• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Sifat Malu dan Kesepian pada Mahasiswa Perantau Universitas Indonesia Yang Menetap di Asrama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Sifat Malu dan Kesepian pada Mahasiswa Perantau Universitas Indonesia Yang Menetap di Asrama"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Sifat Malu dan Kesepian pada Mahasiswa Perantau

Universitas Indonesia Yang Menetap di Asrama

Ridho Hamid Alamsyah dan Sri Fatmawati Mashoedi

1. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia 2. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia

Email: hamid.alamsyah@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara kesepian dan sifat malu pada mahasiswa perantau Universitas Indonesia yang menetap di asrama. Partisipan berupa mahasiswa tahun pertama sarjana atau vokasi Universitas Indonesia yang berasal dari luar Jabodetabek, berjumlah 50 orang. Metode penelitian berupa self-report dengan menggunakan skala Revised Cheek and Buss Shyness dan De Jong Gierveld Loneliness. Ditemukan korelasi yang positif signifikan antara sifat malu dan kesepian dengan nilai r = 0,501; p = 0,000; signifikan pada l.o.s 0,01. Artinya, semakin meningkatnya nilai sifat malu akan memprediksi meningkatnya nilai kesepian pada mahasiswa Universitas Indonesia perantau yang menetap di asrama. Hubungan signfikan tersebut mengimplikasikan perlunya intervensi bagi mahasiswa, terutama yang memiliki tingkat sifat malu tinggi, sebagai upaya pencegahan kesepian.

The Relationship between Trait Shyness and Loneliness on Sojourn Students of University of Indonesia Who Stay at The Dormitory

Abstract

The research intended to investigate the relationship between shyness and loneliness on students of University of Indonesia who stay at the dorm. The participants were undergraduate or vocational freshman of University of Indonesia who come from outside of Jabodetabek, 50 people. Research method was self-report using Revised Cheek and Buss Shyness Scale and De Jong Gierveld Loneliness Scale. The result is positive significant correlation between shyness and loneliness, r = 0.501; p = 0.000; significant at l.o.s 0.01. It means that the increase of shyness predicts the increase of loneliness on the students of University of Indonesia who stay at the dorm. That significant relationship implies the urgency of intervention for students, especially to those with high shyness, as a way to prevent loneliness.

Keywords: Dormitory Students, Loneliness, Shyness

Pendahuluan

Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA, salah satu pilihan yang ditempuh oleh lulusan SMA adalah melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan di antara mereka ada yang rela meninggalkan kampung halamannya untuk menetap di daerah tempat mereka berkuliah. Mahasiswa yang berasal dari luar daerah perguruan tinggi tersebut, atau disebut sebagai mahasiswa perantau bisa kita temukan terutama pada Perguruan Tinggi favorit.

(2)

luar daerah asalnya untuk menuntut ilmu. Selain meninggalkan daerah asalnya, mahasiswa perantau juga harus meninggalkan keluarga dan kawan lamanya. Keadaan demikian diperkirakan membuat mahasiswa perantau lebih rentan mengalami kesepian. Ini dibuktikan oleh Ratri (2007) yang melakukan penelitian dengan membandingkan kesepian mahasiswa Universitas Indonesia tahun pertama dari Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan dari luar Jabodetabek. Hasilnya adalah bahwa kesepian pada mahasiswa baru dari luar Jabodetabek lebih tinggi daripada mahasiswa Jabodetabek. Selain itu mayoritas mahasiswa baru (40%) pada penelitian Cutrona (1982) menyatakan bahwa penyebab dari kesepian yang mereka alami adalah karena jauh dari keluarga dan kawan lama.

Selain karena letak geografis mahasiswa yang jauh dari daerah asal, faktor usia juga berpengaruh terhadap kesepian mahasiswa tahun pertama. Pada umumnya, lulusan SMA ketika memasuki perguruan tinggi berada pada rentang usia 17 hingga 20 tahun. Pada rentang usia tersebut seseorang rentan mengalami kesepian. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Rubenstein, Shaver, dan Peplau (1979 dalam Perlman & Peplau, 1984), rata-rata skor kesepian pada rentang usia 18 hingga 25 tahun adalah yang paling tinggi, yaitu sebesar +12,8 dari skor maksimal +20, dengan peringkat kedua pada usia 26-30 tahun sebesar +9,5.

Faktor lain yang penting untuk dibahas adalah sifat malu. Pada mahasiswa perantauan, sifat malu bisa menjadi hambatan bagi mereka dalam beradaptasi dengan lingkungan yang masih asing bagi mereka. Ini dapat menghambat kelancaran interaksi sosial mereka sehingga pada akhirnya mereka merasakan kesepian. Hal ini mungkin saja dialami oleh mahasiswa baru perantauan di Universitas Indonesia, yang merupakan salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia yang terletak di perbatasan kota Jakarta, tepatnya di Depok. Disebabkan posisinya yang dekat dengan kota Jakarta, kita bisa menemukan cukup banyak mahasiswa Universitas Indonesia yang berasal dari Jakarta yang merupakan kota terbesar di Indonesia. Mahasiswa perantau pun dituntut untuk bisa beradaptasi dengan kecenderungan individualisme dari mahasiswa UI yang berasal dari Jakarta. Seorang mahasiswa perantau yang malu kemungkinan akan lebih sulit untuk beradaptasi terhadap gaya hidup individualis, di mana orang-orang dituntut untuk lebih aktif berinteraksi sosial. Mahasiswa UI perantau yang malu diperkirakan akan mengalami kesulitan karena sifat malu yang menjadikan mereka lebih pasif dalam interaksi sosial.

