• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sapto P. Putro, Widowati, Fuad Muhammad, dan Suhartana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sapto P. Putro, Widowati, Fuad Muhammad, dan Suhartana"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Optimalisasi Potensi Sumberdaya Alam

untuk Mendukung Implementasi Ekonomi Maritim Indonesia

dan Isu-isu Lingkungan dalam Perspektif Maritim: Aplikasi keramba jaring

apung bertingkat sistem Integrated Multi Trophic Aquaculture (SDNC-IMTA) r

terintegrasi biomonitoring menuju Industri Akuakultur Indonesia

Berkelanjutan

Sapto P. Putro, Widowati, Fuad Muhammad, dan Suhartana

I. Latar Belakang

Sektor akuakultur berkembang sangat pesat dalam dua dekade terakhir di berbagai negara seiring dengan meningkatnya kebutuhan dunia akan pangan berprotein tinggi. Menurut data FAO (2010), produksi global perikanan budidaya tumbuh lebih dari 60% sejak tahun 2000 hingga 2008, dari 32,4 juta ton menjadi 52,5 juta ton. Pada tahun 2012, produksi global perikanan budidaya meningkat tajam menjadi 90.43 juta ton, termasuk ikan sebagai makanan sebanyak 66.63 juta ton, algae akuatik sebanyak 23.78 juta ton, dan produk non-makanan sebanyak 22.4 ribu ton (pearls dan shells). Pada tahun 2013 lebih dari 50% dari konsumsi ikan dunia sebagai sumber makanan berprotein berasal dari sektor budidaya. Sejak tahun 2008, Kawasan Asia-Pasifik mendominasi produksi perikanan budidaya hingga 89,1% dari produksi global. Hasil statistik produksi global mengindikasikan bahwa dari 15 akuakultur negara-negara terkemuka penghasil seafood, 11 berada di kawasan Asia Pasifik. Indonesia sebagai salah satu kawasan Asia Pasifik menjadi salah satu dari 11 negara di kawasan Asia-Pasifik penghasil produk perikanan budidaya terbesar dunia.

Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah Indonesia, baik pusat dan daerah, maupun swasta untuk meningkatkan kapasitas produksi melalui program ekstensifikasi dan intensifikasi. Tantangan terbesar pada sektor akuakultur di Indonesia adalah upaya praktik budidaya intensif yang produktif namun tetap ramah lingkungan sesuai dengan carrying capacity lingkungan. Budidaya perikanan berkelanjutan merupakan spirit yang senantiasa perlu ditumbuhkan dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir. Melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025, Indonesia telah berupaya dan berkomitmen untuk mengelola sumberdaya alam secara

(2)

berkelanjutan. Dalam Bab II – huruf I disebutkan bahwa bahwa sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Lebih lanjut, Indonesia mengimplementasikan Integrated Coastal Management dengan menuangkannya dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PK). Upaya tersebut di atas perlu didukung oleh semua pihak, salah satunya melalui riset-riset berorientasi pada aplikasi IPTEK untuk peningkatan kapasitas produksi berkelanjutan tanpa menimbulkan permasalahan lingkungan.

Aplikasi budidaya dengan memanfaatkan sumber daya wilayah perairan/laut berkelanjutan sangat sejalan dengan spirit program ekonomi biru (blue economy) sebagai paradigma ekonomi baru untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebagai negara bahari, Indonesia perlu mengembangkan Ekonomi Maritim Indonesia. Pengembangan ekonomi maritim akan sangat membantu pengembangan ekonomi Indonesia karena sebagain besar wilayah Indonesia merupakan perairan. Oleh karena itu, sektor perikanan budidaya memiliki peran yang sangat strategis untuk menjadi penggerak ekonomi nasional.

