• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN ROTIFER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN ROTIFER"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN ROTIFER (Brachionus

rotundiformis) DAN Artemia YANG DIPERKAYA

DENGAN DHA 70G TERHADAP KELANGSUNGAN

HIDUP DAN INTERMOLT PERIOD LARVA UDANG

VANAME (Litopenaeus vannamei)

DODI HERMAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : Pengaruh Pemberian Rotifer (Brachionus rotundiformis) dan Artemia Yang Diperkaya Dengan DHA 70G Terhadap Kelangsungan Hidup dan Intermolt Period Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei), adalah hasil karya saya sendiri dibawah arahan komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2007

Dodi Hermawan NRP. C151040121

(3)

ABSTRAK

DODI HERMAWAN. Pengaruh Pemberian Rotifer (Brachionus rotundiformis) dan Artemia yang Diperkaya dengan DHA 70G Terhadap Kelangsungan Hidup dan Intermolt Period Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Di bimbing oleh MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI dan ING MOKOGINTA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kadar DHA terhadap kandungan nutrien rotifer (Brachionus rotundiformis) dan Artemia melalui tekhnik pengkayaan dan pengaruhnya sebagai pakan alami terhadap tingkat kelangsungan hidup dan intermolt period larva udang vaname (Litopenaeus vannamei).

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap, pertama pengkayaan pada rotifer dengan DHA 70G yang diberikan pada larva vaname stadia zoea 2 sampai post larva (PL) 1, yang terdiri dari lima perlakuan yaitu: A. Pakan buatan tanpa pemberian rotifer, B. Rotifer+minyak kelapa 100 µL/L+pakan buatan, C. Rotifer+DHA 70G 25 µL/L+minyak kelapa 75 µL/L+pakan buatan, D. Rotifer+DHA 70G 50 µL/L+minyak kelapa 50 µL/L+pakan buatan, E. Rotifer+DHA 70G 75 µL/L+minyak kelapa 25 µL/L+pakan buatan . Sedangkan tahap kedua pengkayaan naupli Artemia dengan DHA 70G yang diberikan pada post larva vaname stadia PL1-PL10, yang terdiri dari empat perlakuan yaitu: A. Artemia+minyak kelapa 100 µL/L+pakan buatan, B. Artemia+DHA 70G 25 µL/L+minyak kelapa 75 µL/L+pakan buatan, C. Artemia+DHA 70G 50 µL/L+minyak kelapa 50 µL/L+pakan buatan, perlakuan D. Artemia+DHA 70G 75 µL/L+minyak kelapa 25 µL/L+pakan buatan. Parameter yang diamati adalah tingkat kelangsungan hidup, intermolt period dan kandungan asam lemak .

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengkayaan dengan DHA 70G pada rotifer dan Artemia sebanyak 25 µL/L dapat meningkatkan nilai nutrien dari rotifer dan Artemia sehingga menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik dan mempercepat intermolt period larva udang vaname.

Kata kunci : Litopenaeus vannamei, asam lemak, DHA, kelangsungan hidup, intermolt period

(4)

Period Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

(The effect of Rotifers (Brachionus rotundiformis) and Artemia enriched with DHA 70G on survival and intermolt period in white shrimp

(Litopenaeus vannamei) larvae)

Abstract

Two experiments was conducted to determine the effect of docosahexaenoic acid (DHA) on the nutritional value of rotifers (Brachionus rotundiformis) and Artemia as live food on the survival and intermolt period of white shrimp (Litopenaeus vannamei) larvae. The experiment I consisted of five treatments, where L. vannamei larvae from zoea 2 to mysis 3 fed on rotifers enriched with DHA 70G. This treatment: A. artificial feed without rotifers, B. rotifers+coconut oil 100μL/L + artificial feed, C. rotifers + DHA 70G 25μL/L + coconut oil 75μL/L + artificial feed, D. rotifers + DHA 70G 50μL/L + coconut oil 50μL/L + artificial feed, E. rotifers + DHA 70G 75μL/L + coconut oil 25μL/L + artificial feed. The experiment II consisted of four treatments, where L.vannamei larvae from post larvae 1 to post larvae 10 fed on Artemia enriched with DHA 70G. This treatmens: A. Artemia + coconut oil 100μL/L + artificial feed, B. Artemia + DHA 70G 25μL/L + coconut oil 75μL/L + artificial feed, C. Artemia + DHA 70G 50μL/L + coconut oil 50μL/L + artificial feed, D. Artemia + DHA 70G 75μL/L + coconut oil 25μL/L + artificial feed. Survival rate, intermolt period and fatty acid composition were used as evaluating parameters. Result of this experiment showed that rotifers and Artemia enriched with 25µL/L DHA 70G increase the nutritional value of live food, maintaining high survival and accelerating intermolt period in white shrimp larvae.

(5)

©Hak cipta milik Dodi Hermawan, 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

(6)

DENGAN DHA 70G TERHADAP KELANGSUNGAN

HIDUP DAN INTERMOLT PERIOD LARVA UDANG

VANAME (Litopenaeus vannamei)

DODI HERMAWAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Rotifer (Brachionus rotundiformis ) dan Artemia yang Diperkaya DHA 70G Terhadap Kelangsungan Hidup dan Intermolt Period Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Nama Mahasiswa : Dodi Hermawan NRP : C151040121 Program Studi : Ilmu Perairan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. M. Agus Suprayudi Prof. Dr. Ing Mokoginta Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perairan

Prof. Dr. Enang Harris Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro

(8)

Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1978 di Ciamis Propinsi Jawa Barat sebagai anak ketiga dari pasangan H. Achmad Uding (Alm) dan Hj. Kusminah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri XIV Banjar pada tahun 1990, pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri 1 Banjar pada tahun 1993, pendidikan lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 1 Banjar pada tahun 1996. Penulis masuk perguruan tinggi tahun 1996 pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dan mendapatkan gelar sarjana perikanan pada tahun 2001.

Pada tahun 2001 sampai dengan 2004 penulis bekerja di PT Centralpertiwi Bahari. Dari tahun 2001 – 2003 menjabat sebagai Section Head Life Food Production and Experiment, dan pada tahun 2003-2004 menjabat sebagai Section Head Fry Production.

Kemudian penulis melanjutkan pendidikan dan diterima menjadi mahasiswa pascasarjana pada Program Studi Ilmu Perairan (AIR) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan September 2004.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul ”Pengaruh Pemberian Rotifer (Brachionus rotundiformis) dan

Artemia yang Diperkaya dengan DHA 70G Terhadap Kelangsungan Hidup dan Intermolt Period Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)”. Tulisan ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Bapak Dr. M. Agus Suprayudi selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Prof. Dr. Ing Mokoginta selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah berkenan memberikan saran, bimbingan serta pengarahan selama penelitian dan penyusunan tesis.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Ir. Subandriyo selaku AVP Breeding Operation PT Centralpertiwi Bahari dan Bapak Edi Poncolaksito AMd selaku Senior Manager PT Centralpertiwi Bahari yang telah memberikan ijin dan fasilitas kepada penulis selama penelitian.

2. Bapak Dr. Dedi Jusadi atas kesediaannnya sebagai Penguji Luar Komisi. 3. Bapak Dr. Chairul Muluk dan istri yang telah memberi dukungan secara

ikhlas dan penuh perhatian sejak penulis masuk pada Program Studi Ilmu Perairan.

4. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan Ketua Program Studi Ilmu Perairan beserta staf yang telah memberi bantuan dan fasilitas selama penulis mengikuti pendidikan.

5. Khusus kepada Ayahanda (Alm) yang semasa hidupnya telah menjadi suri tauladan bagi penulis dan Ibunda tercinta yang selalu mengiringi penulis dengan doa dan kasih sayangnya.

6. Kakakku Teh Neni, Teh Nina, Kang Dedi dan keponakanku Bayu, Lutfhi, Nadhif yang terus berdoa dan mendorong keberhasilan penulis selama ini. 7. Devi Aristyani SPi yang telah memberikan kasih sayang yang tulus dan

dukungan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan tesis.

8. Novianto Kurniawan beserta istri, Antonius Edi, Tursilo dan Yuni SPi yang telah membantu penulis selama penelitian.

(10)

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu tetapi penulis yakin mereka akan bahagia karena do’a mereka terkabul.

Semoga segala bantuan dan kebaikan yang telah diberikan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin.

Mudah-mudahan tesis ini dapat bermanfaat dalam bentuk yang nyata sehingga tujuan pemanfaatan dari hasil penelitian ini dapat diperoleh.