Ternyata hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan sifat malu dengan kesepian, salah satunya yang dilakukan oleh Maroldo (1981 dalam Perlman & Peplau, 1984). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Neto (1992) pada remaja Portugis berusia 14 hingga 17 tahun, terdapat hubungan yang positif signifikan antara kesepian dan sifat malu. Satari (2009)

(3)

menemukan korelasi positif antara sifat malu dan kesepian pada mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dipaparkan maka muncul pertanyaan bagi peneliti: apakah hubungan antara kesepian dan sifat malu juga terjadi pada mahasiswa perantauan UI yang menetap di asrama?

Status para penghuni asrama sebagai sesama mahasiswa perantau mungkin menjadi sebuah kesamaan yang mendatangkan sikap positif dan ketertarikan untuk berinteraksi di antara mereka. Ketertarikan karena adanya kesamaan ini disebut sebagai

similarity-dissimilarity effect, yaitu respon positif terhadap kesamaan orang lain dengan kita dan respon

negatif terhadap ketidaksamaan (Byrne, 1961). Byrne dan Nelson (1965) menemukan bahwa ketertarikan berbanding lurus dengan proporsi kesamaan. Proporsi kesamaan didapat melalui menghitung jumlah kesamaan pendapat mengenai satu topik dibagi jumlah seluruh topik yang dibicarakan oleh dua orang. Nilai proporsi kesamaan yang semakin tinggi akan diiringi oleh nilai atraksi yang tinggi juga pada kedua orang tersebut.

Faktor kesamaan ini diperkirakan membuat mahasiswa penghuni asrama lebih tertarik untuk melakukan interaksi, bahkan pada penghuni asrama yang pemalu sekalipun. Lalu, disebabkan adanya ketertarikan yang lebih besar untuk berinteraksi, penghuni asrama yang pemalu kemungkinan jadi lebih yakin untuk berinteraksi sosial. Konsekuensinya adalah penghuni asrama UI yang pemalu diperkirakan tidak terlalu merasakan kesepian. Maka dengan adanya sikap positif karena kesamaan status sebagai mahasiswa perantauan, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah hubungan antara sifat malu dan kesepian juga terjadi pada mahasiswa UI perantauan yang menetap di asrama.

Masalah utama di dalam penelitian ini adalah:

Apakah terdapat hubungan antara sifat malu dan kesepian pada mahasiswa perantau tahun pertama Universitas Indonesia yang menetap di asrama?

Tinjauan Teoritis

Kesepian

(4)

the unpleasant experience that occurs when a person's network of social relations is deficient in some important way, either quantitatively or qualitatively.

Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa kesepian merupakan pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi ketika relasi sosial seseorang kurang secara signifikan, baik secara kuantitatif atau kualitatif. Di tempat lain, de Jong Gierveld (1987) mendefinisikan kesepian sebagai situasi yang dialami seseorang ketika adanya keterbatasan relasi sosial yang dirasakan tidak menyenangkan, di mana jumlah relasi sosial (jumlah orang yang dikenal) dianggap kurang dari memadai atau tidak tercapainya keintiman yang diinginkan. Berdasarkan dua definisi tersebut, de Jong Gierveld, van Tilburg, dan Dykstra (2006) menyimpulkan bahwa terdapat titik temu dari keduanya, yaitu kesepian merupakan pengalaman subjektif tidak menyenangkan yang disebabkan oleh ketimpangan antara relasi sosial yang diinginkan dan yang dimiliki, baik secara kuantitas (jumlah orang yang dikenal) dan kualitas (keintiman).

Weiss (1973 dalam Russel, Cutrona, Rose, & Yurko, 1984) menyebutkan dua jenis kesepian, yaitu kesepian sosial dan kesepian emosional. Kesepian sosial merupakan kesepian yang ditimbulkan oleh kurangnya relasi sosial dalam bentuk keanggotaan pada suatu kelompok, di mana kelompok tersebut memiliki kesamaan minat. Kesepian ini biasanya dialami oleh orang yang baru pindah ke lingkungan baru; tempat tinggal, kantor, sekolah, dan sebagainya. Kesepian emosional adalah kesepian yang ditimbulkan oleh kurangnya relasi sosial yang dekat dan intim. Kesepian jenis ini dialami oleh orang yang baru cerai atau ditinggal suami/istrinya. Menurut Weiss (1973 dalam Russel, Cutrona, Rose, & Yurko, 1984), kesepian emosional disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan keterikatan (attachment) dengan orang lain, sedangkan kesepian sosial karena tidak terpenuhinya kebutuhan integrasi sosial berupa jaringan sosial yang memiliki kesamaan minat. Berdasarkan penelitian Russel dkk. (1984), gejala depresi terkait dengan kesepian sosial dan emosional, dengan hubungan yang lebih kuat pada kesepian emosional. Sedangkan kecemasan hanya terkait dengan kesepian sosial.

