• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hukum Islam terhadap praktik paron Sapi di Desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis hukum Islam terhadap praktik paron Sapi di Desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK “

PARON”

SAPI DI DESA PETAONAN KECAMATAN SOCAH

KABUPATEN BANGKALAN

SKRIPSI

Oleh:

ACH FATHUR ROSI NIM. C02213001

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah

Surabaya

(2)
(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang ditulis oleh Ach. Fathur Rosi, NIM C02213001, dengan judul

“Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Paron Sapi di Desa Petaonan Kecamatan Socah

Kabupaten Bangkalan” telah diperiksa dan disetujui untuk dimunaqasahkan.

Surabaya, 05 Juli 2017

Pembimbing

(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Paron Sapi

di Desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, Skripsi ini adalah hasil dari penelitian lapangan (field research) yang bertujuan menjawab pertanyaan;

bagaimana praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten

Bangkalan, dan bagaimana analisis hukum islam terhadap praktik “paron” sapi di

desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

Pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan wawancara terhadap beberapa responden. Analisis data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu bertujuan menganalisis praktik

paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, serta menggunakan pola pikir deduktif.

Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa praktik paron sapi di desa petaonan ini sudah sesuai dengan syariah islam, karena praktiknya berlandaskan pada toleransi atau tolong menolong agar masyarakat yang tidak mampu bisa memiliki sapi sendiri. Dan hal ini sudah menjadi tradisi yang mana bisa dijadikan hukum, selama tidak bertentangan dengan hukum islam.

Namun untuk nisbah bagi hasilnya disarankan agar disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu, supaya pembagiannya lebih jelas dan adil. Karena meski

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian ... 13

2. Data yang Dikumpulkan ... 14

3. Sumber Data ... 14

4. Teknik Pengumpulan Data ... 15

5. Teknik Pengolahan Data ... 16

6. Teknik Analisis Data ... 17

(8)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Akad Mud}a<rabah

1. Pengertian Akad Mud}a<rabah ... 20

2. Pengertian Mud}a<rabah ... 23

B. Dasar Hukum Mud}a<rabah 1. Al-Qur’an ... 27

2. Al-Hadits ... 29

3. Ijma’ ... 30

4. Qiyas ... 31

C. Syarat dan Rukun Mud}a<rabah ... 31

D. Macam-macam Mud}a<rabah ... 35

E. Hukum Mud}a<rabah 1. Mud}a>rabah Shahih ... 36

2. Mud}a>rabah Fasiq ... 37

F. Metode Penerimaan Pendapatan Bagi Hasil ... 37

G. Prinsip-prinsip Mud}a<rabah ... 38

H. Pembatalan Mud}a<rabah ... 40

I. Hak dan Kewajiban Pemberi Pinjaman Modal ... 41

J. Hak dan Kewajiban Pengelola Usaha ... 42

BAB III PROFIL DESA PETAONAN DAN PRAKTIK PARON SAPI A. Profil Desa Petaonan ... 45

1. Kondisi Sosial Masyarakat Desa Petaonan... 45

2. Kondisi Perekonomian Masyarakat Desa Petaon... 46

(9)

4. Keagamaan Masyarakat Desa Petaonan... 50

5. Adat Istiadat Masyarakat Desa Petaonan ... 51

B. Praktik Paron Desa Petaonan

1. Paron Hewan Ternak Sapi ... 53

2. Paron Ternak Kambing ... 55

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTIK PARON SAPI

A. Analisis Terhadap Praktik Paron Sapi di Desa Petaonan Kecamatan

Socah Kabupaten Bangkalan ... 57

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Paron Sapi ... 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang rahmat bagi seluruh alam, Islam juga yang

mampu membawa umat kepada jalan kebenaran. Oleh sebab itu Islam

selalu hadir di tengah-tengah kesibukan masyrakat dalam menjalani

kehidupannya, dengan menuntun serta memberikan petunjuk terhadap

setiap penganutnya. Selain mengajarkan hubungan manusia dengan

Tuhannya, agama ini juga mengajari umatnya dengan baik dalam

berinteraksi dengan sesama manusia, terlebih interaksi dalam bidang

perekonomian yang hampir tidak pernah lepas dari aktivitas manusia. Di

sisi lain, Islam tidak hanya dipandang sebagai sebuah sistem hidup dan

kehidupan (manha>j al-h}a>yah). Khususnya dalam bidang ekonomi, tetapi

juga dipandang memiliki basis struktur keilmuan yang kuat.1

Maka dari itulah Islam datang dengan membawa hukum yang

Ra>hmatan lil al-a>lami>n. Ada lima level kategori hukum Islam dalam

dalam penerapannya. Pertama, hukum privat seperti hukum nikah, cerai,

waqaf dan sodaqah. Kedua, aturan masalah ekonomi seperti perbankan

dan bisnis lainnya. Ketiga, praktik keagamaan dalam arena publik.

(11)

2

Keempat, kriminal Islam. Kelima, menggunakan Islam sebagai dasar

negara.2

Dalam penelitian kali ini akan membahas secara lebih mendalam

pada poin yang kedua yakni tentang ekonomi. Karena kajian tentang

ekonomi khususnya ekonomi Islam itu dapat dipertanggung jawabkan

secara keilmuan dan memiliki dasar-dasar ilmiah yang dapat diterima oleh

civitas akademika.

Dalam pembahasan ekonomi ini sama halnya dengan mengarungi

sebuah kehidupan, yang mana prakteknya manusia tidak bisa

melakukannya sendiri, mereka butuh orang lain demi tercapainya hasil

yang lebih baik. Sehingga sudah menjadi sun}a>tulla>h}. Bahwasanya

manusia butuh kerjasama dan pertolongan orang lain. Dalam kerjasama

mempunyai unsur take and give yakni membantu dan dibantu.

Sebagaimana firman allah dalam surat Al-Maidah ayat 2:

ٰىَوْقَ تلاَو ِ رِبْلا ىَلَع اوُنَواَعَ تَو

ۖ

ِناَوْدُعْلاَو ِمْثِْْا ىَلَع اوُنَواَعَ ت َََو

ۖ

َهَللا اوُقَ تاَو

ۖ

ِإ

باَقِعْلا ُديِدَش َهَللا َن

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."(Q.S. Al-Maidah, 2).3

Dari ayat diatas bisa dilihat bahwasanya Islam merupakan

agama Ra>hmatan lil al-A>lami>n yang memiliki empat sifat dasar sebagai

2 MKD Uin Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: Uin Sunan Ampel Press, 2013), 55-56. 3 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta: Widya Cahaya,

(12)

3

indikatornya. Keempat sifat tersebut ialah Islam sebagai agama kasih

sayang, Islam bersifat universal, Islam melarang diskriminasi, dan Islam

bersifat komprehensif.4

Sebagai sistem kehidupan Islam memberikan warna dalam setiap

dimensi kehidupan manusia, tanpa terkeculai dunia ekonomi. Sistem

Islam ini mencoba mendialektikakan nilai-nilai ekonomi dengan akidah

ataupun etika. Artinya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia

dibangun dengan dialektika materialisme dan spiritualisme.

Adapun salah satu transaksi yang sering ditemui di tengah

masyarakat adalah akad kerjasama yang mana salah satu pihaknya

bertindak sebagai yang punya modal (sa>h}ibul ma>l) dan yang lain menjadi

pengelolanya (muda>rib), atau dalam fikih muamalah adalah Muda>rabah}.

Muda>rabah} diambil dari bahasa yang dipakai oleh bangsa Irak,

sedangkan oleh orang Hijaz disebut dengan qira>d / muqarada>h}.

