• Tidak ada hasil yang ditemukan

RASIONALISME KRITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RASIONALISME KRITIS"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

RASIONALISME KRITIS "KARL R. POPPER"

Jumat, 28 Mei 2010 13.41 Yusuf A. B.

Label: FILSAFAT , 0 komentar

1. Kritik terhadap positivisme logis (Lingkungan Wina) yang induktif --> terjadi generalisasi (kasus konkrit disimpulkan dg hukum umum). Dengan dimasukkan pada induktif terjadi pembedaan antara ilmu pengetahuan dan pendekatan yang tidak ilmiah seperti berdasarkan otoritas, terdisi, emosi, dll.

2. sebenarnya sebesar apapun fakta yang ditemukan/tersedia secara logis tidak dapat disimpulkan suatu kebenaran umumnya. --> ex: angsa warnanya putih.

3. Yang terpenting dari poin 2 adalah untuk kemajuan Ilmu Pengetahuan, perlu kritik. Meski baru hipotesa (ada kemungkinan angsa warna lain). maka jangan bernalar induktif --> menganggap sama sesuatu, yang masih ada kemungkinan beda.

4. Pada prinsipnya verifikasi tidak pernah bisa untuk menyatakan kebenaran hukum umum (hukum umum dalam Ilmu Pengetahuan tidak pernah bisa diverifikasi). Ok, jika Induktif diatur, maka mestinya mereka sadar bahwa sebagaimana metafisika, sebagaimana IPA dengan dasar kebenaran umum/generalisasi juga tidak bermakna.

5. Dengan ferifikasi, metafisika tidak bermakna tapi sejarah membuktikan Ilmu Pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisis.

6. Terkait dengan ucapan yang bermakna/tidak, ia mengakui ada perbedaan antara perbedaan antara pernyataan itu sendiri (statement in self) & proses pemikiran / proses subjektif.

7. Berdasar itu ia membedakan 3 macam dunia:

 World 1, meliputi semua hal fisis disaksikan pada indra.

 World 2, meliputi seua sesuatu yang dialami secara subyektif misal proses pemikiran.

 World 3, meliputi pikiran-pikiran dalam arti isi pikiran.

Dari ketiganya, yang harus dibedakan secara jelas adalah dunia 2 & 3. Teori-teori, Ulasan ulasan, problem termasuk dunia ke 3. dengan demikian ia menerapkan hal yang hakiki bagi Ilmu

Pengetahuan. Lalu Popper tidak segan untuk mengatakan bahwa dunia 3 adalah real (sungguh ada).

Mar2008 Filed under: Epistemology, Philosophers Author: Arif

Ketika Ia Hidup

Karl Raimund Popper lahir di Wina tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya Dr. Simon Siegmund Carl Popper adalah seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat. Maka tidak mengherankan bila ia begitu tertarik dengan dunia filsafat, karena ayahnya telah mengkoleksi buku-buku karya filusuf-filusuf ternama.

(2)

Pada usia 16 tahun ia keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, dengan alasan Ia bosan dengan pelajaran disana maka ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa disama.

Setelah perang dunia I dimana begitu banyak penindasan dan pembunuhan maka Popper terdorong untuk menulis sebuah karangan tentang kebebasan. Dan diusia 17 tahun ia menjadi anti Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan ―segala cara‖ dalam melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dimana pada saat itu terjadi pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari teman-temannya yang terbunuh. Dan sejak saat itu ia menarik suatu kebijaksanaan yang diungkapkan oleh Socrates yaitu ―Saya tahu bahwa saya tidak tahu‖, dan dari sini ia menyadari dengan sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran dogmatis dan kritis.

Salah satu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan intelektual Popper dalam filsafatnya adalah dengan tumbangnya teaori Newton dengan munculnya Teori tentang gaya berat dan kosmologi baru yang gikemukakan oleh Einstein. Dimana Popper terkesan dengan ungkapan Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori kesayangannya.

Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang crucial berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.

Tokoh lain yang cukup berpengaruh pada Popper yang berkaitan dengan perkembangan pemikiran filsafatnya adalah Karl Buhler, seorang profesor psikologi di Universitas Wina. Buhler memperkenalkan pada Popper tentang 3 tingkatan fungsi bahasa, yaitu fungsi ekspresif, fungsi stimulatif, dan fungsi deskriptif. Dua fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia dan binatang sedangkan fungsi ketiga khas pada bahasa manusia dan bahkan tidak selalu hadir. Dan pada perkembangannya Popper menambahkan fungsi keempat yaitu fungsi argumentatif, yang dianggapnya terpenting karena merupakan basis pemikiran kritis.

Dalam perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada bukunya yang berjudul Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa arti terbaik ―akal‖ dan ―masuk akal‖ adalah keterbukaan terhadap kritik – kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri. Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya pada tahun 1994.

(3)

Karya-karyanya

1. Logik der Forschung tahun 1934

2. The Open Society and Its Enemies I, II; The Poverty of Historicism tahun 1957 3. The Logic of Scientific Discovery tahun 1959

4. Conjectures and Refutations: the Growth of Scientific Knowledge tahun 1963 5. Objective Knowledge, an Evolutionary Approach tahun 1972

6. The Philosophy of Karl Popper tahun 1974

Kritiknya terhadap Positivisme Logis

Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu

pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.

Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia

berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan

pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar

pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.

Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.

Pemikirannya : Asas Falsifiabilitas

Menurut Popper teori yang melatar belakangi fakta-fakta pengamatan adalah titik permulaan ilmu pengetahuan dan teori diciptakan manusia sebagai jawaban atas masalah pengetahuan tertentu berdasarkan rasionya sehingga teori tidak lain hanyalah pendugaan dan pengiraan dan

(4)

tidak pernah benar secara mutlak sehingga perlu dilakukan pengujian yang secermat-cermatnya agar diketahuan ketidakbenarannya.

Ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang apabila teori yang diciptakannya itu berhasil ditentukan ketidakbenarannya. Dan Popper mengganti istilah verifikasi dengan falsifikasi. Keterbukaan untuk diuji atau falsifiabilitas sebagai tolok ukur mempunyai implikasi bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang dan selalu dapat diperbaiki, dan pengetahuan yang tidak terbuka untuk diuji tidak ada harapan untuk berkembang, dan sifatnya biasanya dogmatis serta tidak dapat digolongkan sebagai pengetahuan ilmiah.

Adapun bagan mengenai metode falsifiabilitas yang dikemukankan oleh Popper dapat ditunjukkan sebagai berikut :

Tahap 1: P1 – TT – EE – P2 Tahap 2: P2 – TT1 – EE1 – P3 Tahap … dst…..

Keterangan :

P1 : Permasalahan/ Problem Awal TT : Tentative Theory

EE : Error Elimination P2 : Problem baru

TT1 : Tentative theory ke dua EE1 : Error Elimination ke dua P3 : Problem baru

Dari bagan ini terlihat bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang mengikuti alur diatas dan penjelasan ini akan lebih jelas lagi dengan menyimak penjelasn yang berikut.

