai alat untuk penilaian status gizi yang murah dan efisien.

Standar pengukuran antropometri untuk menentukan status gizi bermacam-macam, diantaranya Standar Boston atau Harvard, Standar Tanner, dan Standar National Center for Health Statistics (NCHS). World Health

Organization (WHO) merekomendasikan menggunakan standar NCHS karena

pengumpulan data NCHS lebih menggambarkan populasi yang sebenarnya dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII pada tahun 2000. Terdapat dua

(28)

cara penilaian dengan standar WHO-NCHS, yaitu persen terhadap median dan

Z-score. Keuntungan menggunakan Z-score adalah hasil hitung telah dilakukan

menurut simpangan baku, sehingga lebih akurat dan dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri. Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversi ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri WHO-NCHS 2005.

Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut:

1. Berdasarkan indikator BB/U :

Kategori Gizi buruk Z-score < - 3.0 SD

Kategori Gizi Kurang Z-score ≥ - 3.0 SD s/d Z-score < - 2.0 SD Kategori Gizi Baik Z-score ≥ - 2.0 SD s/d Z-score ≤ 2.0 SD Kategori Gizi Lebih Z-score > 2.0 SD

2. Berdasarkan Indikator TB/U :

Kategori Sangat Pendek Z-score < - 3.0 SD

Kategori Pendek Z-Score ≥ - 3.0 SD s/d Z-score < - 2.0 SD Kategori Normal Z-Score ≥ - 2.0 SD

3. Berdasarkan indikator BB/TB:

Kategori Sangat Kurus Z-score < - 3.0 SD

Kategori Kurus Z-score ≤ - 2.0 SD s/d Z-score ≥ - 3.0 SD Kategori Normal Z-score ≥ - 2.0 SD s/d Z-score ≤ 2.0 SD Kategori Gemuk Z-score ˃ 2.0 SD

Indeks berat badan menurut umur (BB/U) merupakan salah satu cara pengukuran antropometri yang dapat memberikan Gambaran keadaan gizi pada masa kini. Tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang sangat mendadak misalnya penyakit yang mengakibatkan turunnya nafsu makan sehingga berkurang jumlah makanan yang dikonsumsi akan sangat berpengaruh terhadap berat badan (Reksodikusumo 1989).

Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) merupakan salah satu cara pengukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan bertambah seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam jangka waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan terlihat dalam waktu yang relatif

(29)

lama (Riyadi 1995). Indikator TB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis, artinya sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi. Indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi karena BB/TB dapat memberikan gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan sehingga indeks ini menjadi indikator kekurusan.

Demikian juga dalam penelitian Grantham Mc-Gregor (1995) menemukan bahwa anak yang memiliki status gizi baik akan memiliki tingkat perkembangan yang baik. Jalal (2009) menyatakan akibat dari kekurangan gizi berdampak pada perubahan perilaku sosial, kurang perhatian, kemampuan belajar, dan rendahnya hasil belajar. Dampak gizi buruk pada kemampuan kognitif ini tidak hanya terjadi pada anak yang mengalami gizi buruk tetapi juga pada anak yang tidak kekurangan gizi tetapi yang mengalami pertumbuhan tidak sempurna atau anak pendek (stunting). Anak yang memiliki derajat kesehatan dan gizi rendah cenderung untuk tidak berprestasi di sekolah karena mereka memiliki kemampuan yang rendah dalam konsentrasi dan menyerap pembelajaran yang diterima (Jalal 2009).

Karakteristik Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan terdekat anak, yang peranannya penting dalam tumbuh kembang anak. Karakteristik keluarga adalah segala hal yang melekat pada keluarga tersebut dan sangat mempengruhi tumbuh kembang anak yang berada dalam keluarga tersebut. Karakteristik keluarga antara lain usia orang tua, besar keluarga, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan pendidikan orang tua.

Usia Orang Tua

Orang tua, terutama ibu cenderung memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam hal pengasuhan anak, sehingga umunya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kualitas dan kuantitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya ibu yang tergolong dewasa

(30)

madya dan tua cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998).