II. Potensi Sumberdaya Perikanan RI : Peluang dan Tantanganya

Indonesia merupakan Negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, dengan luas 5,8 juta kilometer persegi (km) atau 2/3 luas wilayah Republik Indonesia (RI) dan panjang pantai sekitar 95.181 km. Salah satu sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru Indonesia yang dapat dikembangkan untuk kemajuan dan kesejahteraan adalah perikanan budidaya. Namun demikian, PDB (produk domestic bruto) perikanan RI baru 3,46 persen (Sudarsono, 2012). Lebih lanjut, berdasarkan data statistik perikanan budidaya tahun 2012, hanya sekitar 30 persen dari total produksi adalah komoditas ikan dan udang, sedangkan 70 persen lainnya adalah produksi rumput laut (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2013) (Nastiti, 2013). Pada tahun 2010, berdasarkan jumlah total produksinya, Indonesia menjadi Negara keempat dalam hal produksi budidaya ikan non rumput laut dengan capaian produksi 2,3 juta ton, di bawah Vietnam (2,6 juta ton) di posisi ketiga, India (4,4 juta ton) di posisi kedua dan China (36,7 juta ton) di tempat pertama (Ispranoto, 2010). Berdasarkan data statistik dan luas wilayah periaran RI tersebut, maka peluang untuk meningkatkan kapasitas produksi perikanan budidaya perlu untuk terus ditingkatkan hingga ditargetkan dapat masuk 3 besar dunia.

(3)

Problem terbesar pada sektor akuakultur di Indonesia adalah banyaknya praktek budidaya yang tidak ramah lingkungan, berorientasi hanya pada kapasitas produksi tanpa memperhatikan carrying capacity lingkungan. Hal ini karena budidaya perikanan senantiasa menggunakan area yang terbatas dengan tingkat populasi yang tinggi dan adanya penambahan pakan buatan/pelet yang dapat berakibat pada meningkatkan pengkayaan organik perairan setempat. Jika aktivitas tersebut tidak diimbangi dengan penerapan manajemen lingkungan yang baik, maka material organik yang ditimbulkan dari aktivitas budidaya perikanan baik sistem keramba maupun tambak dapat menimbulkan ketidak seimbangan ekologis di kawasan tersebut, sehingga dapat mengancam keberlanjutan usahanya. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, dalam buku saku Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah (2014) disebutkan bahwa dua dari enam masalah yang dihadapi di bidang kelautan dan perikanan adalah:

a. Belum optimalnya sarana dan prasarana pendukung periknanan budidaya serta rendahnya kemampuan pembudidaya ikan terhadap Good Aquaculture Practices yang disebabakan kurangnya penguasaan teknis.

b. Adanya kerusakan habitat vital di laut/pesisir yang disebabkan pencemaran, perusakan oleh manusia, maupun factor bencana alam akibat rendahnya engetahuan, kesadaran, dan peran serta masyarakat pesisir dalam menjaga kelestarian ekosistem/lingkungan

Oleh karena itu, upaya peningkatan kualitas lingkungan perairan sangat perlu dilakukan dengan menerapkan manajemen lingkungan yang komprehensif melalui pengembangan metode biomonitoring dan ekologi terapan guna meningkatkan kapasitas produksi dan sustainability operasionalnya.

III. Konsep Pengembangan Budidaya Bekelanjutan (Sustainable Aquaculture) untuk Mengatasi Isu-isu Lingkungan

Akuakultur berkelanjutan (sustainable aquaculture) merupakan budidaya perikanan untuk tujuan komersial dengan cara sedemikian rupa sehingga memiliki dampak minimum terhadap lingkungan, memberikan kontribusi untuk pengembangan masyarakat lokal dan menghasilkan keuntungan ekonomi. Sebagai sebuah konsep, budidaya berkelanjutan telah berkembang dan tumbuh bersama seiring dengan kecenderungan meningkatnya perikanan tangkap (catch/wild fisheries) secara berlebihan dan cenderung eksploitatif, sehingga dikhawatirkan jumlah kelimpahan spesies ikan menurun bahkan menjadi punah. Dampak lingkungan negatif dari

(4)

budidaya konvensional juga telah memotivasi para pemerhati dan pemangku kepentingan yang peduli dengan kelautan, perikanan, dan produksi pangan untuk mengembangkan definisi yang komprehensif dan mengatur pedoman praktis untuk budidaya berkelanjutan. Walaupun definisi secara mendalam belum dilakukan, namun kesepakatan terkait definisi akuakultur berkelanjutan nampaknya telah diterima secara universal (http://www.wisegeek.com/what-is-sustainable-aquaculture.htm)

