• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sangat luas pada masa sekarang. Berbagai contoh penyakit yang berhubungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sangat luas pada masa sekarang. Berbagai contoh penyakit yang berhubungan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Inflamasi merupakan salah satu gangguan fungsi tubuh yang berkembang sangat luas pada masa sekarang. Berbagai contoh penyakit yang berhubungan dengan inflamasi antara lain asma, rhinitis alergi, osteoarthritis, dan lain-lain. Inflamasi telah diketahui sebagai wujud mekanisme pertahanan tubuh terhadap kerusakan jaringan, adanya infeksi karena kerusakan jaringan, serta proses promosi penyembuhan yang ditandai dengan lima tanda yaitu kemerahan (rubor), pembengkakan (tumour), panas (calor), nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi tubuh (McCance dan Huether, 2006). Saat ini banyak dikembangkan obat-obat yang dapat mengobati inflamasi, namun obat-obat inflamasi sintesis diketahui memiliki berbagai macam efek samping yang cukup merugikan pasien. Oleh karena itu, saat ini masyarakat mencoba untuk memilih alternatif dengan mengkonsumsi obat-obatan bahan alam. Salah satu bahan alam yang diketahui memiliki efek sebagai antiinflamasi adalah temulawak dengan kandungan zat aktifnya yaitu kurkumin. Kurkumin merupakan suatu zat kimia berwarna kuning dapat berasal dari ekstrak tanaman temulawak (Curcuma longa). Kurkumin biasa digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit (Kohli et.al., 2005). Namun kurkumin juga diketahui sebagai senyawa yang memiliki berbagai macam permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain dalam hal kelarutannya dalam air sehingga dapat mengakibatkan berkurangnya nilai bioavailabilitasnya dalam tubuh. Hal

(2)

tersebut nantinya akan sangat berpengaruh pada kadar kurkumin yang ada di dalam tubuh. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang dimiliki oleh kurkumin yaitu dengan membuat formulasi senyawa kurkumin dengan menggunakan kitosan menjadi bentuk nanopartikelnya agar diterima dalam sistem penghantaran obat oleh tubuh. Berdasarkan penilaian tersebut, dilakukanlah penelitian ini untuk mengetahui efek antiinflamasi yang akan dihasilkan oleh senyawa kurkumin apabila diformulasi dengan menggunakan kitosan rantai sedang dalam bentuk nanopartikel.

Uji antiinflamasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model uji antiinflamasi dengan melihat udem pada kaki tikus. Uji antiinflamasi dilakukan dengan menentukan daya antiinflamasi obat yang digunakan yaitu formulasi kurkumin dengan kitosan rantai sedang dalam bentuk nanopartikel yang diberikan secara oral setengah jam sebelum penginduksian karagenin sebagai senyawa iritan yang sering digunakan pada uji antiinflamasi terinduksi karagenin. Setelah itu, pengukuran volume pada pembengkakan kaki dilakukan setiap setengah jam setelah penyuntikkan karagenin (Van Arman et.al., 1965). Berdasarkan hasil penelitian ini nantinya diharapkan formulasi kurkumin dengan kitosan rantai sedang dalam bentuk nanopartikel dapat menunjukkan adanya aktivitas antiinflamasi. Selain itu, diharapkan pula adanya efek antiinflamasi yang lebih baik yang dihasilkan oleh nanopartikel kurkumin apabila dibandingkan dengan senyawa kurkumin yang tidak dibentuk dalam bentuk nanopartikel pada dosis yang sama.

(3)

B. Rumusan Masalah

1. Apakah formulasi kurkumin dengan menggunakan kitosan rantai sedang dalam bentuk nanopartikel dapat memberikan efek antiinflamasi ?

2. Apakah kurkumin dengan kitosan rantai sedang dalam bentuk nanopartikel mampu menghasilkan efek antiinflamasi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kurkumin yang tidak diformulasi menjadi bentuk nanopartikel ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui adanya efek antiinflamasi serta nilai daya antiinflamasi yang dihasilkan formulasi kurkumin dengan menggunakan kitosan rantai sedang dalam bentuk nanopartikel.

2. Membandingkan daya antiinflamasi yang dihasilkan oleh kurkumin dalam bentuk nanopartikel dengan kurkumin yang tidak diformulasi menjadi bentuk nanopartikel.