Proses Pengembangan Pengetahuan Ilmiah

Popper menekankan bahwa pengalaman merupakan unsur yang paling menentukan dan

pengalaman tidak mengenai sesuatu yang berdiri sendiri yang dapat dipakai sebagai tolok ukur atau batu uji mutlak buat pembuktian atau embenaran suatu teori atay pernyataan, melainkan mengenai cara menguji, atau metode penelitian itu sendiri. Jadi Popper mengatakan bahwa pengalaman saman dengan pengujian dan pengujian sama dengan metode penelitian. Popper juga mengungkapkan adanya tahap-tahap pengembangan pengetahuan ilmiah, yaitu

tahap 1, Penemuan masalah, ilmu pengetahuan mulai dari satu masalah yang bermula dari

suatu penyimpangan, dan penyimpangan ini mengakibatkan orang terpaksa mempertanyakan keabsahan perkiraan itu dan ini merupakan masalah pengetahuan. Tahap 2, Pembuatan Teori, langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu Teori sebagai jawabannya yang merupakan hasil

(5)

daya cipta pikiran manusia dan sifatnya percobaan atau terkaan. Teori sifatnya lebih abstrak dari masalah. Tahap 3, Perumusan ramalan atau hipotesis, Teori selanjutnya digunakan untuk menurunkan ramalan atau hipotesis spesifik secara deduktif dan ini ditujukan kepada kenyataan empiris tertentu. Tahap 4, Pengujuan ramalan atau hipotesis, selanjutnya hipotesis diuji melalui pengamatan dan eksperimen tujuannya adalah mengumpulkan keterangan empiris dan menunjukkan ketidakbenarannya. Tahap 5, Penilaian hasil, tujuan menilai benar tidaknya suatu teori oleh Popper dinamakan pernyataan dasar yang menggambarkan hasil pengujian. Pernyataan dasar ini memainkan peranan khusus yaitu pernyataan yang bertentangan dengan teori, dan ini semacam petunjuk ketidakbenaran potensial dari teori yang ada. Dalam tahap ke 5 ini terdapat dua kemungkinan, pertama, teori ini diterima sehingga tidak berhasil ditunjukkan

ketidakbenarannya dan untuk sementara teori ini dapat dikategorikan sebagai pengetahuan ilmiah sampai pada suatus aat dapat dirobohkan dengan menyusun suatu pengujian yang lebih cermat. Kemungkinan kedua, adalah teori ini ditolak sehingga terbukti bahwa ketidakbenarannya dan konsekuensinya muncul masalah baru dan harus segera dibentuk teori baru untuk mengatasinya.

Tahap 6, Pembuatan Teori Baru, dengan ditolaknya teori lama maka muncullah masalah baru

yang membutuhkan teori baru untuk mengatsinya dan sifat dari teori ini tetap abstrak dan merupakan perkiraan atau dugaan sehingga merupakan suatu percobaan yang harus tetap diuji. Dari penjelasan diatas bahwa untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah tentunya manusia tidka akan lepas dari kegiatan percobaan, kesalahan, terkaan dan penolakan yang silih berganti dan menurut Popper teori adalah unsur tetap dalam evolusi manusia dan teori pula adalah unsur rasio dan bagian dari pembawaan manusia.

Menurut Popper filsafat ilmu pengetahuan tidak lain merupakan suatu pengujian untuk

memberikan alasan atau argumentasi untuk memilih teori satu dan membuang teori yang lain dan bukan mengenai pembenaran suatu teori. Dan apa yang dapat dibuat tidak lain hanya

mengadakan pilihan rasional dalam keputusan tentang suatu pernyataan. Filsafat ilmu

pengetahuan hanya dapat berbicara tentang pengetahuan dalam arti kata produksi, sedangkan masalah bagaimana pengetahuan itu dihasilkan atau ditemukan tidak bisa menjadi pokok pembicaraan oleh karena meliputi ―intuisi kreatif‖ yang tidak terbuka untuk ditelaah. Apa yang dimaksud oleh Popper Rasionalisme Kritis adalah memberikan kebebasan pada manusia untuk berfikir penuh kepada manusia. Pikiran manusia merupakan percobaan atau terkaan belaka. Untuk memperbaiki nasibnya manusia dituntut mengembangkan pengetahuan ilmiah dengan cara mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang tersimpan dalam pikirannya sendiri. Teori disatu pihak hanyalah alat untuk mencapai pikiran yang lain dan lebih tepat. Teori pada hakekatnya merupakan jalan menuju fakta-fakta baru. Tugas Ilmuwan menurut Popper adalah membebaskan manusia dari terkaan dan ia dituntut untuk berkarya dan menciptakan fakta barusehingga dengan cara ini manusia dapat dibebaskan dari cengkraman kesalahan.

Kritik terhadap Popper

Kritik pertama disampaikan oleh Thomas Kunt ia melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu dilihat dari masa lalu dan jika demikian maka apa yang diungkapkan oleh Popper tidak sesuai. Kunt mengungkapkan bahwa perkembang ilmu pengetahuan itu melalui 2 tahapan, yaitu tahap normal dan tahap revolusi.

(6)

Tahap normal ditandai dengan kesepahaman dikalangan ilmuwan tentang permasalahan yang pantas diteliti maupun syarat0syarat yang harus dipenuhi supaya hasil penelitian dapat diterima. Dengan adanya kesepakatan ini maka metode yang digunakannya pun berdasarkan kesepakatan. Karena ada kesepakatan diantara ilmuwan maka setiap fakta baru yang muncul akan segera diketahui keberadaannya. Namun ketika f\suatu fakta baru muncul dan dianggap menyimpang karena tidak dapat diteliti dengan menggunakan paradigman yang dianut, maka tidaks egera mengganti paradigma yang lama dengan yang baru seperti apa yang dikatakan oleh Popper tetapi semua ilmuwan itu mencoba berdialog dan membicarakan hal ini guna menetapkan paradigman baru yang akan dipakai, dan jika pada perbincangan itu tidak bisa dijelaskan tentang fakta yang baru ini maka barulah keabsahan yang menyimpang mulai diakui dan timbul akan paradigma baru. Dan ini merupakan permulaan dari tahap revolusi.

Ciri khas dari tahap revolusi adalah tiadanya satu paradigma yang berperan sebagai titik orientasi yang tetap dan juga jatuhnya syarat-syarat yang dianggap harus dipenuhi untuk suatu penelitian, atau menurut Kunt dinamakan Anomali. Dengan demikian maka penjelasan untuk pengertian paradigma dan perkembangan ilmu pengetahuan yang menyertainya harus bersifat sosiologis. Kritik kedua dilontarkan oleh Winch, ia mengatakan bahwa asumsi dasar Popper tentang tujuan ilmu pengetahuan tidaklah benar karena tujuan ilmu pengetahuan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan berkesatuan (Einheitswissenschaft), dan menurut Winch antara ilmu alam dan ilmu sosial terdapat perbedaan yang mendasar sehingga kenyataan yang ingin dideskripsikan dan dijelaskan oleh ilmu sosial menunjukkan sifat lain dari ilmu alam sehingga tidak dapat dijelaskan dengan hukum-hukum abstrak dan universal. Ilmu sosial umumnya bertugas memberikan

interpretasi, yakni harus menerangkan ―pengertian‖ konsep yang berkaitan dengan kelakuan manusia dan metode yang paling cocok untuk itu harus bersifat interpretatif dan berdasarkan apa yang lazim dinamakan ―verstehen‖. Asas filsafat ilmu pengetahuan yang mendasari ilmu alam tidak dapat dianggap berlaku untuk ilmu-ilmu sosial.

Daftar Pustaka

Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia, Jakarta, 1989

Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996

Popper dan Rasionalisme Kritis

oleh Aqil Fithri

18 Jun, 2010, 06:08 pm | kategori Kolum | Cetak

(7)

Selama ini, apakah sains itu benar-benar menemukan hakikat sebuah pengetahuan baru? Menurut Karl Popper (1902-1994), tidak.