Interaksi antara budidaya dan lingkungan cenderung beragam dan kompleks. Berkaitan dan hal ini, pertanyaan utama yang sering muncul adalah: apa yang terjadi di masa lalu, apa yang sedang tren saat ini, dan apa yang mungkin bisa dilakukan di masa depan? Budidaya tradisional pada umumnya dilakukan di perairan terbuka dengan mengandalkan sumber pakan alami sehingga sebagian besar bisa diterima lingkungan karena umumnya budidaya dilakukan dengan memanfaatkan nutrisi alam dan limbah yang tersedia secara lokal dan sisa produk (by-product) seperti limbah pertanian dan peternakan ataupun limbah manusia sebagai sumber nutrisi atau makanan alami, seperti budidaya moluska dn rumput laut. Limbah, produk sampingan (by product) dan makanan alami adalah satu-satunya sumber input nutrisi bagi organisme akuatik budidaya yang paling banyak dilakukan di masa lalu sebelum penggunaan pakan pellet dalam budidaya modern hingga menyebabkan permasalahan lingkungan yang besar. Atas pertimbangan tersebut, maka aspek intensifikasi lingkungan budidaya dan hubungannya dengan ekosistem dan agro-ekosistem di darat, air dan pesisir/ lepas pantai, dan perikanan darat perlu secara serius ditinjau. Selain itu, budidaya juga dapat mengalami peningkatan kerugian yang disebabkan oleh polusi dari aktivitas pertanian dan industri.

Isu lingkungan telah banyak diilustrasikan oleh studi kasus mengenai praktek perikanan budidaya baik tradisional dan modern di perikanan darat beriklim sedang, tropis dan daerah pesisir. Teknologi yang menjanjikan yang menggunakan prinsip-prinsip budidaya tradisional untuk berkontribusi pada keberlanjutan budidaya modern perlu dikembangkan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan teknologi yang ada, termasuk menggabungkan aspek tradisional dengan praktik modern; praktek manajemen yang lebih baik; pemilihan lokasi yang lebih baik sehingga budidaya yang masih dalam daya dukung daratan (inland) dan perairan pesisir (Edwards et al, 2015).

(5)

Perikanan budidaya tidak lepas dari berbagai kendala dan permasalahan yang harus dihadapi, antara lain upaya meningkatkan kapasitas produksi, mempertahankan kualitas produk prikanan, dan isu-isu lingkungan yang dapat mengancam keberlanjutan aktivitas budidaya itu sendiri. Usaha budidaya ikan dengan intensif merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi ikan, baik dilakukan secara monokultur ataupun polikultur. Seiring dengan semakin sempitnya area budidaya perairan darat atau sistem tambak dan potensi munculnya berbagai permasalahan lingkungan, serta ancaman terhadap banjir, maka aplikasi keramba jaring apung (KJA) menjadi salah satu solusi yang tepat menuju praktek budidaya produktif dan berkelanjutan. Dalam beberapa tahun terakhir, budidaya ikan sistem KJA berkembang pesat. Budidaya sistem KJA tersebut menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan yang sering muncul pada budidaya sistem tambak, yaitu adanya banjir karena tingginya intensitas hujan pada musim tertentu sehingga dapat mengilangkan/menyapu biota budidaya. Salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi tanpa menambah luasan horsiontal area budidaya sistem KJA adalah modifikasi KJA menjadi keramba jaring apung bertingkat (KJAB) (Putro dan Suhartana, 2008; Wijayanti dkk, 2009). Aplikasi pengembangan budidaya ikan sistem keramba bertingkat (double stritified-floating net impoundment) telah diuji coba di periaran tawar (Putro dan Suhartana, 2008) dan laut (Putro dkk., 2013). Instalasi keramba jaring apung telah dilakukan sebanyak 2 keramba bekerjasama dengan Kelompok budidaya Rukun Santosa dan Ngudi Makmur, Desa Asinan Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang, dan Dinas Perikanan Semarang dan masyarakat kawasan Rawapening (DP2M-DIKTI: Putro dan Suhartana, 2008; Wijayanti dan Putro, 2009). Model keramba tersebut telah mampu meningkatkan kapasitas produksi minimal 75% dari keramba konvensional (tancap). Namun pemantauan lingkungan (biomonitoring) terhadap praktek budidaya semi intensif ini belum dilakukan dengan lebih teratur dan detail.