Beberapa faktor yang melatarbelakangi kesepian contohnya adalah sifat malu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sifat malu berkorelasi dengan kesepian, salah satunya penelitian oleh Maroldo (1981 dalam Perlman & Peplau, 1984). Neto (1992) meneliti hubungan antara sifat malu dan kesepian pada remaja Portugis usia 14 sampai 17 tahun, dan menemukan hubungan yang signifikan antara keduanya. Pada mahasiswa Indonesia yang

(5)

kuliah di luar negeri juga ditemukan adanya korelasi yang signifikan antara sifat malu dan kesepian (Satari, 2009).

Faktor demografis yang berhubungan dengan kesepian adalah usia. Seperti yang telah disebutkan di bab I, remaja berusia 18 hingga 25 tahun adalah rentang usia yang rentan mengalami kesepian (Rubenstein, Shaver, & Peplau 1979 dalam Perlman & Peplau, 1984). Pada rentang usia ini yang masih bisa digolongkan sebagai remaja akhir, wajar bila seseorang rentan mengalami kesepian. Itu disebabkan karena pada masa ini, remaja mulai belajar mandiri dan independen dari orangtuanya (Papalia, Olds, & Feldman, 2009), maka kedekatan dengan orangtua juga akan cenderung berkurang. Remaja juga membutuhkan relasi sosial dalam jumlah yang banyak dengan teman sebayanya (Papalia dkk., 2009), di mana kebutuhan relasi sosial tersebut belum tentu bisa semuanya terpenuhi sehingga remaja merasa kesepian.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap kesepian adalah perpindahan geografis. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mahasiswa UI yang berasal dari luar Jabodetabek lebih mengalami kesepian dibandingkan yang berasal dari Jabodetabek (Ratri, 2007), dan penelitian Cutrona (1982) yang menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa baru merasa kesepian karena jauh dari keluarga dan kawan lama.

Skala De Jong Gierveld Loneliness merupakan salah satu skala yang umum dipakai untuk mengukur kesepian. Skala ini terdiri dari 11 item, 5 item favorable dan 6 item

unfavorable. Skala ini dibuat berdasarkan pengelompokkan kesepian oleh Weiss menjadi dua:

kesepian sosial dan kesepian emosional. Item nomor 2, 3, 5, 6, 9, 10 digunakan untuk mengukur kesepian emosional dan item nomor 1, 4, 7, 8, 11 untuk mengukur kesepian sosial. Perlu diketahui bahwa walaupun item-nya dikelompokkan berdasarkan jenis kesepian, tetapi sebenarnya skala ini hanya terdiri dari satu dimensi (De Jong Gierveld & Van Tilburg, 2006). Skala ini memiliki nilai reliabilitas yang berkisar antara 0,80 sampai 0,90 (De Jong Gierveld & Van Tilburg, 1999). Skala ini juga memiliki validitas yang cukup baik, hal ini terbukti dengan adanya korelasi yang positif signifikan dengan skala kesepian UCLA (Gerritsen, 1997 dalam De Jong Gierveld & Van Tilburg, 1999).

Sifat Malu

Definisi sifat malu berdasarkan Buss (1980 dalam Cheek & Buss, 1981) adalah reaksi seseorang ketika bersama dengan orang yang tidak dikenalnya atau kenalan biasa, berupa

(6)

tegang, terlalu perhatian dengan diri sendiri, merasa aneh, tidak nyaman, menghindari menatap mata lawan bicara, dan tertahannya perilaku sosial yang dianggap umum. Pilkonis (1977 dalam Lorant, Henderson, & Zimbardo, 2000) mendefinisikan sifat malu sebagai tendensi untuk menghindari interaksi sosial dan gagal dalam bertindak secara tepat di situasi sosial. Walaupun para ahli mendefinisikan sifat malu dengan sedikit bervariasi, secara umum ditemukan adanya tiga gejala yang menandakan sifat malu, yaitu somatic-emotional,

behavioral, dan cognitive (Cheek & Watson, 1989). Gejala somatic-emotional berupa gejala

fisiologis (wajah merah, gemetaran) dan gejala emosi (cemas); gejala behavioral berupa diam, kesulitan berbicara, menghindari kontak mata serta menarik diri dan menghindar dari kontak sosial; gejala cognitive berupa perhatian berlebih terhadap diri sendiri dan antisipasi terhadap penolakan.

Malu dapat dibahas sebagai suatu keadaan yang dialami dalam kondisi tertentu (state) atau sebagai suatu sifat yang menetap dan stabil antar waktu dan tempat (trait) (Briggs, 1985 dalam Jones, Briggs, & Smith, 1986). Penelitian ini berfokus kepada pembahasan malu sebagai sifat. Ketika membahas malu sebagai sifat, Jones dkk. (1986) mendefinisikan malu sebagai ketidaknyaman dan inhibisi di hadapan orang lain.

Sebagai bentuk hambatan dalam interaksi sosial, maka kita bisa temui beberapa dampak negatif dari sifat malu yang berlebihan. Salah satunya dari penelitian Papsdorf dan Alden (1998) yang menemukan bahwa kecemasan sosial yang merupakan salah satu gejala sifat malu, memancing timbulnya penolakan sosial dari orang lain berupa kurangnya minat untuk berinteraksi di lain waktu, dengan dimediasi oleh self-disclosure dan gejala kecemasan yang tampak. Jadi, berkurangnya minat untuk berinteraksi dengan orang yang memiliki kecemasan sosial terjadi karena mereka kurang merespon balik self-disclosure dari orang lain dan menunjukkan gejala-gejala kecemasan yang dinilai sebagai sesuatu yang tidak biasa.

