• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perhatian yang serius dimana penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perhatian yang serius dimana penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan keselamatan kerja di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius dimana penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia nyatanya masih sering diabaikan baik oleh pengusaha, pemerintah, bahkan pekerja itu sendiri. Hal ini dapat terlihat dari berbagai sektor industri yang sebenarnya memiliki potensi tinggi dalam keselamatan kerja namun memiliki tingkat kepatuhan rendah pada karyawan. Banyak sekali industri yang memiliki potensi kecelakaan kerja justru memiliki perilaku karyawan terhadap keselamatan kerja yang rendah. (BBC, 2013).

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Republika (2011), angka kecelakaan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan berdasarkan data kecelakaan kerja Jamsostek dimana pada tahun 2008 hingga 2010 jumlah kecelakaan kerja yang terjadi meningkat sebanyak 14%. Sementara pada tahun 2011 hingga 2012 angka kecelakaan kerja meningkat sebanyak 3,4% (Antara News, 2013).

Fenomena keselamatan kerja dalam suatu perusahaan mencerminkan konstruk atau keyakinan dan emosi pada tingkat individual terkait kebijakan, prosedur, dan praktik keselamatan (Henning, et. al, 2009). Dalam bagian lain dari keselamatan kerja juga disebutkan mengenai kepatuhan keselamatan kerja di antaranya adalah komitmen personal terhadap seseorang atau sesuatu dan

(2)

merasakan tanggung jawab terhadap keselamatan dalam bekerja (Henning, et. al, 2009). Dengan demikian kepatuhan karyawan dalam keselamatan kerja sangat diperlukan.

PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru adalah salah satu industri yang memiliki risiko tinggi dalam kecelakaan kerja. Di mana PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru memiliki tugas untuk memelihara dan pengoperasian pusat-pusat pembangkit listrik Unit Pembangkit Listrik Tenaga Air Kota Panjang, Unit Pembangkit Listrik Tenaga Diesel dan Gas Teluk Lembu dan Transmisi 150 kV. Hal ini menempatkan para operator listrik pada potensi kecelakaan kerja tinggi. Berbagai kecelakaan yang dialami oleh karyawan dapat mengakibatkan luka-luka besar dan kecil bahkan kematian.

Selama ini PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru telah berhasil menerapkan zero accident. Dimana tidak terjadi kecelakaan baik kecelakaan kerja maupun sakit karena lingkungan pekerjaan. Hal ini merupakan prestasi yang membanggakan karena menunjukkan kesadaran baik dari pimpinan maupun seluruh karyawan dalam melaksanakan dengan baik prinsip-prinsip keselamatan kerja. Hanya saja untuk pelaksanaan mendatang dibutuhkan adanya upaya untuk tetap mampu menjaga prestasi zero accident tersebut. Oleh karenanya diperlukan suatu upaya untuk memperhatikan faktor-faktor mengenai apa saja yang dapat mempengaruhi stabilitas penerapan zero accident.

Prestasi yang dicapai PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru dalam hal zero accident yang baru diraih tahun 2015 ini merupakan hasil capaian dari usaha yang tidak mudah. tapi berkat partisipasi seluruh karyawan serta

(3)

kerjasama yang terjalin dengan mitra kerja. Tidak semua cabang PT. PLN (Persero) mampu meraih prestasi ini. Penelitian Erfa dan Kasmiruddin (2014) di PT. PLN (Persero) Ranting Bangkinang dalam 5 tahun terakhir menunjukkan terjadinya kecelakaan kerja sebanyak 8 kasus dengan klasifikasi 5 kecelakaan ringan dan 3 kecelakaan berat. Bahkan di perusahaan-perusahaan lain baik swasta maupun BUMN, hingga saat ini masih banyak kecelakaan kerja terjadi di tempat kerja. Menurut data BPJS Ketenagakerjaan pada Oktober 2014 terjadi 88.207 kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan 1.978 korban meninggal.

Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 8 Juni 2015 dengan kepala bagian SDM PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru menunjukkan bahwa terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan karyawan operasional dalam mempergunakan APD (Alat Perlindungan Diri). Salah satu faktor adalah kepemimpinan situasional menjadi salah satu pengaruh menonjol. Hal ini didapatkan sesuai hasil wawancara bahwa karyawan umumnya patuh ketika supervisor turun untuk memberikan pengarahan. Karyawan juga patuh melaksanakan jika supervisor memberikan contoh dalam pelaksanaan keselamatan kerja. Dengan demikian faktor kepemimpinan situasional dianggap penting dalam mempengaruhi kepatuhan karyawan akan keselamatan kerja.

Pengertian gaya kepemimpinan situasional merupakan gaya yang lebih menekankan pada pengikut dan tingkat kematangan mereka. Dengan kata lain gaya kepemimpinan situasional merupakan gaya atau cara-cara kepemimpinan yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin untuk membimbing, melaksanakan, mengarahkan, mendorong bawahan untuk mencapai tujuan dan mendayagunakan

(4)

segala kemampuan secara optimal dengan mengkombinasikan situasi yang ada berkenaan dengan perilaku pemimpin dan bawahannya (Gibson, Donnelly, and Konopaske, 2007).

Penelitian Lisnanditha (2012) menunjukkan bahwa kepatuhan karyawan juga ditentukan oleh persepsi dari karyawan itu sendiri terhadap program keselamatan kerja. Karyawan yang memiliki iklim keselamatan tinggi akan membentuk kepatuhan akan keselamatan yang tinggi pula. Karyawan yang memiliki persepsi positif akan menyadari bahwa keselamatan kerja akan melindungi karyawan dari potensi kecelakaan kerja. Demikian pula sebaliknya apabila karyawan memiliki persepsi negatif seperti menganggap bahwa keselamatan kerja hanya menambah kerepotan jika bekerja maka kepatuhan akan menurun.

Kepatuhan keselamatan kerja juga dipengaruhi oleh iklim keselamatan kerja selain dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan situasional. Neal dan Griffin (2004) mendefinisikan iklim keselamatan sebagai persepsi mengenai kebijakan, prosedur, dan pelaksanaan berkaitan dengan keamanan di tempat kerja. Penelitian Dejoy dkk. (dalam Neal dan Griffin, 2004) menunjukkan bahwa iklim keselamatan merupakan faktor yang meningkatkan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja. Hasil temuan lain menunjukkkan bahwa iklim keselamatan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja (McGovern dkk. dalam Neal dan Griffin, 2004).

