• Tidak ada hasil yang ditemukan

[ Seksualitas Non-normatif di Indonesia: Subjektivitas dan Pengalaman ]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "[ Seksualitas Non-normatif di Indonesia: Subjektivitas dan Pengalaman ]"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Juni 2011

Canberra, Australia

[

Seksualitas Non-normatif di

Indonesia: Subjektivitas dan

Pengalaman

]

(2)

1. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang unik dalam hal seksualitas non-normatif, yang diakibatkan pengaruh dari budaya, agama dan faktor historis di negara tersebut. Oleh karena itu, subjektivitas1 seksual di Indonesia harus dipandang dari sudut pandang berbeda dengan negara-negara Barat, bahkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Selain itu, harus diingat bahwa keadaan di dalam negara kepulauan itu juga beraneka-ragam. Dengan demikian, kompleksitas pengalaman kaum gay, lesbi dan subjektivitas seksual lain di Indonesia dapat dipahami dengan lebih mudah dan baik. Keterangan tentang konsepsi subjektivitas dan pengalaman kaum gay, lesbi dan lain-lain juga bisa dimanfaatkan untuk memahami dua hal yang penting. Pertama, sesatnya konsepsi adanya kesamaan di antara indentitas seksual non-normatif antar-negara dan antar-budaya. Kedua, bagaimana kaum tersebut, dalam keadaan penindasan, dapat menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan mereka, di tengah-tengah ketiadaan dukungan sosial atau legal yang mencukupi. Esai ini akan membahas berbagai aspek yang berkaitan dengan seksualitas non-normatif di Indonesia, terutama kaum gay dan lesbi. Bagian pertama di bawah menjelaskan tentang konsepsi seksualitas non-normatif, ditinjau dari konteks kebudayaan dan historis. Selanjutnya, akan dibahas bagaimana berkembangnya subjektivitas gay dan lesbi terjadi dalam konteks Indonesia, dan peran media dalam proses ini. Selain itu, akan dibahas juga tentang subjektivitas seksual di Indonesia dari segi agama, legal dan perspektif masyarakat umum. Bagian kedua berfokus pada pengalaman kaum gay dan lesbi dalam kehidupan sehari-hari. Pertama-tama, bagaimana mereka memisahkan “dunia gay” atau “dunia lesbi” dari “dunia normal” dengan menciptakan berbagai “ruang” khusus. Fungsi ruang-ruang ini untuk menghubungkan individu-individu yang “sehati” sambil membina rasa tergabung dalam komunitas gay atau lesbi. Terakhir, masalah-masalah yang dihadapi kaum tersebut, terutama persoalan perkawinan antara orang gay atau lesbi dengan lawan jenis (berlawanan dengan orientasi seksual mereka), dan beberapa dampak dari fenomena ini. Dengan demikian, esai ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang keadaan LGBTIQ2 di Indonesia.

1

“Subjektivitas” dan “posisi subjek” merupakan istilah-istilah yang disebutkan untuk membedakan dari istilah lain seperti “jati diri”, “identitas” dan “orientasi”. “Posisi subjek” dan “subjektivitas” dapat digambarkan sebagai “kategori sosial yang dibentuk secara kultural dan mendominasi secara ideologis, yang ke dalamnya orang-orang individu ditempatkan” (Blackwood 2010: 21), dan juga “kumpulan moda persepsi, perasaan, pikiran, nafsu dan kecemasan yang menggerakkan subjek yang bertingkah” (Ortner 2006: 107).

2

Catatan tentang istilah-istilah yang dipakai dalam esai ini: Walaupun singkatan “LGBTIQ” (lesbian, gay, bisexual, transgender, intersex, queer) disebutkan di sini, itu tidak dipakai lagi karena dalam konteks wacana seksualitas non-normatif di Indonesia, hubungan antara istilah-istilah “global” yang dimaksudkan singkatan ini dengan istilah Indonesia seperti “lesbi”, “gay” dan sebagainya mudah dibingungkan karena makna yang berbeda. Jadi, dalam esai ini, biasanya saya memakai istilah seperti “subjektivitas seksual non-normatif” untuk meliputi semua subjektivitas seksual di Indonesia yang tidak jatuh ke dalam penggolongan heteronormatif, yaitu: gay, lesbi (termasuk tomboi dan femme), waria, biseksual, dan lain-lain yang tidak disebutkan. Kalau saya ingin merujuk ke subjektivitas yang kebaratan atau global, saya menuliskan istilah dengan huruf miring untuk membuat jelas bahwa itu adalah konsep yang berbeda, misalnya: gay, lesbian,

(3)