Lalu, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, orang-orang dengan sifat malu tinggi lebih rentan untuk mengalami kesepian (Maroldo, 1981 dalam Perlman & Peplau, 1984; Neto, 1992; Satari, 2009). Dill dan Anderson (1999) menjelaskan tentang hubungan antara sifat malu dan kesepian, bahwa orang dengan sifat malu tinggi menjadi rentan mengalami kesepian karena mereka cenderung menghindari interaksi sosial. Mereka menghindar karena merasakan adanya kecemasan di dalam interaksi sosial. Interaksi sosial yang mereka lakukan pun juga tidak terbangun dengan solid disebabkan kurang memadainya kemampuan sosial pada orang yang malu. Pada akhirnya orang yang malu tidak memiliki relasi sosial yang

(7)

memadai, baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga mereka merasa kesepian.

Salah satu skala yang dipakai untuk mengukur sifat malu adalah Revised Cheek and

Buss Shyness Scale. Skala ini pertama kali dibuat oleh Cheek dan Buss pada tahun 1981 dan

telah mengalami empat kali revisi (Crozier, 2005). Ada juga skala sifat malu yang lain seperti

Social Reticence scale dan Interaction Anxiousness scale, namun skala RCBS ini merupakan

alat ukur yang paling umum digunakan untuk mengukur sifat malu (Crozier, 2005). Skala RCBS ini dibuat oleh Cheek dan Buss untuk menciptakan skala sifat malu yang di dalamnya tidak terkandung item-item yang mengukur konstruk yang serupa, terutama konstruk sosiabilitas (Cheek & Buss, 1981). Latar belakang alasan tersebut adalah karena pada masa tersebut, konstruk sifat malu cenderung dianggap sebagai sosiabilitas yang rendah. Cheek dan Buss beranggapan bahwa sifat malu bukan hanya sekedar sosiabilitas rendah, maka mereka menciptakan skala sifat malu yang item-itemnya bersih dari item yang mengukur sosiabilitas. Ketika skala ini pertama kali dibuat, item-itemnya dipilih berdasarkan tiga kriteria, yaitu mencakup komponen afektif dan instrumental (behavioral) sifat malu, mengikutsertakan item-item yang terkait dengan situasi yang dialami orang pemalu, dan tidak mengikutsertakan item-item yang mengukur keinginan untuk bersama dengan orang lain.

Dinamika Hubungan Sifat Malu dengan Kesepian

Peneliti telah menyebutkan bahwa terdapat tiga kelompok gejala yang bisa ditemukan pada orang yang malu, yaitu somatic-emotional, cognitive, dan behavioral (Cheek & Watson, 1989). Misalnya untuk gejala somatic-emotional, contohnya adalah kecemasan sosial dan gejala fisiologis berupa gemetaran dan wajah memerah. Berdasarkan penelitian Papsdorf dan Alden (1998) gejala tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa sehingga menyebabkan orang lain bekurang minatnya untuk berinteraksi kembali dengan malu di lain waktu. Gejala cognitive yang berupa antisipasi terhadap penolakan dari orang lain secara logika juga menjadikan orang yang malu cenderung menghindari kontak sosial. Selain itu, perhatian yang berlebihan terhadap diri sendiri menjadikan orang malu kurang mengalokasikan perhatiannya kepada lawan bicara dan tidak merasakan interaksi sosial yang bermakna. Hal ini beresiko mengganggu kualitas interaksi sosial. Perkiraan ini diperkuat oleh hasil penelitian Jones, Hobbs, dan Hockenbury (1982), di mana partisipan yang diinstruksikan untuk lebih beratensi kepada lawan bicaranya mengalami penurunan kesepian. Begitu juga gejala behavioral seperti diam, kesulitan berbicara, menghindari kontak mata, dan

(8)

menghindar dari kontak sosial, secara umum bisa mengurangi kuantitas dan kualitas interaksi sosial orang yang malu. Segala macam konsekuensi dari tanda-tanda sifat malu tersebut bisa mengarahkan malu kepada kesepian.

Peneliti akan mencari tahu melalui penelitian ini tentang hubungan antara sifat malu dan kesepian pada mahasiswa baru UI dari luar Jakarta yang menetap di asrama. Mereka memiliki kesamaan yaitu sebagai mahasiswa pendatang dari luar Jabodetabek. Mengingat adanya similarity-dissimilarity effect di mana adanya kesamaan bisa mendatangkan atraksi (Byrne, 1961), peneliti memperkirakan kesamaan tersebut membuat mahasiswa asrama lebih nyaman dalam berinteraksi. Mahasiswa dengan sifat malu tinggi pun diperkirakan menjadi lebih yakin untuk berinteraksi sosial. Jadi, penelitian ini akan melihat bagaimana hubungan antara sifat malu dan kesepian di dalam setting kesamaan status sebagai mahasiswa perantau, di mana kesamaan tersebut mungkin akan membuat mahasiswa dengan sifat malu jadi lebih berani berinteraksi sehingga mereka tidak terlalu merasa kesepian.

