• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Produksi berarti transformasi berbagai input atau sumber daya menjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Produksi berarti transformasi berbagai input atau sumber daya menjadi"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Konsep Produksi

Produksi berarti transformasi berbagai input atau sumber daya menjadi output berupa barang atau jasa. Produksi juga merupakan hasil akhir dari proses atau kegiatan ekonomi dengan memanfaatkan beberapa input. Input adalah berbagai sumber daya yang digunakan dalam memproduksi barang dan jasa, input diklasifikasikan ke dalam tenaga kerja (termasuk bakat kewirausahaan), modal, tanah atau sumber daya alam.

Menurut Tati Suhartati Joesron (2003:77) dalam bukunya yang berjudul Teori Ekonomi Mikro menyatakan bahwa:

“Produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input, dari pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengkombinasi berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output.

Pengertian lain mengenai produksi diungkapkan oleh Vincent Gaspersz (2001:167) yakni produksi dapat dikatakan sebagai suatu aktivitas dalam perusahaan industri berupa penciptaan nilai tambah dari input menjadi output secara efektif dan efisien sehingga produk sebagai output dari proses penciptaan nilai tambah itu dapat dijual dengan harga yang kompetitif di pasar global. Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa proses produksi pada dasarnya merupakan usaha atau kegiatan untuk menciptakan atau menambah nilai guna suatu barang dan jasa.

(2)

2.1.2 Faktor-Faktor Produksi

Di dalam proses produksi yang dilakukan oleh rumah tangga produsen atau perusahaan tentu memerlukan faktor-faktor produksi. Faktor produksi ini dapat dikategorikan menjadi dua macam yakni faktor produksi asli dan faktor produksi turunan. Faktor produksi asli adalah faktor produksi yang tidak dapat diperbaharui dan sudah tersedia, contohnya sumber daya alam dan tenaga kerja. Sedangkan faktor produksi turunan adalah hasil penggabungan dari faktor produksi asli yang merupakan perkembangan kebudayaan dan pengetahuan manusia, contohnya modal, tingkat teknologi dan entepreneurship.

Faktor-faktor produksi ini di dalam istilah ekonomi biasa disebut dengan input produksi. Sedangkan hasil produksi baik berupa barang maupun jasa disebut dengan output produksi. Menurut Ahman (2004:118-120), faktor produksi merupakan unsur-unsur yang dapat digunakan atau dikorbankan dalam proses produksi. Faktor produksi yang biasa digunakan di dalam proses produksi yaitu : a. Sumber Daya Alam.

Segala sesuatu yang disediakan alam dapat dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan disebut sumber daya alam. Sumber daya alam meliputi segala sesuatu yang ada di dalam Bumi (tanah, laut, hutan, dan termasuk juga sinar matahari, udara, serta air).

b. Tenaga Kerja.

Tenaga kerja adalah segala kemampuan manusia yang diwujudkan dalam kegiatan, baik jasmani maupun rohani, yang dicurahkan dalam proses

(3)

produksi untuk menghasilkan barang, jasa maupun meningkatkan faedah suatu barang.

c. Modal.

Hasil faktor produksi atau hasil produksi yang digunakan untuk menghasilkan produk lebih lanjut disebut modal. Dalam proses produksi, modal dapat berupa peralatan-peralatan dan bahan-bahan. Oleh karena peralatan dan bahan-bahan itu dapat diperoleh dengan uang, modal dapat juga berupa uang. d. Kewirausahaan.

Dalam proses produksi pengusaha berusaha mengkombinasikan berbagai faktor produksi untuk menghasilkan suatu produk dengan harapan memperoleh keuntungan (laba). Keuntungan ini dapat dicapai jika mereka berhasil menyelenggarakan usaha produksinya. Akan tetapi, jika gagal mereka akan menanggung resiko rugi. Keberanian orang untuk bertanggungjawab dan menanggung resiko usaha produksi ini disebut kewirausahaan.

Vincent Gasperesz (2001:170) juga menyatakan elemen input dalam sistem produksi ada dua macam yaitu input variabel dan input tetap, yaitu sebagai berikut:

a. Tenaga Kerja (Operasi system produksi membutuhkan intervensi manusia dan orang-orang yang terlibat dalam proses system produksi dianggap sebagai input tenaga kerja).

b. Modal (Operasi system produksi membutuhan modal. Dalam ekonomi manajerial, berbagai macam fasilitas peralatan, mesin-mesin produksi, bangunan pabrik, gudang, dan lain-lain dianggap sebagai modal.)

c. Material (Agar system produksi dapat menghasilkan produk manufaktur, maka diperlukan material atau bahan baku.)

d. Energi (Mesin-mesin produksi dan aktivitas pabrik lainnya membutuhkan energi untuk menjalankan aktivitasnya.)

e. Tanah (Sistem produksi manufaktur membutuhkan lokasi untuk mendirikan pabrik, gudang)

(4)

f. Informasi (Dalam suatu perusahaan, diperlukan adanya informasi yang berguna bagi perusahaan, sehingga perusahaan bisa memprediksi kondisi yang sedang ada di pasaran.

g. Managerial (Pengaturan dalam perusahaan juga sangat diperlukan, sehingga perusahaan bisa menjalankan proses produksi sesuai dengan yang telah direncanakan dan diatur sebagimana mestinya, sehingga proses produksi bisa berjalan dengan efisien.

2.1.3 Skala Hasil Produksi

2.1.3.1 Konsep Skala Hasil Produksi

Perusahaan besar maupun kecil dalam melakukan kegiatan usaha produksi pasti memiliki suatu tujuan tertentu, salah satunya adalah bagaimana suatu perusahaan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena tidak satu pun organisasi produksi menginginkan kerugian dalam proses produksinya, sehingga dengan segala kemampuan dalam organisasi perusahaan, mereka melakukan produksi seefektif dan seefisien mungkin untuk memaksimalkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh perusahaan akan menentukan kondisi perusahaan di masa yang akan datang, penentuan kondisi perusahaan masa yang akan datang tersebut berkaitan dengan skala hasil produksi.

Konsep skala hasil suatu perusahaan atau produsen dalan waktu jangka panjang sangat bermanfaat keberadaannya, dengan adanya konsep tersebut maka seorang manager perusahaan akan mudah untuk mengadakan evaluasi mengenai kegiatan produksi perusahaan, apakah sistem produksi yang digunakan itu masih akan memberikan kontribusi terhadap outputnya menjadi lebih besar, sama dengan atau bahkan malah lebih kecil secara proporsional terhadap perubahan dalam penggunaan input.

(5)

Mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari kegiatan usaha produksi merupakan perilaku produsen yang sangat wajar, baik itu produsen skala besar maupun yang berskala kecil semuanya pasti menginginkan keuntungan, hal ini tergantung dari seberapa besar produsen mampu melakukan kegiatannya untuk mendatangkan keuntungan tersebut. Dengan keuntungan yang produsen peroleh, maka akan menentukan perkembangan usaha yang dilakukan oleh produsen untuk masa yang akan datang.

Besar kecilnya keuntungan yang akan dicapai oleh perusahaan atau para produsen sangat tergantung pada tingkat skala hasil (returns to scale). Skala hasil merupakan derajat sejauh mana output berubah akibat perubahan tertentu dalam kuantitas semua input yang dipakai dalam produksi. Dalam jangka panjang semua input adalah variabel sehingga perubahan pada input akan menyebabkan perubahan pada output.

Hasil terhadap skala (returns to scale) menurut Samuelson (1999:132) yaitu pengaruh peningkatan skala input terhadap kuantitas yang diproduksi yang mencerminkan keresponsifan produk total bilamana semua input di tingkatkan secara proporsional. Terdapat tiga kondisi skala hasil yaitu:

1. Skala usaha dengan kenaikan hasil yang semakin bertambah (increasing

returns to scale) yaitu terjadi apabila peningkatan semua input

menyebabkan peningkatan semua output yang lebih besar.

2. Skala usaha dengan kenaikan hasil tetap (constant returns to scale) yaitu menunjukkan kasus bilamana perubahan semua input menyebabkan kenaikan output dengan jumlah yang sama.

3. Skala usaha dengan hasil yang semakin menurun (decreasing returns to

scale) yaitu timbul bilamana peningkatan semua input dengan jumlah yang

sama menyebabkan peningkatan total output yang kurang proporsional. (Paul A. Samuelson & William D. Nordhaus, 1999:132)

(6)

Hal yang sama mengenai skala hasil suatu produksi (Returns to Scale), juga diungkapkan Soekartawi dalam bukunya mengenai Teori Ekonomi

Produksi, bahwa Returns To Scale (RTS) perlu diperhitungkan agar perusahaan

mengetahui apakah kegiatan dari suatu usaha yang tersebut mengikuti kaidah

increasing returns to scale, constant returns to scale, atau decreasing returns to scale.

Dengan demikian ada tiga kemungkinan alternatif dari hasil produksi, yaitu:

1. Decreasing Returns to Scale, dalam keadaan demikian, dapat diartikan

bahwa proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi. Artinya, peningkatan semua input dengan jumlah yang sama menyebabkan peningkatan total output yang kurang proporsional.