Mud}a>rabah yang memiliki arti bepergian diambil dari al-Qur’an yaitu

Muda>rabah} menurut ilmu Fiqh Syafi’iyah adalah pemberian modal dari

pemilik dana kepada pengelola dana dengan tujuan agar dijalankan suatu

usaha karena keuntungan yang dapat dibagi sesuai dengan perjanjian

4 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syriah:Produk-Produk dan Aspek Hukumnya (Kencana

(13)

4

akad di muka.5 Hal ini sesuai dengan al-Qur’an surat al-Baqarah : 198,

yakni:

...مكبر نم اضف اوغتبتنأ حانج مكيلع سيل

“Tiada dosa bagimu untuk mencari keuntungan dari Tuhanmu...”6

Perlu diketahui bahwa akad Muda>rabah} itu dilaksanakan antara

pemilik dana dan pengelola dana, maka antara keduanya diperbolehkan

untuk membatalkan. Muda>rabah} itu hukumnya Sunnah, karena

mud}a>rabah merupakan akad untuk saling membantu antara yang tidak

mampu dan tidak punya keahlian. Hal ini sesuai dengan firman Allah

SWT (Nashiruddin, 1972):

اوقتلاو ربلا لع اونواعتو

“Tolong-menolonglah dalam hal kebaikan dan ketakwaan”7

Yang menarik untuk diteliti dalam akad mud}a>rabah ini adalah

tata cara atau sistem nisbah bagi hasilnya, yang mana menurut imam

Al-Mawardi adalah “jika berbentuk mudarabah, maka besarnya

nisbah keuntungan diukur pada tenaga yang dikeluarkan atau

besarannya itu diukur dari tenaga atau modal yang dikeluarkan.

Pembagian nisbah keuntungan dalam akad Mud}a>rabah harus

dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang mungkin

5 Nashiruddin Hamam, Fathul Qoribil Mujib, ( Penerbit Menara, Kudus: 1972), 192-199. 6 Al Quran Terjemah dan Asbabun Nuzul

(14)

5

dihasilkan. Tidak boleh pembagiannya dengan menyebut jumlah

nominal uang.8 Kesepakatan ratio prosentase harus dicapai melalui

negosiasi antara pihak yang berkongsi dan dinyatakan dalam kontrak

kerja.

Adapun kesepakatan rasio prosentase hendaknya ditentukan

dengan persen, seperti: 25:75 atau 40:60 atau 99:1 atau yang lainnya

sesuai dengan kesepakatan dengan ketentuan tidak 100:0.9

Sebagaimana firman Allah:

ثلثلا ىف ءاكرش مهَف

“…maka mereka bersekutu pada satu pertiga.”(QS. An Nisa :12)

Pembagian secara prosentase dilakukan untuk mengantisipasi

adanya kecurangan dari salah satu pihak. Karena dasar

dibolehkannya mud}a>rabah adalah untuk toleransi bagi manusia. Jika

dalam kontrak tersebut ditetapkan bagi hasilnya dengan jumlah

nominal maka akad mud}a>rabah batal. Karena dalam mud}a>rabah

keuntungan itu menjadi milik bersama.10

Pada praktik paron sapi tersebut dalam kegiatannya hasil dari

kerja sama ini adalah berupa barang yakni anak sapi. Pembagiannya

8Al-Mawardi,al-Hawi al-Kabir, (Beirut Da>r al-Fikr,tth),159. 9 Al-Kasani, Perbankan Syariah.,h.84

(15)

6

yaitu anak sapi yang pertama akan dimiliki oleh Mud}a>rib dan anak

sapi yang kedua akan dimiliki oleh shahibul maal.

Namun ada beberapa asas yang mengatur tentang praktik

mud}a>rabah. Salah satu asas ialah suatu akad yang mana dalam

transaksi akad bisa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau

tradisi ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ekonomi, selama

tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perekonomian yang

diatur dalam Islam.11 Jadi pembagian yang semacam itu yang sudah

disebutkan diatas mungkin saja sudah menjadi ukuran dari suatu

keadilan dalam akad kerjasama yang berkembang di masyarakat

pedesaan.

Paron sapi ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa

petaonan dalam memenuhi keinginannya untuk memiliki sapi

sendiri. Dari praktik inilah masyarakat desa belajar bermuamalah

serta mempererat tali persaudaraan antar sesama. Dan latar

belakang masyarakat yang kebanyakan petani serta peternak juga

memicu adanya praktik paron sapi.

Dari pengertian serta latar belakang di atas maka penulis

berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis

Hukum Islam Terhadap Praktik Paron Sapi di Desa Petaonan

11 Imam Wahid, Kompilasi Bidang Hukum Tentang Praktik Mudharabah ( Badan Pembina Hukum

(16)

7

Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan”. penulis akan

memfokuskan penelitian ini analisis hukum Islam terhadap sistem

atau nisbah bagi hasil dari praktik paron sapi tersebut.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan pemaparan yang ada pada latar belakang, penulis

mengidentifikasi beberapa masalah yang muncul dari praktik “paron” sapi

di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan adalah sebagai

berikut:

1. Praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten

Bangkalan.

2. Macam-macam praktik “paron” sapi ditinjau dari segi pemodalannya

di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

3. Cara pembagian hasil “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan

Socah Kabupaten Bangkalan.

4. Syarat dan rukun “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah

Kabupaten Bangkalan.

5. Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya “paron” sapi di desa

Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

6. Hukum memanfaatkan modal “paron” sapi di desa Petaonan

(17)

8

7. Ketentuan berakhirnya akad “paron” sapi di desa Petaonan

Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

8. Analisis hukum Islam terhadap praktik “paron” sapi di desa Petaonan

Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka demi menghasilkan

penelitian yang lebih fokus pada judul tersebut, penulis membatasi

penelitian ini meliputi:

1. Praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten

Bangkalan.

2. Analisis hukum Islam terhadap praktik “paron” sapi di desa Petaonan

Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

C. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan masalah yang telah dibatasi oleh penulis, maka penulis

dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah

Kabupaten Bangkalan?

2. Apakah praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah

(18)

9

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran yang

memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari beberapa penelitian

terdahulu yang sejenis atau memiliki, atau memiliki keterkaitan sehingga

tidak ada pengulangan penelitian dan duplikasi. Dalam penelusuran awal,

sampai saat ini penulis menemukan beberapa penelitian terkait praktik

“paron” diantaranya:

1. Judul thesis pada tahun 2014 Analisis Hukum Islam Terhadap Paron

Sapi Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.

Ditulis oleh Mukminin Syahrul Amil skripsi ini menjelaskan tentang

praktik paron sapi di desa Ragang. Praktik tersebut dalam sistem

pemberian modal yang mengurus semuanya adalah pemilik modal

tanpa campur tangan pengelola atau tidak ada unsur bagi hasil secara

transparan.

Kesimpulannya yaitu dalam system bagi hasil tidak sesuai dengan

hukum Islam dimana hasil tersebut harus dibagi menjadi dua dengan

system penjualan yang transparan. Dalam syarat mengenai

keuntungan maka harus dibagi menjadi dua sesuai dengan pendapat

Imam Syafi’i.12

2. Judul skripsi pada tahun 2015 “Analisis Hukum Islam Terhadap

Konsep Paron Dalam Kerjasama Penggemukan Sapi Di Desa Batah

12 Mukminin Syahrul Amil, Analisis Hukum Islam Terhadap Paron Sapi Di Desa Ragang

(19)

10

Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan”. Ditulis oleh

Abadi A. Fairuz. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang

sistem bagi hasil kerjasama peternakan sapi, dalam prakteknya usaha

tersebut di mulai dengan shahibul al-maal memberi modal sebesar

Rp. 25.000.000 kepada Mud}a>rib untuk dibelikan sapi untuk diternak

oleh Mud}a>rib dalam jangka waktu 3 bulan, kemudian modal tersebut

cukup untuk dibelikan 2 ekor sapi yang masing-masing berusia 3

setengah bulan dan 3 bulan.