Metode Penelitian

Hipotesis

Hipotesis alternatif pada penelitian ini adalah skor total skala Revised Cheek and Buss

Shyness berkorelasi secara signifikan dengan skor total skala De Jong Gierveld Loneliness

pada mahasiswa perantau tahun pertama Universitas Indonesia yang menetap di asrama. Partisipan Penelitian

Partisipan pada penelitian ini yaitu mahasiswa S1 atau D3 Universitas Indonesia yang sedang menjalani kuliah tahun pertama yang menetap di asrama mahasiswa kampus UI Depok, yang berasal dari luar Jabodetabek.

Variabel

Sifat Malu: Definisi sifat malu berdasarkan Buss (1980 dalam Cheek & Buss, 1981) adalah reaksi seseorang ketika bersama dengan orang yang tidak dikenalnya atau kenalan biasa, berupa tegang, terlalu perhatian dengan diri sendiri, merasa aneh, tidak nyaman, menghindari

(9)

menatap mata lawan bicara, dan tertahannya perilaku sosial yang dianggap umum.

Kesepian: Definisi kesepian menurut de Jong Gierveld (1987) adalah situasi yang dialami seseorang ketika adanya keterbatasan relasi sosial yang dirasakan tidak menyenangkan, di mana jumlah relasi sosial (jumlah orang yang dikenal) dianggap kurang dari memadai atau tidak tercapainya keintiman yang diinginkan.

Skala Pengukuran

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner. Kuesioner merupakan serangkaian pertanyaan yang dirancang dengan seksama untuk diberikan kepada partisipan untuk mendapatkan jawaban self-report tentang sikap, opini, karakteristik personal, dan perilaku (Gravetter & Forzano, 2009).

Sifat Malu: Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan alat ukur Revised Cheek and

Buss Shyness scale (RCBS). Skala RCBS ini merupakan alat ukur yang paling umum

digunakan untuk mengukur sifat malu (Crozier, 2005). Skala RCBS ini berupa kuesioner

self-report yang terdiri dari 14 butir pertanyaan. RCBS menggunakan skala Likert dari angka 1

(sangat tidak sesuai) sampai 5 (sangat sesuai) namun peneliti memutuskan menggunakan 6 pilihan jawaban untuk menghindari kecenderungan partisipan memilih jawaban tengah. Kesepian: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan De Jong Gierveld Loneliness Scale yang terdiri dari 11 item. Peneliti memutuskan untuk menggunakan skala De Jong Gierveld

Loneliness Scale karena pada item-nya tidak digunakan kata “kesepian”. Kata “kesepian”

yang cenderung bersifat negatif dikhawatirkan akan memicu respon social desirability dari partisipan, terutama pada partisipan pria. Skala ini hanya terdiri dari satu dimensi (De Jong Gierveld & van Tilburg, 2006). Peneliti juga menggunakan 6 pilihan jawaban untuk menghindari kecenderungan menjawab di tengah.

Desain Penelitian

Untuk strategi penelitian dibagi menjadi lima: eksperimental, quasi-eksperimental, noneksperimental, korelasional, dan deskriptif; penelitian ini termasuk korelasional, yaitu bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel namun tidak menjelaskan hubungan kausalitas di antara keduanya (Gravetter & Forzano, 2009).

(10)

Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah accidental

sampling, yaitu di mana individu yang dijadikan sampel adalah yang mudah dijangkau oleh

peneliti dan partisipan dipilih berdasarkan ketersediaan dan kemauan mereka untuk mengikuti penelitian (Gravetter & Forzano, 2009). Teknik accidental sampling ini termasuk salah satu metode nonprobability sampling. Dalam metode ini, tingkat kemungkinan tiap anggota populasi terpilih menjadi sampel tidak dapat ditentukan, hal itu karena jumlah populasi yang tidak diketahui, dan juga sampel dipilih berdasarkan ketersediaan (Gravetter & Forzano, 2009).

Analisis Statistik

Statistik Deskriptif: distribusi frekuensi, jangkauan (nilai terkecil ke nilai terbesar), analisis mean untuk mengetahui tendensi sentral data, dan standar deviasi untuk mengetahui variabilitas dari data sifat malu dan kesepian.

Korelasi Pearson Product-Moment: korelasi Pearson merupakan teknik analisis korelasi yang paling umum digunakan untuk mengetahui kekuatan dan arah dari hubungan linear antara dua variabel. Korelasi Pearson akan digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel sifat malu dan kesepian.

Independent Sample t-Test: teknik statistik ini digunakan untuk melihat adanya perbedaan mean yang signifikan pada dua kelompok partisipan. Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikan atau tidaknya perbedaan kesepian berdasarkan jenis kelamin.

One Way ANOVA: teknik ini digunakan untuk melihat signifikansi perbedaan mean pada dua kelompok atau lebih. Teknik statistik ini dipakai untuk melihat signifikansi perbedaan kesepian partisipan berdasarkan daerah asalnya.

Hasil Penelitian

Total partisipan adalah 50 orang. Jumlah partisipan laki-laki dan perempuan hampir seimbang, dengan jumlah laki-laki 24 orang (48%) dan perempuan 26 orang (52%). Partisipan pulang ke daerah asalnya <1 bulan yang lalu 11 orang (22%), 1 bulan yang lalu 1 orang (2%), 2 bulan yang lalu 9 orang (18%), 3 bulan yang lalu 18 orang (36%), dan >3 bulan yang lalu

(11)

11 orang (22%). Jumlah partisipan dari Pulau Sumatera 13 orang (26%), Jawa 29 orang (58%), dan dari selain keduanya 8 orang (16%).