2. Constant Returns to Scale, dalam keadaan demikian penambahan faktor

produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh. Artinya perubahan semua input menyebabkan peningkatan output dengan jumlah yang sama.

3. Increasing Returns to Scale, ini artinya bahwa proporsi penambahan faktor

produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. Artinya, peningkatan semua input menyebabkan peningkatan output yang lebih besar. (Soekartawi, 1994:167).

Robert S. Pyndick & Daniel Rubinfeld (2007:231-232) mengungkapkan tentang returns to scale adalah pengaruh peningkatan skala input terhadap kuantitas yang diproduksi. Dengan kata lain returns to scale mencerminkan keresponsifan produk total bilamana semua input ditingkatkan secara proporsional. Increasing bisa timbul karena semakin besarnya skala operasi para manager dan para pekerja utuk menspesialisasi tugasnya dan mendayagunakan pabrik serta peralatan yang lebih canggih dalam skala yang lebih besar. Adanya pengembalian yang meningkat merupakan masalah yang penting dari segi kebijakan publik. Jika ada pengembalian yang meningkat maka secara ekonomis

(7)

menguntungkan untuk mempunyai satu perusahaan besar yang berproduksi (dengan biaya yang relatif lebih rendah) daripada mempunyai banyak perusahaan (dengan biaya yang relatif lebih tinggi). Karena perusahaan besar ini dapat mengendalikan harga yang ditetapkannya perlu ada regulasi. Sedangkan dengan skala pengembalian tetap (constant returns to scale), besarnya operasi perusahaan tidak mempengaruhi produktivitas faktor-faktornya. Produktivitas rata-rata marginal dari input-input tetap konstan apakah pabrik itu kecil atau besar. Dengan skala pengembalian tetap, suatu pabrik yang menggunakan proses produksi tertentu dengan mudah dapat dibuat kembali, sehingga kedua pabrik memproduksi output dua kali lipat. Kemudian untuk pengembalian skala menurun (decreasing

returns to scale) mungkin sekali terjadi pada setiap perusahaan dengan operasi

skala besar. Akhirnya kesulitan-kesulitan yang dihadapi managemen mengenai kerumitan organisasi dan mengelola operasi skala besar dapat mengakibatkan penurunan produktivitas dari tenaga kerja maupun modal. Komunikasi antara pekerja dan manager sulit untuk dipantau dan tempat kerja semakin tidak menyenangkan. Dengan demikian masalah skala pengembalian menurun berkaitan dengan masalah tentang koordinasi dan mempertahankan garis komunikasi yang bermanfaat antara manajemen dan pekerja.

Vincent Gasperz (2001: 219) juga mengungkapkan bahwa ”suatu sistem produksi dikatakan berada dalam skala output yang meningkat (increasing returns

to scale), apabila semua input di tingkatkan penggunaannya dalam proporsi yang

sama akan meningkatkan output lebih besar daripada proporsi itu. Suatu sistem produksi dikatakan berada pada skala output yang konstan (constant returns to

(8)

scale) apabila semua input di tingkatkan penggunaannya dalam proporsi yang

sama, akan meningkatkan output tepat sama dengan proporsi itu. Suatu sistem produksi dikatakan berada pada skala output yang menurun (decreasing returns to

scale), apabila semua input ditingkatkan penggunaannya dalam proporsi yang

sama akan meningkatkan otuput lebih kecil dari proporsi itu.

Sedangkan Lipsey, Courant, Purvis, Steiner (1995:273) dalam buku Pengantar Ilmu Ekonomi, menyatakan bahwa :

”biaya meningkat (increasing returns to scale) dalam output yang lebih besar daripada qm, perusahaan menghadapi biaya yang meningkat. Perluasan produksi, walaupun waktu yang telah berlaku sudah cukup untuk mengadakan semua penyelesaian, akan disertai oleh kenaikan biaya rata-rata per unit output jika biaya per unit input adalah konstan, maka kenaikan biaya ini pastilah disebabkan oleh perluasan output yang proporsinya lebih kecil dari perluasan input. Perusahaan yang menghadapi kondisi seperti itu sedang mengalami hasil yang semakin menurun (decreasing returns to scale) dalam jangka panjang. Hasil yang menurun dalam jangka panjang berbeda dari hasil yang menurun dalam jangka pendek. Dalam jangka pendek paling tidak satu faktor produksi adalah tetap dan hukum hasil yang semakin berkurang (low of deminishing

returns) menyatakan bahwa hasil bagi faktor variabel akhirnya akan

berkurang. Dalam jangka panjang semua faktor adalah variabel dan ada kemungkinan bahwa hasil yang berkurang secara fisik tidak akan pernah terjadi paling tidak selama ada kemungkinan yang jelas untuk menaikkan input dari semua faktor. Hasil yang konstan (constant returns to scale) berarti bahwa biaya rata-rata jangka panjang perusahaan per unit output tidak akan berubah apabila outputnya berubah karena harga faktor diasumsikan tetap, maka ini berarti bahwa output perusahaan meningkat secepat kenaikan inputnya. Perusahaan tersebut dikatakan sedang mendapat hasil yang konstan.

Memperjelas pendapat–pendapat diatas, Tati Soehartati Joesron (2003:90-91) mengungkapkan bahwa ada tiga kondisi skala hasil (returns to

(9)

a. Constrant Returns to Scale

Keadaan ini terjadi apabila semua faktor produksi ditambah secara proporsional (misalnya sebesar m kali), maka besarnya output akan bertambah dalam jumlah yang sama dengan tambahan input yang dihasilkan. Hal ini dapat di lihat dari gambar:

K 2K b K a b 2Q Q L 2L L Gambar 2.1

Constant Returns to Scale (oa=ab)

Awalnya input yang digunakan oleh produsen untuk berproduksi sebanyak Q output adalah sebesar K dan L. Apabila input ditingkatkan dua kali lipat sehingga menjadi 2K dan 2L, maka output akan naik sebanyak dua kali lipat pula menjadi 2Q. Pada gambar diatas ditunjukkan dengan ob adalah dua kali lipat oa, atau oa sama dengan ab.

b. Increasing Returns to Scale

Keadaan ini terjadi apabila semua faktor produksi ditambah secara proporsional (misalnya besar m kali), maka besarnya output bertambah dalam jumlah yang lebih besar daripada tambahan jumlah input. Keadaan ini dapat digambarkan sebagai berikut:

a

(10)

K b’ b 2K K a b b’ 2Q Q L 2L L Gambar 2.2

Increasing Returns to Scale (oa<ab)

Awalnya input yang digunakan oleh produsen untuk berproduksi sebanyak Q output adalah sebesar K dan L. Apabila input ditingkatkan dua kali lipat sehingga menjadi 2K dan 2L, maka pada kasus ini, output naik lebih dari dua kali lipat. Hal itu di tunjukkan dengan oa lebih kecil dari ab (oa<ab)

c. Decreasing Returns to Scale

Keadaan ini terjadi apabila semua faktor produksi ditambah secara proporsional (misalnya sebesar m kali), maka besarnya output bertambah dalam jumlah yang lebih kecil daripada tambahan jumlah input.:

K b’ 2K K a b’ b Q 2Q L 2L L Gambar 2.3

Decreasing Returns to Scale (oa>ab)

a

a

a

a b

(11)

Awalnya input yang digunakan oleh produsen untuk berproduksi sebanyak K dan L. Apabila input dinaikkan dua kali lipat sehingga menjadi 2K dan 2L maka output akan naik tidak sebesar dua kali lipat (<2Q). Pada gambar di atas di tunjukkan dengan oa lebih besar dari ab (oa>ab).

Selain pendapat diatas Dominick Salvatore (2005:275) juga mengungkapkan bahwa skala hasil meningkat karena sejalan dengan skala operasi yang semakin meningkat, semakin besar pembagian dan spesialisasi tenaga kerja yang dapat terjadi dan lebih terspesialisasi sehingga produktivitas mesin dapat digunakan. Skala hasil menurun, di lain pihak timbul terutama karena dengan skala operasi yang meningkat makin sulit memperoleh perusahaan yang efektif dan mengkoordinasikan ke berbagai operasi dan divisi pada perusahaan tersebut. Dalam dunia nyata, kekuatan untuk skala hasil yang meningkat atau menurun sering beroperasi beriringan, dimana yang pertama biasanya terjadi pada tingkat output yang lebih besar.

2.1.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Skala Hasil Produksi (Returns to

Scale)

Roger L. Miller dan Roger E. Meiners (1994:321-322) mengungkapkan beberapa alasan mengapa skala hasil meningkat atau menurun, yaitu:

a. Alasan Skala Hasil Meningkat 1) Spesialisasi

Ketika skala operasi perusahaan meningkat, peluang untuk melakukan spesialisasi dalam pemakaian sumber daya atau input juga bertambah besar. Hal

(12)

ini sering disebut sebagai pertambahan divisi tugas atas operasi. Istilah yang lebih lazim ialah peningkatan spesialisasi, akan peningkatan pembagian tugas (division

of labour). Manfaatnya sejak lama telah diakui. Salah satunya karya termahsyur

yang menonjolkan manfaat spesialisasi adalah kasus pabrik kancing oleh Adam Smith. Faktor tenaga kerja staf manajerial mudah diukur proses spesialisasinya. Semakin besar suatu perusahaan akan semakin terspesialisir staf managerialnya, sehingga perusahaan itu lebih berpeluang memetik manfaat teknologi managerial yang lebih baik.