Dengan kesepakatan pendapatan atau keuntungan apabila sapi

tersebut dijual setelah 3 bulan akan dibagi rata dengan prosentse 50%

: 50%. Kedua pihak juga menyepakati sebuah perjanjian yang di mana

apabila Mud}a>rib membutuhkan berbagai hal seperti biaya yang

diperlukan selama keperluan tersebut masih berkaitan dengan

perawatan sapi tersebut, Kesimpulannya adalah hukumnya tidak sah,

karena dalam prakteknya telah menyimpang dari kesepakatan awal

dikarenakan Mud}a>rib telah bertindak semena-mena dengan

menyerahkan uang yang jumlahnya tidak sesuai dengan kesepakatan

awal yang diperjanjikan.13

3. Judul thesis pada tahun 2015 yakni Analisis Hukum Islam Terhadap

Pemanfaatan Hewan Paron Di Desa Gunung Sereng Kecamatan

Kwanyar Kabupaten Bangkalan. Yang ditulis oleh Abu Yasid, thesis

13 Abadi A Fairuz, “Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama

Penggemukan Sapi Di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten

(20)

11

ini menjelaskan bahwa praktik paron sapi, lebih dititk beratkan pada

pemanfaatan modal yaitu berupa sapi. Dimana dalam hal ini sapi

yang diparonkan yang sejatinya akan dibagi hasil. Setelah

mempunyai keturunan. Namun sebelum sapi tersebut mempunyai

keturunan si pengelola atau mud}a>rinb tersebut memanfaatkan tenaga

sapi untuk membajak sawah dan juga kotorannya sebagai pupuk.

Sedangkan dalam akad kerjasama seharusnya segala macam bentuk

atau usaha yang menghasikan itu harus dengan persetujuan kedua

belah pihak yaitu shahibul maal dan Mud}a>rib.

Kesimpulannya adalah bahwa praktik pemanfaatan hewan paron Di

Desa Gunung Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan itu

sudah sesuai dengan hukum Islam, karena hal tersebut sudah menjadi

kebiasaan masyarakat desa dan sudah mentradisi. Jadi suatu tradisi

dalam Islam juga bisa menjadi landasan hukum.14

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka dalam melakukan penelitian

ini penulis ini memiliki tujuan:

1. Mengetahui praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah

Kabupaten Bangkalan.

14 Yasid Abu Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Hewan Paron Di Desa Gunung

(21)

12

2. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktik “paron” sapi di

desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

F. Kegunaan dan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan yang positif, baik

secara teoritis maupun secara praktis. Secara umum kegunaan penelitian

yang dilakukan oleh penulis ini dapat ditinjau dari dua aspek, yakni:

1. Dari tinjauan teoritis - akademis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan keilmuan dibidang hukum Islam, khususnya pada bidang

Fiqih Muamalah. Dan juga dapat menambah pengetahuan tentang

sistem nisbah bagi hasil pada praktik paron sapi di desa Petaonan

Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan. Serta diharapkan menjadi

bahan hipotesis bagi penelitian berikutnya.

2. Dari segi praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan dalam kegiatan bermuamalah yang sesuai

dengan prinsip hukum Islam bagi objek penelitian. Dan juga dapat

dijadikan bahan untuk memperbaiki penerapan praktik paron sapi di

desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, yang sesuai

(22)

13

G. Definisi Oprasional

Agar tidak terjadi suatu kesalahpahaman dalam memahami beberapa

istilah yang ada didalam penelitian ini, maka penulis memberikan

penjelasan atau pengertian dari beberapa istilah sebagai berikut:

1. Hukum Islam : ketentuan hukum yang bersumber dari al-Quran dan

Hadits serta pendapat para ulama’ yang mengatur tentang mud}a>rabah

yang dijadikan pedoman bagi kehidupan masyarakat.

2. Praktik Paron : suatu akad kerjasama yang dilakukan masyarakat

pedesaan, yang mana melibatkan dua atau lebih pihak dalam suatu

akad. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal)

dan pihak yang lain sebagai pengelola modal (Mud}a>rib). Dalam

praktik ini yang menjadi objek kerjasama adalah hewan ternak dan

sawah atau ladang.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, yakni tentang

Analisis Hukum Islam terhadap praktik “paron” sapi di desa Petaonan

Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

1. Lokasi penelitian

Lokasi dalam penelitian ini adalah terletak di Desa Petaonan,

Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan. Desa Petaonan merupakan

(23)

14

paron sawah, paron ternak, dan paron tambak. Namun peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian terhadap paron ternak yang ada

di Desa Petaonan.

2. Data yang akan dikumpulkan

Adapun data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini

diantaranya:

a. Tentang profil desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten

Bangkalan, yang meliputi kondisi sosial, pendidikan dan

ekonomi masyarakat serta kehidupan beragama.

b. Data tentang praktik “paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan

Socah Kabupaten Bangkalan.

3. Sumber data

Data dalam penelitian ini akan didapatkan dari beberapa sumber,

diantaranya:

a. Sumber primer

Sumber primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

objek yang diteliti baik dari pribadi maupun dari suatu instansi

yang mengolah dan untuk keperlun penelitian, seperti dengan cara

melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang

berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.15 Yaitu

keterangan dan data yang diperoleh dari pemerintah desa, tokoh

(24)

15

masyarakat, serta masyarakat yang malakukan praktik Paron sapi

di desa Petaonan.

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder adalah data yang didapatkan dari sumber secara

tidak langsung kepada pengumpul data.16 Data sekunder

merupakan data yang memberikan penjelasan terhadap data

primer. Data sebagian besar merupakan literatur yang berkaitan

dengan konsep hukum Islam. Data ini bersumber dari buku-buku,

jurnal atau dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan

topik penelitian. Seperti:

1. Nashiruddin, Hamam, Fathul Qoribil Mujib

2. Al-Mawardi,al-Hawi al-Kabir

3. Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih

4. Sayyid Syabiq, Fiqih Muamalah

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian,

maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai

berikut:

a. Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis

terhadap gejala-gejala yang diteliti. Obsevasi menjadi salah

satu teknik pengumpulan data apabila telah sesuai dengan tujun

(25)

16

penelitian, direncanakan dan dicatat secara sistematis.17

penulias akan mengamati praktik “paron” sapi di desa Petaonan

Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

b. Wawancara (Interview)

Wawancara (Interview) merupakan teknik pengumpulan data

dengan cara melakukan tanya jawab dengan pihak-pihak yang

terkait, dengan masalah yang dibahas.18 Peneliti akan mencoba

melakukan wawancara dengan pemilik modal, pengelola modal

serta saksi yang terlibat dalam akad Paron.

c. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah

pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.

Dengan metode ini penulis mendapatkan data yang berupa

catatan, serta laporan tentang paron sapi di desa Petaonan

Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

5. Teknik Pengolahan Data

Adapun teknik pengolahan data yang digunakan untuk

mempermudah dalam menganalisis data di penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali dari semua data yang

diperoleh terutama dari segi kelengkapannya, kejelasan makna,

(26)

17

keselarasan antara data yang ada dan relevansi dengan

penelitian. Dalam penelitian ini penulis akan memeriksa data-

data terkait praktik paron sapi di desa Petaonan Kecamatan

Socah Kabupaten Bangkalan.

b. Organizing, yaitu menyusun kembali data yang telah didapat

dalam

penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang sudah

direncanakan dengan rumusan masalah yng sistematis. Data

dari awal hingga akhir tentang praktik paron sapi di desa

Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

c. Analizing, yaitu tahapan analisis dan perumusan pelaksanaan

transaksi paron sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah

Kabupaten Bangkalan.