D. Tinjauan Pustaka 1. Inflamasi

Inflamasi berasal dari kata inflammare yang berarti membakar merupakan reaksi lokal terhadap cedera yang dilakukan oleh mikrosirkulasi dan kandungannya. Inflamasi adalah aktivitas untuk melindungi tubuh akibat kerusakan jaringan, adanya infeksi karena kerusakan jaringan, serta proses promosi penyembuhan. Respon inflamasi merupakan respon biokimia dan mekanisme sel yang sangat cepat (McCance dan Huether, 2006). Berdasarkan pengamatan visual, inflamasi ditandai dengan lima tanda yaitu kemerahan

(4)

(rubor), pembengkakan (tumour), panas (calor), nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi tubuh. Sensasi panas yang terjadi pada tanda-tanda inflamasi dapat disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah darah yang melalui pembuluh darah kemudian melebar ke perubahan suhu dingin lingkungan yang drastis. Hal ini juga nantinya dilihat berdasarkan adanya peningkatan jumlah kemerahan yang disebabkan karena adanya penambahan jumlah eritrosit yang melewati daerah inflamasi tersebut (Punchard et.al., 2004).

Aktivasi respon inflamasi berdasarkan bagian yang mengalami kerusakan jaringan akibat adanya kerusakan yang disebabkan oleh bahan-bahan termasuk infeksi, kerusakan mekanik, kekurangan oksigen, kekurangan nutrisi, faktor genetik ataupun sistem imun, agen kimia, perubahan suhu yang sangat drastis, serta radiasi ion. Jaringan yang telah mengalami inflamasi akan mempertahankan aktivitasnya dengan menunjukkan hal-hal seperti peningkatan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi, akumulasi sel, eksudasi leukosit, nyeri, demam, dan gatal (McCance dan Huether, 2006). Inflamasi dapat terjadi karena diawali dengan adanya stimulus yang merusak jaringan yang mengakibatkan pecahnya sel mast dan peristiwa ini diatur sedemikian rupa oleh mediator ekstraseluler dan regulator termasuk sitokin, eicosanoid (prostaglandin, leukotrien, dan lain-lain) (Punchard

et.al., 2004).

Efek inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah akan terlihat hanya dalam beberapa detik. Pertama, arteriol yang berada di dekat daerah infeksi atau cedera akan menyempit, setelah itu vasodilatasi akan memperlambat kecepatan aliran darah dan meningkatkan aliran darah di daerah kerusakan. Adanya peningkatan

(5)

aliran dan permeabilitas kapiler memungkinkan terjadinya kebocoran plasma pembuluh dan akan menyebabkan pembengkakan (edema) pada bagian yang rusak. Oleh karena adanya peningkatan aliran darah dan meningkatnya konsentrasi sel darah merah pada bagian inflamasi maka akan terjadi kemerahan dan panas pada bagian tersebut. Leukosit mengikuti memasuki pembuluh. Pada waktu yang sama, mediator biokimia (histamin, bradikinin, leukotrin, substans P dan prostaglandin) merangsang sel-sel endotel yang melapisi pembuluh kapiler dan venula untuk menarik kembali leukosit yang telah masuk ke pembuluh darah untuk membentuk ruang di antara sel-sel yang memungkinkan leukosit dan plasma untuk memasuki jaringan di sekitarnya (McCance dan Huether, 2006). Berdasarkan waktu kejadiannya inflamasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Inflamasi akut

Inflamasi akut merupakan respon tubuh secara langsung yang terjadi setelah terjadinya kerusakan atau kematian sel. Tiga perubahan utama yang mempengaruhi respon inflamasi antara lain demam, leukosit, dan peningkatan level sirkulasi plasma protein. Demam merupakan respon pertama yang terjadi, hal ini disebabkan karena adanya rangsangan dari sitokin spesifik seperti IL-1 yang keluar dari neutrofil dan makrofag. Agen penyebab demam ini beraksi langsung pada hipotalamus yang terdapat di otak yaitu organ yang dapat mengatur suhu tubuh. Di sisi lain, demam mungkin memiliki efek samping yang berbahaya karena dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap efek endotoksin terkait dengan infeksi bakteri (McCance dan Huether, 2006).