Besar Keluarga

Besarnya anggota keluarga merupakan jumlah semua anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala keluarga, tinggal satu atap dan makan dari satu dapur. Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit yang diperoleh anak dari orang tua. Hal ini disebabkan semakin banyak anggota keluarga maka pembagian perhatian pada masing-masing anggota keluarga akan semakin sedikit. Oleh karena itu, hal ini akan mempengaruhi ibu dalam pengasuhan dan perawatan anak-anaknya terutama akan sangat berpengaruh pada anak balita. Besar keluarga dalam beberapa penelitian berhubungan dengan kualitas pengasuhan yang diberikan pada anak dan pada keadaan sosio-ekonomi yang kurang juga akan mempengaruhi konsumsi makanan (Soetjiningsih 1995).

Hasil penelitian Sa’diyyah (1998), terhadap keluarga yang memiliki anak usia 24-59 bulan menyatakan bahwa curahan waktu ibu untuk anak di pengaruhi oleh besar keluarga, budaya dan wilayah tempat tinggal. Semakin besar keluarga maka semakin sedikit waktu yang dicurahkan ibu untuk anaknya. Ditambahkan Hajian-Tilaki et al. (2011) dalam penelitiannya di Iran terhadap 1000 anak sekolah dasar usia 7-12 tahun bahwa besar keluarga sangat berpengaruh pada jumlah makanan yang harus disediakan. Semakin sedikit jumlah anggota keluarga maka semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga atau sebaliknya.

Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan orang tua berperan dalam kehidupan sosial ekonomi keluarga karena berhubungan dengan pendapatan yang diterima. Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah, melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Di daerah pedesaaan anak yang orang tuanya bekerja akan diasuh oleh kakaknya atau sanak saudaranya sehingga pengawasan terhadap makanan dan kesehatan anak tidak sebaik jika orang tua tidak bekerja. Menurut Satoto (1990), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Ibu yang bekerja di luar rumah akan meningkatkan nilai sosialnya,

(31)

namun pada saat yang sama ibu yang bekerja mengakibatkan menurunnya kesehatan anak-anak.

Pendapatan Keluarga

Menurut World Bank (2007) mengkategorikan kemiskinan menjadi dua, yaitu sangat miskin dan miskin. Kondisi sangat miskin ini ditandai hidup dengan pendapatan per kapita di bawah US$ 1/hari dan miskin ditandai dengan pendapatan di bawah US$ 2/hari. World Bank melaporkan penduduk Indonesia yang masih di bawah garis kemiskinan sebanyak 49% pada tahun 2007 atau berpendapatan di bawah US$ 2/hari. BAPPENAS dan UNDP (2008) dalam Laporan Pencapaian MDG’s menyatakan bahwa Indonesia yang digolongkan berpenghasilan menengah oleh PBB, sebaiknya menggunakan batas garis kemiskinan sebesar US$ 2/hari. Oleh karena itu, bila ukuran tersebut digunakan maka hampir separuh penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan.

Perbedaan tingkat ekonomi keluarga menyebabkan adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola pengasuhan orang tua terhadap anaknya. Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun non pangan selama satu tahun terakhir. Pendapatan keluarga merupakan besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan daripada kebutuhan nonpangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk nonpangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000).

Menurut Miller dan Rodgers (2009), menyatakan bahwa pada level rumah tangga, tingkat pendapatan dan kekayaan akan berhubungan dengan akses terhadap pembelian makanan (daya beli) dan pelayanan kesehatan anak. Semakin tinggi pendapatan maka akan semakin tinggi aksesnya terhadap daya beli makanan yang bergizi, air bersih, pakaian, pengadaan ventilasi dalam rumah, bahan bakar untuk memasak, penyimpanan pangan dan higenitas dan pelayanan kesehatan. Di tambahakan Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan

(32)

terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari.

Beck (1998) menyatakan anak-anak dari golongan keluarga berstatus sosial rendah kurang memperoleh rangsangan mental, hal ini disebabkan orang tua sering kali sibuk atau terlalu dibebani oleh masalah ekonomi. Penelitian Faiza

et al. (2007), menemukan terdapat hubungan bermakna antara status ekonomi

dengan kejadian gizi buruk, dimana keluarga dengan status gizi yang rendah mempunyai peluang anaknya untuk menderita gizi buruk sebesar 3.5 kali dibandingkan dengan keluarga yang berstatus ekonomi yang tinggi. Latifah et al. (2010) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara pendapatan per kapita keluarga dengan stimulasi psikososial.

Pendidikan Orang Tua

Salah satu faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah pendidikan (Supariasa et al. 2002). Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada perubahan tingkah laku yang baik (Suhardjo 1989) dan akan menjamin diberikan stimulasi yang mendukung bagi perkembangan anak-anaknya dibandingkan orang tua dengan pendidikan rendah. Namun, pendidikan orang tua tidak berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pendidikan orang tua ini akan melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi penjagaan kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung (Satoto 1990).

