ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK “
PARON”
SAPI DI DESA PETAONAN KECAMATAN SOCAH
KABUPATEN BANGKALAN
SKRIPSI
Oleh:
ACH FATHUR ROSI NIM. C02213001
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah
Surabaya
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi yang ditulis oleh Ach. Fathur Rosi, NIM C02213001, dengan judul
“Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Paron Sapi di Desa Petaonan Kecamatan Socah
Kabupaten Bangkalan” telah diperiksa dan disetujui untuk dimunaqasahkan.
Surabaya, 05 Juli 2017
Pembimbing
ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Paron Sapi
di Desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, Skripsi ini adalah hasil dari penelitian lapangan (field research) yang bertujuan menjawab pertanyaan;
bagaimana praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan, dan bagaimana analisis hukum islam terhadap praktik “paron” sapi di
desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
Pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan wawancara terhadap beberapa responden. Analisis data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu bertujuan menganalisis praktik
paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, serta menggunakan pola pikir deduktif.
Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa praktik paron sapi di desa petaonan ini sudah sesuai dengan syariah islam, karena praktiknya berlandaskan pada toleransi atau tolong menolong agar masyarakat yang tidak mampu bisa memiliki sapi sendiri. Dan hal ini sudah menjadi tradisi yang mana bisa dijadikan hukum, selama tidak bertentangan dengan hukum islam.
Namun untuk nisbah bagi hasilnya disarankan agar disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu, supaya pembagiannya lebih jelas dan adil. Karena meski
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Penelitian ... 12
G. Definisi Operasional ... 13
H. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian ... 13
2. Data yang Dikumpulkan ... 14
3. Sumber Data ... 14
4. Teknik Pengumpulan Data ... 15
5. Teknik Pengolahan Data ... 16
6. Teknik Analisis Data ... 17
BAB II LANDASAN TEORI
A. Akad Mud}a<rabah
1. Pengertian Akad Mud}a<rabah ... 20
2. Pengertian Mud}a<rabah ... 23
B. Dasar Hukum Mud}a<rabah 1. Al-Qur’an ... 27
2. Al-Hadits ... 29
3. Ijma’ ... 30
4. Qiyas ... 31
C. Syarat dan Rukun Mud}a<rabah ... 31
D. Macam-macam Mud}a<rabah ... 35
E. Hukum Mud}a<rabah 1. Mud}a>rabah Shahih ... 36
2. Mud}a>rabah Fasiq ... 37
F. Metode Penerimaan Pendapatan Bagi Hasil ... 37
G. Prinsip-prinsip Mud}a<rabah ... 38
H. Pembatalan Mud}a<rabah ... 40
I. Hak dan Kewajiban Pemberi Pinjaman Modal ... 41
J. Hak dan Kewajiban Pengelola Usaha ... 42
BAB III PROFIL DESA PETAONAN DAN PRAKTIK PARON SAPI A. Profil Desa Petaonan ... 45
1. Kondisi Sosial Masyarakat Desa Petaonan... 45
2. Kondisi Perekonomian Masyarakat Desa Petaon... 46
4. Keagamaan Masyarakat Desa Petaonan... 50
5. Adat Istiadat Masyarakat Desa Petaonan ... 51
B. Praktik Paron Desa Petaonan
1. Paron Hewan Ternak Sapi ... 53
2. Paron Ternak Kambing ... 55
BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTIK PARON SAPI
A. Analisis Terhadap Praktik Paron Sapi di Desa Petaonan Kecamatan
Socah Kabupaten Bangkalan ... 57
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Paron Sapi ... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 65
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang rahmat bagi seluruh alam, Islam juga yang
mampu membawa umat kepada jalan kebenaran. Oleh sebab itu Islam
selalu hadir di tengah-tengah kesibukan masyrakat dalam menjalani
kehidupannya, dengan menuntun serta memberikan petunjuk terhadap
setiap penganutnya. Selain mengajarkan hubungan manusia dengan
Tuhannya, agama ini juga mengajari umatnya dengan baik dalam
berinteraksi dengan sesama manusia, terlebih interaksi dalam bidang
perekonomian yang hampir tidak pernah lepas dari aktivitas manusia. Di
sisi lain, Islam tidak hanya dipandang sebagai sebuah sistem hidup dan
kehidupan (manha>j al-h}a>yah). Khususnya dalam bidang ekonomi, tetapi
juga dipandang memiliki basis struktur keilmuan yang kuat.1
Maka dari itulah Islam datang dengan membawa hukum yang
Ra>hmatan lil al-a>lami>n. Ada lima level kategori hukum Islam dalam
dalam penerapannya. Pertama, hukum privat seperti hukum nikah, cerai,
waqaf dan sodaqah. Kedua, aturan masalah ekonomi seperti perbankan
dan bisnis lainnya. Ketiga, praktik keagamaan dalam arena publik.
2
Keempat, kriminal Islam. Kelima, menggunakan Islam sebagai dasar
negara.2
Dalam penelitian kali ini akan membahas secara lebih mendalam
pada poin yang kedua yakni tentang ekonomi. Karena kajian tentang
ekonomi khususnya ekonomi Islam itu dapat dipertanggung jawabkan
secara keilmuan dan memiliki dasar-dasar ilmiah yang dapat diterima oleh
civitas akademika.
Dalam pembahasan ekonomi ini sama halnya dengan mengarungi
sebuah kehidupan, yang mana prakteknya manusia tidak bisa
melakukannya sendiri, mereka butuh orang lain demi tercapainya hasil
yang lebih baik. Sehingga sudah menjadi sun}a>tulla>h}. Bahwasanya
manusia butuh kerjasama dan pertolongan orang lain. Dalam kerjasama
mempunyai unsur take and give yakni membantu dan dibantu.
Sebagaimana firman allah dalam surat Al-Maidah ayat 2:
ٰىَوْقَ تلاَو ِ رِبْلا ىَلَع اوُنَواَعَ تَو
ۖ
ِناَوْدُعْلاَو ِمْثِْْا ىَلَع اوُنَواَعَ ت َََو
ۖ
َهَللا اوُقَ تاَو
ۖ
ِإ
باَقِعْلا ُديِدَش َهَللا َن
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."(Q.S. Al-Maidah, 2).3
Dari ayat diatas bisa dilihat bahwasanya Islam merupakan
agama Ra>hmatan lil al-A>lami>n yang memiliki empat sifat dasar sebagai
2 MKD Uin Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: Uin Sunan Ampel Press, 2013), 55-56. 3 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta: Widya Cahaya,
3
indikatornya. Keempat sifat tersebut ialah Islam sebagai agama kasih
sayang, Islam bersifat universal, Islam melarang diskriminasi, dan Islam
bersifat komprehensif.4
Sebagai sistem kehidupan Islam memberikan warna dalam setiap
dimensi kehidupan manusia, tanpa terkeculai dunia ekonomi. Sistem
Islam ini mencoba mendialektikakan nilai-nilai ekonomi dengan akidah
ataupun etika. Artinya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia
dibangun dengan dialektika materialisme dan spiritualisme.
Adapun salah satu transaksi yang sering ditemui di tengah
masyarakat adalah akad kerjasama yang mana salah satu pihaknya
bertindak sebagai yang punya modal (sa>h}ibul ma>l) dan yang lain menjadi
pengelolanya (muda>rib), atau dalam fikih muamalah adalah Muda>rabah}.
Muda>rabah} diambil dari bahasa yang dipakai oleh bangsa Irak,
sedangkan oleh orang Hijaz disebut dengan qira>d / muqarada>h}.
