• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diteliti. Sebelumnya penulis akan membahas mengenai asal mula Sepu dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diteliti. Sebelumnya penulis akan membahas mengenai asal mula Sepu dan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

37 BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1Asal Mula dan Kegunaan Sepu’

Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian yang berupa hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti mengenai masalah yang diteliti. Sebelumnya penulis akan membahas mengenai asal mula Sepu’ dan kegunaannya dalam masyarakat Toraja. Sepu’ dalam bahasa Indonesia berarti ’kantong’ yang berfungsi untuk menyimpan barang-barang yang berukuran kecil. Agar lebih mudah di pakai dan praktis untuk dibawa kemana saja dan kapan saja, pada umumnya Sepu’ berukuran sekitar 30cm x 25cm. Tas tangan khas Toraja ini terbuat dari pa’tannun (kain tenun) khas Toraja dengan bahan dasar serat daun nenas dan kapas, hingga saat ini masih dibuat secara manual.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai empat warna dasar yang menjadi filosofi hidup masyarakat Toraja, warna-warna tersebut juga diterapkan dalam penggunaan warna kain di tengah masyarakat khususnya dalam perayaan upacara adat Rambu tuka’ (sukacita) dan Rambu solo’ (dukacita). Dalam perayaan Rambu tuka’ warna yang umum digunakan ialah kuning, merah dan putih, sedangkan dalam peryaan Rambu solo’ ialah warna hitam, merah dan putih. Penerapan pengunaan warna tersebut tidak hanya melalui pakaian, namun juga pengunaan Sepu’ tersebut.

Dalam masyarakat Toraja, Sepu’ (kantong) berfungsi untuk menyimpan barang-barang yang berukuran kecil untuk kehidupan sehari-hari, namun dalam

(2)

38

perayaan upacara adat, Sepu’ berfungsi untuk menyimpan pangan seperti, sirih, kapur, kalosi (pinang), golla-golla (permen), rokok, dan lain-lain. Barang-barang tersebut dibawa untuk disuguhkan kepada tamu yang hadir dalam perayaan, baik itu dalam upacara Rambu tuka’ ataupun Rambu solo’. Dibeberapa daerah bagian Sa’dan Toraja Utara juga menggunakan Sepu’ sebagai simbol ziarah bagi keturunan yang tidak ikut dalam perayaan Rambu Solo’ dan tidak dapat pergi ke liang atau patane

dimana jenazah di kuburkan, Sepu’ digantung di atas tongkonan sebagai wadah untuk anak cucu meletakkan sesajian yang akan diberikan kepada nenek atau orangtua yang telah meninggal. Di daerah Tallulembangna1 (Makale), warna-warna tersebut masih terikat pada status sosial masyarakatnya.

“lino dolo makpio pa tau. Ya manna den to kain di tannun manual unpake bannang pondan di dasi’ dadi sambuk sia bayu karung (pondan), warnanya krem putih. Sa’ si sidi’ pa tu kain tonna attu , dadi ya to unpakei yamanna to kapala-kapala lan Rambu solo’ sia Rambu tuka’.…”

Artinya :

“Pada zaman dulu, orang-orang masih menggunakan pio2. Saat itu hanya ada kain yang ditenun secara manual menggunakan benang pondan3 yang dijahit menjadi sarung dan baju karung pondan, dan berwarna krem putih. Karena pada saat itu kain hanya sedikit, jadi yang menggunakannya hanya para tetua-tetua adat dalam upacara Rambu solo’ dan Rambu tuka’… “

Dalam penjelasan di atas, Bapak Amos4 mengungkapkan bahwa karena dulu sangat terbatas dalam memproduksi kain, dan bahan yang didapatkan hanya dari serat daun nenas yang berfungsi sebagai benang, lalu di tenun dan di jadikan kain

1 Sekarang lebih dikenal dengan Kecamatan Makale, termasuk dalam Kabupaten Tana Toraja 2 Pio = daun kering yang digunakan untuk menutupi badan

3 Pondan = Buah nenas

(3)

39

maka dari itu kain-kain tersebut hanya boleh di gunakan oleh orang-orang dari lapisan Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi sebagai tokoh agama dan kapala lembang

(kepala desa). Namun sejak datangnya kaum penjajah dari negeri luar, masyarakat mulai mengenal jenis-jenis kain yang beragam. Umumnya penggunaan Sepu’ dipadu padankan dengan warna sambu’ (sarung) yang digunakan oleh seseorang.

Dalam upacara Rambu tuka’, umumnya orang akan menggunakan sambu’ dan

Sepu’mararang, mabusa, dan mariri ; sedangkan dalam upacara Rambu solo’ orang akan menggunakan sambu’ dan Sepu’malotong, mararang, dan mabusa.

Gambar 5.1 : Sepu’ kuno dari bahan pondan

Di daerah Tallulembangna, jika keluarga dari Tana’ Bulaan atau Tana’ Bassi mengadakan upacara entah itu Rambu tuka’ maupun Rambu solo’ maka keluarga akan menggunakan warna-warna tersebut dan duduk di atas alang5 selama upacara berlangsung.

5 Tempat yang berfungsi sebagai lumbung padi di bagian langit-langitnya, dan tempat untuk beristirahat di bagian bawahnya. Alang di bangun tepat berhadapan dengan Tongkonan.

(4)

40

Yake lan upacara aluk todolo, tek na ma’din sitammu tu mariri sia malotong, sa’ inang senga’ sia mi ya battuananna to. Yake dolo, kenna den tu mariri sia malotong sitammu lan rambu solo’ atau rambu tuka’ langsung mo male rokko salu raka atau tama pangala’ metamba langan puang matua agi na tek na sengkei deata dao langi’….”

Artinya :

“Jika dalam upacara aluk todolo, tidak diperkenankan warna kuning bertemu dengan warna hitam, karena pada dasarnya kedua warna tersebut memiliki makna yang berbeda. Orang-orang pada zaman dulu, jika melihat ada warna kuning dan hitam dalam satu upacara entah itu dalam Rambu solo’ maupun Rambu tuka’, para tetua akan pergi ke tepi sungai atau ke dalam hutan berdoa kepada puang matua agar tidak mendapat hukuman dewa dari langit….”