Tingkat pendidikan itu sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru bidang gizi (Suhardjo 1996). Hasil penelitian Madanijah (2003) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Hasil penelitian Latifah et al. (2010) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara pendidikan ayah dengan stimulasi psikososial, demikian halnya dengan pendidikan ibu. Hasil penelitian Schady (2011) yang dilakukan pada 2118 anak di daerah pedesaan Ecuator secara longitudinal-cohort, bahwa pendidikan orang tua memiliki

(33)

hubungan yang kuat dengan perkembangan kognitif. Soedjatmiko (2008) menambahkan bahwa orang tua yang cerdas anaknya cenderung akan cerdas pula jika faktor lingkungan mendukung perkembangan kecerdasannya sejak di dalam kandungan, masa bayi, dan balita. Walaupun kedua orang tuanya cerdas tetapi jika lingkungannya tidak menyediakan kebutuhan pokok untuk perkembangan kecerdasannya, maka potensi kecerdasan anak tidak akan berkembang optimal. Sedangkan orang tua yang kebetulan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi (belum tentu mereka tidak cerdas, mungkin karena tidak ada kesempatan atau hambatan ekonomi) anaknya bisa cerdas jika dicukupi kebutuhan untuk perkembangan kecerdasan sejak di dalam kandungan sampai usia sekolah dan remaja. Oleh karena itu, lama pendidikan ibu akan dijadikan faktor genetik dalam penelitian kali ini.

Karakteristik Anak

Usia Anak Prasekolah

Anak merupakan generasi penerus bangsa, oleh karena itu diharapkan dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik dan maksimal sehingga kelak menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Masa-masa balita (bawah lima tahun), merupakan masa kritis, terlebih pada periode dua tahun pertama. Ini merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimum (Jalal 2009). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa permasalahan gizi yang dialami pada masa balita akan berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangannya di masa mendatang. Penelitian Pollit et al. (1997), menemukan bahwa gizi berperan terhadap perkembangan kognitif anak. Anak yang mendapatkan makanan yang cukup, memiliki tingkat kognitif yang lebih baik dalam fungsi memori setelah 8 tahun kemudian.

Masa prasekolah merupakan periode perkembangan yang dimulai dari usia 2-6 tahun (Santrock 2002). Ditambahkan oleh Santoso dan Ranti (2004) bahwa Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka anak usia prasekolah yaitu tiga sampai enam tahun, termasuk golongan masyarakat yang disebut masyarakat rentan gizi, yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, sedangkan pada saat ini mereka mengalami proses pertumbuhan yang sangat pesat dan membutuhkan zat-zat gizi dalam jumlah yang relatif besar. Maka kesehatan yang baik ditunjang oleh keadaan gizi yang

(34)

baik, merupakan hal yang utama untuk tumbuh kembang yang optimal bagi seorang anak (Santoso & Ranti 2004). Masa usia prasekolah merupakan masa yang masih rawan, karena pada usia ini bila anak kekurangan makanan yang bergizi, maka akan mudah sekali terserang penyakit dan gangguan kesehatan lainnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan otak dan gangguan pada perkembangan intelegensinya.

Berat Badan Bayi Lahir

Beberapa penelitian menemukan ada hubungan yang signifikan antara berat badan bayi lahir dengan perkembangan kognitif. Hack et al. (1991) menyatakan bahwa berat badan lahir rendah (BBLR) berhubungan dengan fungsi kognitif yang rendah, prestasi akademik dan tingka laku pada anak usia delapan tahun. Penelitian lain juga menyatakan bahwa berat lahir menunjukan hubungan yang signifikan dengan hasil perkembangan anak di Amerika Serikat (Boardman et al. 2002). Hasil penelitian Welsch dan Zimmer (2010) menyatakan hal yang serupa, bahwa berat badan lahir signifikan akan mempengaruhi kognitif pada masa kecil. Kondisi anak yang memiliki berat badan lahir rendah dianggap belum terbentuk sempurna sehingga dalam penelitian ini berat badan lahir anak akan menjadi bagian dari faktor genetik.

Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan Secara tidak langsung pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi status gizi anak, karena dengan pengetahuannya para ibu dapat mengasuh dan memenuhi kebutuhan zat gizi anak balitanya, sehingga keadaan gizinya terjamin Menurut Madanijah (2003) terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik juga.

