HIJAUAN PAKAN TERNAK
UNTUK LAHAN SUB-OPTIMAL
HIJAUAN PAKAN TERNAK
UNTUK LAHAN SUB-OPTIMAL
Penyusun: Bambang R. Prawiradiputra Endang Sutedi Sajimin Achmad Fanindi
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
Hak cipta dilindungi undang-undang IAARD Press, 2012
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari IAARD Press.
Hak cipta pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012 Katalog dalam terbitan
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
Hijauan Pakan Ternak untuk Lahan Sub-optimal/Penyusun, Bambang R. Prawiradiputra ... [et al.];Penyunting, L. Hardi Prasetyo ... [et al.].-- Jakarta: IAARD Press, 2012
x, 63 hlm.: ill.; 21 cm 636.39
1. Hijauan Pakan 2. Lahan Sub-optimal I. Judul II. Prawiradiputra, Bambang R. ISBN 978-602-8475-68-6 Penyunting: L. Hardi Prasetyo Bess Tiesnamurti Endang Romjali Eko Handiwirawan Tata letak: Eko Kelonowati Linda Yunia Rancangan sampul: Ahmadi Riyanto IAARD Press
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jalan Ragunan No. 29, Pasarminggu, Jakarta 12540 Telp: +62 21 7806202, Faks.: +62 21 7800644 Alamat Redaksi:
KATA PENGANTAR
Hijauan pakan merupakan salah satu faktor pembatas perkembangan ternak yang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Bagi wilayah-wilayah dimana tidak ada kendala agroekosistem, ketersediaan hijauan pakan bukan merupakan kendala. Namun bagi wilayah-wilayah dengan kondisi sub-optimal, hijauan pakan tidak bisa tersedia setiap saat. Kondisi agroekosistem sub-optimal bisa dalam hal kondisi lahan, bisa juga kondisi iklim.
Di dalam buku Hijauan Pakan Ternak untuk Lahan Sub-Optimal di Indonesia ini dibahas spesies-spesies tanaman, pakan yang toleran untuk kondisi lahan sub-optimal, seperti lahan kering iklim kering, lahan gambut, lahan rawa, dan lahan bekas tambang yang selama ini tidak bisa atau sulit untuk dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan. Dengan demikian, buku ini diharapkan akan bermanfaat bagi para petani-peternak dan penyuluh pada agroekosistem sub-optimal.
Buku Hijauan Pakan Ternak untuk Lahan Sub-Optimal ini diharapkan petani-peternak dapat meningkatkan pengetahuan tentang hijauan pakan, khususnya yang tumbuh di wilayahnya masing-masing. Bagi para peneliti di lingkungan Badan Litbang Pertanian, buku ini dapat menjadi referensi dalam melakukan penelitian atau pengkajian.
Jakarta, Desember 2012
Kepala Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
1. PENDAHULUAN ... 1
2. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERSEDIAAN HIJAUAN PAKAN ... 4
2.1. Iklim ... a. Curah hujan ... b. Suhu udara ... 2.2. Lahan ... 2.3. Spesies ... 2.4. Pengelolaan ... 2.5. Kondisi sosial ekonomi petani/peternak ... 4 4 5 6 7 7 9 3. LAHAN SUB-OPTIMAL DI INDONESIA 3.1. Lahan kering ... 3.2. Lahan rawa ... 3.3. Lahan salin ... 3.4. Lahan bekas tambang ... 10 11 15 16 19 4. TANAMAN PAKAN ... 4.1. Rumput ... 4.2. Leguminosa ... 22 23 25 5. JENIS-JENIS TANAMAN PAKAN TERNAK TOLERAN UNTUK LAHAN SUB-OPTIMAL ... 28
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Luas masing-masing lahan pertanian di Indonesia 10
2. Morfologi dan bagian-bagian rumput 24
3. Rumput gamba 29 4. Rumput bede 30 5. Rumput bebe 32 6. Rumput beha 34 7. Rumput gajah 35 8. Rumput benggala 37 9. Rumput setaria 39 10. Sentro 41 11. Stilo 43 12. Kalopo 45 13. Kaliandra 47 14. Glirisidia 49 15. Lamtoro 51 16. Rumput buffel 53 17. Rumput atra 54 18. Kacang arachis 55 19. Lamtoro mini 56
Halaman
1. Jenis-jenis HPT yang toleran kekeringan 60
2. Jenis-jenis HPT yang toleran terhadap kemasaman tanah
(pH <5)
61
Pendahuluan
1. PENDAHULUAN
Pada dasarnya petani di Indonesia adalah peternak karena selain berusaha tani mereka juga memelihara ternak Hal ini sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang. Mereka mengusahakan usahataninya secara terpadu. Boleh dikatakan hampir tidak ada petani yang semata-mata hanya bercocok tanam. Mereka juga memelihara ternak besar maupun kecil, baik dalam jumlah banyak maupun sedikit. Dengan demikian, sebenarnya petani, terutama yang memelihara ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing maupun domba, sudah sangat mengenal arti pentingnya rumput pakan.
Kondisi seperti itu tidak hanya terdapat di Pulau Jawa, tetapi juga di pulau-pulau lain di luar Pulau Jawa. Bedanya adalah Pulau Jawa yang merupakan wilayah padat penduduk, lahan pertaniannya relatif lebih sempit dibandingkan dengan wilayah lain, sehingga pada umumnya sistem pemeliharaan ternak di Pulau Jawa dikandangkan. Kalaupun ada yang digembalakan, itu hanya terdapat di wilayah-wilayah tertentu yang masih ada padang penggembalaan (biasa disebut sebagai tanah pangonan).
Karena petani di Indonesia umumnya memelihara ternak, mereka juga mengenal jenis-jenis rumput pakan yang baik untuk ternak. Pengetahuan mengenai jenis rumput pakan khususnya rumput lokal ini kemudian diajarkan dan diturunkan dari generasi ke generasi sehingga petani-peternak zaman sekarang masih mengenal rumput lokal sebagai pakan ternak. Di lain pihak, karena peningkatan populasi penduduk dan ekspansi industri, lahan-lahan pertanian yang subur digunakan untuk keperluan non-pertanian sehingga untuk tanaman (termasuk tanaman pakan) bergeser ke lahan-lahan tidak subur yang tergolong ke dalam lahan marginal atau lahan sub-optimal.
Sesuai dengan sebutannya, lahan marginal atau lahan sub- optimal, kurang memberikan daya hasil yang optimal. Bagi
pertanian Berbagai faktor pembatas harus diatasi agar lahan tersebut dapat memberikan hasil yang maksimal. Pada saat lahan pertanian masih berada di lahan yang subur dan luas, ketersediaan pakan ternak tidak menjadi masalah, tetapi dengan semakin sempitnya lahan dan kondisinya sub-optimal, hijauan pakan ternak makin sulit diperoleh. Namun demikian, ada beberapa spesies rumput dan leguminosa yang toleran terhadap kondisi sub-optimal. Sebagian rumput dan leguminosa toleran pada kondisi kekeringan, dan sebagian lain masih bisa berproduksi baik pada lahan asam, dan ada juga yang mampu tumbuh baik pada lahan salin.
Sebagian besar populasi ternak potong di Indonesia tersebar di wilayah dengan kondisi lahan sub-optimal, khususnya lahan kering beriklim kering seperti di Nusa Tenggara Timur (BPS, 2011) atau di lahan kering dengan musim kering yang cukup panjang seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian Utara). Di ketiga provinsi tersebut, luas lahan kering beriklim kering mencapai lebih dari tiga juta hektar (Hidayat dan Mulyani, 2005).
Di wilayah tersebut produktivitas hijauan pakan sangat rendah, termasuk rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang di wilayah beriklim basah produktivitasnya sangat tinggi. Potensi rumput ini untuk menghasilkan hijauan mencapai 500 ton/ha/tahun bobot segar pada lahan yang subur (Prawiradiputra et al., 2006), namun berbagai hasil penelitian di lahan kering beriklim kering atau di wilayah dengan musim kemarau yang relatif panjang, rumput ini memberikan hasil jauh lebih rendah, yaitu sekitar 48 ton/ha/tahun (Supriadi et al., 1992) sampai 70 ton/ha/tahun (Toha et al., 1992).
Masalah yang biasa dihadapi peternak ruminansia, khususnya sapi potong, pada saat ini adalah tidak tersedianya hijauan pakan yang memadai, terutama pada musim kemarau (Azwar, 2005), di samping rendahnya kualitas hijauan pakan (Devendra, 1990). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan peternak untuk menyediakan lahan yang cukup subur bagi
Pendahuluan
penanaman hijauan pakan, disamping kendala kurangnya tenaga kerja dan modal (Prawiradiputra, 2004; Abdullah, 2005). Selama ini lahan yang subur, khususnya di Pulau Jawa selalu diprioritaskan untuk tanaman pangan (Prawiradiputra dan Purwantari, 1996), sementara untuk tanaman pakan, lahan yang tersedia adalah lahan yang kurang subur atau lahan sub-optimal.
2. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETERSEDIAAN HIJAUAN PAKAN
Jenis, produksi, dan mutu hasil hijauan pakan ternak yang dapat hidup di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: iklim, tanah, spesies, pengelolaan, kondisi sosial ekonomi petani.
2.1. Iklim
Indonesia termasuk ke dalam wilayah yang beriklim tropis. Tumbuh-tumbuhan yang bisa hidup dengan baik di wilayah iklim sub-tropis belum tentu dapat hidup dengan baik di wilayah iklim tropis dan sebaliknya.