Mengingat di PLN lain banyak terjadi kecelakaan kerja, sedangkan di PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru zero accident maka pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui mengapa di PT. PLN (Persero) Sektor

(5)

Pembangkitan Pekanbaru bisa zero accident. Hal ini tentunya tidak lepas dari kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara kepemimpinan situasional dan iklim keselamatan kerja dengan kepatuhan keselamatan kerja pada karyawan PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dan iklim keselamatan kerja dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru?

2. Bagaimana hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru dengan mengendalikan variabel iklim keselamatan kerja?

3. Bagaimana hubungan antara iklim keselamatan kerja dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru dengan mengendalikan variabel gaya kepemimpinan situasional?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dan iklim keselamatan kerja dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru.

2. Mengetahui hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja PT. PLN (Persero) Sektor

(6)

Pembangkitan Pekanbaru dengan mengendalikan variabel iklim keselamatan kerja.

3. Mengetahui hubungan antara iklim keselamatan kerja dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru dengan mengendalikan variabel gaya kepemimpinan situasional.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan kajian pengetahuan dalam bidang psikologi pada umumnya, psikologi industri dan organisasi; khususnya mengenai hubungan antara gaya kepemimpinan situasional, iklim keselamatan kerja serta kepatuhan karyawan.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan data dijadikan sebagai bahan masukan atau informasi kepada para pelaku usaha mengenai upaya untuk meningkatkan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja dengan cara menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dan menciptakan iklim kerja yang mendukung.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan maka terdapat beberapa penelitian yang mengkaji mengenai gaya kepemimpinan situasional, iklim keselamatan kerja dan kepatuhan keselamatan kerja namun belum ada penelitian

(7)

yang menghubungkan tiga variabel serta dilaksanakan di PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru. Berikut merupakan hasil beberapa penelitian yang terkait dengan kepemimpinan situasional, iklim keselamatan kerja dan kepatuhan keselamatan kerja. Untuk selanjutnya, penelitian ini akan dijadikan acuan penelitian.

1. Lisnanditha (2012) meneliti dengan judul Pengaruh Kepemimpinan situasional, Budaya Keselamatan Kerja, dan Iklim Keselamatan Kerja Terhadap Perilaku keselamatan kerja : Studi Kasus Di PT. Krama Yudha Ratu Motor (KRM). Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya keselamatan kerja dapat memoderasi kepemimpinan situasional dengan iklim keselamatan kerja, namum tidak dapat mempengaruhi iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja. 2. Penelitian Wardani (2012) berjudul Pengaruh Sikap Pengetahuan Keselamatan

Kerja Dan Iklim Keselamatan Kerja Terhadap Perilaku keselamatan Pada Karyawan Produksi PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif deskripsi korelasional. Subjek penelitian ini sebanyak 44 karyawan pada bagian produksi. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap pengetahuan keselamatan kerja yang terdiri 22 aitem dengan reliabilitas menggunakan formula Alpha Cronbach sebesar 0,843, skala iklim keselamatan kerja yang terdiri dari 24 aitem dengan reliabilitas menggunakan formula Alpha Cronbach sebesar 0,732, dan skala perilaku keselamatan yang terdiri dari 22 aitem dengan

(8)

reliabilitas menggunakan formula Alpha Cronbach sebesar 0,861. Data hasil penelitian ini dianalis menggunakan metode regresi linier berganda bahwa (a). Terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel sikap pengetahuan keselamatan terhadap perilaku keselamatan. (b) Tidak terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel iklim keselamatan kerja terhadap perilaku keselamatan. (c) Perilaku keselamatan dipengaruhi oleh sikap pengetahuan keselamatan dan iklim keselamatan kerja.

3. Destilyta (2013) dalam Studi Desktiptif Mengenai Iklim Keselamatan Kerja Pada masinis PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) II Bandung. Subjek dalam penelitian (N=62) adalah masinis PT. KAI Daop II Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Alat ukur pada penelitian ini adalah kuesioner iklim keselamatan kerja yang yang dimodifikasi dan dikembangkan dari kuesioner iklim keselamatan kerja asli milik Zohar (1980). Hasil reliabilitas alat ukur adalah 0,937. Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas masinis PT. KAI Daop II Bandung merasakan iklim keselamatan kerja yang favorable (87,1 %). Sebagian kecil masinis PT.KAI Daop II Bandung merasakan iklim keselamatan kerja yang unfavorable (12,9%).

(9)
(10)

10

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepatuhan Keselamatan Kerja 1. Pengertian Kepatuhan terhadap Keselamatan Kerja

Pengertian kepatuhan terhadap keselamatan kerja terdiri dari dua pengertian dasar yaitu kepatuhan dan keselamatan kerja. Pengertian kepatuhan adalah perubahan tingkah laku (behavior change) yang bersifat sementara dan individu yang berada di dalamnya akan cenderung kembali ke perilaku/pandangannya yang semula jika pengawasan kelompok mulai mengendur dan perlahan memudar atau jika individu tersebut (Sarwono dalam Ramdayana, 2009).

Sistem manajemen Keselamatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen yang mencakup struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, tata kelola/prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan dalam hal pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, serta pemeliharaan kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja dengan tujuan mengendalikan risiko yang behubungan dengan kegiatan produksi/kerja untuk menciptakan tempat kerja yang aman, efisien dan produktif bagi pekerja maupun orang lain yang berada di dalam lingkungan tersebut (Sastrohadiwiryo, 2005)

Menurut Neal dan Griffin (2002), pengertian kepatuhan terhadap keselamatan kerja secara keseluruhan menggambarkan aktivitas inti yang

(11)

harus dilaksanakan oleh seseorang untuk memelihara keselamatan tempat kerja.

Berdasarkan uraian mengenai pengertian kepatuhan terhadap keselamatan kerja di atas dapat disimpulkan bahwa kepatuhan terhadap keselamatan kerja adalah gambaran mengenai aktivitas inti yang harus dilaksanakan oleh seseorang untuk memelihara keselamatan tempat kerja. Hal ini meliputi kepatuhan terhadap peraturan keselamatan, mengikuti prosedur yang benar, dan menggunakan peralatan yang tepat.