2. Konsepsi Seksualitas dan Gender Non-normatif di Indonesia

A. Konteks Kesejarahan dan Konseptual

Sejarah seksualitas non-normatif di Indonesia menjadi penting karena itu menunjukkan bagaimana subjektivitas yang ada di Indonesia sekarang berbeda dari apa yang ada di masa lalu, walaupun dari awal selalu ada fenomena “homoseksualitas”. Tiga kategori utama yang akan dibahas adalah subjektivitas etno-lokal, subjektivitas waria nasional, dan subjektivitas nasional baru. Namun, harus diingat bahwa dalam kategori apapun yang digeneralisirkan, ada banyak variasi juga. Subjektivitas etno-lokal merujuk pada tipe homoseksualitas atau tranvestisme3 yang terdapat di wilayah ento-lokal tertentu dan sudah ada sejak lama. Boellstorff (2007: 84) menjelaskan sifat-sifat tertentu yang dimiliki subjektivitas dalam kategori ini. Pertama, tujuan utama posisi subjek seperti ini adalah semacam “profesi” untuk menjalani ritual tertentu, sementara seksualitas merupakan aspek sampingan. Kedua, orang tidak dapat dilahirkan langsung menjadi diposisi seperti ini, tetapi seseorang dapat memilih untuk menjadi posisi tersebut dengan cara mempelajarinya. Ketiga, subjektivitas seperti ini sudah berangsur menghilang, dan meskipun masih ada, aspek homoseksual atau transvestinya umumnya sudah tidak ada lagi. Contoh paling terkenal dari kategori ini adalah

bissu pada masyarakat Makassar (Sulawesi Selatan) dan warok pada masyarakat Ponorogo (Jawa

Timur) (Aranda 2006: 31-32).

Waria dimasukkan dalam kategori berbeda karena merupakan subjektivitas yang unik. Berbeda dengan subjektivitas etno-lokal, konsep waria cukup standar di seluruh Indonesia, dan baru muncul sekitar abad ke-19. Waria juga tidak terkait dengan ritual seperti subjektivitas etno-lokal tersebut (Boellstorff 2007: 85). Dibandingkan dengan subjektivitas modern lain (terutama gay, lesbi dan biseksual), waria juga bisa dibilang berbeda, terutama karena eksistensinya yang sudah dulu ada. Lagipula, waria unik karena merupakan fenomena yang nasional, dan merupakan bentuk transgenderisme. Subjektivitas ini akan dibahas secara terperinci di bawah.

“Subjektivitas nasional baru” termasuk subjektivitas yang bersifat “nasional” dan baru diketahui secara luas kira-kira sejak tahun 1970-1980-an (Boellstorff 2005: 60). Subjektivitas gay dan lesbi merupakan topik yang akan dibahas selanjutnya di esai ini, tetapi ada golongan lain seperti biseksual yang juga termasuk dalam kateogori ini. Walaupun subjektivitas biseksual penting, hal ini belum diteliti secara menyeluruh dalam konteks Indonesia. Selain itu, sulit untuk membuat kesimpulan bisexual, transgender dan sebagainya. Pembedaan istilah antarbahasa seperti ini mengikuti kaidah yang serupa dengan apa yang dipakai

oleh Blackwood (2010) dan Boellstorff (2005, 2007).

3

Tranvestisme/tranvestitis cenderung merujuk lebih pada cara bertindak dan berpakaian saja, daripada posisi gender secara keseluruhan atau dipandang dari segi “jiwa batin” (transgender).

(4)

tentang biseksualitas karena konsepnya masih baru di Indonesia, dan belum ada kebulatan suara terhadap penerapan konsep dan penggunaan istilah tersebut (lihat Blackwood 2010: 190-194). Oleh sebab itu, biseksualitas tidak akan dibahas lebih jauh, tetapi tentu saja banyak aspek tentang gay dan lesbi yang berlaku pada orang yang mengaku diri mereka sebagai biseks, khususnya segi subjektivitas dan kehidupan mereka yang melibatkan ketertarikan terhadap sesama jenis.

Dari penjelasan tiga kategori diatas, dapat dilihat bahwa subjektivitas seksual yang paling umum di Indonesia pada saat ini tidak terkait dengan subjektivitas “tradisional”, dan sifatnyapun berbeda. Gay dan lesbi sebagai subjektivitas spesifik, merupakan fenomena baru di Indonesia.

B. Subjektivitas Gay dan Lesbi di Indonesia

Banyak aspek-aspek yang dapat dibahas mengenai subjektivitas seksual non-normatif di Indonesia secara teoritis. Tetapi, untuk memahami bagaimana subjektivitas seksual seperti gay dan lesbi berbeda dari konsepsi gay dan lesbian secara global4, ada beberapa aspek yang perlu disoroti. Pertama, dinamika pembentukan identitas yang berhubungan dengan subjektivitas seksual. Sebagian besar dari orang Indonesia merupakan bagian dari etnis tertentu (atau grup etno-lokal). Namun, karena alasan yang akan dijelaskan di bawah, seksualitas mereka ditempatkan di skala-spasial interlokal. Maksudnya adalah, kebanyakan kaum gay dan lesbi mengaitkan subjektivitas seksualnya dengan identitas nasional mereka sebagai orang Indonesia, bukan idenitas etno-lokalnya (Boellstorff 2005: 72). Subjektivitas gay dan lesbi juga dikaitkan dengan subjektivitas global atau Barat; tetapi menurut Boellstorff (2005: 84), “orang Indonesia yang gay dan lesbi baik tidak meniru homoseksualitas Barat, tetapi tidak sepenuhnya berbeda darinya”. Boellstorff mengajukan argumen bahwa sebuah proses dubbing (“menyulih-suarakan”) terjadi dalam penyesuaian homoseksualitas barat ke dalam budaya Indonesia.