Seorang ahli klimatologi yang bernama Oldeman membagi wilayah Indonesia ke dalam 14 zona agroklimat (Tabel 1) berdasarkan lamanya bulan basah dan bulan kering. Komponen iklim yang paling besar pengaruhnya terhadap hasil dan mutu hijauan pakan di Indonesia adalah curah hujan dan suhu udara.
a. Curah hujan
Pada musim hujan, produksi hijauan pakan biasanya tinggi, tetapi mutunya rendah. Hal ini karena pada musim hujan, pertumbuhan tanaman lebih cepat dibandingkan pada musim kemarau. Akibatnya peternak kelebihan pasokan sehingga banyak rumput yang terlambat dipotong. Apabila rumput dipotong terlalu tua, kandungan serat kasarnya meningkat, sedangkan kandungan protein kasarnya menurun.
Sebaliknya pada musim kemarau, pertumbuhan rumput lebih lambat sehingga rumput lebih lambat dipanen, atau kalau cepat dipanen rumputnya masih muda. Pada saat itu, kandungan protein kasar cukup tinggi sementara serat kasarnya rendah. Namun pada musim kemarau, daya hasil hijauan pakan juga
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Hijauan Pakan
rendah, sehingga banyak peternak yang mencari hijauan ke tempat lain untuk ternaknya.
Tabel 1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman Zona
Agroklimat
Panjang bulan basah
berturut-turut
Panjang bulan kering berturut-turut Persentase luas A1 > 9 bulan < 3 bulan 29% B1 7 – 9 < 2 29% B2 7 – 9 2 – 4 1% C1 5 – 6 < 2 8% C2 5 – 6 2 – 4 9% C3 5 – 6 5 – 6 2% D1 3 – 4 < 2 6% D2 3 – 4 2 – 4 2% D3 3 – 4 5 – 6 4% D4 3 – 4 > 6 1% E1 < 3 < 2 4% E2 < 3 2 – 4 2% E3 < 3 5 – 6 2% E4 < 3 > 6 1%
Bulan basah: Curah hujan > 200 mm/bulan; Bulan kering: Curah hujan < 100 mm/bulan
b. Suhu udara
Suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian tempat dari permukaan laut, setiap kenaikan tinggi tempat 100 m, suhu udara menurun 1qC. Beberapa jenis hijauan pakan tumbuh baik di dataran tinggi, tetapi sebagian lainnya hanya tumbuh baik di dataran rendah. Namun, ada juga yang tumbuh baik mulai dari pinggir laut sampai ke pegunungan. Dengan demikian, spesies
yang mampu tumbuh pada ketinggian tertentu sebenarnya mampu beradaptasi pada suhu di tempat itu.
2.2 Lahan
Berdasarkan agroekosistem, Manwan (1998) membagi Indonesia menjadi enam kategori lahan yaitu daerah hulu aliran sungai, lahan, rawa dan pasang surut, lahan kering beriklim kering, lahan kering beriklim basah, lahan sawah irigasi, dan sawah tadah hujan. Dalam kaitannya dengan tanaman pakan, di keenam kategori lahan ini dapat di tanami jenis tanaman pakan yang berbeda. Di lahan kering dan daerah hulu DAS, sebagian besar peternak mengandalkan hijauan pakannya pada rumput lokal, walaupun ada juga yang menanam rumput unggul yang toleran kekeringan. peternak di sawah irigasi dan sawah tadah hujan, selain mengandalkan lahan rumput lokal, juga dapat menanam rumput introduksi. Peternak di lahan pasang surut juga mengandalkan rumput lokal. dengan pasokan rumputnya bisa tersedia sepanjang tahun.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, lahan juga bisa digolongkan ke dalam lahan subur dan lahan tidak subur. Faktor-faktor yang memengaruhi kesuburan tanah antara lain pH tanah dan salinitas.
Kesuburan tanah juga di pengaruhi kemasaman tanah dan salinitas. Tanah-tanah di sekitar gunung berapi biasanya lebih subur, sehingga apabila tidak ada kendala air, tanah tersebut bisa ditanami hijauan pakan dengan hasil yang tinggi. Sebaliknya tanah yang tidak dipengaruhi gunung berapi, seperti tanah Podsolik Merah Kuning, biasanya kekurangan unsur hara dan bersifat masam sehingga hanya tanaman tertentu yang bisa tumbuh dengan baik. Tanah demikan biasanya mengandung unsur aluminium (Al) dan mangan (Mn) yang sangat tinggi, sedangkan kandungan unsur kalsium (Ca) dan fosfor (P) sangat rendah.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Hijauan Pakan
2.3 Spesies
Dalam memilih jenis hijauan pakan untuk ternaknya, biasanya peternak tradisional mengacu kepada kebiasaan yang sudah turun-temurun dilakukan nenek-moyangnya. Yang penting bagi mereka, hijauan pakan itu disenangi ternak. Mereka belum memilih hijauan pakan yang baik umumnya agar ternaknya tumbuh lebih sehat, atau lebih cepat gemuk atau hasil susunya lebih banyak. Padahal Seharusnya peternak sudah menentukan sejak awal, hijauan pakan yang akan ditanam, yaitu yang mempunyai kelebihan dalam hal produktivitas, palatabilitas, nilai gizi, dan kemampuannya dalam beradaptasi dengan iklim setempat.
Spesies hijauan pakan, baik rumput maupun leguminosa sangat memengaruhi daya hasil dan mutu pakan yang diberikan. Contoh yang paling sering dijumpai adalah rumput gajah disukai peternak sapi perah karena daya hasilnya yang sangat tinggi. Peternak jarang menanam rumput lain karena hasil hijauan segarnya tidak sebaik rumput gajah.
Demikianlah ada bermacam-macam spesies atau jenis rumput yang mempunyai sifat-sifat khas yang berpengaruh terhadap pertumbuhannya.
2.4 Pengelolaan
Pengelolaan atau manajemen hijauan pakan sering diabaikan oleh sebagian besar peternak di Indonesia. Pengelolaan pakan yang kurang baik, tidak dapat menjamin pasokan hijauan pakan sepanjang tahun sehingga pertumbuhan dan perkembangan ternak tidak akan baik. Prinsip utama yang perlu diperhatikan adalah mendekatkan tanaman pakan ternak (TPT) dengan kandang. peternak tidak perlu menghabiskan waktu sehingga untuk mencari hijauan pakan. Caranya adalah dengan menanami lahan di sekitar kandang dengan tanaman pakan, baik rumput
maupun leguminosa. Namun, menanam hijauan pakan saja tidak cukup. tetapi Tanaman harus dipelihara dengan baik, dan dipupuk. Pada saat harga pupuk buatan atau pupuk pabrik (urea, SP-36, KCl dsb.) mahal, pupuk kandang bisa menjadi pilihan yang sangat baik, seperti kotoran sapi dan kotoran kambing atau domba, Untuk keperluan ini, biasanya petani menggali lubang di dekat kandang sapi atau di bawah kandang kambing atau domba untuk menampung pupuk kandang. Peternak sapi perah biasanya membuat parit di depan atau di belakang kandang untuk mengalirkan air bekas memandikan sapinya. Air yang biasanya sudah tercampur dengan kotoran sapi, dialirkan ke kebun rumput yang berada di dekat kandang. Dengan demikian TPT tumbuh dengan subur dan hasil hijauannya tinggi.
Bagi peternak yang menggembalakan ternaknya di padang rumput, pengelolaan tanaman yang perlu diperhatikan adalah memelihara padang rumput dengan sebaik-baiknya. Kendala utama yang dihadapi peternakan adalah tidak ada yang merasa bertanggung jawab untuk memelihara padang rumput sehingga kondisi rumputnya semakin lama semakin menurun.
Pemeliharaan padang rumput sebaiknya dimulai dengan pembagian tanggung jawab. Siapapun yang memanfaatkan padang rumput untuk menggembalakan ternak harus mau merawatnya dengan baik. Kalaupun tidak bisa memupuk, cukup dengan mengatur penggembalaan sehingga tidak terjadi penggembalaan berlebih, yang akan berdampak buruk terhadap padang rumput tersebut.
Apabila memungkinkan, peternak dapat bergotong royong meningkatkan mutu padang rumput dengan jalan menanaminya dengan leguminosa, baik leguminosa menjalar, herba maupun pohon.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Hijauan Pakan
2.5. Kondisi sosial ekonomi petani/peternak
Sebagian besar peternak di Indonesia kurang mampu dari segi finansial, sehingga selain beternak, mereka juga mempunyai mata pencaharian lain, kondisi ini menyebabkan perawatan ternak dan pakannya tidak optimal.
Walaupun peternak mempunyai dana untuk membeli ternak, belum tentu mereka mempunyai kebun rumput. Kalaupun memiliki lahan, biasanya digunakan untuk tanaman pangan, sementara tanaman pakan ditanam di lahan-lahan yang tidak dapat ditanami tanaman pangan seperti di lahan yang kurang subur, berbatu-batu, dan tampingan teras. Dengan demikian, hasil tanaman pakan juga rendah, sehingga berpengaruh terhadap produktivitas ternak yang dipeliharanya.
3. LAHAN SUB-OPTIMAL DI INDONESIA
Lahan marginal sub-optimal adalah lahan yang mempunyai potensi rendah sampai sangat rendah untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, namun dengan penerapan suatu teknologi dan sistem pengelolaan yang tepat, lahan tersebut dapat menjadi lebih produktif dan berkelanjutan. Lahan sub-optimal di Indonesia terdiri atas lahan pasang surut, lahan salin, gambut, dan lahan-lahan yang berada di dekat area pertambangan (Yuniati, 2004).
