• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Penyebaran Infeksi Odontogen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pola Penyebaran Infeksi Odontogen"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

1. Pola penyebaran infeksi odontogen

Infeksi odontogen dapat menyebar secara perkontinuatum, hematogen dan limfogen, yang disebabkan antara lain oleh periodontitis apikalis yang berasal dari gigi nekrosis, dan periodontitis marginalis. Infeksi gigi dapat terjadi melalui berbagai jalan: (1) lewat penghantaran yang patogen yang berasal dari luar mulut; (2) melalui suatu keseimbangan flora yang endogenus; (3) melalui masuknya bakteri ke dalam pulpa gigi yang vital dan steril secara normal (Cilmiaty, 2009). Infeksi odontogen menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang beragam dan dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi mikroorganisme, resistensi dari host dan struktur anatomi dari daerah yang terlibat (Soemartono, 2000).

1.1 Perluasan secara per kontinuatum

Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui kontinuitas jaringan dan spasia jaringan dan biasanya terjadi seperti yang dijelaskan di bawah ini. Pertama, nanah terbentuk di tulang cancellous dan tersebar ke berbagai arah yang memiliki resistensi jaringan paling buruk. Penyebaran pus ke arah bukal, lingual, atau palatal tergantung pada posisi gigi dalam lengkung gigi, ketebalan tulang, dan jarak perjalanan pus (Gambar 2), (Fragiskos, 2007).

Perluasan langsung infeksi dapat terjadi melalui penjalaran material septik atau organisme ke dalam tulang atau sepanjang bidang fasial dan jaringan penyambung didaerah yang paling rentan. Tipe terakhir tersebut merupakan selulitis sejati, di mana pus terakumulasi di jaringan dan merusak jaringan ikat longgar, membentuk ruang (spaces), menghasilkan tekanan, dan meluas terus hingga terhenti oleh barier anatomik (Daud, 2001). Perluasan langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu:

a) Perluasan di dalam tulang tanpa pointing (penajaman) Area yang terkena terbatas hanya di dalam tulang, menyebabkan osteomyelitis. Kondisi ini terjadi pada rahang atas atau yang lebih sering pada rahang bawah. Di rahang atas, letak yang saling berdekatan antara sinus maksila dan dasar hidung menyebabkan mudahnya ketelibatan mereka dalam penyebaran infeksi melalui tulang.

b) Perluasan di dalam tulang dengan pointing. Ini merupakan tipe infeksi yang serupa dengan tipe di atas, tetapi perluasan tidak terlokalisis melainkan melewati tulang menuju

(2)

jaringan lunak dan kemudian membentuk abses. Di rahang atas proses ini membentuk abses bukal, palatal, atau infra orbital. Selanjutnya, abses infra orbital dapat mengenai mata dan menyebabkan edema di mata. Di rahang bawah, pointing dari infeksi menyebabkan abses bukal. Apabila pointing terarah menuju lingual, dasar mulut dapat ikut terlibat atau pusat terdorong ke posterior sehingga membentuk abses retromolar atau peritonsilar.

c) Perluasan sepanjang bidang fasia (jaringan ikat fibrous yang membungkus otot dan memisahkan suatu otot dengan otot lain). Menurut HJ Burman, fasia memegang peranan penting karena fungsinya yang membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan saraf, serta karena adanya ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat longgar, sehingga infeksi dapat menurun.

Gambar 2.7: Ilustrasi penyebaran infeksi odontogen (dentoalveolar abcess) tergantung pada posisi apeks gigi

penyebab. (A) Akar bukal : arah penyebaran ke bukal. (B) Akar palatal: arah penyebarannya ke palatal (Fragiskos, 2007).

Inflamasi purulen berhubungan dengan tulang alveolar yang dekat dengan puncak bukal atau labial tulang alveolar biasanya akan menyebar ke arah bukal, sedangkan tulang alveolar yang dekat puncak palatal atau lingual, maka penyebaran pus ke arah palatal atau ke lingual (Fragiskos, 2007).

Akar palatal dari gigi posterior dan lateral gigi seri rahang atas dianggap bertanggung jawab atas penyebaran nanah ke arah palatal, sedangkan molar ketiga mandibula dan kadang-kadang dua molar mandibula dianggap bertanggung jawab atas penyebaran infeksi ke arah lingual. Inflamasi bahkan bisa menyebar ke sinus maksilaris ketika puncak apeks gigi posterior ditemukan di dalam atau dekat dasar antrum. Panjang akar dan hubungan antara puncak dan perlekatan proksimal dan distal berbagai otot juga memainkan peranan penting dalam

(3)

penyebaran pus. Berdasarkan hal ini (Gambar 3), pus di mandibula yang berasal dari puncak akar di atas otot mylohyoid dan biasanya menyebar secara intraoral, terutama ke arah dasar mulut. Ketika puncak ditemukan di bawah otot mylohyoid (molar kedua dan ketiga), pus menyebar ke ruang submandibular dan terjadi pembengkakan ekstraoral (Fragiskos, 2007).

Gambar 2.8: Ilustrasi penyebaran infeksi odontogen (dentoalveolar abcess) tergantung pada posisi apeks gigi

penyebab. (A) Penyebaran pus kea rah sinus maksilaris (B) Penyebaran pus pada rahang bawah tergantung pada posisi perlekatan otot mylohyoid. (Fragiskos, 2007)

Pada fase selular, tergantung pada rute dan tempat inokulasi dari pus, abses dentoalveolar akut mungkin memiliki berbagai gambaran klinis, seperti: (1) intraalveolar, (2) subperiosteal, (3) submukosa, (4), subkutan, dan (5) fascia migratory – cervicofacial (Gambar 4 dan 5). Pada tahap awal fase selular ditandai dengan akumulasi pus dalam tulang alveolar yang disebut sebgai abses intraalveolar. Pus kemudian menyebar keluar setelah terjadi perforasi tulang menyebar ke ruang subperiosteal. Periode ini dinamakan abses subperiosteal, dimana pus dalam jumlah terbatas terakumulasi di antara tulang dan periosteal. Setelah terjadi perforasi periosteum, pus kemudian menyebar ke berbagai arah melalui jaringan lunak. Biasanya menyebar pada daerah intraoral membentuk abses di bawah mukosa, yang disebut abses submukosa. Terkadang, pus menyebar melalui jaringan ikat longgar dan setelah itu terakumulasi di bawah kulit, bentukan ini disebut abses subkutan. Sedangkan di waktu lainnya, pus menyebar ke ruang fascia, membentuk abses serous yang disebut abses spasia wajah (Fragiskos, 2007).

(4)

Gambar 2.9: Ilustrasi rute perjalanan pus pada penyebaran infeksi odontogen (A) Abses intraalveolar; (B) Abses

superiosteal (Fragiskos, 2007).

2. Potensial Facial Spaces

Infeksi odontogen merupakan suatu proses infeksi yang primer atau sekunder yang terjadi pada jaringan periodontal, perikoronal, karena traumatik atau infeksi pasca bedah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan penyebaran dan kegawatan infeksi odontogenik adalah (Fragiskos, 2007):

1. Jenis dan virulensi kuman penyebab. 2. Daya tahan tubuh penderita.

3. Jenis dan posisi gigi sumber infeksi.

4. Panjang akar gigi sumber infeksi terhadap perlekatan otot-otot. 5. Adanya tissue space dan potential space.

Perluasan langsung infeksi dapat terjadi melalui penjalaran material septik atau organisme ke dalam tulang atau sepanjang bidang fasial dan jaringan penyambung didaerah yang paling rentan. langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu perluasan didalam tulang tanpa lokalisir, perluasan di dalam tulang yang terlokalisir dan membentuk abses serta perluasan sepanjang bidang fasia (jaringan ikat fibrous yang membungkus otot dan memisahkan suatu otot dengan otot lain). Menurut HJ Burman, fasia memegang peranan penting karena fungsinya yang membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan saraf, serta karena adanya ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat longgar, sehingga infeksi dapat menurun (Daud, 2001).

Fascial space adalah daerah berlapis fasia yang dapat terisi atau ditembus oleh eksudat

purulen. Fascia adalah jaringan ikat fibrous yang membungkus otot dan memisahkan suatu otot dengan otot yang lain. Fascia tersususun atas lapisan-lapisan jaringan ikat tipis, disebut dengan fascial planes. Beberapa di antaranya mengandung struktur neurovaskular dan dikenal sebagai kompartemen. Sedangkan bagian yang diisi oleh jaringan ikat jarang disebut celah (Peterson, 2003).