Mud}a>rabah yang memiliki arti bepergian diambil dari al-Qur’an yaitu
Muda>rabah} menurut ilmu Fiqh Syafi’iyah adalah pemberian modal dari
pemilik dana kepada pengelola dana dengan tujuan agar dijalankan suatu
usaha karena keuntungan yang dapat dibagi sesuai dengan perjanjian
4 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syriah:Produk-Produk dan Aspek Hukumnya (Kencana
4
akad di muka.5 Hal ini sesuai dengan al-Qur’an surat al-Baqarah : 198,
yakni:
...مكبر نم اضف اوغتبتنأ حانج مكيلع سيل
“Tiada dosa bagimu untuk mencari keuntungan dari Tuhanmu...”6
Perlu diketahui bahwa akad Muda>rabah} itu dilaksanakan antara
pemilik dana dan pengelola dana, maka antara keduanya diperbolehkan
untuk membatalkan. Muda>rabah} itu hukumnya Sunnah, karena
mud}a>rabah merupakan akad untuk saling membantu antara yang tidak
mampu dan tidak punya keahlian. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT (Nashiruddin, 1972):
اوقتلاو ربلا لع اونواعتو
“Tolong-menolonglah dalam hal kebaikan dan ketakwaan”7
Yang menarik untuk diteliti dalam akad mud}a>rabah ini adalah
tata cara atau sistem nisbah bagi hasilnya, yang mana menurut imam
Al-Mawardi adalah “jika berbentuk mudarabah, maka besarnya
nisbah keuntungan diukur pada tenaga yang dikeluarkan atau
besarannya itu diukur dari tenaga atau modal yang dikeluarkan.
Pembagian nisbah keuntungan dalam akad Mud}a>rabah harus
dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang mungkin
5 Nashiruddin Hamam, Fathul Qoribil Mujib, ( Penerbit Menara, Kudus: 1972), 192-199. 6 Al Quran Terjemah dan Asbabun Nuzul
5
dihasilkan. Tidak boleh pembagiannya dengan menyebut jumlah
nominal uang.8 Kesepakatan ratio prosentase harus dicapai melalui
negosiasi antara pihak yang berkongsi dan dinyatakan dalam kontrak
kerja.
Adapun kesepakatan rasio prosentase hendaknya ditentukan
dengan persen, seperti: 25:75 atau 40:60 atau 99:1 atau yang lainnya
sesuai dengan kesepakatan dengan ketentuan tidak 100:0.9
Sebagaimana firman Allah:
ثلثلا ىف ءاكرش مهَف
“…maka mereka bersekutu pada satu pertiga.”(QS. An Nisa :12)
Pembagian secara prosentase dilakukan untuk mengantisipasi
adanya kecurangan dari salah satu pihak. Karena dasar
dibolehkannya mud}a>rabah adalah untuk toleransi bagi manusia. Jika
dalam kontrak tersebut ditetapkan bagi hasilnya dengan jumlah
nominal maka akad mud}a>rabah batal. Karena dalam mud}a>rabah
keuntungan itu menjadi milik bersama.10
Pada praktik paron sapi tersebut dalam kegiatannya hasil dari
kerja sama ini adalah berupa barang yakni anak sapi. Pembagiannya
8Al-Mawardi,al-Hawi al-Kabir, (Beirut Da>r al-Fikr,tth),159. 9 Al-Kasani, Perbankan Syariah.,h.84
6
yaitu anak sapi yang pertama akan dimiliki oleh Mud}a>rib dan anak
sapi yang kedua akan dimiliki oleh shahibul maal.
Namun ada beberapa asas yang mengatur tentang praktik
mud}a>rabah. Salah satu asas ialah suatu akad yang mana dalam
transaksi akad bisa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau
tradisi ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ekonomi, selama
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perekonomian yang
diatur dalam Islam.11 Jadi pembagian yang semacam itu yang sudah
disebutkan diatas mungkin saja sudah menjadi ukuran dari suatu
keadilan dalam akad kerjasama yang berkembang di masyarakat
pedesaan.
Paron sapi ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa
petaonan dalam memenuhi keinginannya untuk memiliki sapi
sendiri. Dari praktik inilah masyarakat desa belajar bermuamalah
serta mempererat tali persaudaraan antar sesama. Dan latar
belakang masyarakat yang kebanyakan petani serta peternak juga
memicu adanya praktik paron sapi.
Dari pengertian serta latar belakang di atas maka penulis
berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Hukum Islam Terhadap Praktik Paron Sapi di Desa Petaonan
11 Imam Wahid, Kompilasi Bidang Hukum Tentang Praktik Mudharabah ( Badan Pembina Hukum
7
Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan”. penulis akan
memfokuskan penelitian ini analisis hukum Islam terhadap sistem
atau nisbah bagi hasil dari praktik paron sapi tersebut.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan pemaparan yang ada pada latar belakang, penulis
mengidentifikasi beberapa masalah yang muncul dari praktik “paron” sapi
di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan adalah sebagai
berikut:
1. Praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan.
2. Macam-macam praktik “paron” sapi ditinjau dari segi pemodalannya
di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
3. Cara pembagian hasil “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan
Socah Kabupaten Bangkalan.
4. Syarat dan rukun “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah
Kabupaten Bangkalan.
5. Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya “paron” sapi di desa
Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
6. Hukum memanfaatkan modal “paron” sapi di desa Petaonan
8
7. Ketentuan berakhirnya akad “paron” sapi di desa Petaonan
Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
8. Analisis hukum Islam terhadap praktik “paron” sapi di desa Petaonan
Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka demi menghasilkan
penelitian yang lebih fokus pada judul tersebut, penulis membatasi
penelitian ini meliputi:
1. Praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan.
2. Analisis hukum Islam terhadap praktik “paron” sapi di desa Petaonan
Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
C. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan masalah yang telah dibatasi oleh penulis, maka penulis
dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah
Kabupaten Bangkalan?
2. Apakah praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah
9
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran yang
memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari beberapa penelitian
terdahulu yang sejenis atau memiliki, atau memiliki keterkaitan sehingga
tidak ada pengulangan penelitian dan duplikasi. Dalam penelusuran awal,
sampai saat ini penulis menemukan beberapa penelitian terkait praktik
“paron” diantaranya:
1. Judul thesis pada tahun 2014 Analisis Hukum Islam Terhadap Paron
Sapi Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.
Ditulis oleh Mukminin Syahrul Amil skripsi ini menjelaskan tentang
praktik paron sapi di desa Ragang. Praktik tersebut dalam sistem
pemberian modal yang mengurus semuanya adalah pemilik modal
tanpa campur tangan pengelola atau tidak ada unsur bagi hasil secara
transparan.
Kesimpulannya yaitu dalam system bagi hasil tidak sesuai dengan
hukum Islam dimana hasil tersebut harus dibagi menjadi dua dengan
system penjualan yang transparan. Dalam syarat mengenai
keuntungan maka harus dibagi menjadi dua sesuai dengan pendapat
Imam Syafi’i.12
2. Judul skripsi pada tahun 2015 “Analisis Hukum Islam Terhadap
Konsep Paron Dalam Kerjasama Penggemukan Sapi Di Desa Batah
12 Mukminin Syahrul Amil, “ Analisis Hukum Islam Terhadap Paron Sapi Di Desa Ragang
10
Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan”. Ditulis oleh
Abadi A. Fairuz. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang
sistem bagi hasil kerjasama peternakan sapi, dalam prakteknya usaha
tersebut di mulai dengan shahibul al-maal memberi modal sebesar
Rp. 25.000.000 kepada Mud}a>rib untuk dibelikan sapi untuk diternak
oleh Mud}a>rib dalam jangka waktu 3 bulan, kemudian modal tersebut
cukup untuk dibelikan 2 ekor sapi yang masing-masing berusia 3
setengah bulan dan 3 bulan.