Lahan pertanian di Indonesia luasnya mencapai 188 juta ha, terdiri atas lahan kering 148 juta ha dan lahan basah 40 juta ha. Sebagian besar (sekitar 103 juta ha) lahan kering merupakan lahan kering masam dengan pH < 5, sedangkan lahan kering tidak masam hanya 45 juta ha. Gambar 1 memperlihatkan diagram pembagian lahan di Indonesia berdasarkan permasalahannya.
Angka di dalam tanda kurung menunjukkan luas dalam juta ha
Sumber: Mulyani et al. (2004); Widjaja-Adhi et al. (2000); Subagyo dan Widjaja-Adhi (1998)
Gambar 1. Luas masing-masing lahan pertanian di Indonesia Lahan kering tidak
masam(45)
Lahan kering masam (103)
Sumber daya lahan (188)
Lahan kering (148) Lahan basah (40)
Sawah permanen (1)
Lahan rawa (39)
Lahan Sub-optimal di Indonesia
Lahan basah terdiri atas sawah permanen dan rawa. Luas sawah permanen hanya sekitar 1 juta ha, sementara luas lahan rawa 39 juta ha. Pada umumnya lahan rawa merupakan lahan masam, yang terdiri atas lahan gambut 5 – 6 juta ha, lahan pasang surut 23 juta ha dan lebak 13 juta ha. Lahan pasang surut dan lebak biasanya merupakan lahan salin. Dengan demikian, sebagian besar lahan di Indonesia merupakan lahan-lahan bermasalah atau lahan-lahan sub-optimal.
Walaupun lahan sub-optimal di Indonesia sangat luas, pemanfaatannya untuk pertanian belum optimal. Ketersediaan inovasi teknologi untuk pengembangan lahan sub-optimal juga masih terbatas. Pemanfaatan lahan sub-optimal memerlukan upaya dan teknologi spesifik lokasi agar lahan dapat berproduksi secara optimal dan berkelanjutan.
3.1. Lahan kering
Lahan kering di Indonesia merupakan sumberdaya yang sangat penting dan strategis karena sebagian besar wilayah Indonesia terdiri atas lahan kering. Namun, potensi yang besar itu kurang mendapat perhatian karena perhatian pemerintah dan masyarakat pada umumnya tertuju kepada lahan sawah, baik dalam prioritas pembangunan (pembuatan waduk dan saluran irigasi) maupun penyediaan prasarana dan sarana pertanian, seperti sarana transportasi, pupuk, dan pengaturan harga gabah. Akibat kurangnya perhatian terhadap lahan kering, maka degradasi lahan dalam berbagai bentuk terus terjadi seperti erosi dan penurunan kesuburan tanah (Abdurachman, 2005).
Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, maupun perkebunan. Mengingat potensinya yang besar, maka pengembangan lahan kering perlu didorong dan ditingkatkan. Mengembangkan pertanian lahan kering merupakan pilihan
strategis dalam menghadapi tantangan peningkatan produksi pertanian untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Lahan kering dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan, melalui peningkatan produktivitas dan indeks pertanaman pada areal yang sudah diusahakan. Kendala fisik lahan kering yang umum dijumpai adalah lereng curam, erosi/longsor, batuan di permukaan, singkapan batuan, penampang dangkal, dan ketersediaan air. Pada lahan kering beriklim kering, kendala yang menonjol adalah ketersediaan air yang terbatas, karena curah hujannya yang rendah dan musim kemarau yang panjang, yang mengakibatkan penguapan yang lebih besar daripada curah hujan. Kendala lain adalah tanah mudah erosi dan pada musim hujan. Apabila air mencukupi serta pengelolaan tanah dan tanaman cukup baik, maka produktivitas lahan ini termasuk tinggi.
Wilayah lahan kering iklim kering juga masih tertinggal, baik dalam hal pertumbuhan ekonomi, prasarana maupun kesejahteraan petaninya. Menurut Rasahan dan Gunawan (1993), kemiskinan di Indonesia sebagian besar terdapat di daerah lahan kering, dan lahan kritis. Demikian juga hasil penelitian Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian menunjukkan bahwa sebaran lokasi kantong-kantong kemiskinan berkorelasi positif dengan wilayah lahan kering (PSE, 1993).
Definisi
Di dalam membicarakan lahan kering, ada beberapa istilah yang perlu dipahami. Dengan demikian, definisi lahan kering bisa bermacam-macam, bergantung pada sudut pandangnya.
Beberapa definisi lahan kering yang umum dijadikan acuan di Indonesia adalah:
a. Hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau tidak digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu (Hidayat dan Mulyani, 2005)
Lahan Sub-optimal di Indonesia
b. Lahan yang sumber pengairannya semata-mata berasal dari air hujan. Lahan ini bisa berupa sawah tadah hujan, pekarangan, hutan, kebun, dan tegal (Semaoen et al., 1991) c. Lahan yang hampir sepanjang tahun tidak tergenang secara
permanen (Muljadi, 1977)
d. Lahan yang dalam keadaan alamiah lapisan atas dan bawah tubuh tanah (top soil dan sub-soil) tidak jenuh air dan tidak tergenang sepanjang tahun, serta kelembapan tanah sepanjang tahun atau hampir sepanjang tahun berada di bawah kapasitas lapang (Satari et al., 1977)
e. Lahan yang pemenuhan kebutuhan airnya untuk tanaman bergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun (Guritno et al., 1997)
Walaupun lahan kering didefinisikan bermacam-macam, secara umum oleh Badan Pusat Statistik (BPS, 2003) dikelompokkan menjadi pekarangan, tegal/kebun/ladang/huma, padang rumput, dan lahan perkebunan.
Penyebaran
Lahan kering di Indonesia tersebar di semua pulau besar. Kalimantan merupakan pulau dengan lahan kering terluas, yaitu 42,5 juta ha, diikuti oleh Papua dan Sumatera dengan luas masing-masing sekitar 33 juta ha (Hidayat dan Mulyani, 2005). Berdasarkan ketinggian tempat, lahan kering bisa digolongkan menjadi lahan kering dataran rendah, yaitu lahan yang berada pada elevasi sampai 700 m dpl, dan lahan kering dataran tinggi dengan batas ketinggian di atas 700 m dpl.
Sebagian besar lahan kering dataran rendah mempunyai bentuk wilayah (relief) datar, berombak, bergelombang dan berbukit. Di Indonesia lahan kering dataran rendah pada umumnya terdapat di Kalimantan dan Sumatera (Hidayat dan Mulyani, 2005).
Selain berdasarkan ketinggian tempat, lahan kering juga dibedakan berdasarkan iklim, yaitu iklim basah dan iklim kering. Iklim basah pada umumnya mempunyai curah hujan yang tinggi (> 1.500 mm/tahun) dengan masa hujan yang relatif panjang. Sementara itu, iklim kering mempunyai curah hujan rendah (< 1.500 mm/tahun) dengan masa curah hujan yang pendek yaitu 3
– 5 bulan. Data dari Puslittanak (2000) menunjukkan bahwa lebih dari 75% luas lahan kering di Indonesia berada di wilayah iklim basah, sedangkan yang berada di wilayah iklim kering hanya 25%.
Lahan kering juga dibedakan berdasarkan kemasaman tanah, yaitu lahan kering di tanah masam dan di tanah tidak masam. Luas lahan kering di tanah masam sekitar 103 juta ha, sedangkan yang di tanah tidak masam sekitar 45 juta ha. Dengan demikian, sebagian besar lahan kering di Indonesia berada di wilayah dataran rendah beriklim basah dengan sifat tanah masam.
Lahan kering masam adalah lahan yang mempunyai sifat-sifat antara lain pH rendah, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB) dan kandungan C-organik rendah, kandungan AL (kejenuhan Al) tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi, 1993; Soepardi, 2001).
Potensi tanah sulfat masam di Indonesia mencapai 6,6 juta ha lebih. Namun yang telah dimanfaatkan baru 612.000 ha lebih dan sebagian besar pada tanah sulfat masam. Tanah sulfat masam akan berdayaguna apabila dikelola dengan tepat yang meliputi pengeringan, yang perendaman, dan pembilasan yang dilanjutkan dengan remediasi dengan cara pengapuran yang dilakukan berdasarkan karakterisitik spesifik tanahnya.
Variasi iklim dan curah hujan yang relatif tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia mengakibatkan tingkat pencucian basa di dalam tanah cukup intensif, sehingga kandungan basa rendah
Lahan Sub-optimal di Indonesia
dan tanah menjadi masam (Subagyo et al., 2000). Hal ini yang menyebabkan sebagian besar tanah di lahan kering bereaksi masam (pH 4,6 – 5,5) dan miskin unsur hara, yang umumnya terbentuk dari tanah mineral.
Mulyani et al. (2004) telah mengidentifikasi lahan kering masam berdasarkan data sumber daya lahan eksplorasi skala 1 : 1.000.000. Dari total lahan kering sekitar 148 juta ha dapat dikelompokkan menjadi lahan kering masam 102,8 juta ha dan lahan kering tidak masam 45,2 juta ha.
Ciri utama lahan masam adalah tingkat produktivitas lahannya yang rendah khususnya untuk tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai. Untuk meningkatkan produktivitasnya diperlukan pemupukan berimbang (pupuk organik dan anorganik), dan untuk meningkatkan pH tanah diperlukan pengapuran.
3.2. Lahan rawa
Lahan rawa di Indonesia cukup luas sekitar 33,4 – 39,4 juta ha (Widjaja-Adhi et al., 2000), menyebar dominan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Lahan rawa tersebut terdiri atas lahan rawa pasang surut 23,1 juta ha dan lahan rawa lebak 13,3 juta ha (Subagyo dan Widjaja-Adhi, 1998).