(5)

Ketika infeksi gigi menyebar ke jaringan lunak keluar menuju rute rongga mulut maupun kulit mungkin bisa melibatkan facial space. Ruang antara fascia dan fascial planes ini merupakan potensial spaces yang sebenarnya tidak ada pada keadaan normal, tetapi bila perlekatan jaringan ikat ini rusak oleh karena proses penyebaran infeksi, maka ruang ini bisa terisi dan membesar oleh karena adanya produk radang. Potensial space ini disebut dengan fascial spaces.

Perluasan melewati jalan yang pertahanannya paling lemah seperti jaringan ikat dan sepanjang bidang fascia. Infeksi dapat menyebar cukup jauh dari sumber masalah, menyebabkan morbiditas dan terkadang kematian. Pengetahuan yang mendalam tentang anatomi wajah dan leher diperlukan untuk memprediksi jalur penyebaran infeksi tersebut secara akurat (Topazian, 2004).

Tabel 1. Fascial space yang terlibat dalam infeksi odontogenik(Peterson, 2003) a. Fascial Space Primer Maksila

1. Canine Space 2. Buccal Space

3. Infratemporal Space

b. Fascial Space Primer Mandibula

1. Submental Space 2. Buccal Space

3. Submandibular Space 4. Sublingual Space

c. Fascial Space Sekunder

1. Masseteric Space 2. Infratemporal Space

3. Superficial and Deep Temporal Space 4. Lateral Pharyngeal Space

5. Retropharyngeal Space 6. Prevertebra Space

Fascial space yang terlibat dalam penyebaran infeksi dari gigi disebut fascial space primer. Fascia primer merupakan daerah yang terlibat letaknya berdekatan dengan tulang rahang yang menyangga gigi-gigi sehingga pada umumnya terlibat secara langsung pada infeksi

(6)

odontogen. Fascial space bisa menjadi tempat penyebaran infeksi oontogen baik oleh arena gigi-gigi rahang atas maupun rahang bawah. Fascial space primer pada rahang atas adalah canine space, buccal space dan infratempotal space. Sedangkan fascial space primer pada rahang bawah adalah buccal space, submandibular space, submental space, sublingual space (Andersson et al, 2010).

Infeksi yang meluas dari fascial space primer menuju fascial space sekunder yang letaknya lebih posterior dari fascial space primer. Fascial space bisa menjadi tempat penyebaran infeksi odontogen baik oleh karena gigi-gigi rahang atas maupun rahang bawah. Fascial space sekunder meliputi superficial and deep temporal space, sibmasseteric space, pterygomandibular space, lateral pharyngeal space, retropharyngeal space, dan prevertebral space (Andersson et al, 2010).

Gambar 1: Potential space yang terlihat pada potongan transversal (Varun, 2012)

Setiap infeksi dari fascial space mempunyai karakteristik tanda klinis dan gejala yang berbeda, yang dihubungkan dengan struktur anatomi yang terlibat. Terdapat daerah-daerah vital yang mengeliliingi deep fascial space pada kepala dan leher. Keterlibatan dari fascial space ini dapat menyebabkan komplikasi yang serius seperti obstruksi jalan napas dan mediastinitis. Pada

(7)

jaman dahulu, infeksi pada potensial space menyebabkan mortalitas yang tinggi. Walaupun sekarang ini prognosis sudah menjadi lebih baik karena terapi dan peralatan yang sudah modern, namun infeksi pada fascial space dapat memberikan permasalahan kesehatan yang signifikan dan berhubungan dengan komplikasi yang fatal (Andersson et al, 2010).

2.1 Insisi 2.1.1 Definisi

Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Insisi drainase merupakan tindakan membuang materi purulent yang toksik, sehingga mengurangi tekanan pada jaringan, memudahkan suplai darah yang mengandung antibiotik dan elemen pertahanan tubuh serta meningkatkan kadar oksigen di daerah infeksi (Lopez-Piriz et al., 2007).

2.1.2 Tujuan

Tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi jaringan biasanya buruk) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan pemberian antibiotik lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab (Topazian et al, 2002).

2.1.3 Tehnik Insisi (Peterson, 2003).

1 Aplikasi larutan antiseptik sebelum insisi.

2 Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan dilakukan dengan anestesi infiltrasi.

3 Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka direncanakan insisi : o Menghindari duktus (Wharton, Stensen) dan pembuluh darah besar.

o Drainase yang cukup, maka insisi dilakukan pada bagian superfisial pada titik terendah akumulasi untuk menghindari sakit dan pengeluaran pus sesuai gravitasi.

(8)

o Jika memungkinkan insisi dilakukan pada daerah yang baik secara estetik, jika memungkinkan dilakukan secara intraoral.

o Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada saat yang tepat, saat fluktuasi positif. 4 Drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam rongga abses dengan ujung

tertutup, lakukan eksplorasi kemudian dikeluarkan dengan unjung terbuka. Bersamaan dengan eksplorasi, dilakukan pijatan lunak untuk mempermudah pengeluaran pus.

5 Penembatan drain karet di dalam rongga abses dan distabilasi dengan jahitan pada salah satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan drainase.

6 Pencabutan gigi penyebab secepatnya.

2.1.4 Macam Insisi 2.1.4.1 Ekstra oral

Tindakan insisi pada kasus abses rongga mulut yang disebabkan oleh infeksi odontogen dapat dilakukan dengan tehnik insisi ekstra oral maupun intra oral, tergantung dari jenis dan anatomi absesnya. Penempatan insisi untuk drainase ekstra oral infeksi kepala leher harus melihat lipatan alami kulit dari garis Langer yaitu ditempatkan sejajar dengan ketegangan kulit. Insisi yang menyilang garis Langer dari kulit bersifat tidak menguntungkan dan mengakibatkan penyembuhan yang buruk secara estetik (Fragiskos, 2007).

Gambar 2: Gambaran klinis abses subkutan. Pembuatan insisi pada abses subkutan, penggunaan hemostat dan

(9)

2.1.4.2 Intra Oral 2.2 Drainase

2.2.1 Definisi Drainase

Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. untuk mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya dengan rubber drain atau penrose

drain, untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum drainase pus tuntas (Lopez-Piriz et al.,

2007).

2.2.2 Drainase pada facial space infection

Drainase melalui kulit biasanya dilakukan oleh seorang ahli bedah, sedangkan dokter gigi umum biasanya melakukan inisisi melalui mulut. Antibiotik praoperatif dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya bakterimia dan inokulasi lokal yang lebih luas.

Yang harus diperhatikan dan dilakukan ketika akan melakukan operasi drainase:

1. Pemberian antibiotika tanpa drainase pus tidak akan menyelesaikan masalah penyakit abses

2. Memulai terapi antibiotika tanpa pewarnaan gram dan kultur akan menyebabkan kesalahan dalam mengidentifikasi organisme penyebab penyakit infeksi odontogen 3. CT scan dapat membantu mengidentifikasi ruang-ruang yang terkena infeksi

4. Foto rontgen panoramik dapat membantu identifikasi bila diduga gigi terlibat infeksi 5. Abses canine, sublingual dan vestibular didrainase intraoral

6. Abses ruang masseterik, pterygomandibular, dan pharyngea lateral bisa didrainase dengan kombinasi intraoral dan ekstraoral

7. Abses ruang temporal, submandibular, submental, retropharyngeal, dan buccal disarankan diincisi ekstraoral dan didrainase.

2.2.3 Tehnik Insisi dan Drainase

Insisi untuk drainase dilakukan secara intraoral pada lipatan mukobukal (paralel dengan tulang alveolar) pada regio kaninus. Anastesi dilakukan ekstraoral didekat foramen infraorbital. Suatu hemostat kemudian dimasukkan sedalam mungkin pada akumulasi pus sampai

(10)

bersentuhan dengan tulang. Sementara itu jari telunjuk pada tangan satunya melakukan palpasi di margin infraorbital. Akhirnya suatu rubber drain ditempatkan dan dijahit pada mukusa untuk menstabilkannya (Fragiskos, 2007).