Bogor, April 2007

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan dan Manfaat ... 3

Perumusan Hipotesa ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Perkembangan Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) ... 4

Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Stadia ... 4

Tingkat Kelangsungan Hidup dan Masa Kritis Perkembangan Larva ... 5

Pemanfaatan Pakan Alami ... 6

Rotifer... ... 6

Artemia... ... 7

Faktor Penentu Perkembangan Larva Vaname ... 7

Lemak dan Asam Lemak Esensial ... 7

Kualitas Air... 9

BAHAN DAN METODE ... 10

Waktu dan Tempat Penelitian ... 10

Materi Penelitian... 10

Hewan Uji... ... 10

Pakan... ... 10

Wadah dan Media... ... 10

(12)

ii

Pengkayaan Rotifer dan Naupli Artemia... 12

Pengkayaan Rotifer ... 12

Pengkayaan Naupli Artemia ... 12

Pemeliharaan Induk ... 13

Penetasan Telur dan Pemanenan Naupli Vaname ... 13

Sampel Asam Lemak... 14

Rancangan Penelitian dan Analisa Data... 14

Rancangan Penelitian ... 14

Analisa Data... ... 15

Penelitian Tahap Pertama... 15

Penelitian Tahap Kedua... ... 15

Metode Pengukuran dan Pengamatan Peubah... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN... ... 18

Hasil... 18

Penelitian Tahap Pertama... 18

Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Stadia Z2-PL1... 18

Intermolt Period... ... 19

Komposisi Asam Lemak Rotifer dan Larva Vaname... .. 20

Penelitian Tahap Kedua... . 22

Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Stadia PL1-PL10... 22

Komposisi Asam Lemak Artemia dan Larva Vaname... 23

Pembahasan... ... 24

SIMPULAN DAN SARAN... .. 29

Simpulan... 29

Saran... ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(13)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jumlah rotifer dan Artemia yang diberikan (ind/ml)... ... 16

Tabel 2. Intermolt period (hari) larva udang vaname setiap stadia (Z2-PL1)... 19

Tabel 3. Komposisi asam lemak pada rotifer dan larva udang vaname... 21

(14)

iv

Gambar 1. Wadah Penelitian... 11 Gambar 2. Tingkat kelangsungan hidup (%) larva vaname stadia (Z2-PL1)... 18 Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup (%) larva vaname stadia (PL1-PL10) .. 22

(15)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil pengamatan kualitas air... 36

2. Gambar kegiatan selama penelitian... 40

3. Schedul pakan larva udang vaname.. ... 41

4. Tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname Z2-PL1... 42

5. Intermolt period larva udang vaname... ... 43

6. Kandungan asam lemak rotifer, Artemia dan larva vaname... 44

7. Tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname PL1-PL10... 45

8. Prosedur pengukuran kadar lemak... 46

9. Prosedur pengukuran kadar asam lemak... 47

10. Analisa statistik kelangsungan hidup larva udang vaname Z2-PL1... . 48

11. Analisa statistik intermolt period larva udang vaname Z2-PL1... 51

(16)

Latar Belakang

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) dewasa ini merupakan salah satu komoditas andalan dalam sektor perikanan. Udang vaname di Indonesia mulai berkembang sejak tahun 2001 dan semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini karena teknis budidayanya yang lebih mudah dibandingkan dengan udang windu, ketersediaan benur SPF (Specific Pathogen Free) dan produktivitas yang tinggi. Hatchery sebagai salah satu penghasil benih udang telah berkembang dengan baik. Untuk memenuhi kebutuhan benih, hatchery

harus mampu meningkatkan tingkat kelangsungan hidup udang sehingga ketersediaan benih ukuran PL cukup banyak. Tersedianya benih yang cukup dalam jumlah maupun kualitas merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan budidaya udang. Benih yang berkualitas baik akan memberikan pertumbuhan yang baik dan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi .

Perkembangan hatchery udang yang semakin meningkat dengan padat pemeliharaan larva yang tinggi, menjadikan kualitas pakan sebagai faktor yang sangat penting karena udang mendapatkan nutrien dari pakan tersebut. Meskipun berbagai macam kendala seperti faktor lingkungan, penyakit dan nutrisi, tetapi produksinya yang bernilai tinggi terus naik setiap tahun (Shiau 1998). Salah satu masalah penting dalam budidaya udang vaname adalah kurangnya informasi tentang kebutuhan nutrien udang terutama selama stadia larva (Navvaro et al. 1996). Produktivitas dari upaya pembenihan harus tinggi, dengan kondisi postlarva yang sehat dan tahan terhadap stress. Tingkat produktivitas tersebut ditentukan oleh mutu induk, kualitas lingkungan dan pakan. Kualitas lingkungan harus diupayakan layak, khususnya pengaturan salinitas agar tetap isoosmotik bagi kehidupan larva dan postlarva. Induk dan kualitas lingkungan telah dapat diupayakan layak dan potensial untuk menghasilkan larva, sedangkan pakan bagi larva dan awal postlarva masih menjadi kendala. Berbagai upaya untuk memperbaiki kualitas pakan telah dilakukan, antara lain dengan pemberian pakan alami seperti Chaetoceros, Skeletonema, Artemia dan rotifer (Brachionus rotundiformis).

Pada saat pertama kali larva makan perlu diperhatikan jenis dan ukuran partikel pakan yang dapat dicerna. Tersedianya pakan yang sesuai dengan ukuran bukaan mulut merupakan salah satu aspek penting untuk larva krustasea

(17)

2

yang baru menetas dengan sedikit atau tidak adanya cadangan kuning telur. Pakan yang tersedia untuk larva harus memenuhi tiga kriteria, yaitu ukuran yang sesuai sehingga memudahkan untuk menangkap dan mengkonsumsi, harus selalu tersedia dalam jumlah yang mencukupi, dan mengandung nutrien pakan yang esensial (Suprayudi et al. 2002b). Asam lemak merupakan salah satu komponen penting dalam pakan yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang.

Brachionus rotundiformis dan Artemia merupakan pakan alami yang cocok diberikan pada pemeliharaan larva udang, karena selain memiliki ukuran tubuh yang kecil juga memiliki nilai nutrisi yang cukup baik. Namun dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan asam lemak n-3 HUFA, terutama asam-asam lemak 20:5n-3 (EPA, eicosapentaenoic acid) dan 22:6n-3 (DHA, decosahexaenoic acid) dari rotifer dan Artemia sangat rendah (Sargent et al. 1997, 1999; Han et al 2000; Sorgeloos et al. 2001 Suprayudi et al. 2002a). Padahal EPA dan DHA merupakan asam lemak tidak jenuh berantai panjang yang berperan penting dalam menunjang tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva krustasea (D’Abramo & Sheen 1993; Kanazawa 1997). Hasil dari penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa Artemia tidak dapat secara efektif memperpanjang EPA menjadi DHA (Watanabe et al. 1978) dan rotifer tampaknya juga mempunyai kemampuan terbatas untuk memperpanjang EPA (Whyte & Nagata 1990).

Oleh karena itu, untuk mengatasi masa kritis yang terjadi pada perubahan fase zoea dan mysis diperlukan perbaikan kualitas nutrien pada rotifer dan

Artemia dengan cara meningkatkan kandungan asam lemak esensialnya melalui pengkayaan dengan DHA sehingga mampu meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan mempercepat intermolt period.

Perumusan Masalah

Kendala yang dihadapi dalam budidaya udang vaname adalah produktivitas yang masih rendah dan belum sesuai dengan harapan. Produktivitas yang rendah tersebut berkenaan dengan kematian yang cukup tinggi pada saat stadia zoea menjadi mysis. Lama waktu perkembangan proses metamorfosis antara zoea menjadi mysis dan mysis menjadi postlarva terlalu lama yang akhirnya diikuti oleh kematian. Tingkat kelangsungan hidup udang vaname di hatchery masih berkisar antara 30-50%.

(18)

Produksi benur udang vaname rendah karena terjadi hambatan pada proses metamorfosis sehubungan dengan pasokan asam lemak tak jenuh yang tidak memadai. Kecepatan proses metamorfosis pada kondisi isoosmotik tidak diimbangi oleh ketersediaan pasokan pakan yang mengandung energi atau asam lemak tak jenuh yang memadai untuk mengimbangi kecepatan proses metamorfosis. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diupayakan pasokan pakan yang mengandung asam lemak tak jenuh pada saat stadia zoea menjelang mysis dan pada saat mysis menjadi post larva. Untuk kebutuhan tersebut kiranya rotifer dan naupli Artemia dapat memenuhi syarat untuk diperkaya dengan asam lemak tak jenuh sehingga potensial menunjang proses metamorfosis menjadi postlarva.

Dengan pendekatan di atas maka diperoleh kerangka konseptual yang jelas dan mendasar bagaimana rotifer dan Artemia yang diperkaya dengan DHA mempengaruhi kecepatan intermolt period dan tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rotifer (B. rotundiformis) dan naupli Artemia yang telah diperkaya dengan DHA 70G terhadap tingkat kelangsungan hidup dan intermolt period larva udang vaname (Litopenaeus vannamei).

Manfaat dari percobaan ini adalah dapat memberikan informasi yang dapat diaplikasikan di hatchery mengenai kadar DHA 70G yang harus diberikan melalui teknik pengkayaan kepada rotifer (B. rotundiformis) dan naupli Artemia

untuk diberikan pada larva vaname sehingga dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan mempercepat intermolt period larva udang vaname (Litopenaeus vannamei).

Perumusan Hipotesis

Apabila rotifer (B. rotundiformis) dan naupli Artemia dapat diperkaya dengan DHA 70G sebagai sumber pasokan nutrien larva maka lama waktu metamorfosis dan atau molting dapat dipercepat sehingga tingkat kelangsungan hidup dari setiap stadia larva dan atau post larva dapat meningkat.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Larva Udang Vaname

Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Stadia

Setelah fertilisasi, telur menetas sekitar 14-16 jam dan udang vaname mengalami tiga stadia perkembangan larva sebelum menjadi post larva, yaitu naupli, zoea dan mysis. Masing-masing stadia dalam perkembangannya mengalami metamorfosis. Dalam perkembangan dari stadia ke stadia lainnya diikuti pula dengan perubahan pola makannya. Setelah 30 menit menetas, naupli dapat berenang dalam jarak yang pendek dan bersifat fototaksis positif. Naupli yang baru menetas mengandalkan kuning telur untuk mensuplai semua kebutuhan nutrisinya. Naupli mengalami perubahan sebanyak lima kali, dan setiap perubahan terjadi dalam waktu 7 jam. Setelah perubahan tersebut cadangan kuning telurnya habis dan naupli mengalami metamorfosis menjadi zoea, diikuti dengan pola makannya yang mulai memakan mikroalge, seperti Chaetoceros dan Skeletonema. Menurut Sweeney & Wyban (1991) stadia zoea 1 (Z1) dan zoea 2 (Z2) masing-masing akan berkembang dalam selang waktu 2 hari, sedangkan zoea 3 (Z3) akan berkembang menjadi mysis 1 (M1) dalam waktu 1 hari. Setelah tiga kali berubah, zoea mengalami metamorfosis menjadi mysis, dan terjadi perubahan pola makan dari herbivora menjadi karnivora, atau mulai memakan zooplankton, seperti rotifer dan naupli Artemia (Elovaara 2001). Setelah mengalami perubahan tiga kali mysis yang bersifat plankonik berubah menjadi postlarva. Postlarva sudah terlihat seperti udang dewasa, dan sudah bersifat bentik .