Lahan rawa pasang surut merupakan rawa pantai pasang surut di dekat muara sungai besar yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas air laut. Di wilayah pasang surut, karena lingkungannya selalu jenuh air dan tergenang, terdapat dua jenis utama tanah, yaitu tanah mineral (mineral soils) jenuh air dan tanah gambut (peat soils).
Tanah gambut terbentuk dari lapukan bahan organik yang berasal dari penumpukan sisa jaringan tumbuhan pada masa lampau, dengan kedalaman bervariasi tergantung keadaan topografi tanah mineral di bawah lapisan gambut.
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 – 5,5. Gambut oligotropik memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 –
4,3 (Hartatik et al., 2004).
3.3. Lahan salin
Dalam rangka peningkatan produksi dan penyebaran pusat-pusat produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan pakan, perhatian terhadap lahan-lahan bermasalah menjadi semakin penting, mengingat lahan berpengairan makin terbatas Lahan salin di Indonesia sangat potensial dikembangkan apabila dikelola dengan baik, Upaya menanam tanaman pakan dan memelihara ternak ruminansia dilahan salin adalah alternatif diversifikasi usaha untuk meningkatkan taraf hidup para nelayan di sekitar pantai.
Kendala utama yang dihadapi dalam usaha pemanfaatan lahan salin (lahan sawah pasang surut dan sawah lebak) ialah keadaan lahan yang basah berlebihan sepanjang tahun tingkat kesuburan tanah rendah, tingkat salinitas tanah tinggi akibat adanya intrusi air laut sewaktu terjadi pasang, kemasaman tanah yang tinggi, dan adanya ion-ion yang bersifat toksik yang merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman (Hardjowigeno dan Rayes, 2005).
Salinitas tanah menjadi masalah serius dalam produksi tanaman di Indonesia. Persoalan lahan salin yang utama adalah tingginya kandungan Na+ dan Cl- pada disekitar perakaran tanaman sehingga tekanan osmotik larutan tanah naik yang dapat mengganggu penyerapan air dan unsur hara. Akibatnya, laju pertumbuhan tanaman menurun. Pertumbuhan akar, batang, dan luas daun berkurang karena adanya cekaman garam, yaitu
Lahan Sub-optimal di Indonesia
ketidak-seimbangan metabolis yang disebabkan oleh keracunan ion, cekaman osmotik, dan kekurangan hara.
Garam-garam (Na+) akan memengaruhi sifat tanah jika jumlahnya dalam tanah berlebihan. Peningkatan konsentrasi garam terlarut di dalam tanah akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga menghambat penyerapan air dan unsur-unsur hara yang berlangsung melalui proses osmosis (Basri, 1991).
Lahan pasang surut dan lahan sulfat masam, terutama yang mengalami reklamasi, umumnya mengandung kadar garam yang tinggi sebagai akibat dari luapan pasang secara langsung atau penyusupan air laut. Lahan sulfat masam yang terletak dekat dengan muara laut atau pesisir pantai umumnya mengandung kadar garam yang tinggi (Noor, 2004).
Untuk meningkatkan produktivitas tanah dan efisiensi penyerapan pupuk di lahan salin, selain penggunaan varietas unggul yang toleran terhadap salinitas, kadar garam dalam tanah perlu diturunkan dengan penggunaan bahan organik seperti kompos dan mikroba. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti agregasi dan permeabilitas tanah, memperbaiki sifat kimia tanah seperti kapasitas tukar kation (KTK) tanah, daya sangga tanah, ketersediaan beberapa unsur hara, dan efisiensi penyerapan P. Unsur P dapat memperbaiki biologi tanah, yaitu sebagai sumber energi utama bagi aktivitas jasad renik tanah. Mengingat pentingnya bahan organik, maka penggunaannya pada lahan-lahan yang kesuburannya mulai menurun perlu menjadi perhatian untuk menjaga kelestarian sumber daya lahan tersebut.
Salinitas merupakan salah satu masalah yang cukup serius yang mengakibatkan berkurangnya hasil dan produktivitas pertanian. Salinitas didefinisikan sebagai adanya garam terlarut dalam konsentrasi yang berlebihan dalam larutan tanah. Salah satu strategi untuk memanfaatkan tanah salin adalah memilih kultivar tanaman yang toleran terhadap kadar garam yang tinggi (Yuniati, 2004). Salinitas memberikan suatu efek bagi dunia
pertanian secara signifikan yaitu dapat mengurangi produktivitas dari tanaman pertanian (Tuteja, 2005).
Salinitas mengurangi pertumbuhan dan hasil tanaman pertanian dan pada kondisi terburuk dapat menyebabkan gagal panen. Pada kondisi tanah salin, pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat karena akumulasi berlebihan Na+ dan Cl- dalam sitoplasma, yang menyebabkan perubahan metabolisme di dalam sel serta aktivitas enzim terhambat oleh garam. Kondisi tersebut juga mengakibatkan dehidrasi parsial sel dan hilangnya turgor sel karena berkurangnya potensial air di dalam sel. Berlebihnya Na+ dan Cl- ekstraselular juga memengaruhi asimilasi nitrogen karena secara langsung menghambat penyerapan nitrat (NO3) yang merupakan ion
penting untuk pertumbuhan tanaman. Selain itu, beberapa gejala akibat cekaman garam juga tampak pada tanaman yang mengalami kekeringan (Yuniati, 2004).
Pada tanah salin, potensial osmotik larutan tanah sama dengan yang diakibatkan oleh kekeringan (kemarau), sehingga beberapa gejala akibat cekaman garam juga tampak pada tanaman yang mengalami kekeringan (Yuniati, 2004). Cekaman air dapat disebabkan oleh beberapa kondisi lingkungan yang memacu kehilangan air dari sel seperti kekeringan, kegaraman, dan cekaman udara dingin (Sugiharto et al., 2003).
Jenis leguminosa pakan yang banyak dijumpai di Indonesia adalah lamtoro, turi, dan kalopogonium, serta sedikit sentrosema. Bakteri rhizobium yang diisolasi dari keempat jenis leguminosa tersebut mampu bertahan hidup pada media dengan konsentrasi garam NaCI sangat tinggi yaitu 12.000 ppm. Leguminosa pohon lebih tahan terhadap salinitas dibandingkan dengan leguminosa penutup tanah.
Lahan Sub-optimal di Indonesia
3.4. Lahan bekas tambang
Masalah utama pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan topografi lahan. Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim mikro serta penurunan produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau gundul. Mengacu kepada perubahan tersebut perlu dilakukan upaya reklamasi. Selain bertujuan untuk mencegah erosi atau mengurangi kecepatan aliran air limpasan, reklamasi dilakukan untuk menjaga lahan agar tidak labil dan lebih produktif. Akhirnya reklamasi diharapkan menghasilkan nilai tambah bagi lingkungan dan menciptakan keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.
Revegetasi
Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tumbuh, pemberian tanah pucuk dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara dan keracunan mineral. Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis tanaman, dan pemanfaatan mikoriza.
Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi untuk kondisi tanah belum tentu. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh,
misalnya sengon (Albizia falcataria), yang telah terbukti adaptif untuk lahan bekas tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan sebelum tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk.
Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, dapat ditentukan dari persentase daya tumbuhnya, persentase penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut, peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsinya sebagai filter alami. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam merestorasi lahan bekas tambang (Rahmawaty, 2002).
Lahan bekas tambang tidak selalu dikembalikan ke peruntukan semula. Hal ini tergantung pada penetapan tata guna lahan wilayah tersebut.
Sejumlah bahan organik telah dicoba di lahan bekas tambang timah untuk memperoleh jenis dan dosis yang tepat. Naning et al. (1999) melaporkan penggunaan seresah akasia dan bahan organik kalopo (Calopogonium mucunoides). Hasil penelitian menunjukkan penggunaan bio-organik (kompos, asam humat, dan top soil) potensial digunakan untuk menggantikan aplikasi top soil standar pada reklamasi lahan bekas tambang. Menurut Hanura (2005), pemberian kompos 200 ton/ha pada sandy tailing dan humic tailing memberikan pengaruh terbaik terhadap sifat-sifat kimia bahan tailing. Dari penelitian Santi (2005) diperoleh kesimpulan bahwa perbaikan tailing dengan overburden dan kompos dapat meningkatkan pertumbuhan nilam. Komposisi media terbaik yaitu 50% tailing, 30% overburden dan 20% kompos.
Jenis bahan organik yang lazim digunakan untuk reklamasi lahan pasca tambang timah adalah pupuk kotoran ternak seperti
Lahan Sub-optimal di Indonesia
kotoran sapi dan ayam. Kotoran ternak dikomposkan bersama-sama dengan seresah dengan menggunakan aktivator untuk mempercepat pelapukan. Selain dari kotoran ternak, potensi bahan organik yang dapat dimanfaatkan adalah sampah organik dan limbah padat dari pabrik pengolahan kelapa sawit.
Tanaman leguminosa yang dapat digunakan antara lain adalah sentro (Centrosema pubescens), puero (Pueraria javanica), dan kalopo (Calopogonium mucunoides) serta untuk rumput adalah akar wangi (Vetiveria zizanoides), Paspalum sp.,
Brachiaria decumbens, dan Panicum maximum. Penanaman
dilakukan pada guludan atau bedengan.