(6)

Perubahan sistemik lain yang berpengaruh terhadap inflamasi yaitu leukosit. Selama proses infeksi, jumlah sirkulasi leukosit khususnya neutrofil mengalami peningkatan. Peningkatan ini biasanya terjadi karena adanya perbedaan rasio neutrofil yang telah matang atau tidak. Biasanya pada inflamasi terdapat lebih banyak jumlah neutrofil yang belum matang. Produksi leukosit yang belum matang inilah yang menyebabkan proliferasi serta pelepasan granulosit dan prekursor monosit di sumsum tulang yang terstimulasi dari bagian inflamasi (McCance dan Huether, 2006).

Perubahan respon inflamasi akut yang lain yaitu sirkulasi plasma protein. Tubuh dapat menghasilkan reaktan fase akut. Reaktan fase akut merupakan protein yang dihasilkan oleh hati selama proses inflamasi akut. Reaktan fase akut ini antara lain fibrinogen, haptoglobin, amyloid A, ceruloplasmin, dan α1–antitrypsin. Pada peristiwa demam, IL-1 dapat merangsang pembentukan reaktan fase akut ini sendiri di sel hati sehingga nantinya ada peningkatan pada demam yang diakibatkan karena proses ini (McCance dan Huether, 2006). Gejala yang ditimbulkan oleh inflamasi akut antara lain rasa tidak enak badan, anoreksia, nyeri otot dan lain lain (McCance dan Huether, 2006).

b. Inflamasi kronis

Inflamasi kronis merupakan proses kelanjutan inflamasi akut namun dapat juga terjadi karena proses yang berbeda. Inflamasi kronis ditandai dengan infiltrasi limfosit dan makrofag. Apabila makrofag tidak dapat melindungi tubuh akibat kerusakan jaringan, tubuh akan berusaha

(7)

melindungi dan mengisolasi daerah yang terinfeksi sehingga nantinya akan membentuk granuloma. Granuloma tersusun atas neutrofil dan makrofag yang tidak dapat dihancurkan oleh mikroorganisme selama proses inflamasi akut. Contoh inflamasi kronis yaitu pada pasien tuberkolosis (McCance dan Huether, 2006).

2. Peranan metabolisme arakidonat dalam inflamasi

Asam arakidonat merupakan prekursor molekul yang paling penting dalam proses peradangan. Jumlah konsentrasi asam arakidonat yang tinggi dikaitkan dengan besarnya resiko pada infark myokardia (Martinelli et.al., 2008). Metabolisme asam arakidonat melalui salah satu dari dua jalur utama sesuai dengan enzim yang memperantarai yaitu siklooksigenase dan lipoksigenase (McCance dan Huether, 2006).

Tahap pertama, sisi aktif siklooksigenase mengubah asam arakidonat menjadi PGG2 endoperoksida, kemudian sisi aktif endoperoksida mengubah PGG2 menjadi PGH2 endoperoksida. PGH2 kemudian disintesis secara spesifik menjadi bentuk prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan A2 yang merupakan mediator inflamasi yang paling utama (Botting, 2006). Prostaglandin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan kemotaksis neutrofil. Prostaglandin juga diketahui dapat merangsang terjadinya nyeri (McCance dan Huether, 2006). Tahap lain yaitu lipoksigenase. Pada tahap ini yang terlibat dalam inflamasi yaitu 5-lipoksigenase. Lipoksigenase mengkatalisis dua langkah dalam biosintesis leukotrien. Leukotrien merupakan salah satu mediator lipid dalam inflamasi yang berasal dari asam arakidonat. Pada biosintesis leukotrien 5 lipoksigenase (5-LO)

(8)

mengkatalisis oksigenasi asam arakidonat menjadi 5(S)-hidroperoksi-6-trans-8,11,14-cis-asam eicosatetraeonat(5-HPETE) dan dehidrasi lebih lanjut ke leukotrien 4 allylic epoksida. Sebagai salah satu dari enam lipoksigenase manusia, 5-LO diekspresikan terutama dalam berbagai leukosit, antara lain leukosit polimorfinuklear (neutrofil dan eosinofil), monosit / makrofag, sel mast, B-limfosit, sel dendritik, dan sel-sel jaringan aterosklerotik manusia (Radmark dan Samuelsson, 2009). Sama halnya dengan prostaglandin, leukotrien juga dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan memungkinkan terjadinya kemotaksis neutrofil dan eosinofil (McCance dan Huether, 2006 ).