Kecepatan molting pada stadia zoea dipengaruhi oleh kondisi kultur. Di bawah kondisi kultur yang optimum, zoea berubah melalui 3 substadia (Z1-Z3) selama 5 hari (36 jam setiap stadia). Pada stadia Z1 mata tidak kelihatan, namun pada akhir stadia ini sudah terlihat. Tubuhnya ramping dan tidak dilindungi oleh karapas, telsonnya sudah berkembang dengan baik dan kelihatan seperti ekor yang bercabang.

Z1 mengalami perubahan menjadi Z2 dalam waktu 30-40 jam, dan pada stadia Z2 ini mata dan rostrum sudah terlihat jelas. Rostrumnya terletak pada ujung anterior karapas dan panjangnya setengah dari karapas. Karapas pada Z2 memiliki sepasang duri (supra-orbital spine) diatas matanya. Z2 mengalami

(20)

perubahan menjadi Z3 dalam waktu 30-40 jam, ditandai dengan berkembangnya uropod pada ujung posterior. Setelah stadia Z3 lengkap, larva berubah menjadi mysis. Bentuk tubuhnya secara umum hampir sama dengan udang dewasa. Di bawah kondisi yang optimum, tiga substadia mysis dicapai dalam waktu 3 hari (24 jam per stadia). Zoea cenderung berenang dipermukaan air, tetapi mysis mulai berenang di bagian kolom air. Mysis berada dalam kolom air dengan posisi kepala dibawah dan ekor ke arah atas ke permukaan air.

Tingkat Kelangsungan Hidup dan Masa Kritis Perkembangan Larva

Pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup merupakan indikator keberhasilan pemeliharaan larva (Bransden MP et al. 2005). Oleh karena itu dalam pemeliharaan larva dan post larva udang perlu ditunjang oleh kualitas larva yang baik. Persentase tingkat kelangsungan hidup yang mencapai stadia zoea, atau keberhasilan bermetamorphosis dari naupli menjadi zoea merupakan salah satu kriteria kualitas larva udang vaname. Morfologi larva, seperti panjang naupli, zoea dan mysis tidak berhubungan dengan tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname (Racotta et al. 2004).

Stadia zoea dan mysis adalah fase pertumbuhan cepat, dan merupakan waktu yang sangat kritis karena pada saat itu larva udang sangat rentan dan sering terjadi tingkat kematian yang tinggi. Dengan pola pemeliharaan secara tradisional di bak outdoor menggunakan teknik yang sederhana, air yang tidak diberi perlakuan, kepadatan tebar yang rendah dan bak pemeliharaan yang kecil diperoleh tingkat kelangsungan hidup larva vaname sekitar 50%, sedangkan metode pemeliharaan yang intensif dengan padat tebar tinggi dengan kondisi lingkungan pemeliharaan yang terkontrol dapat mencapai tingkat kelangsungan hidup 70-80% (Elovaara 2001).

Naupli dengan cadangan nutrien tinggi memiliki kemungkinan untuk bertahan hidup selama bermetamorphosis menjadi zoea dan selama stadia zoea dan mysis terjadi adaptasi fisiologis dengan makanan yang berasal dari luar (Lovvet & Felder 1990). Larva udang biasanya mengkonsumsi pakan hidup dan meskipun masih stadia protozoea, beberapa spesies dapat mencerna zooplankton berukuran kecil seperti rotifer atau naupli Artemia (Yufera et al. 1984; Kurmaly et al. 1989; Jones et al. 1997).

(21)

6

Pemanfaatan Pakan Alami

Rotifer

Sampai saat ini pakan alami masih merupakan pakan utama untuk larva ikan laut dan krustasea yang belum dapat digantikan kualitas nutriennya secara lengkap oleh pakan buatan (Sorgeloos et al. 2001; Suprayudi et al. 2004). Rotifer telah lama dan secara luas digunakan sebagai pakan alami untuk larva ikan laut dan krustasea yang baru menetas karena ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva, teknologi produksi massalnya sudah dikuasai dan terus dikembangkan (Sorgeloos 1998), memiliki kecepatan renang rendah, hidup melayang dalam air sehingga mudah ditangkap oleh larva (Waynarovich & Horvath 1980), serta dapat dilakukan pengkayaan dengan asam lemak tak jenuh rantai panjang sehingga zat-zat tersebut mudah ditransfer ke dalam tubuh larva (Sargent et al. 1989; Dhert et al. 2001)

Rotifer merupakan zooplankton yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami udang vaname dan telah lama dikembangkan. Salah satu rotifer laut yang telah dikembangkan dewasa ini adalah Brachionus rotundiformis yang biasa disebut sebagai rotifer tipe-S, yang memiliki panjang lorika 100-210 μm (rerata 160 μm) (Sorgeloos 1996). Watanabe (1998) menyatakan bahwa rotifer merupakan pakan alami yang paling cocok bagi larva ikan laut yang baru menetas karena kebutuhan akan protein sebesar 40-60% dan lemak sebesar 13-16% dapat dipenuhi.

Profil asam lemak pada rotifer sangat menentukan kualitas rotifer, dan umumnya ditunjukkan oleh kandungan n-3 HUFA (highly unsaturated fatty acids) serta perbandingan antara kandungan EPA (eicosapentaenoic acid, 20:5n-3) dan DHA (docosahexaenoic acid, 22:6n-3). Rotifer mempunyai kemampuan untuk mensintesa beberapa jenis n-3 HUFA dari rantai karbon 18 (C-18) asam lemak tak jenuh n-3, akan tetapi laju sintesanya sangat rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan larva ikan laut dan krustasea pada fase pertumbuhan yang sangat cepat (Kanazawa et al. 1979; Kayama et al. 1980). Rendahnya kandungan n-3 HUFA terutama EPA dan DHA, membuat kualitas nutrien rotifer sangat rendah (Watanabe 1993) padahal sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan perkembangan larva (Sargent et al. 1997, 1999). Oleh karena itu pengkayaan rotifer dengan n-3 HUFA merupakan proses yang penting dalam menentukan keberhasilan pada budidaya ikan laut (Dhert et

(22)

al. 2001). Suprayudi (2003) menyatakan bahwa asam lemak esensial dari rotifer ditentukan oleh jenis bahan pengkaya, lama waktu pengkayaan dan macam zat pengkaya. Hasil percobaan Fernandez-Reiriz et al. (1993) membuktikan bahwa kandungan gizi rotifer dapat ditingkatkan dengan memperkaya asam lemak n-3 melalui teknik pengkayaan.

Artemia

Artemia biasa digunakan sebagai pakan alami untuk larva ikan laut dan krustasea, tetapi naupli Artemia mengandung n-3 HUFA, terutama EPA dan DHA yang sangat rendah (Han et al. 2000; Suprayudi et al. 2002). Dengan keuntungan dari karakteristik cara makan naupli Artemia, dimungkinkan untuk meningkatkan nilai nutriennya yang kekurangan n-3 HUFA. Ketika berubah menjadi stadia instar 2 (8 jam setelah menetas), naupli Artemia merupakan zooplankton yang “non selektif particle feeders”, sehingga dikembangkan metoda yang sederhana untuk memasukkan berbagai macam nutrisi tambahan ke dalam Artemia sebelum diberikan sebagai pakan pada larva. Metode ini disebut bioenkapsulasi, atau dinamakan juga pengkayaan Artemia, yang secara luas digunakan pada hatchery ikan laut dan krustasea untuk meningkatkan nilai nutrien Artemia dengan asam lemak esensial. Tidak sama dengan pakan alami lainnya seperti rotifer, pengkayaan Artemia dengan DHA lebih sulit karena sifat katabolisme dari asam lemak ini pada pengkayaan sehingga menghasilkan rasio DHA/EPA rendah (Sorgeloos et al. 2001).

Tingkat keberhasilan dalam memodifikasi profil asam lemak pada Artemia dipengaruhi oleh tipe dari bahan pengkaya, kondisi pengkayaan dan jenis Artemia yang diberikan (Han et al. 2000). Pada akhir stadia mysis, larva udang vaname mulai bersifat sebagai karnivora sehingga sudah dapat diberikan makanan berupa naupli Artemia. Beberapa penelitian memperlihatkan adanya peningkatan kandungan asam lemak n-3 HUFA naupli Artemia setelah dilakukan pengkayaan (Rees et al. 1994; Karim 1998; Robin JH 1998).

Faktor Penentu Perkembangan Larva Vaname

Lemak dan Asam Lemak Essensial

Lemak dibutuhkan sebagai sumber energi metabolik (ATP) dan sebagai bahan untuk pemeliharan struktur dan integritas membran sel dalam bentuk

(23)

8

fosfolipid. Komponen penyusun fosfolipid adalah asam lemak. Ada dua asam lemak yang menyusun lemak yaitu asam lemak non esensial yang dapat disintesis oleh tubuh dan asam lemak esensial yang harus diperoleh dari luar tubuh (Jobling 2002).

Asam lemak esensial, terutama kelompok HUFA (highly unsaturated fatty acids) dan PUFA (poly unsaturated fatty acids) mempunyai peranan yang penting untuk kegiatan metabolisme tubuh organisme, komponen membran (fosfolipid dan kolesterol), hormon (metabolisme steroid dan vitamin D), aktivasi enzim-enzim tertentu, precursor dari prostanoids dan leukosit, memelihara struktur dan fungsi membran sel serta precursor eicosanoid (Bhagavan 1982; Sargent et al. 1989; Ibeas et al. 1994). Asam lemak yang essensial bagi krustasea yaitu 18:2n-6 (linoleat), 18:3n-3 (linolenat), 20:5n-3 (eicosapentaenoat, EPA) dan 20:6n-3 (docosahexanoat, DHA) (D’Abramo 1997). EPA dan DHA memegang peranan penting dalam mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup krustasea (D’Abramo & Sheen 1993; Suprayudi et al. 2004).