Pada prosedur insisi dan drainase, insisi dari cavitas abses memberikan drainase untuk akumulasi pus dan bakteri dari jaringan dibawahnya. Drainase dari pus dapat mengurangi tekanan terhadap jaringan, berarti menambah pasokan darah dan meningkatkan antibodi dari host. Prosedur insisi drainase termasuk insersi dari saluran untuk mencegah penutupan dari insisi mucosa, yang akan mengakibatkan deformasi dari abses cavitas.Jika perawatan endodontik dengan membuka gigi tidak bisa memberikan drainase yang adekuat, maka lebih baik memilih perawatan insisi dan drainase (Topazian, 2002).

Sebelum melakukan prosedur insisi dan drainase, perlu diperimbangkan untuk melakuakan tes culture dan sensitivitas pada spesimen pus. Ketika area lokasi telah di anestesi, jarum ukuran besar (±18) digunakan untuk pengumpulan spesimen. Syringe kecil (±2 ml). Permukaan dari mukosa didisinfeksi dengan larutan seperti betadine lalu dikeringkan dengan sterile gauze. Kemudian jarum di masukan ke dalam abses kavitas, dan 1 atau 2 ml dari pus diaspirasikan. Syringe dipegang secara vertical, dan beberapa gelembung udara yang terkandung dalam syringe disemprotkan. Ujung dari jarum lalu ditutupi oleh rubber stopper dan diambil secara langsung untuk laboratorium mikrobiologi. Metode ini digunakan untuk mendapatkan jenis bakterinya (Topazian, 2002).

Sesudah kultr specimen didapatkan, insisi dibuat dengan blade no 11 melewati mucosa dan submucosa ke dalam kavitas abses. Insisi sebaiknya pendek tidak lebih dari 1 cm. Sesudah insersi selesai, curved hemostat yang pendek di masukan melewati insisi ke dalam abes kavitas. Hemostat kemudian membuka ke berbagai arah untuk memisahkan beberapa lokulasi kecil atau kavitas dari pus yang tidak terbuka oleh insisi awal. Pus dianjurkan agar mengalir keluar selama proses dengan menggunakan suction, pus sebaiknya tidak dianjurkan mengalir dalam mulut pasien (Topazian, 2002).

Sesudah semua area dari abses cavitas dibuka, dan semua pus dibuang, saluran kecil dimasukan untuk mempertahankan pembukaan. Umumnya saluran yang digunakan untuk intraoral abses adalah saluran ¼ inch steril Penrose. Yang biasanya digunakan sebagai pengganti adalah strip kecil sterilisasi dari rubber dam. Saluran tersebut dimasukan dengan menggunakan hemostat. Saluran kemudian di jahitan ke dalam tempat dengan jahitan yang nonresobrsi. Jahitan

(11)

sebaiknya ditempatkan di daerah yang terlihat untuk mencegah hilangnya saluran yang telah ada (Topazian, 2002).

Saluran sebaiknya tetap dalam tempat sampai pembuangan dari abses cavitas berhenti, biasanya 2-5 hari. Tahap awal infeksi yang terlihat awal-awal sebagai cellulitis dengan pembengkakan yang soft, doughty, dan menyebar, sebenarnya bukan respon khas terhadap prosedur insisi dan drainase. Surgical management infection dari tipe ini terbatas untuk pembersihan nekrosis dari pulpa atau pembersihan dari gigi yang terlibat (Topazian, 2002).

Sangatlah kritikal untuk berpikir bahwa metode utama untuk penyembuhan infeksi odontogenik adalah dengan melakukan surgery untuk membersihkan sumber dari infeksi dan membuang pus dimana saja pus itu berada (Topazian, 2002).

Insisi tajam yang cepat pada mukosa oral yang berdekatan dengan tulang alveolar biasanya cukup untuk menghasilkan pengeluaran pus yang banyak, sebuah ungkapan abad ke-18 dan 19 yang berupa deskriptif dan seruan. Ahli bedah yang dapat membuat relief instan dan dapat sembuh dengan pengeluaran pus dari abses patut dipuji dan oleh sebab itu lebih dikenal daripada teman sejawat yang kurang terampil yang menginsisi sebelum waktunya atau pada tempat yang salah (Peterson, 2003).

Prinsip berikut ini harus digunakan bila memungkinkan pada saat melakukan insisi dan drainase adalah sebagai berikut (Topazian et al., 1994; Peterson, 2003; Odell, 2004).

1. Melakukan insisi pada kulit dan mukosa yang sehat. Insisi yang ditempatkan pada sisi fluktuasi maksimum di mana jaringannya nekrotik atau mulai perforasi dapat menyebabkan kerutan, jaringan parut yang tidak estetis (Gambar 3)

(12)

Gambar 3: Penempatan insisi untuk drainase ekstraoral infeksi kepala leher. Insisi pada titik-titik berikut ini

digunakan untuk drainase infeksi pada spasium yang terindikasi: superficial dan deep temporal, submasseteric, submandibular, submental, sublingual, pterygomandibular, retropharyngeal, lateral pharyngeal, retropharyngeal

(Peterson, 2003)

2. Tempatkan insisi pada daerah yang dapat diterima secara estetis, seperti di bawah bayangan rahang atau pada lipatan kulit alami (Gambar 4).

Gambar 4: Garis Langer wajah. Laserasi yang menyilang garis Langer dari kulit bersifat tidak menguntungkan dan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. Insisi bagian fasia ditempatkan sejajar dengan ketegangan

(13)

3. Apabila memungkinkan tempatkan insisi pada posisi yang bebas agar drainase sesuai dengan gravitasi.

4. Lakukan pemotongan tumpul, dengan clamp bedah rapat atau jari, sampai ke jaringan paling bawah dan jalajahi seluruh bagian kavitas abses dengan perlahan-lahan sehingga daerah kompartemen pus terganggu dan dapat diekskavasi. Perluas pemotongan ke akar gigi yang bertanggung jawab terhadap infeksi.

5. Tempatkan drain (lateks steril atau catheter) dan stabilkan dengan jahitan. 6. Pertimbangkan penggunaan drain tembus bilateral, infeksi ruang submandibula.

7. Jangan tinggalkan drain pada tempatnya lebih dari waktu yang ditentukan; lepaskan drain apabila drainase sudah minimal. Adanya drain dapat mengeluarkan eksudat dan dapat menjadi pintu gerbang masuknya bakteri penyerbu sekunder.

8. Bersihkan tepi luka setiap hari dalam keadaan steril untuk membersihkan bekuan darah dan debris.

Pengetahuan yang seksama mengenai anatomi fascial dan leher sangat penting untuk drain yang tepat pada abses yang dalam, tetapi abses yang membatasi daerah dentoalveolar menunjukkan batas anatomi yang tidak jelas bagi ahli bedah. Hanya mukosa yang tipis dan menonjol yang memisahkan scalpel dari infeksi. Idealnya, abses harus didrain ketika ada fluktuasi sebelum ada ruptur dan drainase spontan. Insisi dan drainase paling bagus dilakukan pada saat ada tanda awal dari “pematangan” abses ini, meskipun drainase pembedahan juga efektif, sebelum adanya perkembangan klasik fluktuasi (Peterson, 2003).

2.2.4 Prinsip-prinsip drainase

Prinsip-prinsip drainase perkutaneus sama dengan drainase oral untuk abses yaitu denga memilih daerah yang bebas berdasarkan pertimbangan estetik. Pertama-tama kulit dipersiapkan dengan menggunaka surgical scrub dan kemudian daerah tersebut diusap dengan lap/kasa steril. Kemudian dilakukan anestesi lokal dan pemberian sedasi. Atau bisa juga dipilih anestesi umum.sebelum inisisi, dilakukan aspirasi eksudat untuk pemeriksaan smesr dan kultur. Insisi dibuat sejajar dengan garis Langer dari lipatan kulit. Supaya bisa mencapai kantung-kantung nanah pada ruang-ruang fasial yang jauh letaknya, maka harus dilakukan diseksi tertutup yang menggunakan hemostat dengan lengkungan kecil. Bersamaan dengan eksplorasi, dilakukan pijatan lunak untuk mempermudah pengeluaran pus. Penembatan drain karet di dalam rongga

(14)

abses dan distabilasi dengan jahitan pada salah satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan drainase. Setelah itu pencabutan gigi penyebab secepatnya (Fragiskos, 2007).