Penelitian Martianto et al. (2008), menemukan bahwa pengetahuan gizi ibu berhubungan positif dan signifikan dengan pendidikan ibu. Menurut Khomsan et

al. (2009) menyatakan pengetahuan gizi merupakan prasyarat penting untuk

terjadinya perubahan sikap gizi dan perilaku gizi. Pengetahuan gizi yang tepat akan mendorong ibu untuk mempraktikkan pemberian makan yang baik bagi anak-anaknya. Khomsan et al. (2009) menyatakan bahwa sikap gizi merupakan kecenderungan seseorang untuk menyetujui atau tidak menyetujui terhadap

(35)

suatu pernyataan yang diajukan terkait dengan pangan dan gizi. Sikap gizi seringkali terkait erat dengan pengetahuan gizi yaitu jika memiliki pengetahuan gizi baik maka cenderung sikap gizi baik pula.

Asupan Energi dan Protein Anak

Salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perseorangan atau kelompok adalah survey konsumsi makanan. Penilaian konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung, dengan cara melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Tujuan penilaian konsumsi makanan adalah mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat individu, kelompok dan rumah tangga serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap makanan tersebut (Supariasa 2002).

Berdasarkan jenis data yang diperoleh maka pengukuran konsumsi makanan terdiri dari dua jenis yaitu:

1. Metode kualitatif yang diantaranya adalah frekuensi makan, deitary

history, metode telepon, dan pendaftaran makanan (food list).

2. Metode kuantitatif diantaranya adalah metode recall 24 jam, perkiraan makanan, penimbangan makanan metode food account, metode inventaris (inventory method) dan pencatatan (household food records). Sedangkan metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu antara lain (Gibson 2005) :

1. Metode recall 24 jam

2. Estimated food records

3. Metode penimbangan makanan (food weighing) 4. Metode dietary history

5. Metode frekuensi makan (food frequency)

Penilaian konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Penilaian konsumsi pangan secara kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi menurut jenis pangan yang di konsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperoleh pangan. Penilaian konsumsi pangan dengan metode recall 24 jam termasuk dalam metode kuantitatif.

(36)

Prinsip metode food recall 24 jam, dengan mencatat jenis dan jumlah makanan yang di konsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Penggukuran dengan metode recall ini kurang representatif, apabila hanya dilakukan satu kali 24 jam, sehingga perlu adanya pengulangan pengukuran konsumsi. Me-recall sebanyak dua kali 24 jam, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan member variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Supariasa 2002). Ada kelebihan dan kelemahan menggunakan metode food recall ini. Kelebihannya adalah mudah, murah dan cepat, serta dapat memberi gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat menghitung intake zat gizi sehari. Kelemahan food recall adalah ketepatannya sangat bergantung pada daya ingat responden, membutuhkan tenaga atau petugas terlatih (Supariasa 2002).

Pola Asuh Lingkungan

Pola asuh anak dapat berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, dan memberikan kasih sayang. Hal tersebut seluruhnya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, sifat pekerjaan sehari-hari, dan sebagainya (Soekirman 2000). Kejadian gizi kurang pada anak sangat ditentukan oleh praktik pengasuhan dalam keluarga.

Penelitian yang dilakukan oleh Zeitlin et al. (2000) menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah dapat memiliki anak sehat dan bergizi baik bila ibu memberikan pengasuhan yang memadai dan tepat. Penelitian juga membuktikan bahwa kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Anak-anak dengan kelompok keadaan gizi yang lebih baik berkaitan erat juga dengan pola pengasuhan, yaitu perilaku pemberian ASI (Jus’at, Jahari, Achadi, Putra dan Soekirman 2000).

Stimulasi merupakan kegiatan bermain sejak bayi baru lahir yang dilakukan dengan penuh kasih sayang, setiap hari, bervariasi dan berkelanjutan untuk merangsang otak kiri dan kanan, melalui semua sistem indra untuk merangsang kemampuan berpikir, berkomunikasi, emosi, menikmati musik dan ruang serta berbagai kemampuan lain pada balita (Soedjatmiko 2008). Depdiknas (2002) mendefinisikan stimulasi psikososial sebagai stimulasi pendidikan dalam rangka

(37)

mengembangkan kemampuan kognitif, fisik dan motorik serta sosial-emosional anak.