Dengan kesepakatan pendapatan atau keuntungan apabila sapi
tersebut dijual setelah 3 bulan akan dibagi rata dengan prosentse 50%
: 50%. Kedua pihak juga menyepakati sebuah perjanjian yang di mana
apabila Mud}a>rib membutuhkan berbagai hal seperti biaya yang
diperlukan selama keperluan tersebut masih berkaitan dengan
perawatan sapi tersebut, Kesimpulannya adalah hukumnya tidak sah,
karena dalam prakteknya telah menyimpang dari kesepakatan awal
dikarenakan Mud}a>rib telah bertindak semena-mena dengan
menyerahkan uang yang jumlahnya tidak sesuai dengan kesepakatan
awal yang diperjanjikan.13
3. Judul thesis pada tahun 2015 yakni Analisis Hukum Islam Terhadap
Pemanfaatan Hewan Paron Di Desa Gunung Sereng Kecamatan
Kwanyar Kabupaten Bangkalan. Yang ditulis oleh Abu Yasid, thesis
13 Abadi A Fairuz, “Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama
Penggemukan Sapi Di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten
11
ini menjelaskan bahwa praktik paron sapi, lebih dititk beratkan pada
pemanfaatan modal yaitu berupa sapi. Dimana dalam hal ini sapi
yang diparonkan yang sejatinya akan dibagi hasil. Setelah
mempunyai keturunan. Namun sebelum sapi tersebut mempunyai
keturunan si pengelola atau mud}a>rinb tersebut memanfaatkan tenaga
sapi untuk membajak sawah dan juga kotorannya sebagai pupuk.
Sedangkan dalam akad kerjasama seharusnya segala macam bentuk
atau usaha yang menghasikan itu harus dengan persetujuan kedua
belah pihak yaitu shahibul maal dan Mud}a>rib.
Kesimpulannya adalah bahwa praktik pemanfaatan hewan paron Di
Desa Gunung Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan itu
sudah sesuai dengan hukum Islam, karena hal tersebut sudah menjadi
kebiasaan masyarakat desa dan sudah mentradisi. Jadi suatu tradisi
dalam Islam juga bisa menjadi landasan hukum.14
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka dalam melakukan penelitian
ini penulis ini memiliki tujuan:
1. Mengetahui praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah
Kabupaten Bangkalan.
14 Yasid Abu “Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Hewan Paron Di Desa Gunung
12
2. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktik “paron” sapi di
desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
F. Kegunaan dan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan yang positif, baik
secara teoritis maupun secara praktis. Secara umum kegunaan penelitian
yang dilakukan oleh penulis ini dapat ditinjau dari dua aspek, yakni:
1. Dari tinjauan teoritis - akademis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan keilmuan dibidang hukum Islam, khususnya pada bidang
Fiqih Muamalah. Dan juga dapat menambah pengetahuan tentang
sistem nisbah bagi hasil pada praktik paron sapi di desa Petaonan
Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan. Serta diharapkan menjadi
bahan hipotesis bagi penelitian berikutnya.
2. Dari segi praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam kegiatan bermuamalah yang sesuai
dengan prinsip hukum Islam bagi objek penelitian. Dan juga dapat
dijadikan bahan untuk memperbaiki penerapan praktik paron sapi di
desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, yang sesuai
13
G. Definisi Oprasional
Agar tidak terjadi suatu kesalahpahaman dalam memahami beberapa
istilah yang ada didalam penelitian ini, maka penulis memberikan
penjelasan atau pengertian dari beberapa istilah sebagai berikut:
1. Hukum Islam : ketentuan hukum yang bersumber dari al-Quran dan
Hadits serta pendapat para ulama’ yang mengatur tentang mud}a>rabah
yang dijadikan pedoman bagi kehidupan masyarakat.
2. Praktik Paron : suatu akad kerjasama yang dilakukan masyarakat
pedesaan, yang mana melibatkan dua atau lebih pihak dalam suatu
akad. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal)
dan pihak yang lain sebagai pengelola modal (Mud}a>rib). Dalam
praktik ini yang menjadi objek kerjasama adalah hewan ternak dan
sawah atau ladang.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, yakni tentang
Analisis Hukum Islam terhadap praktik “paron” sapi di desa Petaonan
Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
1. Lokasi penelitian
Lokasi dalam penelitian ini adalah terletak di Desa Petaonan,
Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan. Desa Petaonan merupakan
14
paron sawah, paron ternak, dan paron tambak. Namun peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian terhadap paron ternak yang ada
di Desa Petaonan.
2. Data yang akan dikumpulkan
Adapun data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini
diantaranya:
a. Tentang profil desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan, yang meliputi kondisi sosial, pendidikan dan
ekonomi masyarakat serta kehidupan beragama.
b. Data tentang praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan
Socah Kabupaten Bangkalan.
3. Sumber data
Data dalam penelitian ini akan didapatkan dari beberapa sumber,
diantaranya:
a. Sumber primer
Sumber primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
objek yang diteliti baik dari pribadi maupun dari suatu instansi
yang mengolah dan untuk keperlun penelitian, seperti dengan cara
melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang
berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.15 Yaitu
keterangan dan data yang diperoleh dari pemerintah desa, tokoh
15
masyarakat, serta masyarakat yang malakukan praktik Paron sapi
di desa Petaonan.
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder adalah data yang didapatkan dari sumber secara
tidak langsung kepada pengumpul data.16 Data sekunder
merupakan data yang memberikan penjelasan terhadap data
primer. Data sebagian besar merupakan literatur yang berkaitan
dengan konsep hukum Islam. Data ini bersumber dari buku-buku,
jurnal atau dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan
topik penelitian. Seperti:
1. Nashiruddin, Hamam, Fathul Qoribil Mujib
2. Al-Mawardi,al-Hawi al-Kabir
3. Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih
4. Sayyid Syabiq, Fiqih Muamalah
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian,
maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
a. Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis
terhadap gejala-gejala yang diteliti. Obsevasi menjadi salah
satu teknik pengumpulan data apabila telah sesuai dengan tujun
16
penelitian, direncanakan dan dicatat secara sistematis.17
penulias akan mengamati praktik “paron” sapi di desa Petaonan
Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
b. Wawancara (Interview)
Wawancara (Interview) merupakan teknik pengumpulan data
dengan cara melakukan tanya jawab dengan pihak-pihak yang
terkait, dengan masalah yang dibahas.18 Peneliti akan mencoba
melakukan wawancara dengan pemilik modal, pengelola modal
serta saksi yang terlibat dalam akad Paron.
c. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah
pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.
Dengan metode ini penulis mendapatkan data yang berupa
catatan, serta laporan tentang paron sapi di desa Petaonan
Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
5. Teknik Pengolahan Data
Adapun teknik pengolahan data yang digunakan untuk
mempermudah dalam menganalisis data di penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali dari semua data yang
diperoleh terutama dari segi kelengkapannya, kejelasan makna,
17
keselarasan antara data yang ada dan relevansi dengan
penelitian. Dalam penelitian ini penulis akan memeriksa data-
data terkait praktik paron sapi di desa Petaonan Kecamatan
Socah Kabupaten Bangkalan.
b. Organizing, yaitu menyusun kembali data yang telah didapat
dalam
penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang sudah
direncanakan dengan rumusan masalah yng sistematis. Data
dari awal hingga akhir tentang praktik paron sapi di desa
Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
c. Analizing, yaitu tahapan analisis dan perumusan pelaksanaan
transaksi paron sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah
Kabupaten Bangkalan.