Penempatan insisi untuk drainase ekstra oral infeksi kepala leher harus melihat lipatan alami kulit dari garis Langer yaitu ditempatkan sejajar dengan ketegangan kulit. Insisi yang menyilang garis Langer dari kulit bersifat tidak menguntungkan dan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. Beberapa kasus infeksi odontogen yang membutuhkan insisi ekstraoral tersebut antara lain : abses subkutan, abses bukal, abses mental, abses submental, abses submandibular, abses pharingeal lateral, abses retrofaringeal, abses spasium parotis, plegmon, dan angina Ludwig (Fragiskos, 2007).

2.3 Facial Space Infection Primer 2.3.1 Gigi-gigi Rahang Atas

2.3.1.1 Canine Space/ Canine Fossa Abscess a. Lokasi Anatomis

Canine space merupakan potential space yang berada di antara levator anguli oris dan otot levator labii superioris. Jika infeksi telah menembus lateral korteks dari maksila, superior perlekatan otot maupun bibir atas, maka canine space akan terbentuk. Gigi caninus berpotensi sebab memiliki akar yang panjang, sehingga infeksi dapat memasuki daerah canine space. Ketika canine space terinfeksi, maka akan terbentuk pembengkakan pada wajah bagian anterior yang dapat mengobliterasi nasolabial fold. Infeksi pada canine space juga dapat menyebabkan pembengkakan edematus pada kelopak mata. Pada tahap lanjut, infeksi dapat menyebar ke orbita.

(15)

Gambar 5a,b: Abses canine fosa. A. ilustrasi yang menunjukkan penyebaran abses ke dalam canine fosa. b Klinis

foto wilayah abses. Pembengkakan ekstra oral pada daerah infraorbital dan nasolabial fold dengan kulit berwarna kemerahan dan kilap.

b. Etiologi

Saluran akar yang terinfeksi dari gigi premolar dan khususnya gigi caninus rahang atas dianggap sebagai penyebab terjadinya abses dari canine fossa.

c. Gambaran klinis

Ditandai dengan edema, terlokalisasi di daerah infraorbital, yang menyebar menuju medial canthus mata, kelopak mata bawah, dan sisi hidung sampai ke sudut mulut. Didapatkan juga obliterasi dari nasolabial fold, dan sedikit dari mucolabial fold. Edema pada daerah infraorbital terasa nyeri pada palpasi, dan kemudian kulit menjadi kencang dan mengkilap karena supurasi, dan berwarna kemerahan (Gambar 5b).

d. Perawatan

Drainase melalui intra oral dengan insisi setinggi labial vestibulum maksila direkomendasikan. Walaupun drainase ekstra oral juga merupakan pilihan, akan tetapi dapat menimbulkan bekas luka. Sayatan untuk drainase dilakukan intraoral dilakukan pada mucobuccal fold (paralel dengan tulang alveolar), di wilayah caninus (Gambar 6). Hemostat A kemudian dimasukkan, yang ditempatkan pada kedalaman akumulasi purulen sampai kontak dengan tulang (Gambar 7), sedangkan jari telunjuk dari tangan mempalpasi marjin infraorbital. Kemudian, rubber drain ditempatkan, distabilkan dengan jahitan pada mucosa (Gambar 8).

(16)

Gambar 7 a, b: Insersi hemostat dan eksplorasi lubang abses sampai sejauh permukaan tulang untuk drainase pus.

Gambar 8a, b: Posisi rubber drain distabilkan dengan jahitan a Ilustrasi b Gambaran klinis

2.3.1.2 Buccal Space Maksila a. Lokasi Anatomis

Buccal space dibatasi oleh kulit superfisial wajah pada bagian lateral dan muskulus

buccinator pada bagian medial. Ruang bukal mengandung buccal fat pad, duktus kelenjar parotis atau duktus stensen, dan arteri fasialis atau arteri maksilaris eksterna. Space ini dapat terlibat akibat perluasan infeksi gigi pada maksila atau mandibula (Peterson, 2003).

Gambar 9: Anatomi abses spasia bukal (Topazian, 2002). b. Etiologi

Gigi mandibula dan maksila premolar dan molar cenderung meluas dalam arah lateral dan bukal. Hubungan puncak akar dengan otot buccinator menjadi penentu infeksi tersebut keluar secara intraoral atau meluas ke buccal space. Gigi-gigi posterior rahang atas, biasanya gigi molar menyebabkan buccal space infection, buccal space dapat terlibat infeksi apabila infeksi menembus melalui tulang di bagian superior dari perlekatan otot buccinator. Buccal space berisi bantalan lemak, saluran Stensen’s (parotis) dan facial artery (eksternal maksila) (Topazian, 2004; Peterson, 2003).

(17)

Pada kasus khusus dan jarang, infeksi buccal space non odontogenik atau selulitis bukal disebabkan oleh Haemophilus influenzoe. Infeksi ini biasanya terlihat pada bayi atau anak berumur kurang dari 3 tahun dan infeksi ini dapat juga timbul pada anak yang lebih besar. Ditandai dengan panas tinggi selama lebih kurang 24 jam sebelum timbul tanda klinis berupa serangan cepat, pembengkakan berwarna merah gelap yang dapat didiagnosa banding dengan infeksi odontogenik atau erysipelas. Buccal space infestion yang rekuren dapat timbul akibat komplikasi dari Crohn’s disease, yang mana penyakit segmental transmural intestinal ini gambaran klinisnya termasuk rasa sakit abdominal yang intermitten, demam, berkurangnya berta badan dan diare dengan karakteristik granuloma yang terinflamasi yang dapat timbul disepanjang traktus gastrointestinal, dari mulut ke anus (Topazian, 2004)

c. Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan berupa pembengkakan di sudut zygomatikus dan sekitar batas bawah dari mandibular. Pada buccal space abscess, arcus zygomaticus maupun pinggiran inferior mandibula masih teraba (Peterson, 2003).

Gambar 10: Perluasan buccal space (Peterson, 2003). d. Perawatan

Infeksi pada ruang ini dapat dengan mudah didiagnosa karena adanya pembengkakan pada pipi akibat penyakit pada gigi molar atau premolar. Bila pada pembengkakan terdapat fluktuasi, harus segera didrainase percutaneously. Coba arahkan fluktuasi ke arah intra oral dengan kumur air hangat, dan drainase intra oral melalui mukosa, submukosa dan otot buccinator, tetapi biasanya tindakan ini sulit dilakukan. Drainase cutaneous dilakukan pada titik inferior atau terendah fluktuasi dengan diseksi tumpul kearah dalam pada batas-batas ruang. Pus dapat menyebar ke spasia-spasia (gambar 10). Percabangan nervus fasialis harus dihindari.

(18)

Lokasi insisi dan drainase harus lebih inferior atau lebih rendah dari duktus Stensen (Topazian, 2002).

2.3.1.3 Infratemporal space infection a. Lokasi Anatomis

Infratemporal space terletak disebelah posterior dari maksila, sisi lateral dibatasi oleh

prosesus pterygoideus di sebelah medial, basis cranii di sebelah superior, inferior dari dasar tengkorak, dan infra temporal spaces berhubungan dengan deep temporal space di sebelah lateral. Berisi nervus dari pembuluh darah (Topazian, 2002; Peterson, 2003).

a. Anatomis: posterior maksila dibawah dataran arkus zigomaticus & m. pterygoideus interna dilalui oleh a. maksilaris interna, n. mandibula, n. lingual dan lain-lain serta tempat injeksi blok mandibula

b. Klinis: tidak jelas, awalnya penderita merasa sakit yang dalam dan tumpul, lokasi di RA belakang, selanjutnya penderita mengeluh sakit yang menusuk telinga, trismus +, sakit pada waktu mulut dibuka

c. IO: bengkak faring, dapat menyebar ke tuber sampai arcus glossopalatinus, fluktuasi -, gejala penting : rasa sakit palpasi antara ramus & tuber di atas lipatan mucosa --- penonjolan jaringan diatas & dibawah arcus zygomatikus “ dumbell ”

b. Etiologi

Infeksi ini berasal dari gigi molar III rahang atas yang mengalami infeksi, trauma gigi post maksila, injeksi yang tidak steril. Infeksi infratemporal spaces dapat terjadi akibat hasil operasi temporomandibular joint atau arthroscopy (Topazian, 2002; Peterson, 2003).

c. Gejala

Gejala infeksi ini tidak adanya pembengkakan pada wajah dan kadang terjadi trismus bila infeksi sudah menyebar, pembengkakan di sebelah anterior dari telinga, dan dapat menunjukkan gejala cavernuos sinus thrombosis dan abses otak (Topazian, 2002; Peterson, 2003).