HUFA seperti EPA, DHA dan arachidonic acid termasuk asam lemak esensial dan merupakan nutrisi penting karena terbatasnya kemampuan udang vaname untuk mengelongasi dan mendesaturasi rantai pendek PUFA menjadi HUFA sehingga pemenuhan kebutuhannya harus terdapat dalam pakannya (Gonzales-Felix et al. 2002).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan asam lemak esensial n-3 yang diberikan dengan teknik pengkayaan pada rotifer dan Artemia telah meningkatkan tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan mempercepat perkembangan beberapa jenis larva krustasea dan ikan laut (Kanazawa 1997; Gapasin & Duray 2001; Suprayudi et al. 2002a).

DHA adalah asam lemak n-3 rantai panjang yang termasuk kelompok n-3 HUFA, dan merupakan salah satu pembangun jaringan neural. DHA juga berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan udang dan biasanya digunakan untuk proses pengkayaan rotifer dan Artemia (Elovaara 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa DHA lebih berperan dibanding EPA dalam pigmentasi, pertumbuhan, perkembangan stadia pada larva ikan laut dan krustasea (Mourente et al. 1993; Reitan et al. 1994; Suprayudi et al. 2002; Bransden et al. 2005)

(24)

Kualitas Air

Berhasil tidaknya suatu usaha budidaya udang vaname antara lain ditentukan oleh kemampuan mengendalikan faktor-faktor lingkungan. Agar udang vaname yang dibudidayakan dapat hidup dan tumbuh dengan baik, maka selain harus tersedia pakan bergizi dalam jumlah yang cukup, kondisi lingkungan juga berada pada kisaran yang layak.

Salinitas merupakan masking faktor, yaitu faktor lingkungan yang merubah atau menghambat bekerjanya faktor lain. Salinitas sangat besar pengaruhnya terhadap proses metabolisme dan kelangsungan hidup udang. Bilamana terjadi perubahan salinitas maka kelangsungan hidupnya ditentukan oleh kemampuan adaptasi. Tingkat salinitas yang terlalu tinggi, atau rendah dan fluktuasinya lebar dapat menyebabkan kematian pada larva udang. Untuk stadia larva salinitas yang layak adalah 26-36 ppt (Sweeney & Wyban 1991; Elovaara 2001).

Suhu air mempengaruhi laju metabolisme dan pengeluaran energi udang. Di samping itu suhu juga akan mempengaruhi kelarutan gas-gas dalam air. Meskipun udang vaname mampu mentoleransi suhu pada kisaran tertentu, tetapi untuk dapat tumbuh dengan baik pada stadia larva diperlukan suhu sekitar 27-29ºC (Sweeney & Wyban 1991; Elovaara 2001).

Nilai pH air dapat berpengaruh terhadap meningkat tidaknya daya racun ammonia, di mana semakin meningkat pH pada kadar tertentu akan menyebabkan daya racun ammonia akan semakin meningkat. Untuk stadia larva pH yang layak untuk udang vaname berkisar antara 7.8-8.4, dengan pH optimum 8.0 (Elovaara 2001).

Oksigen dalam suatu perairan mutlak dibutuhkan oleh organisme air untuk respirasi yang selanjutnya dimanfaatkan untuk kegiatan metabolisme. Di samping itu adanya oksigen terlarut akan mempercepat reaksi kimiawi dari bahan-bahan toksik yang membahayakan kehidupan organisme air. Untuk stadia pascalarva udang vaname, kadar oksigen yang dapat menunjang pertumbuhan udang berada pada kisaran 5-7 mg/l (Sweeney & Wyban 1991).

(25)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2006, di PT Centralpertiwi Bahari yang berlokasi di Desa Suak, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan. Analisa asam lemak dilakukan di Laboratorium Food Technology Departement, PT Charoen Pokphan Indonesia.

Materi Penelitian

Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva udang vaname (Litopenaeus vannamei) stadia zoea 2 (Z2). Larva tersebut diperoleh dari hasil penetasan induk di Maturation and Nauplii Production Department PT Centralpertiwi Bahari.

Pakan

Pakan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang digunakan adalah rotifer (Brachionus rotundiformis) dan naupli Artemia yang diperkaya dengan DHA 70 G. Rotifer sebagai pakan uji diperoleh dari hasil kultur di Algae Production Department PT Centralpertiwi Bahari, sedangkan naupli Artemia berasal dari penetasan kista merk Mackay dengan hatching rate 90%. Pakan buatan yang digunakan adalah CP Star 100, 200 dan 300 (protein 38%, lipid 9.5%, serat 4%, dan abu 15%), Lanzy-Shrimp ZM, MPL dan PL (protein 48%, lipid 13%, serat kasar 2.5% dan kadar air 8%). Bahan pengkaya rotifer dan Artemia adalah DHA 70G (Nippon Kagaku Shiryo Co., LTD, Japan; mengandung 70.7% DHA dan 5.2% EPA).

Wadah dan Media

Wadah penelitian yang digunakan adalah toples plastik 1.5 liter yang diisi dengan air laut sebanyak 1 liter. Air media yang digunakan adalah air laut bersalinitas 31 ppt dan sebelum digunakan telah melewati proses ozonisasi. Kemudian air laut tersebut ditampung dalam fiber 500 liiter dan diberi EDTA 5 ppm sebelum digunakan. Untuk mempertahankan suhu media pemeliharaan agar tetap stabil, maka semua wadah penelitian ditempatkan dalam system water

(26)

bath yang diberi thermostat sehingga suhunya berada pada kisaran 29-31ºC. Sedangkan untuk mempertahankan kandungan oksigen terlarutnya, setiap wadah penelitian diberi aerasi dengan menggunakan selang yang dihubungkan dengan pipet Pasteur. Wadah penelitian diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Wadah penelitian

Pengamatan kualitas air meliputi suhu, salinitas, pH dan oksigen terlarut. Suhu diukur dengan thermometer batang dan salinitas diukur dengan hand refraktrometer Atago Smill yang masing-masing diamati setiap hari. Oksigen terlarut dan pH dilakukan pengukuran setiap dua hari sekali mengunakan DO meter YSI 51B dan pH meter WTW 320.

Hasil pengamatan kualitas air selama penelitian suhu 30 ºC, salinitas 31 ppt, pH penelitian pertama 8.15-8.37 dan penelitian kedua 8.25-8.27, oksigen terlarut pada penelitian pertama 5.40-5.55 mg/l dan penelitian kedua 5.06-5.48 mg/l (Lampiran 1).

(27)

12

Metode Pemeliharaan

Penyediaan Rotifer

Rotifer (Brachionus rotundiformis) diperoleh dari hasil kultur dengan menggunakan bak bervolume 1 ton (Lampiran 2). Pakan yang digunakan untuk rotifer adalah phytoplankton jenis Nannochloropsis sp yang sebelumnya dikultur pada bak berukuran 1 ton (Lampiran 2).

Penetasan Kista Artemia

Untuk memperoleh naupli Artemia , kistanya diinkubasi selama 24 jam di dalam wadah penetasan yang terbuat dari fiber dengan dasar berbentuk kerucut berkapasitas 230 liter (Lampiran 2). Media air laut yang digunakan bersalinitas 30-32 ppt, dan kepadatan kista yang ditetaskan adalah 5 gr/lt. Selama proses penetasan wadah diaerasi kuat. Kista yang menetas dipanen lewat bawah dengan menyaring dengan planktonet mesh 300.

Pengkayaan Rotifer dan Naupli Artemia

Bahan yang digunakan untuk pengkayaan Brachionus rotundiformis dan naupli Artemia adalah DHA 70 G (Nippon Kagaku Shiryo Co., LTD, Japan; mengandung 70,7% DHA dan 5,2% EPA).

Pengkayaan Rotifer

Untuk teknik pengkayaan rotifer adalah dengan memasukkannya ke dalam ember berkapasitas 10 liter yang diisi air laut dengan kepadatan 1000 ind/ml. Salinitas air laut berkisar 30-32 ppt dan dilakukan aerasi. Bahan pengkaya dan kuning telur (sesuai dengan dosis perlakuan) dimasukkan ke dalam air akuadest 200 ml dan diemulsikan selama 2 menit (Suprayudi et al. 2002). Setelah diemulsikan, media pengkaya tersebut dimasukkan ke dalam wadah pengkayaan yang telah berisi rotifer. Pengkayaan dilakukan selama 6 jam.

Pengkayaan naupli Artemia

Untuk teknik pengkayaan naupli Artemia adalah dengan memasukannya ke dalam fiber berkapasitas 230 liter yang diisi air laut dengan kepadatan 200000 ind/l (Karim 1998). Salinitas air laut yang digunakan berkisar 30-32 ppt dan

(28)

dilakukan aerasi. Bahan pengkaya dan kuning telur (sesuai dengan dosis perlakuan) dimasukkan ke dalam akuadest 200 ml dan diemulsikan selama 2 menit (Suprayudi et al. 2002). Setelah diemulsikan, media pengkaya tersebut dimasukkan ke dalam wadah pengkayaan yang telah berisi naupli Artemia . Pengkayaan dilakukan selama 12 jam (Karim 1998).

Pemeliharaan Induk

Induk yang digunakan merupakan jenis SPF (Spesific Pathogen Free) yang berasal dari Hawaii, USA. Bobot induk betina yang digunakan sebesar 50 g dan bobot induk jantannya sebesar 40 g. Induk udang vaname yang telah diablasi dipelihara dalam bak beton yang berukuran 3x11x0,9 m yang diisi dengan air laut sebanyak 24 – 28 ton dengan salinitas 30-32 ppt dan suhu 25ºC. Pada bak pemeliharaan tersebut dilengkapi sistem sirkulasi dan diberi aerasi. Selama pemeliharaan, induk udang vaname diberi pakan berupa cacing 6 kali sehari sebanyak 25% bobot biomas/hari. Untuk menjaga kualitas air setiap hari dilakukan pergantian air sebanyak 200% dan penyiponan untuk membersihkan feces dan sisa pakan yang tidak termakan.