Mean sifat malu adalah 38,68 dari skor maksimal skala 66. Mean kesepian adalah 32,38 dari skor maksimal skala 60, mean kesepian sosial 15,68 dari skor maksimal 30 dan mean kesepian emosional 16,70 dari skor maksimal 30. Standar deviasi untuk variabel sifat malu adalah 8,686 serta untuk variabel kesepian sebesar 7,199.

Tabel 1

Korelasi antara sifat malu dan kesepian

r Nilai sig. r2

Korelasi sifat malu dengan kesepian Korelasi sifat malu dengan kesepian sosial

Korelasi sifat malu dengan kesepian emosional 0,501 0,149 0,622 0,000* 0,302 0,000* 0,251 0,022 0,386

*signifikan pada l.o.s 0,01

Nilai korelasi antara sifat malu dan kesepian sebesar 0,501. Nilai signifikansi lebih kecil dari 0,01 yaitu 0,000, maka terdapat korelasi yang positif signifikan antara sifat malu dan kesepian, yang berarti kenaikan skor sifat malu diiringi oleh kenaikan skor kesepian. Nilai r2 sebesar 0,251 atau 25%, maka dapat disimpulkan bahwa 25% variasi nilai kesepian dapat dijelaskan oleh nilai sifat malu. Korelasi antara sifat malu dan kesepian emosional bernilai 0,622; nilai signifikansi lebih kecil dari 0.01 yaitu 0,000. Dengan demikian terdapat korelasi yang juga positif signifikan antara sifat malu dan kesepian emosional. Nilai r2 sebesar 0,386 (38%), maka 38% variasi nilai kesepian emosional dapat dijelaskan oleh nilai sifat malu.

Dengan adanya hubungan yang signifikan antara sifat malu dan kesepian, maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Itu berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sifat malu dan kesepian pada mahasiswa tahun pertama Universitas Indonesia yang menetap di asrama, di mana perubahan pada nilai sifat malu akan diiringi oleh perubahan pada nilai kesepian.

(12)

Tabel 2

Korelasi Waktu Terakhir Kali Pulang dengan kesepian

r Nilai Sig. r2

Korelasi waktu terakhir pulang dengan kesepian

0,131 0,364 0,017

Korelasi waktu terakhir pulang ke daerah asal dengan kesepian sebesar 0,131. Nilai signifikansi lebih besar dari batas signifikansi 0,01, yaitu sebesar 0,364. Dengan demikian tidak ada korelasi yang signifikan antara waktu terakhir pulang ke daerah asal dan kesepian. Tabel 3

Perbandingan kesepian Berdasarkan Jenis Kelamin

n Mean Signifikansi Keterangan

Laki-laki 24 34,08 t=1,635

p=0,109 Tidak signifikan (p>0,05)

Perempuan 26 30,81

Perbandingan kesepian berdasarkan jenis kelamin menghasilkan nilai t=1,635. Nilai signifikansi sebesar 0,109, nilai tersebut lebih besar dari batas signifikansi 0,05. Maka disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan mean yang signifikan antara kesepian partisipan pria dan wanita.

Tabel 4

Perbandingan kesepian Berdasarkan Daerah Asal

n Mean Signifikansi Keterangan

Sumatera 13 34,31 F=1,044

p=0,360 Tidak signifikan (p>0,05)

Jawa 29 31,14

Lain-lain 8 33,75

(13)

signifikansi p=0,360. Nilai p yang lebih besar dari 0,05 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesepian yang signifikan berdasarkan daerah asal mahasiswa. Maka disimpulkan bahwa mahasiswa yang berasal dari suatu daerah tidak bisa dianggap memiliki kesepian yang signifikan lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang berasal dari daerah lainnya.

Pembahasan

Berdasarkan penelitian ini peneliti mendapatkan hasil adanya hubungan positif yang signifikan antara sifat malu dan kesepian pada mahasiswa perantau UI tahun pertama yang menetap di asrama. Hasil yang serupa juga didapat dari penelitian Neto (1992), Satari (2009), dan Maroldo (1981 dalam Perlman & Peplau, 1984), dimana mereka juga menemukan hubungan antara sifat malu dan kesepian. Hasil penelitian ini menambah literatur mengenai hubungan antara sifat malu dan kesepian, khususnya pada mahasiswa perantau yang menetap di asrama kampus.

Mahasiswa yang memiliki sifat malu yang tinggi lebih cenderung mengalami kesepian karena ciri-ciri perilaku pada orang yang memiliki sifat malu tinggi membuka kemungkinan untuk berkurangnya kualitas dan kuantitas interaksi sosial. Ciri-ciri sifat malu yang berupa gemetaran dan wajah memerah mengurangi minat orang lain untuk berinteraksi dengan orang yang malu (Papsdorf & Alden, 1998). Perhatian yang berlebihan kepada diri sendiri dan kurang fokus kepada lawan bicara juga bisa mengurangi kualitas interaksi sosial (Jones, Hobbs, & Hockenbury 1982). Secara logika, terlihat bahwa sifat malu berpengaruh terhadap kesepian, namun karena penelitian ini korelasional, peneliti tidak bisa secara tegas menyatakan hubungan kausalitas kedua variabel tersebut.