6. Teknik Analisis Data

Sesudah terkumpulnya data-data yang diperoleh oleh penulis,

kemudian telah dikelola dengan teknik pengolahan yang dilakukan

oleh penulis, maka data-data tersebut akan dianalisis dengan kritis

dan mendalam menggunakan syariat Islam. Analisis data adalah

mengorganisasikan data yang terkumpul yang meliputi cacatan

lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto, dan dokumen

(biografi, laporan,artikel).19

(27)

18

Analisis data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini

adalah dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu bertujuan

mendeskripsikan masalah yang ada pada praktik paron sapi di desa

Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, yang didapat

dengan mencatat, menganalisis dan menginterpretasikannya.

Selanjutnya menganalisis dengan pola pikir induktif untuk

mengemukakan kenyataan dari hasil penelitian yang bersifat

khusus, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

Setelah itu praktik paron sapi tersebut dianalisis dengan

nilai-nilai yang ada dalam hukum Islam, berupa dalil-dalil dan

isthinbath hukum tentang Muda>rabah} dengan metode verifikatif.

I. Sistematika Pembahasan

Bab pertama berisi pendahuluan yaitu terdiri dari latar belakang

masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian,

definisi oprasional, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas tentang landasan teori yang berkaitan dengan

studi ini, yaitu mengenai teori akad, pengertian muda>rabah}, dasar hukum

mud}a>rabah, rukun dan syarat muha>rabah}, macam-macamnya, hak dan

kewajiban sa>h}ibul ma>l dan muda>rib, sistematika nisbah bagi hasil dalam

(28)

19

Bab ketiga memaparkan mengenai data hasil penelitian dilapangan

terkait praktik paron, juga menguraikan tentang: Gambaran umum desa

Petaonan, profil desa petaonan, keadaan sosial, pendidikan, adat istiadat

dan kehidupan kehidupan beragama desa Pataonan. Selanjutnya

dilengkapi dengan gambaran transaksi “paron” sapi di desa Petaonan,

yang meliputi beberapa aspek. Uraian ini sekaligus menjawab rumusan

masalah yang pertama.

Bab keemapat berisi tentang analisis hukum Islam terhadap praktik

“paron” sapi di desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

Bab kelima merupakan bagian akhir atau penutup dari skripsi yang

berisikan tentang kesimpulajn dari analisis permasalahan serta saran dari

penulis.

(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Akad Mud}a>rabah

1. Pengertian Akad

Kata akad dalam istilah bahasa adalah ikatan dan tali

pengikat.20“Akad” barasal dalam bahasa Arab al-Aqdu dalam bentuk

jamak disebut al-Uqud yang berarti ikatan atau simpul tali. Menurut

ulama fiqh, kata akad didefenisikan sebagai hubungan antara ijab dan

kabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya

pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan. Akad (Ikatan,

keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat

diartikan sebagai kemitraan yang berbingkai dengan nilai-nilai

syariah.

Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang

sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih, berdasarkan keridoan

masing-masing maka akan timbul rukun-rukun akad, yaitu:

a. Orang-orang yang berakad (Aqid)

b. Benda-benda yang diakadkan (Ma’qud ‘alaih)

c. Tujuan atau maksud mengadakan akad (Maudhu ‘al-‘aqad)

(30)

21

d. Ijab dan Kabul (Sighat al-‘aqd).21

Akad tersebut baru akan dapat dikatakan sah apabila telah

memenuhi syarat akad tersebut. Secara umum yang menjadi syarat

sahnya suatu akad adalah:

1) Tidak menyalahi hukum syari’ah.

2) Harus sama ridha dan ada pilihan.

3) Harus jelas dan gamblang.22

Dalam pandangan mazhab Hanafi akad yang tidak sah secara

syar’i terbagi dua yaitu batal dan fasad (rusak).23 Akad yang batal

adalah akad yang rukunnya tidak terpenuhi atau sifatnya tidak

dibenarkan secara syar’i, misalnya barang yang ditransaksikan tidak

diakui syara’ seperti jual beli miras, daging babi dan lain-lain.

Namun ada beberapa asas yang mengatur tentang praktik

mud}a>rabah. Salah satu asas ialah suatu akad yang mana dalam

transaksi akad bisa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau

tradisi ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ekonomi, selama

tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perekonomian yang

diatur dalam Islam.

21 Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), 52.

22 Chairuman Pasaribu Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta : Sinar

Grafika, 1994), 2-3.

23 Wahba Al-Zuhayly, Al-Fiqh Al-islamy wa Adillatahu, (Damsyiq : Da Al Fikr, 1984), Juz 4,

(31)

22

Dalam hukum Islam adat istiadat dapat dijadikan hukum,

dalam kaidah fiqh terdapat kaidah sebagai berikut:

ةَمَكَحُم َُداَعلا

Artinya: “Tradisi yang yang ada di masyarakat itu dapat dijadikan

hukum”

ا

اَهِب ُلَمَعلا ُبِجُي ةجثح ِسالا ُل اَمْعِتْس

Artinya: apa yang bisa diperbuat orang banyak, merupakan hujjah

yang wajib diamalkan.

Dari situlah disimpulkan bahwasanya segala sesuatu yang baik dan

dikerjakan oleh msyarakat itu bisa menjadi patokan.

Kaidah diatas diambil berdasarkan hadis Nabi yang menyatakan:

َسَح ِهللاَدِْع َوُهَ ف اًَسَح َنوُمِلْسُملا يَاَراَم

“Apa yang dipandang baik menurut kaum muslim, maka di sisi

Allah pun baik.” (H>.R. Ahmad).

Tetapi kaidah di atas akan berlaku jika kebiasaan atau adat istiadat

yang ada dalam suatu masyarakat tersebut tidak bertentangan

(32)

23

2. Pengertian Mud{a<rabah

Mudarabah adalah akad musamma yaitu akad yang telah

disebutkan syara’ sendiri namanya, demikian aturan-aturan secara

umum. Mud{a<rabah adalah akad kerja sama dalam perniagaan yang

telah ada sebelum nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul Allah.24

Mudarabah disebut juga Al-Qiradh secara istilah dua kata itu

mengandung arti yang sama. Qiradh telah ada sejak zaman jahiliyyah

dan penghidupan masyarkatnya dihasilkan dari peraktik qiradh

diantara mereka itu ada orang tua yang tidak mampu untuk bepergian,

perempuan, anak kecil, anak yatim, orang yang mempunyai kesibukan,

dan orang sakit yang memberikan hartanya dengan akad Mud{a<rabah

kepada orang yang mau meniagakan dengan keuntungan yang

disepakati berama. Kemudian Rasulullah saw. menetapkan praktik ini

dalam ajaran Islam, dan kaum muslimin pada saat itu melakukannya

dengan penuh keyakinan.25

Menurut Al-Nawawi di dalam kitab ar-Raudhah IV/97,

al-Qiradh al-Muqaradhah adalah satu makna, yaitu penyerahan suatu

modal (harta) terhadap seseorang untuk diperniagakan, sedangkan

keuntungan dibagikan diantara mereka.

Pada prinsipnya akad Mud}a>rabah diperbolehkan dalam agama

Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik modal dengan

24 Neneng Nurhasanah, Mud}a>rabah dalam Teori dan Praktik, (Bandung: Refika Aditama,2015),

65.