Aspek lain adalah ditempatkannya subjektivitas seksual pada tingkat kepentingan yang berbeda jika dibandingkan dengan aspek kehidupan lain, seperti pekerjaan, agama, keluarga, kebangsaan, komunitas dan sebagainya. Biasanya, subjektivitas seksual ditempatkan dibawah aspek-aspek tersebut (Offord 2003: 119). Ini bisa dijelaskan dengan proses sosial dan kultural yang lebih luas di masyarakat Indonesia, yaitu kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan kolektif (misalnya keluarga, komunitas, negara) di atas kepentingan individu. Akibatnya, kaum gay dan lesbi di Indonesia lebih mementingkan pemenuhan harapan orang lain, daripada pemenuhan keinginan

4

Pengunaan perkataan subjektivitas yang “global” tidak berarti ada subjektivitas yang bisa dikatakan benar-benar “global”. Dalam esai ini, “global” pada umumnya berarti apa yang dianggap paling lazim terdapat di dunia, atau apapun yang dianggap “biasa” dari perspektif Barat. Tentu saja, ini juga merupakan suatu penyederhanaan, dan tidak bisa memperhitungkan keanekaragaman antara negara, budaya dan individu di dunia Barat (termasuk Amerika, Eropa, Australia, dsb.).

(5)

untuk mengekspresikan seksualitasnya dengan kebebasan seperti apa yang terdapat di negara-negara Barat. Oleh karena mereka terus mengikuti norma sosial diluar subjektivitas seksualnya, menimbulkan beberapa konsekuensi, seperti yang akan dibahas di bawah.

C. Waria dan Tomboi – Merumitkan Kategorisasi dan Pengertian Seksualitas dan Gender

Subjektivitas seksual gay dan lesbi sudah cukup rumit dan bervariasi sebelum ditambah subjektivitas lain seperti waria, dan “jenis” lesbi seperti “tomboi” dan “femme”. Kerumitan ini lebih parah lagi jika dilihat dari perspektif budaya Barat, karena memiliki konseptualisasi yang berbeda dari Indonesia terhadap gender dan subjektivitas seksual. Sifat-sifat waria akan didiskusikan untuk menonjolkan keunikannya sebagai posisi subjek di Indonesia, dan bedanya dari pemahaman transgender di dunia Barat. Tomboi dan femme akan dibahas berkenaan dengan istilah “lesbi” yang melingkupi kedua subjektivitas ini, dan mungkin subjektivitas lain juga. Tomboi juga akan dibandingkan dengan waria sebagai dua konsep transgender dengan pembingkaian yang berbeda.

Waria (juga disebut banci atau bencong) merupakan sebuah subjektivitas yang dapat digambarkan sebagai bentuk transgenderisme. Yang disebut dengan waria adalah seorang laki-laki yang merasa memiliki jiwa perempuan; mereka jarang interseks (Boellstorff 2007: 88). Waria dikatakan hanya berhubungan seks dengan laki-laki “normal”5 (dan tidak pernah waria lain yang dianggap sebagai perempuan), jadi subjektivitas waria itu meliputi kedua gender dan seksualitas. Tetapi rumitnya, banyak waria menganggap dirinya sebagai heteroseksual karena memiliki jiwa perempuan (Boellstorff 2007: 91). Pada umumnya, waria mengenakan pakaian perempuan, tetapi sebelum tahun 1960-an, pakaian perempuan hanya dipakai pada waktu-waktu tertentu (Boellstorff 2007: 87). Walaupun jumlahnya kecil sekali (untuk berbagai alasan), ada sebagian waria yang melakukan operasi ganti kelamin. Dalam kasus-kasus ini, setelah operasi dilakukan, biasanya mereka masih dianggap sebagai waria (pria bersifat kewanitaan) secara sosial (Boellstorff 2007: 95). Hal ini yang membuktikan perbedaan konseptualisasi waria dibandingkan dengan konseptualisasi transgender

male-to-female di dunia Barat.

Pada dunia lesbi, ada dua subkategori utama, yakni “tomboi” dan “femme”6. Sebagai posisi subjek, tomboi mirip dengan waria, tetapi merupakan orang yang berjenis kelamin perempuan yang

5 “Normal” digunakan dengan konotasinya dalam bahasa Indonesia, yaitu, orang yang (menaggap dirinya) termasuk dalam kategori

heteronormatif: perempuan heteroseksual atau laki-laki heteroseksual. Tetapi, biner ini tidak sesederhana konsepsinya di dunia Barat: misalnya, laki-laki bisa berhubungan seks atau romantis dengan waria dalam rangka subjektivitasnya sebagai laki-laki normal (Boellstorff 2007: 98-99).