2. Aspek-aspek Kepatuhan Terhadap Keselamatan Kerja

Kepatuhan terhadap keselamatan kerja menurut Anoraga (2002), dapat meliputi aspek-aspek berikut ini:

a. Lingkungan dan sarana kerja yang aman

b. Peraturan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang berlaku c. Kesediaan pekerja dalam menjalankan peraturan K3 d. Motivasi kerja

e. Aspek psikologis (kecocokan atau ketidaksukaan pada pekerjaan) f. Sistem manajemen K3

Borman dan Motowidlo (dalam Neal dan Griffin 2002) menjelaskan dua macam bentuk aktivitas kepatuhan terhadap keselamatan kerja, yaitu: a. Safety compliance digambarkan sebagai aktivitas-aktivitas inti yang

perlu dilaksanakan oleh individu-individu untuk memelihara keselamatan di tempat kerja, seperti mengikuti standar prosedur kerja dan menggunakan alat pelindung diri.

(12)

b. Safety participation digambarkan sebagai perilaku-perilaku yang tidak secara langsung berkontribusi kepada keselamatan individu tetapi dapat membantu mengembangkan suatu lingkungan yang mendukung keselamatan, seperti secara sukarela berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas keselamatan, membantu rekan kerja terhadap hal-hal yang berkenaan dengan keselamatan dan menghadiri pertemuan keselamatan.

Berdasarkan uraian mengenai aspek-aspek kepatuhan terhadap keselamatan kerja, maka aspek kepatuhan terhadap keselamatan kerja yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan aspek dari Borman dan Motowidlo (dalam Neal dan Griffin 2002) yang meliputi kepatuhan keselamatan (Safety Compliance), kepatuhan keikutsertaan keselamatan (Safety Participation).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Keselamatan Kerja Kepatuhan keselamatan kerja dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Neal and Griffin (2004) menjelaskan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan keselamatan kerja, yang meliputi:

a. Management Value (Nilai Manajemen)

Nilai manajemen menunjukkan seberapa besar manajer dipersepsikan menghargai keselamatan di tempat kerja, bagaimana sikap manajemen terhadap keselamatan, dan persepsi bahwa keselamatan penting.

b. Safety Communication (Komunikasi Keselamatan)

Komunikasi keselamatan diukur dengan menanyakan dimana isu-isu keselamatan dikomunikasikan.

(13)

c. Safety Practices (Praktek Keselamatan)

Yaitu sejauh mana pihak manajemen menyediakan peralatan keselamatan dan merespon dengan cepat terhadap bahaya-bahaya yang timbul.

d. Safety Training (Pelatihan Keselamatan)

Pelatihan adalah aspek yang sangat krusial dalam sistem personalia dan mungkin metode yang sering digunakan untuk menjamin level keselamatan yang memadai di organisasi karena pelatihan sangat penting bagi pekerja produksi.

e. Safety Equipment (Peralatan Keselamatan)

Peralatan keselamatan mengukur tentang kecukupan peralatan keselamatan, seperti alat-alat perlengkapan yang tepat disediakan dengan mudah.

Notoatmojo (2003) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan keselamatan kerja dapat dilihat dari faktor-faktor secara internal maupun eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan antara lain pendidikan, pengetahuan, sikap, masa kerja, umur, dan pelatihan. Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan keselamatan kerja antara lain pengawasan, sangsi, reward atau penghargaan.

Ketiga faktor eksternal tersebut secara umum orang memberikan banyak sebab-akibat kepada secara paksaan kepada individu yang akan mempengaruhi perubahan persepsi dan terganggu emosionalnya jika individu merasa tidak mampu untuk dapat mengendalikan. Faktor eksternal merupakan dorongan untuk perubahan tenaga kerja secara paksaan yang dapat

(14)

mempengaruhi kondisi emosional tenaga kerja. Pengaruh berdasarkan paksaan dari cara penyampaian yang tidak sesuai dengan kondisi tenaga kerja bisa membuat persepsi yang berbeda dari setiap individu.

Campbell dkk. (dalam Neal dan Griffin, 2002) berpendapat bahwa hanya ada tiga faktor yang menentukan perbedaan individu dalam performansi, yaitu pengetahuan, kemampuan, dan motivasi. Jika seseorang tidak memiliki cukup motivasi untuk patuh terhadap peraturan keselamatan atau terlibat dalam aktivitas keselamatan, maka dia tidak akan memilih untuk melakukan tindakan tersebut. Selain itu, jika seseorang tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk patuh dengan peraturan keselamatan atau terlibat dalam aktivitas keselamatan, maka dia tidak akan mampu bertindak demikian.

Menurut Zohar (2008) organisasi memiliki banyak tujuan serta cara untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga manajer harus membangun kebijakan dan prosedur khusus yang diikuti pekerja, yang menghasilkan berbagai iklim khusus. Oleh karena itu, iklim keselamatan berhubungan dengan persepsi mengenai kebijakan, prosedur, dan praktek keselamatan kerja. Hal ini sesuai dengan definisi iklim keselamatan menurut Neal dan Grifin (2002), yaitu persepsi atas kebijakan, prosedur, dan praktek yang terkait dengan keselamatan kerja.

Iklim keselamatan, pada tingkat yang lebih luas menggambarkan persepsi pekerja terhadap nilai keselamatan kerja dalam sebuah organisasi. Iklim keselamatan merupakan salah satu dari banyak anteseden yang dapat

(15)

mempengaruhi perilaku keselamatan kerja. Anteseden lain di antaranya kepemimpinan, training, dan desain kerja (Neal dan Griffin, 2004).

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keselamatan kerja adalah kepemimpinan yang suportif. Barling and Zacharatos (dalam Neal dan Griffin, 2002) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan salah satu determinan keselamatan yang penting dalam organisasi. Para pemimpin diyakini memiliki peran yang signifikan dalam membentuk iklim keselamatan dalam sebuah organisasi dan memotivasi karyawan untuk menjalankan tugas-tugas mereka dengan aman.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya kepatuhan keselamatan kerja dipengaruhi oleh kepemimpinan situasional dan iklim keselamatan.

B. Gaya Kepemimpinan Situasional 1. Pengertian Gaya Kepemimpinan Situasional

Gaya kepemimpinan situasional menurut Hersey dan Blanchard (2005) berdasarkan pemikiran bahwa tidak ada satupun pun gaya kepemimpinan situasional yang efektif untuk semua situasi. Kekuatan yang ada pada diri pemimpin dan yang dimiliki oleh kelompok (hubungan interpersonal di antara keduanya), serta situasi lingkungan (orientasi tugas) akan ikut menentukan gaya kepemimpinan situasional seseorang jika ia berinteraksi dengan bawahannya.