Sains hanya bermula saat saintis mula menyangkal (refute) pengetahuan yang sedia ada. Baginya, tanpa pendekatan ini, sains adalah hambatan kepada kemajuan pengetahuan. Lalu, filasuf bergengsi ini menawarkan rasionalisme kritis (critical rationalism) sebagai alternatifnya. Dalam bahasa lain, rasionalisme kritis terhurai menerusi idea pemalsuanisme-nya

(falsificationism). Untuk sampai ke takat ini, maka itu amat menuntut sebuah kritik-tajam, tidak mudah belas-ehsan, serta kental-hujahnya. Ternyata, semua sifat ini bukan kebetulan terangkum pada Popper. Melihat dengan rapi semarak zamannya, wajar ada alasan mengapa Popper

sedemikian. Waktunya, adalah waktu keghairahan sains, kemuncaknya saintifik, serta

tumbuhnya pertautan kembali antara sains dan falsafah. Waktunya, tercetus fizik moden, serta berkembangnya wacana falsafah sains. Lebih genting lagi, pada zaman inilah, berkumandang pula suara Positivisme Logis (Logical Positivism)—sebuah aliran yang amat ditentangnya. Sejarah hidupnya, filasuf kelahiran Vienna ini pernah berhijrah ke New Zealand, kemudian setelah Perang Dunia ke-II mengajar di London School of Economics (LSE). Yang menarik dari Popper ialah pertemuan ragam-bidang dalam dirinya. Buku The Open Society and Its Enemies, dan The Poverty of Historicism, memaparkan ufuk-ufuk terebut. Walau bagaimanapun, Popper lebih terkenal sebagai filasuf sains, yang gigih mempertahankan rasionalisme kritis-nya. Gagasan ini lahir sebagai sanggahannya terhadap Positivisme Logis yang dikembangkan Lingkaran

Vienna (Wiener Kress). Kegigihan, juga kesungguhannya, ini jelas terungkap menerusi Unended

Quest: An Intellectual Autobiography (1982). Popper berujar, ―sayalah yang membunuh

Positivisme Logis.‖ Tapi, dari manakah rincian kritik-kritiknya ini dapat disoroti? Itu semua tertuang dalam The Logic of Scientific Discovery (1954).

Buku ini asalnya dari Logik der Forschung (1934), sebelum ditulis-semula dalam Bahasa Inggeris. Peter Medawar, saintis British kelahiran Brazil, dalam New Scientist seraya mengakui bahawa karya ini sebagai ―salah satu daripada dokumen paling penting pada abad ke-20.‖ Bahkan, Popper turut mengukuhkan lagi pandangannya menerusi Conjectures and Refutations (1963). Di samping kritiknya langsung pada Positivisme Logis, Popper turut mengupas tentang faham-faham lain yang turut-sama memperkuatkan Lingkaran Vienna ini. Sebab, semuanya ini tampaknya saling bersentuhan, saling memperkukuhkan. Justeru, elok kita tinjau ringkas dahulu latar Positivisme Logis, sebelum larut dalam kritikan serta alternatif darinya.

Positivisme Logis

Positivisme Logis adalah suara dari Lingkaran Vienna—sebuah gerakan yang serius mahu melakarkan kaedah penyelidikan sains yang tuntas. Sambil belajar dari faham-faham

sebelumnya, Positivisme Logis sepertinya menjadi hentian akhir, serta sempadan antara fizik dan metafizik. Kata positif ini merujuk kepada ‖pengetahuan yang bertambah‖ sementara kata logis mengarah kepada ―pengetahuan yang teramati.‖ Namun, Positivisme Logis tidak tumbuh begitu saja. Gerakan ini lahir dari sejarah panjang, yang dalam tradisi kepengetahuanan Barat telah lama menuntut sebuah wibawa sains-nya yang tersendiri. Maksudnya, teologi tidak mendapat tempat sebagai sumber kebenaran pengetahuan. Sosok seperti Laplace adalah yang terbaik untuk melihat iltizam ini. Begitu juga tercermin pada Hertz, Frege, Russell, lalu Wittgenstein I—yang

(8)

mana dari pemikiran mereka ini kemudiannya merangsang Schlick, Carnap, Neurath, dll. Barisan terakhir inilah yang membentuk Lingkaran Vienna. Pada saat yang sama, terdapat juga

Lingkaran Berlin, yang diprakasai Reichenbach, Hahn, dll, dengan membawa suara ―empirisisme logis.‖

Kendati, di tahun-tahun kemudian, nama Positivisme Logis kelihatannya lebih harum. Tentu kerana kejayaan awalnya yang menyusun baik falsafah asas sebelum mereka, dan mewadahi bahasa formal (Wittgenstein I), aruhanisme (Bacon), psikologisme (Gustave Le Bon),

naturalisme (Paul de Vries), dll. Shahdan, itu dituntun lagi dengan tanggapan-balas yang bertalu-talu, termasuklah dari Popper. Betapa berpengaruhnya Positivisme Logis, sampai saja falsafah sains yang meriah muncul dewasa ini—sama ada dari Kuhn, Feyerabend, Polanyi, Lakatos—itu tidak harus dinafikan banyak bertitik-tolak kritik-balas terhadap gerakan ini. Jadi, barangkali persoalan latar sudah dibenahi. Namun, apakah rinciannya?

Lingkaran Vienna, memang sebagai sebuah gerakan yang memperjuangkan kaedah

penyelidikan. Hasratnya, untuk meraih wibawa pemerolehan pengetahuan. Sebab itu, kata sains menurut konteks mereka adalah merujuk kepada seluruh pengetahuan yang diiktirafnya sebagai sahih. Di sinilah peranan besar dari Wittgenstein I, juga kemudiannya Carnap, yang cuba mengembangkan bahasa yang sepadan (isomorfic) dengan realiti. Soalannya, bagaimanakah peranan bahasa dalam sains ini? Jawapan dari Lingkaran Vienna ini akan kembali pada kalimat sains yang dikemukakan. Pada mereka, setiap kalimat haruslah mematuhi tatabahasa, sintaksis serta kata keterangannya (description). Setelah itu, mestilah disemak pula semantiknya, iaitu hubungan antara kalimat dengan maknanya. Baru kemudian, Lingkaran Vienna menarik perbezaan antara kalimat analitik dengan kalimat sintetik. Maka, untuk kalimat analitik, itu memang dengan sendirinya benar, seperti mana kalimat yang terdapat dalam aturcara matematik. Mithalnya, 1 + 3 = 4. Kalimat ini benar secara a priori, asal saja kita terlebih dahulu memahami konsep dari angka ―1,‖ ―3‖ dan ―4‖. Begitu juga kalimat, ―X = X,‖ juga secara psikologinya tepat.