6

Istilah “tomboi” dan “femme” dipilih menurut kaidah Blackwood (2010), untuk alasan yang disebutkannya pada halaman 25-26, walaupun pasangan kata lain seperti “cowok/cewek”, “tomboi/girlfriend” lebih sering dipakai oleh kaum lesbi sendiri.

(6)

menanggap dirinya sebagai laki-laki, mengenakan pakaian laki-laki, dan bertindak dengan maskulin (Blackwood 2010: 94-5). Subjektivitas yang berdasarkan adanya jiwa laki-laki dalam tubuh perempuan ini jelas berbeda dengan lesbian yang bersifat “butch” di dunia Barat, dan cenderung pada definisi transgender dari perspektif kebaratan. Namun, subjektivitas tomboi tidak bisa disamakan dengan waria. Waria sudah lama dilihat dan diketahui oleh masyarakat di Indonesia, sementara subjektivitas lesbi tomboi masih belum disadari oleh masyarakat umum secara luas. Juga, karena konsep “lesbi”, “tomboi” dan “femme” muncul pada waktu yang kira-kira bersamaan, jadi perkembangan subjektivitas tomboi tidak terjadi dalam keadaan “isolasi” seperti waria. Hasilnya, subjektivitas waria jelas-jelas tidak terkait dengan subjektivitas gay, tetapi hubungan antara subkategori subjektivitas lesbi lebih kabur. Pada umumnya, hubungan lesbi diorganisir pada baris feminin-maskulin: tomboi hanya berhubungan dengan femme, dan femme (yang tampilannya seperti perempuan “normal”) biasanya berhubungan dengan tomboi. Blackwood (2010: 135) juga berargumen bahwa lesbi femme merupakan subjektivitas yang kondisional – maksudnya adalah, ada banyak femme yang menjalin hubungan dengan laki-laki juga, atau bisa meninggalkan dunia lesbi dan kembali menjadi “normal”. Sepertinya subjektivitas “tomboi” dan “femme” tidak berlaku pada semua lesbi atau semua hubungan lesbi di Indonesia (misalnya Sulandari 2009: 59, Blackwood 2010: 197, Boellstorff 2007: 208), tetapi penelitian tentang variasi di luar dikotomi ini masih kurang. D. Penyadaran terhadap Subjektivitas Gay dan Lesbi

Media massa berperan besar dalam penyadaran posisi subjek gay dan lesbi antara kebanyakan dari mereka. Kenyataan ini tidak berlaku untuk waria, karena alasan yang sudah jelas: subjektivitas ini pada umumnya terlihat dan diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia. Waria biasanya mulai mengidentifikasi dirinya sebagai seorang waria di usia anak-anak atau diawal masa remaja, bahkan ada yang mulai mengasosiasikan dirinya dengan subjektivitas waria sejak umur lima tahun (Boellstorff 2007: 88). Di sisi lain, gay dan lesbi di Indonesia biasanya mulai mengidentifikasi diri mereka sebagai posisi subjek tersebut di penghujung masa remaja atau di usia 20-an. Menurut Boellstorff (2005: 68-72), cara paling umum untuk seseorang mulai menjadi sampai memiliki subjektivitas gay atau lesbi adalah lewat media massa, terutama media cetak. Boellstorff mengusulkan proses dimana seseorang menjadi sadar dan memahami gagasan “gay” dan “lesbi” dengan membaca tentang hal tersebut di media seperti majalah. Dari situ mereka menghubungkan konsep gay atau lesbi dengan apa yang mereka rasakan terhadap sesama jenis. Kemudian, subjektivitas orang masing-masing berkembang dalam konteks kebudayaan Indonesia, dan karena itulah posisi subjek gay dan lesbi terpisah dari posisi subjek gay dan lesbi yang terdapat di dunia Barat – walaupun dari sanalah konsep-konsep tersebut berasal. Jadi, subjektivitas gay dan lesbi

(7)

masuk ke Indonesia sebagai fenomena budaya yang direkonstruksi melalui penyaring budaya lokal, sehingga konsep-konsep itu mempunyai sifat “asli Indonesia”, sekaligus terkait erat dengan subjektivitas gay dan lesbi lain di seluruh dunia. Boellstorff menamakan proses adaptasi kultural ini sebagai dubbing (“menyulih-suarakan”). Banyak media massa yang menjadi bagian dari proses ini dibuat atau ditulis untuk khalayak nasional, dan menggunakan Bahasa Indonesia. Itu sebabnya subjektivitas gay dan lesbi menjadi terkait dengan segi “nasional” dari identitas seorang individu, dan dapat dikatakan ditempatkan di skala-spasial interlokal.