Amos menjelaskan lebih lanjut, bahwa pada dasarnya dibeberapa daerah di Toraja sekarang ini mengaku bahwa tidak lagi ada pembedaan strata sosial melalui penggunaan kain baik itu dari baju adat, sambu’ maupun Sepu’. Namun jika diteliti lebih dalam, maka akan ditemukan bahwa tiap pemangku kekuasaan dalam satu daerah masih menerapkan penggunaan warna tersebut sebagai penanda identitas sosial mereka. Tidak dipungkiri jika dalam lembang (kampung) tertentu jika pemangku kekuasaan hadir dalam perayaan adat, sekalipun dia bukan keluarga dari tuan rumah, namun untuk menunjukkan bahwa dia adalah orang yang memiliki kuasa di daerah itu, ia akan menggunakan baju, sambu’ maupun Sepu’ yang berwarna putih atau merah.

Berdasarkan bentuknya, Sepu’ dibedakan atas dua jenis, yaitu Sepu’ biasa dan

Sepu’ disusui. Hal ini dapat dilihat dari motif hiasannya, pada Sepu’ biasa tidak terdapat jahitan di kedua ujungnya, sedangkan pada jenis Sepu’ disusui terdapat jahitan lancip pada kedua ujungnya.

Dalam perayaan adat, hanya orang-orang tertentu saja yang boleh duduk di atas alang, yaitu keluarga dari tuan rumah dan tamu undangan atau tetua-tetua adat.

(5)

41

Bagian ujung yang merujuk pada payudara wanita

Damaris Tangkelangi’, salah seorang pengrajin Sepu’ di daerah Ke’te Kesu’ yang telah menjalani profesi tersebut selama kurang lebih 40 tahun menjelaskan,

perbedaan tersebut memiliki arti tersendiri, yang ditujukan kepada penggunanya. Pada Sepu’ biasa, ditujukan untuk digunakan oleh laki-laki, sedangkan Sepu’disusui digunakan oleh perempuan.

Gambar 5.2 : Sepu’ disusui untuk perempuan Sumber : www. bisnistoraja.blogspot.co.id

“Disusui itu artinya sama dalam bahasa Indonesia, kedua ujung tas tersebut melambangkan bentuk susu perempuan (payudara). Untuk membedakan Sepu’ yang digunakan wanita dan laki-laki yah dengan model yang seperti itu.”

Sepu’ biasa yang ditujukan untuk digunakan oleh laki-laki umumnya tidak memiliki model tertentu atau polos, namun ada juga beberapa yang terdapat tambahan jahitan kain tenun dengan posisi horizontal di bagian atas Sepu’. Sedangkan pada Sepu’ disusui, selain bentuk di kedua ujungnya, juga terdapat tambahan jahitan kain tenun atau manik-manik dengan posisi horizontal di bagian atas Sepu’. Selain itu Damaris juga menjelaskan secara singkat, mengapa ada Sepu’

(6)

42

yang diberikan hiasan manik-manik namun juga ada yang di jahitkan kain tenun biasa.

Gambar 5.3 : Sepu’ untuk Laki-laki Sumber : www.tokopedia.com

“kalau dulu itu semuanya sama saja, sama-sama pakai kain karung atau kain tenun. Sekarang ada yang pakai manik-manik itu hanya tambahan hiasan saja. Selain itu, kan salah satu penanda perhiasan perempuan itu kan adalah kandaure yang terbuat dari manik-manik. Yah dengan kata lain, manik-manik pada Sepu’ itu sebagai hiasan agar cantik dilihat seperti kalau perempuan toraja yang terlihat cantik menggunakan kandaure”

Seiring dengan berkembangnya zaman, keberadaan Sepu’ sebagai salah satu aksesoris adat dalam masyarakat Toraja perlahan mulai semakin diminati oleh masyarakat Toraja bahkan wisatawan dalam dan luar negeri, bahkan sekarang ini

Sepu’ tidak hanya digunakan dalam perayaan adat, namun untuk kehidupan sehari-hari. Sepu’ secara sepintas memang bukanlah benda yang memiliki nilai sakral yang menjadi patokan kepercayaan masyarakat Toraja, namun dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa dibalik ketidak-sakralan tersebut, terdapat pesan yang

(7)

43

tersembunyi dan tersirat dalam aksesoris berbentuk tas ini dan belum terkuak ke permukaan.

5.2Analisis Makna pada Sepu’ dengan Menggunakan Teori Roland Barthes BAGAN ROLAND BARTHES

( Denotasi-Konotasi dan Mitos dalam Teori Semiotik Roland Barthes )

5.2.1Makna dibalik model Sepu’

a. Makna denotasi model Sepu’

Model Sepu’ terbagi atas dua bentuk yaitu terdapat garis horizontal berwarna merah pada bagian atas Sepu’ dan terdapat jahitan manik-manik atau jahitan biasa di bagian bawah garis merah, sedangkan

Denotasi (the first order semiological system)

Konotasi (the second order semiological system)

Mitos Pesan/ Makna  Model  Warna  Motif  Jenis kain  Aksesoris Artefak Budaya Sepu’

(8)

44

Bagian merah yang ada pada semua jenis sepu’

Bagian ujung yang merujuk pada payudara wanita yang kedua ialah terdapat garis horizontal pada bagian atas yang berwarna merah dan di bagian tengah juga terdapat jahitan manik-manik atau jahitan biasa, dan juga jahitan berbentuk lancip di kedua ujung

Sepu’.