Seleksi induk matang telur dilakukan setiap hari selama pemeliharaan, yang dimulai pada hari ke dua setelah ablasi. Seleksi dilakukan terhadap induk betina yang telah mencapai tingkat kematangan gonad ke-4 (TKG-4), yang ditandai dengan penuhnya ovary di daerah punggung, setelah itu induk dipindahkan ke bak spawning bervolume 2,5 ton.

Penetasan Telur dan Pemanenan Naupli Vaname

Pelepasan telur biasanya terjadi 24 jam setelah induk dipindahkan ke bak

spawning. Selama proses penetasan telur dilakukan pengadukan telur untuk mencegah terjadinya pengendapan di dasar bak. Induk yang telah mengeluarkan telur kemudian dipindahkan lagi ke bak pemeliharaan. Penetasan telur biasanya terjadi 12-18 jam setelah induk spent, dan dilakukan di bak spawning.

Naupli yang telah mencapai instar 5 kemudian dipanen dan harus memenuhi kriteria bebas dari SEMBV, IHHNV, TSV, luminescent bakteri dan jamur serta memiliki hatching rate > 30% . Pemanenan naupli dilakukan dengan mematikan aerasi di bak spawning dan menghidupkan lampu pijar agar naupli cepat naik ke permukaan dan siap dipanen dengan menggunakan seser halus kemudian diambil dengan gayung

(29)

14

Sampel Asam Lemak

Untuk mengetahui kadar asam lemak n-3 yang ada pada rotifer, Artemia

dan larva udang vaname dilakukan dengan memelihara larva udang vaname di wadah yang terpisah. Wadah yang digunakan adalah fiber berbentuk bulat dengan volume 500 liter sebanyak 5 buah untuk penelitian tahap pertama dan 4 buah untuk penelitian tahap kedua. Wadah tersebut diisi air laut sebanyak 450 liter dan diisi dengan larva udang vaname dengan kepadatan 100 ind/l serta diaerasi dan diberi thermostat. Setiap hari larva udang vaname diberi pakan sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan. Setiap pengambilan sampel diambil sebanyak 2 g dengan saringan kemudian dimasukkan dalam plastik kedap udara dan disimpan di dalam freezer.

Rancangan Penelitian dan Analisa Data

Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang dilakukan dalam dua tahap dan masing-masing perlakuan dalam kedua tahap tersebut terdiri dari 3 ulangan. Penelitian pertama adalah pengkayaan dengan DHA 70G terhadap rotifer yang akan diberikan pada larva udang vaname stadia Z2 sampai PL1. Perlakuan pada penelitian tahap pertama ini adalah :

A. Pakan buatan tanpa pemberian rotifer

B. Rotifer+minyak kelapa 100 µL/L+pakan buatan

C. Rotifer+DHA 70G 25 µL/L+minyak kelapa 75 µL/L+pakan buatan D. Rotifer+DHA 70G 50 µL/L+minyak kelapa 50 µL/L+pakan buatan E. Rotifer+DHA 70G 75 µL/L+minyak kelapa 25 µL/L+pakan buatan

Pada tahap kedua adalah pengkayaan dengan DHA 70G terhadap

Artemia yang akan diberikan pada larva udang vaname stadia PL1 sampai PL10. Perlakuan pada penelitian tahap kedua ini adalah :

A. Artemia+minyak kelapa 100 µL/L+pakan buatan

B. Artemia+DHA 70G 25 µL/L+minyak kelapa 75 µL/L+pakan buatan C. Artemia+DHA 70G 50 µL/L+minyak kelapa 50 µL/L+pakan buatan D. Artemia+DHA 70G 75 µL/L+minyak kelapa 25 µL/L+pakan buatan

(30)

Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh rotifer dan Artemia yang telah diperkaya dengan asam lemak terhadap tingkat kelangsungan hidup dan intermolt period, data diplotkan dalam suatu tabel dan dilakukan analisis sidik ragam antar perlakuan. Apabila hasil analisa sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan (Program SPSS 13.0 for Windows). Untuk data kandungan asam lemak dan kualitas air akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan diinterprestasikan secara deskriptif.

Pelaksanaan Penelitian Penelitian Tahap Pertama

Setelah mendapatkan naupli dari induk udang vaname yang telah dipijahkan, larva dipelihara pada tank 500 liter untuk dipelihara sampai dengan stadia Z2. Setelah berubah menjadi stadia Z2, larva udang vaname dipindahkan pada wadah penelitian. Sebelum memasukkan hewan uji dalam wadah penelitian, wadah tersebut terlebih dahulu ditempatkan secara acak pada system water bath dan diisi dengan air laut sebanyak 1 liter dan diberi aerasi. Kemudian larva udang vaname dimasukkan dalam wadah penelitian dengan kepadatan 100 ind/l, kemudian diberikan pakan sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Jumlah rotifer yang diberikan ditunjukkan pada Tabel 1. Larva tersebut dipelihara sampai dengan stadia PL1. Penelitian tahap pertama ini untuk melihat respon terhadap tingkat kelangsungan hidup yang paling bagus dari 7 perlakuan tersebut.

Penelitian Tahap Kedua

Setelah mendapatkan naupli dari induk udang vaname yang telah dipijahkan, larva dipelihara pada tank 500 liter untuk dipelihara sampai dengan stadia mysis 3. Selama pemeliharaan larva udang vaname diberi pakan sesuai hasil penelitian pertama yang memberikan respon terbaik untuk tingkat kelangsungan hidup. Setelah berubah menjadi PL1, larva udang vaname dipindahkan pada wadah penelitian. Sebelum memasukkan hewan uji dalam wadah penelitian, wadah tersebut terlebih dahulu ditempatkan secara acak pada system water bath dan diisi dengan air laut sebanyak 1 liter dan diberi aerasi. Kemudian larva udang vaname dimasukkan dalam wadah penelitian dengan kepadatan 100 ind/l, kemudian diberikan pakan sesuai dengan perlakuan yang

(31)

16

diberikan. Jumlah naupli Artemia yang diberikan ditunjukkan pada Tabel 1. Larva tersebut dipelihara sampai dengan stadia PL 10.

Pakan buatan ditimbang menggunakan timbangan analitik dengan skala terkecil 0,0001 gr. Jumlah pakan buatan yang diberikan pada kedua tahap percobaan seperti ditunjukkan pada Lampiran 3. Frekuensi pemberian pakan dilakukan 5 kali sehari, 2 kali untuk pakan alami dan 3 kali untuk pakan buatan. Pemberiannya dilakukan pada jam 04.00, 11.00, 15.00, 19.00 dan jam 23.00. Untuk membuang pakan yang tersisa dan mempertahankan kualitas air dilakukan pergantian air pada pagi hari. Pengamatan stadia larva dilakukan pagi hari, jika ditemukan stadia yang berbeda pada wadah perlakuan yang sama, maka larva tersebut dipisahkan pada wadah yang berbeda. Kualitas air yang diamati adalah suhu air dan salinitas yang diamati setiap hari serta pH dan kandungan oksigen terlarut yang diamati setiap dua hari sekali. Pengamatan kualitas air tersebut dilakukan pada pagi hari.

Disamping penelitian dalam wadah 1 liter, juga dilakukan pemeliharaan larva udang vaname pada wadah 500 liter dengan perlakuan yang sama dengan wadah 1 liter untuk mengambilan sampel pada pengamatan kandungan asam lemak larva udang vaname tersebut.

Tabel 1. Jumlah rotifer dan Artemia (ind/ml) yang diberikan

Stadia Rotifer (ind/ml) Artemia (ind/ml) Z2 2 Z3 5 Z3-2 7 M1 10 M2 15 M3 20 M3-2 25 PL1 – PL 7 8 PL 8 – PL 10 10

(32)

Metode Pengukuran dan Pengamatan Peubah

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname selama pemeliharaan dihitung dengan menggunakan rumus :

SR = Nt/No x 100% Keterangan :

SR = Tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname (%)

Nt = Jumlah larva udang vaname yang hidup sampai akhir penelitian No = Jumlah larva udang vaname pada awal penelitian

Intermolt Period

Intermolt periode larva udang vaname dihitung dengan menggunakan rumus (Suprayudi et al. 2004), yaitu:

; Keterangan :

Dt = Development time atau intermolt period (hari) N = jumlah larva dengan stadia pada waktu tertentu t = waktu

Analisis Kimia

Analisis asam lemak dilakukan pada rotifer, Artemia dan larva udang vaname stadia zoea 3, mysis 2, PL1, PL5 dan PL10. Asam lemak yang diamati meliputi eicosapentaenoic acid (EPA), docosahexaenoic acid (DHA), arachidonic acid (AA), linoleic acid (LA) dan linolenic acid (LNA). Metode analisa asam lemak tersebut dijelaskan lebih rinci pada Lampiran 4 dan 5.

⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ =

N t N Dt .

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL Penelitian Tahap Pertama

Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Stadia Z2-PL1

Tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian ini diperlihatkan pada Lampiran 4 dan Gambar 2.

100.00 64.00 100.00 69.00 76.67 73.67 64.00 68.67 70.33 75.00 69.00 69.00 69.67 72.33 82.00 82.00 83.00 83.00 86.67 76.67 76.67 76.67 79.33 73.67 74.67 76.33 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 Z2 Z3 M 1 M 2 M 3 PL1 Stadia S u r vi val R a te (% ) A B C D E

Keterangan : Z = Zoea, M = Mysis, PL = Post larva

Gambar 2. Tingkat kelangsungan hidup (%) larva udang vaname stadia Z2-PL1 Tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname pada penelitian tahap pertama ini menunjukkan fase kritis terdapat pada stadia zoea. Hal ini terlihat dari penurunan yang cukup tajam dari stadia zoea 2 (Z2) ke zoea 3 (Z3) pada semua perlakuan. Setelah stadia Z3 semua perlakuan mengalami penurunan yang

(34)

cenderung merata hingga stadia PL1. Pemberian rotifera yang diperkaya dengan DHA 70G memberikan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diperkaya atau yang tidak diberi rotifera. Pada setiap stadia, perlakuan C (Z3: 86.67±4.04%, M1: 83.00±5.57%, M2: 83.00±5.57%, M3: 82.00±4.00%) menghasilkan tingkat kelangsungan hidup paling tinggi dibandingkan perlakuan A B, D dan E. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah pada setiap stadia diperoleh pada perlakuan A (Z3: 75.00±2.00%, M1: 70.33±1.53%, M2: 68.67±1.53%, M3: 64.00±1.00). Pada stadia PL1 tingkat kelangsungan hidup yang paling tinggi diperoleh perlakuan C dengan nilai 82.00±4.00% yang berbeda (p<0.05) dibandingkan perlakuan A (64.00±1.00%), B (69.00±3.00%), D (76.67±3.06%) dan E (73.67±0.58%)

Intermolt Period

Intermolt period larva udang vaname pada setiap stadia selama penelitian tahap pertama ditunjukkan pada Tabel 2 dan Lampiran 5.