(33)

24

seorang yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam

banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola

uangnya. Sementara itu banyak pula para pakar dalam perdagangan

yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas

dasar saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk

saling berkerja sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil

dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.26

Sedangkan menurut istilah syara’, Mud}a>rabah merupakan akad

antara dua pihak untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana

salah satu pihak memberikan dana kepada pihak lain sebagai modal

usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi di antara mereka

berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.

Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan

Mud}a>rabah atau Qira<d} dengan:

Secara teknis, Mud}a>rabah adalah akad kerjasama usaha antara dua

pihak dimana pihak pertama (sa<hib al-ma<l) menyediakan seluruh

(100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.

Keuntungan usaha secara Mud}a>rabah dibagi menurut kesepakatan

yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung

oleh pemilik modal selama kerugian itu tidak disebabkan oleh

kelalaian si pengelola. Namun, apabila kerugian itu disebabkan

26 Abdul, Rahman Al Jaziri, Kitabul Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah ( Kitab Fiqh Empat Madhab),

(34)

25

kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus

bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Maka dari itu salah satu bentuk kerjasama antara pemilik

modal dengan seorang yang pakar dalam berdagang, di dalam fiqih

Islam disebut dengan mud}a>rabah sedangkan ulama fiqih hijaz

menyebutnya dengan Qira<d}.27 Secara terminologi, para ulama fiqh

mendefinnisikan Mud}a>rabah atau Qira<d} dengan:28 Mud}a>rabah ialah

akad antara kedua pihak (orang) yang saling menanggung, salah satu

pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan

dengan bagian yang telah ditentukan

اًكِرتْشُم ُحْبّرلا ُنْوُكَيَو ِهْيِف َرَجَتَ يَاَم ِلِماَعْلا يَلِا كِلاَمْلَا ِعَفْدَي ْنَآ

Artinya: ‚Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja

(pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama‛.29

Adapun beberapa pendapat ulama’ yang mendefiniskan akad

Mud{a<rabah, di antaranya sebagai berikut:

a. Menurut Hanafiyah, Mud{a<rabah adalah dua pihak yang berakad

yang berserikat dalam keuntungan (laba) karena harta diserahkan

kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.

Maka Mud{a>rabah ialah akad syirkah dalam laba, satu pemilik

harta dan yang lain pemilik jasa.

27 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 175.

28 Gemala Dewi, et al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, Cet.ke-2, 2006), 119-120.

(35)

26

b. Malikiyah berpendapat bahwa Mud{a>rabah adalah akad

perwakilan, dimana pemilik harta mewakilkan hartanya kepada

yang lain untuk diperdagangkan dengan modal yang ditentukan

(emas dan perak).

c. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa akad Mud{a>rabah ialah akad

yang menentukan seseorang yang menyerahkan hartanya kepada

yang lain untuk ditijarahkan.

d. Hanabilah berpendapat Mud{a>rabah ialah ibarat pemilik harta

menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang

berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.

e. Menurut Sayyid Sabiq, Mud{a>rabah adalah akad antara dua belah

pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk

diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai

dengan perjanjian.30

f. Menurut pasal 20 ayat 4 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,

Mud{a>rabah adalah kerjasama antara pemilik dana dengan

pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan

pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.31

B. Dasar Hukum Mud}a>rabah

(36)

27

Ketetapan hukum Islam berkaitan dengan muamalah sebagian

merupakan penetapan dan penegasan kembali atas praktik-praktik yang

telah berlangsung pada masa sebelum. Hal itu disebabkan praktik

muamalah tersebut selaras dengan prinsip dasar ajaran agama Islam.

Selain itu dalam praktik muamalah terkandung manfaat yang besar.

Salah satu bentuk muamalah tersebut adalah Mud{a>rabah. Nabi

Muhammad saw. sendiri bekerja sebagai Mud}a>rib pada transaksi

komersial jenis ini kepada Khodijah sebelum beliau diangkat secara

resmi sebagai Rasul Allah.32

Menegaskan kembali bahwasanya Mud}a>rabah sebagai bentuk

muamalah yang diperbolehkan dalam Islam, dapat kita lihat dalam hadis

Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh ibnu majjah dari shuhaib

yang menyebutkan:

ربلا نهيف ةثاث

َهجام نباُ عيبللَ تيبلل ريعشلااب ربا طلخو لجا ىلا عيبلاو ةضراقملا ةك

“Tiga macam (bentuk usaha) yang di dalamnya terdapat bentuk

barakah: Muqaradhah/Mud}a>rabah , jual beli secara tangguh, mencampur gandum dengan beras untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).

1. Al-Quran

Secara eksplisit, al-Quran tidak menyebut Mud}a>rabah sebagai satu

bentuk muamalah yang diperbolehkan dalam Islam. Secara umum,

beberapa ayat menyiratkan kebolehannya dan para ulama

32 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, jilid IV, 1996),

(37)

28

menjadikan beberapa ayat tersebut sebagai dasar hukum Mud}a>rabah

, ayat al-Quran tersebut terdapat pada firman Allah Al-Maidah (5):

1.

ْ يَغ ْمُكْيَلَع َىلْتُ ي اَمَِا ِمَعْ نَأا ُةَمِهَب ْمُكَل ْتلِحُا ِدوُقُعْلاِب اْوُ فْوَأ اْوُ َماَء َنْيِذلا اَه يَأَي

ىِّلِحُم َر

ِدْيصلا

ُدْيِرُياَم ُمُكْحَي َهّللا نِا مُرُح ْمُتْ نَاَو

“H

ai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.

Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu ) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah

menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakinya.”

Akad (perjanjian) dalam ayat tersebut mencakup janji prasetya

seseorang hamba kepada Allah dan perjanjian yanga dibuat oleh

manusia dalam pergaulan sehari-hari dengan sesamanya.

Sementara itu Wahbah al-Zuhaily menjelaskan, bahwa yang

menjadi dasar al-Quran mengenai akad Mud}a>rabah ini adalah QS.

Al-Muzzammil (73):20:

...ُهِْم َرسَيَ ت اَم ْاوُءَرْ قَاَف ِهلّلا ِلْيبَس يِف َنوُلِتَقُ ي َنْوُرَخَاَو

...

“....Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian

karunia Allah...”33

Yang dimaksud dengan al-Mud}a>rib adalah orang yang

berjalan di (bepergian) di muka bumi untuk mencari karunia Allah,

sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Jumu’ah (62):10: “Apabila

(38)

29

shalat telah didirikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan

carilah karunia Allah dan ingatlah lah banyak-banyak agar kamu

beruntung”.

2. Al-Hadits

Sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, Rasulullah pernah

melakukan Mud}a>rabah dengan Khadijah, dengan modal dari

Khadijah. Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut

untuk diperdagangkan.

ْوُسَر َلاَق

َاْخَاَو ُةَضَراَقَمْلاَو ٍلَجَا ىَلِا ُعْيَ بلا ةَكَرَ بلا نِهْيِف ث َاَث ْملَسَو ِهْيَلَع ُهللا ىلَص ِهللا ُل

ُط

ِعْيَ بْلِلََ ِتْيضبْلِل ِرْيِعشب ِّرُ بْلا

Artinya: ‚Rasulullah saw bersabda: Tiga hal yang di dalamnya

terdapat keberkahan, yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (bagi hasil) dan mencampur gandum putih dengan gandum merah untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.