2) Faktor Dimensional

Perusahaan-perusahaan berskala besar sering mengharuskan penambahan output lebih banyak dari penambahan inputnya, karena banyak jenis input yang secara fisik tidak perlu ditambah dua kali lipat untuk memperbanyak outputnya dua kali lipat. Ambillah biaya penyimpanan minyak sebagai contoh. Biaya penyimpanan minyak ini pada dasarnya ditentukan oleh biaya baja dan bahan-bahan yang digunakan untuk membangun ruang penyimpanan itu, namun jumlah baja yang diperlukan untuk memperbesar daya tampung kontainernya lebih kecil daripada penambahan luas atau volume daya tampung tersebut.

3) Faktor Transportasi

Biaya transportasi per unit akan turun jika wilayah pasar meningkat atau meluas. Ukuran perluasan wilayah per

π

r2 (ini adalah rumus luas bidang lingkaran, dimana r adalah radian/ jari-jari lingkaran tersebut). Panjang radius itu sama dengan jarak transportasi dari pusat ke tepi lingkaran jarak transportasi baru

(13)

akan meningkat hingga dua kali lipat apabila wilayah pasar bertambah luasnya empat kali lipat.

4) Perbaikan Peralatan Produksi

Semakin besar skala suatu perusahaan, akan semakin besar peluang dan kemampuannya memanfaatkan suatu peralatan untuk berbagai keperluan sehingga dapat memperbanyak hasil tanpa terlalu banyak menambah biaya. Hal serupa sulit dilaksanakan oleh perusahaan berskala kecil, mereka terpaksa mengerahkan mesin kecil yang kemampuannya lebih terbatas karena bila mereka memakai mesin yang terlalu besar atau terlalu canggih, beban biaya yang bisa mereka pikul bisa melebihi pendapatannya.

b. Alasan Skala Hasil Menurun

1) Keterbatasan Fungsi Manajemen Secara Efisien

Semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan, semakin banyak lagi jumlah manajer yang harus ditambahkan, dan ini bisa mengakibatkan peningkatan biaya per unit (per satuan).

2) Kendala Fisik

Sebagian jenis input diliputi keterbatasan atau kendala fisik. Sebagai contoh, jika bahan baku bertambah dua kali lipat, padahal kontribusi mesin itu terhadap hasil produksi belum tentu meningkat hingga dua kali lipat. Skala hasil produksi slalu berkaitan dengan faktor biaya, karena ketika biaya rata-rata menurun maka kenaikan hasil berada pada kondisi meningkat (increasing returns

(14)

returns to scale akan mengakibatkan biaya rata-rata naik atau disebut dengan diseconomic of scale.

Dominick Salvatore (1994:185) dalam Tati Joesron (2003:131) yang mejelaskan bahwa ”ekonomi skala besar memungkinkan pengurangan biaya. Artinya bertambahnya skala usaha menyebabkan penurunan biaya rata-rata maka diperoleh economic of scale. Namun keadaan ini tidak berlangsung terus menerus, pada suatu tingkat tertentu, kenaikan skala usaha justru akan menaikkan biaya rata-rata dalam jangka panjang (diseconomic of scale).”

Karl E Case dan Ray C Fair (2002: 244), mengungkapkan bahwa: ”bagi perusahaan tertentu bertambahnya skala atau ukuran akan mengurangi biaya bagi perusahaan lainnya. Peningkatan skala menjurus ke

inefisiensi dan pemborosan. Apabila peningkatan skala produksi

perusahaan menyebabkan turunnya biaya rata-rata, kita mengatakan bahwa ada hasil menaik saat skala bertambah, atau skala ekonomi (dalam istilah ”skala ekonomi” berarti hemat). Apabila biaya rata-rata tidak berubah, kita mengatakan bahwa terdapat hasil yang konstan suatu skala bertambah. Akhirnya apabila kenaikan skala produksi perusahaan menyebabkan biaya rata-rata menjadi lebih tinggi kita mengatakan terdapat hasil yang menurun saat skala bertambah atau skala diseconomic.”

T. Sunaryo (2001:140) juga menyebutkan bahwa ”Economic of scale akan tercermin dengan penurunan biaya rata-rata sejalan dengan kenaikan jumlah produksi. Penurunan harga rata-rata ini diiringi dengan kenaikan penggunaan input (semua) secara proporsional, sehingga rasio modal dan tenaga kerja adalah tetap. To scale artinya semua faktor produksi berubah secara proporsional. Realisasi konsep ini tercermin dalam ukuran perusahaan. Jika produsen cenderung untuk tidak mereplikasi unit produksi, maka ongkos produksi rata-rata cenderung menurun. Jika pangsa pasar produsen cenderung membesar, hal ini mengindikasikan bahwa produsen tersebut menikmati economic of scale.

(15)

Struktur biaya tergantung pada masing-masing industri. Industri yang padat karya biasanya karakteristik biaya rata-ratanya (dan biaya marginalnya) relatif tetap karena proses produksinya bersifat constant returns to scale. Sebaliknya industri yang padat kapital atau padat otak, biaya rata-ratanya (dan biaya marginalnya) akan turun, karena proses produksinya bersifat increasing

returns to scale. Dan biaya industri manufaktur untuk skala jangka pendek adalah

turun dan proses produksi industri ini pada skala jangka panjang bersifat

economies of scale. (T. Sunaryo, 2001:140).

Menurut Berndt (1996:64) dalam Tati Joesron (2003:131) ”terdapat hubungan antara biaya rata-rata dengan hasil atas skala (returns to scale). Pada kondisi biaya rata-rata menurun sebagai akibat kenaikan produksi maka hasil atas skala (returns to scale) meningkat. Sebaliknya pada kondisi biaya rata-rata meningkat sebagai akibat kenaikan produksi maka returns to scale menurun, dan pada saat biaya rata-rata mencapai minimum maka returns to scale berlaku konstan.” Sadono Sukirno (1994:220-221) mengungkapkan, ”skala dalam kegiatan produksi dikatakan bersifat skala ekonomis apabila pertambahan produksi mengakibatkan ongkos rata-rata produksi semakin rendah. Produksi yang semakin tinggi menyebabkan perusahan menambah kapasitas memproduksi, dan pertambahan kapasitas ini menyebabkan kegiatan produksi bertambah efisien. Ini dicerminkan oleh ongkos produksi yang semakin rendah.”

Sukirno (1994: 220-221) juga menguraikan beberapa faktor yang mempengaruhi skala ekonomis, diantaranya:

(16)

a. Spesialisasi Faktor-Faktor Produksi

Dalam perusahaan yang kecil ukurannya para pekerja harus menjalankan beberapa tugas. Oleh karena itu mereka tidak dapat mencapai keterampilan yang tinggi di dalam mengerjakan pekerjaan tertentu. Dalam perusahaan besar dilakukan spesialisasi, dimana setiap pekerja diharuskan melakukan suatu pekerjaan tertentu saja, dan ini akan menambah keterampilan mereka. Sehingga produktivitas mereka akan bertambah tinggi dan akan menurunkan ongkos per unit.

b. Pengurangan Harga Bahan Mentah dan Kebutuhan Produksi

Setiap perusahaan harus membeli bahan mentah, mesin-mesin dan berbagai jenis peralatan untuk melakukan kegiatan produksi. Harga bahan-bahn tersebut akan menjadi bertambah murah apabila pembelian bertambah banyak. Makin tinggi produksi makin banyak bahan-bahan mentah dan peralatan produksi yang digunakan, maka ongkos per unit akan menjadi semakin murah

c. Memungkinkan Barang Sampingan (By Products) Diproduksikan

Dalam perusahaan ada kalanya terdapat bahan-bahan yang terbuang (’waste’) yaitu barang-barang yang tidak terpakai yang merupakan residu yang diciptakan oleh proses produksi. Dalam perusahaan yang kecil biasanya jumlahnya tidak banyak dan adalah tidak ekonomis untuk diproses menjadi barang sampingan. Tetapi jika di perusahaan besar memiliki barang residu cukup banyak barang residu ini dapat diproses menjadi barang sampingan. Kegiatan ini akan menurunan ongkos per unit daripada keseluruhan organisasi perusahaan.

(17)

d. Perusahaan yang Besar Mendorong Pengembangan Kegiatan Usaha Diluar Perusahaan yang Berguna Kepada Perusahaan.

Suatu perusahan yang sudah berskala besar timbul permintaan yang cukup ekonomis untuk mengembangkan kegiatan usaha lain yang menghasilkan barang-barang atau fasilitas yang dibutuhkan perusahaan yang besar tersebut. Dengan perkembangan perusahaan tersebut, maka pemerintah sediakalanya akan memperbaiki infrastruktur untuk memperlancar kegiatan perusahaan, sehingga dengan perkembangan yang cukup banyak maka akan mengurangi ongkos produksi.