Namun, saat ini sangat mungkin media cetak tidak begitu penting lagi, seperti diusulkan Boellstorff. Orang-orang yang disurveinya sudah berganti dengan generasi muda baru yang hidup dalam konteks sosial dan media yang agak berbeda, yang penuh, misalnya, dengan konten film dan televisi dari negara-negara lain. Akan tetapi, yang paling penting adalah internet, yang membukakan sebuah dunia pengetahuan dan interaksi baru yang luas bagi orang Indonesia. Walaupun belum diteliti dengan baik dalam konteks subjektivitas gay dan lesbi di Indonesia, ada bukti bahwa internet mulai menjadi sumber penting untuk pengetahuan mengenai gagasan gay dan lesbi, khususnya orang yang berpendidikan dan kelas sosial lebih tinggi (Blackwood 2010: 197).

E. Agama, Seksualitas Non-normatif dan Perspektif Masyarakat Umum

Membahas agama dalam rangka seksualitas non-normatif di Indonesia sangat kompleks karena kebanyakan penelitian berfokus pada Islam, sehingga sulit untuk memperhitungkan orang-orang yang menganut agama lain dalam pembahasan tersebut. Selain itu, walaupun Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia, pandangan dan penafsiran antara kaum Muslim juga bermacam-macam. Ulama Islam dan politisi, antara lain, sekali-sekali mencela homoseksualitas (Offord 2003: 103).

Agama mempengaruhi perasaan tentang subjektivitas orang gay dan lesbi sendiri. Karena “relatif kurangnya wacana tentang homoseksualitas” dalam agama Islam (Boellstorf 2007: 155), seorang gay terpaksa menyesuaikan sendiri subjektivitasnya dengan agama yang dianut, terutama mengenai dosa. Ada yang merasa subjektivitas gay adalah dosa dalam dirinya sendiri, ada yang percaya bahwa homoseksualitas hanya merupakan dosa kalau diwujudkan dengan kelakuan, sedangkan ada yang berpikir bahwa homoseksualitas bukan dosa sama sekali, atau merupakan dosa “kecil” yang mudah diampuni Tuhan. (Boellstorff 2007: 148-55). Di sisi lain, menurut Boellstorf (2007: 139-40) orang yang menganut agama lain tidak mengalami kesulitan yang sama dengan kaum Muslim dalam menyesuaikan kepercayaannya dengan subjektivitasnya. Walaupun semua agama di Indonesia pada dasarnya menolak homoseksualitas, sifat Islam sebagai agama yang terlihat di mana-mana (dalam

(8)

berbagai bentuk) menciptakan kesulitan bagi kaum gay Muslim untuk memisahkan pemikiran tentang agamanya dari aspek kehidupan lainnya, termasuk seksualitas. Menurut Blackwood (2010: 15), lesbi yang Muslim juga terpaksa mencari jalan untuk mengakomodasi subjektivitas mereka dengan agamanya. Banyak dari kaum gay dan lesbi percaya bahwa homoseksualitas mereka adalah anugerah Tuhan. Tambahan, bagi sebagian besar kaum gay dan lesbi, agama terkait erat dengan “dunia normal”, dan dapat dipisahkan dari “dunia gay dan lesbi” (Boellstorff 2005: 182-3). Dengan demikian, agama dan homoseksualitas dapat hidup berdampingan pada tingkat individu tanpa banyak masalah.

Pengakuan seksualitas non-normatif hampir tidak ada di Indonesia. Tidak ada undang-undang yang menangani persoalan homoseksualitas (Offord 2003: 103), kecuali beberapa daerah yang mengkriminalkan homoseksualitas sebagai bentuk “pelacuran” (IDAHO 2011). Apalagi, karena faktor budaya dan agama, kebanyakan tanda homoseksualitas disembunyikan dari masyarakat umum. Hal ini khususnya bagi kaum lesbi, yang mengalami kesulitan lebih besar sebagai wanita di sebuah masyarakat yang membatasi gerakan wanita sampai taraf tertentu. Akibatnya, lesbi jarang sekali mampu mengekspresikan subjektivitasnya di tempat umum. Lain halnya dengan waria, akibat dari keberadaan mereka yang mencolok mata dan sudah lama diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Jadi rakyat Indonesia sudah terbiasa melihat waria, namun, belum ada penerimaan sosial yang sesungguhnya (Boellstorff 2007: 112). Pada umumnya, homoseksualitas dan subjektivitas non-normatif lain masih belum dapat diterima secara resmi atau secara sosial di Indonesia, kendati pun konon “ditoleransi”. Di sisi lain, hal tersebut juga tidak mendapatkan banyak perhatian seperti di negara Barat, sehingga jarang dibahas atau diperdebatkan di muka umum (Offord 2003: 104). Keadaan ini mempengaruhi berbagai aspek dari kehidupan gay dan lesbi yang akan dibahas di bawah.