Dalam aplikasinya, Keramba Jaring Apung Bertingkat (KJAB) Stratified double net cage (SDNC) di perairan lepas pantai dengan sistem integrated multi-trophic aquaculture (IMTA) menjadi salah satu solusi yang tepat menuju praktek budidaya produktif dan berkelanjutan. Sistem IMTA merupakan praktek budidaya dengan lebih dari 1 species biota atau polikultur yang memiliki hubungan mutualistik secara ekologis sebagai sebagai satu rantai makanan pada area/sistem yang sama dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, budidaya sistem IMTA memungkinkan pembudidaya mendapatkan beberapa produk budidaya pada area yang sama tanpa menambah luasan area budidaya. Sebagai contoh, budidaya yang terintegrasi dalam

(6)

keramba jaring apung SDFNC-IMTA, ikan bandeng (Chanos chanos), rumput laut (Kappaphycus alvarezii), dan udang putih (Litopenaeus vannamei) terintegrasi dengan aplikasi biomonitoring mampu mendorong optimalisasi produksi. Diintegrasikannya rumput laut ke dalam kegiatan polikultur udang dan ikan secara terpadu merupakan salah satu aplikasi yang tepat. Udang windu, ikan bandeng dan rumput laut secara biologis memiliki sifat–sifat yang dapat bersinergi sehingga budidaya polikultur semacam ini dapat dikembangkan karena merupakan salah satu bentuk budidaya polikultur yang ramah terhadap lingkungan. Rumput laut merupakan penyuplai oksigen melalui fotosintesis pada siang hari dan memiliki kemampuan untuk menyerap kelebihan nutrisi dan cemaran yang bersifat toksik di dalam perairan. Sedangkan ikan bandeng sebagai pemakan plankton merupakan pengendali terhadap kelebihan plankton dalam perairan. Kotoran udang, ikan bandeng dan bahan organik lainnya merupakan sumber hara yang dapat dimanfaatkan oleh rumput laut dan fitoplankton untuk pertumbuhan.

Gambar 1. Hubungan mutualistik dan aliran energi dalam aplikasi keramba sistem Keramba

Jaring Apung Bertingkat (SDNC-IMTA) sebagai komoditi perikanan laut: Rumput laut (Kappaphycus alvarezii Doty), Udang putih (Litopenaeus vannamei Boone), Ikan Bandeng (Chanos chanos)

Hubungan yang seperti pada Gambar 1 di atas dapat menyeimbangkan ekosistem perairan. Sumber karaginan untuk daerah tropis, khususnya Indonesia adalah Kappaphycus alvarezii sebagai penghasil karaginan. Permintaan karaginan di dunia mengalami peningkatan secara eksponensial setiap tahunnya. Hal ini mengakibatkan tingginya permintaan karaginan maupun bahan baku rumput laut penghasil karaginan di dunia. Dampaknya adalah mulai

(7)

dikembangkan budidaya rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii secara massal termasuk di Indonesia. Perkembangan budidaya rumput laut di Indonesia juga didorong oleh target Kementerian Kelautan Perikanan yaitu ingin mewujudkan Indonesia sebagai produsen rumput laut terbesar di dunia pada tahun 2015, dengan salah satu targetnya adalah mampu memproduksi rumput laut sebesar 14 juta ton pada tahun 2014.

Gambar 2. Desain keramba jaring apung bertingkat SDNC-IMTA (Inventor: Sapt P. Putro; No

permohonan paten: S00207106486).

V. Penerapan Biomonitoring dalam praktek Akuakultur Berkelanjutan

Pemahaman akan manajamen lingkungan sangat dibutuhkan oleh kalangan industri, khususnya mereka yang bergerak di bidang budidaya perikanan tawar dan laut. Salah satau keluaran dari kegiatan riset ini adalah adanya metode yang tepat, cepat dan biaya relatif murah dalam menentukan kualitas lingkungan. Dalam jangka panjang, perbaikan kualitas lingkungan secara bertahap akan mampu meningkatkan daya dukung (carrying capacity) area budidaya,

(8)

hingga akan meningkatkan kemampuan petani dalam memproduksi ikan berkualitas dan secara tidak langsung meningkatkan kesejahteraan para petani tambak dan keramba.