Gambar 1. Jalur Metabolisme Asam Arakidonat dalam Tubuh

Membran Fosfolipid

Asam Arakidonat

PGH2 Leukotrien

Tromboksan Prostasiklin

Siklooksigenase Lipoksigenase

Tromboksan Sintetase Prostasiklin Sintetase

PGD2

Prostanoid Sintetase Fosfolipase A2

PGE2 PGF2

(9)

3. Obat antiinflamasi

Obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan yaitu obat antiinflamasi steroid dan obat antiinflamasi non-steroid.

a. Obat antiinflamasi nonsteroid (AINS)

AINS merupakan kelompok obat yang biasa diresepkan untuk mengobati gejala-gejala seperti nyeri, demam pada anak serta efek antiinflamasinya pada arthritis dan kerusakan muskoskeletal (Levy dan Imundo, 2010). Mekanisme AINS yaitu dengan menghambat prostaglandin H2 sintetase yang juga dikenal dengan cyclooxygenase (COX) yaitu enzim

yang dibutuhkan untuk sintesis prostaglandin dari membran sel. AINS dapat menghambat siklooksigenase yang dibutuhkan untuk konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin dan tromboksan. COX inhibitor dapat mengurangi inflamasi dan nyeri namun juga dapat menimbulkan efek samping pada aliran darah ginjal dan perlindungan mukosa lambung (Slater et.al., 2010).

Pada penghambatan enzim COX–1 akan mengakibatkan nyeri pada perut serta iritasi lambung. Hal ini disebabkan karena pada proses penghambatan enzim COX-1 bergantung pada prostanoid yang menggangu perlindungan sel yang terdapat di lambung dan agregasi platelet. Contoh obat-obat AINS yang menghambat COX-1 dan COX-2 antara lain adalah piroxicam dan indomethacin yang memiliki efek samping pada gastrointestinal lebih besar. Penghambatan pada enzim COX-2 juga bergantung pada prostanoid, namun efeknya pada gastrointestinal lebih

(10)

rendah (Levy dan Imindo, 2010). Prostanoid merupakan produk akhir asam lemak yang diperoleh dari jalur metabolisme yaitu jalur COX. Prostanoid telah diketahui sebagai mediator penting dalam fisiologi dan farmakologi yang berperan dalam area terapetik seperti inflamasi, nyeri, demam, kanker, glaukoma, disfungsi seksual pada pria, osteoporosis, gangguan kardiovaskuler, dan asma (Praveen dan Knaus, 2008).

AINS yang selektif COX-2 lebih banyak digunakan apabila terjadi kegagalan pada penggunaan AINS yang tidak selektif. Pada penelitian terdahulu menyatakan bahwa semua AINS memiliki efikasi yang sama, namun beberapa penelitian lain menyatakan bahwa AINS memiliki nilai efikasi yang berbeda tergantung AINS yang digunakan. Perbedaan efikasi AINS tersebut dapat bergantung pada formulasi masing-masing obat (Ong

et.al., 2007 ).

Selain dapat memberikan manfaat dalam analgesik dan antiinflamasi, AINS juga dapat memberikan efek samping yang mengganggu penggunanya. Efek samping yang dapat muncul pada penggunaan AINS antara lain gangguan pada gastrointestinal seperti hemoragi pada gastrointestinal, perforasi, dan obstruksi. Efek samping lain yang disebabkan oleh AINS yaitu gangguan pada kardiovaskular seperti jantung iskemik, stroke, gagal jantung kongestif (Ong et.al., 2007).

b. Obat Antiinflamasi Steroid

Kortikosteroid merupakan salah satu pengobatan yang sering diresepkan dalam terapi suatu penyakit. Kortikosteroid memiliki aksi sebagai

(11)

antiinflamasi dan imunosupresan (Mahajan dan Tandon, 2005). Kortikosteroid banyak digunakan untuk pengobatan inflamasi kronik seperti asma, tapi terkadang tidak efektif untuk pengobatan inflamasi lain seperti PPOK (Barnes, 2005).

Kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Mekanisme glukokortikoid yaitu dapat menghambat terbentuknya leukotrien dan prostaglandin, sehingga memiliki sifat antiinflamasi yang kuat. Mekanisme mineralokortikoid sendiri yaitu lebih menimbulkan efek pada keseimbangan air dan elektrolit. Penggunaan golongan kortikosteroid dapat mencegah dan mengurangi udem serebral terutama akibat neoplasma (Suherman, 1995).