(16)

Menurut Gibson, Donnelly dan Konopaske (2007) bahwa gaya kepemimpinan situasional situasional merupakan gaya yang lebih menekankan pada pengikut dan tingkat kematangan mereka. Dengan kata lain gaya kepemimpinan situasional merupakan gaya atau cara-cara kepemimpinan situasional yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin untuk membimbing, melaksanakan, mengarahkan, mendorong bawahan untuk mencapai tujuan dan mendayagunakan segala kemampuan secara optimal dengan mengkombinasikan situasi yang ada berkenaan dengan perilaku pemimpin dan bawahannya.

Menurut Tjiptono (2006), gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya. Dengan demikian gaya kepemimpinan juga merupakan suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya. Adapun menurut Nawawi (2003) gaya kepemimpinan adalah perilaku atau cara yang dipilih dan dipergunakan oleh pemimpin dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku para anggota organisasi bawahannya.

Berdasarkan definisi gaya kepemimpinan situasional di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan seseorang dalam mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang lain atau bawahan untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam mencapai suatu tujuan tertentu yang kemudian disesuaikan dengan kondisi anatara atasan dan karyawan itu sendiri.

(17)

2. Aspek Gaya Kepemimpinan Situasional

Terdapat 4 perilaku dasar kepemimpinan situasional yang menjadi dasar dimensi dalam pengukuran gaya kepemimpinan situasional, yaitu Harsey dan Blanchard (2005):

a. Mengarahkan (telling)

Ada empat respon kepemimpinan situasional dalam mengelola kinerja berdasarkan tingkat kematangan karyawan, yaitu mengarahkan, menjual, menggalang partisipasi dan mendelegasikan. Gaya kepemimpinan situasional yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan situasional yang perlu dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam kemampuan, minat dan komitmenya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian tugas-tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hersey and Blancard (2005) menyarankan agar manajer memainkan peran direktif yang tinggi, memberi saran bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu, tanpa mengurangi intensitas hubungan sosial dan komunikasi antara pimpinan dan bawahan.

b. Menjual (selling)

Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas, takut untuk mencoba melakukannya, manajer juga harus memproporsikan struktur tugas dengan tanggungjawab karyawan. Selain itu, manajer harus menemukan hal-hal yang menyebabkan karyawan tidak termotivasi, serta masalah-masalah yang dihadapi karyawan. Pada kondisi karyawan sudah mulai mampu mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik, akan memicu

(18)

perasaan timbulnya over confident. Kondisi ini memungkinkan karyawan menghadapi permasalahan baru yang muncul. Masalah-masalah baru yang muncul tersebut, seringkali menjadikannya putus asa. Oleh karena itu, setelah memberikan pengarahan, manajer harus memerankan gaya menjual yaitu ketika si pemimpin harus mampu mengajukan beberapa alternatif pemecahan masalah.

c. Menggalang partisipasi (participation)

Gaya kepemimpinan situasional partisipasi adalah respon manajer yang harus diperankan ketika tingkat kemampuan tinggi tapi tanpa memiliki kemauan untuk bertanggung jawab sehingga ketika melakukan tugas/tangung jawab seringkali tanpa keyakinan. Respon tersebut berupa upaya pemimpin untuk mendorong dan memudahkan partisipasi oleh orang lain dalam membuat keputusan-keputusan yang tidak dibuat oleh pemimpin itu sendiri. Gaya kepemimpinan situasional partisipatif adalah seorang pemimpin yang mengikutsertakan bawahan dalam pengambilan keputusan (Yukl, 1998). Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendegarkan mendukung usaha-usaha yang dilakukan para bawahan/pengikutnya.

d. Mendelegasikan (delegating)

Selanjutnya, untuk tingkat karyawan dengan kemampuan dan kemauan yang tinggi, maka gaya kepemimpinan situasional yang sesuai adalah gaya “delegasi”. Dengan gaya delegasi ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap karyawan sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan

(19)

untuk melaksanakan sendiri dan memutuskannya tentang bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus dilaksanakan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.

Pada gaya kepemimpinan situasional, pemimpin harus mampu menyesuaikan hubungan antara tingkat kematangan para pengikut atau bawahan dengan gaya kepemimpinan yang sesuai untuk diterapkan ketika para pengikut bergerak dari kematangan yang telah berkembang. Hubungan tersebut dapat diikuti uraian penjelasannya sebagai berikut :

a. Mengarahkan (telling) adalah untuk pengikut yang rendah kematangannya. Orang yang tidak mampu dan mau (M1) memikul tanggung jawab untuk melaksanakan sesuatu adalah tidak kompeten atau tidak memiliki keyakinan. Dengan demikian gaya pengarahan (G1) memberikan pengarahan yang jelas dan spesifik. Gaya ini dirujuk sebagai instruksi karena dicirikan dengan peranan pemimpin yang membatasi peranan dan mengintruksikan orang/bawahan tentang apa, bagaimana, bilaman dan di mana harus melakukan sesuatu tugas tertentu (Harsey dan Blanchard, 2005).

b. Menjual (selling) adalah untuk tingkat kematangan rendah ke sedang. Orang yang tidak mampu tetapi berkeinginan (M2) untuk memikul tanggung jawab memiliki keyakinan tetapi kurang memilki ketrampilan. Dengan demikian, gaya konsultasi (G2) memberikan perilaku pengarahan, bahwa mereka kurang mampu, juga memberikan perilaku mendukung untuk memperkuat kemampuan dan antusias. Nampaknya gaya yang

(20)

sesuai dipergunakan bagi individu pada tingkat kematangan adalah gaya konsultasi (Harsey dan Blanchard, 2005).

c. Menggalang partisipasi (participation) adalah bagi tingkat kematangan dari sedang ke tinggi. Orang-orang pada tingkat perkembangan ini memiliki kemampuan tetapi tidak berkeinginan (M3) untuk melakukan suatu tugas yang diberikan. Ketidak inginan mereka itu seringkali disebabkan karena kurangnya keyakinan. Dengan demikian gaya yang mendukung, tanpa mengarahkan, “partisipasi” (G3) mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi untuk diterapkan bagi individu dengan tingkat kematangan seperti ini. Gaya ini disebut partisipasi karena pemimpin atau pengikut saling tukarmenukar ide dalam pembuatan keputusan, dengan peranan pemimpin yang utama memberikan fasilitas dan berkomunikasi. Gaya ini melibatkan perilaku hubungan kerja yang tinggi dan perilaku berorientasi tugas yang rendah (Harsey dan Blanchard, 2005).