Infeksi dari infratemporal space dapat menyebar ke :  Superior dari deep temporal space

 Inferior dari pterygomandibular space

(19)

Gambar 11: Lokasi penyebaran eksudat dari infeksi gigi berdasarkan struktur disekitarnya (Topazian, 2002,

Peterson, 2003)

Gambar 12: Penyebaran infeksi infratemporal spaces (Topazian, 2002, Peterson, 2003)

d. Diagnosis

Tomograpi komputerisasi atau imaging resonansi magnetic biasa digunakan untuk membantu diagnosis, tetapi seringkali ditemukan kesulitan membedakan abses dan tumor. Jika abses terdeteksi gambaran tomography ini dapat dijadikan panduan pembedahan untuk kemungkinan terbaik di sisi manakah akan dilakukan insisi dan drainase dengan mengidentifikasi di arah manakah abses tersebut berlokasi.

(20)

Gambar 13: Infratemporal space abscess (Paterson, 2003)

Tiga pola dasar dari infeksi fossa infratemporal bisa diidentifikasi sebagai berikut: 1. lokasi fossa

2. penyebaran superior ke fossa temporal

3. penyebaran inferior ke dasar mulut, leher, dan fosa parapharyngeal (M S Diacono, 1998)

e. Pengobatan

Hal yang ditempuh dalam dalam mengatasi infeksi spasia ini, diantaranya adalah (Topazian, 2002; Peterson, 2003):

1. Difusi antibiotik ke dalam spasia yang tertutup terbatas oleh karena vaskularisasi yang sedikit. Penetrasi antibiotik melalui dinding abses yang tebal adalah minimal. Dosis antibiotik rata-rata tidak cukup untuk infeksi pada spasia.

2. Terapi infeksi spasia bergantung pada drainase yang adekuat, terbuka, dan dependen 3. Insisi bedah yang besar diperlukan untuk memperoleh pembukaan yang adekuat dari

kompartemen dalam.

4. Ruang spasia adalah berdekatan dan infeksi menyebar dari satu spasia ke spasia yang lain. Insisi yang banyak mungkin diperlukan sebab biasanya spasia yang terkena infeksi lebih dari satu.

5. Spasia primer dan sekunder yang terkena infeksi harus didrainase.

6. Anatomi wajah atau leher dapat distorsi/mengalami perubahan karena pembengkakan akibat proses infeksi.

7. Mungkin diperlukan pengulangan insisi.

8. Ruang spasia yang paling umum terlibat infeksi berbahaya adalah spasia submandibular, submental dan bukal. Berikutnya adalah kompartemen spasia mastikator, lateral

(21)

pharyngeal, dan spasia temporal. Dan yang jarang adalah spasia retropharyngeal dan

kaninus.

2.3.2 Gigi-Gigi Rahang Bawah 2.3.2.1 Submental space

a. Lokasi Anatomis

Sebuah facial space potensial pada dagu dan sering terjadi infeksi, baik secara langsung dari incisive RB ataupun secara tidak langsung dari submandibular space. Submental space terletak dibawah dagu dan dibatasi oleh kulit serta otot, bagian lateral oleh otot digastricus venter anterior, bagian dalam oleh otot mylohyoid, bagian superior oleh fascia servicalis dalam, otot platysma, fascia superficialis dan kulit (Peterson et al, 2003).

Jika infeksi dari Insisive keluar melalui bagian labial dari tulang mandibula, inferior dari perlekatan otot akan melibatkan submental space. Dagu akan tampak membesar, tampak jelas dan bersifat erytema (Peterson et al, 2003).

Pola penyebaran dari submental space:

1. Menyebar ke submandibular space kemudian melanjut pada parapharyngeal space 2. Ke arah inferior menuju fascial plane dari leher

3. Ke arah superior menuju sublingial space

b. Gejala Klinis

Tanda dan gejala infeksi ruang submental adalah pembengkakan dagu dan triangle submental sepanjang midline leher. Adenopati cervical superior bilateral dan unilateral dapat terjadi (Peterson et al, 2003).

Gambar 14: Gejala klinis tampak pembengkakan dagu (Bechara 2012) c. Pengobatan

(22)

Drainase adalah penyelesaian terbaik di daerah kutan. Insisi secara horizontal di bagian paling inferior dari dagu dibuat berdasarkan drainase dan estetika terhadap bekas luka tersebut (Peterson et al, 2003).

2.3.2.2 Buccal Mandibula a. Lokasi Anatomis

Spasia bukal adalah ruang potensial yang dibatasi oleh kulit wajah pada bagian lateral m. Buccinator di sebelah medial. Spasia ini terlibat dalam penyebaran infeksi gigi M RB apabila pus menembus tulang alveolar di bawah perlekatan m. Buccinator (Gilang,2010).

b. Gambaran klinis

Gambaran klinis dari Spasia bukal adalah pembengkakan pada pipi, batas tidak jelas, warna kemerahan, palpasi sakit, trismus ringan. Keterlibatan spasia bukal dapat menyebabkan pembengkakan di bawah lengkung zygomatic dan daerah di atas batas inferior dari mandibula. Sehingga baik lengkung zygomatic dan batas inferior mandibula nampak jelas pada infeksi spasia bukal. Pada Spasia bukal terdapat bantalan lemak bukal, duktus stensen’s dan arteri fasialis. Infeksi pada spasia ini mudah didiagnosa karena terdapatnya tanda pembengkakan pada pipi yang menyertainya sakit gigi M atau P. Fluktuasi terjadi biasanya di kutan.

c. Perawatan

Medical support untuk mengoreksi pertahanan imun, termasuk di dalamnya pemberian analgesic, pemberian antibiotik yang tepat, yakni dosis tinggi bakterisidal yang diberikan secara intravena, surgical removal, surgical drainase, evaluasi konstan dari perawatan infeksi (Gilang,2010).

2.3.2.3 Abses perimandibular a. Lokasi Anatomis

Batas medial dari perimandibular space adalah sisi lateral mandibula sedangkan batas lateral adalah m. platysma. Terletak pada margo mandibula sampai “submandibular space”, merupakan kelanjutan serous periostitis (Rahajeng, 2009).

b. Patofisiologi

Proses supurasi yang mencari jalan keluar ekstraoral dan terlokalisir di antara margo inferior mandibula sampai submandibular space (Rahajeng, 2009).

(23)

c. Gejala Klinis: (Rahajeng, 2009).

1. Lemah, lesu, malaise 2. Demam

d. Pemeriksaan Ekstra oral :

1. Asimetri wajah 2. Tanda radang jelas 3. Trismus

4. Fluktuasi +/-

5. Tepi rahang tidak teraba

e. Pemeriksaan intra oral:

1. Periodontitis akut

2. Muccobuccal fold normal 3. Fluktuasi (-)

Gambar 15: Gejala klinis dari perimandibular abses (Rahajeng, 2009).

2.3.2.4 Submandibular space a. Lokasi Anatomis

Ruang submandibularis dipisahkan dengan ruang sublingualis di bagian superiornya oleh otot mylohyoid dan otot hyoglossus, di bagian medialnya oleh styloglossus dan di bagian lateralnya oleh korpus mandibula. Batas lateralnya berupa kulit, fasia superfisial, otot platysma lapisan superfisial pada fasia servikal bagian dalam. Di bagian inferiornya dibentuk oleh otot digastricus. Di bagian anteriornya, ruang ini berhubungan secara bebas dengan ruang submental, dan di bagian posteriornya terhubung dengan ruang pharyngeal. Ruang submandibular ini mengandung kelenjar submaxillaris, duktus Wharton, nervus lingualis dan hypoglassal, arteri fasialis, dan sebagian nodus limfe dan lemak (Topazian et al, 2002).