4. Kalium Diklofenak

Diklofenak merupakan salah satu obat golongan antiinflamasi non-steroid

sebagai antiinflamasi, analgetik, serta anti piretik. Diklofenak biasanya diformulasi dalam bentuk garamnya yaitu natrium dan kalium serta bentuk garamnya yang lain (Chuasuwan et.al., 2009). Mekanisme kalium diklofenak yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX) yang berperan dalam pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat (Hinz et.al., 2004). Kalium diklofenak digunakan untuk mengobati dysmenorrhea dan nyeri ringan hingga berat (Rajalakhsmi et,al., 2011).

Kalium diklofenak merupakan salah satu obat yang mudah larut dalam air dan

diabsorpsi cepat dalam gastrointestinal. Dosis terapi kalium diklofenak yaitu 50 mg dua sampai tiga kali sehari (Patil et.al., 2010). Kalium diklofenak dapat

(12)

diabsorbsi dengan baik pada dosis rendah yaitu 12,5 mg (Hinz et.al., 2004). Kalium diklofenak juga diketahui lebih cepat terdisolusi sehingga lebih cepat proses absorbsinya apabila dibandingkan dengan natrium diklofenak (Chuasuwan

et.al., 2009). 5. Kurkuminoid

Kurkumin merupakan suatu zat kimia berwarna kuning dapat berasal dari ekstrak tanaman temulawak (Curcuma longa ). Kandungan yang paling banyak terdapat di dalam temulawak adalah oleosin. Dalam ekstrak mentah akar temulawak terdapat 70-76 % kurkumin yang terdiri atas 16% demetoksikurkumin dan 8% bisdemetoksikurkumin yang biasa digunakan sebagai pewarna makanan dan pengobatan di India. Serbuk yang dihasilkan oleh temulawak biasa digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit (Kohli et.al., 2005).

Fraksi kurkumin merupakan ekstrak yang telah mengalami pemurnian yang nantinya hanya mengandung kurkumin dalam kadar yang lebih tinggi (Murniwaty, 2003). Kurkumin merupakan senyawa yang tidak stabil dalam pH basa dan akan terdegradasi dalam waktu kurang lebih 30 menit. Darah manusia ataupun antioksidan seperti vitamin c serta bovin serum dapat mempengaruhi terdegradasinya senyawa ini. Kurkumin relatif tidak larut dalam air namun dapat larut di dalam aseton, etanol serta dimetilsulfoksida (Jacob et.al., 2007).

Sebagai fungsinya dalam terapi antiinflamasi, kurkumin bekerja dengan beberapa mekanisme antara lain menghambat pembentukan asam arakidonat dengan fosfolipid dan menghambat dealkilasi asam arakidonat yang telah dilabel dengan fosfolipid. Selain itu, kurkumin juga dapat menghambat sintesis

(13)

prostaglandin tertentu dengan menghambat enzim sikloogenase. Mekanisme aksi kurkumin yang lain yaitu dengan menurunkan sintesis leukotrien dengan menghambat enzim lipoksigenase. Berdasarkan pada beberapa mekanisme tersebut, dapat diketahui bahwa kurkumin dapat menurunkan infiltrasi neutrofil dalam kondisi inflamasi dan menghambat agregasi platelet (Kohli et.al., 2005).

Gambar 2. Struktur Senyawa Kurkumin 6. Karagenin

Karagenin merupakan senyawa iritan yang banyak digunakan dalam metode udem telapak kaki tikus yang merupakan senyawa polisakarida rantai panjang yang mengandung ester sulfat. Pada mulanya karagenin digunakan sebagai stimulus inflamasi kronis namun kemudian digunakan secara luas untuk menguji antiinflamasi akut (Bonney et.al., 1978). Karagenin diketahui mampu menginduksi reaksi inflamasi yang bersifat akut, non-imun, dan dapat diamati dengan baik serta mempunyai reprodusibilitas tinggi (Morris, 2003).

Karagenin tidak dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan, tidak menimbulkan bekas namun memiliki respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi apabila dibandingkan dengan senyawa iritan lain. Udem yang dihasilkan oleh karagenin dapat bertahan dalam waktu enam jam dan akan berangsur-angsur berkurang dalam 24 jam (Sumarny dan Rahayu, 1994).