d. Mendelegasikan (delegating) adalah bagi tingkat kematangan yang tinggi. Orang-orang dengan tingkat kematangan seperti ini adalah mampu dan mau, atau mempunyai keyakinan untuk memikul tanggung jawab (M4). Dengan demikian gaya “delegasi” yang berprofil rendah (G4) yang memberikan sedikit pengarahan atau dukungan memiliki tingkat kemungkinan efektif yang paling tinggi dengan individu-individu dalam tingkat kematangan seperti ini. Gaya ini melibatkan perilaku hubungan kerja yang rendah dan perilaku berorientasi pada tugas yang rendah (Harsey dan Blanchard, 2005).

(21)

C. Iklim Keselamatan Kerja 1. Pengertian Iklim Keselamatan Kerja

Safety climate dijelaskan (dalam Seo, 2004) sebagai gambaran pekerja mengenai keadaan iklim kesehatan dan keselamatan kerja yang merupakan indikator dari budaya keselamatan kerja pada suatu kelompok atau organisasi. Persepsi karyawan terutama terkait dengan usaha keselamatan selama bekerja juga dijelaskan oleh Cooper dalam Wicaksono (2005) yang menjabarkan bahwa safety climate sebagai suatu gambaran yang dirasakan atau terkait dengan persepsi pekerja akan pentingnya keselamatan dan bagaimana hal tersebut bisa ditetapkan dalam organisasi. Zohar (2008) mendefinisikan safety climate sebagai kesimpulan atau hasil akhir dari persepsi yang pekerja terkait dengan lingkungan kerjanya dan merupakan batasan dari aturan untuk mengarahkan pekerja pada perilaku yang tepat dan mengubah perilaku pekerja atas tugasnya. upaya individu dalam memberi arti dan interpretasi pada lingkungan kerjanya.

Neal dan Griffin (2002) menegaskan bahwa iklim keselamatan mengacu pada persepsi mengenai kebijakan, prosedur, dan pelaksanaan berkaitan dengan keamanan ditempat kerja. Wiegmann (2002) berpendapat bahwa iklim keselamatan (safety climate) berkaitan dengan persepsi sementara karyawan dari budaya keselamatan namun dengan pengaruh yang lebih pada keseluruhan organisasi. Iklim keselamatan merupakan isu yang tidak dapat diraba atau tidak dapat dinyatakan secara jelas karena relatif tidak

(22)

stabil dan individu bisa berubah tergantung dari keadaan yang ada pada lingkungan saat itu dan kondisi lingkungan kerja secara umum.

Definisi beberapa tokoh di atas memberikan pengertian bahwa secara garis besarnya safety climate atau iklim keselamatan kerja adalah persepsi atau pandangan karyawan terhadap iklim dan keadaan keselamatan kerja di perusahaan yang nantinya akan menjadi arahan perilaku pekerja.

2. Aspek Iklim Keselamatan Kerja

Aspek-aspek iklim keselamatan kerja telah banyak dipaparkan oleh beberapa ahli. Adapun aspek-aspek iklim keselamatan kerja menurut Kathryn, Mearns, Flin dalam Wicaksono (2005) meliputi:

a. Aspek pekerjaan (Global perception of job safety): persepsi karyawan terhadap pekerjaan itu aman atau tidak.

b. Aspek rekan kerja (Co-worker): persepsi terhadap rekan kerja pada prosedur atau peraturan keselamatan.

c. Aspek penyelia (Supervisor safety): berhubungan dengan persepsi karyawan terhadap supervisornya atas sikap dan perilaku terhadap keselamatan.

d. Aspek perilaku manajemen (Safety management practice): perilaku manajemen organisasi dalam melaksanakan peraturan keselamatan kerja. e. Aspek program manajemen keselamatan (Satisfaction with the safety

program): aspek yang berhubungan dengan kepuasan karyawan terhadap program keselamatan kerja yang telah ada di organisasi, apakah program tersebut telah dilaksanakan dengan baik, teratur atau tidak.

(23)

Aspek-aspek iklim keselamatan kerja menurut Cheyne dkk. (2003) dalam Clarke (2006) adalah :

a. Aksi manajemen atas keselamatan b. Kualitas dari training keselamatan

c. Aksi individu (personal) atas usaha keselamatan

Aspek–aspek iklim keselamatan kerja menurut Lu dan Tsai (2007) dalam Prihatiningsih dan Sugiyanto (2010) adalah meliputi:

a. Praktek keselamatan manajemen

1) Penyediaan informasi keselamatan.

2) Penyediaan peralatan keselamatan dalam jumlah yang cukup b. Praktek keselamatan atasan

1) Kepedulian terhadap keselamatan pekerjanya.

2) Keterlibatan pekerja/karyawan dalam menyusun peraturan keselamatan.

c. Sikap keselamatan

1) Tata cara pelaksanaan kerja yang aman. 2) Sikap terhadap peraturan keselamatan. d. Pelatihan Keselamatan

1) Program pelatihan keselamatan. 2) Program keselamatan kerja. e. Keselamatan kerja

1) Ketidakamanan tempat kerja. 2) Bahaya di tempat kerja.

(24)

f. Praktek keselamatan rekan kerja

1) Kepedulian rekan kerja mengenai keselamatan kerja. 2) Keterlibatan rekan kerja menjaga agar tempat kerja aman.