Gambar 5.4 : model dan motif pada sepu’ lotong

b. Makna konotasi model Sepu’

Model pertama biasanya disebut sebagai Sepu’ biasa. Sepu’ yang diperuntukkan untuk kaum pria ini dengan model garis horizontal pada bagian atas Sepu’ ini memiliki makna bahwa sebagai seorang pria yang memiliki tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga yang melindungi dan pengambil keputusan dalam keluarga intinya, dan dalam kedudukannya di tengah masyarakat memiliki posisi yang sama dengan

(9)

45

kaum wanita dalam hal pemilihan ketua adat, mengikuti ritual-ritual adat, dan dalam pembagian harta warisan keluarga. Sedangkan pada model kedua yang disebut juga sebagai Sepu’ disusui, Sepu’ tersebut diperuntukkan untuk kaum wanita, dengan model garis horizontal pada bagian tengahnya yang memiliki makna perempuan sebagai ibu rumah tangga yang berada dibawah kedudukan pria sebagai kepala rumah tangga namun memiliki kedudukan yang sama dalam lingkungan masyarakatnya dengan posisi kaum pria, dan melalui model lancip pada kedua ujung Sepu’, yang menggambarkan payudara wanita, terdapat makna dimana perempuan memiliki tanggung jawab untuk mengurus segala keperluan rumah tangga baik itu urusan dapur, hingga kebutuhan anak yaitu menyusui.

Garis merah pada model Sepu’ baik itu yang diperuntukkan untuk laki-laki atau perempuan, baik itu dari golongan manapun, semua manusia itu memiliki darah merah dan memiliki peran mereka masing-masing dalam tatanan kehidupan masyarakat.

c. Mitos

Masyarakat Toraja memiliki pandangan terhadap aspek gender yang unik dan telah diwariskan dari nenek moyang, terutama di beberapa daerah. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Toraja khususnya di daerah Tallulembangna dan Ke’te Kesu’ memiliki pembagian peran dan area kerja yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki

(10)

46

peran yang bersifat maskulin dan publik sedangkan peran yang dimiliki perempuan Toraja cenderung bersifat feminim dan domestik.

Namun, masyarakat Toraja juga memiliki penghormatan yang lebih terhadap salah satu gender, yaitu perempuan. Penghormatan tersebut tampak pada perlakuan terhadap jenazahnya. Jumlah hewan yang dikurbankan untuk jenazah perempuan lebih banyak dari jenazah laki-laki, hal ini berlaku dalam keluarga yang berasal dari kaum Tana’

Bulaan dan Tana’ Bassi. Dalam masyarakat Toraja juga mengenal adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam pemilihan ketua adat, mengikuti ritual-ritual adat, dan dalam pembagian harta warisan keluarga. Perempuan dilambangkan dengan payudara, karena masyarakat Toraja memandang perempuan memiliki peran sangat besar dalam kehidupan manusia, manusia lahir dari rahim perempuan dan air susu ibu adalah sumber kehidupan bagi anak baru lahir.

Garis merah berada pada bagian atas menunjukkan mengenai sebuah awal kehidupan, awal sebuah tanggung jawab. Sekalipun masyarakat Toraja dalam struktur sosialnya terbagi atas empat bagian, namun mereka sadar akan peran dan tanggung jawab mereka masing-masing. Kesadaran tersebut juga membawa masyarakat Toraja akan kepercayaan bahwa semua manusia itu sama, dalam hal ini sama-sama memiliki darah merah, memiliki kehidupan di dunia ini dengan tanggung

(11)

47

jawab masing-masing. Jika melihat keberadaan manusia baik itu dari model, motif, maupun warna Sepu’ yang membedakan gender dan status sosial, namun semua Sepu’ memiliki model garis merah yang sama.

5.2.2Makna dibalik Warna Sepu’

a. Makna denotasi warna Sepu’

Warna Sepu’ pada umumnya terdapat empat jenis warna, dan warna-warna tersebut berdasarkan pada warna dasar dalam masyarakat Toraja, yaitu mabusa (putih), mararang (merah), mariri (kuning) dan

malotong (hitam).

b. Makna konotasi warna Sepu’

Berdasarkan warna di atas, masing-masing warna mereprentasikan status sosial penggunanya dalam masyarakat. Warna

mabusa (putih) yang melambangkan warna tulang sebagai simbol kehidupan manusia, yang mana warna tersebut juga dapat berarti sebagai lambang kesucian, kemurnian dan kebijaksanaan seseorang dari tutur kata dan perilakunya yang tidak bercela. Warna mararang (merah) juga melambangkan warna darah manusia sebagai simbol kehidupan. Selain itu juga dapat diartikan sebagai warna api yang membara, semangat seorang pemberani yang berapi-api. Sedangkan pada warna mariri

(12)

48

merepresentasikan warna matahari yang bersinar, melambangkan sebuah kebebasan.

Gambar 5.5 : sepu’ mabusa dan sepu’ malotong Sumber : www.imgrum.net/tag/kangentoraja

Terakhir yaitu warna malotong (hitam), warna yang melambangkan kegelapan, kematian, kedukaan, namun juga dapat dilihat sebagai warna yang memiliki arti adanya kehidupan yang terbelenggu dan tidak merdeka atau bebas.

c. Mitos

Bagi masyarakat Toraja, terdapat empat jenis warna yang menjadi falsafah hidup masyarakat Toraja yaitu mabusa (putih),

mararang (merah), mariri (kuning), dan malotong (hitam). Masing-masing warna tersebut merepresentasikan strata sosial yang terdapat dalam lingkungan masyarakat Toraja.

Warna mabusa (putih), merupakan warna yang diperuntukkan untuk kaum Tana’ Bulaan, Tana’ Bulaan, adalah lapisan bangsawan tinggi sebagai pewaris yang dapat menerima sukaran aluk atau dapat

(13)

49

dipercayakan mengatur aturan hidup dan memimpin agama. Dalam kepercayaan Aluk Todolo, golongan ini adalah para pandita-pandita

(pendeta) yang dipercaya sebagai keturunan yang ditunjuk oleh Puang Matua sebagai orang-orang yang suci, bijaksana baik dari tutur kata dan perilakunya. Untuk menandakan kesucian dan kebijaksanaan tersebut, diberilah penanda warna putih sebagai simbol jiwa yang bersih dan tidak bercela. Warna putih juga melambangkan warna tulang manusia sebagai simbol kehidupan. Golongan Tana’ Bulaan sebagai keturunan yang suci, haruslah bersikap dan bertutur yang baik dan dapat menjadi teladan bagi masyarakat.