(14)

Karagenin merangsang terjadinya udem dengan cara melepaskan mediator-mediator inflamasi yaitu histamin, serotonin, dan kinin yang akan dilepaskan pada jam pertama, sedangkan mediator inflamasi yang akan dilepaskan pada jam kedua sampai ketiga yaitu prostaglandin dan lisosom (Sharma et.al., 2009). Beberapa senyawa yang dapat menyebabkan iritasi yang lain selain karagenin antara lain dekstran, yeast, putih telur, serotonin, mustard, formalin, kaolin, racun ular, polovinil pirolidin, serta mediator kimia inflamasi yaitu histamin, serotonin atau bradikinin yang dapat menyebabkan udem jika disuntikkan secara subplantar pada telapak kaki tikus (Gryglwski, 1977).

7. Penentuan aktivitas antiinflamasi

Penentuan aktivitas antiinflamasi suatu obat dapat dilakukan dengan menggunakan suatu model eksperimen inflamasi. Model uji yang dilakukan didasarkan pada gejala klinis pada inflamasi akut (Dawson, 1979). Model eksperimen inflamasi ini dapat digunakan untuk menyelidiki proses inflamasi dan mengevaluasi daya antiinflamasi senyawa kimia. Beberapa model eksperimen inflamasi yang biasa digunakan yaitu udema terinduksi pada telapak kaki tikus (rat hind paw), eritema ultra violet, dan arthritis adjuvant (Swingle, 1974). Model uji antiinflamasi akut yang digunakan sebagai cara utama untuk dapat mendeteksi aktivitas antiinflamasi suatu senyawa yaitu metode udem telapak kaki tikus yang diinduksi oleh karagenin (Dawson, 1979). Udem merupakan parameter yang berguna untuk menguji obat antiinflamasi akut karena udem atau pembengkakan merupakan tanda penting pada proses inflamasi (Sedwick dan Willoughby, 1989).

(15)

Model uji inflamasi dengan menggunakan pengukuran udem memiliki beberapa keuntungan antara lain dapat lebih mudah dan reprodusibel apabila dibandingkan dengan metode yang lain. Selain itu, apabila menggunakan satu kelompok tikus, waktu yang digunakan untuk terbentuknya udem dapat diselidiki dan membutuhkan biaya yang relatif lebih murah (Sedwick dan Willoughby, 1989). Teknik yang banyak digunakan dalam pengembangan obat-obat antiinflamasi yaitu mengukur kemampuan obat dalam menghambat udem pada kaki tikus yang dihasilkan oleh bahan-bahan edemogen (Swingle, 1974). Bahan edemogen yang banyak digunakan adalah karagenin. Penentuan aktivitas dilakukan dengan memberikan obat antiinflamasi yang digunakan untuk uji pada waktu nol sedapat mungkin secara oral, 60 menit kemudian dilakukan penyuntikkan suspensi karagenin 1% ke dalam jaringan planar pada salah satu telapak kaki tikus dan menentukan volume kaki tikus pada menit ke nol (t=0). Setelah itu, pengukuran volume pada pembengkakan kaki dilakukan setiap setengah jam setelah penyuntikkan karagenin (Van Arman et.al., 1965).

8. Nanopartikel

Nanopartikel merupakan struktur koloidal atau padat dengan rentang ukuran 10-1000 nm, diformulasi menggunakan polimer biodegradabel maupun nonbiodegradabel yang mana bahan obat dapat terjebak (entraped), diadsorbsi atau bergandengan secara kimia (Sahoo dan Labhasetwar, 2006). Nanopartikel digunakan sebagai suatu sistem penghantaran obat dengan partikel yang berukuran submikron. Ukuran partikel yang rendah ini yang nantinya memungkinkan untuk penetrasi ke dalam sel tumor. Nanopartikel juga dapat

(16)

menembus sawar darah otak dan masuk ke dalam sel melalui tight-junction (Sudyajai, 2006).

Pelepasan obat dapat dipengaruhi oleh ukuran partikel. Semakin kecil ukuran

partikel akan memiliki luas permukaan yang lebih besar yang dapat mempercepat proses pelepasan obat. Namun sebaliknya, semakin besar ukuran suatu partikel akan memiliki inti yang lebih besar dan memungkinkan terjadinya lebih banyak obat pada tiap partikel dan memberikan pelepasan obat yang lambat (Singh dan Lillard, 2009).