Aspek-aspek iklim keselamatan (Safety Climate) juga dapat dibagi menjadi dua dimensi menurut (Neal dan Griffin, 2004) , yaitu :

a. Kebijakan organisatoris dan prosedur 1) Komitmen manajemen

2) Pengembangan sumber daya manusia 3) Sistem keselamatan

b. Lingkungan kerja dan pelaksanaan

1) Dukungan dari supervisor atau penyelia 2) Proses kelompok internal

3) Boundary manajemen 4) Risiko

5) Tekanan kerja

D. Dinamika Hubungan antara Kepemimpinan Situasional dan Iklim Keselamatan Kerja dengan Kepatuhan Aturan Keselamatan Kerja pada

Karyawan PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru

Kepatuhan pada peraturan keselamatan menggambarkan aktivitas inti yang harus dilaksanakan oleh seseorang untuk memelihara keselamatan tempat kerja (Neal dan Griffin, 2002). Lebih lanjut, dikatakan bahwa kepatuhan keselamatan meliputi kepatuhan terhadap peraturan keselamatan, mengikuti prosedur yang

(25)

benar, dan menggunakan peralatan yang tepat. Salah satu faktor yang ikut mempengaruhi adalah hasil studi Kozlowski dan Doherty (1989) yang dikutip dari studi O’Driscoll dan Beehr (1994) dalam Rapina dan Friska (2011) menunjukkan bahwa pemimpin ikut mempengaruhi perilaku bawahannya. Demikian pula hasil penelitian Andersen dkk. (2011) menunjukkan hal sama, yaitu bahwa kepemimpinan berhubungan dengan iklim keselamatan kerja pegawai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan, budaya keselamatan kerja, dan iklim keselamatan kerja berpengaruh terhadap perilaku keselamatan kerja (Lisnanditha, 2010).

Dalam meningkatkan kepatuhan karyawan pada peraturan keselamatan, pimpinan dihadapkan pada berbagai macam karakteristik bawahan yang tidak sama, yang mana guru harus mengarahkan pada pencapaian tujuan yang sama, yaitu kepatuhan pada peraturan keselamatan secara menyeluruh yang dilakukan secara baik. Tentu dalam menghadapi perbedaan karakteristik bawahan tersebut, pimpinan harus menggunakan cara maupun pendekatan yang tepat dalam mempengaruhi bawahan untuk patuh pada peraturan keselamatan. Pada kepemimpinan situasional, tindakan pimpinan disesuaikan terhadap tingkat kematangan bawahan dalam melaksanakan peraturan keselamatan yang ditunjukkan melalui situasi tertentu, yaitu pada pelaksanaan suatu tugas, fungsi, dan tujuan yang berkaitan dengan operasional perusahaan. Melalui gaya kepemimpinan situasional ini maka pimpinan dapat lebih efektif untuk menjadikan para karyawan mandiri dan memiliki kesiapan untuk mematuhi peraturan keselamatan. Hal itu mengindikasikan bahwa dengan timbulnya

(26)

kesiapan dari para karyawan akan memunculkan motivasi pada diri para karyawan. Motivasi tersebut yang pada akhirnya akan mengacu pada kepatuhan karyawan keselamatan kerja.

Berdasarkan pendapat Neal dan Griffin (2002), ada banyak faktor individual maupun lingkungan yang diketahui mempengaruhi perilaku kerja, seperti kemampuan, kepribadian dan iklim organisasi. Model ini menunjukkan bahwa iklim keselamatan merupakan salah satu dari banyak hal yang dapat mempengaruhi perilaku keselamatan. Hal ini didukung oleh berbagai penelitian yang yang menunjukkan bahwa iklim keselamatan merupakan faktor yang meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan keselamatan. Iklim keselamatan kerja sendiri merupakan budaya yang terbentuk pada suatu organisasi sehingga membentuk kepatuhan karyawan selanjutnya dalam menaati peraturan keselamatan itu sendiri. Dengan kata lain, karyawan akan merasa enggan untuk melanggar peraturan-peraturan keselamatan kerja karena merasa sungkan dengan rekan kerja lain yang secara bersama-sama telah membentuk iklim keselamatan kerja. Hal ini senada dengan hasil penelitian Prihatingsih (2010) dan Lisnanditha (2012) yang menunjukkan hal yang sama.

Penelitian lain menunjukkan pula bahwa keselamatan dalam keselamatan kerja berhubungan langsung dengan perilaku karyawan dalam bekerja demi keselamatan individu sangat berhubungan erat dengan iklim keselamatan kerja dan sikap pengetahuan keselamatan kerja, karena dengan keadaan iklim keselamatan kerja ada dalam perusahaan mempengaruhi tingkat kesehatan karyawan dan dengan adanya pengetahuan keselamatan kerja, maka karyawan

(27)

mampu mengerti dan memahami arti keselamatan kerja (Wardani, 2012). Perilaku keselamatan dalam keselamatan kerja sangat berhubungan erat dengan iklim keselamatan, karena dengan keadaan iklim keselamatan yang ada di dalam perusahaan dapat mempengaruhi pengetahuan, kemampuan dan motivasi karyawan. Jika karyawan memiliki pengetahuan, kemampuan dan motivasi yang cukup untuk patuh dengan peraturan keselamatan atau terlibat dalam aktivitas keselamatan, maka dia akan berperilaku demikian. Dengan adanya pengetahuan, pengetahuan, kemampuan dan motivasi yang tinggi, maka karyawan mampu mengerti dan memahami arti keselamatan kerja dengan baik sehingga karyawan akan patuh pada peraturan keselamatan.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dan iklim keselamatan kerja terhadap dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja.

E. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian yang menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dan iklim keselamatan kerja dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja secara sederhana dipaparkan pada gambar berikut.

Gambar 1. Kerangka Penelitian Gaya Kepemimpinan Situasional Iklim Keselamatan Kerja Kepatuhan Keselamatan Kerja

(28)

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dan iklim keselamatan kerja dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru.

2. Terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan situasional dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru dengan mengendalikan variabel iklim keselamatan kerja.

3. Terdapat hubungan positif antara iklim keselamatan kerja dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru dengan mengendalikan variabel gaya kepemimpinan situasional.

(29)

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian 1. Variabel Tergantung : Kepatuhan Keselamatan Kerja

2. Variabel Bebas : Gaya Kepemimpinan situasional : Iklim Keselamatan Kerja

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Kepatuhan Keselamatan Kerja

Kepatuhan pada peraturan keselamatan adalah gambaran mengenai aktivitas inti yang harus dilaksanakan oleh seseorang untuk memelihara keselamatan tempat kerja. Kepatuhan pada peraturan keselamatan diukur dengan Skala Kepatuhan Keselamatan Kerja yang disusun sendiri oleh penulis. Semakin tinggi skor dalam Skala Kepatuhan Keselamatan Kerja menunjukkan semakin tinggi tingkat kepatuhan keselamatan kerja dan semakin rendah skor dalam Skala Kepatuhan Keselamatan Kerja menunjukkan semakin rendah kepatuhan keselamatan kerja.