Warna mararang (merah) merupakan warna yang diperuntukkan untuk kaum yang berasal dari Tana’ Bassi, Tana’ Bassi adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat menerima Maluangan Ba'tang atau ditugaskan mengatur kepemimpinan dan melakukan pencerdasan terhadap rakyat. Dalam hal ini golongan Tana’ Bassi dalam masyarakat berperan sebagai pengambil keputusan dalam lingkungan adat masyarat Toraja, terutama dalam pelaksanaan upacara adat Aluk Todolo, sebagai pemimpin keluarga atau kampung, golongan inilah yang diberi kepercayaan untuk memutuskan sesuatu. Seorang pemimpin harus memiliki jiwa yang berani, dan dalam hal ini, warna merah merupakan simbol untuk jiwa yang berani dan berapi-api. Warna merah juga melambangkan warna merah darah manusia, simbol kehidupan.

(14)

50

Golongan Tana’ Bassi direpresentasikan melalui warna merah, merah yang berarti berani dan berapi-api, merah yang memiliki arti kehidupan, dimana golongan ini haruslah menjadi orang yang berada didepan dalam peperangan, pengambil keputusan yang akan menjadi penentu nasib bagi masyarakat didaerah yang ia pimpin. Golongan Tana’

Bassi lebih dikenal dengan sebutan Anak Patalo yang berarti anak pemenang.

Gambar 5.6: sepu’ mararang dan sepu’ mariri Sumber : www.tokopedia.com

Mariri (kuning) merupakan warna yang diperuntukkan bagi kaum Tana’ Karurung, Tana’ Karurung adalah lapisan rakyat kebanyakan yang merdeka, tidak pernah diperintah langsung dan juga merupakan pewaris yang dapat menerima sebagai Pande, yakni tukang-tukang dan orang terampil. Golongan ini merupakan golongan yang bebas dan tidak memiliki tuan bahkan hamba, golongan ini terdiri dari seniman-seniman yang memiliki jiwa dan pemikiran yang bebas. Warna

(15)

51

kuning merepresentasikan hidup golongan Tana’ Karurung, dimana warna kuning tersebut merupakan simbol dari warna matahari, warna kebebasan yang bersinar, warna yang membawa sukacita, oleh karena itu golongan yang membawa warna ini berasal dari masyarakat yang membawa ‘hiburan’ bagi orang-orang disekitarnya melalui keterampilan kesenian yang mereka miliki, baik itu sebagai penyanyi, penari, pemahat, dan lain-lain.

Yang terakhir ialah warna malotong (hitam), warna ini diperuntukkan bagi kaum Tana’ Kua-kua, Tana’ Kua-kua adalah lapisan rakyat yang paling bawah (hamba) yang dapat menerima tanggung jawab sebagai pengabdi atau biasa disebut Matutu Inaa. Golongan ini menjadi hamba bagi golongan Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi. Warna hitam dalam kepercayaan masyarakat Toraja, sebenarnya berasal dari arang belanga. Sekalipun dalam pengertian umumnya warna hitam merupakan lambang kedukaan yaitu kegelapan dan kematian, namun melihat warna hitam sebagai pengunaan dalam bentuk kain dan sebagai penanda strata sosial, warna hitam diartikan sebagai warna kegelapan, tidak mengandung kesucian, keberanian bahkan sukacita didalamnya. Warna yang melambangkan bayangan yang selalu mengikuti tuannya. Oleh karena itu, golongan Tana’ kua-kua yang tidak memiliki kebebasan seperti para seniman dan keberanian seperti para Anak Patalo, bahkan tidak memiliki jiwa yang suci untuk menjadi teladan, berada pada lapisan paling bawah

(16)

52

dalam tatanan struktur sosial masyarakat Toraja. Dimana para kaum hamba ini selalu menjadi bayangan bagi para tuannya bahkan hingga tuannya masuk kedalam liang batu.

5.2.3Makna dibalik Motif Sepu’

a. Makna denotasi motif Sepu’

Motif Sepu’ dapat dilihat sebagai berikut, pada bagian sisi kanan dan kirinya terdapat jahitan tipis dengan menggunakan benang yang berwarna-warni seperti kuning, merah, dan hijau. Pada bagian sisi kanan dan kiri, garis tersebut dijahit secara vertical dan mengapit pola jajargenjang, lalu pada bagian tengah sepu’, terdapat jahitan dengan benang tipis seperti pada sisi Sepu’, namun jahitan tersebut mengapit pola jajargenjang dalam baris tersebut sama seperti pola pada jahitan vertikal..

b. Makna konotasi motif Sepu’

Motif jahitan vertikal dengan baris garis tipis yang terdiri dari beberapa warna pada sisi kanan dan kiri Sepu’ tersebut menggambarkan mengenai hubungan manusia dengan alam. Dalam ajaran Aluk Todolo, manusia dan alam haruslah dapat saling menjaga satu sama lain, dalam hal ini masyarakat Toraja dari golongan manapun harus menjaga hubungannya dengan alam, menjaga dan melestarikan alam, berdiri sejajar untuk menjaga bumi yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Sedangkan pola jahitan pada bagian tengah Sepu’ dalam bentuk baris

(17)

53

garis tipis horizontal dan pada bagian tengahnya terdapat pola jajargenjang, menggambarkan mengenai hubungan masyarakat meskipun terbagi dalam beberapa golongan namun hubungan yang harmonis dan sejajar dalam menjalankan peran masing-masing harus tetap terjaga satu sama lain, dan untuk menjaga keharmonisan dan ketentraman tersebut, dibutuhkan aturan yang menjadi dasar bagi masyarakat Toraja untuk menjadi teladan dalam bertutur dan berperilaku yang baik dan jujur agar tidak mendapat hukuman dari Yang Maha Kuasa.

c. Mitos

Motif-motif pada Sepu’ dalam masyarakat Toraja menggambarkan mengenai kedudukan manusia atau seseorang dalam lingkungannya baik itu dengan masyarakat atau dengan alam. Motif yang pertama barisan garis tipis vertikal pada sisi Sepu’ yang menyerupai motif tenun borong-borong, yang terdiri dari garis tipis warna-warni. Dalam kehidupan masyarakat Toraja, manusia yang hidup berdampingan dengan alam harus menjaga hubungan yang baik, terutama dalam kepercayaan aluk todolo, para deata-deata yang telah menata alam sedemikian rupa hingga dapat ditinggali oleh manusia, maka sudah menjadi tanggung jawab manusia untuk menjaganya agar kelak deata-deata dapat memberikan kemakmuran dan kesuburan pada tanah mereka berpijak dan tidak menurunkan hukuman bagi masyarakat disitu karena

(18)

54

Motif borong-borong

Motif Pa’sulan Sangbua lalai dalam menjaga alam ini. Maka dari itu, semua lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga alam ini.