َا ِهِبِحاَص ىَلَع َطَرَ تْشِا ةَبَراَضُم َلاَمْلَا َعَفَداَذِا ِبِّلَطُمْلاِدْبَع ِنْب ُساّببَعْلا اَنِدِّيَس َناَك

ْن

ِهِب َكُلْسَي ََ

َغَلَ بَ ف َنِمَض َكِلَذ َلَعَ ف ْنِاَف ٍةَبْطَر ٍدِبَك َتاَذ ًةباَد ِهِب َيِرّتْشَيَََو اًيِداَو ِهِب َلِزَْ يَََو اًرْحَب

َش

ُلْوُسضر ُهُتْر

ُُزاَجَاَف ْملَسَو ِهْيَلَع ِهللا

Artinya: Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai Mud{a<rabah, ia mensyaratkan kepada Mud}a>rib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (Mud}a>rib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya‛(HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).34

(39)

30

3. Ijma'

Imam Zailai dalam kitabnya Nasbu ar-Rayah telah menyatakan

bahwa para sahabat telah berkonsensus akan legitimasi pengolahan

harta anak yatim secara Mud{a<rabah. Kesepakatan para sahabat ini

sejalan dengan spirit hadis yang dikutip oleh Abu Ubaid dalam

kitabnya al-Amwal “Rasulullah saw. telah berkhotbah di depan

kaumnya seraya berkata wahai para wali yatim, bergegaslah untuk

menginvestasikan harta\ amanah yang ada di tanganmu janganlah

didiamkan sehingga termakan oleh zakat”.

Indikasi dari hadis ini adalah menginvestasikan harta anak

yatim secara Mud{a<rabah sudah dianjurkan, apalagi Mud{a<rabah

dalam harta sendiri. Adapun pengertian zakat disini, seandainya

harta tersebut diinvestasikan, maka zakatnya akan diambil dari

return on investment (keuntungan) bukan dari modal. Dengan

demikian harta amanat tersebut akan senantiasa berkembang, bukan

berkurang.35

Para ahli hukum Islam secara sepakat mengakui keabsahan

mud}a>rabah karena ditinjau dari segi kebutuhan dan manfaat karena

sesuatu dengan ajaran dan syariah dan segi lainnya.36

35 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press, 2005, 15. 36 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Pedoman Hidup Muslim (Jakarta:PT. Pustaka Litera Antar Nusa,

(40)

31

Dasar hukum dari Mud{a<rabah adalah ijma’ ulama’ yang

membolehkannya seperti dinukilkan Ibnu Mundzir, Ibnu Hazm,

Ibnu Taimiyah dan lainnya.

4. Qiyas

Mud{a<rabah diqiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh seseorang

untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin

dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak

dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang

miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan

demikian, adanya Mud{a<rabah ditujukan antara lain untuk

memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk

kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan

mereka.37

C. Syarat dan Rukun Mud}a<rabah

Jumhur ulama menyatakan bahwa, rukun Mud}a>rabah terdiri atas orang

yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan ijab qobul.38 Adapun syarat-

syarat Mud}a>rabah sebagai berikut:

1. Bagi pihak yang berakad harus cakap bertindak hukum dan cakap

diangkad sebagai wakil (bagi mud{a<rib).

37Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum, Bandung : Pustaka

Setia, 2001, 226 .

38 Neneng Nurhasanah, Mud}a>rabah dalam Teori dan Praktik, (Bandung: Refika Aditama,2015),

(41)

32

2. Yang terkait dengan modal disyaratkan

- Berbentuk uang

- Jelas jumlahnya

- Tunai

- Diserahkan sepenuhnya kepada mud{a<rib

3. Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian

pembagian keuntungan harus jelas yang diambil dari keuntungan,

misalnya setengah, seperempat atau sepertiga.

4. Untuk syarat akad mengikuti syarat sebuah akad pada umumnya,

yaitu harus jelas shigatnya dan ada kesesuaian antara ijab dan

qabulnya.39

Berkaitan dengan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh suatu

akad, jumhur ulama mengejmukakan syarat syarat Mud{a<rabah sesuai

dengan rukunnya sebagai berikut:

a. Yang terkait dengan orang yang melaukan transaksi haruslah

orang yang cakap bertindak hukum dan orang yang cakap

diangkat sebagai wakil. Pada satu sisi posisi orang yang akan

mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal, itulah

sebabnya syarat-syarat seorang wakil juga berlaku bagi

pengelola modal dalam akad mud{a<rabah

39 Neneng Nur Hasanah, Mud{a<rabah dalam Teori dan Praktik (Bandung, Rafika Aditama, 2015),

(42)

33

b. Yang terkait dengan modal, disyaratkan berbentuk uang, jelas

jumlahnya, tunai, dan diserahkan sepenuhnya kepada pngelola

modal Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau

sejenisnya yang memungkinkan dalam perkongsian.

1) Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.

2) Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak harus ada

di

tempat akad.

3) Modal harus diberikan kepada pengusaha agar digunakan

harta tersebut sebagai amanah.

Apabila modal itu berbentuk barang, maka menurut ulama

tidak diperbolehkan, karena sulit untuk menentukan

keuntungannya. Demikian juga halnya dengan hutang, tidak

bisa dijadikan modal Mud}a>rabah. Menurut Mazhab Hanafi,

Maliki, Syafi’i apabila modal itu dipegang sebagiannya, maka

akad itu tidak dibenarkan. Namun, menurut Mazhab Hanbali,

boleh saja sebagian modal itu berada ditangan pemilik modal,

asal saja tidak mengganggu kelancaran jalan perusahaan

tesebut.

c. Yang terkait degan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian

keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing harus dambil

(43)

34

seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut

ulama Hanafiyah akad itu fasid (rusak).40

"Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad Mud{a<rabah yang

tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan

yang berhak diterima oleh kedua pihak yang ber Mud{a<rabah."54

Mud}a>rib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib

al-maal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah

keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan

antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan,

adapun syaratnya adalah:

1) Keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak;

2) Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui

pada waktu kontrak dan proporsi tersebut harus dari

keuntungan;

3) Nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari

waktu ke waktu;

4) Kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya yang

harus ditanggung pemodal dan pengelola.41

Namun demikian, mereka tidak boleh mengalokasikan

keuntungan secara langsung untuk siapa saja dan juga mereka

tidak boleh mengalokasikan keuntungan dengan tingkat

40 Ibid.

(44)

35

presentase tertentu dari modal. Misal, jika modal 100 juta,

mereka tidak boleh sepakat terhadap syarat bahwa Mud}a>rib

akan mendapatkan 10 juta dari keuntungan, atau syarat 20

persen dari modal menjadi milik shahibul maal.42

D. Macam Macam Mud}a>rabah

Secara umum Mud}ar>abah dibagi menjadi dua macam, yaitu: Mud}ar>abah

muthlaqah dan Mud}ar>abah muqayyadah. Berikut ini akan dikemukakan kedua

macam pembagian Mud}ar>abah di atas.

1. Mud}ar>abah Muthlaqah

Yang dimaksud dengan Mud}ar>abah muthlaqah adalah bentuk kerja

sama antara pemodal (shahib al-mal) dan pengusaha (Mud}a>rib) yang

cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha,

waktu dan daerah bisnis. Dalam Mud}ar>abah muthlaqah ini shahib

al-mal memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Mud}a>rib dalam

mengelola modal dan usahanya.

2. Mud}ar>abah Muqayyadah

Mud}ar>abah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan

istilah restricted Mud}ar>abah/specified Mud}ar>abah adalah kebalikan

dari Mud}ar>abah muthlaqah, dimana pengelola usaha (Mud}a>rib)

dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya

(45)

36

batasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik

modal (shahib al-mal) dalam memasuki jenis dunia usaha.

E. Hukum Mud}a>rabah

Hukum Mud}a>rabah terbagi dua, yaitu Mud}a>rabah shahih dan Mud}a>rabah

fasid.