Tabel 2. Intermolt period (hari) larva udang vaname setiap stadia (Z2-PL1) Stadia Perlakuan Z2 Z3 M1 M2 M3 PL1 A 1.00±0.00a 2.71±0.02b 4.59±0.02c 6.11±0.09c 7.81±0.17c 8.93±0.15c B 1.00±0.01a 2.78±0.03b 4.86±0.04d 6.14±0.05c 7.81±0.02c 9.02±0.09c C 1.00±0.00a 2.59±0.03a 4.29±0.06a 5.53±0.05a 7.04±0.10a 8.43±0.05a D 1.00±0.00a 2.72±0.04b 4.47±0.07b 5.77±0.11b 7.07±0.07a 8.46±0.04a E 1.00±0.00a 2.74±0.04b 4.62±0.07c 5.91±0.06b 7.35±0.02b 8.64±0.05b Keterangan : Z = Zoea, M = Mysis, PL = Post larva

Huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata (P<0.05)

Tabel 2 menunjukkan bahwa intermolt period udang vaname yang diberi rotifera yang diperkaya dengan DHA 70G lebih cepat bila dibandingkan dengan yang diberi rotifera tidak diperkaya atau tidak diberi rotifera. Pada stadia Z2 belum terlihat perbedaan (p>0.05) intermolt period antara semua perlakuan yang diberikan. Untuk mencapai stadia Z3, M1, dan M2, perlakuan C mempunyai waktu yang lebih cepat (p<0.05) bila dibandingkan dengan perlakuan A, B, D dan E.

(35)

20

Pada setiap stadia, perlakuan B menghasilkan intermolt period yang lebih lama. Stadia Z3 diperlakuan B mempunyai intermolt period yang lebih lama (p<0.05) dibandingkan dengan perlakuan C, tetapi tidak berbeda (p>0.05) dengan perlakuan A, D dan E, sedangkan pada stadia M1 berbeda (p<0.05) dengan semua perlakuan yang diberikan. Pada stadia M2, M3 dan PL1, perlakuan B juga mempunyai intermolt period yang lebih lama, tetapi tidak berbeda (p>0.05) dengan perlakuan A. Intermolt period untuk mencapai stadia M3 dan PL1 pada perlakuan C (7.04±0.10 dan 8.43±0.05) lebih cepat (p<0.05) bila dibandingkan dengan perlakuan A (7.81±0.17 dan 8.93±0.15), B (7.81±0.02 dan 9.02±0.09) serta E (7.35±0.02 dan 8.64±0.05), tetapi tidak berbeda (p>0.05) dengan perlakuan D (7.07±0.07 dan 8.46±0.04).

Komposisi Asam Lemak Rotifer dan Larva Vaname

Komposisi asam lemak yang diperkaya oleh DHA 70G pada rotifer (Brachionus rotundiformis) dan larva udang vaname stadia naupli, zoea, mysis dan PL1 ditunjukkan pada Tabel 3 dan Lampiran 6.

Kandungan lemak pada rotifer berkisar antara 8.29-22.77%. Rotifer yang diperkaya dengan minyak kelapa mengandung EPA 0.32% dan sejumlah kecil DHA (0.05%). Pada rotifer yang diperkaya dengan DHA 70G, konsentrasi DHA dan n-3 HUFA pada rotifer tersebut meningkat sesuai dengan peningkatan dosis DHA yang diberikan. Konsentrasi EPA pada rotifer yang diperkaya dengan DHA 70G juga meningkat. Hal ini terjadi karena konversi DHA menjadi asam lemak lainnya atau penggunaannya sebagai sumber energi. Konsentrasi EPA, DHA dan n-3 HUFA pada semua perlakuan masing-masing berkisar antara 0.22-1.18%, 0-7.15% dan 0.48-8.72%.

Konsentrasi EPA ditubuh larva pada ketiga perlakuan yang diberi DHA 70G mengalami peningkatan dari naupli sampai mencapai stadia PL1. Pada perlakuan A, konsentrasinya menurun pada stadia M2 kemudian meningkat sampai stadia PL1. Konsentrasi DHA pada tubuh larva yang tidak diberi rotifer (perlakuan A) mengalami penurunan dari naupli sampai PL1, begitu pula pada larva yang diberi rotifer yang diperkaya dengan minyak kelapa (perlakuan B) menurun pada stadia zoea 2, kemudian meningkat pada stadia M2 dan akhirnya menurun tajam pada stadia PL-1. Sedangkan pada perlakuan dengan pemberian rotifer yang diperkaya DHA 70G, konsentrasi DHA turun pada stadia Z2 kemudian meningkat sampai PL1. Jumlah n-3

(36)

HUFA pada perlakuan A mengalami penurunan sampai stadia PL1, sedangkan pada perlakuan B meningkat kembali pada stadia M2 kemudian menurun pada stadia PL1. Pada perlakuan pemberian rotifer yang diperkaya dengan DHA 70G, konsentrasi n-3 HUFA meningkat sampai stadia PL1.

Tabel 3. Komposisi asam lemak pada rotifer dan larva vaname (% berat kering).

Kode Lemak SATU

RATED MUFA PUFA LA LNA AA EPA DHA

∑N-3 HUFA* DHA/EPA ROTIFERA R0 8.29 2.81 3.13 2.35 0.37 0.03 0.33 0.22 0.00 0.48 0.00 B 19.9 10.85 5.87 3.18 0.94 0.05 0.28 0.32 0.05 0.55 0.16 C 17.86 7.62 4.49 6.03 0.60 0.05 0.38 0.61 2.45 3.45 4.02 D 19.27 5.94 4.67 8.93 0.46 0.05 0.54 0.90 4.52 5.87 5.04 E 22.77 5.39 4.70 12.31 0.47 0.06 0.67 1.18 7.15 8.72 6.06 NAUPLI N 11.67 4.90 3.26 4.63 0.36 0.10 0.89 0.72 1.14 2.01 1.59 ZOEA 3 A 10.48 4.29 2.13 3.90 0.85 0.06 0.49 0.90 0.87 1.91 0.97 B 10.03 4.40 1.93 3.68 0.87 0.09 0.69 0.70 0.87 1.71 1.24 C 11.57 4.43 2.46 4.29 1.01 0.08 0.70 0.72 0.87 1.80 1.21 D 9.27 4.43 2.00 3.00 0.76 0.06 0.43 0.78 0.95 1.87 1.22 E 11.11 4.49 2.03 3.91 0.91 0.06 0.25 0.80 1.01 1.95 1.26 MYSIS 2 A 8.84 3.72 2.42 2.71 0.36 0.03 0.45 0.70 0.78 1.72 1.11 B 10.30 4.49 1.97 3.34 0.76 0.06 0.60 0.80 1.05 2.11 1.31 C 8.56 3.28 2.08 3.45 0.54 0.04 0.37 0.85 1.15 2.20 1.35 D 10.06 3.65 2.12 3.64 0.63 0.04 0.45 0.93 1.49 2.66 1.61 E 10.10 4.12 2.29 3.87 0.62 0.06 0.46 0.90 1.59 2.74 1.77 PL-1 A 5.41 2.61 0.92 1.84 0.38 0.03 0.16 0.89 0.57 1.49 0.64 B 8.62 3.49 2.32 2.94 0.53 0.05 0.35 0.80 0.84 1.79 1.05 C 7.14 2.81 1.70 3.06 0.35 0.03 0.33 0.90 1.22 2.22 1.36 D 11.84 4.89 2.99 4.10 0.71 0.07 0.52 1.14 1.66 2.97 1.46 E 12.94 5.40 3.30 4.31 0.70 0.06 0.54 1.12 1.96 3.29 1.75

Keterangan : R0, rotifera dari bak kultur; MUFA, monounsaturated fatty acid; PUFA, polyunsaturated fatty acid; LA, linoleic acid; LNA, linolenic acid; AA, arachidonic acid; EPA, eicosapentaenoic acid; DHA, docosahexaenoic acid; *, total highly unsaturated fatty acid (20:3n-3; 20:4n-3; 20:5n-3; 22:5n-3; 22:6n-3)

(37)

22

Penelitian Tahap Kedua

Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Stadia PL1-PL10

Tingkat kelangsungan hidup larva udang vannamei pada stadia PL-1 sampai PL-10 ditunjukkan pada Gambar 3 dan Lampiran 7. Data tersebut menunjukkan bahwa pada perlakuan A terjadi penurunan tingkat kelangsungan hidup dari PL1 sampai PL8, sedangkan pada perlakuan B, C dan D mengalami penurunan tingkat kelangsungan hidup dari stadia PL1 sampai PL5 dan stabil sampai dengan PL10.