(24)

Gambar 16: Gambaran Anatomis Submandibular abses (Topazian et al, 2002) b. Etiologi

Penyebab utamanya adalah gigi Molar RB dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan dari pericoronitis karena penyebaran infeksi ini hampir selalu ke lingual dan pus masuk ke dalam submandibular space. (Topazian et al, 2002)

Tujuh puluh hingga 85% dari kasus ini berasal dari infeksi odontogenik, sisanya akibat sialadenitis, limfadenitis, laserasi dasar mulut dan fraktur mandibula. Apex dari gigi molar pertama berada di atas m.milohyoid, jadi keterlibatan gigi molar atau gigi yang berada dibagian anterior akan pertama-tama menyebabkan infeksi ruang sublingual. Sedangkan apex dari molar kedua dan ketiga berada di bawah dari m.milohyoid dan infeksi pertama-tama akan menyebar ke ruang submilohiod (Boscolo-Rizzo et al, 2009).

c. Gejala Klinis

Gejala infeksi berupa pembengkakan ekstra oral pada daerah segitiga submandibula leher disekitar sudut mandibula, kemerahan, perabaan terasa lunak dan terdapat fluktuasi. Pasien akan merasakan nyeri pada rongga mulut, disfagia, banyak air liur dan kekakuan leher, sedangkan trismus jarang. Pembengkakan pada regio submandibula, dapat meluas ke regio leher atau gonion. Pada palpasi terasa sakit dan terdapat peningkatan suhu. Dasar mulut biasanya terangkat atau lidah membesar (Topazian et al, 2002).

d. Perawatan

Terapi dari infeksi submandibular space odontogen meliputi terapi antibiotik drainase, dan perawatan definitif.

1. Antibiotik (parenteral)

Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan

(25)

anaerob, gram positip dan gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan. Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari. (Soetjipto D et al, 2007)

2. Insisi dan drainase

Insisi dilakukan 1 cm di dalam sudut rahang, sejajar dengan corpus mandibula. Panjang insisi minimal 3 cm agar dimungkinkan eksplorasi dengan jari telunjuk. Lapisan demi lapisan diadakan penyingkapan dari jaringan lemak di bawah kulit dan platysma; bila perlu arteri dan vena facialis diikat. (Vriezen THC, 1983) Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Bila abses belum terbentuk, dilakukan panatalaksaan secara konservatif dengan antibiotik, setelah abses terbentuk (biasanya dalam 48-72 jam) maka evakuasi abses dapat dilakukan. Diseksi dengan alat tumpul menembus jaringan dan eksplorasi ke dalam rongga abses sampai rongga abses pecah sehingga pus keluar, bila memungkinkan deseksi dilanjutkan ke arah akar gigi penyebab infeksi, waspada terdapat struktur vital.

Pasang drain , agar tidak lepas dijahit pada kulit. Pada kasus-ksus khusus pada abses ekstra oral dipakai “through and through” drain. Drainase juga dapat dilakukan dengan cara open bur gigi sumber infeksi.

2.3.2.5 Sub Lingual Spaces a. Lokasi Anatomis

Terletak di dasar mulut, superior dari m. mylohyoid, dan sebelah medial dari mandibula. Infeksi berasal dari gigi anterior mandibula dengan ujung akar di atas m. Mylohyoid (Topazian, 2002).

Infeksi sublingual space dimulai dari molar dan premolar dari mandibula yang akarnya terletak di atas garis mylohyoid. Karena adanya infeksi perforasi lingual dari gigi tersebut

(26)

kemudian berpenetrasi hingga sublingual.Yang berhubungan dengan regio sublingual, kemungkinan dihubungkan oleh regio submandibular atau mastikator (Topazian, 2002).

Batas - batas sublingual space yaitu : 1. Lateral : body mandibula 2. Medial : dasar lidah

4. Inferior : otot mylohyoid. Otot ini membentuk dasar dari rongga mulut yang merupakan kunci untuk diagnosis dan manajemen bedah dari space infection. Otot ini memisahkan sublingual space atas dari submandibular space bawah.

5. Superior : mukosa dari dasar rongga mulut.

Lokasi dari sublingual space meliputi glandula sublingual, glandula dan ductus dalam submandibula, nervus lingualis dan ganglion submandibula, arteri dan cabang lingualis, dan nervus hipoglosalis (Topazian, 2002).

b. Gejala Klinis

Gejala infeksi berupa pembengkakan dasar mulut, terangkatnya lidah, nyeri, dan dysphagia. Pada sublingual space terdapat gambaran klinis berupa erymathous, swelling pada dasar rongga mulut, berotot atau brawny, mulai dekat dengan mandibula dan menyebar ke arah garis tengah atau ke luar (Topazian, 2002).

Pada bagian anterior dari sublingual space menghubungkan dengan submental space. Pada area ini, sublingual space diinvasi oleh infeksi dari gigi insisif, khususnya infeksi periodontal. Pada bagian posterior dari sublingual space menghubungkan dengan lateral pharyngeal space, tetangga dari bagian posterior dari muskulus mylohyoid dan bagian sayap dari tulang hyoid (Topazian, 2002).

c. Perawatan

Drainase bedah dari sublingual space harus dilakukan intraoral dengan insisi melalui mukosa paralel ke saluran Wharton bilateral (Topazian, 2002).

2.4 Facial Space Infection Sekunder 2.4.1 Masticatory Space

2.4.1.1 Submasseteric space infection a. Lokasi anatomis

(27)

Masseteric space adalah ruang yang terdapat antara musculus masseter dan aspek lateral ramus mandibula. Sisi posterior dibatasi oleh kelenjar parotid dan sisi anterior dibatasi oleh mukosa area retromolar (Fragiskos, 2007).

Gambar 17 a. b: Submassateric abscess (Fragizkos, 2007)

b. Etiologi

Infeksi pada space ini berasal dari pericoronitis di daerah gigi molar ketiga rahang bawah dan pada kasus yang jarang terjadi karena penjalaran abses (Fragiskos, 2007).

c. Gejala klinis

Masseteric space infection menunjukkan gejala klinis berupa pembengkakan agak keras yang sakit apabila ditekan pada regio musculus masseter, yang meluas dari batas posterior ramus mandibula sejauh batas anterior musculus masseter. Terdapat trismus yang parah dan ketidakmampuan untuk palpasi pinggiran rahang mandibula. Secara intraoral, terdapat edema pada area retromolar dan pada batas anterior ramus. Abses ini jarang berfluktuasi, sementara dapat menunjukkan gejala umum (Fragiskos, 2007).

d. Perawatan

Perawatan abses ini dasarnya intraoral, dengan sebuah insisi yang dimulai pada coronoid process dan sepanjang batas posterior ramus terhadap mucobuccall fold, sekitar sejauh molar kedua. Insisi dapat dilakukan secara ekstraoral pada kulit, dibawah pinggiran mandibula. Kemudian hemostat dimasukkan sejauh tengah supurasi dan hingga kontak dengan tulang. Karena akses jauh dari akumulasi purulen, sering sulit untuk mendrainase area dengan baik, yang dapat menyebabkan kekambuhan (Fragiskos, 2007).

(28)

2.4.1.2 Pterygomandibular Space Infection a. Lokasi anatomis

Pterygomandibular space merupakan ruang yang terletak di sebelah medial dari

mandibula dan lateral dari musculus pterygoideus medialis. Ruang ini merupakan tempat menginjeksikan larutan anestesi pada teknik inferior alveolar nerve block. Batas lateral pterygomandibular space adalah ramus asenden mandibula, batas medialnya adalah otot pterygoideus medialis, batas inferiornya adalah sling pterygomaseterik, dan batas superiornya adalah otot pterygoideus lateralis. Kelenjar parotis membentuk batas posterior pterygomandibular space, sementara batas anteriornya dibentuk oleh otot buccinator dan otot konstriktor faringeal superior yang bertemu di raphe pterygomandibular (Topazian, 2002).

Pterygomandibuar space berisi bundle neurovaskuler alveolar inferior dan suplai vaskular dan motorik otot pterygoideus medialis dan masseter, yang arterinya merupakan cabang dari maksila internal. Bagian sensoris divisi mandibula dari nervus trigeminal juga ditemukan dalam pterygomandibular space, yaitu nervus lingual, alveolar inferior, mylohyoid, dan aurikulotemporal (Topazian, 2002).

(29)

Infeksi pada pterygomandibular space sering disebabkan kontaminasi jarum injeksi. Faktor penyebab lainnya adalah perluasan infeksi dari perikoronitis molar ketiga mandibula yang impaksi sebagian dan bisa merupakan tempat penyebaran infeksi sublingual dan submandibular space. (Topazian, 2002).