6. Teknik Analisis Data
Sesudah terkumpulnya data-data yang diperoleh oleh penulis,
kemudian telah dikelola dengan teknik pengolahan yang dilakukan
oleh penulis, maka data-data tersebut akan dianalisis dengan kritis
dan mendalam menggunakan syariat Islam. Analisis data adalah
mengorganisasikan data yang terkumpul yang meliputi cacatan
lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto, dan dokumen
(biografi, laporan,artikel).19
18
Analisis data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu bertujuan
mendeskripsikan masalah yang ada pada praktik paron sapi di desa
Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, yang didapat
dengan mencatat, menganalisis dan menginterpretasikannya.
Selanjutnya menganalisis dengan pola pikir induktif untuk
mengemukakan kenyataan dari hasil penelitian yang bersifat
khusus, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
Setelah itu praktik paron sapi tersebut dianalisis dengan
nilai-nilai yang ada dalam hukum Islam, berupa dalil-dalil dan
isthinbath hukum tentang Muda>rabah} dengan metode verifikatif.
I. Sistematika Pembahasan
Bab pertama berisi pendahuluan yaitu terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian,
definisi oprasional, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua membahas tentang landasan teori yang berkaitan dengan
studi ini, yaitu mengenai teori akad, pengertian muda>rabah}, dasar hukum
mud}a>rabah, rukun dan syarat muha>rabah}, macam-macamnya, hak dan
kewajiban sa>h}ibul ma>l dan muda>rib, sistematika nisbah bagi hasil dalam
19
Bab ketiga memaparkan mengenai data hasil penelitian dilapangan
terkait praktik paron, juga menguraikan tentang: Gambaran umum desa
Petaonan, profil desa petaonan, keadaan sosial, pendidikan, adat istiadat
dan kehidupan kehidupan beragama desa Pataonan. Selanjutnya
dilengkapi dengan gambaran transaksi “paron” sapi di desa Petaonan,
yang meliputi beberapa aspek. Uraian ini sekaligus menjawab rumusan
masalah yang pertama.
Bab keemapat berisi tentang analisis hukum Islam terhadap praktik
“paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
Bab kelima merupakan bagian akhir atau penutup dari skripsi yang
berisikan tentang kesimpulajn dari analisis permasalahan serta saran dari
penulis.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Akad Mud}a>rabah
1. Pengertian Akad
Kata akad dalam istilah bahasa adalah ikatan dan tali
pengikat.20“Akad” barasal dalam bahasa Arab al-Aqdu dalam bentuk
jamak disebut al-Uqud yang berarti ikatan atau simpul tali. Menurut
ulama fiqh, kata akad didefenisikan sebagai hubungan antara ijab dan
kabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya
pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan. Akad (Ikatan,
keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat
diartikan sebagai kemitraan yang berbingkai dengan nilai-nilai
syariah.
Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang
sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih, berdasarkan keridoan
masing-masing maka akan timbul rukun-rukun akad, yaitu:
a. Orang-orang yang berakad (Aqid)
b. Benda-benda yang diakadkan (Ma’qud ‘alaih)
c. Tujuan atau maksud mengadakan akad (Maudhu ‘al-‘aqad)
21
d. Ijab dan Kabul (Sighat al-‘aqd).21
Akad tersebut baru akan dapat dikatakan sah apabila telah
memenuhi syarat akad tersebut. Secara umum yang menjadi syarat
sahnya suatu akad adalah:
1) Tidak menyalahi hukum syari’ah.
2) Harus sama ridha dan ada pilihan.
3) Harus jelas dan gamblang.22
Dalam pandangan mazhab Hanafi akad yang tidak sah secara
syar’i terbagi dua yaitu batal dan fasad (rusak).23 Akad yang batal
adalah akad yang rukunnya tidak terpenuhi atau sifatnya tidak
dibenarkan secara syar’i, misalnya barang yang ditransaksikan tidak
diakui syara’ seperti jual beli miras, daging babi dan lain-lain.
Namun ada beberapa asas yang mengatur tentang praktik
mud}a>rabah. Salah satu asas ialah suatu akad yang mana dalam
transaksi akad bisa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau
tradisi ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ekonomi, selama
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perekonomian yang
diatur dalam Islam.
21 Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), 52.
22 Chairuman Pasaribu Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta : Sinar
Grafika, 1994), 2-3.
23 Wahba Al-Zuhayly, Al-Fiqh Al-islamy wa Adillatahu, (Damsyiq : Da Al Fikr, 1984), Juz 4,
22
Dalam hukum Islam adat istiadat dapat dijadikan hukum,
dalam kaidah fiqh terdapat kaidah sebagai berikut:
ةَمَكَحُم َُداَعلا
Artinya: “Tradisi yang yang ada di masyarakat itu dapat dijadikan
hukum”
ا
اَهِب ُلَمَعلا ُبِجُي ةجثح ِسالا ُل اَمْعِتْس
Artinya: apa yang bisa diperbuat orang banyak, merupakan hujjah
yang wajib diamalkan.
Dari situlah disimpulkan bahwasanya segala sesuatu yang baik dan
dikerjakan oleh msyarakat itu bisa menjadi patokan.
Kaidah diatas diambil berdasarkan hadis Nabi yang menyatakan:
َسَح ِهللاَدِْع َوُهَ ف اًَسَح َنوُمِلْسُملا يَاَراَم
“Apa yang dipandang baik menurut kaum muslim, maka di sisi
Allah pun baik.” (H>.R. Ahmad).
Tetapi kaidah di atas akan berlaku jika kebiasaan atau adat istiadat
yang ada dalam suatu masyarakat tersebut tidak bertentangan
23
2. Pengertian Mud{a<rabah
Mudarabah adalah akad musamma yaitu akad yang telah
disebutkan syara’ sendiri namanya, demikian aturan-aturan secara
umum. Mud{a<rabah adalah akad kerja sama dalam perniagaan yang
telah ada sebelum nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul Allah.24
Mudarabah disebut juga Al-Qiradh secara istilah dua kata itu
mengandung arti yang sama. Qiradh telah ada sejak zaman jahiliyyah
dan penghidupan masyarkatnya dihasilkan dari peraktik qiradh
diantara mereka itu ada orang tua yang tidak mampu untuk bepergian,
perempuan, anak kecil, anak yatim, orang yang mempunyai kesibukan,
dan orang sakit yang memberikan hartanya dengan akad Mud{a<rabah
kepada orang yang mau meniagakan dengan keuntungan yang
disepakati berama. Kemudian Rasulullah saw. menetapkan praktik ini
dalam ajaran Islam, dan kaum muslimin pada saat itu melakukannya
dengan penuh keyakinan.25
Menurut Al-Nawawi di dalam kitab ar-Raudhah IV/97,
al-Qiradh al-Muqaradhah adalah satu makna, yaitu penyerahan suatu
modal (harta) terhadap seseorang untuk diperniagakan, sedangkan
keuntungan dibagikan diantara mereka.
Pada prinsipnya akad Mud}a>rabah diperbolehkan dalam agama
Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik modal dengan
24 Neneng Nurhasanah, Mud}a>rabah dalam Teori dan Praktik, (Bandung: Refika Aditama,2015),
65.