Motif yang kedua yaitu baris garis tipis horizontal yang menyerupai ukiran pa’sulan sangbua (pa’sulan = sulaman, sangbua = tunggal), yang merupakan simbol kebesaran bagi golongan Tana’

Bulaan dan Tana’ Bassi. Pola jajarganjang pada bagian tengah melambangkan tentang kehidupan golongan Tana’ Bassi dan Tana’

Bulaan yang sempurna yang hanya dimiliki oleh para pemuka agama dan pemimpin adat/desa, yang memiliki peran sebagai teladan dan pengatur kehidupan masyarakat, sedangkan motif segitiga yang mengapit ‘kesempurnaan’ tersebut melambangkan

Gambar 5.7 : motif borong-borong dan pa’sulan sangbua

tentang kedudukan manusia dan alam, manusia hidup berdampingan dengan alam, dan para pemuka agama mengajarkan bagaimana alam

(19)

55

tersebut menjadi pemberian yang Maha Kuasa yang harus dijaga, dan bagaimana para pemimpin desa mengajarkan kepada masyarakat bagaimana membangun kehidupan dengan memanfaatkan kekayaan alam yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

5.2.4Makna dibalik Jenis Kain Sepu’

a. Makna denotasi jenis kain Sepu’

Sepu’ dibuat menggunakan kain tenun ikat yang berbahan serat daun buah nanas yang dicampur dengan kapas sehingga menghasilkan benang yang kuat dan lembut. Pada bagian ujung/atasnya terdapat pola tenunan yang bergaris horizontal.

b. Makna konotasi jenis kain Sepu’

Pola horizontal yang berada pada ujung atau batas kain, dalam hal ini pada bagian atas Sepu’ memiliki arti kemewahan, elegan dan kesederhanaan. Namun juga dapat diartikan sebagai posisi manusia sebagai penjaga hubungan manusia dengan alam dan manusia dilingkungannya. Atau menunjukkan manusia yang memiliki keterbatasan.

c. Mitos

Kain tenun dalam masyarakat Toraja merupakan salah satu warisan leluhur yang memiliki arti tersendiri. Salah satunya ialah jenis kain tenun ikat paramba’, kain tenun ini terbuat dari bahan yang sama dengan kain tenun lainnya, yaitu menggunakan bahan dasar serat daun

(20)

56

buah nenas dan kapas. Namun yang membuat tenun paramba’ ini berbeda ialah pola tenunannya yang berada pada ujung kain.

Gambar 5.8 : Kain tenun Pamiring Sumber : www.tokopedia.com

Makna pola tenunan paramba’ ini bagi masyarakat Toraja ialah menunjukkan posisi manusia yang pada akhirnya memiliki peran yang sama untuk saling menjaga dalam lingkungan masyarakatnya, semua golongan harus menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia juga dengan lingkungan tempat mereka berpijak.

5.2.5Makna dibalik Aksesoris Sepu’

a. Makna denotasi aksesoris Sepu’

Aksesoris pada Sepu’ ini menyerupai manik-manik biji yang dijahitkan mengikuti motif pada Sepu’. Manik-manik tersebut umumnya terdiri dari warna hitam, merah, oranye, kuning dan putih.

(21)

57

b. Makna konotasi aksesoris Sepu’

Manik-manik biji melambangkan perhiasan yang dimiliki oleh kaum bangsawan, menunjukkan kemewahan, keanggunan, sisi yang feminim. Dengan kata lain perhiasan ini cenderung ditujukan bagi kaum perempuan dari golongan bangsawan.

Gambar 5.9 : Sepu’ dengan hiasan manik-manik Sumber : www.imgrum.net/tag/kangentoraja

c. Mitos

Dalam masyarakat Toraja, kandaure yang terbuat dari manik-manik batu ditujukan sebagai perhiasan untuk kaum perempuan, sedangkan perhiasan untuk kaum laki-laki ialah gayang (keris toraja). Manik-manik batu ini merupakan bahan dasar yang bisa dijadikan sebagai kalung, gelang, atau anting bahkan juga untuk kandaure atau

sokkong bayu (pakaian adat toraja untuk perempuan). Perhiasan tersebut memiliki makna tersendiri bagi orang toraja, khususnya untuk kaum

(22)

58

perempuan yang berasal dari Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi. Manik-manik ini merupakan representasi sisi perempuan yang anggun dan elegan, sekalipun perempuan memiliki peran untuk mengurusi urusan domestik, namun mereka juga harus menampilkan diri sebagai seorang perempuan yang cantik, anggun dan bersahaja, sebagai seorang ibu atau calon ibu yang berperan besar dalam keluarga, maka perempuan juga harus menjaga penampilannya. Kedudukan perempuan dalam masyarakat Toraja memang tidak bisa dipandang sebelah mata, karena masyarakat Toraja melihat bahwa kehidupan manusia berawal bukanlah di alam ini, melainkan dalam rahim seorang perempuan.

5.3Keragaman Makna Sepu’ bagi Orang Toraja di Salatiga 5.3.1Makna Sepu’ bagi Orang Toraja di Toraja

Sepu’ sebagai salah satu warisan budaya masyarakat Toraja, memang tidak memiliki makna yang begitu sakral dalam penggunaannya, melainkan sebagai salah satu benda/artefak yang digunakan untuk mendukung kegiatan sehari-hari masyarakat Toraja. Sepu’ merupakan aksesoris yang umumnya hanya digunakan dalam upacara adat saja, karena memiliki fungsi sebagai kantong/tas untuk menyimpan perlengkapan pangan seperti sirih, pinang, kapur,dll yang disuguhkan kepada keluarga atau tamu yang hadir dalam upacara adat.