Boediono (1990:119) menjelaskan bahwa, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan penurunan atau kenaikan ongkos produksi suatu perusahaan dalam jangka panjang, faktor-faktor tersebut adalah:

a. Kenaikan atau Penurunan Input yang Digunakan

Apabila suatu industri memperbesar volume outputnya, ada kemungkinan harga dari input yang dipergunakan naik. Akibatnya ongkos produksi naik.

b. External Economies & External Dis Economies 1) External Economies

External Economies adalah penghematan ongkos produksi atau kenaikan

produktivitas yang diakibatkan oleh faktor-faktor ekstern dilihat dari segi perusahaan yang bersangkutan. Misal (perbaikan jalan baru oleh pemerintah yang kebetulan melewati lokasi perusahaan tersebut sehingga pengangkutan bahan mentah dan penjualan output lebih lancar)

(18)

2) External Dis Economies

External Dis Economies adalah kenaikan ongkos produksi atau penurunan

produktivitas suatu perusahaan yang disebabkan oleh karena tindakan-tindakan orang atau pihak lain. Misal ada pabrik bahan kimia yang baru didirikan di dekat perusahaan tambak ikan, perusahaan tambak ikan mengalami diseconomic of

scale karena produktivitas ikan menurun akibat polusi kimiawi dari pembuatan

zat-zat kimia tersebut.

2.1.3.3 Cara-Cara Perhitungan Skala Hasil Produksi (Returns to Scale)

Kondisi tingkat skala ekonomis atau returns to scale pada suatu perusahaan dapat dihitung dengan menggunakan rumus elastisitas biaya sebagai berikut: Q TC c ∆ ∆ = % %

ε

= elastisitas dari biaya relatif terhadap output

Atau Q Q C TC c / / ∂ ∂ =

ε

TC Q x Q TC ∆ ∆ = (James L Papas (1995:391)

Keterangan:

ε

c = elastisitas biaya

∆TC = selisih biaya produksi

∆Q = selisih produksi Q = jumlah produksi awal TC = jumlah biaya produksi awal

(19)

Jika

ε

>1 : Bila Q naik C naik lebih besar (diseconomic of scale) Jika

ε

<1 : Bila Q naik C naik lebih kecil (economic of scale)

Jika Maka

Tingkat pengembalian terhadap skala Persentase perubahan dalam TC<Persentase perubahan dalam Q

Persentase perubahan dalam TC=Persentase perubahan dalam Q Persentase perubahan dalam TC>Persentase perubahan dalam Q

ε

c < 1

ε

c = 1

ε

c > 1 Menaik Konstan Menurun

Dengan elastisitas biaya yang kurang dari 1 (

ε

c<1), biaya meningkat dengan laju yang lebih rendah daripada keluaran. Dengan harga masukan yang konstan, hal ini menyiratkan rasio keluaran terhadap masukan yang lebih tinggi dan tingkat pengembalian yang meningkat. Jika

ε

c= 1 maka keluaran dan biaya meningkat secara proporsional, yang menyiratkan tingkat pengembalian terhadap skala yang konstan. Dan terakhir

ε

c>1, maka untuk setiap kenaikan dalam keluaran, biaya meningkatkan dalam jumlah yang relatif lebih besar yang menyiratkan tingkat pengembalian terhadap skala yang menurun. (James L Papas, 1995:391)

Dapat disimpulkan bahwa, berkaitan dengan elastisitas biaya dan tingkat pengembalian terhadap skala, hubungan terbalik berlaku disini antara biaya dengan skala ekonomi, karena ketika biaya produksi meningkat maka skala ekonomi produksi mengalami penurunan begitupun sebaliknya.

2.1.4 Bahan Baku

2.1.4.1 Konsep Bahan Baku

Berdasarkan konsep faktor produksi yang telah diuraikan diatas, yang termasuk ke dalam input produksi salah satunya adalah bahan baku. Bahan baku merupakan bahan dasar yang digunakan dalam proses produksi, keberadaan bahan baku ini akan sangat mempengaruhi kelangsungan produksi yang nantinya berpengaruh pada output yang dihasilkan. Karena bahan baku merupakan unsur paling aktif dalam aktivitas produksi yang merupakan mata rantai dalam proses produksi. Sumber bahan baku biasanya diperoleh secara langsung dari alam,

(20)

namun dalam pengertian ini, bahan baku lebih di tekankan pada bahan secara fisik langsung berhubungan dengan produksi. Tanpa adanya bahan baku, maka tidak akan ada barang yang diproduksi, dengan demikian proses produksi akan terhenti. Agar system produksi dapat menghasilkan produk manufaktur, maka diperlukan material atau bahan baku. Dan material ini diklasifikasikan sebagai input variabel. Bahan baku bagi industri yang bergerak dalam suatu proses produksi merupakan kebutuhan mutlak yang harus terpenuhi, agar kegiatan produksi dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan. Disamping itu bahan baku merupakan salah satu komponen terpenting dalam suatu proses produksi disamping kemampuan tenaga kerja dan mesin yang digunakan. Oleh karena itu bahan baku dan bahan penolong serta sumber daya yang diperlukan harus cukup tersedia., persediaan tersebut hrus sesuai dengan kebutuhan sehingga biaya bahan baku menjadi efisien. (Suryana, 2006:189)

Suparno (1994:20) mengartikan biaya bahan baku sebagai harga perolehan dari bahan baku yang dipakai dalam pengolahan produk. Sedangkan yang termasuk ke dalam biaya bahan baku yaitu sejumlah harga beli bahan baku ditambah dengan biaya-biaya pengeluaran, penggudangan dan biaya perolehan lain. Jadi biaya bahan baku adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan bahan baku yang membentuk produk jadi.

Harga bahan baku berkaitan dengan biaya produksi, dengan adanya kenaikan harga bahan baku maka akan menaikkan juga biaya produksi suatu produk sehingga hal ini selanjutnya akan menjadi penyebab diseconomic of scale jika kenaikan harga bahan lebih tinggi daripada output yang dihasilkan. James L.

(21)

Papas (1995:107) menyatakan “kenaikan harga bahan baku akan menaikkan biaya produksi sedangkan menurunnya harga bahan baku akan meningkatkan profitabilitas. Bahan baku adalah bahan utama untuk membuat suatu produk dan biasanya bersumber langsung dari alam. Bahan baku merupakan suatu keharusan setiap proses produksi yang menentukan kelangsungan hidup produksi tersebut.”

Gunawan & Marwan (1996:213) mengungkapkan bahwa, ”bahan baku mentah langsung adalah semua bahan mentah yang merupakan bagian barang jadi yang dihasilkan. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan mentah langsung ini mempunyai hubungan yang erat dan sebanding dengan jumlah barang jadi yang dihasilkan. Sehingga biaya bahan mentah langsung merupakan biaya variabel bagi perusahaan. Bahan mentah tidak langsung adalah bahan mentah yang ikut berperan dalam proses produksi, tetapi tidak secara langsung tampak pada barang jadi yang dihasilkan.”

Senada dengan pendapat Gunawan dan Marwan, M. Nafarin (2004:83) bahan baku merupakan bahan langsung yaitu bahan yang membentuk suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari produk jadi. Bahan baku adalah bahan utama dari suatu produk. Bahan baku biasanya mudah ditelusuri dalam suatu produk dan harganya relatif tinggi dibandingkan dengan harga bahan pembantu. Bahan baku dipakai dalam satuan uang disebut biaya bahan baku. Biaya bahan baku dalam satuan barang barang dikali harga pokok barang per satuan disebut biaya bahan baku. Harga bahan baku dalam penelitian ini tergantung pada permintaan dan penawaran akan bahan baku tersebut sehingga jelas bahan baku dengan

(22)

tersedianya bahan baku tersebut akan sangat tergantung pada harga pasar faktor produksi.

2.1.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Harga Bahan Baku

Menurut M Nafarin (2004:83-84) besar kecilnya harga bahan baku yang dimiliki perusahaan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya:

a. Anggaran Produksi

Semakin besar produksi yang dianggarkan maka semakin besar bahan baku yang disediakan. Sebaliknya, semakin kecil produksi yang dianggarkan semakin kecil pula bahan baku yang digunakan.

b. Harga Beli Bahan Baku

Semakin tinggi harga beli bahan baku, semakin tinggi persediaan bahan baku yang direncanakan. Sebaliknya semakin rendah harga bahan baku yang dibeli, semakin rendah persediaan bahan baku yang direncanakan.

c. Biaya Penyimpanan Bahan Baku di Gudang

Apabila biaya penyimpanan bahan baku di gudang lebih kecil dibanding dengan biaya ekstra yang dikeluarkan sebagai akibat kehabisan persediaan, maka perlu persediaan bahan baku yang besar dan sebaliknya.

d. Ketepatan Standar Bahan Baku di Gudang

Semakin cepat standar bahan baku dipakai yang dibuat, semakin kecil persediaan bahan baku yang direncanakan. Sebaliknya bila standar bahan baku yang dipakai yang dibuat sulit untuk mendekati ketepatan, maka persediaan bahan baku yang direncanakan adalah besar.