Pola asuh lingkungan HOME (Home Observation for Measurement of the

Enviroment Inventory) dianggap sebagai pendekatan yang paling populer guna

mengukur lingkungan pengasuhan di rumah berupa stimulasi psikososial baik secara kualitas maupun kuantitas, yang dirancang oleh Cadwell dan Bradley (1979). Instrumen ini terdiri dari 55 butir pertanyaan yang menggambarkan kualitas lingkungan anak. Masing-masing pertanyaan diberi skor 1 (apabila sesuai pertanyaan) dan 0 (apabila tidak sesuai pertanyaan).

Instrumen HOME (Home Observation for Measurement of the Enviroment

Inventory) ini terdiri dari 2 versi yaitu untuk mengukur lingkungan pengasuhan

yang diselenggarakan orang tua untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun) dan anak usia prasekolah (3-6 tahun) (Zevalkink, Walraven & Bradley 2008). Ditambahkan pula oleh Zevalkink, Walraven dan Bradley (2008), terdapat delapan dimensi dalam instrumen HOME yang biasa digunakan untuk memprediksi perkembangan kognitif anak usia prasekolah yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, stimulasi akademik, variasi stimulasi, hukuman positif, modeling, kehangatan dan penerimaan, serta lingkungan fisik. Selain untuk memprediksi perkembangan kognitif, instrumen HOME juga bisa digunakan untuk memprediksi pencapaian akademik, perkembangan bahasa, serta kualitas kesehatan yang telah diuji pada beberapa etnis di seluruh dunia (Zevalkink, Walraven & Bradley 2008). Anwar (2002) menyatakan semakin tinggi skor HOME, maka semakin baik pula perkembangan anak.

Pengukuran stimulasi psikososial anak salah satunya dapat dilakukan dengan alat bantu HOME Inventory (Caldwell and Bradley), dimana kualitas lingkungan anak dilihat dari apakah orang tua memberikan reaksi emosi yang tepat, apakah orang tua memberikan dorongan positif kepada anak, apakah orang tua memberikan suasana yang nyaman kepada anak, menunjukkan kasih sayang, menyediakan sarana tumbuh kembang dan belajar bagi anak, turut berpartisipasi dalam kegiatan positif bersama anak, terlibat aktif dalam kegiatan bersama anak, dan juga apakah orang tua memberikan lingkungan fisik yang nyaman di rumah.

Perkembangan Kognitif

Perkembangan (development) ialah pola gerakan atau perubahan yang dimulai dari pembuahan dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan.

(38)

Kebanyakan perkembangan meliputi pertumbuhan. Pola gerakan adalah sesuatu hal yang kompleks karena merupakan produk dari beberapa proses biologis, kognitif dan sosial (Santrock 2002). Proses biologis meliputi perubahan pada sifat fisik individu. Plasma pembawa sifat keturunan diwarisi dari orang tua, perkembangan otak, pertambahan tinggi dan berat, perubahan pada keterampilan motorik, perubahan hormon pubertas ini semuanya mencerminkan peran proses biologis dalam perkembangan. Proses kognitif meliputi perubahan pada pemikiran, intelegensi, dan bahasa individu. Memandang benda berwarna yang berayun-ayun di atas tempat tidur bayi, merangkai satu kalimat yang terdiri atas dua kata, menghafal syair, membayangkan seperti apa rasanya menjadi bintang film, dan memecahkan teka-teki, ini semuanya mencerminkan proses-proses kognitif dalam perkembangan. Proses sosioemosional meliputi perubahan pada relasi individu dengan orang lain, perubahan pada emosi, dan perubahan kepribadian. Senyum seorang bayi dalam merespon sentuhan ibunya, serangan agresif seorang anak laki-laki kecil terhadap teman mainnya, perkembangan ketegasan seorang anak perempuan, semuanya mencerminkan peran proses-proses sosioemosional dalam perkembangan.

Klasifikasi periode perkembangan yang paling sering digunakan, yaitu periode prakelahiran, masa bayi, masa awal anak-anak, masa pertengahan dan akhir anak-anak, masa remaja, masa awal dewasa, masa pertengahan dewasa, dan masa akhir dewasa (Santrock 2002). Masa awal anak-anak (early childhood) ialah periode perkembangan yang merentang dari akhir masa hingga usia kira-kira lima atau enam tahun; periode ini kadang-kadang disebut tahun prasekolah. Selama masa ini anak-anak kecil belajar semakin mandiri dan menjaga diri mereka sendiri, mengembangkan keterampilan kesiapan bersekolah dan meluangkan waktu berjam-jam bermain dengan teman sebaya.