Sebaleknya, untuk menentukan kalimat sintetik pula, itu mestilah melepasi prinsip kesahan (principle of verification) terlebih dahulu. Kata verification ini bermuara dari kata latin, verum (benar) dan facere (melakukan): melakukan pembenaran. Jadi, untuk mendapatkan kesahihan sains, maka setiap kalimat mestilah disemak menerusi pencerapan—dan ini tentunya melibatkan peranan indera manusia sebagai subjek pengamatan tersebut. Mithalnya, kalimat ―semua gagak berwarna hitam.‖ Kalimat ini dapat disemak, dan diuji menerusi pencerapan yang berulang-ulang kali. Sekiranya ditemui semua gagak berwarna hitam, maka kalimat ini jelas bersifat sintetik, dan dapat diterima. Ternyata, faham naturalisme turut mengutarakan kesesuaian prinsip kesahan ini dengan teori fizikalisme (theory of physicalism). Lantas, menurut Lingkaran Vienna lagi, hanya dua kalimat inilah (analitik dan sintetik), yang akan menambah pengetahuan manusia,

membangun sains manusia serta mendorong makna positif. Tapi, bagaimana dengan kalimat, ―Tuhan itu ada.‖ Pada kalangan ini, kalimat seperti ini sama sekali tidak dapat disemak, tidak dapat diuji, dan seterusnya tidak dapat disahkan. Maka, kalimat itu tidak menambah apa-apa pada pengetahuan manusia, serta tidak punya sebarang makna.

Walau bagaimanapun, perlu dicatatkan juga bahawa Lingkaran Vienna tidaklah mengutarakan soal benar-salah. Itu bukan pendiriannya. Pada kalangan ini, kalimat ―Tuhan tidak ada‖ itu tidak

(9)

bermakna kerana sarat metafiziknya, serta tidak mampu menawarkan wibawa pemerolehan pengetahuan. Sebab itulah, kalangan ini tegas menyingkirkan segala persoalan-persoalan yang berkaitan metafizika, juga persoalan-persoalan yang berkaitan etika. Baginya, dua jurusan tersebut bukanlah ranah sains—meskipun tidak dinafikan dimensi seperti ini kerap saja menghadhirkan rasa keselesaan pada penerimanya. Mudahnya, Positivisme Logis tekad mahu merumuskan bahawa semua kalimat a priori adalah bersifat analitik, manakala semua kalimat empiris adalah bersifat sintetik. Dengan ungkapan lain, perbezaan antara a priori dan a

posteriori, itulah yang memicu kepada perbezaan analitik dan sintetik. Ini sekaligus bererti,

bahawa Lingkaran Vienna sama sekali tidak mengakui kalimat a priori dalam makna Kantian. Jadi, apakah sebenarnya tugas sains? Tugasnya adalah merengkuh kalimat realiti dalam lingkup analitik-sintetik ini. Baru demikian, sains itu terbina dan bersifat semesta (universal).

Maksudnya, untuk sesiapa pun yang mencerapnya, di mana pun mengamatinya, maka hasilnya tetap saja sama, serta dapat diramalkan.

Kritik Popper

Kita telah mengenal Positvisme Logis. Maka, inilah saat yang baik untuk menelusuri pula kritik Popper terhadap kalangan ini. Popper, tentu arif mengenai Positivisme Logis. Sama seperti Wittgenstein II yang memberi kritik menerusi ranah falsafah bahasa, maka Popper memberikan kritiknya pada ranah falsafah sains. Masing-masing juga amat dekat dengan kalangan ini—yang rata-rata adalah teman wacananya, sekalipun keduanya tidak termasuk dalam kalangan tersebut. Kritik Popper bermula dengan pendiriannya yang memisahkan antara kandungan pengetahuan yang bersifat sains dengan kandungan pengetahuan yang bersifat bukan-sains. Maka, kepedulian Popper tidak lagi pada pemaknaan kalimat. Kecuali, kepeduliannya pada usaha penyangkalan kalimat sains sebelumnya. Inilah yang menjadi perhatian sejati Popper.

Tentu, lebih awal Popper menerima kritik Hume terhadap aruhanisme. Meskipun Hume sendiri adalah seorang empiris, percaya juga pada pengalaman, tapi tekal melihat ada masalah pada pendekatan aruhanisme ini. Ini kerana, aruhanisme yang merupakan sendi Positivisme Logis ini terlalu mudah menerima prinsip kebersebaban (principle of causality), seolah-olah post doc, ergo

propter hoc (ini terjadi, kerana itu). Lalu, di tangan Popper, tradisi kritis Hume ini dilanjutkan

lagi. Padanya, epistemologi Positivisme Logis sarat andaian. Ini kerana, kalangan ini terlalu mudah mengandaikan kesimpulan umum bahawa ada sebuah hukum yang bersifat sejagat (universal). Kerana itu, Popper sama sekali tidak percaya adanya sebuah penalaran yang menggiring kepada hukum sejagat (universal law). Melainkan, setelah dilakukan seluruh

pengamatan. Tapi, tindakan seperti ini tentulah sesuatu yang mustahil. Mithalnya, tidak mungkin kita mampu menyemak, menguji, serta mengesahkan—satu demi satu—seluruh kalimat sintetik tersebut. Jadi, tidak mungkin ada sebuah kalimat yang sahih dan yang bersifat semesta.

Mithalnya, Popper melukiskan sebuah kalimat, ―semua angsa berwarna puteh.‖ Menerusi Positivisme Logis, kalimat ini akan bermakna setelah mengambil beberapa sampel. Kemudian, jika secara berulang dikenalpasti bahawa memang semua angsa berwarna puteh, maka menurut kalangan ini kita telah memperoleh sains. ―Beginilah,‖ kata Popper, ―sains menerusi Positivisme Logis terbangun.‖ Tapi, Popper memerikan bahawa pendekatan sebegini sebenarnya langsung tidak kritis, serta tidak sedetik pun menawarkan jaminan bahawa selamanya memang, ―semua angsa berwarna puteh.‖ Malah, menurut Popper lagi, bukan saja tiada jaminan, bahkan seluruh

(10)

pencerapan ini lebih lebih bersifat terpilih. Positivisme logis hanya mengambil beberapa sampel, lalu dengan mudah membuat kesimpulan umum bahawa penemuan mereka adalah bersifat semesta. Sekilas pertanyaannya, apakah ada jaminan bahawa memang tiada angsa yang tidak berwarna puteh? Apakah Positivisme Logis sudah menyemak semua angsa yang ada di seluruh pelusuk dunia? Tentu tidak.

Jadi, pada Popper lagi, kesimpulan umum yang dibentuk dari Positivisme Logis ini sangatlah dangkal, seakan mengusung kemutlakan. Padahal, semua sains berkemungkinan untuk salah (fallible). Ini tegas diungkapkannya sewaktu menolak sikap Lukacs dalam History and Class

Consciousness (1920)—yang menganggap dialektika Marxisme sebagai kebenaran tentang

manusia dan sejarah. Lebih lagi, filasuf liberal ini tidak percaya bahawa adanya sebuah kaedah bitara dan khas dalam sains. Selama Newton, sebelum atau sesudahnya, tidaklah pernah sains memperoleh wibawanya dengan aruhanisme. Katanya, kalangan Positivisme Logis ini ibaratnya mahu mengukuhkan lagi kerangka Newtonian dalam sains, sama seperti ekonomi (Smith), Comte (sosiologi), masharakat (Marx), dll. Hemat Popper, cara sebegini banyak kelemahannya. Pertanyaannya lagi, apakah saintis dapat menunjukkan di mana letaknya elektron? Apakah saintis dapat mencerapnya di dalam makmal? Jadi, sekiranya tidak memenuhi sharat

pengamatan, maka apa lagi yang tinggal buat sains? ―Inilah sebuah dongeng sains besar,‖ kata Popper. Sains, pada Popper selamanya tidak pernah membangun atas aruhanisme.