(23)

e. Ketepatan Pemasok (Penjual Bahan Baku) dalam Menyerahkan Bahan Baku yang Dipesan.

Apabila pemasok biasanya tidak tepat dalam menyerahkan bahan baku yang dipesan maka persediaan bahan baku yang direncanakan jumlahnya besar. Sebaliknya, bila pemasok biasanya tepat dalam menyerahkan bahan baku, maka bahan baku yang direncanakan jumlahnya kecil.

f. Jumlah Bahan Baku dalam Setiap Bulan

Bila bahan baku tiap kali pesan jumlahnya besar, maka persediaan yang direncanakan juga besar. Sebaliknya bila bahan baku setiap kali pesan jumlahnya kecil, maka persediaan yang direncanakan kecil.

Berdasarkan uraian teori diatas, harga bahan baku memiliki hubungan langsung dengan biaya produksi, ketika harga bahan baku meningkat maka akan meningkatkan pula biaya total produksi, peningkatan biaya total produksi yang tidak proporsional dengan output yang dihasilkan akan menurunkan skala hasil produksi. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan yang terbentuk antara harga bahan baku dan skala hasil produksi adalah berbanding terbalik:

Harga Bahan , Biaya Total , Skala Hasil / (DRTS)

2.1.5 Upah

2.1.5.1 Konsep Upah

Berdasarkan konsep faktor produksi yang telah diuraikan diatas, yang termasuk ke dalam input produksi salah satunya adalah tenaga kerja, tenaga kerja ini perlu diberikan imbalan atas jasanya tersebut, yakni diberikan upah. Upah

(24)

dalam pengertian ekonomi yaitu pembayaran yang diperoleh berbagai bentuk jasa yang disediakan dan diberikan oleh tenaga kerja kepada pengusaha. Menurut Sadono Sukirno (1994:349) ”pembayaran terhadap tenaga kerja dapat dibedakan menjadi dua pengertian. Yaitu gaji dan upah. Dalam pengertian sehari-hari gaji diartikan sebagai pembayaran kepada pekerja-pekerja tetap dan tenaga kerja profesional, seperti pegawai pemerintah, dosen, guru, manager dan akuntan dimana pembayarannya tersebut biasanya dilakukan sebulan sekali. Sedangkan upah adalah pembayaran kepada para pekerja-pekerja kasar yang pekerjaannya selalu berpindah-pindah, seperti misalnya pekerja pertanian, tukang kayu, tukang batu dan buruh kasar.”

Menurut Jeef Madura (2001:40) ”gaji atau upah adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk sebuah pekerjaan selama periode tertentu. Gaji dapat dinyatakan dalam periode per jam, per periode pembayaran atau per tahun, dan jumlahnya tetap selama periode tertentu.” Moekijat (2003:123-124) menyatakan bahwa :

”Pendapatan tidak sama dengan upah. Pendapatan menunjukkan suatu produk, yakni hasil memperbesar suatu nilai dengan jumlah periode atau kesatuan untuk mana nilai itu dibayar. Pendapatan dapat menggabungkan beberapa nilai seperti bila pekerjaan mengandung lembur. Untuk pekerja jam-jaman, ukuran pembayaran yang umum adalah rata-rata penghasilan per minggu. Upah real (real wages) menunjukkan standar upah (wages

rate) atau pendapatan (earnings). Take home pay adalah suatu ukuran

tentang pendapatan yang meliputi pembayaran premi akan tetapi tidak termasuk pengurangan untuk keamanan social, pajak penghasilan, obligasi, asuransi dan beban lainnya.

Menurut T. Gilarso (1994: 55-56) upah adalah balas karya untuk faktor produksi tenaga kerja (dalam arti luas, termasuk gaji, honorarium, uang lembur, tunjangan, dsb). Biasanya dibedakan upah nominal dan upah riil. Upah nominal

(25)

adalah sejumlah uang yang diterima dan upah riil adalah jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli dengan upah uang itu. Upah dalam arti sempit khusus dipakai untuk tenaga kerja yang bekerja pada orang lain dalam hubungan kerja (sebagai karyawan/buruh). Di Indonesia banyak orang berusaha sendiri dan tidak memperhitungkan upah untuk dirinya sendiri. Tapi dalam analisis ekonomi, besar kecilnya balas karya mereka sebagai tenaga kerja seharusnya ikut diperhitungkan. Yang disebut tingkat upah adalah taraf balas karya rata-rata yang berlaku umum dalam masyarakat untuk segala macam pekerjaan. Tingkat upah ini dapat diperhitungkan perjam, per hari, minggu, bahkan tahun.

J. R. Hickcs (1932) dalam Samuelson & Nordhaus (1994:273) mengungkapkan bahwa ”upah adalah harga tenaga kerja”. Sedangkan Malayu Hasibuan (1997:133) upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja harian dengan berpedoman atas perjanjian yang disepakati membayarnya. Sedangkan upah insentif merupakan tambahan balas jasa yang diberikan kepada karyawan tertentu yang prestasinya diatas prestasi standar. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa upah adalah balas jasa yang harus dikeluarkan oleh pengusaha sebagai kompensasi karena telah menggunakan jasa tenaga kerja. Edwin dan Fillipo dalam Malayu Hasibuan (1997:134) menungkapkan bahwa upah di definisikan sebagai balas jasa yang adil dan layak diberikan kepada para pekerja atas jasa-jasanya dalam mencapai tujuan organisasi (perusahaan).

Tedy Herlambang (2002:41) menguraikan bahwa :

”upah merupakan biaya input berkaitan dengan produksi suatu produk. Kenaikan upah akan menaikkan juga biaya produksi suatu produk, sehingga hal ini selanjutnya adalah mengurangi jumlah produk yang ingin diproduksi oleh produsen.

(26)

2.1.5.2 Masalah Upah

T. Gilarso (1994) membagi upah dalam dua segi, yaitu upah untuk produsen dan untuk pihak karyawan. Untuk pihak produsen (majikan) upah merupakan biaya produksi yang mesti di tekan serendah mungkin. Tetapi untuk pihak karyawan upah merupakan sumber penghasilan bagi dirinya dan keluarganya, dengan demikian juga menjadi sumber pembelanjaan bagi masyarakat. Tinggi rendahnya tingkat upah/ gaji langsung meningkatkan pribadi manusia, harga diri dan statusnya dalam masyarakat, serta merupakan faktor penting yang menentukan taraf hidup masyarakat sebagai keseluruhan, oleh karena itu, masalah upah merupakan soal yang peka dan hangat dibicarakan.

Bagi para pencari kerja (=segi suplly) pertimbangan terpenting adalah biaya kebutuhan hidup, upah harus cukup menjamin penghidupan yang layak. Bagi para produsen (=segi demand) prestasi kerja/ produktivitas.

P S’ P2 S P1 D o Q (TK) Gambar 2.4

Kurva Permintaan Tenaga Kerja Sumber T. Gilarso (1994:56)

(27)

Bila penawaran tenaga kerja banyak (kurva S) dibandingkan dengan kurva permintaan (kurva D) tingkat upah cenderung lebih rendah P1. Sebaliknya bila penawaran tenaga kerja sedikit (kurva S’) tingkat upah lebih tinggi P2 persaingan antara pencari pekerjaan dan antara para majikan akan menghasilkan tingkat upah yang tepat artinya yang mengembangkan Supply dan Demand. Dengan demikian sekaligus kesempatan kerja ditentukan, yaitu berapa pekerja yang tertampung.

Payaman Simanjuntak (2001:125) membagi masalah upah dilihat dari beberapa aspek, diantaranya:

a. Timbul dalam Bidang Pengupahan dan Karyawan pada Umumnya

Mempunyai pengertian dan kepentingan berbeda mengenai upah. Bagi pengusaha, upah dapat dipandang sebagai beban, karena semakin besar upah yang dibayarkan kepada para pekerja, semakin kecil proporsi keuntungan bagi pengusaha. Segala sesuatu yang dikeluarkan oleh pengusaha sehubungan dengan mempekerjakan seseorang dipandang sebagai komponen upah: uang tunai tunjangan beras, pengangkutan, kesehatan, pembayaran upah lembur, cuti dan sakit, fasilitas rekreasi dan lain-lain. Di pihak lain karyawan dan keluaganya biasanya menganggap upah hanya sebagai apa yang diterimanya dalam bentuk uang (take home pay).

b. Masalah di Bidang Pengupahan Berhubungan dengan Keanekaragaman Sistem Upah.

Dalam hal ini, kesulitan sering ditemukan dalam perumusan kebijakan nasional. Misalnya dalam hal menentukan pajak pendapatan, upah minimum, upah lembur, dll.

(28)

c. Masalah Lain Adalah Rendahnya Tingkat Upah dan Pendapatan Masyarakat.