Santrock (2002) menyatakan ada dua teori perkembangan kognitif, yaitu teori Piaget dan teori pemrosesan informasi. Teori Piaget menyatakan bahwa kita termotivasi untuk memahami dunia kita dan bahwa kita menggunakan proses-proses pengorganisasian dan penyesuaian diri. Ada empat tahap perkembangan kognitif Piaget, yaitu tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal. Tahap sensorimotor, berlangsung dari lahir hingga usia dua tahun. Tahap ini bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan motorik fisik.

(39)

Tahap praoperasional, berlangsung kira-kira dari usia 2-7 tahun. Tahap ini anak-anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Tahap operasional konkret, berlangsung pada usia 7-11 tahun. Tahap ini anak-anak dapat melaksanakan operasi dan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam contoh-contoh yang spesifik dan konkret. Tahap operasional formal, berlangsung pada usia 11-15 tahun. Tahap ini merupakan tahap terakhir yang menyatakan bahwa individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak dan lebih logis. Sedangkan untuk teori pendekatan pemrosesan informasi, berkaitan dengan bagaimana individu memproses informasi tentang dunia mereka, yang meliputi bagaimana informasi masuk ke dalam pikiran, bagaimana informasi disimpan dan disebarkan dan bagaimana informasi diambil kembali untuk memungkinkan kita berpikir dan memecahkan masalah (Santrock 2002).

Konsep perkembangan Piaget menyatakan adanya kemajuan berfikir simbolis ini diiringi dengan tumbuhnya pemahaman mengenai ruang, hubungan sebab akibat, identitas, kategorisasi, dan angka (Papalia, Olds & Fieldman 2008). Damayanthi et al. (2011) menyatakan instrument perkembangan Depdiknas 2004 memiliki lima pemahaman sesuai dengan konsep perkembangan Piaget meliputi pertama pemahaman tentang ruang dengan peta jalan untuk menemukan kucing. Kedua, pemahaman tentang hubungan sebab akibat digali dengan pertanyaan mengapa harus cuci tangan, mengapa harus mandi dan lain sebagainya. Ketiga, pemahaman tentang identitas digali dengan menanyakan jenis kelamin dirinya, ayah, ibu, kakak dan adiknya. Keempat, pemahaman tentang kategorisasi diamati dengan pengkategorian ukuran, warna dan bentuk. Kelima, pemahaman mengenai angka dengan menanyakan angka yang lebih besar, lebih kecil, tambah dan kurang.

Pendidikan Anak Usia Dini

Salah satu penyebab rendahnya sumber daya manusia Indonesia adalah kurang diperhatikannya pendidikan sejak usia dini. Depdiknas tahun 2002 melaporkan dari 26 juta anak usia dini (0-6 tahun), baru 17 % yang mengikuti pendidikan usia dini. Padahal, usia dini merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan bagi anak di masa depannya. Saat usia dini pulalah merupakan masa yang tepat utuk meletakkan dasar-dasar pengembangan kemampuan fisik, bahasa, sosial-emosional, konsep diri, seni,

(40)

moral dan nilai-nilai agama sehigga dapat memberikan hasil yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak (Direktorat PADU 2002).

Pendidikan anak usia dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak usia mereka dini yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan dasar dan tahap kehidupan berikutnya. (Depdiknas 2002). Menurut Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1990 tentang pendidikan anak prasekolah, pasal 4 ayat 1, dijelaskan bahwa satuan pendidikan prasekolah meliputi Taman Kanak-kanak, Kelompok bermain, Penitipan Anak dan bentuk lainnya. Aktivitas yang ada merupakan kegiatan bermain yang terencana, dimana kegiatan yang serius namun mengasyikkan.

Tabel 2 Standar tingkat pencapaian perkembangan kognitif anak usia prasekolah Lingkup

Perkembangan 3-4 tahun 4-5 tahun

Mengenal

Pengetahuan Umum

1. Menemukan/ mengenali bagian yang hilang dari suatu pola gambar seperti pada gambar wajah orang, mobil, dsb.

2. Menyebutkan berbagai nama makanan dan rasanya (garam, gula atau cabai).

3. Memehami perbedaan antara dua hal dan jenis yang sama seperti membedakan antara buah rambutan dan buah pisang, perbedaan antara ayam dan kucing.