Beberapa studi mengenai dampak aktivitas budidaya ikan terhadap kualitas perairan dan sedimen telah dilakukan (Ye et al., 1991; Dougall & Black, 1999; Pawar et al., 2001, Pearson & Black, 2001; Pawar et al., 2002; Schendel et al., 2004; Porello et al., 2005; Putro et al., 2006; Putro & Svane, 2005; Putro, 2013), antara lain adanya pengayaan organik, eutrofikasi, sedimen anoxic (tanpa oksigen), penurunan potensial redoks, peningkatan konsumsi oksigen dalam sedimen, peningkatan karbon organik total, sulfit, komponen nitrogen dan fosfat. Namun hasil-hasil dari studi tersebut umumnya bervariasi, mengindikasikan bahwa variabel abiotik lingkungan saja tidak cukup untuk menentukan kualitas lingkungan secara lebih komprehensif. Oleh karena itu, data biotik khususnya organisme yang hidup di sedimen di bawah area budidaya sangat diperlukan untuk menentukan dampak sekaligus tingkat gangguan lingkungan akibat dari aktivitas budidaya tersebut. Analisis hewan makrobenthik infauna merupakan salah satu organisme yang dapat digunakan sebagai metode untuk menentukan kualitas lingkungan perairan. Fluktuasi pola kepadatan dan biomasa organisme perairan dalam skala waktu dan ruang dapat digunakan sebagai bioindikator adanya gangguan komunitas di suatu ekosistem. Tingkat gangguan dapat dicirikan dengan adanya perubahan komposisi atau proporsi jenis dan distribusi relatif kepadatan dan biomasa suatu spesies sejalan dengan meningkatnya tahapan dari suatu gangguan.

Tingkat gangguan lingkungan dapat ditentukan dengan cara membandingkan kelimpahan dan biomasa komunitas makrobenthos. Metode ini dikenal sebagai metode Abundance-Biomass Curve (ABC) (Warwick dan Clarke, 1993). Dalam kondisi area terganggu, komunitas makrobenthos didominasi oleh organisme yang memiliki strategi “seleksi-k” dalam hidupnya, atau disebut spesies oportunistik, dengan ciri-ciri ukuran tubuhnya relatif kecil, masa hidup pendek, dominan dalam jumlah jenisnya namun rendah/sedikit biomasanya, memiliki tingkat reproduksi potensial yang tinggi dan maturasi dini (Diaz dan Rosenberg, 1995).

(9)

Bergantung pada tingkat gangguan, kurva biomas dapat berada pada posisi di atas kurva kelimpahan atau di bawah kurva kelimpahan, atau dua kurva tersebut dapat berbentuk sama dan sejajar saling berdekatan atau bersinggungan satu sama lain satu atau beberapa kali sepanjang kurva terbentuk (Clarke dan Warwick, 2001).

VI. Penutup

Didasarkan pada uraian di atas, maka jelas bahwa salah satu sumber pertumbuhan ekonomi baru Indonesia yang dapat dikembangkan untuk kemajuan dan kesejahteraan adalah sektor perikanan budidaya. PDB (Produk Domestik Bruto) perikanan RI yang relative masih rendah diabndin sektro lainnya (tahun 2013 hanya 3,46 persen), maka sudah sepantasnya sektor perikanan budidaya dioptimalisasi untuk Mendukung Implementasi Ekonomi Maritim Indonesia. Berdasarkan data statistik dan luas wilayah perairan RI yang mencapai 5,8 juta km2 dengan garis pantai 81.290 km, maka peluang untuk meningkatkan kapasitas produksi perikanan budidaya sangat mungkin ditingkatkan hingga ditargetkan dapat masuk 3 besar dunia. Seiring dengan tantangan kebutuhan produk perikanan nasional dan internasional yang semakin meningkat, semakin sempitnya area budidaya perairan darat dan potensi munculnya berbagai permasalahan lingkungan, maka aplikasi keramba jaring apung bertingkat Stratified Double Floating Net Cage metode Integrated Multi-Trophic Aquaculture (SDFNC-IMTA) terintegrasi teknik

100

75

50

25

1 5 10 50 100

Spesies rank (log scale) 100 75 50 25 1 5 10 50 100 100 75 50 25 1 5 10 50 100

Unpolluted Moderately polluted Grossly polluted

Gambar 3. Kurva komulatif k-dominansi untuk biomasa spesies (garis putus-putus) dan

kelimpahan jenis (garis kontinyu) (dimodifikasi dari Warwick, 1986; Rosenthal, 2002).