Banyak karyawan yang berpenghasilan rendah bahkan lebih rendah daripada kebutuhan fisik minimumnya. Rendahnya tingkat upah pada dasarnya disebabkan oleh dua sebab. Pertama adalah rendahnya tingkat manajemen pengusaha. Tingkat kemampuan manajemen yang rendah menyebabkan banyak keborosan, akibatnya karyawan tidak bekerja secara efisien dan biaya produksi per unit menjadi besar. Dengan demikian pengusaha tidak mampu membayar upah yang tinggi. Sebab kedua adalah rendahnya produktivitas kerja karyawan sehingga pengusaha memberikan imbalan dalam bentuk upah yang rendah juga.

2.1.5.3 Teori Upah

Payaman Simanjuntak (2001:125) mengungkapkan bahwa teori yang mendasari sistem pengupahan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua ekstrim. Ekstrim yang pertama di dasarkan pada ajaran Karl Marx mengenai teori nilai dan pertentangan kelas. Ekstrim yang kedua di dasarkan pada teori pertambahan produk marginal berdasarkan asumsi perekonomiam bebas. Sistem pengupahan dari ekstrim yang pertama umumnya dilaksanakan di negara-negara penganut paham komunis. Sedangkan sistem pengupahan ekstrim yang kedua umumnya digunakan di negara-negara yang digolongkan sebagai kapitalis/ liberal. Sistem upah di berbagai negara termasuk di Indonesia pada umumnya berada diantara dua ekstrim tersebut. Dimana landasan sistem pengupahan di Indonesia adalah UUD pasal 27 ayat 2.

(29)

Teori Upah, diantaranya:

a. Teori Upah Alam (Wajar)

Upah yang wajar adalah upah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup karyawan beserta keluarganya disesuaikan dengan kemampuan perusahaan. Besar kecilnya upah yang wajar beradasarkan hukum alam, yaitu diserahkan pada mekanisme pasar melalui permintaan dan penawaran.

b. Teori Upah Besi

Menurut David Ricardo, menyatakan bahwa upah besi adalah upah yang ditetukan oleh pengusaha. Dengan demikian karyawan harus menerima ketentuan dan kebijakan dari pengusaha. Untuk menghadapi hukum upah besi ini, para karyawan membentuk serikat kerja dalam usaha memperjuangkan kepentingannya.

c. Teori Upah Etika

Menurut T.R. Malthus, upah pekerja disesuaikan dengan etika kesusilaan. Jadi upah yang ideal ialah upah yang besarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi karyawan beserta keluarganya.

d. Teori Upah Produktivitas Batas Kerja

Menurut J. B Clark, menyatakan bahwa tingkat upah ditentukan oleh produktivitas karyawan. Dengan demikian tinggi rendahnya upah tergantung dari kemampuan produktivitas tenaga kerja itu sendiri.

(30)

2.1.5.4 Metode Pembayaran Upah

Moekijat (2003:123) mengungkapkan ”...Istilah upah (wages) dan gaji (salaries) memberikan banyak variasi dalam metode pembayaran. Dalam penggunaannya yang sudah lazim, upah adalah pembayaran kepada para pekerja yang dibayar menurut lamanya jam kerja, karyawan-karyawan produksi (production workers). Gaji adalah pembayaran kepada pegawai tata usaha, pengawas dan manager. Upah dibayarkan kepada mereka yang biasanya tidak mempunyai jaminan untuk dipekerjakan secara terus menerus selama satu minggu, satu bulan dan satu tahun.

T. Gilarso (1994: 59-60) mengungkapkan beberapa metode atau sistem dalam memperhitungkan besarnya upah, diantaraya:

a. Upah Menurut Prestasi (upah potongan)

Dengan cara ini besarnya balas karya langsung dikaitkan dengan prestasi kerja karena besarnya upah tergantung dari banyak sedikitnya hasil yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Cara ini hanya dapat diterapkan kalau hasil kerja biasa diukur secara kuantitatif (dengan memperhitungkan kecepatan mesin, kualitas bahan yang dipakai, dll).

b. Upah Waktu

Besar upah ditentukan atas dasar lamanya waktu karyawan melakukan pekerjaan bagi majikan. Bisa dihitung perjam, per hari per minggu/ per bulan. Sistem ini terutama dipakai untuk jenis pekerjaan yang hasilnya sukar dihitung per potong. Cara ini memungkinkan mutu pekerjaan yang baik, karena karyawan tidak tergesa-gesa, administrasinya pun cepat dan sederhana.

(31)

c. Upah Borongan

Upah borongan adalah balas jasa yang dibayar untuk suatu pekerjaan yang di borongkan. Cara perhitungan upah ini kerap kali dipakai pada suatu pekerjaan yang diselesaikan oleh suatu kelompok pekerja. Untuk seluruh pekerjaan ditentukan suatu balas karya yang kemudian dibagi-bagi antara para pelaksana.

d. Upah Premi

Cara ini merupakan kombinasi dari upah waktu dan upah borongan. Upah dasar untuk prestasi normal berdasarkan waktu/ jumlah hasil. Apabila seorang karyawan mencapai prestasi yang lebih dari itu, ia diberi premi. Premi juga dapat diberikan misalnya untuk penghematan waktu, penghematan bahan, kualitas produk yang baik, dsb. Dalam perusahaan modern, patokan untuk prestasi minimal ditentukan secara ilmiah berdasarkan time and motion study.

e. Upah Bagi Hasil

Bagi hasil merupakan cara yang biasa di bidang pertanian dalam usaha keluarga, tetapi juga dikenal di luar kalangan itu. Misalnya karyawan/ pelaksana diberi bagian dari keuntungan bersih; direksi sebuh PT mendapat tantieme; bahkan kaum buruh dapat diberi saham dalam PT tempat mereka bekerja sehingga kaum buruh ikut menjadi pemilik perusahaan.

f. Peraturan Gaji Pegawai Negeri

Gaji pegawai negeri sipil (PGPS) berdasarkan dua prinsip: pendidikan dan masa kerja. Setiap orang diangkat sebagai pegawai negeri mendapat gaji pokok yang ditentukan oleh golongan dan masa kerja.

(32)

2.1.5.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Upah

Dalam penentuan tingkat upah ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, dalam hal ini ada lima hal yang menentukan tingkat upah di kalangan masyarakat, diantaranya:

a. Tingkat Harga

Dalam masyarakat modern, tingkat upah terutama berhubungan dengan tingkat harga. Apabila harga-harga kebutuhan hidup naik, kaum buruh dan para pegawai akan menuntut agar gaji-gaji disesuaikan dan tingkat upah akan naik. Sebaliknya kenaikan upah dapat menyebabkan kenaikan harga (inflasi).

b. Produktivitas Kerja

Dari pihak pengusaha pertimbangan terpenting dalam menentukan upah adalah prestasi kerja atau produktivitas. Bila produktivitas tenaga kerja rendah, upahnya pun akan rendah pula. Di negara-negara maju terutama kenaikan produktivitaslah yang menyebabkan tingkat upah rata-rata yang tinggi. Perlu dicatat bahwa produktivitas kerja sangat dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor produksi lain yang membantu, khususnya mesin-mesin dan alat-alat serta tekhnik produksi yang dipakai.

c. Struktur Ekonomi Nasional

Struktur ekonomi dan taraf perkembangannya sangat berpengaruh atas tingkat upah yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya pertambahan penduduk yang tidak dapat ditampung lagi di sektor pertanian; masih kurangnya industri; banyaknya pengangguran; bersamaan dengan kekurangan tenaga ahli; masih sulitnya komunikasi dan transport; perbedaan-perbedaan lokal/ daerah dan luar

(33)

kota; juga perbedaan antara swasta dan negeri. Misalnya jika banyak pengangguran, kaum buruh akan sulit sekali menuntut kenaikan upah, banyak orang tepaksa menerima upah yang rendah asal mendapat pekerjaan.

d. Peraturan Pemerintah

Banyak hal diatur oleh pemerintah dengan undang-undang dan peraturan, misalnya mengenai upah minimum, keharusan membayar upah lembur, dan terutama peraturan gaji pegawai negeri yang menjadi patokan untuk banyak perusahaan swasta juga.

e. Keadilan dan Perikemanusiaan

Bila seorang karyawan telah mencurahkan tenaga dengan sebaik-baiknya, ia berhak menerima upah yang sekurang-kurangnya cukup untuk hidup layak dengan keluarganya. Ini tuntutan keadilan. Di banyak perusahaan, upah uang (nominal) dilengkapi dengan tunjangan-tunjangan (beras, pakaian kerja, perumahan) dan fasilitas-fasilitas lain seperti rumah dinas, penjemputan dan sebagainya, sehingga upah riil menjadi lebih tinggi.