2. Gaya Kepemimpinan Situasional

Gaya kepemimpinan situasional adalah kemampuan seseorang dalam mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang lain atau bawahan untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Gaya kepemimpinan situasional diukur dengan Skala Gaya Kepemimpinan Situasional yang disusun sendiri oleh penulis. Semakin tinggi skor dalam Skala Gaya Kepemimpinan Situasional menunjukkan semakin tinggi efektivitas gaya kepemimpinan situasional dan semakin rendah skor dalam Gaya Kepemimpinan

(30)

Situasional menunjukkan semakin rendah efektivitas gaya kepemimpinan situasional. 3. Iklim Keselamatan

Iklim keselamatan kerja atau safety climate adalah persepsi atau pandangan karyawan terhadap iklim dan keadaan keselamatan kerja di perusahaan yang nantinya akan menjadi arahan perilaku pekerja. Iklim keselamatan kerja diukur dengan Skala Iklim Keselamatan Kerja yang disusun sendiri oleh penulis. Semakin tinggi skor dalam Skala Iklim Keselamatan Kerja menunjukkan semakin tinggi tingkat iklim keselamatan kerja dan semakin rendah skor dalam Iklim Keselamatan Kerja menunjukkan semakin rendah iklim keselamatan kerja.

C. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah karyawan tetap PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Pekanbaru bagian K3 yang sudah pernah mengikuti pelatihan K3. Subjek uji coba alat ukur langsung dipakai sebagai subjek penelitian mengingat keterbatasan jumlah karyawan K3 yang ada di perusahaan.

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dalam bentuk skala teknik alat ukur merujuk pada pendapat Azwar (2005) yang menyebutkan bahwa stimulus skala berupa pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang bersangkutan, dimana hal ini subjek yang diukur memahami pernyataan namun subjek tidak mengetahui arah jawaban yang dikehendaki oleh pernyataan yang diajukan sehingga jawaban yang diberikan akan tergantung pada interpretasi subjek terhadap pernyataan tersebut. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala

(31)

Keselamatan Kerja.

1. Penyusunan Skala Kepatuhan Keselamatan Kerja

Skala yang digunakan untuk mengukur Kepatuhan Keselamatan Kerja adalah Skala Kepatuhan Keselamatan Kerja. Skala ini selanjutnya disebut dengan Skala I. Skala Kepatuhan Keselamatan Kerja menggunakan teori Borman dan Motowidlo’s (dalam Neal dan Griffin 2002) membagi, yaitu kepatuhan keselamatan (safety compliance) dan kepatuhan keikutsertaan keselamatan (safety participation). Adapun blue print dan penyebaran butir-butir Skala Kepatuhan Keselamatan Kerja sebelum diuji coba dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1.

Blue Print Aitem Skala Kepatuhan Keselamatan Kerja Sebelum Uji Coba

Aspek /Dimensi Indikator Butir Soal Favourable Butir Soal Unfavourable Kepatuhan keselamatan (Safety Compliance)

Mengikuti standar prosedur kerja

1, 2, 3 4, 5,6 Menggunakan alat pelindung

diri 7, 8, 9 10, 11, 12 Kepatuhan keikutsertaan keselamatan (Safety Participation)

Secara sukarela berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas keselamatan

13, 14, 15 16, 17, 18

Membantu rekan kerja terhadap hal-hal yang berkenaan dengan keselamatan 19, 20, 21 22, 23, 24 Menghadiri pertemuan keselamatan 25, 26, 27 28, 29, 30

2. Penyusunan Skala Gaya Kepemimpinan Situasional

(32)

Skala Gaya Kepemimpinan Situasional. Skala ini selanjutnya disebut dengan Skala II. Skala Gaya Kepemimpinan Situasional akan menggunakan teori Harsey dan Blanchard (2005) yang terdiri dari aspek mengarahkan (telling), menjual (selling), menggalang partisipasi (participation) dan mendelegasikan (delegating). Adapun blue print dan penyebaran butir-butir Skala Gaya Kepemimpinan Situasional sebelum diuji coba dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2.

Blue Print Aitem Skala Gaya Kepemimpinan Situasional Sebelum Uji Coba

Aspek /Dimensi Indikator Favourable Butir Soal Unfavourable Butir Soal Mengarahkan

(telling)

Memainkan peran directive yang tinggi

1, 2, 3 4, 5, 6 Memberi saran bagaimana

menyelesaikan tugas-tugas

7, 8, 9 10, 11, 12 Menjual

(selling)

Mengurangi intensitas hubungan sosial dan komunikasi antara pimpinan dan bawahan.

13, 14, 15 16, 17, 18

Mampu mengajukan beberapa alternatif pemecahan masalah

19, 20, 21 22, 23, 24 Menggalang

partisipasi (participation)

Memproporsikan struktur tugas dengan tanggungjawab

karyawan

25, 26, 27 28, 29, 30

Mendorong dan memudahkan partisipasi oleh orang lain dalam membuat keputusan-keputusan 31, 32, 33 34, 35, 36 Mendelegasikan (delegating) Diperkenankan untuk melaksanakan memutuskannya tentang bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus dilaksanakan

37, 38, 39 40, 41, 42

Memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap karyawan sudah mampu dan mau melaksanakan

(33)

tugas/tanggung jawabnya 3. Penyusunan Skala Iklim Keselamatan Kerja

Skala Iklim Keselamatan Kerja dalam penelitian ini menggunakan dimensi-dimensi iklim keselamatan kerja dari Prihatiningsih dan Sugiyanto (2010) dari Lu dan Tsai (2007), diantaranya adalah praktek keselamatan manajemen, praktek keselamatan atasan, sikap keselamatan, pelatihan keselamatan, keselamatan kerja, dan praktek keselamatan rekan kerja. Semua dimensi tersebut digunakan untuk menyusun Skala Iklim Keselamatan Kerja. Adapun blue print dan penyebaran butir-butir Skala Iklim Keselamatan Kerja sebelum diuji coba dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3.

Blue Print Aitem Skala Pengambilan Iklim Keselamatan Kerja Sebelum Uji Coba Aspek /Dimensi Indikator Butir Soal Favourable Butir Soal Unfavourable Praktek keselamatan manajemen Perusahaan saya menyediakan informasi keselamatan. 1, 2, 3 4, 5, 6 Perusahaan saya menyediakan peralatan keselamatan dalam jumlah yang cukup

7, 8, 9 10, 11, 12

Praktek keselamatan atasan

Atasan saya perduli terhadap keselamatan pekerjanya.