Di sini, Popper turut memberikan contoh Hukum Graviti dari Newton, yang diketahui dari jejaknya, bukan dari pencerapan. Jadi, apakah kita maseh mahu mengatakan Hukum Graviti itu bersifat sejagat, meskipun berulang-kali dibuktikan benar? Lalu, berkaca lagi pada Teori Kenisbian Einstein. Apakah kita ingin mengatakan teori tersebut bermula dengan pencerapan? Walhal, betapa indah sekalipun teori tersebut, ternyata Einstein tidak pernah memulakannya dengan pencerapan. Yang membuktikan bahawa cahaya boleh melengkung—beberapa tahun kemudian—adalah Eddington. Sampai kata Eddington, ―jika Einstein menemukan teorinya, maka saya yang menemukan buktinya.‖ Jadi, tetap saja, sains tidak terbangun dengan

pencerapan. Maka, seruan bahawa sains berangkat dari pengamatan adalah sebuah kekeliruan yang ketara.

Sebab itu, sebagai cendikia, juga sebagai manusia, Popper pernah mengutarakan, ―apakah saat bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki itu, maka kalian (Positivisme Logis) maseh lagi ingin menyatakan bahawa atom itu rekaan? Jadi, setelah melihat ribuan yang mati, yang melarat, yang sengsara kesan dari hentaman tersebut—apakah kita mahu menyatakan lagi bahawa atom itu tidak pernah wujud, kerana tidak pernah dicerap? Apakah atom maseh tidak bermakna? Bertubi-tubi pertanyaan kekesalan inilah yang meredam sanjungan-tinggi pada Lingkaran Vienna. Sebab itu, Popper bukan saja menolak kalangan ini atas dasar falsafah, malahan juga atas dasar etika—sesuatu yang ditolak pemaknaannya dari kalangan Postivisme Logis. Kata Popper lagi, sains konon begitu objektif dengan data-datanya, dengan sampel-sampelnya, tapi seringkali mengabaikan tanggungjawab moralnya.

Memang, ini kritik dalam Popper pada Lingkaran Vienna, hingga tempiasnya merebak pada psikologisme, pada naturalisme, dll. Mithalnya, dalam konteks psikologisme, Popper membezakan persoalan antara, ―bagaimana teori dapat diuji‖ (konteks pembenaran) dengan ―bagaimana kita mendapatkan teori baru‖ (konteks penerokaan). Padanya, perbezaan ini lantaran

(11)

unsur psikologi yang tertanam di dalamnya. Begitu juga dengan naturalisme, di mana Popper memancing: ―Saya menolak pandangan naturalisme, yang sama sekali tidak kritis. Mereka yang mendukung pandangan ini jelas gagal memastikan kekuatan pengetahuan yang diperolehnya. Walhal, mereka hanyalah mengemukakan sebuah kesepakatan semata. Lalu, lebih malang lagi, kesepakatan ini kemudiannya menjadi dogma. Sebab itu, kritik saya pada pandangan naturalistik ini bukan saja kerana garis pemaknaan yang diambilnya. Bahkan, turut melampaui gagasannya tentang sains dan kaedah empirik yang diperjuangkan mereka.‖

Walaupun demikian, Popper bukanlah seorang yang anti-skeptisme. Popper maseh yakin bahawa betapa terbatasnya epistemik manusia, tetap saja manusia maseh dapat memahami realiti. Inilah bezanya Popper dengan Hume. Bezanya, skeptisme buat Hume, dan realisme buat Popper. Lantas, Popper pun merunut kepada pemalsuanisme. Baginya, sains sebenarnya bermula dengan masalah, dengan pemecahan masalah, atau dalam bahasa sensasinya, dengan menyangkal.

Pemalsuanisme

Mengapa sains bermula dengan masalah, pemecahan masalah, dan penyangkalan? Di sini, Popper menata seluruhnya dalam gagasan pemalsuanisme. Bagi Popper, memang sains tidak membangun, dengan mengukuhkan apa yang sedia-ada. Sebuah bahaya untuk sains, sekiranya sentiasa pada takat pengetahuan sebelumnya. Sains itu hanya membangun, dengan sebuah sikap kritis yang bersamanya terselit agakan-agakannya (conjectures). Maka, penting untuk

mengenalpasti masalah terlebih dahulu, sebelum disusuli pula dengan agakan, dan penyangkalan. Mithalnya, pada Popper, kalimat ―semua angsa berwarna puteh,‖ adalah sebuah masalah. Justeru, untuk memecahkan masalah ini—sembari terpukau dan terilham dari Teori Kenisbian Einstein— maka Popper menganjurkan cari saja seekor angsa bukan berwarna puteh. Sekiranya ditemukan, maka dari situlah sains akan terbina. Sebab itu, tegasnya, sains itu terbangun dengan

penyangkalan. Kuncinya, adalah meragukan sains sebelumnya. Mithalnya lagi, sains takkan bertambah jika kita menyatakan bahawa sistem suria kita mempunyai lapan planet. Hanya saja, carilah planet yang kesembilan. Sekiranya ditemukan, itulah sainsnya. Tidak memadai dengan mithalan sebelumnya, ada lagi sebuah pengalaman klasik yang menarik: kesah bagaimana Kepler menemukan orbit sistem suria adalah elips. Bukan lagi bulatan seperti yang dipercayai semenjak Aristotle. Bahkan, Kopernigk serta Brahe turut berfikiran terkekang dalam kerangka Aristotlian. Kepler tidak.

Bagaimana Kepler menemukannya? Hanya dengan menyangkal. Kepler sebelumnya resah dengan data-data yang yang tergeser lapan minit, setiap kali cuba memadankannya dengan sistem suria dalam bentuk bulatan. Tapi, Kepler tidaklah pula melakukan pseudo-sains dengan melakukan teori ad hoc—iaitu mereka-reka pengecualian atas data-datanya. Jadi, selama lapan tahun Kepler bertungkus-lumus mencari jawapan, dan akhirnya itu dapat diatasi tatkala

mengubah bentuk sistem suria kepada elips. Menghimbau peristiwa ini, Poincare

mengungkapkan, ―untunglah di dunia ini ada mereka yang gila, yang tidak peduli dengan wang, dan yang mahu menghabiskan waktu-waktunya dengan hal yang tidak berguna. Dan, salah satu hal yang tidak berguna adalah memikirkan perbezaan lapan minit selama lapan tahun (oleh Kepler) tersebut.‖ Alhasil, kita menyaksikan di sini bahawa: tanpa sebuah masalah, tanpa sebuah agakan baru, serta tanpa sebuah sangkalan, maka sains memang takkan bertambah. Justeru, tidak

(12)

perlulah mencari kandungan empirik sebanyak mungkin. Pakailah kaedah agakan dan

penyangkalan. Hanya pendekatan inilah, tegas Popper, sains takkan berhenti. Inilah juga yang harus menjadi tugas saintis.

Maka, inti gagasan Popper menerusi pemalsuanisme ini amat jerneh sekali: mempertahankan sikap kritis. Inilah sebuah epistemologi sains, yang diperkenalkannya sebagai rasionalisme kritis. Mengekalkan sikap rasional, tapi dalam waktu yang sama, terus-menerus kritis.

Khatimah

Pandangan Popper ini memang menggamit perhatian, sembari menggema kritik-balas. Adalah tidak saksama berhenti pada kritik Popper, sambil melalaikan kritik-balasnya. Tentu, nama Kuhn menjadi saingan beratnya. Dua aliran ini, Popperan dan Kuhnan, tidak lelah bertingkah, hatta sampai mutakhir ini. Paling dikenang, di London pada 1965, di mana Popper pernah berdebat Kuhn dan dikendalikan oleh Adorno. Dalam wacana tersebut, Popper ternyata kesal ekoran dirinya banyak disalah-fahamkan. Apakah kritik-balas Kuhn tersebut?