Garry Dessler (1998:85) menyatakan ada empat faktor utama yang mempegaruhi perancangan upah, diantaranya:

a. Pertimbangan Hukum dan Kompensasi

Sejumlah undang-undang menetapkan apa yang para majikan dapat atau harus bayar dari segi upah minimum, tarif lembur dan tunjangan.

b. Pengaruh Serikat Buruh Tehadap Keputusan Kompensasi

Banyak pimpinan serikat buruh takut bahwa sistem apa saja yang digunakan untuk mengevaluasi nilai sebuah pekerjaan dapat menjadi alat untuk

(34)

malpraktik manajemen. Untuk mengevaluasi dan meningkatkan nilai pekerjaan dapat menjadi sebuah alat manipulative untuk membatasi atau menurunkan upah pekerja. Nampaknya ada satu implikasi bahwa cara terbaik untuk memperoleh kerjasama dari anggota serikat buruh dalam mengevaluasi nilai kerja adalah membuat mereka terlibat aktif dalam proses ini dan dalam menetapkan tarif pembayaran yang adil terhadap pekerjaan.

c. Kebijakan Kompensasi

Kebijakan kompensasi seorang majikan juga mempengaruhi upah dan tunjangan yang dibayarnya, karena kebijakan-kebijakan ini memberikan garis pedoman kompensasi yang penting.

d. Keadilan dan Dampaknya Terhadap Tarif Upah

Kebutuhan akan keadilan adalah faktor penting dalam menentukan tarif pembayaran kususnya keadilan eksternal dan keadilan internal. Secara eksternal, pembayaran harus sebanding dengan tarif dalam organisasi lain. Sedangkan tarif pembayaran internal adalah masing-masing karyawan hendaknya memandang pembayarannya sebagai sama dengan tarif pembayaran lain yang ada dalam organisasi.

Selanjutnya upah dipandang adil kalau memenuhi empat syarat, diantaranya:

1) Sesuai dengan prestasi kerja. Untuk mengukur prestasi kerja, dewasa ini telah dikembangkan berbagai sistem evaluasi jabatan.

2) Sesuai dengan kebutuhan karyawan, artinya cukup untuk bisa hidup layak dengan keluarganya. Untuk ’hidup layak’ tidak ada satu ukuran yang umum, tetapi paling sedikit harus cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok si pekerja dan keluarganya, terutama dalam masa inflasi kalau harga-harga naik.

(35)

3) Sesuai dengan kemampuan perusahaan. Kalau suatu perusahaan memang tak mampu membayar upah tinggi, maka upah yang rendah pun sudah adil. Tetapi kalau perusahaan memang mampu membayar upah cukup tinggi padahal upah yang dibayar itu rendah berarti melanggar keadilan dan moral Pancasila

4) Sesuai situasi dan kondisi setempat. Misalnya gaji di Jakarta umumnya lebih tinggi, tetapi biaya hidup sehari-hari (makan, perumahan, pengangkutan umum, dsb) juga jauh lebih mahal (T. Gilarso, 1994:55-56)

2.1.6 Konsep Tenaga Kerja

Tenaga Kerja (labour) terdiri dari waktu yang dipergunakan oleh manusia dalam produksi. (Samuelson, 1994: 23). Tenaga kerja merupakan penduduk yang berumur dalam batas usia kerja (Dumairy, 1996:74). Batas usia kerja setiap negara berbeda-beda. Batas usia kerja di Indonesia minimun 10 tahun, tanpa batas umur maksimum (Kusnendi, 2002:27). Jadi di Indonesia, tenaga kerja adalah penduduk yang bersia 10 tahun atau lebih. Menurut Buchari Alma (2008:204) bahwa tenaga kerja merupakan elemen yang sangat penting dalam perusahaan dan perusahaan harus memelihara tenaga kerja ini agar selalu betah bekerja.

Tenaga kerja menurut Payaman Simanjuntak (2001), tenaga kerja atau

Manpower terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja

atau labour force terdri dari golongan yang bekerja, golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan. Jadi bila dirumuskan tenaga kerja adalah sebagai berikut:

Tenaga kerja = angkatan kerja + bukan angkatan kerja

Sedangkan angkatan kerja sendiri terdiri dari jumlah orang yang bekerja dengan penganggur atau bila dirumuskan sebagai berikut:

(36)

Faktor produksi tenaga kerja merupakan faktor produksi yang penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi dalam jumlah yang cukup bukan saja dilihat dari tersedianya tenaga kerja tetapi juga kualitas dan macam tenaga kerja perlu diperhatikan. ( Soekartawi, 1994: 7).

Menurut Vincent Gasperz (2001:170) dalam suatu operasi sistem produksi membutuhkan intervensi manusia dan orang-orang yang terlibat dalam proses sitem produksi dan dianggap sebagai input tenaga kerja (labour). Sehingga dalam proses produksi tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang tidak bisa di abaikan begitu saja, juga harus mempertimbangkan berbagai aspek kompetensi yang harus dimiliki para tenaga kerja agar proses produksi bisa berjalan dengan lancar dan produktif, serta tenaga kerja ini menawarkan jasa terhadap proses produksi oleh karena itu atas pengorbanannya, maka tenaga kerja berhak mendapatkan balas jasa dari perusahaan berupa penghasilan dalam bentuk upah. Seperti telah diuraikan diatas, bahwa pembayaran atas tenaga kerja adalah upah. Karena upah merupakan salah satu indikator penting untuk memulai tingkat hidup dari buruh/ karyawan/ tenaga kerja.

Berdasarkan uraian teori diatas, upah memiliki hubungan langsung dengan biaya produksi, karena upah termasuk pada biaya yang harus dikeluarkan pihak produsen atau perusahaan dalam melakukan proses produksinya, upah ini merupakan balas jasa bagi pekerja atas jasanya dalam membantu kelacaran produksi. Ketika pembayaran atas upah meningkat maka akan meningkatkan pula biaya total produksi, peningkatan biaya total produksi yang tidak proporsional dengan output yang dihasilkan akan menurunkan skala hasil usaha produksi.

(37)

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan yang terbentuk antara upah tenaga kerja dan skala hasil produksi adalah berbanding terbalik:

Upah Tenaga Kerja , Biaya Total , Skala Hasil / (DRTS)

2.1.7 Konsep Teknologi

Berdasarkan konsep faktor produksi yang telah diuraikan diatas, yang termasuk ke dalam input produksi salah satunya adalah teknologi. Teknologi merupakan suatu alat atau peralatan yang dimanfaatkan oleh manusia guna mencapai tujuan manusia itu sendiri. Menurut Sumaryadi dalam Agus Gunawan (2005:31), jika diartikan perkata teknologi berasal dari kata tekhnik/ technique dari kata-kata Yunani ”technicos” yang berarti kesenian/ keterampilan dan logos yaitu ilmu/ asas utama (fundamental principles). Oleh karena itu maka teknologi sebenarnya lebih berarti ilmu di belakang keterampilan/ asas-asas utama daripada suatu keterampilan.

Pengertian teknologi menurut tim dosen PLSBT UPI (2005: 139) merupakan istilah yang berasal dari kata techne dan logia yakni:

Istilah teknologi berasal dari kata techne dan logia. Kata Yunani kuno,

techne berarti seni kerajinan. Dari techne kemudian lahirlah perkataan technikos yang berarti seseorang yang memiliki keterampilan tertentu.

Dengan berkembangnya keterampilan seseorang menunjukkan suatu pola, langkah dan metode yang pasti, keterampilan itu lalu menjadi teknik. Kondisi teknologi ini sangat mempengaruhi perilaku sistem produksi, dimana apabila keadaan teknologi berubah akan mengubah proses dan meningkatkan produk rata-rata dari input yang digunakan dalam sistem produksi itu. Dalam berbagai pengalaman di beberapa negara ternyata kontribusi teknologi

(38)

terhadap sistem produksi ini memiliki peranan yang cukup tinggi pada pertumbuhan ekonomi. Vincent Gasperz (2001:178-179) mengungkapkan bahwa pada dasarnya aspek teknologi mencakup empat komponen utama yang terintegrasi, sebagai berikut:

Pertama, teknologi yang terkandung pada manusia yang terdiri atas

pengetahuan, keterampilan, sikap, perilaku, budaya, dll. Kedua, teknologi yang terkandung dalam barang-barang berupa mesin-mesin, peralatan, produk (barang dan/ jasa) teknologi ini membantu manusia melakukan tugas atau aktivitas. Ketiga, teknologi yang terkandung dalam kelembagaan organisasi dan manajemen. Teknologi ini membantu manusia untuk dapat bekerja secara lebih efektif dan efisien. Keempat, teknologi yang terkandung dalam dokumen-dokumen berupa informasi yang dihasilkan manusia untuk membantu dalam melakukan pekerjaannya. Keempat komponen teknologi diatas, selalu ada dalam sistem produksi, dengan komposisi berada dalam suatu keseimbangan yang sesuai dengan keperluan setiap sistem itu, serta berpengaruh positif untuk meningkatkan output dari sistem produksi. ”Kondisi teknologi saat ini merujuk pada cara bagaimana masukan ditransformasikan menjadi keluaran. Perbaikan dalam keadaan teknologi, termasuk setiap penemuan produk atau inovasi proses yang mengurangi biaya produksi, meningkatkan jumlah dan/ atau mutu produk yang ditawarkan untuk penjualan harga tertentu.” (James L. Papas, 1995:107)

Perubahan teknologi secara teknis menunjukkan bahwa perubahan teknologi terjadi apabila fungsi produksi berubah, adanya perubahan dalam teknologi, akan menimbulkan adanya inovasi produk dan inovasi proses. Inovasi produk terjadi apabila produk baru atau produk lama yang diperbaiki diperkenalkan ke pasar. Sedangkan inovasi proses, terjadi bilamana teknik-teknik produksi perbaikan atau teknik-teknik produksi baru telah dikembangkan.