Sifat suatu nanopartikel tergantung proses penyiapan, ukuran partikel, zeta potensial, pH atau morfologi suatu partikel. Sehingga hal tersebut sangat penting untuk mengendalikan parameter untuk mencapai sifat nano partikel yang diinginkan (Pandey dan Saraf, 2010)

Nanopartikel memiliki banyak keuntungan dalam sistem penghantaran obatnya. Hal itu disebabkan oleh ukuran yang lebih rendah yang membuatnya lebih mudah berpenetrasi melalui kapiler yang lebih kecil, sehingga memungkinkan akumulasi obat secara efisien pada sisi target (Sahoo dan Labhasetwar, 2006).

9. Kitosan

Kitosan merupakan suatu polimer alami yang diperoleh dari deasetilasi alkali pada kitin. Kitin dapat ditemukan dalam eksoskeleton hewan-hewan pada famili crustaceae (kepiting,udang,lobster), serangga, dan beberapa jamur (Hejazi dan Amiji, 2003). Kitosan merupakan sebuah polimer yang mempunyasi sifat mukoadesif yang dapat meningkatkan permeabilitas sel dan meningkatkan

(17)

ketersediaan hayati obat protein secara oral dengan LD50 oral tikus lebih dari 16 g/kg. Kitosan dapat dibentuk menjadi nanopartikel dengan mengikat obat-obatan atau mengkondensasi plasmid DNA (Bowman, 2006).

Kitosan tersedia dalam beberapa bobot molekul yaitu kitosan rantai pendek, kitosan rantai sedang, dan kitosan rantai panjang. Ukuran rantai nantinya akan mempengaruhi kelarutan dan viskositas. Kitosan rantai pendek lebih mudah larut dalam asam organik seperti asam asetat, asam sitrat, dan asam tartat. Pada kitosan rantai panjang, kelarutannya lebih rendah dan kekentalannya yang lebih tinggi. Berdasarkan inilah yang nantinya dapat mempengaruhi kestabilan larutan kitosan (Mao et.al., 2001)

Kitosan merupakan senyawa yang bersifat basa lemah dengan nilai pKa 6,5 yang larut dalam medium asam seperti asam asetat, asam sitrat, asam aspartat, dan tidak larut dalam suasana pH netral dan alkali (Hejazi dan Amiji, 2003). Kelarutan kitosan ini tergantung distribusi gugus amin bebas dan N-asetil. Pada pelarut yang asam (pH < 6), gugus amin bebas akan diprotonasi dalam lingkungan asam dan membuat molekul kitosan menjadi mudah larut. Apabila kitosan dilarutkan dalam larutan asam, gugus amin primer dalam kitosan akan terprotonasi dalam muatan positif (Aranaz et.al., 2009).

Kitosan digunakan secara luas dalam bidang pengobatan, bioteknologi, menjadi bahan penting dalam aplikasi farmasi karena memiliki kemampuan biodegradasi, biokompabilitas serta daya toksisitasnya yang rendah. Selain itu, kitosan juga bersifat mukoadesif. Oleh karena sifat mukoadesif ini, kitosan telah digunakan sebagai bahan tambahan dalam berbagai bentuk sediaan antara lain

(18)

oral, nasal, transdermal, parenteral untuk obat-obat dengan molekul kecil, protein, peptide, dan vaksin (Wong, 2009).

E. Landasan Teori

Inflamasi diketahui merupakan salah satu mekanisme perlindungan tubuh terhadap infeksi dan kerusakan jaringan. Pada masa saat ini, pengobatan untuk inflamasi sangatlah berkembang. Obat-obatan antiinflamasi golongan steroid dan golongan non-steroid dikembangkan untuk pengobatan antiinflamasi. Obat-obat tersebut memiliki perbedaan dalam mekanisme kerjanya. Obat-obat golongan steroid seperti betametason, hidrokortison, dan lain-lain bekerja dengan menghambat enzim fosfolipase sedangkan obat-obat antiinflamasi golongan non-steroid bekerja dalam menghambat enzim siklooksigenase yang berperan dalam proses inflamasi. Selain itu, telah dikembangkan pula senyawa lain yang dapat digunakan sebagai senyawa antiinflamasi yaitu kurkumin. Kurkumin merupakan suatu senyawa yang berasal dari ekstrak tanaman temulawak (Curcuma longa) yang memiliki efek mengobati berbagai penyakit salah satunya sebagai efek antiinlamasi. Mekanisme kurkumin dalam aktivitasnya sebagai antiinflamasi yaitu melalui penghambatan pada jalur siklooksigenase dan lipoksigenase yang terkait dengan proses terjadinya inflamasi.