Peneliti menemukan hubungan yang signifikan antara sifat malu dan kesepian emosional. Kesepian emosional adalah kesepian yang diakibatkan oleh kurangnya hubungan yang bersifat pribadi dan intim. Hubungan signifikan tersebut mungkin bisa dijelaskan oleh hasil penelitian Papsdorf dan Alden (1998) yang menunjukkan bahwa orang pemalu kurang merespon balik self-disclosure orang lain sehingga orang lain jadi kurang tertarik untuk berinteraksi dengan mereka. Self-disclosure merupakan sesuatu yang penting di dalam relasi

(14)

sosial yang intim, maka respon balik yang kurang positif terhadap self-disclosure orang lain kemungkinan menjadikan orang yang pemalu lebih sulit menjalin relasi yang intim sehingga mudah mengalami kesepian emosional. Ini diperkuat oleh temuan Wei, Russel, dan Zakalik (2005) berupa hubungan negatif signifikan antara kenyamanan dalam self-disclosure dan kesepian, yaitu semakin tidak nyaman seseorang melakukan self-disclosure maka ia akan cenderung semakin kesepian.

Peneliti tidak menemukan adanya hubungan waktu terakhir pulang ke daerah asal dengan kesepian. Peneliti merasa ada kekurangan pada bagian ini, di mana pilihan jawaban waktu terakhir pulang menggunakan rentang yang terlalu lebar, misalnya 1 bulan yang lalu, 2 bulan yang lalu, dan 3 bulan yang lalu. Mungkin pilihan tersebut kurang merepresentasikan keadaan partisipan, maka penurut peneliti sebaiknya pilihan jawaban dibuat dalam rentang yang lebih kecil, misalnya dalam satuan minggu (1 minggu yang lalu, 2 minggu yang lalu, dan seterusnya), agar bisa lebih merepresentasikan keadaan partisipan.

Peneliti menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan kesepian yang signifikan antara partisipan pria dan wanita, di mana penelitian ini menggunakan skala yang tidak secara eksplisit bertanya “apakah anda mengalami kesepian?” atau pertanyaan yang serupa. Ini sejalan dengan temuan Perlman dan Peplau (1984), yaitu tidak adanya perbedaan kesepian yang signifikan antara pria dan wanita ketika kesepian diukur dengan menggunakan skala, namun berbeda signifikan ketika pertanyaannya eksplisit. Ini menunjukkan bahwa lebih baik menggunakan skala yang kata-katanya tidak menyebut secara eksplisit variabel yang diukur, apalagi yang cenderung dinilai negatif seperti kesepian. Ini penting untuk menghindari adanya respon yang cenderung social desirable.

Hasil tambahan lainnya yaitu tidak adanya perbedaan signifikan pada kesepian berdasarkan daerah asal mahasiswa. Penelitian lain yang bisa dilakukan terkait dengan daerah asal adalah mencari hubungan persepsi jarak subjektif, yaitu seberapa jauh mahasiswa perantau mempersepsikan jarak antara daerah asalnya dan kampus, dengan kesepian. Urgensi dilakukannya penelitian semacam ini adalah sebagai pertimbangan perlu atau tidaknya merubah persepsi mahasiswa perantau tentang jarak kampung halamannya pada mereka yang mengalami kesepian.

(15)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: terdapat hubungan positif signifikan antara sifat malu dan kesepian pada mahasiswa Universitas Indonesia tahun pertama yang menetap di asrama. Artinya, semakin tinggi skor sifat malu pada mahasiswa akan diiringi oleh semakin tingginya skor kesepian.

Saran

Saran Metodologis

1. Melakukan pengambilan data di tempat yang tidak berisik

2. Semua kuesioner diberikan secara tatap muka oleh peneliti, tidak dititipkan. 3. Memperbanyak jumlah sampel agar hasil lebih representatif

4. Menggunakan teknik sampling yang memungkinkan terpilihnya secara merata anggota populasi.

Saran Praktis

1. Memberikan intervensi dalam bentuk misalnya dengan selebaran atau kuliah, tentang bagaimana caranya untuk beradaptasi di masa awal kuliah. Intervensi lebih ditekankan pada bagaimana caranya untuk menghilangkan rasa canggung dan malu dalam berinteraksi sosial.

2. Mahasiswa juga dihimbau untuk lebih aktif berinteraksi sosial dengan mereka yang memiliki sifat malu.

3. Memberikan konseling bagi mahasiswa yang merasa memiliki tingkat sifat malu yang tinggi.

(16)

Daftar Referensi

Byrne, D. (1961). Interpersonal Attraction and Attitude Similarity. Journal of Abnormal and Social Psychology, 62(3), 713-715.

Byrne, D., & Nelson, D. (1965). Attraction as A Linear Function of Proportion of Positive

Reinforcements. Journal of Personality and Social Psychology, 1(6), 659-663.

Cheek, J. M., & Buss, A. H. (1981). Shyness and Sociability. Journal of Personality and Social Psychology, 41(2), 330-339.

Cheek, J. M., & Watson, A. K. (1989). The Definition of Shyness: Psychological

Imperialism or Construct Validity? Journal of Social behavior and Personality, 4(1),

85-95.

Crozier, W. R. (2005). Measuring Shyness: Analysis of The Revised Cheek and Buss Shyness

Scale. Personality and Individual Differences, 38, 1947-1956. DOI: 10.1016/j.paid.2004.12.002

Cutrona, C. E. (1982). Transition to College: Loneliness and The Process Of Social Adjustment. Dalam Peplau, L. A., & Perlman. D (Eds.), Loneliness: A Source-Book Of

Current Theory, Research and Therapy (hal. ). New York: Wiley-Interscience, 1982.