Kuhn menerusi The Structure of Scientific Revolutions (1962) mempersoalkan rasionalisme kritis Popper ini. Baginya, tidak mungkin ada saintis yang selama hidupnya hanya berkerja untuk menyangkal, apatah lagi menyangkal teorinya sendiri. Pertanyaan Kuhn ialah, sekiranya saintis tersebut menemukan sebuah teori, apakah mungkin dirinya akan mencari penyangkal terhadap teorinya? Pasti tidak. Sebaleknya, saintis tersebut pastinya habis-habisan mempertahankan teorinya, ibaratnya memeluk haiwan kasayangan. Jadi, buat Kuhn, sungguh tidak munasabah untuk membangun makmal yang megah, dan mewah, lalu mahu melakukan ujikaji

penyangkalan. Jadi, sains mendapat mafhum lain dari Kuhn? Padanya, sains harus kembali pada sejarah sains itu sendiri, yang bersifat nisbi dengan zaman. Maka, kenisbian itulah yang

menentukan paradigma kalangan saintis semasa. Padangan Kuhn ini ada kesegarannya, ada pencerahannya. Ternyata, dari kritik-kritiknya ini memberi semangat baru pada teori-teori kebudayaan, juga pada kajian etno-sains, dan religio-sains.

Kebetulan berbicara tentang rasionalisme—yang menjadi inti dari gagasan Popper—barangkali berbangkit juga pertanyaan yang lain lagi: apakah bezanya antara rasionalisme Descartes dengan rasionalisme kritis Popper? Tidak khilaf lagi, Descartes itu seorang skeptis, seorang deduktif, dan amat berbeza dengan Popper, yang seorang realis. Setidaknya, jika Descartes membangun pengetahuannya berdasarkan a priori, manakala Popper tetap mengakui unsur-unsur empiris dalam kaedah penyelidikannya. Memang, menerusi Popperan, falsafah dan sains menemukan semula maknanya, menemukan kembali jalinannya. Barangkali, kerana itu makna tidaklah hanya diperoleh dari status-quo pengetahuan. Jadi, sains sekadar mengirim kita ke birai, sebaleknya falsafah-lah yang melambung pada samudera makna. Sebab itu, sikap realisme Popper tidak sampai melewati garis etikanya, sesuatu yang dinafikan kalangan Positivisme Logis. Tapi, apakah kritik Popper ini menamatkan hayat Positivisme Logis? Ternyata tidak, kerana aliran seumpama ini terus saja bernafas biarpun berselubung di balek kata ―kuantitatif.‖

Walau bagaimanapun, hujungnya—betapa rentan dan ampuhnya gagasan Popper ini—tetap meninggalkan iktibar buat kita semua; bahawa hakikatnya tidak pernah ada sebuah kebenaran-mutlak.

(13)

Aqil Fithri adalah editor Ummahonline.com, juga zamil Cendikiawan Awam Asia 2009/2010, tajaan Nippon Foundation, Jepun. Ia dapat dihubungi menerusi aqilfithri@gmail.com.

Similar Posts:

FILSAFAT RASIONALISME, EMPERISME, KRTISISME

Thursday, November 20, 2008

BAB I PENDAHULUAN

Ada orang yang berkata, bahwa orang harus berfilsafat, untuk mengetahui apa yang disebut filsafat itu. Mungkin ini benar, hanya kesulitannya ialah: bagaimana ia tahu, bahwa ia berfilsafat? Mungkin ia mengira sudah berfilsafat dan mengira tahu pula apa filsafat itu, akan tetapi sebenarnya tidak berfilsafat, jadi kelirulah ia dan dengan sendirinya salah pula sangkanya tentang filsafat itu.

Menyibukkan diri dibidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang hanya dilakukan oleh segelintir ahli saja. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dilindungi oleh aneka macam peristiwa yang langsung dialaminya, seperti bangun tidur, mengenakan pakaian, bekerja dan beristirahat. Atau yang tidak langsung sampai kepadanya, namun juga dianggap biasa saja, seperti misalnya berita dalam surat kabar atau radio mengenai perkembangan mutakhir dalam politik internasional, bencana alam disalah satu negeri nan jauh atau peristiwa-peristiwa menakjubkan.

Ketika itu dunia barat telah biasa membagi tahapan sejarah pemikiran menjadi tiga periode yaitu: Ancient, Medieval, dan zaman modern. Zaman modern sangat dinanti nantikan oleh banyak pemikiran manakala mereka mengingat zaman kuno ketika peradaban begitu bebas, pemikiran tidak dikekang oleh tekanan-tekanan diluar dirinya. Kondisi semacam itulah yang hendak dihidupkan kembali pada zaman modern.

Pada abab ke-13 di Eropa sudah timbul sistem filsafat yang boleh disebut merupakan keseluruhan. Sistem ini diajarkan disekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Dalam abab ke-14 timbulah aliran yang dapat dinamai pendahuluan filsafat modern. Yang menjadi dasar aliran baru ini ialah kesadaran atas yang individual yang kongkrit.

Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era filsafat modern, dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20, munculnya berbagai aliran pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materalisme, Neo-Kantianisme, Pragmatisme, Filsafat hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme.

(14)

Namun didalam pembahasan kali ini yang akan dibahas aliran Resionalisme (rene Descartes, spiniza, Leibniz), Empirisme (Francius Bacon, Thomas Hobbes. John lecke David Hume). Dan Kriticiusme ( imananvel kuat).

BAB II PEMBAHASAN A.RASIONALISME

Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalisme suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir.

Latarbelakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri

dari segala pemikiran tradisional (scholastic), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu mengenai hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Pada tokoh aliran Rasionalisme diantaranya adalah Descartes (1596- 1650 M ).

1.Rene Descartes ( 1596- 1650 M )

Descartes disamping tokoh rasionalisme juga dianggap sebagai bapak filsafat, terutama karena dia dalam filsafat-filsafat sungguh-sungguh diusahakan adanya metode serta penyelidikan yang mendalam. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran.

Ia yang mendirikan aliran Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercayai adalah akal. Ia tidak puas dengan filsafat scholastik karena dilihatnya sebagai saling bertentangan dan tidak ada kepastian. Adapun sebabnya karena tidak ada metode berpikir yang pasti.

Descartes merasa benar-benar ketegangan dan ketidak pastian merajalera ketika itu dalam kalangan filsafat. Scholastic tak dapat memberi keterangan yang memuaskan kepada ilmu dan filsafat baru yang dimajukan ketika itu kerapkali bertentangan satu sama lain.

Descartes mengemukakan metode baru yaitu metode keragu-raguan. Seakan- akan ia membuang segala kepastian, karena ragu-ragu itu suatu cara berpikir. Ia ragu- ragu bukan untuk ragu-ragu, melainkan untuk mencapai kepastian. Adapun sumber

kebenaran adalah rasio. Hanya rasio sejarah yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Rasio pulalah yang dapat memberi pemimpin dalam segala jalan pikiran. Adapun yang benar itu hanya tindakan budi yang terang-benderang, yang disebutnya ideas claires et distinctes. Karena rasio saja yang dianggap sebagai sumber kebenaran, maka aliran ini disebut Rasionalisme.