80.33 100.00 95.33 96.00 92.00 88.00 95.00 97.33 86.00 83.33 81.00 80.33 80.33 91.33 97.67 96.67 96.33 95.67 95.33 95.33 95.33 95.33 96.67 92.00 92.00 92.33 92.33 92.33 93.33 96.00 88.00 88.00 88.00 88.67 89.00 91.00 93.67 70 75 80 85 90 95 100 PL1 PL2 PL3 PL4 PL5 PL6 PL7 PL8 PL9 PL10 Stadia S u rv iva l Rat e ( % ) A B C D

Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup (%) larva udang vaname stadia PL1-PL 10. Pada stadia PL1 dan PL2 tidak menunjukkan hasil yang berbeda (p>0.05) antara semua perlakuan. Stadia PL3 diperlakuan B berbeda (p<0.05) dibanding perlakuan D, tetapi tidak berbeda (p>0.05) dengan perlakuan A dan C. Stadia PL4 diperlakuan B memberikan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan perlakuan A dan D, tetapi tidak berbeda dengan perlakuan C. Pada stadia PL5 sampai PL9 tingkat kelangsungan hidup yang paling tinggi (p<0.05) diperoleh perlakuan B, yang berbeda (p<0.05) dibandingkan dengan perlakuan A,C,

(38)

dan D, kecuali pada PL6 yang mana perlakuan B tidak berbeda dengan perlakuan C. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup yang paling rendah (p<0.05) pada stadia PL6 sampai PL 9 diperoleh perlakuan A dibandingkan perlakuan B, C, dan D. Pada PL 10 tingkat kelangsungan hidup yang paling tinggi diperoleh perlakuan B dengan nilai 95.33±1.53% yang berbeda (p<0.05) dengan perlakuan A (80.33±1.53%), C (92.00±2.00%) dan D (88.00±1.00%).

Komposisi Asam Lemak Artemia dan Larva Vaname

Kandungan lemak dan asam lemak pada Artemia yang diperkaya DHA 70G dan larva udang vaname stadia PL-5 dan PL-10 disajikan dalam Tabel 4 dan Lampiran 6. Kandungan lemak pada Artemia berkisar antara 13.16-17.55%. Artemia yang diperkaya dengan minyak kelapa mengandung EPA 0.17% dan DHA 0.07%. Pada Artemia yang diperkaya dengan DHA 70G, konsentrasi DHA pada Artemia meningkat sesuai dengan peningkatan dosis DHA 70G yang diberikan. Begitu pula dengan konsentrasi EPA dan n-3 HUFA yang meningkat. Konsentrasi EPA, DHA dan n-3 HUFA pada semua perlakuan berkisar antara 0.07-0.70%, 0-2.47% dan 0.64-3.80%.

Tabel 4. Komposisi asam lemak pada Artemia, PL-5 dan PL-10 (% berat kering)

Kode Lemak SATU

RATED MUFA PUFA LA LNA AA EPA DHA

∑N-3 HUFA DHA/EPA ARTEMIA A0 13.16 3.88 3.86 5.42 0.93 2.20 0.06 0.07 0.00 0.64 0.00 A 13.39 3.93 3.42 6.04 0.89 2.81 0.02 0.17 0.07 0.83 0.38 B 17.55 6.22 4.74 6.58 1.19 1.77 0.13 0.50 1.06 2.30 2.12 C 17.55 5.39 4.14 8.02 1.01 2.35 0.18 0.65 2.08 3.38 3.20 D 16.24 4.67 3.83 7.14 0.87 1.37 0.23 0.70 2.47 3.80 3.53 PL-5 A 19.03 7.94 4.55 6.55 1.30 2.63 0.00 0.71 0.88 2.25 1.25 B 15.33 5.73 3.52 6.08 0.97 2.09 0.32 0.98 1.31 2.93 1.34 C 19.04 5.94 5.05 7.92 1.24 2.50 0.32 1.02 1.49 3.18 1.46 D 19.71 7.04 4.31 8.37 1.13 2.30 0.30 0.98 1.57 3.22 1.61 PL-10 A 7.53 2.63 1.66 3.23 0.58 0.79 0.18 0.54 0.64 1.47 1.19 B 8.34 3.06 1.87 3.41 0.66 0.74 0.21 0.65 0.79 1.70 1.22 C 7.99 2.96 1.65 3.38 0.53 0.74 0.25 0.63 0.92 1.84 1.46 D 8.53 3.01 1.92 3.60 0.60 0.79 0.25 0.65 0.96 1.90 1.48

(39)

24

Konsentrasi EPA, DHA dan n-3 HUFA pada tubuh larva udang vaname mengalami penurunan sesuai dengan semakin bertambahnya stadia. Pada perlakuan A penurunan yang tajam sudah terlihat ketika PL-5 dan semakin menurun di PL-10 dengan konsentrasi yang paling rendah dibandingkan perlakuan B, C dan D. Sedangkan pada perlakuan B, C, D penurunan konsentrasi EPA, DHA dan n-3 HUFA tidak terlalu tajam ketika PL-5, dan kemudian menurun kembali pada PL-10. Konsentrasi tertinggi diperoleh pada perlakuan D untuk nilai EPA, DHA dan n-3 HUFA pada masing-masing stadia yang diamati.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengkayaan rotifer

(Brachionus rotundiformis) dan Artemia dengan DHA 70G dapat meningkatkan

kadar n-3 HUFA, terutama DHA sebelum diberikan sebagai pakan pada larva udang vaname. Sesuai dengan penelitian Barclay & Zeller (1996) bahwa rotifer dan naupli

Artemia dapat diperkaya dengan DHA yang merupakan asam lemak rantai panjang.

Pengkayaan dengan DHA 70G pada rotifer (Brachionus rotundiformis) dan naupli

Artemia menyebabkan retroconversion asam lemak dari bentuk rantai yang lebih

panjang menjadi EPA. Retroconversion DHA menjadi EPA dan 22:5n-6 menjadi AA (20:4n-6) melalui proses β-oksidasi yang telah lama dikenal terjadi pada mamalia (Hagve & Christopherson 1986). Prosesnya yang terjadi pada peroxisom atau mitokondria, yang meliputi dua reaksi: 1. docosapolyenoic acid (22:6n-3 or 22:5n-6) melepaskan ikatan gandanya pada ikatan ke 4, reaksinya melibatkan enzim 4-enol-CoA reductase, ketika rantai panjang karbon tetap tidak berubah, dan 2. kemudian rantai yang lebih pendek terjadi (Kunau & Bartnik 1974). DHA pertama-tama diubah menjadi 22:5n-3 dan kemudian diubah menjadi EPA, hal yang sama terjadi pada 22:5n-6 yang diubah menjadi 22:4n-6 dan kemudian menjadi 20:4n-6. Barclay & Zeller (1996) menunjukkan bahwa rotifer dan naupli Artemia yang diberi pakan

Schizochytrium selama 24 jam menghasilkan retroconversion asam lemak EPA dan

AA dari rantai yang lebih panjang. Penurunan kandungan AA pada stadia zoea, mysis dan post larva dibandingkan dengan stadia naupli menunjukkan bahwa asam lemak ini juga essensial untuk larva udang vaname. AA berperan penting dalam menghasilkan eicosanoid, yang merupakan asam lemak esensial yang harus

(40)

diberikan untuk larva ikan laut. Tetapi tampaknya AA tidak berperan dalam meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan atau mempercepat intermolt period. Hal ini terlihat dari kandungan AA yang rendah, kemungkinan hanya untuk memenuhi kebutuhan larva udang vaname selama pemberian rotifer dan Artemia.

Penelitian ini juga mendukung pernyataan bahwa DHA merupakan material penting yang digunakan untuk molting pada larva ikan laut dan krustasea, yang diindikasikan dengan berkurangnya kandungan DHA pada larva vaname setelah molting. Molting pada krustasea dan serangga diatur oleh ecdysteroids (Subramoniam 2000). Pada krustasea, ecdysteroids disekresi oleh organ Y yang terletak ditangkai mata yang dilepaskan ke dalam haemolimph, secara langsung mengatur proses molting. Doston et al (1993) juga menyatakan bahwa [3H]-ecdyson dimetabolisme menjadi 3 senyawa berbeda pada embrio dan larva Ornithodoras

moubata. Mereka menemukan bahwa satu dari senyawa itu berkonjugasi dengan

asam lemak C-22, sehingga dapat disimpulkan bahwa asam lemak C-22 seperti DHA mengatur molting pada larva udang vaname melalui metabolisme ecdysteroid.

Pada penelitian sebelumnya disebutkan bahwa pengkayaan naupli Artemia dengan DHA lebih efektif dibandingkan pengkayaan dengan EPA (Suprayudi et al. 2004). Watanabe (1993) melaporkan bahwa pengkayaan naupli Artemia dengan EPA murni 99% (ethyl ester) menghasilkan peningkatan EPA pada tubuh naupli tetapi DHA tidak terdeteksi sedangkan pengkayaan naupli Artemia dengan DHA murni 99% (ethyl ester) menghasilkan peningkatan pada EPA dan DHA dengan rasio 1:4.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbandingan DHA dan EPA yang tepat menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan intermolt period yang cepat pada larva udang vaname. Sesuai dengan penelitian pada larva Scylla serrata (Suprayudi et al. 2002a; Suprayudi et al. 2004) bahwa rasio DHA dan EPA yang dikandung dalam pakan alami berperan penting dalam perkembangan morphologi dan kelangsungan hidup. Larva udang vaname yang diberi rotifer mengandung 0.05% DHA dan 0.32% EPA (perlakuan B dengan rasio DHA/EPA 0.16) menghasilkan kelangsungan hidup yang rendah (69.00±3.00%) pada stadia PL1 dibandingkan dengan rotifer yang mengandung 2.45% DHA dan 0.64% EPA (perlakuan C dengan ratio DHA/EPA 4.02) dengan tingkat kelangsungan hidup 82.00±4.00%. Peningkatan ratio DHA/EPA > 4 pada rotifer akan menurunkan tingkat

(41)

26

kelangsungan hidup larva udang vaname. Sedangkan pada larva udang vaname yang diberi pakan Artemia yang mengandung DHA 1.06% dan EPA 0.50% (perlakuan B dengan rasio DHA/EPA 2.12) menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi pada PL10 (95.33±1.53%) dibandingkan pakan yang mengandung DHA 0.07% dan EPA 0.17% (perlakuan A dengan rasio DHA/EPA 0.38) dengan tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah (83.33±1.53%). Peningkatan rasio DHA/EPA pada Artemia akan menurunkan tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname. Sesuai dengan penelitian Takeuchi et al. 2000 pada larva Scylla

tranquebarica yang diberi pakan rotifer mengandung konsentrasi DHA dan EPA

tidak seimbang menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang rendah pada stadia megalopa.