Infeksi dapat menyebar ke bagian infratemporal dari temporal space dalam dengan melewati otot pterygoideus lateralis ke arah superior, dari leher kondilus mandibula dan diskus artikularis ke plate pterygoideus medialis. Umumnya, infeksi pterygomandibular space menyebar ke space faringeal lateralis melalui batas anterior otot pterygoideus medialis, mengikuti permukaan posterolateral otot buccinator dan otot konstriktor faringeal superior (Topazian, 2002).

b. Gejala Klinis

Penelitian menunjukkan bahwa pterygomandibular space merupakan daerah yang paling banyak terkena perluasan infeksi odontogen parah. Abses atau selulitis ditemukan di pterygomandibular space pada 23 dari 37 kasus. Trismus, disebabkan oleh edema dan inflamasi otot pterygoideus medialis. Adanya pembengkakan tonsillar pillar anterior dan deviasi uvula ke sisi seberang merupakan ciri-ciri adanya infeksi pada pterygomandibular space (Topazian, 2002). Gambaran klinis yang khas dari pterygomandibular space infection yang murni adalah trismus tanpa adanya pembengkakan ekstraoral. Terdapat pembengkakan ekstraoral apabila infeksi pada pterygomandibular space merupakan penyebaran dari fascial space yang lain (Topazian, 2002).

c. Perawatan

Ada lima hal yang ditempuh dalam dalam mengatasi infeksi spasia ini, diantaranya adalah (Topazian, 2002):

1. Medical support untuk mengoreksi pertahanan imun, termasuk di dalamnya pemberian analgesic.

2. Pemberian antibiotik yang tepat, yakni dosis tinggi bakterisidal yang diberikan secara intravena.

3. Surgical removal. 4. Surgical drainage.

(30)

2.4.1.3 Abses Temporal a. Lokasi anatomis.

Temporal space adalah kelanjutan dari ruang superior infratemporal. Space ini dibagi menjadi superficial dan deep temporal spaces. Temporal space superfisial lateral dibatasi oleh fasia temporal dan medial oleh otot temporalis, temporal spaces dapat ditemukan antara permukaan medial dari otot temporalis dan tulang temporal (Fragiskos, 2007).

Gambar 19: Letak insisi untuk drainase ekstraoral infeksi kepala dan leher (Peterson, 2004).

b. Etiologi

Infeksi pada temporal space disebabkan oleh penyebaran infeksi dari infratemporal space, dengan kedua bagian itu berhubungan (Fragiskos, 2007).

c. Gejala Klinis

Ditandai dengan nyeri edema pada fascia temporal, trismus (otot temporalis dan pterygoideus medial yang terlibat), dan nyeri selama palpasi dari edema (Fragiskos, 2007).

d. Perawatan

Insisi untuk drainase dilakukan secara horizontal, pada margin dari rambut dan kulit kepala dan sekitar 3 cm di atas lengkung zigomatikus. Kemudian berlanjut ke antara dua lapisan dari temporalis fasia sampai ke otot temporalis. Sebuah hemostat lengkung digunakan untuk mengeringkan abses (Fragiskos, 2007).

(31)

2.4.2. Cevical Facial Space 2.4.2.1 Lateral Pharyngeal a. Lokasi Anatomis

Lateral pharyngeal space merupakan bagian cervical fascial space dan dapat mengancam

nyawa dengan adanya obstruksi saluran nafas. Perluasan ke arah posterior dan pterygomandibula

space dapat menyebar ke lateral pharyngeal space. Space ini meluas dari dasar tengkorak pada

tulang sphenoid ke inferior menuju tulang hyoid. Bagian medial dibatasi oleh muskulus pterigoideus medialis dan bagian lateral oleh muskulus konstriktor faringeus superior. Bagian anterior berbatasan dengan rafe posteromandibula dan menuju fasia prevertebra. Prosesus stiloideus dan muskulus-muskulus sekitarnya membagi spasium faringeal lateral menjadi kompartemen anterior yang berisi muskulus dan kompartemen posterior yang berisi karotis dan saraf kranial (Peterson, 2003).

Spasium ini mengandung arteri carotid interna, vena jugularis interna dengan beberapa pembuluh limfe, nervus glossofaringeal, nervus vagus, nervus hypoglossus dan nervus asesorius. Ini berhubungan langsung dengan spasium submandibula, serta otak melalui foramen kranium. Infeksi pada daerah ini dapat berasal dari gigi molar tiga dan sebagai akibat perluasan infeksi spasium submandibula dan pterygomandibula.

Gambar 20: Spasia faringeal lateral, terletak antara M. pterigoideus lateral dan M. konstriktor faringeal superior. Spasia retrofaringeal dan spasia prevertebral terletak antara faring dan kolumna

(32)

vertebral. Spasia retrofaringeal terletak antara M. konstriktor faringeal superior dan portio alar fascia prevertebral. Spasia prevertebral terletak antara alar dan lapisan prevertebral dari fascia prevertebral (Peterson, 2003).

b. Gejala Klinis

Gejala klinis dari infeksi ini adalah edema ekstra oral pada bagian letaral dari leher yang mungkin dapat meluas ke tragus dari telinga, perubahan posisi dari dinding faring, tonsil dan uvula membengkak sehingga tampak ke midline, rasa sakit yang menyebar ke telinga, trismus, susah menelan, peningkatan suhu yang signifikan dan malaise (Peterson, 2003).

c. Perawatan

Drainase dilakukan ekstraoral (mirip dengan kasus pada abses submandibular) dengan insisi sepanjang 2 cm, inferior atau posterior ke bagian posterior mandibula. Akses dicapai dengan menggunakan hemostat. Setelah memasuki pusat pus, dilakukan pergerakan menuju permukaan medial mandibula ke area molar ketiga, dan apabila memungkinkan, di belakang daerah itu. Setelah prosedur tersebut, rubber drain dipasang pada daerah tersebut selama 2-3 hari. Drainase abses pada kasus ini juga dapat dilakukan secara intraoral meskipun sulit dan beresiko. (Fragiskos,2007)

2.4.2.2 Retro Pharyngeal a. Lokasi Anatomis

Spasia ini terletak di sebelah belakang dari dinding posterior faring, dibatasi di bagian anterior oleh musculus constrictor pharyngis superior dan dibagian posterior oleh fascia prevertebral. Retropharyngeal space ini mulai dari basis crania memanjang ke inferior sampai setinggi tulang vertebrae cranialis ke-7 atau thoracica ke-1 (Green et al, 2001).

Infeksi pada retropharyngeal space dapat menyebabkan komplikasi berupa:

1. Obstruksi jalan nafas atas yang serius sebagai hasil dari displacement anterior dari dinding faringeal posterior ke arah faring.

2. Rupturnya abses spasia retrofaringeal dengan masuknya pus ke paru-paru yang dapat menimbulkan asphyxia

3. Kemungkinan penyebaran infeksi ke mediastinum bagian posterosuperior

4. Penyebaran infeksi ke prevertebral space merupakan infeksi fascial spaces yang serius karena infeksi dapat menyebar ke mediastinum dan daerah leher yang lebih dalam

(33)

(menyebabkan kerusakan n. vagus dan n cranial bawah, Horner syndrome) (Toran et al, 2004).

b. Etiologi

1. Kuman aerobik, misal: Streptococcus beta hemoliticus dan Staphylococcus aureus 2. Kuman anaerobik, misal: Bacteiroides dan Veinonella

3. Kuman gram negatif, misal: Haemophillus parainfluenza dan Bartonellahenselae (Green et al, 2001).

c. Perawatan:

1. Mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita 2. Pemberian antibiotic yang tepat dengan dosis yang memadai

3. Tindakan drainase secara bedah dari infeksi yang ada 4. Menghilangkan secepat mungkin sumber infeksi

Evaluasi terhadap efek perawtan yang diberikan (Michael et al, 2006) 1. Penggunaan Oksigen intranasal 2 l/menit

2. IFVD dipasang bila ada tanda-tanda dehidrasi dan low intake 3. Antibiotika: kombinasi antibiotika gram positif dan gram negatif.

a. Kombinasi klindamisin dan metronidazol. Dosis klindamisin 25-40 mg/kgBB/hari IV dibagi per 6-8 jam, ditambah metronidazol 30 mg/kg BB/hari IVdibagi 8 jam.

b. Kombinasi penisilin dan metronidazol. Dosis penisilin 25.000 IU/kg BB IVtiap 6 jam dan metronidazol 30 mg/kg BB/hari IV dibagi 8 jam.

c. Golongan sefalosporin, misalnya Cefoxitin dosis 80-160 mg/kg BB/ hari tiap6 jam.