(15)

2.Spinoza (1632- 1677 M)

Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 M. Nama aslinya adalah barulah Spinoza ia adalah seorang keturunan Yahudi di Amsterdam. Ia lepas dari segala ikatan agama maupun masyarakat, ia mencita- citakan suatu sistem berdasrkan rasionalisme untuk mencapai kebahagiaan bagi manusia.menurut Spinoza aturan atau hukum ynag terdapat pada semua hal itu tidak lain dari aturan dan hukum yang terdapat pada idea. Baik Spinoza maupun lebih ternyata mengikuti pemikiran Descartes itu, dua tokoh terakhir ini juga menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam metafisika, dan kedua juga mengikuti metode Descantes.

3.Leibniz

Gottfried Eilhelm von Leibniz lahir pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M. ia filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarawan. Lama menjadi pegawai pemerintahan, pembantu pejabat tinggi Negara. Waktu mudanya ahli piker Jerman ini mempelajari scholastik.

Ia kenal kemudian aliran- aliran filsafat modern dan mahir dalam ilmu. Ia menerima substansi Spinoza akan tetapi tidak menerima paham serba tuhannya (pantesme). Menurut Leibniz substansi itu memang mencantumkan segala dasar kesanggupannya, dari itu mengandung segala kesungguhan pula. Untuk menerangkan permacam- macam didunia ini diterima oleh Leibniz yang disebutnya monaden. Monaden ini semacam cermin yang membayangkan kesempurnaan yang satu itu dengan cara sendiri.

B.EMPIRISME

Empirisme adalah salah satu aliran dalam filosof yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah Empirisme diambil dari bahasa Yunani yaitu emperia yang berarti coba- coba atau pengalaman. Sebagai tokohnya adalah Francis Bacou , Thomas Hobbes, John Locker, dan David Hume. Karana adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan orang terhadap filsafat mulai merosot. Hal itu terjadi karena filsafat dianggap tidak berguan lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain ilmu pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indra ( empiri) dan empirilah satu- satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir denagn nama Empirisme.

1.Francis Bacon ( 1210- 1292 M )

Dari mudanya Bacon sudah mempunyai minat terhadap filsafat. Akan tetapi waktu dewasa ia menjabat pangkat- pangkat tinggi dikerjakan inggris kemudian diangkat dalam golongan bangsawan. Setelah berhenti dari jabatannya yang tinggi. Barulah ia mulai menuliskan filsafatnya.

(16)

Menurut Franccis Bacon bahwa pengetahuan ynag sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melaui persatuan inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Denagn demikian bagi Bacon cara memcapai pengetahuan itupun segera nampak dengan jelasnya. Haruslah pengetahuan itu dicapai dengan mempengaruhi induksi. Haruslah kita sekarang memperhatikan yang konkrit, mengumpulkan, mengadakan kelompok- kelompok, itulah tugas ilmu pengetahuan.

2.Thomas Hobbes (1588- 1679 M )

Thomas hobbes adala seorang ahli piker yang lahir di Malmesbury, ia adalah anak

dari seorang pendeta. Menurutnya bahwa pengalaman interawi sebagai permulaan segala pengetahuan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan kita tak mengatasi pengindraan dengan kata lain pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan indera saja, yang lain tidak.

Ada yang menyebut Hobbes itu menganut sensualisme, karena ia amat mengutamakan sensus (indra) dalam pengetahuan. Tetapi dalam hubungan ini tentulah ia anggap salah satu dari penganut empirisme, yang mengatakan bahwa persantuhan denag indera( impiri) itulah yang menjadi pangkal dan sumber pengetahuan.

Pendapatnya adalah bahwa ilmu filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya umum. Menurutnya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang akibat- akibat atau tentang gejela- gejela yang doperoleh. Sasaran filsafat adalah fakta, yaitu untuk mencari sebab-sebabnya. Segala yang ditentukan oleh sebab, sedangkan prosesnya sesuai dengan hukum ilmu pasti/ ilmu alam.

3.John Locke ( 1932- 1704 M )

John locke dilahirkan di Wrington, dekat Bristol, inggris. Ia adalah filosof yang banyak mempelajari agama Kristen. Disamping sebagai seorang ahli hukum ia juga menyukai filsafat dan teologi, mendalami ilmu kedokteran, dan penelitian kimia. Dalam mencapai kebenaran, sampai seberapa jauh (bagimana) manusia memakai kemampuannya.

Ia hendak menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia sampai kemanakah ia dapat mencapai kebenaran dan bagimanakah mencapainya itu. Dalam penelitiannya ia memakai istilah sensation dan reflecaton. Sensation adalah suatu yang dapat berhubungan itu, reflection adalah pengenalan intuitif yang memberikan pengetahuan kepada manusia, yang lebih baik daripada sensation.

John lock berargumen:

a.Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada, memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti ditempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu dating, yakni melalui daya-daya

(17)

yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian asli.

b. Persetujuan umum adalah argument yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea justru dijadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.

c.Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.

d.Apa innate itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate itu ada justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.

e.Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot ide yang innate itu tidak ada padahal anak normal dan akan ―idiot sama-sama berpikir‖.

4.David Hume ( 1711- 1776 M )

David Hume menjadi terkenal oleh bukunya. Buku hume, treatise of human nature (1739 M). ditulisnya tatkala ia masih muda, yaitu tatkala ia berumur dua puluh tahunan. Buku itu tidak terlalu banyak menarik perhatian orang, karenanya hume pindah kesubyek lain, lalu ia menjadi seorang yang terkenal sebagai sejarawan.

Kemudian pada tahun 1748 M ia menulis buku yang memang terkenal, yang disebutnya An Enqury Cincering Human Understanding, waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi tak terlalu mendapat sukses. Ia menganalisa pengertian substansi. Seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengaman kita.

Apa saja yang merupakan pengetahuan itu hanya disebabkan oleh pengalaman. Adapun yang bersentuhan dengan indra kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertia sesuatu yang tetap – substansi – itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian acap kalinya, sehingga kita menganggap mempunyai pengertian tentang suatu hal, tetapi sebetulnya tidak ada substansi itu hanya anggapan, khayal, sebenarnya tidak ada.

C.KRITICISME (Immanuel Kant 1724-1804).

Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan emperisme. Zaman baru ini disebut zaman pencerahan (aufklarung) zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, seorang filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap pernah pengetahuan akal.

Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan. Disisi

(18)

lain, jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam.

Pada rasionalimse dan emperisme ternyata amat jelas pertentangan antara budi dan pengalaman, manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan, makanah pengetahuan yang benar? Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant mencoba mengadakan penyelesaian pertalian ini. Pada umumnya, Kant mengikuti nasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh emperisme (hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa emperisme membawa karagu-raguan terhadap budi manusia akan dapat mencapai kebenaran. Maka Kant akan menyelidiki (mengadakan kritik) pengetahuan budi serta akan diterangkan, apa sebabnya pengetahuan budi ini mungkin. Itulah sebabnya aliran ini disebut kriticisme.

Akhirnya, Kant mengakui peranan budi dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada budi (nasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (emperisme) budi metode berpikirnya disebut metode kritik.

BAB III PENUTUP A.Kesimpulan

Di dalam era filsafat modern terdapat beberapa aliran pemikiran, di antaranya: Rasionalisme, dan kriticisme.

Aliran rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa budi (akal) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Metode yang digunakan pada aliran rasionalisme adalah metode keragu-raguan untuk berfilsafat.