Jenis tanaman penutup tanah yang digunakan di lokasi bekas tambang ini adalah rumput signal (Brachiaria decumbens Stapf). Namun, karena pertumbuhannya yang cepat dan sukar dikendalikan, penanaman jenis rumput ini harus hati-hati agar tidak berubah menjadi gulma.
Selain rumput signal, di Kalimantan Timur digunakan juga rumput brachiaria (Brachiaria humidicola) yang merupakan rumput pakan utama sapi. Rumput ini diintroduksi ke Kaltim pada dekade 1990-an. Rumput ini sengaja ditanam oleh peternak sapi yang menggembalakan sapinya di areal bekas tambang batu bara.
Rumput brachiaria bersama kalopo yang banyak mengandung protein, merupakan tanaman pakan yang dapat tumbuh cepat menutupi lahan terbuka bekas galian tambang batu bara.
4. TANAMAN PAKAN
Diperkirakan di dunia terdapat sekitar 10.000 spesies rumput (keluarga Gramineae). Dari sebanyak itu kisaran daya hasilnya sangat beragam mulai dari yang sangat sedikit sampai yang mampu memberikan hasil di atas 500 ton/ha/tahun seperti rumput raja (Pennisetum purpurhoides). Demikian juga ketahanannya atau sifat toleransinya terhadap berbagai tekanan
(stress). Ada yang toleran kekeringan, ada yang toleran
genangan air. Ada yang mampu hidup pada tanah masam, ada yang toleran terhadap salinitas, ada pula yang hanya bisa hidup pada tanah subur. Rumput juga ada yang bisa bertahan pada tanah pasir namun ada juga yang hidup hanya pada tanah lempung.
Keberhasilan usaha peternakan, khususnya ruminansia sangat tergantung pada ketersediaan pakan hijauan, baik kuantitas, kualitas maupun kesinambungannya. Namun demikian upaya untuk mendapatkan hal tersebut adalah dengan menggunakan varitas unggul yang mempunyai potensi hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit serta terhadap kondisi iklim setempat.
Salah satu faktor yang menentukan baik-buruknya perkembangan ternak ruminansia adalah pakan. Pakan sendiri dapat digolongkan ke dalam sumber protein, sumber energi dan sumber serat kasar. Hijauan pakan ternak merupakan sumber serat kasar yang utama. Selain itu hijauan pakan dari keluarga leguminosa juga merupakan sumber protein bagi ternak.
Di dalam sistem pemeliharaan ternak tradisional di Indonesia, hijauan pakan merupakan bagian terbesar dari seluruh pakan yang diberikan, dengan demikian hijauan pakan yang pada umumnya terdiri atas rumput dan leguminosa merupakan bagian yang sangat penting di dalam usahatani ternak.
Sampai sejauh ini, sebagian besar hijauan pakan yang diberikan kepada ternak di Indonesia berupa rumput lokal atau
Tanaman Pakan
rumput asli, yang sering juga disebut (dengan salah kaprah) sebagai rumput alam, baik yang berasal dari padang penggembalaan umum, maupun dari tempat-tempat lain seperti pematang sawah, pinggir jalan, pinggir hutan, saluran irigasi atau perkebunan.
Sebagian besar populasi ternak potong Indonesia berada di wilayah lahan kering beriklim kering seperti di Nusa Tenggara Timur (BPS, 2010) atau di lahan kering dengan musim kering yang cukup panjang seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian Utara. Di kedua provinsi tersebut luas lahan kering beriklim kering mencapai lebih dari tiga juta hektar (Hidayat dan Mulyani, 2005).
4.1. Rumput
Bagi mereka yang dalam pekerjaan sehari-harinya tidak banyak berkecimpung dalam hijauan pakan, ada baiknya diperkenalkan dahulu istilah-istilah dan nama sebutan dari beberapa bagian rumput, supaya pembaca lebih mudah mencerna isi buku ini.
Rumput, baik rumput lokal maupun rumput unggul, terdiri atas akar, batang yang lunak, daun dan bunga (Gambar 2). Sebagian rumput ada yang tumbuh membentuk rumpun, ada yang memiliki stolon (batang yang menjalar di permukaan tanah), dan ada juga yang memiliki rizoma (rimpang) yaitu batang yang tumbuh menjalar di bawah permukaan tanah. Dari buku-buku stolon dan rizoma ini tumbuh akar serabut. Semua rumput berakar serabut.
Daun rumput biasanya berbentuk pita, yaitu tulang daun yang sejajar dan ujungnya lancip, baik rumput yang kecil (rumput kawat) maupun rumput yang besar (rumput gajah). Namun ada juga yang daunnya berbentuk lanset atau tombak.
Rumput lokal
Pada umumnya peternak di desa-desa tidak membedakan antara rumput dari keluarga Gramineae dengan tumbuhan lain dari keluarga bukan Gramineae. Bagi mereka semua tumbuhan
(herba) yang dapat dimakan ternak adalah “rumput”. Dengan
demikian yang dimaksud dengan rumput bagi peternak termasuk tumbuhan berdaun lebar dan teki-tekian. Namun yang dimaksud dengan rumput lokal di dalam buku ini hanya spesies-spesies yang termasuk keluarga Gramineae saja.
Rumput lain yang tidak termasuk keluarga Gramineae tetapi sering diberikan kepada dan dimakan oleh ternak dilampirkan di dalam daftar tersendiri dan tidak diuraikan dengan panjang lebar.
Gambar 2. Morfologi dan bagian bagian rumput
Akar serabut Batang bawah
Tanaman Pakan
Rumput introduksi
Rumput introduksi atau rumput unggul adalah jenis-jenis rumput (khususnya rumput pakan) yang sengaja didatangkan ke Indonesia karena mempunyai keunggulan dalam hal produksi hijauan dibandingkan dengan rumput lokal. Beberapa di antaranya sudah dikenal dengan baik oleh masyarakat peternak sehingga sudah dianggap sebagai rumput asli Indonesia atau rumput lokal.
Rumput-rumput yang sudah dianggap sebagai rumput lokal antara lain, rumput gajah (aspa, kolonjono), sorghum dan rumput brachiaria yang sering disebut sebagai rumput bebe, rumput bede dan rumput beha. Rumput setaria juga sebenarnya rumput introduksi, namun sekarang sudah menyebar di mana-mana sehingga banyak yang menganggapnya sebagai rumput lokal dan sering dinamai atau disebut dengan nama rumput lampung.
Keunggulan dari rumput introduksi terutama pada daya hasil atau produktivitasnya yang sangat tinggi dibandingkan dengan rumput-rumput lokal. Sekalipun demikian rumput unggul ini tidak selalu memperlihatkan daya hasil seperti di tempat asalnya karena untuk tumbuh baik dan berproduksi tinggi diperlukan persyaratan tumbuh seperti di tempat asalnya. Namun demikian produksinya akan tetap lebih tinggi dibandingkan dengan rumput lokal.
4.2. Leguminosa
Semua leguminosa perdu/pohon mempunyai perakaran yang dalam (akar tunggang) untuk mendapatkan air maupun nutrisi sehingga mempunyai kemampuan untuk berfungsi sebagai tanaman penghijauan, reklamasi daerah kritis.
Beberapa jenis leguminosa pohon ada yang digunakan sebagai pagar hidup, atau sebagai tanaman pelindung/penaung di perkebunan, juga sebagai tanaman untuk peternakan lebah.
Karena tidak semua daun leguminosa perdu/pohon disukai ternak (palatabel), sebagian ternak mungkin memerlukan waktu sebelum menyukai jenis-jenis leguminosa yang belum biasa diberikan sebelumnya. Untuk itu kepada ternak perlu dibiasakan untuk mengenalnya terlebih dahulu.
Hijauan leguminosa, baik herba maupun pohon, adalah hijauan yang mempunyai nilai gizi lebih tinggi dibandingkan dengan rumput. Kandungan protein kasarnya juga tinggi, selain itu juga mengandung mineral yang dibutuhkan oleh ternak lebih banyak dibandingkan dengan rumput. Leguminosa pohon juga merupakan sumber vitamin A, oleh karenanya pemberian rumput yang dikombinasikan dengan leguminosa sangat disarankan karena disamping relatif murah dan mudah dibudidayakan, daun leguminosa dapat mengurangi kebutuhan akan konsentrat yang harganya relatif mahal.
Biasanya leguminosa ditanam dengan bijinya. Beberapa leguminosa pohon bisa juga ditanam dengan stek batangnya, seperti misalnya gamal. Di Indonesia leguminosa terdapat di lahan-lahan pertanian. Gamal dan lamtoro banyak ditanam sebagai pagar hidup, sementara leguminosa menjalar biasanya ditanam sebagai penutup tanah di perkebunan-perkebunan.
Jenis-jenis yang bisa dimakan manusia seperti hiris (Cajanus
cajan) dan turi (Sesbania grandiflora) biasa terdapat di
pekarangan atau di lahan pertanian. Sebagai pakan, leguminosa biasanya dipotong dan diberikan di kandang (cut and carry).
Sebagai tanaman konservasi tanah, leguminosa perdu biasa juga ditanam di bibir teras-teras, sedangkan leguminosa pohon seperti kaliandra ditanam di lereng-lereng dan tebing.
Seperti tanaman lainnya, tidak semua leguminosa bisa tumbuh dengan baik di semua kondisi iklim. Beberapa jenis tumbuh baik pada tanah masam sedangkan sebagian yang lain tidak bisa tumbuh. Komponen iklim dan kondisi tanah yang mempengaruhi tanaman pakan ternak antara lain musim,
Tanaman Pakan
terutama panjangnya musim kemarau, suhu, kesuburan tanah, kemasaman tanah dan aerasi.