De Jong Gierveld, J. (1987). Developing and Testing a Model of Loneliness. Journal of Personality and Social Psychology, 53(1), 119-128.

De Jong Gierveld, J., & Van Tilburg, T. G. (1999). Manual of The Loneliness Scale. Amsterdam: VU University Amsterdam, Department of Social Research Methodology.

De Jong Gierveld, J., & Van Tilburg, T. (2006). A 6-Item Scale for Overall, Emotional, and

Social Loneliness. Research on Aging, 28(5), 582-598. DOI: 10.1177/0164027506289723

De Jong Gierveld, J., van Tilburg, T., & Dykstra, P. A. (2006). Loneliness and Social Isolation. Dalam Perlman, D., & Vangelisti, A (Eds.), The Cambridge Handbook of Personal

Relationships (hal. 485-500). Cambridge: Cambridge University Press.

Dill, J. C., & Anderson, C. A. (1999). Loneliness, Shyness, and Depression: The Etiology and Interrelationship of Everyday Problems in Living. Dalam Joiner, T., & Coyne, J. C (Eds.),

(17)

The Interactional Nature of Depression: Advances in Interpersonal Approaches (hal. 93-125).

Washington: APA.

Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2009). Research Methods for the Behavioral Sciences. California: Wadsworth

Jones, W. H., Briggs, S. R., & Smith, T. G. (1986). Shyness: Conceptualization and

Measurement. Journal of Personality and Social Psychology, 51(3), 629-639.

Jones, W. H., Hobbs, S. A., & Hockenbury, D. (1982). Loneliness and Social Skill Deficits. Journal of Personality and Social Psychology, 42(4), 682-689.

Lorant, T. A., Henderson, L., & Zimbardo, P. G. (2000). Comorbidity in Chronic Shyness. Depression and Anxiety, 12, 232-237.

Neto, F. (1992). Loneliness among Portuguese Adolescents. Social Behavior And Personality, 20(1), 15-22.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development. New York: McGraw-Hill

Papsdorf, M., & Alden, L. (1998). Mediators of Social Rejection in Social Anxiety: Similarity,

Self-Disclosure, and Overt Signs of Anxiety. Journal of Research in Personality, 32, 351-369.

Perlman, D., & Peplau, L. A. (1981). Toward A Social Psychology of Loneliness. Dalam Duck, S., & Gilmour, R (Eds.), Personal Relationships in Disorder (hal.32-56). London: Academic Press.

Perlman, D., & Peplau, L. A. (1984). Loneliness Research: A Survey Of Empirical Findings. Dalam Peplau, L. A., & Goldston, S (Eds.), Preventing The Harmful Consequences Of Severe

and Persistent Loneliness (hal. 13-46). U.S. Government Printing Office.

Ratri, A. (2007). Perasaan Kesepian pada Mahasiswa S-1 Tahun Pertama di Universitas

Indonesia (Skripsi). Universitas Indonesia, Depok.

Russel, D., Cutrona, C. E., Rose, J., & Yurko, K. (1984). Social and Emotional Loneliness:

An Examination of Weiss's Typology of Loneliness. Journal of Personality and Social

Psychology, 46(6), 1313-1321.

(18)

Indonesia Yang Berkuliah di Luar Negeri (Skripsi). Universitas Indonesia, Depok.

Wei, M., Russel, D. W., & Zakalik, R. A. (2005). Adult Attachment, Social Self-Efficacy, Self

Disclosure, Loneliness, and Subsequent Depression for Freshman College Students: A Longitudinal Study. Journal of Counseling Psychology, 52(4), 602-614. DOI:

Referensi

Dokumen terkait

Untuk barang-barang tersebut dalam pasal 6, buku-buku dan barang-barang kesenian atau ilmu lain, serta harta kekayaan, pengawas kantor lelang negeri dapat mengizinkan lelang

Penulis menggunakan lima rasio untuk menghitung kinerja dari perusahaan telekomunikasi terhadap harga saham telekomunikasi yaitu Current Ratio, Return on Equity (ROE),

Aksesi mangga dalam masing-masing kelom- pok terbagi-bagi lagi menjadi banyak cabang-cabang kecil dengan anggota kelompok aksesi yang lebih kecil, yang menunjukkan

For bønder som eventuelt inngår en slik avtale er det viktig at ikke det økonomiske resultatet blir dårligere ved overgang fra dagens mjølkeproduksjon til produksjon basert bare

i. -l trasiiuii l:aporan ini dibuat dalam pengertian tidak untuk membebaskan pihak-pihak yang terkait dengan kewajiban kontraktual mereka... KEMENTERIAN PEKERJAAN

kamar mandi” karya Gusmel Riyald, ald, dapat diketahui bahwa d dapat diketahui bahwa drama ini menggunakan rama ini menggunakan alur maju yaitu dari pertama terjadi suatu

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama ± dua bulan mulai Pertengahan Juni hingga akhir Mei 2015 di Pulau Durai (Kepulauan Anambas) dan dan

Slika 2.21: Prikaz organiziranega omrežja kolesarskih poti in spremljajoče infrastrukture Vir: RS, MPZ, DRSC, strategija razvoja državnega kolesarskega omrežja v RS, Ljubljana 2000