4. Intubasi dengan Endotracheal tube (ETT) dilakukan bila terjadi obstruksi pada jalan nafas dan distres pernapasan.

5. Konsul Bagian THT untuk tindakan:

6. Cricothyrotomy (dilakukan bila intubasi dengan ETT gagal)

7. Tracheostomy (dilakukan sebagai manajemen obstruksi jalan nafas yangdefinitif)

2.4.2.3 Prevertebral a. Lokasi anatomis

(34)

Prevertebral space terletak di sebelah posterior dari retropharyngeal space, memanjang

mulai dari basis kranii sampai setinggi diafragma. Space ini dipisahkan dari retropharyngeal

space dengan perantaraan prevertebral fascia. (Topazian, 2002).

.

Gambar 21: Gambaran radiografik letak prevertebral space secara anatomis (www.bonespine.com) b. Pola Penyebaran

Prevertebral space terjadi apabila infeksi dari retropharyngeal space menembus fascia

tersebut maka infeksi akan melibatkan perevetrebral space dan dapat menyebar dengan cepat ke inferior sempai sebatas diafragma (Topazian, 2002)

c. Gambaran klinis

Gambaran klinis dari prevertebral space abscess adalah penderita tampak sakit yang serius dan dapat terjadi komplikasi, antara lain obstruksi jalan napas dan mediastinistis (Topazian, 2002).

d. Perawatan

Perawatan dengan drainase pada prevertebral space dimana infeksi berasal serta pemberian antibiotik sistemik (Fragiskos, 2007)

2.5 Abses Subkutan (Subcutaneous Abscess) a. Lokasi Anatomis

Sesuai namanya, abses ini terletak tepat dibawah lapisan kulit (subkutan). Ditandai dengan terlihat jelasnya pembesaran secara ekstra oral, kulit terlihat mengkilap di regio yang mengalami pembesaran, dan merupakan tahap terluar dari seluruh perjalanan abses. Biasanya jika dibiarkan, akan terdrainase spontan, namun disarankan untuk melakukan insisi untuk drainase sebagai perawatan definitifnya (Rasuna, 2011).

(35)

Abses subkutan odontogenik sebenarnya adalah komplikasi daripada karies gigi. Bisa juga disebabkan oleh trauma gigi (misalnya apabila gigi patah atau hancur). Email yang terbuka menyebabkan masuknya bakteri yang akan menginfeksi bagian pulpa gigi. Infeksi ini menjalar hingga ke akar gigi dan tulang yang mendukung gigi (Tunjungputri, 2009).

Infeksi menyebabkan terjadinya pengumpulan nanah (terdiri dari jaringan tubuh yang mati, bakteri yang telah mati atau masih hidup dan sel darah putih) dan pembengkakan jaringan dalam gigi. Ini menyebabkan sakit gigi. Jika struktur akar gigi mati, sakit gigi mungkin hilang, tetapi infeksi ini akan meluas terus menerus sehingga mejalar ke jaringan yang lain (Tunjungputri, 2009).

b. Gejala Klinis

Disebabkan gigi-gigi RA dan RB yang apeks giginya di atas muskulus bucinator (RA) atau di bawah insersio muskulus milohyoid (RB) (Siki, 2011).

a. Intra Oral: - Gigi penyebab periodontitis

- Bukal fold normal, kadang-kadang terangkat (Siki, 2011) b. Ekstra Oral: - Palpasi sakit, berinti, ada fluktuasi, ada batas jelas

- Kadang-kadang pecah spontan (Siki, 2011)

c. Perawatan

a. insisi b. antibiotic c. analgesic

d. ekstraksi gigi penyebab (Siki, 2011)

Prinsip perawatan abses subkutan yaitu melakukan insisi pada abses kemudian dilakukan drainase, yang kemudian dilakukan pencabutan dari gigi yang menjadi penyebab primer abses (Tunjungputri, 2009).

2.6 Ludwig’s angina a. Etiologi

Kebanyakan kasus, penyakit ini disebabkan oleh infeksi gigi molar rahang bawah hingga dasar mulut (akar gigi melekat pada m. mylohyoid) karena ekstraksi. Infeksi ini disebabkan oleh streptokokus hemolitik, walaupun bisa jadi disebabkan pula oleh miksturasi antara bakteri aerob dan anaerob (Topazian, 2002).

(36)

b. Lokasi anatomis

Ludwig’s angina merupakan selulitis yang tegas, akut, dan toksik pada bilateral submandibula dan sublingual space serta submental space (Fragiskos, 2007).

Gambar 22: Pola penyebaran Ludwig’s Angina kea rah superior dan posterior (Steinhauer, 1967)

c. Gambaran klinis

Gejala dan tanda klinis dapat berupa sakit dan bengkak pada leher, leher menjadi merah, demam, saliva bertambah, lidah bergerak kaku, dan ada edematous di larynx, lemah, lesu, mudah capek, rasa dingin, bingung dan perubahan mental, dan kesulitan bernapas (gejala ini menunjukkan adanya suatu keadaan darurat) yaitu obstruksi jalan nafas. Pasien Ludwig’s angina akan mengeluh bengkak yang jelas dan lunak pada anterior leher, jika dipalpasi tidak terdapat fluktuasi. Komplikasi paling serius dari Ludwig’s angina adalah adanya penekanan jalan nafas akibat pembengkakan yang berlangsung hebat dan dapat menyebabkan kematian (Topazian, 2002).

(37)

Gambar 23: Gambaran klinis penderita Ludwig’s Angina (steinhauer, 1967)

Infeksi ini berbeda dari jenis selulitis post-ekstraksi lainnya. Hal utama yang membedakannya adalah (Topazian, 2002):

a. Indurasinya kuat. Adanya gangren dengan keluarnya cairan serosanguinous yang meragukan ketika dilakukan incisi dan tidak jelas apakah itu adalah pus.

b. Space yang terlibat (submandibular, submental, sublingual) terbentuk bilateral.

c. Pasien biasanya dalam kondisi openmouth, dasar mulutnya elevasi dan lidahnya protusi. Kondisi ini yang menyebabkan pasien sulit bernafas.

d. Perawatan

Perawatan adalah dengan mempertahankan jalan napas dan pemberian antibiotik intravena. Insisi abses harus bilateral, ekstraoral, paralel, dan medial terhadap tepi inferior mandibula, pada region premolar dan molar, dan intraoral, paralel terhadap duktus kelenjar

submandibular. Eksplorasi dilakukan dengan merusak septa dan drainasi dapat dilakukan. Rubber drain ditempatkan untuk menjaga drainasi minimal selama 3 hari hingga gejala klinis

Gambar

Gambar  2.7:  Ilustrasi  penyebaran  infeksi  odontogen  (dentoalveolar  abcess)  tergantung  pada  posisi  apeks  gigi  penyebab
Gambar  2.8:  Ilustrasi  penyebaran  infeksi  odontogen  (dentoalveolar  abcess)  tergantung  pada  posisi  apeks  gigi  penyebab
Gambar  2.9:  Ilustrasi  rute  perjalanan  pus  pada  penyebaran  infeksi  odontogen  (A)  Abses  intraalveolar;  (B)  Abses  superiosteal (Fragiskos, 2007)
Tabel 1. Fascial space yang terlibat dalam infeksi odontogenik(Peterson, 2003)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suatu hari ketika akan melakukan perjalanan pariwisata maka pariwisata Jawa Barat sebagai pilihan yang akan dikunjungi oleh wisatawan domestik ataupun

2003, “ Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa Ke Masa” Tulisan Bachtiar Agus Salim Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917 Hingga Lahirnya SistemPemasyarakatan di Indonesia Dewasa

perempuan, contoh pada pemilu 2004 partai politik dapat menambahkan hanya dengan caleg perempuannya pada tahapan memperbaiki persyaratan caleg. „ Electoral border : magnitude

[r]

Di laporan keuangan sendiri ada sebuah draf laporan perubahan ekuitas pemilik yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari rentetan

Penting untuk diingat bahwa manusia, dan bukanya organisasi, yang mengenali, mendefenisikan masalah atau peluang, yang mencari tindakan alternatif secara optimal

Contoh lain, usaha-usaha masyarakat internasional atau Negara-negara dalam men- cegah dan memberantas kejahatan transnasio- nal dapat dilakukan dengan kerjasama secara fisik

(1) Tunjangan Alat Kelengkapan dan Tunjangan Alat Kelengkapan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f dan huruf g diberikan setiap bulan