Yang dimaksud dengan leguminosa herba di dalam buku ini adalah jenis-jenis leguminosa yang pertumbuhannya menjalar atau berupa perdu, seperti sentro, kalopo, arachis, stylo dan sebagainya. Leguminosa ini selain dapat digunakan sebagai pakan ternak biasanya juga digunakan sebagai tanaman penutup tanah di perkebunan atau sebagai penguat bibir dan tampingan teras di lahan-lahan yang miring.
5. JENIS-JENIS TANAMAN PAKAN TOLERAN UNTUK LAHAN SUB-OPTIMAL
Lahan sub-optimal seperti lahan rawa, rawa lebak, lahan kering beriklim kering yang terdapat di Indonesia sangat luas, namun pemanfaatannya untuk pertanian belum optimal. Ketersediaan inovasi teknologi untuk pengembangan lahan sub-optimal juga masih terbatas.
Keberhasilan usaha peternakan, khususnya ruminansia sangat tergantung pada ketersediaan pakan hijauan, baik kuantitas, kualitas maupun kesinambungannya. Namun demikian upaya untuk mendapatkan hal tersebut adalah dengan menggunakan varitas unggul yang mempunyai potensi hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit serta terhadap kondisi iklim setempat.
Salah satu jenis leguminosa yang toleran pada lahan sub-optimal adalah Indigofera sp. Leguminosa ini toleran terhadap kondisi tanah kering, tanah kadar garam, asam, serta logam berat (Hassen et al., 2007).
Jenis-jenis Tanaman Pakan Toleran untuk Lahan Sub-optimal
Rumput gamba
Gambar 3. Rumput gamba
Nama botanis : Andropogon gayanus
Asal dan : Afrika tropis
penyebaran
Fungsi : Rumput penggembalaan dan rumput potongan.
Morfologi : Tinggi tegak membentuk rumpun yang lebat;
Permukaan dan pangkal daun tertutup bulu halus;
Perakaran dalam.
Habitat : Tinggi tempat 0 – 2.000 m dpl;
Curah hujan 600 – 2.500 mm per tahun;
Tahan musim kering sampai 8 bulan; Tidak tahan genangan air;
Dapat beradaptasi pada berbagai kondisi tekstur tanah; pH tanah dari masam (pH 3,5) sampai tanah alkalis.
Agronomi : Mudah ditanam dari anakan (pols);
Cepat tumbuh kembali setelah berakar;
Mudah dipotong dan memerlukan pemotongan yang teratur;
Dapat tumbuh baik tanpa pemupukan;
Dapat ditanam bersama dengan Stylosanthes
guianensis dan Centrosema sp.;
Pemotongan setiap 6 minggu;
Produksi benih 100 – 450 kg/ha;
Produksi hijauan 20 ton/ha bahan kering.
Rumput bede
Gambar 4. Rumput bede
Nama botanis : Brachiaria decumbens
Nama lain : Jukut inggris (Sunda) signal grass, palisade grass, para
grass, buffalo grass, water grass, ruzi grass (Inggris).
Asal dan : Afrika Timur, sekarang sudah tersebar di Asia Tenggara
penyebaran dan Pasifik.
Fungsi : Rumput penggembalaan dan rumput potongan.
Morfologi : Tanaman berumur panjang;
Menjalar dengan stolon membentuk hamparan lebat
setinggi 80 – 150 cm;
Daun berbulu warna hijau gelap;
Bunga tersusun dalam malai yang menyerupai bendera;
Tahan penggembalaan berat.
Habitat : Tumbuh pada ketinggian 1.200 – 1.750 m dpl;
Dapat tumbuh pada curah hujan 1500 mm/tahun; Toleran terhadap jenis tanah dengan kisaran cukup luas
mulai dari berstruktur ringan sampai berat dengan pH 6 – 7;
Tahan terhadap kekeringan selama 6 bulan, dan terhadap cuaca dingin, juga toleran terhadap pengembalaan;
Sangat rensponsif terhadap pemupukan nitrogen; Mampu tumbuh pada lereng terjal;
Jenis-jenis Tanaman Pakan Toleran untuk Lahan Sub-optimal
Agronomi : Penanaman dengan biji atau pols;
Jarak tanam apabila ditanam dengan pols sebaiknya 30 x 30 cm atau disesuaikan dengan kondisi tanah. Kalau ditanam sebagai penguat teras jarak tanamnya bisa 20 cm. Apabila ditanam dengan biji, takarannya ± 2 kg/ha;
Pemanenan pertama umur 60 hari setelah tanam; Pada musim hujan interval panen 40 hari dan musim
kemarau 50 – 60 hari;
Tinggi pemotongan 5 – 10 cm dari permukaan tanah;
Kandungan protein 8 – 10% tergantung kultivar;
Produksi berat segar 80 – 150 ton/ha/tahun tergantung
varitas;
Responsif terhadap pemupukan nitrogen;
Dengan produksi berat segar 100 sampai 150 ton/ha
per tahun atau sekitar 12,5 – 18,75 ton satu kali
pemotongan, berarti mencukupi kebutuhan untuk 9 – 13
Rumput bebe
Gambar 5. Rumput bebe
Nama botanis : Brachiaria brizantha
Nama lain : Rumput bebe (Indonesia), jukut inggris (Sunda), signal
grass, palisadegrass (Inggris)
Asal dan : Afrika tropis
penyebaran
Fungsi : Rumput potongan dan padang penggembalaan, baik
untuk hay dan silase
Morfologi : Tanaman semak tinggi mencapai 120 cm;
Batangnya tegak dengan tangkai bunga bisa mencapai 180 cm;
Daunnya panjang dan tipis.
Habitat : Sangat cocok untuk daerah tropis lembab dengan
musim kering kurang dari 6 bulan. Tinggi tempat 0 –
3000 m dpl. Tumbuh dengan baik pada berbagai jenis tanah termasuk tanah berpasir dan tanah masam
dengan pH 3,5 – 4. Berkembang baik sekali pada tanah
yang subur. Pertumbuhannya kurang baik pada tanah yang drainasenya buruk;
B. brizantha merupakan rumput penggembalaan yang
tumbuh baik pada tanah kering. Namun ada kelemahannya, di Australia dilaporkan menyebabkan ternak yang memakannya peka terhadap sinar matahari.
Jenis-jenis Tanaman Pakan Toleran untuk Lahan Sub-optimal
Agronomi : Penanaman dengan biji atau pols;
Jarak tanam apabila ditanam dengan pols sebaiknya 30 x 30 cm atau disesuaikan dengan kondisi tanah; Kalau ditanam sebagai penguat teras jarak tanamnya bisa 20 cm;
Apabila ditanam dengan biji, takarannya ± 2 kg/ha; Pemanenan pertama umur 60 hari setelah tanam. Pada musim hujan interval panen 40 hari dan musim kemarau 50 – 60 hari;
Tinggi pemotongan 5 – 10 cm dari permukaan tanah.
Responsif terhadap pemupukan nitrogen;
Dengan produksi berat segar 100 sampai 150 ton/ha/
tahun atau sekitar 12,5 – 18,75 ton satu kali
pemotongan, berarti mencukupi kebutuhan untuk 9 – 13
ekor sapi dengan berat badan 300 kg. Kombinasi yang
baik dengan Arachis pintoi, Centrosema pubescens,
Desmodium ovalifolium dan Stylosanthes spp.
Perbanyakan : Dengan biji, dengan sobekan rumpun atau dengan stek batang. Perbanyakan dengan biji yang baru dipanen lambat pertumbuhannya karena mempunyai sifat dorman;
Sifat dorman ini dapat diatasi dengan perendaman
dalam asam atau biji disimpan dulu selama 6 – 8 bulan.
Produksi : Produksi benih 100 – 500 kg/ha;
Produksi bahan kering 20 ton/ha;
Produksi berat segar 80 – 150 ton/ha/tahun tergantung
varitas;
Rumput beha
Gambar 6. Rumput beha
Nama botanis : Brachiaria humidicola
Nama lain : Rumput beha (Indonesia)
Asal dan : Afrika bagian Timur dan Selatan
penyebaran
Fungsi : Rumput padang penggembalaan
Morfologi : Menyebar dengan stolon dan rizoma;
Membentuk hamparan yang lebat dan sangat tahan penggembalaan berat.
Habitat : Tumbuh pada ketinggian 1.000 – 2.000 m dpl;
Curah hujan 1.300 mm/tahun. Toleran terhadap kesuburan tanah yang rendah. Tahan terhadap genangan air. Toleran terhadap panas; kekeringan sampai 4 bulan dan dapat tumbuh kembali setelah terbakar. Responsif terhadap pemupukan N. Dapat beradaptasi pada semua jenis tanah dan pada pH tanah rendah (asam) sampai tinggi (basa).
Agronomi : Kombinasi yang baik dengan siratro dan sentro.
Kombinasi terbaik adalah dengan Arachis pintoi
Perbanyakan : Dengan biji 2 - 5 kg/ha atau dengan sobekan rumpun
Jenis-jenis Tanaman Pakan Toleran untuk Lahan Sub-optimal
Rumput gajah
Gambar 7. Rumput gajah
Nama botanis : Pennisetum purpureum
Nama lain : Kolonjono (Jawa), aspa (Sunda), elephant grass, napier
grass, uganda grass (Inggris)
Kultivar : P. purpureum cv Afrika (tinggi dan sangat produktif);
P. purpureum cv Hawai (lebih kecil daripada cv Afrika);
P. purpureum cv Trinidad (tidak tahan penyakit);
P. purpureum cv Merkeri (tidak tinggi, daun dan batang
sangat kecil, tahan kering);
P. purpureum cv Mott (kerdil, cocok untuk
pengembalaan).