Meskipun secara fungsi Sepu’ tidak mengandung nilai yang begitu sakral, namun masyarakat Toraja memandang keberadaan Sepu’ merupakan

(23)

59

salah satu benda yang sarat akan makna sehingga ada beberapa aturan tidak tertulis dalam menggunakannya. Seperti yang telah dianalisa pada point di atas, pengguna Sepu’ dapat dibedakan berdasarkan gender dan status sosialnya, Sepu’ juga dapat dibedakan berdasarkan fungsinya. Hingga saat ini masih banyak para orang tua di Toraja yang menggunakan Sepu’ hanya untuk kepentingan adat saja, dan menggunakannya sesuai dengan ‘peran’ yang dimilikinya dalam masyarakat di daerah itu.

Untuk lebih memahami bagaimana orang Toraja memaknai Sepu’, Bapak Amos Andaso’ Ranteallo menjelaskan bahwa Orang Toraja yang memahami mengenai Tana’ pasti tau bagaimana menggunakan aksesoris dalam upacara adat.

“sekalipun saya ini seorang anak patalo di kampung saya, tapi saat saya masuk dalam kampung lain untuk mengikuti rambu solo’ atau rambu tuka’, yah saya harus tahu diri menempatkan status sosial saya, saya bukan siapa-siapa dikampung itu, jadi saat itu acara rambu solo’ saya akan menggunakan Sepu’ hitam dan jika itu acara rambu tuka’ saya akan menggunakan Sepu’ berwarna kuning”

Bapak Amos menekankan dalam hal ini, meskipun tidak ada peraturan tertulis mengenai Tana’, namun masing-masing orang harus ‘tahu diri’ dalam mengambil peran dalam suatu upacara adat, baik itu di dalam kampung sendiri atau saat menghadiri upacara adat di kampung lain.

Hingga saat ini, meskipun di tengah masyarakat Toraja perkembangan zaman mulai semakin mempengaruhi pola hidup masyarakat, namun pengaruh sistem Tana’ masih sangat kental dalam pembagian peran

(24)

60

masyarakat Toraja hingga saat ini. Upacara adat masih dikemas dalam bentuk kepercayaan aluk todolo, meskipun keluarga yang mengada upacara

rambu solo’ atau rambu tuka’ telah memeluk agama tertentu, namun nilai-nilai aluk todolo dalam upacara adat masih kental dan dilaksanakan oleh masyarakat, masih ada kepercayaan bahwa jika melaksanakan ritual dengan benar maka arwah keluarga yang telah meninggal akan di hentarkan ke alam

puya, sama halnya dalam upacara rambu tuka’, jika ritual diadakan dengan benar, maka kemakmuran dan kesejahteraan akan menghampiri keluarga tersebut.

Sama halnya dengan bagaimana masyarakat Toraja memandang aksesoris adat, hanya orang-orang tertentu yang boleh menggunakan warna dan motif tertentu karena mereka dipandang berasal dari keluarga yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat, mereka adalah sosok yang dapat mengayomi masyarakat untuk mencapai suatu kearifan lokal.

Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa masyarakat Toraja melihat aksesoris yang digunakan oleh seseorang merupakan penanda identitas diri mereka, untuk menunjukkan status sosial dan peran mereka dalam lingkungan masyarakat. Lebih jelas lagi Ibu Damaris Tangkelangi’ menjelaskannya sebagai berikut

“…jadi, jika dalam suatu upacara adat entah itu upacara rambu tuka’ atau rambu solo’, anda melihat seorang perempuan menggunakan baju, atau Sepu’ tannun disusui berwarna merah dengan hiasan manik-manik dibagian tengah dan susunya, maka perempuan itu pasti memiliki

(25)

61

peran dalam keluarga besar atau kampungnya sebagai seorang yang mampu memimpin.”

Ibu Damaris juga menambahkan, bahwa hingga sekarang ini, masyarakat Toraja memang masih memiliki kebanggaan untuk menunjukkan identitas sosial mereka melalu pakaian dan aksesoris yang mereka kenakan. Jika sebagian masyarakat modern mengakui bahwa semenjak masyarakat Toraja mulai menerima agama-agama tidak ada lagi yang menggunakan sistem

Tana’ , kecuali penganut Aluk Todolo, Ibu Damaris dan Bapak Amos tidak membenarkan hal tersebut, kedua tetua ini malah melihat bahwa secara kasat mata, sistem Tana’ yang sekarang diterapkan tidak lagi berdasarkan nilai-nilai yang dipercaya oleh nenek moyang, melainkan masyarakat sekarang melihat status sosial seseorang melalui harta dan kedudukan politik seseorang.

“yapi dikua to Tana’ Bulaan ke sugi’ i, yapi di kua Tana’ Bassi ke kapala lembang i , yapi dikua to karurung i ke den sia seng na tapi tangngia to sugi’ bang apa na tannia duka sia ia to nampui lembang, na yapi disanga to tau kua-kua tu tau tek bang dikka apa dio kalena la na pake tuo”

Artinya

“Disebut sebagai Tana’ Bulaan jika memiliki banyak uang, disebut sebagai Tana’ Bassi jika ia seorang pemegang kekuasaan, disebut sebagai Tana’ Karurung jika ia masih memiliki uang untuk hidup namun tidak memiliki peran dalam pemerintahan, dan disebut sebagai Tana’ kua-kua jika ia tidak memiliki harta apapun dan menjadikan dirinya sebagai hamba.”

(26)

62

5.3.2Makna Sepu’ bagi Orang Toraja di Salatiga

Masyarakat suku Toraja sekarang ini sudah mulai tersebar di hampir seluruh pelosok tanah air, termasuk di Kota Salatiga. Peneliti sendiri merupakan salah satu mahasiswa yang merantau dari Tana Toraja untuk menjalani pendidikan di Kota Salatiga. Orang Toraja di Salatiga tidak semua berstatus sebagai mahasiwa, ada juga beberapa orang tua yang bekerja dan menetap sebagai warga Salatiga dan beranak cucu di Kota ini.