1. Mengenal benda berdasarkan fungsi (pisau untuk memotong, pensil untuk menulis)

2. Menggunakan benda-benda sebagai permainan simbolik (kursi sebagai mobil).

3. Mengenal gejala sebab akibat yang terkait dirinya.

4. Mengenal konsep sederhana dalam kehidupan sehari-hari (gerimis, hujan, gelap, terang, temaram, dsb)

5. Mengkreasikan sesuatu sesuai dengan idenya sendiri. Mengenal konsep

ukuran, bentuk dan pola.

1. Menempatkan benda dalam urutan ukuran (paling kecil dan paling besar).

2. Mulai mengikuti pola tepuk tangan.

3. Mengenal konsep banyak dan sedikit.

1. Mengklasifikasikan benda berdasrkan bentuk atau warna atau ukuran.

2. Mengklasifikasikan benda ke dalam kelompok yang sama atau kelompok yang sejenis atau kelompok berpasangan dengan 2 variasi.

3. Mengenal pola AB-AB dan ABC-ABC.

4. Mengurutkan benda berdasarkan 5 seri ukuran atau warna.

Konsep bilangan, lambang bilangan dan huruf

1. Mengetahui konsep banyak dan sedikit.

2. Membilang banyak benda satu sampai sepuluh.

3. Mengenal konsep bilangan. 4. Mengenal lambang bilangan 5. Mengenal lambang huruf. Sumber : Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No 58 tahun 2009

(41)

Peraturan menteri pendidikan nasional tentang pendidikan anak usia dini menjelaskan standar tingkat pencapaian perkembangan. Ini menggambarkan pertumbuahan dan perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada rentang usia tertentu. Perkembangan anak yang dicapai merupakan integrasi aspek pemahaman nilai-nilai agama dan moral, fisik, kognitif, bahasa dan sosial-ekonomi. Tingkat pencapaian perkembangan disusun berdasarkan kelompok usia. Tabel 2 menyajikan standar tingkat pencapaian perkembangan kognitif anak pada usia prasekolah.

Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini maka pendidikan karakter di usia prasekolah merupakan hal yang perlu untuk dilakukan. Oleh karena itu, program pembekalan harus disusun sedemikian rupa dengan memberikan stimulasi-stimulasi psikososial yang tepat kepada anak, seperti pengajaran, memberi contoh, memberi kesempatan dan menyediakan fasilitas belajar dan bermain sehingga proses perkembangan anak dapat berjalan dengan lancer (Depdiknas 2002). Akan tetapi, keberhasilan pembentukan karakter anak tidak dapat dibebankan pada pihak sekolah saja. Keluarga dan masyarakat lingkungan sekitar juga memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak, dengan melibatkan peran pengasuhan ibu yang tepat.

Gambar

Tabel 2 Standar tingkat pencapaian perkembangan kognitif anak usia prasekolah
Gambar 1 Kerangka pemikiran.
Gambar 2  Bagan alir tahapan pengambilan sampel.
Tabel 3  Variabel, jenis dan cara pengumpulan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kepuasan kerja yang rendah dapat menyebabkan karyawan bosan dengan tugas-tugasnya dan prestasi kerja yang buruk, sehingga karyawan memiliki keinginan untuk

Selain itu bank dapat juga sebagai pelakukorporasi untukmelakukantindakan pidana perbankan(diatur dalam Pasal 49 UU No. 10Tahun 1998) dengan tujuan untuk mempermudah dilakukannya

Budaya amanat untuk hidup sederhana dan damai (selaras dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam) telah membentuk masyarakat yang mandiri (pangan)

Dari hasil penelitian ini juga diperoleh nilai tegangan permukaan larutan gliserol pada konsentrasi maksimum dengan variasi temperatur 20, 30, 40, 50, dan 60 o C

1. Pengamatan aktivitas antioksidan rosela kering perlakuan pengeringan suhu tinggi menunjukkan kecenderungan penurunan presentase total fenol dan aktivitas antioksidan.

41/1999 yaitu: (1) Sebagai amanah hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia, sehingga benar-benar bermanfaat bagi hidup dan kehidupan bangsa dan

Pada proses ini Dilakukan perataan hujan menggunakan metode rata-rata aljabar dari data hujan harian hasil pencatatan curah hujan dari daerah masing-masing

Hal-hal yang dapat dilakukan oleh pasien dalam meningkatkan. keberhasilan terapi DM