24
seorang yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam
banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola
uangnya. Sementara itu banyak pula para pakar dalam perdagangan
yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas
dasar saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk
saling berkerja sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil
dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.26
Sedangkan menurut istilah syara’, Mud}a>rabah merupakan akad
antara dua pihak untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana
salah satu pihak memberikan dana kepada pihak lain sebagai modal
usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi di antara mereka
berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan
Mud}a>rabah atau Qira<d} dengan:
Secara teknis, Mud}a>rabah adalah akad kerjasama usaha antara dua
pihak dimana pihak pertama (sa<hib al-ma<l) menyediakan seluruh
(100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara Mud}a>rabah dibagi menurut kesepakatan
yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu tidak disebabkan oleh
kelalaian si pengelola. Namun, apabila kerugian itu disebabkan
26 Abdul, Rahman Al Jaziri, Kitabul Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah ( Kitab Fiqh Empat Madhab),
25
kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Maka dari itu salah satu bentuk kerjasama antara pemilik
modal dengan seorang yang pakar dalam berdagang, di dalam fiqih
Islam disebut dengan mud}a>rabah sedangkan ulama fiqih hijaz
menyebutnya dengan Qira<d}.27 Secara terminologi, para ulama fiqh
mendefinnisikan Mud}a>rabah atau Qira<d} dengan:28 Mud}a>rabah ialah
akad antara kedua pihak (orang) yang saling menanggung, salah satu
pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan
dengan bagian yang telah ditentukan
اًكِرتْشُم ُحْبّرلا ُنْوُكَيَو ِهْيِف َرَجَتَ يَاَم ِلِماَعْلا يَلِا كِلاَمْلَا ِعَفْدَي ْنَآ
Artinya: ‚Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja
(pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama‛.29
Adapun beberapa pendapat ulama’ yang mendefiniskan akad
Mud{a<rabah, di antaranya sebagai berikut:
a. Menurut Hanafiyah, Mud{a<rabah adalah dua pihak yang berakad
yang berserikat dalam keuntungan (laba) karena harta diserahkan
kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.
Maka Mud{a>rabah ialah akad syirkah dalam laba, satu pemilik
harta dan yang lain pemilik jasa.
27 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 175.
28 Gemala Dewi, et al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, Cet.ke-2, 2006), 119-120.
26
b. Malikiyah berpendapat bahwa Mud{a>rabah adalah akad
perwakilan, dimana pemilik harta mewakilkan hartanya kepada
yang lain untuk diperdagangkan dengan modal yang ditentukan
(emas dan perak).
c. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa akad Mud{a>rabah ialah akad
yang menentukan seseorang yang menyerahkan hartanya kepada
yang lain untuk ditijarahkan.
d. Hanabilah berpendapat Mud{a>rabah ialah ibarat pemilik harta
menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang
berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.
e. Menurut Sayyid Sabiq, Mud{a>rabah adalah akad antara dua belah
pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk
diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai
dengan perjanjian.30
f. Menurut pasal 20 ayat 4 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
Mud{a>rabah adalah kerjasama antara pemilik dana dengan
pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.31
B. Dasar Hukum Mud}a>rabah
27
Ketetapan hukum Islam berkaitan dengan muamalah sebagian
merupakan penetapan dan penegasan kembali atas praktik-praktik yang
telah berlangsung pada masa sebelum. Hal itu disebabkan praktik
muamalah tersebut selaras dengan prinsip dasar ajaran agama Islam.
Selain itu dalam praktik muamalah terkandung manfaat yang besar.
Salah satu bentuk muamalah tersebut adalah Mud{a>rabah. Nabi
Muhammad saw. sendiri bekerja sebagai Mud}a>rib pada transaksi
komersial jenis ini kepada Khodijah sebelum beliau diangkat secara
resmi sebagai Rasul Allah.32
Menegaskan kembali bahwasanya Mud}a>rabah sebagai bentuk
muamalah yang diperbolehkan dalam Islam, dapat kita lihat dalam hadis
Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh ibnu majjah dari shuhaib
yang menyebutkan:
ربلا نهيف ةثاث
َهجام نباُ عيبللَ تيبلل ريعشلااب ربا طلخو لجا ىلا عيبلاو ةضراقملا ةك
“Tiga macam (bentuk usaha) yang di dalamnya terdapat bentuk
barakah: Muqaradhah/Mud}a>rabah , jual beli secara tangguh, mencampur gandum dengan beras untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).
1. Al-Quran
Secara eksplisit, al-Quran tidak menyebut Mud}a>rabah sebagai satu
bentuk muamalah yang diperbolehkan dalam Islam. Secara umum,
beberapa ayat menyiratkan kebolehannya dan para ulama
32 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, jilid IV, 1996),
28
menjadikan beberapa ayat tersebut sebagai dasar hukum Mud}a>rabah
, ayat al-Quran tersebut terdapat pada firman Allah Al-Maidah (5):
1.
ْ يَغ ْمُكْيَلَع َىلْتُ ي اَمَِا ِمَعْ نَأا ُةَمِهَب ْمُكَل ْتلِحُا ِدوُقُعْلاِب اْوُ فْوَأ اْوُ َماَء َنْيِذلا اَه يَأَي
ىِّلِحُم َر
ِدْيصلا
ُدْيِرُياَم ُمُكْحَي َهّللا نِا مُرُح ْمُتْ نَاَو
“H
ai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu ) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakinya.”
Akad (perjanjian) dalam ayat tersebut mencakup janji prasetya
seseorang hamba kepada Allah dan perjanjian yanga dibuat oleh
manusia dalam pergaulan sehari-hari dengan sesamanya.
Sementara itu Wahbah al-Zuhaily menjelaskan, bahwa yang
menjadi dasar al-Quran mengenai akad Mud}a>rabah ini adalah QS.
Al-Muzzammil (73):20:
...ُهِْم َرسَيَ ت اَم ْاوُءَرْ قَاَف ِهلّلا ِلْيبَس يِف َنوُلِتَقُ ي َنْوُرَخَاَو
...
“....Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian
karunia Allah...”33
Yang dimaksud dengan al-Mud}a>rib adalah orang yang
berjalan di (bepergian) di muka bumi untuk mencari karunia Allah,
sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Jumu’ah (62):10: “Apabila
29
shalat telah didirikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan
carilah karunia Allah dan ingatlah lah banyak-banyak agar kamu
beruntung”.
2. Al-Hadits
Sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, Rasulullah pernah
melakukan Mud}a>rabah dengan Khadijah, dengan modal dari
Khadijah. Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut
untuk diperdagangkan.
ْوُسَر َلاَق
َاْخَاَو ُةَضَراَقَمْلاَو ٍلَجَا ىَلِا ُعْيَ بلا ةَكَرَ بلا نِهْيِف ث َاَث ْملَسَو ِهْيَلَع ُهللا ىلَص ِهللا ُل
ُط
ِعْيَ بْلِلََ ِتْيضبْلِل ِرْيِعشب ِّرُ بْلا
Artinya: ‚Rasulullah saw bersabda: Tiga hal yang di dalamnya
terdapat keberkahan, yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (bagi hasil) dan mencampur gandum putih dengan gandum merah untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.
َا ِهِبِحاَص ىَلَع َطَرَ تْشِا ةَبَراَضُم َلاَمْلَا َعَفَداَذِا ِبِّلَطُمْلاِدْبَع ِنْب ُساّببَعْلا اَنِدِّيَس َناَك
ْن
ِهِب َكُلْسَي ََ
َغَلَ بَ ف َنِمَض َكِلَذ َلَعَ ف ْنِاَف ٍةَبْطَر ٍدِبَك َتاَذ ًةباَد ِهِب َيِرّتْشَيَََو اًيِداَو ِهِب َلِزَْ يَََو اًرْحَب
َش
ُلْوُسضر ُهُتْر
ُُزاَجَاَف ْملَسَو ِهْيَلَع ِهللا
Artinya: Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai Mud{a<rabah, ia mensyaratkan kepada Mud}a>rib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (Mud}a>rib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya‛(HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).34
30
3. Ijma'
Imam Zailai dalam kitabnya Nasbu ar-Rayah telah menyatakan
bahwa para sahabat telah berkonsensus akan legitimasi pengolahan
harta anak yatim secara Mud{a<rabah. Kesepakatan para sahabat ini
sejalan dengan spirit hadis yang dikutip oleh Abu Ubaid dalam
kitabnya al-Amwal “Rasulullah saw. telah berkhotbah di depan
kaumnya seraya berkata wahai para wali yatim, bergegaslah untuk
menginvestasikan harta\ amanah yang ada di tanganmu janganlah
didiamkan sehingga termakan oleh zakat”.