Asal dan : Berasal dari Nigeria dan tersebar luas di seluruh
Penyebaran wilayah tropis;
Rumput ini masuk ke Indonesia dari Afrika pada akhir masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1926. Di Indonesia mula-mula disebarkan di daerah peternakan sapi perah; seperti di Jawa Barat; Jawa Tengah dan Jawa Timur; namun sekarang sudah tersebar juga di wilayah peternakan sapi potong.
Fungsi : Padang penggembalaan dan rumput potong.
Morfologi : Tumbuh tegak membentuk rumpun. Tinggi tanamannya
bisa mencapai 1,8 sampai 4,5 m tergantung pada kultivarnya dengan diameter batang 3 cm;
(kultivar Mott) tetapi nilai gizinya cukup tinggi. Perakarannya kuat dan cukup dalam; rhizoma atau
rimpang pendek; pada umur 4 – 5 tahun kumpulan
batang di bagian bawah membentuk bonggol sehingga perlu diremajakan;
Batangnya berbuku dan keras bila sudah tua;
Daunnya keras dan berbulu, panjangnya bisa mencapai
90 cm dan lebarnya 8 – 35 cm;
Bunganya tersusun dalam tandan dengan panjang 30 cm, berwarna keemasan namun bijinya sulit didapat.
Habitat : Dapat tumbuh baik di dataran rendah dan dataran tinggi
dan pada berbagai jenis tanah dengan curah hujan di atas 1.000 mm/tahun;
Rumput ini dilaporkan juga tahan terhadap naungan. Kurang tahan terhadap genangan air. Menghendaki tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Responsif terhadap pemupukan.
Agronomi : Penanaman dengan pols dan stek; panjang stek 20 –
30 cm (mempunyai dua mata tunas);
Jarak tanaman 1 m x 1 m, dapat disesuaikan dengan
kondisi tanah. Pemanenan pertama umur 60 – 80 hari
setelah tanam. Pada musim hujan interval panen 30 –
40 hari dan musim kemarau 50 – 60 hari. Tinggi
pemotongan 15 – 20 cm dari permukaan tanah.
Kandungan protein rumput ini sekitar 7,6% (tergantung pada kultivar), sedangkan daya hasil mencapai 350 sampai 525 ton bobot segar per ha per tahun Hasil
Jenis-jenis Tanaman Pakan Toleran untuk Lahan Sub-optimal
Rumput benggala
Gambar 8. Rumput benggala
Nama botanis : Panicum maximum
Nama lain : Suket londo (Jawa). gunggung; rebha luh-buluhan
(Madura); guinea grass (Inggris).
Kultivar : P. maximum cv Hamil (tidak tahan kering);
P. maximum cv Coloniao (agak tahan kering);
P. maximum cv Comon (tidak tahan embun beku );
P. maximum cv Gatton (tahan dalam kondisi kering);
P. maximum cv Makueni (tahan pengembalaan);
P. maximum cv Trichoglune (tahan naungan);
P. maximum cv Riversdale (tahan naungan);
P. maximum cv Purple guinea (tahan kering).
Asal dan : Berasal dari Afrika tropika dan sub-tropika;
penyebaran sekarang tumbuh di semua daerah tropika;
Masuk ke Indonesia tahun 1865 sebagai tanaman makanan ternak dan dibudidayakan karena nilai gizi yang tinggi sebagai makanan ternak.
Fungsi : Rumput potongan
Morfologi : Tumbuh tegak membentuk rumpun;
Tingginya bisa mencapai 2 m, tergantung varietasnya.
Akar serabut dengan rizoma pendek. Rumput ini
berakar dalam sehingga dapat bertahan agak lama pada musim kemarau; walaupun tidak betul-betul tahan
sedikit berbulu. Bunga membentuk mayang; apabila berbiji; mudah rontok. Tahan naungan. Setelah terbakar cepat tumbuh kembali.
Habitat : Cocok untuk dataran rendah dan dataran tinggi (1700 m
dpl) dengan curah hujan 600 – 1800 mm/tahun;
Pada ketinggian di atas 1400 m dpl tidak dapat
berbunga. Masih bisa tumbuh pada tanah dengan solum tipis dan berbatu; tahan terhadap naungan dan
kekeringan. Tumbuh baik pada pH tanah 5 – 8;
Cocok ditanam di lahan-lahan yang banyak pohonnya. Tumbuh baik pada daerah lembab tropis dengan curah hujan lebih dari 1000 mm/tahun;
Dapat beradaptasi pada berbagai tipe tanah tetapi tumbuh sangat baik pada tanah dengan kesuburan sedang dan tinggi dan drainasi baik.
Agronomi : Penanaman dengan biji dan pols; bisa juga dengan stek
batang. Jarak tanam 60 x 60 m atau disesuaikan dengan kondisi tanah. Pemanenan pertama umur 90 hari setelah tanam;
Ininterval panen pada musim hujan 30 – 40 hari dan
musim kemarau 50 – 60 hari. Tinggi pemotongan
sebaiknya 5 – 10 cm dari permukaan tanah. Hijauan
segar bisa mencapai 100 – 150 ton/ha/tahun;
Kandungan protein kasar 5,5 – 9,5% tergantung pada
varietasnya. Dengan produksi berat segar 100 sampai 150 ton/ha/tahun (satu kali pemotongan interval 45 hari
adalah 12,5 – 18,75 ton) berarti dapat mencukupi
kebutuhan ternak sebanyak kurang lebih 9 –13 ekor
sapi dengan berat badan 300 kg. Dapat ditanam bersama siratro dan sentro; serta glycine dan leguminosa lainnya.
Perbanyakan : Dengan biji 2,2 kg/ha, jika ditanam bersama tanaman lain dan 6,7 kg biji/ha untuk tanaman murni.
Jenis-jenis Tanaman Pakan Toleran untuk Lahan Sub-optimal
Rumput setaria
Gambar 9. Rumput setaria
Nama botanis : Setaria sphacelata
Nama lain : Rumput lampung (Indonesia); broadleafed setaria
golden timothy
spesies dan : S. anceps (tahan embun beku) kultivar lain;
S. nandi (tahan terhadap tanah masam genangan air);
S. kazungula, S. narok (keduanya mengandung asam
oksalat yang tinggi);
S. sphacelata (tahan terhadap genangan air).
Asal dan : Berasal dari Afrika tropika dan subtropika;
penyebaran sekarang menyebar ke Asia dan Australia.
Fungsi : Rumput potongan.
Morfologi : Tumbuh tegak membentuk rumpun;
Rizoma pendek serta stolon dengan buku-buku yang rapat. Pangkal batang biasanya berwarna kemerahan. Banyak menghasilkan anakan. Daun lebar agak berbulu pada permukaan atas, tekstur daun halus dan sangat lunak. Bunga berbentuk tandan warna coklat keemasan. Tumbuh membentuk rumpun;
Tinggi tanaman dapat mencapai 1 m.
Habitat : Dapat tumbuh pada curah hujan tidak kurang dari 750
sampai 1000 mm/tahun. Toleran terhadap jenis tanah dengan kisaran yang cukup luas dari berpasir sampai
liat. Baik tumbuh di dataran tinggi (0 – 2.000 m atau
olah tanahnya cukup dalam, tahan terhadap embun beku.
Agronomi : Penanaman dengan pols atau biji (dosis 2 – 5 kg/ha);
Apabila ditanam dengan pols jarak tanamnya 40 x 40 cm atau disesuaikan dengan kondisi tanah. Sebagai penguat teras bisa ditanam dengan jarak 20 cm;
Panen pertama umur 45 – 60 hari setelah tanam.
Interval panen pada musim hujan 40 hari dan pada
musim kemarau 50 – 60 hari. Sangat responsif
terhadap pemupukan nitrogen. Tinggi pemotongan 5 –
10 cm dari permukaan tanah. Kandungan protein 6 –
7% tergantung kultivar;
Produksi berat segar 100 – 110 ton/ha/tahun tergantung
varietas. Mengandung kadar asam oksalat yang cukup tinggi (7% dari bahan kering). Apabila diberikan terlalu banyak dapat menyebabkan kematian pada ternak; Dengan produksi berat segar 100 sampai 110
ton/ha/tahun (satu kali pemotongan interval 45 hari
adalah 12,5 – 13,75 ton) berarti dapat mencukupi
kebutuhan ternak sebanyak kurang lebih 9 – 11 ekor
Jenis-jenis Tanaman Pakan Toleran untuk Lahan Sub-optimal
Sentro
Gambar 10. Sentro
Nama botanis : Centrosema pubescens
Nama lain : Sentro (Indonesia), Butterfly pea (Inggris)
Spesies dan : Ada beberapa spesies kacang sentro yang dikenal saat
kultivar lain ini di Indonesia diantaranya Centrosema pubescens
dan C. Macrocarpom.
Di Jawa Centrosema plumieri dikenal sebagai kacang
ketopong. Merupakan hijauan pakan ternak dengan kualitas tinggi, mengandung protein yang tinggi.
Asal dan : Amerika Tengah dan Selatan;
penyebaran Sekarang sudah menyebar ke wilayah tropis di seluruh dunia.
Fungsi : Pupuk hijau dan penutup tanah selain campuran rumput
di padang penggembalaan
Morfologi : Tumbuhan menjalar; memanjat dan melilit;
Batang agak berbulu; tidak berkayu.
Ekologi : Dapat beradaptasi pada tanah yang tidak terlalu subur
dan tanah masam. Juga bisa tumbuh pada tanah tergenang atau drainasenya jelek;
Responsif terhadap pemupukan P.