Aliran Emperisme adalah salah satu aliran dalam filosof yang menekankan peranan pengalaman dalam memeroleh pengetahuan, dan mengecilkan akal. Aliran emperisme berpendapat bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewan indera (empiri) dan empirilah satu-satutnya sumber pengetahuan aliran Emperis, bahwa pada dasarnya budi dan empiri saling berkaitan. Aliran Kriticisme mengakui peranan badi dan keharusan empiri, meskipun pengetahuan bersumber pada budi (nasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (emperisme). Jadi metode berpikirnya disebut metode kritis.

(19)

1. Poejawijatna, R.I. Prof. 1983. Pembimbing Kearah Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta. 2. Syadali, Ahmad. H. Drs, et. At. 1997, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia. 3. achmadi Asmoro. 1995, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 4. Peursen Van c.a. 1997, Orientasi Dalam Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia. Posted by Funnys_home at 6:01 PM

Filsafat Rasionalisme May 16th, 2008

Filsafat Rasionalisme satu aliran filsafat modern, yaitu empirisme. Kali ini saya akan menggali lebih dalam tentang aliran kontra empirisme, taitu Rasionalisme. Rasionalisme sangat bertentangan dengan empirisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sangat sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail, Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.

Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan). Tokoh-tokohnya 1. Rene Descartes (1596 -1650) 2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775) 3. B. De Spinoza (1632 -1677 M) 4. G.W.Leibniz (1946-1716) 5. Christian Wolff (1679 -1754) 6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)

MENGKAJI FENOMENA KESEHARIAN

Dari sedut pandang pemikiran filsafat Rasinalisme tersebut, sekiranya saya dapat mengambil contoh tentang logika di dalam agama. Dari salam satu tulisan yang saya temukan di internet, ―Ada sebuah ungkapan, terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah, yang arti

(20)

harfiahnya ―Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir‖.‖ demikian ungkapan tersebut. Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah?

Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan?

Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah?

Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini relatif? Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan atau ―angan-angan‖ yang mungkin (all

possible intelligebles).

Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara kodrati dan spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh

pengetahuan manusia.

Maka sebagai contoh ungkapan dari ‗Ibn Taimiyyah‘ di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah. Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus.

Kalau seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri ―Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir‖ juga naif. Tak bermakna. Tak juga perlu dipikirkan. Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika pernyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir.

Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Dan sangat Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang

yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.

Dilihat dari segi pandangan umum, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak

mungkin benar.

Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof (pecinta kebijaksanaan) besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya,

(21)

me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mungkin. Atau dengan kata lain,

mencapai hakikat.

Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan ―super-executive‖ untuk mencapai hakikat kebenaran spiritual. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama, tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami.

Rene Descartes – Rasional dan Skeptisisme

Rene Descartes (1596-1650) adalah seorang filsuf dari Perancis, ahli matematika dan saintis

yang mendapat pendidikan di sekolah Jesuit. Ia menentang terhadap cara pendidikan yang pernah diterimanya dan mengemukakan akan penggunaan akal sebagai alat penyelidikan filsafat, demikianlah alasan Descartes disebut rasionalis.

Adanya penentangan oleh Descartes konflik yang selalu berkembang antara spirit dari Abad Pertengahan dan spirit dari Masa Renaisans tampak dalam filsafat Descartes.

Sebagai pemikir modern yang pertama mempelajari persoalan metode berfilsafat, ia diberi gelar

“father of modern philosophy”. Ia menggunakan metode skeptisisme. Ia berkata bahwa ada dua macam substansi yang berpikir atau akal dan substansi yang terpapar (extended substances) atau

“matter”.

Kesehatan Descartes yang lemah, tetapi kemampuannya yang luar biasa, ia diberi keleluasaan istimewa selama belajar, seperti menyelesaikan pekerjaan pentingnya sambil berbaring di tempat tidur, belajar dan berpikir secara bebas. Kemudian ia memasuki dinas militer dari negara yang bersahabat dengan Perancis, di situ keahliannya di bidang matematika sangat dihargai dan ia dapat membaca serta melakukan banyak perjalanan.

Ia menetap di Belanda selama 20 tahun dan meninggal di Swedia. Karya utamanya di bidang filsafat ialah Discourse on Method, Meditations dan Principles.

Daftar Pustaka

Titus, Harold H., 1984. Persoalan-persoalan Filsafat. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

David Hume – Skeptisisme dan Empirisme

David Hume (1711-1776) adalah filsuf sekaligus sastrawan dari Skotlandia yang hidup pada zaman para ahli pikir mengadakan pembahasan tentang watak, moral dan agama. Dia ikut dalam

(22)

berbagai pembahasan tersebut dan memengaruhi perkembangan dua aliran. Aliran yang dipengaruhinya adalah skeptisisme dan empirisme.

Dalam hal skeptisisme, Hume mencurigai pemikiran filsafat dan di antara pemikirannya adalah bahwa prinsip kausalitas (sebab akibat) itu tidak memiliki dasar. Ia juga seorang agnostik, yakni orang yang berpendirian bahwa adanya Tuhan itu tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat diingkari.

Dalam hal empirisme, suatu pandangan yang mengatakan bahwa segala pengetahuan itu berasal dari pengalaman. Walaupun mungkin ada suatu dunia di luar kesedaran manusia, namun hal ini tidak dapat dibuktikan.

Hume pernah gagal dua kali dalam usahanya untuk mendapatkan jabatan guru besar filsafat di Edinburg dan Glasgow. Di samping misi diplomatik yang kadang-kadang ia lakukan, Hume menghabiskan waktunya untuk menulis. Karyanya tentang sejarah adalah History of England dan

The Natural History of Religion.

Karya filsafat Hume yang paling terkenal adalah Treatise of Human Nature, Philosophical

Essays Concerning Human Understanding dan Inquiry Concerning the Principles of Morals.

Immanuel Kant, filsuf Jerman terkemuka pernah mengatakan bahwa David Hume-lah yang membangunkannya dari ―kantuk dogmatik‖-nya yaitu yang mendorongnya untuk menyusun filsafat kritis.

Daftar Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

Batik merupakan sebuah kesenian yang mempunyai nilai jual yang tinggi dan sudah masuk dalam industri, perusahaan-perusahaan batik seringkali melakukan perjanjian-

Pelayanan Wound Care ini tidak memiliki kerugian baik dari sisi kesehatan, budaya, maupun social dan ekonomi, justru dengan adanya klinik perawatan luka Wound

). Energi dilakukan untuk  melakukan kegiatan, Energi tubuh manusia berasal dari makanan. Fleh karena itu, manusia harus makan dan minum. 'etelah makan, manusia menjadi

PAGnet mempertemukan petugas kesehatan masyarakat di pintu masuk dengan mitra untuk mengkoordinasikan kegiatan kesehatan masyarakat di pelabuhan, bandara dan lintas darat

Selain itu hal lain yang ingin dicapai adalah tersedianya pemetaan pegawai terutama yang terkait dengan kompetensi pegawai yang dapat dimonitor dan diupdate setiap saat oleh

Hasil ringkasan analisis ragam menunjukan bahwa pengaruh interaksi varietas dan jumlah tanam per lubang pada vigor benih ditunjukan pada benih sorgum yang sudah

dapat diketahui bahwa CTL ( Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang

Pengaruh kompetensi profesional Terhadap motivasi Hasil regresi pada tabel 4.4.3 diatas dapat disimpulkan bahwa hipotesis kompetensi profesional berpengaruh dan signifikan