1. Mud}a>rabah Shahih

Hukum Mud}a>rabah shahih yang tergolong shahih cukup

banyak, antara lain tanggung jawab pengusaha. Ulama fiqih telah

sepakat bahwa pengusaha bertanggung jawab atas modal yang ada

ditangannya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikan modal

tersebut atas seizin pemiliknya. Apabila pengusaha beruntung, ia

memiliki hak atas laba secara bersama-sama dengan pemilik modal.

Jika modal Mud}a>rabah rusak atau rugi karena adanya beberapa

sebab yang menjadikannya rusak atau rugi, maka pengelola memiliki

hak untuk mendapatkan upah. Jika hartanya rusak tanpa disengaja, ia

tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut. Jika

disyaratkan bahwa pengusaha harus bertanggung jawab atas rusaknya

modal, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, syarat tersebut batal,

tetapi akadnya sah. Dengan demikian, pengusaha bertanggung jawab

atas modal dan berhak atas laba. Adapun ulama Malikiyah dan

(46)

37

2. Mud}a>rabah Fasid

Salah satu contoh Mud}a>rabah Fasid adalah mengatakan,

“berburulah dengan jaring saya dengan hasil jaringan dibagi di antara

kita” Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahawa

pernyataan ini termasuk tidak dapat dikatakan Mud}a>rabah yang shahih

karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan upah atas

pekerjaannya,baik dia mendapatkan upah atau tidak.43

F. Metode Penerimaan Pendapatan Bagi Hasil

Adapun meteode penerimaan Pendapatan bagi hasil adalah sebagi

berikut:

1. Bagi hasil netto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan

dari usaha dikurangi dengan biaya-biaya yang timbul. Contoh: bila

dari sebuah proyek atau usaha dihasilkan penjualan sebesar Rp

2.000.000,00 dan biaya-biaya usaha Rp 500.000,00, maka yang

dibagihasilkan sebesar Rp 1.500.000,00. Ini disebut metode profit

sharing.

2. Bagi hasil brutto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan

usaha tanpa dikurangi dengan biaya-biaya yang timbul. Contoh: bila

dari sebuah proyek atau usaha dihasilkan penjualan sebesar Rp

2.000.000,00 dan biaya-biaya usaha sebesar Rp 500.000,00, maka

43 Rachmat Syafi’i, Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan UMUM, (Bandung:

(47)

38

yang dibagihasilkan adalah sebesar penjualan yaitu Rp 2.000.000,00.

Ini disebut metode revenue sharing.

G. Prinsip-Prinsip Mud}a>rabah

1. Prinsip Berbagi Keuntungan diantara Pihak-Pihak yang Melakukan Akad

Mud}a>rabah

Dalam akad Mud}a>rabah, laba bersih harus dibagi antara shahibul

maal dan mudarib berdasarkan suatu proporsi yang adil sebagaimana

yang telah disepakati sebelumnya dan secara eksplisit telah disebutkan

dalam perjanjian Mud}a>rabah.

Pembagian laba tidak boleh dilakukan sebelum kerugian yang ada

ditutupi dan ekuitas shahibul maal sepenuhnya dikembalikan. Semua

kerugian yang terjadi dalam perjalanan bisnis harus ditutup dengan laba

sebelum hal itu ditutup dengan ekuitas shahibul maal.

2.Prinsip Berbagi Kerugian diantara Pihak-Pihak yang Berakad

Dalam Mud}a>rabah, asas keseimbangan dan keadilan terletak pada

pembagian kerugian diantara pihak-pihak yang berakad. Kerugian

finansial sepenuhnya dibebankan pada pemilik modal, kecuali terbukti

ada kelalaian, kesalahan atau kecurangan yang dilakukan oleh Mud}a>rib.

Sementara itu pihak mudarib menanggung kerugian itu berupa waktu,

tenaga dan jerih payah yang dilakukannya.dia tidak memperoleh apapun

(48)

39

Disinilah letak perbedaan antara mudarabah dan pinjaman kredit di

bank konvensional yang menjamin keselamatan harta/uang yang

dikelompoknya. Dalam Mud}a>rabah , Mud}a>rib berfungsi sebagai

pemegang amanah, bukan penjamin. Dia bertanggung jawab terhadap

harta/modal hanya jika lalai/curang atau salah. Seandainya dimasukkan

dalam persyaratan, bahwa Mud}a>rib menjamin keselamatan harta/modal

Mud}a>rabah , maka akan mengakibatkan batalnya akad Mud}a>rabah dan

hilang legalitasnya44.

3. Prinsip Kejelasan

Dalam Mud}a>rabah, masalah jumlah modal yang akan diberikan shohibul

maal, persentase keuntungan yang akan dibagikan, syarat-syarat yang

dikehendaki oleh masing-masing pihak dan jangka waktu perjanjiannya

harus disebutkan dengan tegas dan jelas. Kejelasan merupakan prinsip

yang harus ada dalam akad ini, untuk itu bentuk perjanjian tertulis harus

dilaksanakan dalam akad mudarabah. Hal ini sesuai dengan firman allah

Qs. Al-Baqarah (2) 282-283:

ب دَدَب

ا عْدَعْلاِب بباتلدكبعمُكدع ي ِبعبُتعكديعْدَبُۗعوُ بُ تعكلدفبىًمدسمبٍلدجدأبىْٰاإبٍنعيدْاِبعمُتع د يادْدتبادذاإباعوُ دمٰابدنعياذْابلده يدأ

ي

ب دَدَبَِدَبدَٰهْٰاباِتد يعْبدَببِدحعْاباَعيدٰدعبعياذْابالاٰعمُيعْدَب

عبُتعكديعٰد فبَُٰهْٰابَُدمٰدعبلدمدكبدبُتعكيبعندأب باتلدكبدبعأدي

ۚ

44 Neneng Nurhasanah, Mudharabah Dalam Teori Dan Praktek, (Bandng: Refika Aditama,2015),

(49)

40

بدوبُببلاميبعندأبُععياطدتعسديب دَبعَدأبلًفع ياَدضبعَدأبلًهع يافدسبِدحعْاباَعيدٰدعبعياذْابدنلدكبعناإدفب

ۗلًئع يدشبَُعامبعسدخعبد ي

بعنمامبانٰتدأدَعماَب لُجدَد فبانعيبدُٰجدَبلدنعوُكديبعمْبعناإدفب

عمُكاْلدجهاَبعنامبانعيدْعياهدشباعَُْاهعشدتعسادَب

ۚ

ۗا عْدَعْلاِبَياْدَبعلاٰعمُيعٰد ف

بۗاعوُعبُدبلدمبادذاإبُءادْدهشْابدبعأديب دَدَبۗىَٰعخُعْابلدمُ ْٰعحاإبدَاهكدذُتد فبلدمُ ْٰعحاإبلاضدتبعندأباءادْدهشْابدنامبدنعودضعَد ت

بىٰنعددأدَباةددلدهشٰاْبُمدوع قدأدَباَٰهْٰابدْعاعبُطدسعقدأبعمُكاْٰذبَاٰدجدأبىْٰباإباًَع يابدكبعَدأباًَع ياغدصبُ عوُ بُ تعكدتبعندأباعوُمدأعسدتب دَدَ

بۗلد عوُ بُ تبعكبدتبَدأب حلدُجبعمُكعيدٰدعبدسعيدٰد فبعمُكدع يد ِبلدهد نعََُع ياُْتبًةدَاضلدحبًةدَلدجاتبدنعوُكدتبعندأبَاإباعوُ ِلدتعَد تبَدأ