(39)

(Samuelson & Nordhaus, 1994: 135). Perkembangan teknologi dalam konteks ini teknologi dalam industri/ perusahaan akan membuat kemajuan yang berarti bagi hasil produksi perusahaan baik dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya. Hal tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa perkembangan dan penggunaan teknologi yang lebih maju dengan penciptaan output poduksi akan memiliki korelasi yang positif.

Perubahan teknologi dapat menurunkan biaya produksi dan akan memberikan keuntungan yang dapat dihasilkan pada harga tertentu dari komoditas itu. Hal ini terjadi selama kenaikan keuntungan diikuti oleh kenaikan produksi. Seperti yang diungkapkan oleh Tedi Herlambang (2002:43) ”...kemajuan teknologi yang meningkatkan produktivitas input dapat menurunkan biaya produksi. Pada akhirnya akan menurunkan harga produk.”

Perkembangan dan korelasi yang positif antara penggunaan teknologi dengan penciptaan output produksi di dalam proses produksi juga diungkapkan oleh Vincent Gaspersz (2001: 168):

”Produksi adalah bidang yang terus berkembang selaras dengan perkembangan teknologi, dimana produksi memiliki suatu jalinan hubungan timbal balik (dua arah) yang sangat erat dengan teknologi. Produksi dan teknologi saling membutuhkan. Kebutuhan produksi untuk beroperasi dengan biaya yang lebih rendah, meningkatkan produktivitas, dan menciptakan produk baru telah menjadi kekuatan yang mendorong teknologi untuk melakukan terobosan-teroboson dan penemuan-penemuan baru.”

Selanjutnya Sadono Sukirno (2003: 59-60) juga menjelaskan ”

”Dalam jangka panjang dua faktor penting yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memproduksi barang adalah pertambahan faktor-faktor produksi, dan kemajuan teknologi. Dengan faktor produksi yang lebih banyak dan tingkat teknologi yang lebih baik maka produksi maksimum masyarakat dapat dinaikkan. Biasanya kemajuan teknologi

(40)

tidak sama pesatnya di berbagai sektor. Perkembangan teknologi di sektor industri selalu lebih pesat daripada perkembangan teknologi di sektor pertanian.” (Sadono Sukirno, 2003: 59-60)

Masih dalam Sadono Sukirno (2003: 90) bahwa tingkat teknologi memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan banyaknya jumlah barang yang dapat ditawarkan. Kenaikan produksi dan perkembangan ekonomi yang pesat di berbagai negara terutama disebabkan oleh penggunaan teknologi yang semakin modern. Kemajuan teknologi telah dapat mengurangi biaya produksi, mempertinggi produktivitas, mempertinggi mutu barang dan menciptakan barang-barang yang baru.

Pentingnya tingkat teknologi juga diungkapkan oleh William A. Mc. Eachern (2001: 88) juga menyatakan bahwa:

”Jumlah output yang dapat diproduksi dengan sejumlah sumber daya tertentu tergantung pada tingkat teknologi yang ada, yaitu pengetahuan yang ada tentang cara pengkombinasian sumber daya. Cara pengkombinasian sumber daya untuk menghasilkan output disarikan dalam fungsi produksi perusahaan. Fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum barang atau jasa tertentu yang dapat diproduksi per periode waktu pada berbagai kombinasi sumber daya, atas dasar tingkat teknologi tertentu.

Adanya peningkatan produksi tentu dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi ini dimaknai oleh Dominick Salvatore (2003:714) yakni

“Technological progress refers to development of new and better production techniques to make a given, improved, or an entirely new product”. Dengan

adanya kemajuan teknologi memungkinkan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Tingkat produksi yang sama dapat dicapai dengan penggunaan faktor produksi yang lebih sedikit. Prathama Rahardja dan Mandala Manurung (2000: 152) menjelaskan:

(41)

Seorang ekonom bernama Hicks mengklasifikasikan kemajuan teknologi berdasarkan pengaruhnya terhadap kombinasi penggunaan faktor produksi. Bila kemajuan teknologi mengakibatkan porsi penggunaan barang modal menjadi lebih besar dibandingkan tenaga kerja, disebut teknologi padat modal (capital using atau capital intensive). Sebaliknya jika menyebabkan porsi penggunaan tenaga kerja menjadi lebih besar, disebut teknologi padat karya (labour using atau labour intensive). Jika tidak mengubah porsi (rasio faktor produksi tetap), disebut teknologi netral (neutral

technology).

Adanya tingkat teknologi mengandung pengertian adanya kenaikan efisiensi teknik dalam proses produksi, sehingga berimplikasi pada kemampuan memproduksi output lebih banyak melalui penggunaan input dalam kuantitas yang lebih sedikit. Dengan demikian perubahan tingkat teknologi akan memberikan dampak positif pada peningkatan hasil produksi, selain itu, semakin tinggi tingkat teknologi yang digunakan biasanya semakin kompleks sifat kegiatan produksi yang dilakukan sehingga bisa meningkatkan skala hasil produksinya.

Dari penyataan-pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa teknologi merupakan cara-cara maupun metode baru dalam proses produksi yang dapat menurunkan biaya produksi dan menaikkan hasil produksi yang didapat dari perkembangan dan penerapan ilmu pengetahuan.

Namun, selain dari cara-cara atau metode yang digunakan, penggunaan dan pengembangan teknologi juga termasuk pada bagaimana perusahaan atau produsen mengembangkan teknologi yang ada dengan cara menggunakan, memelihara dan merawat teknologi yang dipakainya dalam membantu proses produksi atau bahkan mengantinya dengan mesin yang baru. Biaya penggunaan dan pengembangan teknologi ini memiliki peranan penting dalam proses

(42)

produksi, karena menggunakan tanpa pemeliharaan dan perawatan yang baik terhadap mesin-mesin untuk produksi maka proses produksi tidak akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan. Sehingga jika kita menggunakan mesin tersebut kemudian melakukan pemeliharan terhadap mesin-mesin tersebut, maka proses produksi akan berjalan lancar tanpa mengalami hambatan yang serius. Apalagi jika pemeliharaannya dilakukan secara berkala, selain biaya yang dikeluarkan tidak akan terlalu besar juga kerusakan mesin tidak akan terlalu parah yang akhirnya penggantian/ pembelian mesin baru akan memakan biaya yang lebih tinggi dari biaya pemeliharaan berkala.

Sofjan Assauri (1993:124) memberikan pengertian tentang pemeliharaan atau maintenance.

”Pemeliharaan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk memelihara atau menjaga fasilitas/peralatan pabrik dan mengadakan perbaikan atau penyesuaian penggantian yang diperlukan agar supaya dapat suatu keadaan operasi produksi yang memuaskan sesuai dengan apa yang direncanakan.”

Sofjan Assauri juga menjelaskan bahwa pengeluaran-pengeluaran yang berhubungan dengan aktiva tetap (mesin) adalah :

a. Maintenance, yaitu pengeluaran untuk memelihara agar aktiva tetap yang

bersangkutan tidak cepat rusak dari waktu ke waktu.

b. Repair, yaitu pengeluaran untuk memperbaiki aktiva tetap yang mengalami

sebagian atau seluruhnya rusak, agar dapat digunakan kembali sebagaimana mestinya.

Gambar

Gambar   2.5  Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

This research is based on the assumption that both teachers‟ (NESTs and NNESTs) language competence and language skills are equal since most NESTs from “X” English

Mustofa Bisri mengenai pendidikan Islam, yaitu pembelajaran haruslah membebaskan pikiran manusia dari belenggubelenggu tradisionalis maupun pengaruh kolonialis Belanda, yang

Berisi tentang data-data teoritik, data empirik serta gagasan awal berkaitan dengan perancangan sarana pembersih kemoceng, diantaranya data teoritik didapatkan dari berbagai

Alamat Kantor : Alamat: Jl.. s) Kepala Seksi Dokumentasi dan Publikasi Pada Bidang Sarana Komunikasi &amp; Desiminasi Informasi.. Nama : Widiyanto, SH Nomor Telepon :

Proses menentukan ukuran tubuh pada seseorang yang digunakan untuk membuat suatu busana disebut dengan mengukur tubuh.. Mengukur tubuh tidak bisa dilakukan sendiri tetapi

Penelitian yang dilakukan oleh Wayan dan Akbar (2016) dengan judul Analisis Pengaruh Inflasi, Suku Bunga, Nilai Tukar (Kurs), Dan Pertumbuhan Produk Domestik

Jembatan dari kesenjangan digital dari Peters (2002) tadi, disingkat oleh Sharma &amp; Mokthar (2006) menjadi tiga aspek yakni: (1) infrastruktur, yang mana dalam hal ini

• Tujuan analisa titik impas adalah untuk menentukan jumlah unit produk (atau volume produksi) yang akan dijual dan diproduksi sehingga pendapatan total akan sama dengan biaya total.