Dalam perkembangannya sebagai senyawa yang dapat mengobati antiinflamasi, kurkumin memiliki berbagai permasalahan antara lain dalam hal bioavailabilitasnya. Kurkumin diketahui memiliki nilai bioavailabilitas yang rendah. Pengatasan masalah dalam kurkumin memerlukan sistem penghantaran yang murah dan mempunyai kemampuan yang diinginkan, seperti mukoadesif,

(19)

protektif, meningkatkan solubilitas, meningkatkan penyerapan dan dapat mengontrol pelepasan obat. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan memformulasikannya menggunakan polimer tertentu menjadi sediaan nanopartikel untuk dapat meningkatkan nilai bioavailabilitas kurkumin. Pada penelitian ini polimer alami yang digunakan adalah kitosan.

Nanopartikel merupakan suatu sistem penghantaran suatu obat yang telah dikembangkan saat ini. Pemberian obat dalam bentuk nanopartikel juga memungkinkan untuk mengurangi jumlah dosis dan meningkatkan efisiensi pemberian obat serta mengurangi efek toksisitas yang mungkin terjadi. Pada formulasi nanopartikel kurkumin digunakan senyawa kitosan rantai sedang yang dapat meningkatkan enkapsulasi senyawa kurkumin sehingga dapat membentuk nanopartikel yang lebih banyak. Alasan penggunaan kitosan karena kitosan merupakan senyawa yang tidak toksik.

F. Hipotesis

Berdasarkan dasar teori yang telah disebutkan maka dapat dibuat suatu

hipotesis bahwa :

a. Pemberian kurkumin yang diformulasi dalam bentuk nanopartikel dengan kitosan rantai sedang memberikan efek antiinflamasi pada udema kaki tikus betina galur wistar yang terinduksi oleh karagenin.

b. Formulasi kurkumin dengan kitosan rantai sedang dalam bentuk nanopartikel menghasilkan efek antiinflamasi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan senyawa kurkumin dalam bentuk non-nanopartikel.

Gambar

Gambar 1. Jalur Metabolisme Asam Arakidonat dalam Tubuh

Referensi

Dokumen terkait

Daya antiinflamasi merupakan kemampuan bahan uji untuk mengurangi pembengkakan (udema) kaki tikus yang telah diinduksi karagenin sebagai senyawa iritan.. Semakin rendah nilai

Penelitian formulasi sediaan serum ekstrak blimbing wuluh dalam sistem niosom terhadap uji anti bakteri P.acne dan bakteri Staphylococcus aureus dalam sediaan serum

Hal ini bertolak-belakang dengan sifat campuran kitosan dan pektin yang bersifat mudah larut dalam air, sehingga dalam menciptakan suatu film yang dapat mengemban kurkumin

Kemampuan adsorpsi kitosan dan hasil modifikasinya di uji sebagai adsorben ion logam Pb(II), Cd(II), dan Cu(II). Mengingat luasnya lingkup penelitian yang dilakukan,

Mengetahui karakteristik nanopartikel GVT-0 (ukuran partikel, morfologi partikel dan entrapment efficiency) yang dihasilkan oleh preparasi nanopartikel menggunakan polimer

Mengetahui gambaran pola pemilihan obat yang meliputi pemilihan jenis obat, golongan obat, dan bentuk sediaan obat pada pasien pediatri dengan penyakit gastroenteritis akut

Evaluasi ketepatan pemilihan dan interaksi obat pada pasien asma perlu dilakukan mengingat obat asma teofillin merupakan obat yang memiliki indeks terapi sempit yang lebih

Manfaat Penelitian - Diharapkan dapat diteliti lebih luas agar dapat menambah obat baru yang lebih baik dengan menggunakan ekstrak kurkumin yang dapat bermanfaat untuk perkembangan