13, 14, 15 16, 17, 18

Atasan saya melibatkan pekerja/karyawan dalam menyusun peraturan keselamatan. 19, 20, 21 22, 23, 24 Sikap keselamatan

Tata cara pelaksanaan kerja yang aman dapat

mengurangi kecelakaan. 25, 26, 27 28, 29, 30 Saya mengabaikan peraturan keselamatan yangpenting pekerjaan tersebut selesai. 31, 32, 33 34, 35, 36 Pelatihan keselamatan Program pelatihan keselamatan di perusahaan saya berguna. 37, 38, 39 40, 41, 42

(34)

Program keselamatan kerja di perusahaan saya jelas.

43, 44, 45 46, 47, 48 Keselamatan

kerja

Bekerja di bangunan itu tidak aman.

49, 50, 51 52, 53, 54 Bekerja di bangunan itu

berbahaya.

55, 56, 57 58, 59, 60 Praktek

keselamatan rekan kerja

Teman kerja saya perduli mengenai keselamatan kerja.

61, 62, 63 64, 65, 66

Teman kerja saya menjaga agar tempat kerja aman.

67, 68, 69 70, 71, 72

E. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

Alat ukur yang digunakan harus dipastikan terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya sebelum digunakan dalam penelitian. Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecerdasan suatu alat ukur dalam mengukur fungsi ukurnya, atau memberikan hasil sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2005). Hadi (2000) mengemukakan, ada dua prinsip validitas yaitu ketelitian dan kejituan. Suatu alat dikatakan teliti, jika alat tersebut mampu menunjukkan pada siapa alat tersebut dimaksudkan, sedangkan suatu alat dikatakan jitu bila alat tersebut dapat menunjukkan dengan tepat gejala atau sebagian gejala yang diukur.

Penelitian ini menggunakan validitas isi, yaitu validitas yang menyangkut tingkat kebenaran suatu instrumen mengukur isi (content) dari area yang dimaksudkan untuk diukur. Validitas isi diselidiki melalui analisis rasional terhadap isi tes (professional judgement) yang diperoleh dengan cara mengkonsultasikan aitem yang telah disusun kepada ahli yaitu dosen pembimbing, dengan tujuan supaya aitem-aitem yang disusun mencakup keseluruhan isi objek yang hendak diukur sehingga alat tes tersebut relevan dan tidak keluar dari batas tujuan ukur (Azwar, 1997).

Uji seleksi aitem dilakukan dengan bantuan komputer program SPSS for Windows versi 17.0 dengan melihat nilai Rit hitung. Kriterium untuk seleksi aitem menggunakan

(35)

2. Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauh mana suatu hasil pengukuran tes dapat dipercaya. Hasil ukur dapat dipercaya atau reliabel, jika dalam beberapa kali pengukuran terhadap kelompok subjek diperoleh hasil yang sama, dengan catatan aspek yang diukur dalam diri subjek belum berubah (Azwar, 2005). Reliabilitas alat ukur atau pengumpul data ditunjukkan dengan koefisien reliabilitas. Pengujian reliabilitas menggunakan pendekatan konsistensi internal berdasarkan data dari sekali pengenaan suatu alat ukur terhadap sekelompok subjek (Azwar, 2005). Pengukuran reliabilitas ini dilakukan dengan menggunakan perhitungan reliabilitas koefisien alpha dari Cronbach dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 17. Data untuk menghitung koefisien alpha dapat diperoleh lewat penyajian data bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada kelompok responden.

F. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah analisis korelasi ganda dan korelasi parsial. Analisis korelasi parsial karena penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel bebas (x) dengan variabel tergantung (y) dengan mengendalikan variabel lainnya (Azwar, 2005). Alasan digunakannya korelasi parsial karena penelitian ini bertujuan menguji hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja dengan mengendalikan iklim keselamatan kerja, dan hubungan antara iklim keselamatan kerja dengan kepatuhan karyawan terhadap keselamatan kerja dengan mengendalikan gaya kepemimpinan situasional. Berdasarkan teknik korelasi ganda maupun korelasi parsial, apabila didapatkan koefisien korelasi yang signifikan, berarti terdapat hubungan antara variabel bebas dan

(36)

variabel tergantung. Sebaliknya apabila koefisien korelasi tidak signifikan, berarti tidak terdapat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi parsial dengan bantuan program SPSS for Windows versi 17.0.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Penelitian  Gaya Kepemimpinan Situasional Iklim Keselamatan  Kerja  Kepatuhan  Keselamatan Kerja

Referensi

Dokumen terkait

Gross profit margin tertinggi yang menunjukkan tingkat rentabilitas tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 28,62 %, yang berarti kemampuan bank untuk

SUB DINAS PENYULUHAN SUB DINAS KONSERVASI TANAH DAN USAHA KEHUTANAN SUB DINAS PRODUKSI DAN USAHA PERKEBUNAN SEKSI PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT SEKSI PERLINDUNGAN

Hasil penelitian yang dilakukan peneliti dalam permasalahan ini menghasilkan penemuan penelitian yang meliputi: 1) kondisi metode pembelajaran practise memiliki

Program CSR/PKBL dari PTPN III Terhadap UMKM di kota Medan Bertujuan Untuk Meningkatkan Citra Perusahaan Dan Memberdayakan Masyarakat.. CSR/PKBL Layak Dilaksanakan

Semua akibat-akibat yang ditimbulkan karena judi, jika dibandingkan dengan hasil yang dicapai,tidak ada manfaatnya lagi, atau dengan kata lain merehabilitasi masyarakat

Keuntungan yang bisa diperoleh dari pemanfaatan fosfat alam pada lahan sulfat masam adalah: (1) harga per satuan hara pupuk lebih murah; (2) kelarutan dan ketersediaan hara P

Hasil perhitungan nilai LOS pada fasilitas passport control area untuk terminal penumpang keberangkatan dan kedatangan di Bandara New Yogyakarta International Airport

Hal tersebut didasarkan pada teori Stewardship yang menjelaskan bahwa ketika dana syirkah temporer yang dipercayakan kepada bank syariah banyak maka akan lebih