Agronomi : Biasanya ditanam dengan biji;
Semakin rapat penanaman semakin cepat menutup tanah;
Cocok untuk daerah tropis basah dengan curah hujan
1.500 mm atau lebih. Kandungan protein kasar 16 –
19% dari bahan kering.
Di Australia pada musim panas kandungan PK bisa mencapai 23%;
Apabila ditanam secara monokultur daya hasilnya bisa sampai 12 t BK/ha/tahun; namun di dalam pertanaman campuran hanya 3 t BK/ha/tahun.
Jenis-jenis Tanaman Pakan Toleran untuk Lahan Sub-optimal
Stilo
Gambar 11. Stilo
Nama botanis : Stylosanthes guianensis
Nama lain : Brazilian lucerne
Spesies dan : Spesies dan kultivar yang dikenal di Indonesia antara
kultivar lain lain Stylosanthes guianensis (cv Cook; cv Schofield; cv
Graham; cv Endeavour). S. hamata cv Verano; S.
humilis dan S. scabra.
Asal dan : Berasal dari Brazilia; Argentina dan Meksiko;
Penyebaran Sekarang sudah tersebar di daerah tropis; terutama di padang-padang rumput.
Fungsi : Selain sebagai tanaman untuk padang penggembalaan
dan hijauan potongan dapat digunakan juga sebagai penutup tanah di perkebunan dan sebagai pupuk hijau.
Morfologi : Berupa perdu pendek yang tumbuhnya agak tegak
sampai tegak;
Tingginya bisa mencapai 1,5 m; Akar tunggang sangat kuat;
Batang berwarna coklat; berambut, agak keras dan semakin lama semakin keras dan berkayu;
Percabangannya banyak;
Daun berbentuk elips (bulat telur) sampai lancip,
panjang 4 – 5 cm, lebar 2 cm;
Bunga kecil-kecil berwarna kuning atau jingga. Bisa menghasilkan polong berbiji tunggal;
Habitat : Dapat beradaptasi pada berbagai kondisi iklim dan tanah; termasuk tanah kurang subur dan tanah masam. Sangat cocok untuk wilayah iklim lembab dan hangat dengan curah hujan 1500 mm/tahun; Namun ada juga jenis yang mampu tumbuh pada curah hujan di bawah 1500 mm/tahun.
Agronomi : Penanaman dengan biji yang ditebar pada musim
hujan; biji yang baru mempunyai daya kecambah 5% tapi setelah skarifikasi dapat mencapai 90%;
Bisa juga disemaikan terlebih dahulu di persemaian.
Takaran yang biasa digunakan adalah 2 – 3 kg biji per
ha.
Inokulasi biji perlu dilakukan. Dapat ditanam dengan rumput lain khususnya rumput guinea dan rumput molases; tetapi sebaiknya jangan ditanam dengan rumput menjalar yang agresif seperti rumput pangola. Tanaman monokultur dapat menghasilkan bahan kering 10 ton/ha. Apabila ditanam dengan rumput, hasilnya
Jenis-jenis Tanaman Pakan Toleran untuk Lahan Sub-optimal
Kalopo
Gambar 12. Kalopo
Nama botanis : Calopogonium mucunoides
Nama lain : Kacang asu (Jawa)
Spesies dan : Selain C. mucunoides yang banyak ditanam
kultivar lain di Indonesia adalah C. caeruleum
Asal dan : Berasal dari wilayah Amerika yang beriklim tropis;
penyebaran Sekarang sudah menyebar ke wilayah tropis di seluruh dunia. Masuk ke Indonesia sebagai tanaman penutup tanah dan pupuk hijau di perkebunan pada tahun 1922.
Fungsi : Merupakan hijauan pakan ternak yang berfungsi juga
sebagai tanaman penutup tanah di perkebunan.
Morfologi : Batang lunak, hijau, agak berbulu; panjangnya bisa
sampai beberapa meter dan tumbuh menjalar atau memanjat;
Berdaun tiga helai pada tangkainya; berbentuk oval; agak meruncing di ujungnya; panjangnya sampai 10
cm; lebar 2 – 5 cm, berbulu di kedua permukaannya;
Bunga berbentuk bunga kupu-kupu, berwarna kebiru-biruan;
Polongnya panjang atau melengkung, sekitar 4 cm; berwarna hijau, setelah tua menjadi kecoklat-coklatan; tiap polong berisi 3 – 8 biji.
Habitat : Cocok untuk daerah tropis basah, dengan curah hujan
1.250 mm atau lebih dengan ketinggian sampai 2000 m
dpl. Dapat beradaptasi pada tanah masam (pH 4,5 – 5) Agak tidak tahan naungan.
Agronomi : Biasanya ditanam dengan biji 1 – 3 kg/ha, semakin
rapat penanaman semakin cepat menutup tanah;
Tanaman ini tumbuhnya sangat cepat denganproduksi
daun yang tinggi, bisa membentuk hamparan yang tebal (0,5 – 1,0 m) dalam waktu 4 – 5 bulan;
Umurnya tidak panjang, hanya 1 – 2 tahun;
Kandungan protein kasarnya hanya 2,6 – 3,8% dari
bahan kering;
Walaupun demikian tetap ditanam di padang-padang rumput untuk menyuburkan tanah.
Jenis-jenis Tanaman Pakan Toleran untuk Lahan Sub-optimal
Kaliandra
Gambar 13. Kaliandra
Nama botani : Calliandra calothyrsus
Asal dan : Amerika Tengah iklim basah, kemungkinan besar dari
penyebaran Suriname; sekarang tersebar di daerah tropika lembab;
termasuk Asia Tenggara diintroduksikan ke Jawa tahun
1936.
Fungsi : Selain daun dan batang mudanya sebagai hijauan
pakan, batangnya digunakan sebagai kayu bakar dan
dapat digunakan untuk pulp (bahan pembuat kertas);
Tanaman ini bagus untuk pengendali erosi di lahan-lahan miring dan pupuk hijau. Karena bisa menambat N dari udara, baik juga untuk memperbaiki kesuburan tanah;
Bunganya komposit terdiri dari beberapa bunga. Warna bunga merah jambu sampai merah tua.
Morfologi : Merupakan pohon kecil yang bercabang banyak;
Tingginya bisa mencapai 10 m namun rata-rata 4 – 6 m;
Diameter batang sampai 30 cm. Warna batang coklat tua;
Daunnya sangat lebat. Sebagai pakan ternak telah ditanam sejak tahun 1925 dengan pemberian 2 kg/hari/ekor.
Tumbuh sangat cepat; dalam waktu 5 bulan bisa mencapai 2 m.
Ekologi : Tumbuh baik pada ketinggian 400 – 800 m dpl;
Bisa tumbuh pada wilayah dengan curah hujan 700 –
3000 mm/tahun dengan tidak lebih dari 7 bulan kering per tahun;
Di Pulau Jawa pertumbuhan yang baik dicapai pada
curah hujan. 2000 – 4000 mm/tahun
Agronomi : Tumbuh pada berbagai tipe dan kesuburan tanah;
Bisa beradaptasi pada tanah masam yang tidak begitu subur;
Dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan pH
4,5. Untuk keperluan pakan atau kayu bakar jarak tanam yang baik adalah 1 x 1 m atau 1 x 2 m; Namun untuk keperluan konservasi tanah biasanya ditanam lebih rapat dengan jarak 50 cm di dalam barisan;
Pertumbuhan tanaman dalam enam bulan bisa
mencapai 1 – 2 m;
Berkembang biak dengan biji, baik langsung maupun dikecambahkan lebih dahulu. Biji yang sudah tua mudah sekali berkecambah;
Tanaman ini bisa berbunga sepanjang tahun, namun biji biasanya dihasilkan pada musim kemarau;
Umur tanaman bisa mencapai 12 tahun. Bisa
menghasilkan bahan kering hijauan 7 – 10 ton/ha/tahun;
Walaupun kandungan taninnya tinggi (11%); tidak ada
laporan mengenai kandungan racun di daun kaliandra,
kandungan N 3 – 3,5% dan serat kasar sampai 75%
dari bahan kering;
Ternak lebih menyukai daun segar daripada yang sudah layu.
Jenis-jenis Tanaman Pakan Toleran untuk Lahan Sub-optimal
Glirisidia
Gambar 14. Glirisidia
Nama botanis : Gliricidia maculata
Nama lain : Cebreng (Sunda),gamal, kayu air (Indonesia)
Spesies dan : kultivar lain
Asal dan : Pantai Pasifik Amerika Tengah, Meksiko dan masuk
penyebaran Indonesia tahun 1960-an;
Dibudidayakan di tempat-tempat dengan ketinggian
1200 – 1500 m dpl; dari mulai Meksiko sampai bagian
Utara Amerika Selatan. Hingga sekarang tanaman telah menyebar sampai ke Indonesia; Malaysia; Thailand dan India.
Fungsi : Sebagai tanaman naungan/pelindung, pagar hidup;
Penunjang tanaman lain (vanili dan merica);
Tanaman batas pemilikan tanah (pagar) yang tidak mengganggu tanaman pertanian.
Morfologi : Batangnya berwarna coklat muda atau coklat
keputih-putihan. Seringkali cabang keluar di bagian bawah batang;
Panjang tangkai daun 15 – 40 cm mengandung 7 – 17
helai daun yang berukuran 1 x 3 cm sampai 3 x 6 cm; Bunganya berwarna merah muda pucat. Berbunga
hanya pada musim kemarau pada saat daunnya rontok; Berbentuk pohon dengan ukuran sedang. Tumbuh