3. Pengalaman Gay dan Lesbi dan Dunia Sosialnya

A. Ruang Publik, Semi-publik, Pribadi dan Linguistik

Karena adanya kebutuhan untuk memisahkan “dunia gay/lesbi” dari “dunia normal”, ada beberapa fenomena yang menarik, terutama di antara kaum gay yang pada umumnya lebih bebas daripada lesbi untuk beraktivitas di luar rumah. “Tempat ngebers”, misalnya, adalah tempat berkumpul yang sering dikunjungi kaum gay di kota-kota di seluruh Indonesia. Ngebers biasanya terletak di tempat tertentu di alun-alun, taman, jembatan, tepi laut, halte bus atau di dalam mal, dan merupakan segi dunia gay yang fisik dan terbuka untuk umum. Di tempat ngebers, kaum gay bisa bergaul, berbincang dan mencari pasangan, dan dari situ banyak kaum gay dapat merasa diterima. Klub (termasuk bar dan disko) merupakan bagian penting dari dunia gay yang semi-publik, dan banyak

(9)

orang (khususnya yang berkelas sosial lebih tinggi) hanya pergi ke klub-klub dan tidak pernah ke tempat ngebers (Boellstorff 2005: 136). Ada tempat “domestik” yang menjadi bagian fisik dari “dunia gay” dan merupakan ruang lain untuk pengekspresian subjektivitas itu. Tempat-tempat ini termasuk salon, rumah pribadi dan rumah kost. Dipandang dari segi keragaman tempat dan tingkat privasi, “dunia lesbi” jauh lebih terbatas. Sebagian besar “dunia lesbi” dipusatkan di tempat-tempat domestik, tetapi di beberapa kota besar diskotik juga menjadi tempat semi-publik dimana sebagian lesbi dapat mengekspresikan subjektivitas seksualnya (Boellstorff 2005: 145).

Ruang-ruang yang disebut diatas menyediakan kesempatan untuk kaum gay dan lesbi merasa tergabung dengan orang sesamanya. Dengan demikian, ruang-ruang ini juga mengesahkan subjektivitas gay dan lesbi dengan memberikan rasa kepemilikan atas tempat-tempat itu sebagai tempat dimana mereka bisa terbuka. Yang berdampak sama adalah fenomena “Bahasa Gay”, walaupun tidak semua kaum gay tahu atau menggunakan turunan Bahasa Indonesia ini. Bahasa Gay bisa berfungsi untuk menambahkan rasa tergabung dan rasa kebersamaan antara kaum gay (dan waria, yang menggunakan macam bahasa yang tidak terlalu berbeda), sembari membina rasa komunitas antara orang gay di seluruh Indonesia (karena sifat nasionalnya).

B. Ruang Maya

Tentu saja, internet merupakan hal yang berfungsi seperti ruang yang sudah dibahas, yang terpisah dari “dunia normal”. Namun, berbagai kemungkinannya dan potensi untuk menghubungkan orang gay, lesbi dan lainnya jauh lebih besar dari ruang lain tersebut. Bagi banyak kaum seksualitas non-normatif, situs atau aplikasi internet (baik informatif, maupun sosial, seperti forum, chat dan jaringan sosial) lebih baik daripada tempat-tempat fisik, atau acara yang diselenggarakan para aktivis di dunia nyata. Alasannya, antara lain, adalah kemudahan untuk mengaksesnya, dan juga sifat internet sebagai suatu wadah yang dianggap lebih aman untuk bersosialisasi. Hal ini juga memberi potensi untuk subjektivitas gay dan lesbi untuk diubah dengan pengaruh internasional, tanpa disaring media lokal Indonesia. Walaupun belum ada banyak penyelidikan tentang dampak internet pada subjektivitas non-normatif di Indonesia atau komunitasnya, tetapi sudah muncul beberapa tanda bahwa internet akan makin menjadi faktor yang penting dalam kehidupan kaum gay, lesbi dan lainnya. Contohnya, sebagai sumber untuk memperoleh pengetahuan tentang subjektivitas non-normatif tersebut (Sulandari 2009: 21; Blackwood 2010: 197). Selanjutnya, sebagai tempat untuk bersosialiasi, mengorganisir acara dan mencari pasangan (Boellstorff 2007: 214). Dan juga internet membiarkan grup aktivis melaksanakan agenda mereka dengan lebih mudah, dan menyebarkan tulisannya kepada lebih banyak orang (misalnya gayanusantara.or.id; aruspelangi.or.id). “Ruang maya” ini, serta ruang-ruang fisik dan linguistik yang sudah dibahas, menunjukkan pentingnya

(10)

“komunitas” bagi kaum tersebut ini, dan keperluan untuk mencari domain-domain dimana mereka bisa mengeksplor dan mengekspresikan subjektivitas non-normatifnya.