(10)

biomonitoring menjadi solusi yang tepat menuju praktik budidaya produktif berkelanjutan. Praktik budidaya ini selaras dengan kebutuhan saat ini, khususnya upaya meningkatkan produktivitas perikanan budidaya dengan tetap memperhatikan daya dukung (carrying capacity) lingkungan.

Dalam mewujudkan program pembangunan bidang perikanan budidaya, beberapa kebijakan perlu untuk diimpementasikan ke masyakat pembudidaya, antara lain:

a) Melakukan terobosan-terobosan aplikasi IPTEK dalam bidang budidaya perikanan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pembudida b) Meningkatkan minat masyarakat terhadap usaha budidaya perikanan melalui sosialisasi

teknik budidaya intensif dengan pemahaman bahwa bisnis budidaya memiliki prospek yang sangat menjanjikan untuk kesejahteraan

c) Terus berupaya untuk memelihara daya dukung lingkungan budidaya dan kualitas ekosistem perairan yang baik, guna menjamin keberlanjutan aktivitas budidaya.

Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, peran pemerintah, baik pusat maupun daerah sangat penting. Melalui anggaran pusat (APBN) dan anggaran daerah (APBD), maka pembangunan sektor perikanan dapat ditingkatkan sehingga akan menarik investor swasta untuk berpartisipasi guna mendukung infrasturktur di sektor perikanan tersebut. Dalam pelaksanaannya, masyarakat perlu diyakinkan dengan bukti nyata bahwa IPTEK yang berasal dari hasil riset para peneliti bangsa sendiri mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perikanan budidaya. Aspek produksi perlu ditekankan pentingnya melaksanakan praktik budidaya yang produktif, efektif dan efisien, serta berkelanjutan.

Gambar

Gambar  1.  Hubungan  mutualistik  dan  aliran  energi  dalam  aplikasi  keramba  sistem  Keramba  Jaring  Apung  Bertingkat  (SDNC-IMTA)  sebagai  komoditi  perikanan  laut:  Rumput  laut  (Kappaphycus  alvarezii  Doty),  Udang  putih  (Litopenaeus  vanna
Gambar 2. Desain keramba jaring apung bertingkat SDNC-IMTA (Inventor: Sapt P. Putro;  No  permohonan paten: S00207106486)
Gambar 3. Kurva komulatif k-dominansi untuk biomasa spesies (garis putus-putus) dan  kelimpahan  jenis  (garis  kontinyu)  (dimodifikasi  dari  Warwick ,  1986;

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Pengaruh penggunaan media pembelajaran terhadap penguasaan Akuntansi Pengendalian Biaya pada mahasiswa Pendidikan Akuntansi angkatan

dukung dari kelompok tiang tersebut. Untuk bekerja sebagai tiang tersebut. Untuk bekerja sebagai kelompok tiang, jarak antar tiang kelompok tiang, jarak antar tiang yang

Proses itosis pada tanaman umumnya terjadi selama antara 30 menit sampai beberapa jam dan merupakan bagian dari suatau proses yang berputar dan terus-menerus

Tolak ukur analisis ruangan ini dapat dilihat dari fasilitas ruang studio yang dilengkapi dengan sumber suara speaker, dan material penyerap suara pada

Gambar 2 Peta bahaya tsunami kota Padang (KOGAMI, pada Sutikno, S. 2012) Gambar 2 Peta bahaya tsunami kota Padang menunjukkan perkiraan jumlah penduduk yang terkena

Dengan tersedianya keong emas dalam jumlah yang banyak pada alam khususnya pada area persawahan, maka keong emas dapat dimanfaatkan sebagai pakan tambahan untuk

Sedangkan pada kondisi intervensi, peneliti memberikan metode horizontal, yaitu peneliti menjelaskan cara kerja dalam menyelesaiakan soal perkalian dengan menggunakan