Indikasi dari hadis ini adalah menginvestasikan harta anak
yatim secara Mud{a<rabah sudah dianjurkan, apalagi Mud{a<rabah
dalam harta sendiri. Adapun pengertian zakat disini, seandainya
harta tersebut diinvestasikan, maka zakatnya akan diambil dari
return on investment (keuntungan) bukan dari modal. Dengan
demikian harta amanat tersebut akan senantiasa berkembang, bukan
berkurang.35
Para ahli hukum Islam secara sepakat mengakui keabsahan
mud}a>rabah karena ditinjau dari segi kebutuhan dan manfaat karena
sesuatu dengan ajaran dan syariah dan segi lainnya.36
35 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press, 2005, 15. 36 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Pedoman Hidup Muslim (Jakarta:PT. Pustaka Litera Antar Nusa,
31
Dasar hukum dari Mud{a<rabah adalah ijma’ ulama’ yang
membolehkannya seperti dinukilkan Ibnu Mundzir, Ibnu Hazm,
Ibnu Taimiyah dan lainnya.
4. Qiyas
Mud{a<rabah diqiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh seseorang
untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin
dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak
dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang
miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan
demikian, adanya Mud{a<rabah ditujukan antara lain untuk
memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk
kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
mereka.37
C. Syarat dan Rukun Mud}a<rabah
Jumhur ulama menyatakan bahwa, rukun Mud}a>rabah terdiri atas orang
yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan ijab qobul.38 Adapun syarat-
syarat Mud}a>rabah sebagai berikut:
1. Bagi pihak yang berakad harus cakap bertindak hukum dan cakap
diangkad sebagai wakil (bagi mud{a<rib).
37Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum, Bandung : Pustaka
Setia, 2001, 226 .
38 Neneng Nurhasanah, Mud}a>rabah dalam Teori dan Praktik, (Bandung: Refika Aditama,2015),
32
2. Yang terkait dengan modal disyaratkan
- Berbentuk uang
- Jelas jumlahnya
- Tunai
- Diserahkan sepenuhnya kepada mud{a<rib
3. Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian
pembagian keuntungan harus jelas yang diambil dari keuntungan,
misalnya setengah, seperempat atau sepertiga.
4. Untuk syarat akad mengikuti syarat sebuah akad pada umumnya,
yaitu harus jelas shigatnya dan ada kesesuaian antara ijab dan
qabulnya.39
Berkaitan dengan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh suatu
akad, jumhur ulama mengejmukakan syarat syarat Mud{a<rabah sesuai
dengan rukunnya sebagai berikut:
a. Yang terkait dengan orang yang melaukan transaksi haruslah
orang yang cakap bertindak hukum dan orang yang cakap
diangkat sebagai wakil. Pada satu sisi posisi orang yang akan
mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal, itulah
sebabnya syarat-syarat seorang wakil juga berlaku bagi
pengelola modal dalam akad mud{a<rabah
39 Neneng Nur Hasanah, Mud{a<rabah dalam Teori dan Praktik (Bandung, Rafika Aditama, 2015),
33
b. Yang terkait dengan modal, disyaratkan berbentuk uang, jelas
jumlahnya, tunai, dan diserahkan sepenuhnya kepada pngelola
modal Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau
sejenisnya yang memungkinkan dalam perkongsian.
1) Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
2) Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak harus ada
di
tempat akad.
3) Modal harus diberikan kepada pengusaha agar digunakan
harta tersebut sebagai amanah.
Apabila modal itu berbentuk barang, maka menurut ulama
tidak diperbolehkan, karena sulit untuk menentukan
keuntungannya. Demikian juga halnya dengan hutang, tidak
bisa dijadikan modal Mud}a>rabah. Menurut Mazhab Hanafi,
Maliki, Syafi’i apabila modal itu dipegang sebagiannya, maka
akad itu tidak dibenarkan. Namun, menurut Mazhab Hanbali,
boleh saja sebagian modal itu berada ditangan pemilik modal,
asal saja tidak mengganggu kelancaran jalan perusahaan
tesebut.
c. Yang terkait degan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian
keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing harus dambil
34
seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut
ulama Hanafiyah akad itu fasid (rusak).40
"Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad Mud{a<rabah yang
tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan
yang berhak diterima oleh kedua pihak yang ber Mud{a<rabah."54
Mud}a>rib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib
al-maal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah
keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan
antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan,
adapun syaratnya adalah:
1) Keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak;
2) Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui
pada waktu kontrak dan proporsi tersebut harus dari
keuntungan;
3) Nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari
waktu ke waktu;
4) Kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya yang
harus ditanggung pemodal dan pengelola.41
Namun demikian, mereka tidak boleh mengalokasikan
keuntungan secara langsung untuk siapa saja dan juga mereka
tidak boleh mengalokasikan keuntungan dengan tingkat
40 Ibid.
35
presentase tertentu dari modal. Misal, jika modal 100 juta,
mereka tidak boleh sepakat terhadap syarat bahwa Mud}a>rib
akan mendapatkan 10 juta dari keuntungan, atau syarat 20
persen dari modal menjadi milik shahibul maal.42
D. Macam Macam Mud}a>rabah
Secara umum Mud}ar>abah dibagi menjadi dua macam, yaitu: Mud}ar>abah
muthlaqah dan Mud}ar>abah muqayyadah. Berikut ini akan dikemukakan kedua
macam pembagian Mud}ar>abah di atas.
1. Mud}ar>abah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan Mud}ar>abah muthlaqah adalah bentuk kerja
sama antara pemodal (shahib al-mal) dan pengusaha (Mud}a>rib) yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha,
waktu dan daerah bisnis. Dalam Mud}ar>abah muthlaqah ini shahib
al-mal memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Mud}a>rib dalam
mengelola modal dan usahanya.
2. Mud}ar>abah Muqayyadah
Mud}ar>abah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan
istilah restricted Mud}ar>abah/specified Mud}ar>abah adalah kebalikan
dari Mud}ar>abah muthlaqah, dimana pengelola usaha (Mud}a>rib)
dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya
36
batasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik
modal (shahib al-mal) dalam memasuki jenis dunia usaha.
E. Hukum Mud}a>rabah
Hukum Mud}a>rabah terbagi dua, yaitu Mud}a>rabah shahih dan Mud}a>rabah
fasid.
1. Mud}a>rabah Shahih
Hukum Mud}a>rabah shahih yang tergolong shahih cukup
banyak, antara lain tanggung jawab pengusaha. Ulama fiqih telah
sepakat bahwa pengusaha bertanggung jawab atas modal yang ada
ditangannya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikan modal
tersebut atas seizin pemiliknya. Apabila pengusaha beruntung, ia
memiliki hak atas laba secara bersama-sama dengan pemilik modal.