C. Kesulitan yang dihadapi Kaum Gay dan Lesbi

Seperti yang telah disebutkan di atas, penerimaan terhadap seksualitas non-normatif di Indonesia sangat terbatas. Oleh karena itu, kaum gay dan lesbi harus memisahkan “dunia gay/lesbi” dari “dunia normal”, dan ini mempengaruhi kegiatan sehari-hari mereka serta hal jangka panjang seperti perkawinan, yang akan dibahas secara rinci di bagian bawah. Soal utama dalam memisahkan “dunia gay/lesbi” dari “dunia normal” adalah merahasiakan subjektivitas gay atau lesbi dari keluarga. Keluarga merupakan lembaga yang paling penting bagi kebanyakan orang Indonesia, dan oleh karena represi dari lembaga itu terhadap seksualitas yang non-normatif, “hidup sebagai gay yang bermartabat praktis mustahil” (Oetomo 2001: 140). Seorang gay dan lesbi juga biasanya menutupi subjektivitasnya di hadapan teman-teman di “dunia normal”, tetapi seperti didokumentasikan Aranda (2006), ada kecenderungan untuk seorang gay yang tinggal di kota metropolitan untuk membuka diri kepada sahabat yang perempuan. Lesbi juga kadang-kadang terbuka akan subjektivitasnya dengan teman dekat (baik laki-laki maupun perempuan heteroseksual), tetapi ketakutan marjinalisasi biasanya masih berlaku (Sulandari 2009: 21).

Kekerasan adalah masalah lain yang dihadapi kaum gay (dan juga waria). Ternyata, tindakan kekerasan jarang terjadi, tetapi kejadian seperti ini diingat lama oleh komunitas yang ditarget (misalnya, serangan yang terjadi di Kaliurang, Jawa Tengah pada tahun 2000 terhadap gay dan waria yang berkumpul untuk acara yang mempromosikan kesehatan). Boellstorff (2007: 175) mengingatkan pembaca bahwa pada umumnya, keadaannya cukup damai: bila seorang laki-laki mengungkapkan ketertarikan seksual pada pria lain yang ternyata bukan gay, tanggapannya lebih sering berbentuk penolakan sopan daripada kekerasaan. Namun, berbagai giliran sosial dan politik, dan meningkatnya visibilitas kaum gay melalui acara aktivis tahun-tahun terakhir ini, menciptakan suasana baru dimana homoseksualitas mulai dianggap mengancam “maskulinitas yang layak” dan dengan ekstensi, masa depan bangsa. (Boellstorff 2007: 177-8). Belakangan ini, ancaman kekerasan dari organisasi seperti Front Pembela Islam memaksa pembatalan konferensi gay, lesbi dan biseksual dan acara lain seperti pemutaran film bertema gay (Wijaya 2010). Karena kaum lesbi bersifat relatif tersembunyi dari masyarakat umum, mereka jarang menjadi sasaran spesifik seperti waria dan gay. Walaupun begitu, banyak lesbi mengalami kekerasan secara domestik: dari ayah, suami, saudara laki-laki dan kerabat laki-laki lainnya (Boellstorff 2005: 146).

(11)

Pertentangan antara subjektivitas non-normatif dan “dunia normal” paling mencolok jika dilihat dari kebiasaan perkawinan heteroseksual antara kaum gay dan lesbi. Umumnya seorang gay dan lesbi akhirnya menikahi seseorang yang berlawanan jenis, mengabaikan orientasi mereka yang sesungguhnya. Fenomena ini seharusnya dilihat dengan mengacu pada subjektivitas gay dan lesbi yang disaring melalui budaya Indonesia. Harapan, bahkan keharusan, untuk menikah dan memiliki anak merupakan bagian penting dari “narasi hidup” orang Indonesia yang melengkapkan diri mereka menjadi dewasa sejati. Pola pikir ini jarang dilepaskan saat seseorang mengambil subjektivitas gay atau lesbi. Akibatnya, kaum gay dan lesbi tidak hanya melakukan perkawinan heteroseksual semata-mata karena di bawah tekanan dari masyarkat dan keluarga, tetapi seringkali karena dia juga benar-benar ingin memenuhi cita-cita itu untuk berkeluarga (secara heteroseksual) (Boellstorff 2005: 111). Ada juga yang menolak keharusan itu untuk sementara waktu, tetapi biasanya tekanan untuk menikah menjadi luar biasa berat, khususnya kalau punya adik yang sudah menikah, dan akhirnya mereka juga menyerah. Seringkali, seorang gay terus berhubungan dengan laki-laki walaupun telah menikahi wanita, dan kadang-kadang itu dilakukan dengan penuh kesadaran, bahkan izin dari istrinya. Wanita-wanita yang menyadari tetapi menutup mata terhadap keadaan itu umumnya mempunyai penalaran yang sama dengan suaminya: mereka mengutamakan kewajiban sosial untuk berkeluarga, meskipun realitas hubungan suami-istri itu tidak masuk akal dari segi romantis dan seksual. Terdengar juga cerita tentang pasangan suami-istri yang tinggal di bawah satu atap bersama pasangan laki-laki suaminya (Boellstorff 2005: 114-5). Namun, ada juga orang gay yang menolak keharusan untuk menikah, dan berpendapat bahwa orang gay yang lain “menyembunyikan diri semata-mata karena tekanan sosial” dan melakukan hal yang “mempermainkan wanita”, “menghancurkan hati”, dan “tidak adil pada wanita” (Boellstorf 2005: 122). Perihal kaum lesbi, mereka tidak dapat menolak perkawinan atau terus menjalin hubungan sesama jenis setelah menikah dengan semudah kaum gay, karena alasan posisi wanita yang sudah disebut diatas.