Pada penelitian ini konsentrasi DHA pada rotifer lebih tinggi bila dibandingkan DHA pada naupli Artemia. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian yang dilakukan oleh Dhert et al. (1993). Tidak sama dengan pakan alami lainnya seperti rotifer, pengkayaan Artemia dengan DHA lebih sulit karena sifat katabolisme dari asam lemak ini pada pengkayaan yang menghasilkan rasio DHA/EPA rendah (Sorgeloos et al. 2001). Teknik pengkayaan dengan waktu yang lebih lama pada naupli Artemia selama 12 jam menghasilkan kandungan lipid yang lebih rendah daripada pengkayaan rotifer dengan waktu yang lebih pendek yaitu 6 jam, seperti pada penelitian Rainuzzo et al. (1994b). Menurut Barclay & Zeller (1996) penyimpanan DHA pada Artemia selama dan setelah pengkayaan jauh lebih sulit daripada rotifer, hal ini karena perbedaan stadia dari siklus hidup kedua spesies ini. Rotifer berada pada stadia dewasa dimana aktivitas metabolik tidak seberat seperti pada stadia larva Artemia sehingga komposisi asam lemak pada rotifer lebih stabil dan tidak berubah selama pengkayaan atau kondisi pemuasaan. Keberhasilan pengkayaan dengan DHA pada naupli Artemia juga bergantung dari karakteristik genetik jenisnya sendiri.

Penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan perlakuan pemberian pengkayaan terhadap rotifer dan Artemia dengan DHA 70G yang signifikan terhadap tingkat kelangsungan hidup dan intermolt period larva udang vaname. Hal ini menunjukkan pentingnya n-3 HUFA, terutama DHA pada larva udang vaname untuk tingkat kelangsungan hidup dan intermolt period. Larva udang vaname yang diberi rotifer dan Artemia yang tidak diperkaya menghasilkan tingkat kelangsungan hidup

(42)

yang paling rendah dan intermolt period yang lebih lama. Supriyadi et al. (2002a) menyatakan bahwa rotifer dan naupli Artemia yang digunakan sebagai pakan alami untuk larva ikan laut dan krustasea memiliki kandungan n-3 HUFA yang rendah terutama EPA dan DHA.

Semua perlakuan yang diberikan pada larva udang vaname dapat menyebabkan larva dapat hidup, baik penelitian tahap pertama (Z2-PL1) atau penelitian tahap kedua (PL1-PL10), yang membedakannya adalah tingkat kelangsungan hidup dan kecepatan intermolt period diantara perlakuan yang diberikan. Untuk mempertahankan tingkat kelangsungan hidup dan intermolt period yang lebih baik, pada stadia Z2-PL1 diberikan pakan alami berupa rotifer dengan konsentrasi DHA 2.45% sedangkan pada PL1-PL10 diberi naupli Artemia dengan konsentrasi DHA 1.06%.

Penurunan tingkat kelangsungan hidup yang tajam terjadi pada stadia zoea. Hal ini sesuai dengan Elovaara (2001) bahwa fase zoea merupakan fase kritis pada udang vaname dan kematian yang tinggi sering terjadi. Kematian ini disebut juga zoea syndrome yang menyebabkan kematian pada larva yang tinggi hingga 90% sebelum larva mencapai stadia mysis. Pengkayaan naupli Artemia dengan DHA sebelum diberikan kepada larva udang vaname membantu menyediakan asam lemak esensial selama fase kritis dalam perkembangan larva. Bell et al. (1994) menyatakan bahwa pemberian pakan dengan rotifer dan naupli Artemia yang diperkaya dengan DHA menghasilkan peningkatan EPA yang mempertinggi kemampuan imun larva ikan.

Tingkat kelangsungan hidup hingga mencapai stadia PL1 berangsur-angsur menurun dan perlakuan A (64%; 8.93) dan B (69%; 9.02) memiliki tingkat kelangsungan hidup yang rendah dan intermolt period yang lebih lambat dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena larva pada stadia Z2-PL1 yang tidak diberi rotifer (perlakuan A) dan diberi rotifer yang tidak diperkaya (perlakuan B) memiliki kadar EPA dan DHA yang rendah. Larva P. trituberculatus (Hamasaki et al. 1998) dan Scylla serrata (Suprayudi et al. 2002) yang diberi rotifera yang mengandung kadar EPA dan DHA rendah menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang rendah dan intermolt period yang lebih lambat. Tingkat kelangsungan hidup juga lebih rendah pada larva udang vaname yang diberi DHA pada tingkat yang berlebih (perlakuan E).

(43)

28

Pada pemeliharaan post larva (PL1-PL10) menunjukkan bahwa fase krirtis terjadi pada PL1 sampai PL5. Perlakuan yang diberi Artemia yang diperkaya dengan DHA menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik. Tetapi hasil yang sama diperoleh pada post larva yang diberi kadar DHA kurang atau berlebih yang menyebabkan tingkat kelangsungan hidup yang rendah. Rees et al. (1994) menyatakan bahwa kelebihan n-3 HUFA yang diberikan kepada postlarva P.

monodon akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan kelangsungan hidup.

Pada larva Scylla serrata yang diberi naupli Artemia yang diperkaya dengan kadar DHA rendah atau berlebih juga menurunkan tingkat kelangsungan hidupnya (Suprayudi et al. 2004).

Penelitian ini menunjukkan bahwa pengkayaan rotifer dan naupli Artemia dengan DHA menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik dan mempercepat intermolt period larva udang vaname. Beberapa penelitian pada larva ikan laut dan krustasea menunjukkan bahwa DHA mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan EPA dalam mempercepat perubahan bentuk, pigmentasi, kelangsungan hidup dan pertumbuhan (Watanabe 1993; Rainuzzo et al. 1994a; Rodriguez et al. 1997; Blinkmeyer & Holt. 1998; Suprayudi et al. 2002a).

Kandungan asam lemak pada stadia larva udang yang berbeda menunjukkan besarnya kandungan asam lemak dari makanannya. Hal ini sungguh menarik bahwa DHA, yang tidak tersedia pada Artemia, disimpan secara khusus pada post larva. Keberadaan DHA pada lemak di stadia PL1-PL10 ketika diberi pakan yang kekurangan asam lemak mengindikasikan pentingnya DHA untuk larva udang vaname. Pakan yang mengandung n-3 HUFA akan meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup dari larva udang vaname ini seperti yang ditunjukkan pada larva penaeid lainnya (Sorgeloos & Leger 1992; Mourente et al. 1995). Ketika dievaluasi sebagai pakan untuk larva udang vaname yang diberi DHA umumnya menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik dan intermolt period yang lebih cepat. Watanabe (1993) menyatakan bahwa hal tersebut mengindikasikan bahwa pakan larva yang diperkaya dengan EPA menghasilkan larva dengan vitalitas rendah karena kekurangseimbangan EPA dan DHA dalam biomembran ikan menyebabkan perubahan fluiditas membran atau fungsi fosfolipid.

(44)

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa DHA merupakan asam lemak esensial yang diperlukan oleh larva udang vaname yang dapat diberikan melalui pengkayaan terhadap rotifer (Brachionus rotundiformis) dan Artemia sehingga nilai nutriennya dapat meningkat. Tingkat pengkayaan DHA 70G yang diberikan selama pemberian rotifer (Z2-M3) dan Artemia (PL1-PL10) adalah sebanyak 25µL/L sehingga dapat memperoleh tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan mempercepat intermolt period larva udang vaname (Litopenaeus vannamei).

Saran

Pada stadia Zoea 2 larva udang vaname sebaiknya diberi pakan alami berupa rotifer (Brachionus rotundiformis) yang telah diperkaya dengan DHA 70G.

Gambar

Gambar 1. Wadah penelitian
Tabel 1. Jumlah rotifer dan Artemia (ind/ml) yang diberikan
Gambar 2. Tingkat kelangsungan hidup (%) larva udang vaname stadia Z2-PL1
Tabel 2. Intermolt period (hari) larva udang vaname setiap stadia (Z2-PL1)  Stadia  Perlakuan  Z2  Z3 M1 M2 M3 PL1  A 1.00±0.00 a  2.71±0.02 b 4.59±0.02 c 6.11±0.09 c 7.81±0.17 c  8.93±0.15 c B 1.00±0.01 a  2.78±0.03 b 4.86±0.04 d 6.14±0.05 c 7.81±0.02 c
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan hasil penelitian Sulistiawati (2013) yang menunjukkan tidak adanya perbedaan kebahagiaan pada guru berstatus PNS dan honorer seperti dengan teori

Pro gradu -tutkielma Lokakuu 2019.. Yhdeksi yritysviestinnän trendiksi on noussut yrityksen arvoista viestiminen ja yritysaktivismi. Yrityksiltä odotetaan

Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penulisan ilmiah ini adalah penelitian keperpustakaan di mana berpedoman pada buku-buku yang berhubungan dengan topik dalam

[r]

Akibat lain adalah hari ra'at yang lebih &#34;anjang dan itu berarti &#34;erlu adanya tambahan lain adalah hari ra'at yang lebih &#34;anjang dan itu berarti &#34;erlu adanya

Menurut Martorella (Etin solihatin dan Raharjo,2007). IPS juga merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan di SD yang mengkaji seperangkat peristiwa, fakta,

Usaha tersebut diantaranya dengan melakukan branding dan pemasaran offline dan online guna meningkatkan produktivitas pada industri kecil dan menengah ini agar

Berdasarkan analisis, perancangan dan implementasi pengelolaan nilai akademik berbasis web menggunakan framework laravel (studi kasus : SMP Negeri 2