Sebagian besar orang tua sudah menetap lama di Kota Salatiga adalah tokoh-tokoh yang dipercaya untuk menjadi ‘tetua adat’ bagi generasi muda yang datang merantau di Kota Salatiga. Para tetua tersebut masih paham dan mengerti dengan tatanan adat dan system yang berlaku di daerah Toraja sendiri meskipun sudah bertahun-tahun tidak kembali ke tanah kelahiran mereka, namun pemahaman adat masih sangat dikuasai. Untuk melihat bagaimana makna pada Sepu’ bergeser, peneliti mewawancarai beberapa narasumber antara lain :

1. Om Saludung, 87 tahun, Penatua Gereja Toraja Cabang Kebaktian Semarang, Pengurus Sinode Gereja Toraja Jemaat Surabaya, Praktisi adat Suku Toraja.

2. Ibu Seno Paseru, 64 tahun, Pensiunan Dosen Fakultas Teologi UKSW, penulis “Aluk Todolo Toraja”, praktisi adat Suku Toraja.

3. Chevin Yegar A. Banne, 21 tahun, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis angkatan 2013, pengguna Sepu’.

(27)

63

4. Rensi Nari Rantelimbong, 24 tahun, mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 2009, pengguna Sepu’.

Sepu’ sendiri sekarang ini telah mengalami banyak perkembangan, karena sekarang ini Sepu’ dijadikan sebagai oleh-oleh khas Toraja, maka insdustri seni kreatif di Toraja mulai menyasar produksi Sepu’ dalam ragam bentuk, seperti warna kain yang tidak hanya hitam, putih, kuning dan merah saja, tapi juga menggunakan warna lain seperti hijau, pink, ungu, biru, dll. Sama halnya dari motifnya, tidak hanya mengikuti motif ukiran pa’sulan

sangbua, namun juga mengikuti beberapa jenis ukiran lain untuk motif pada hiasan Sepu’, tidak hanya itu, jika Sepu’ mulanya terbuat dari kain tenun khas, sekarang ini produksi Sepu’ juga menggunakan beberapa jenis kain biasa seperti katun, linen atau beludru.

Gambar 5.10 : warna sepu’ modern

Sumber : www.imgrum.net/user/bayunta_toraya_shop

Menurut Ibu Damaris, sebagai salah seorang pengrajin Sepu’, bertumbuhnya industri kreatif ini sebenarnya bukanlah sebuah ancaman terhadap pewarisan budaya Toraja melalui Sepu’ itu sendiri, melainkan dapat menjadi sarana untuk memperkenalkan budaya Toraja, asalkan, masyarakat

(28)

64

Toraja sendiri tidak menyalahgunakan hal ini untuk sesuatu yang malah tidak baik atau dengan kata lain, sebagai orang Toraja, maka paling tidak masyarakatnya sendiri tau jenis Sepu’ yang asli itu seperti apa.

Bagi orang Toraja yang ada di Salatiga, mereka melihat keberadaan

Sepu’ tidaklah lebih dari hanya sekedar aksesoris khas dari Toraja yang dapat digunakan untuk aktifitas sehari-hari

“toh sebenarnya, Sepu’ itu tidak memiliki makna dan peranan yang begitu sakral, jadi untuk sekarang ini menurut saya sah-sah saja jika Sepu’ digunakan tidak hanya untuk perayaan adat, tapi juga untuk kehidupan sehari-hari, tapi… itu untuk penggunaan disini, diluar Toraja. Kalau menggunakan Sepu’ di Toraja bisa jadi lain lagi ceritanya.”

Dalam pernyataan tersebut, Om Saludung mengungkapkan bahwa sekarang ini Sepu’ tidak hanya digunakan dalam upacara adat saja, namun juga dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun hal tersebut berlaku jika

Sepu’ tersebut digunakan di lingkungan bukan Toraja. Dengan kata lain, Om Saludung sendiri masih mengakui bahwa di tengah masyarakat Toraja sekarang ini, masih cukup tabu untuk menggunakan aksesoris yang biasanya di pakai dalam upacara adat untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

Sama halnya dengan pernyataan yang diberikan oleh ibu Seno Paseru, Ibu Seno melihat keberadaan Sepu’ sebagai aksesoris biasa, benda yang khas Toraja, namun meskipun begitu, ia paham dengan makna simbolik yang terdapat dalam sebuah Sepu’.

“sekarang ini kan Sepu’ sudah banyak ragam bentuknya, entah itu ukurannya ada yang terlalu kecil ada juga yang

(29)

65

besar, warnanya juga sudah menyerupai pelangi, dan buat saya itu hal yang wajar. Tapi tetap saja, kalau dalam masyarakat Toraja menggunakan Sepu’ berdasarkan warnanya, orang harus tau diri dengan posisinya. Kalau di Salatiga sendiri sekalipun banyak mahasiswa yang kadang saya lihat menggunakan Sepu’ putih, tapi kok perilakunya malah tidak menunjukkan teladan, itu kan kalau di Toraja bisa dilihat seperti itu….”

Bagi ibu Seno Paseru, komponen yang masih dianggap penting dari makna simbolik yang terdapat dalam Sepu’ ialah warna, karena warna memiliki peran dalam menunjukkan identitas sosial atau status sosial seorang pemakainya.

Gambar 5.11 : Sepu’ modern Sumber : www. bisnistoraja.blogspot.co.id

Dalam hal ini ibu Seno melihat fenomena Sepu’ di salatiga sebagai berikut, jika warna putih merepresentasikan status seorang bangsawan, dimana dalam masyarakat toraja golongan bangsawan tersebut berasal dari

Tana’Bulaan yang menjadi pandita-pandita atau pemuka agama, dan warna putih sebagai lambang kesucian, kebijaksanaan dan kelemah lembutan, maka penggunanya memiliki peran harus menjadi teladan hidup bagi masyarakatnya. Lalu hal tersebut juga berlaku untuk warna lain seperti warna merah, merah yang menjadi lambang semangat dan keberanian, yang menjadi

(30)

66

lambang untuk para pemberani dari Tana’ Bassi, warna yang pantas untuk menggambarkan jiwa pemberani para Anak Patalo.