4. Kesimpulan

Subjektivitas seksual non-normatif di Indonesia tidak bisa disamakan dengan konsep Barat seperti

gay dan lesbian. Subjektivitas gay, lesbi dan biseksual baru terbentuk sejak tiga atau empat dekade

terakhir. Selain dari posisi subjek waria yang punya sejarah yang relatif lama, gay dan lesbi tidak bisa dirunut balik ke subjektivitas homoseksual historis di Indonesia yang tidak berhubungan langsung dengan posisi subjek yang modern. Jadi, untuk memahami artinya “gay” dan “lesbi” di Indonesia kita harus menimbang bagaimana konsep-konsep itu, dalam bentuk dasarnya, memasuki kesadaran orang Indonesia lewat media massa, lalu disesuaikan dengan budaya dan realitas sosial Indonesia. Konteks itu memberikan kerangka untuk mulai mengerti berbagai aspek seksualitas non-normatif di

(12)

Indonesia. Pertama, kerumitan subjektivitas lesbi dengan biner maskulin dan femininnya, dan subjektivitas waria yang berbeda dari konsepi transgender di dunia Barat. Kedua, pengaruh agama dan segi-segi budaya pada pemikiran mengenai sekualitas non-normatif di Indonesia. Ketiga, bagaimana kaum gay dan lesbi di Indonesia menciptakan ruang-ruang (melalui tempat fisik, bahasa dan internet) untuk mengekpresikan subjektivitasnya dalam lingkungan yang terpisah dari “dunia normal”. Keempat, keperluan untuk kaum gay dan lesbi merahasiakan subjektivitasnya dari keluarga dan teman “normal”. Kelima, kekerasan yang dialami oleh kaum gay, lesbi dan waria yang baru muncul dalam tahun-tahun terakhir ini. Akhirnya, persoalan perkawinan gay dan lesbi dengan lawan jenis yang menunjukkan berbagai kontradiksi yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang kompleks ini. Dengan berjalannya waktu, situasi kaum gay, lesbi, waria, biseksual dan posisi subjek non-normatif lain agaknya akan dihadapi berbagai perubahan dan tantangan baru dengan meningkatnya pengaruh internasional dan keinginan untuk kebebasan dan keadilan seperti yang sudah terdapat di negara lain.

(13)

Bibliografi

Aranda, B. 2006. Self Disclosure oleh gay di Surabaya. Universitas Kristen Petra: Surabaya. Diakses 7 Juni 2011. Tersedia di http://dewey.petra.ac.id/dgt_res_detail.php?knokat=3940

Blackwood, E. 2010. Falling into the Lesbi World: Desire and Difference in Indonesia. University of Hawai’i Press: Honolulu.

Boellstorff, T. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton University Press: Princeton.

Boellstorff, T. 2007. A Coincidence of Desires: Anthropology, Queer Studies, Indonesia. Duke University Press: Durham.

Oetomo, D. 2001. Memberi Suara pada yang Bisu. Galang Press: Yogyakarta.

Offord, B. 2003. Homosexual Rights as Human Rights: Activism in Indonesia, Singapore and Australia. Peter Lang AG: Bern.

Ortner, S. 20006. Anthropology and Social Theory: Culture, Power and the Acting Subject. Duke University Press: Durham.

Sulandari, E. 2009. Living as Lesbians in Indonesia: Survival Strategies and Challenges in Yogyakarta. Gajah Mada University Graduate School: Yogyakarta.

Wijaya, M. 2010. ‘Glad to be Gay in Indonesia’. Asia Times Online. Diakses pada 7 Juni 2011. Tersedia di: http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/LI23Ae01.html

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan khusus penelitian ini untuk mendapatkan rancangan pompa spiral dengan performansi/karakteristik pompa yang optimum yaitu dengan melakukan analisa terhadap

Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan. Kedua

MENGGUNAKAN TEORI PROBABILITAS PADA KARTU ATM, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret. Kriptografi adalah seni atau ilmu pengetahuan yang

Alat dan bahan yang digunakan antara lain :benih berbagai macam jenis pohon yang tahan genangan (jenis- jenis vegetasi hutan rawa gambut asli) yang masih dijumpai dan dalam

Kecerdasan ini merupakan kemampuan memahami bangun tiga dimensi (ruang secara tepat). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada warna, garis, bentuk,.. ruang dan hubungan antar

Berdasarkan data hasil belajar post-test siswa dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa pada materi perubahan wujud zat benda yang diajar dengan

Karena pada dasarnya, wawancara merupakan teknik yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kesulitan belajar (miskonsepsi) (Sofan Amri & Iif Khoiru Ahmadi, 2010).

Classified Ads adalah kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk memajang content (teks, grafik, video penjelasan, informasi, dan lain-lain) barang dan/atau jasa bagi