Jika modal Mud}a>rabah rusak atau rugi karena adanya beberapa
sebab yang menjadikannya rusak atau rugi, maka pengelola memiliki
hak untuk mendapatkan upah. Jika hartanya rusak tanpa disengaja, ia
tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut. Jika
disyaratkan bahwa pengusaha harus bertanggung jawab atas rusaknya
modal, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, syarat tersebut batal,
tetapi akadnya sah. Dengan demikian, pengusaha bertanggung jawab
atas modal dan berhak atas laba. Adapun ulama Malikiyah dan
37
2. Mud}a>rabah Fasid
Salah satu contoh Mud}a>rabah Fasid adalah mengatakan,
“berburulah dengan jaring saya dengan hasil jaringan dibagi di antara
kita” Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahawa
pernyataan ini termasuk tidak dapat dikatakan Mud}a>rabah yang shahih
karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan upah atas
pekerjaannya,baik dia mendapatkan upah atau tidak.43
F. Metode Penerimaan Pendapatan Bagi Hasil
Adapun meteode penerimaan Pendapatan bagi hasil adalah sebagi
berikut:
1. Bagi hasil netto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan
dari usaha dikurangi dengan biaya-biaya yang timbul. Contoh: bila
dari sebuah proyek atau usaha dihasilkan penjualan sebesar Rp
2.000.000,00 dan biaya-biaya usaha Rp 500.000,00, maka yang
dibagihasilkan sebesar Rp 1.500.000,00. Ini disebut metode profit
sharing.
2. Bagi hasil brutto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan
usaha tanpa dikurangi dengan biaya-biaya yang timbul. Contoh: bila
dari sebuah proyek atau usaha dihasilkan penjualan sebesar Rp
2.000.000,00 dan biaya-biaya usaha sebesar Rp 500.000,00, maka
43 Rachmat Syafi’i, Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan UMUM, (Bandung:
38
yang dibagihasilkan adalah sebesar penjualan yaitu Rp 2.000.000,00.
Ini disebut metode revenue sharing.
G. Prinsip-Prinsip Mud}a>rabah
1. Prinsip Berbagi Keuntungan diantara Pihak-Pihak yang Melakukan Akad
Mud}a>rabah
Dalam akad Mud}a>rabah, laba bersih harus dibagi antara shahibul
maal dan mudarib berdasarkan suatu proporsi yang adil sebagaimana
yang telah disepakati sebelumnya dan secara eksplisit telah disebutkan
dalam perjanjian Mud}a>rabah.
Pembagian laba tidak boleh dilakukan sebelum kerugian yang ada
ditutupi dan ekuitas shahibul maal sepenuhnya dikembalikan. Semua
kerugian yang terjadi dalam perjalanan bisnis harus ditutup dengan laba
sebelum hal itu ditutup dengan ekuitas shahibul maal.
2.Prinsip Berbagi Kerugian diantara Pihak-Pihak yang Berakad
Dalam Mud}a>rabah, asas keseimbangan dan keadilan terletak pada
pembagian kerugian diantara pihak-pihak yang berakad. Kerugian
finansial sepenuhnya dibebankan pada pemilik modal, kecuali terbukti
ada kelalaian, kesalahan atau kecurangan yang dilakukan oleh Mud}a>rib.
Sementara itu pihak mudarib menanggung kerugian itu berupa waktu,
tenaga dan jerih payah yang dilakukannya.dia tidak memperoleh apapun
39
Disinilah letak perbedaan antara mudarabah dan pinjaman kredit di
bank konvensional yang menjamin keselamatan harta/uang yang
dikelompoknya. Dalam Mud}a>rabah , Mud}a>rib berfungsi sebagai
pemegang amanah, bukan penjamin. Dia bertanggung jawab terhadap
harta/modal hanya jika lalai/curang atau salah. Seandainya dimasukkan
dalam persyaratan, bahwa Mud}a>rib menjamin keselamatan harta/modal
Mud}a>rabah , maka akan mengakibatkan batalnya akad Mud}a>rabah dan
hilang legalitasnya44.
3. Prinsip Kejelasan
Dalam Mud}a>rabah, masalah jumlah modal yang akan diberikan shohibul
maal, persentase keuntungan yang akan dibagikan, syarat-syarat yang
dikehendaki oleh masing-masing pihak dan jangka waktu perjanjiannya
harus disebutkan dengan tegas dan jelas. Kejelasan merupakan prinsip
yang harus ada dalam akad ini, untuk itu bentuk perjanjian tertulis harus
dilaksanakan dalam akad mudarabah. Hal ini sesuai dengan firman allah
Qs. Al-Baqarah (2) 282-283:
ب دَدَب
ا عْدَعْلاِب بباتلدكبعمُكدع ي ِبعبُتعكديعْدَبُۗعوُ بُ تعكلدفبىًمدسمبٍلدجدأبىْٰاإبٍنعيدْاِبعمُتع د يادْدتبادذاإباعوُ دمٰابدنعياذْابلده يدأ
يب دَدَبَِدَبدَٰهْٰاباِتد يعْبدَببِدحعْاباَعيدٰدعبعياذْابالاٰعمُيعْدَب
عبُتعكديعٰد فبَُٰهْٰابَُدمٰدعبلدمدكبدبُتعكيبعندأب باتلدكبدبعأدي
ۚ
44 Neneng Nurhasanah, Mudharabah Dalam Teori Dan Praktek, (Bandng: Refika Aditama,2015),
40
بدوبُببلاميبعندأبُععياطدتعسديب دَبعَدأبلًفع ياَدضبعَدأبلًهع يافدسبِدحعْاباَعيدٰدعبعياذْابدنلدكبعناإدفب
ۗلًئع يدشبَُعامبعسدخعبد ي
بعنمامبانٰتدأدَعماَب لُجدَد فبانعيبدُٰجدَبلدنعوُكديبعمْبعناإدفب
عمُكاْلدجهاَبعنامبانعيدْعياهدشباعَُْاهعشدتعسادَب
ۚ
ۗا عْدَعْلاِبَياْدَبعلاٰعمُيعٰد ف
بۗاعوُعبُدبلدمبادذاإبُءادْدهشْابدبعأديب دَدَبۗىَٰعخُعْابلدمُ ْٰعحاإبدَاهكدذُتد فبلدمُ ْٰعحاإبلاضدتبعندأباءادْدهشْابدنامبدنعودضعَد ت
بىٰنعددأدَباةددلدهشٰاْبُمدوع قدأدَباَٰهْٰابدْعاعبُطدسعقدأبعمُكاْٰذبَاٰدجدأبىْٰباإباًَع يابدكبعَدأباًَع ياغدصبُ عوُ بُ تعكدتبعندأباعوُمدأعسدتب دَدَ
بۗلد عوُ بُ تبعكبدتبَدأب حلدُجبعمُكعيدٰدعبدسعيدٰد فبعمُكدع يد ِبلدهد نعََُع ياُْتبًةدَاضلدحبًةدَلدجاتبدنعوُكدتبعندأبَاإباعوُ ِلدتعَد تبَدأ
بۗدَْٰاباوبُق تادَب
عمُكاِب قعوُسُفبَناإدفباعوُٰدَعفد تبعناإدَبۗ. ْعياهدشب دََب باتلدكبَلدضُيب دَبدَب
ۗ
عمُتعَد يلدبد تبادذاإباعَُْاهعشدأدَ
معياٰدعبٍءعيدشباهلُكاِبَُْٰادَب
َُْٰابُمُكُماهٰدَُ يدَ
ۗ
بدنامُتعْابىاذْاباهددَُ يعٰد فبلًضبعَد ِبعمُكُضعَد ِبدنامدأبعناإدفب
ةدضعوُ بعقمب نٰاَدفبلًباتلدكباعَُْاجدتبعمدَْبٍَدفدسبىٰٰدعبعمُتع ُكبعناإدَ
ۗ
ب معياٰدعبدنبعوبُٰدمعَد تبلدماِبَُٰهْٰادَبَُبعٰد قب ماثٰابَناإدفبلدهعمُتعكديبعندمدَب
دةددلدهشْاباوُمُتعكدتب دَدَبَِدَبدَٰهْٰاباِتد يعْدَب
ۗ
ٗ
َدتد نلدمدأ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan persaksikanlah dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi allah dan lebih dapat memperkuat persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) kerugianmu, kecuali mumamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya, dan
41
G. Pembatalan Mud}ar>abah
Mud}ar>abah menjadi batal apabila perkara-perkara sebagai berikut:
1. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat Mud}ar>abah.
2. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya.
3. Apabila pemilik modal meninggal dunia, Mud}ar>abah menjadi batal
H. Hak dan Kewajiban Pemberi Pinjaman/Pemodal
Pemilik usaha/pemodal (shahib al-mal) selaku pemberi modal
mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi untuk pengelola usaha, yaitu
menyediakan dana untuk dipergunakan sesuai dengan rencana penggunaan
pembiayaan yang dicantumkan dalam perjanjian dengan pengelola
(Mud}a>rib). Selain kewajiban tersebut di atas, pemodal juga berkewajiban
untuk mengawasi dan memberikan bimbingan atau petunjuk-petunjuk
kepada pengelola sehubungan dengan pembiayaan yang diberikannya.
Di samping kewajiban-kewajiban sebagaimana tersebut di atas,
dengan adanya perjanjian pembiayaan dan penyerahan modal kepada
pengelola, maka pemodal juga memperoleh hak-hak sebagai berikut:
1. Menerima laba dan pembagian keuntungan (bagi hasil) atas pinjaman
atau pembiayaan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang
42
2. Meminta kembali uang pinjaman yang telah diterima oleh pengelola
apabila baik dengan sengaja atau tidak, telah melanggar
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama.
3. Menagih/menarik modal dan keuntungan tersebut dari pengelola
apabila telah jatuh tempo sesuai surat perjanjian.
4. Setiap waktu yang diperlukan, maka pemodal berhak meminta
keterangan tentang pembukuan yang telah ditulis oleh pengelola
terhadap penggunaan modal yang diberikan.
5. Pemodal secara sepihak dapat mengakhiri perjanjian pembiayaan dan
mencabut/menyita barang-barang dagang yang dikelola oleh pengelola
dan menutup kongsi dagang apabila:
a) Usaha dagang dinyatakan pailit atau mengalami kerugian, baik
yang bersifat sementara maupun tetap.
b) Apabila pengelola melakukan tindakan anarkis dan penipuan
dengan cara mencuri barang dagang milik pemodal, baik dengan
sengaja maupun tidak sengaja.
c) Jika pengelola secara langsung atau tidak langsung ikut terlibat
tidak pidana atau gerakan anti pemerintahan yang diancam pidana
penjara, untuk itu pemodal tidak menunggu keputusan pengadilan.
d) Jika peminjam meninggal dunia.
43
Sebagaimana yang telah dikemukakan mengenai hak dan kewajiban
pemberi pembiayaan (pemodal) yang timbul karena adanya perjanjian
pembiayaan, maka kebalikan dari uraian yang telah diuraikan di atas,
maka hak dan kewajiban dari pengelola kepada pemodal yaitu:
1. Wajib mengikuti tata tertib dan peraturan yang telah dibuat oleh
pemodal.
2. Wajib membayar provisi atas pinjaman yang diberikan.
3. Wajib mengembalikan pinjaman dalam jumlah yang sama berserta
keuntungan menurut yang telah diperjanjikan.
4. Mengikuti petunjuk-petunjuk dan teknik yang diberikan oleh pemodal
5. Melaporkan sesuatu yang terjadi terhadap usaha yang dijalankan
dalam waktu yang secepat-cepatnya, apabila terjadi hal diluardugaan
dari perjanjian.
6. Tetap menjalankan usaha sendiri atau oleh ahli waris yang masih
menjadi tanggung jawab, tidak memindahkantangankan kepada pihak
lain sebelum mendapat persetujuan dari pemodal.
7. Memanfaatkan modal usaha dari pemodal untuk menjalankan
tugasnya.45
Kewajiban-kewajiban tersebut timbul karena adanya perjanjian
pembiayaan, sedangkan hak-hak pengelola yang lahir dari perjanjian
pembiayaan adalah:
45Sutan Remy Syahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas Pokok dan Masalah yang Dihadapioleh
44
a. Menerima sistem bagi hasil sebesar jumlah yang tercantum dalam
perjanjian pembiayaan Mud}ar>abah.
b. Menerima bimbingan, arahan dan petunjuk dari pemodal
sehubungan dengan kegiatan peningkatan usahanya.
c. Menerima tanda bukti atas pembiayaan Mud}ar>abah dan
pembebanan-pembebanan atau pembiayaan-pembiayaan lainya
yang dilaksanakan oleh pemodal.
d. Memiliki dan melakukan kegiatan selanjutnya, semua
kewajiban-kewajiban dengan pemodal telah dipenuhi dengan baik menyangkut
dengan pengembaliaan modal usaha maupun pembagian
keuntungan yang diperoleh.
BAB III
DESKRIPSI PRAKTIK PARON SAPI DI DESA PETAONAN
KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN
A. Profil Desa Petaonan
Desa Petaonan adalah sebuah desa yang terletak di ujung barat kota
bangkalan, dimana desa ini termasuk desa yang lumayan terpencil
dibandingkan dengan desa yang lain yang ada di kecamatan Socah. Desa ini
diberi nama Petaonan karena konon katanya, pada zaman dahulu para
sesepuh yang ada didesa tersebut sering melakukan petapaan yang cukup
lama, hingga bertahun-tahun. Dari situlah banyak warga desa yang menjadi
seorang Petapa, maka desa tersebut tersohor namanya menjadi Desa Petaonan
Kata Petaonan tersebut diambil dari bahasa madura yang terdiri dari dua
kata, yakni Peta dan Onan. Yang mana peta adalah Petapa dan Onan adalah
dalam bahasa madura Ontaonan (bertahun-tahun).47
Desa Petaonan memang dikenal religius dengan tokoh agamanya, karena
yang membuka lahan sehingga menjadi sebuah desa ini adalah tokoh agama
yakni sering dikenal dengan nama fuju’ Jarangan. Namun untuk tokoh agama
yang terkenal di Petaonan sangat banyak sekali sampai mencampai 44 tokoh.
47Abdullah, Wawancara perangkat desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, 20
46
Hal ini dibuktikan dengan makam-makam orang alim yang terdapat pada desa
tersebut.
Selain terkenal akan tokoh agamanya, Petaonan juga terkenal sebagai
desa pendekar, karena desa Petaonan ini mempunyai beladiri pencak silat
tersendiri, jadi beda dengan beladiri atau pencak silat yang biasa
dipublikasikan. Menurut sejarahnya ada seseorang bernama Kamsuri, yakni
beliau sebagai jawara kampung yang ilmunya tidak tertandingi. Tetapi suatu
ketika Kamsuri ditantang duel oleh seorang prajurit atau pejuang yang biasa
menghadapi penjajah yaitu Belanda dan Jepang. Prajurit tersebut bernama
Laskar Muchsin. Laskar Muckhsin kemudian bertarung dengan Kamsuri, yang
pada akhirnya pertarungan pun dimenangkan oleh Laskar Muchsin. Sehingga
Kamsuri pun berguru pada Laskar muchsin tersebut. Menurut Legenda Laskar
Muchsin berasal dari Gresik, beliau melarikan diri dari kejaran belanda dengan
berenang mengarungi lautan, sampai pada akhirnya sampai di tanah Madura,
tepatnya di desa Petaonan yang bersebrangan langsung dengan kota Gresik.
1. Kondisi Sosial Masyarakat Desa Petaonan
Masyarakat desa Petaonan kecamatan Socah kabupaten Bangkalan, pada
dasarnya sama dengan masyarakat desa lain yang notabene nya orang Madura.
Yaitu masyarakat yang senang bergotong royong dalam hal apapun, serta
masyarakat yang keras ketika menghadapi apapun yang mengganggu
47
Namun ada yang berbe