Namun berbeda dengan fenomena yang terjadi di lingkungan orang Toraja di Salatiga sekarang ini, mereka yang menggunakan Sepu’ berwarna putih terlepas dari status sosialnya di Toraja adalah seorang keturunan bangsawan, namun tutur dan perilakunya tidak menunjukkan kelemah lembutan seperti warna yang seharusnya ia representasikan. Atau mereka yang menggunakan Sepu’ berwarna merah, dimana pengguna yang seharusnya memiliki keberanian malah tidak berani untuk bertanggung jawab untuk hal-hal kecil. Keberadaan Sepu’ di lingkungan orang Toraja di Salatiga tidaklah memiliki arti atau makna secara khusus melainkan hanya sebagai pelengkap fashion saja.

Gambar 5.12 : Sepu’ digunakan oleh mahasiswa asal Toraja dalam kegiatan Indonesia Internasional Culture Festival di UKSW 2015

(31)

67

Bagi orang tua Toraja di Salatiga, Sepu’ tidaklah lebih dari aksesoris adat yang secara simbolik memang memiliki makna, namun bukanlah sebuah makna yang sakral, melainkan mengandung makna yang menunjukkan suatu keadaan sosial tertentu. Menggunakan Sepu’ untuk kehidupan sehari-hari bukanlah suatu masalah, namun menggunakan Sepu’ untuk keperluaan perayaan adat di Toraja, penggunanya sendiri harusnya bisa ‘tau diri’ untuk menggunakan Sepu’ yang seperti apa dalam acara seperti apa.

Lain halnya dengan Chevin dan Rensi, mereka berdua melihat Sepu’ sebagai suatu kerajinan tangan yang mewah dan elegan yang dibuat di Toraja, adanya perkembangan kreatif dari produksi Sepu’ ini bukanlah hal yang serius untuk dipermasalahkan. Chevin dan Rensi sendiri mengakui bahwa, mereka memahami adanya makna di balik warna-warna tertentu yang dimana tidak sebarang orang yang boleh memakainya.

“lagian juga kan kita pakainya di lingkungan kampus, selain itu alasan saya menggunakan Sepu’ karna terlihat lebih elegan, dan kalau ada yang bertanya itu tas apa, saya dengan bangga jawab kalau ini khas dari daerah saya”

Bagi Chevin, menggunakan Sepu’ malah memberinya perasaan bangga menjadi orang Toraja, bangga dengan kebudayaan yang dimilikinya.

“tapi kalau ditanya kenapa ada garis begini begitu, kenapa ada yang pakai manik-manik ada yang biasa saja, ada yang kainnya tebal ada yang tipis, kalau seperti itu yang saya tahu hanya harganya saja yang membedakan”

Dalam hal ini Chevin tidak begitu paham mengenai makna-makna simbolik pada Sepu’ itu sendiri, dia juga tidak memahami bahwa Sepu’ disusui itu

(32)

68

ditujukan kepada perempuan, namun sekarang ini banyak laki-laki yang menggunakan Sepu’ disusui tersebut. Sekarang ini generasi muda menggunakan Sepu’ tidak hanya sekedar pelengkap fashion, namun juga untuk menunjukkan identitas diri mereka sebagai orang Toraja. Secara tidak langsung, mereka menggunakan Sepu’ sebagai alat untuk mengkomunikasikan kepada orang disekitarnya bahwa mereka berasal dari Toraja, mereka adalah orang Toraja.

“saya menggunakan Sepu’ jujur saja, selain karena bentuknya yang unik dan elegan, saya menggunakannya karena lebih praktis dan nyaman untuk dipakai. Selain itu, saya kan besar di Palopo, bukan di Toraja, jadi saat di tanah rantau seperti ini, saya menggunakan Sepu’ untuk menunjukkan kalau saya orang Toraja, mana tau nanti di jalan kita ketemu sama orang Toraja trus dia bisa kenal kita karena kita pakai Sepu’..”

Bagi Rensi, Sepu’ disamping menjadi pelengkap fashion, namun juga sebagai penanda bahwa ia adalah orang Toraja.

Dari pernyataan-pertanyaan tersebut, dapat dilihat bahwa orang Toraja di Salatiga melihat Sepu’ bukan hanya sekedar tas/kantong yang digunakan untuk menyimpan sirih untuk perayaan rambu tuka’ atau rambu solo’, melainkan dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Sepu’ sekarang sudah berkembang dan memiliki ragam bentuk. Karena tidak ada nilai yang sakral dalam Sepu’ itu sendiri.

Gambar

Gambar 5.1 : Sepu’ kuno dari bahan pondan
Gambar 5.2 : Sepu’ disusui untuk perempuan  Sumber : www. bisnistoraja.blogspot.co.id
Gambar 5.3 : Sepu’ untuk Laki-laki  Sumber : www.tokopedia.com
Gambar 5.4 : model dan motif pada sepu’ lotong
+7

Referensi

Dokumen terkait

semakin tinggi intensitas mengikuti bimbingan keagamaan Islam maka semakin tinggi tingkat kesehatan mental pada penghuni Lapas Klas II A Wanita Semarang yang dalam

Jika di DSM IV-TR tertulis bahwa salah satu kriteria seorang dengan gangguan identitas gender adalah memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan operasi kelamin maka

Intensitas mengikuti pengajian Rabu Wage atau yang disebut Majelis Taklim Jogo Roso berpengaruh terhadap peningkatan kepercayaan diri kader PMII kota Semarang,

“Ya saya lumayan tau tentang perencanaan komunitas ini, ya gitu lah anak-anak Flying Dutchman mah barageur (baik) saropan (sopan) kalo lagi ngobrol juga enak

Berdasarkan penggambaran hasil model arus di kedua penampang melintang yang dipilih terlihat bahwa arus maksimum untuk kedua skenario terjadi di dalam surfzone, pada jarak 110

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menghitung besarnya pencadangan dana untuk meminimalkan risiko kredit atau yang disebut CKPN dengan menggunakan metode CreditRisk +

terdapat perbandingan pada pria dan wanita yang menderita penyakit TB paru, hal ini disebabkan karena jumlah responden yang mempunyai kebiasaan merokok lebih

Pada tahapan observasi ini, peneliti dibantu oleh observer, mengumpulkan hasil observasi selama proses belajar mengajar berlangsung. Semua data yang dikumpulkan antara