بۗدَْٰاباوبُق تادَب

عمُكاِب قعوُسُفبَناإدفباعوُٰدَعفد تبعناإدَبۗ. ْعياهدشب دََب باتلدكبَلدضُيب دَبدَب

ۗ

عمُتعَد يلدبد تبادذاإباعَُْاهعشدأدَ

معياٰدعبٍءعيدشباهلُكاِبَُْٰادَب

َُْٰابُمُكُماهٰدَُ يدَ

ۗ

بدنامُتعْابىاذْاباهددَُ يعٰد فبلًضبعَد ِبعمُكُضعَد ِبدنامدأبعناإدفب

ةدضعوُ بعقمب نٰاَدفبلًباتلدكباعَُْاجدتبعمدَْبٍَدفدسبىٰٰدعبعمُتع ُكبعناإدَ

ۗ

ب معياٰدعبدنبعوبُٰدمعَد تبلدماِبَُٰهْٰادَبَُبعٰد قب ماثٰابَناإدفبلدهعمُتعكديبعندمدَب

دةددلدهشْاباوُمُتعكدتب دَدَبَِدَبدَٰهْٰاباِتد يعْدَب

ۗ

ٗ

َدتد نلدمدأ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan persaksikanlah dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi allah dan lebih dapat memperkuat persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) kerugianmu, kecuali mumamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya, dan

(50)

41

G. Pembatalan Mud}ar>abah

Mud}ar>abah menjadi batal apabila perkara-perkara sebagai berikut:

1. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat Mud}ar>abah.

2. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya.

3. Apabila pemilik modal meninggal dunia, Mud}ar>abah menjadi batal

H. Hak dan Kewajiban Pemberi Pinjaman/Pemodal

Pemilik usaha/pemodal (shahib al-mal) selaku pemberi modal

mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi untuk pengelola usaha, yaitu

menyediakan dana untuk dipergunakan sesuai dengan rencana penggunaan

pembiayaan yang dicantumkan dalam perjanjian dengan pengelola

(Mud}a>rib). Selain kewajiban tersebut di atas, pemodal juga berkewajiban

untuk mengawasi dan memberikan bimbingan atau petunjuk-petunjuk

kepada pengelola sehubungan dengan pembiayaan yang diberikannya.

Di samping kewajiban-kewajiban sebagaimana tersebut di atas,

dengan adanya perjanjian pembiayaan dan penyerahan modal kepada

pengelola, maka pemodal juga memperoleh hak-hak sebagai berikut:

1. Menerima laba dan pembagian keuntungan (bagi hasil) atas pinjaman

atau pembiayaan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang

(51)

42

2. Meminta kembali uang pinjaman yang telah diterima oleh pengelola

apabila baik dengan sengaja atau tidak, telah melanggar

ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama.

3. Menagih/menarik modal dan keuntungan tersebut dari pengelola

apabila telah jatuh tempo sesuai surat perjanjian.

4. Setiap waktu yang diperlukan, maka pemodal berhak meminta

keterangan tentang pembukuan yang telah ditulis oleh pengelola

terhadap penggunaan modal yang diberikan.

5. Pemodal secara sepihak dapat mengakhiri perjanjian pembiayaan dan

mencabut/menyita barang-barang dagang yang dikelola oleh pengelola

dan menutup kongsi dagang apabila:

a) Usaha dagang dinyatakan pailit atau mengalami kerugian, baik

yang bersifat sementara maupun tetap.

b) Apabila pengelola melakukan tindakan anarkis dan penipuan

dengan cara mencuri barang dagang milik pemodal, baik dengan

sengaja maupun tidak sengaja.

c) Jika pengelola secara langsung atau tidak langsung ikut terlibat

tidak pidana atau gerakan anti pemerintahan yang diancam pidana

penjara, untuk itu pemodal tidak menunggu keputusan pengadilan.

d) Jika peminjam meninggal dunia.

(52)

43

Sebagaimana yang telah dikemukakan mengenai hak dan kewajiban

pemberi pembiayaan (pemodal) yang timbul karena adanya perjanjian

pembiayaan, maka kebalikan dari uraian yang telah diuraikan di atas,

maka hak dan kewajiban dari pengelola kepada pemodal yaitu:

1. Wajib mengikuti tata tertib dan peraturan yang telah dibuat oleh

pemodal.

2. Wajib membayar provisi atas pinjaman yang diberikan.

3. Wajib mengembalikan pinjaman dalam jumlah yang sama berserta

keuntungan menurut yang telah diperjanjikan.

4. Mengikuti petunjuk-petunjuk dan teknik yang diberikan oleh pemodal

5. Melaporkan sesuatu yang terjadi terhadap usaha yang dijalankan

dalam waktu yang secepat-cepatnya, apabila terjadi hal diluardugaan

dari perjanjian.

6. Tetap menjalankan usaha sendiri atau oleh ahli waris yang masih

menjadi tanggung jawab, tidak memindahkantangankan kepada pihak

lain sebelum mendapat persetujuan dari pemodal.

7. Memanfaatkan modal usaha dari pemodal untuk menjalankan

tugasnya.45

Kewajiban-kewajiban tersebut timbul karena adanya perjanjian

pembiayaan, sedangkan hak-hak pengelola yang lahir dari perjanjian

pembiayaan adalah:

45Sutan Remy Syahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas Pokok dan Masalah yang Dihadapioleh

(53)

44

a. Menerima sistem bagi hasil sebesar jumlah yang tercantum dalam

perjanjian pembiayaan Mud}ar>abah.

b. Menerima bimbingan, arahan dan petunjuk dari pemodal

sehubungan dengan kegiatan peningkatan usahanya.

c. Menerima tanda bukti atas pembiayaan Mud}ar>abah dan

pembebanan-pembebanan atau pembiayaan-pembiayaan lainya

yang dilaksanakan oleh pemodal.

d. Memiliki dan melakukan kegiatan selanjutnya, semua

kewajiban-kewajiban dengan pemodal telah dipenuhi dengan baik menyangkut

dengan pengembaliaan modal usaha maupun pembagian

keuntungan yang diperoleh.

(54)

BAB III

DESKRIPSI PRAKTIK PARON SAPI DI DESA PETAONAN

KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN

A. Profil Desa Petaonan

Desa Petaonan adalah sebuah desa yang terletak di ujung barat kota

bangkalan, dimana desa ini termasuk desa yang lumayan terpencil

dibandingkan dengan desa yang lain yang ada di kecamatan Socah. Desa ini

diberi nama Petaonan karena konon katanya, pada zaman dahulu para

sesepuh yang ada didesa tersebut sering melakukan petapaan yang cukup

lama, hingga bertahun-tahun. Dari situlah banyak warga desa yang menjadi

seorang Petapa, maka desa tersebut tersohor namanya menjadi Desa Petaonan

Kata Petaonan tersebut diambil dari bahasa madura yang terdiri dari dua

kata, yakni Peta dan Onan. Yang mana peta adalah Petapa dan Onan adalah

dalam bahasa madura Ontaonan (bertahun-tahun).47

Desa Petaonan memang dikenal religius dengan tokoh agamanya, karena

yang membuka lahan sehingga menjadi sebuah desa ini adalah tokoh agama

yakni sering dikenal dengan nama fuju’ Jarangan. Namun untuk tokoh agama

yang terkenal di Petaonan sangat banyak sekali sampai mencampai 44 tokoh.

47Abdullah, Wawancara perangkat desa Petaonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, 20

(55)

46

Hal ini dibuktikan dengan makam-makam orang alim yang terdapat pada desa

tersebut.

Selain terkenal akan tokoh agamanya, Petaonan juga terkenal sebagai

desa pendekar, karena desa Petaonan ini mempunyai beladiri pencak silat

tersendiri, jadi beda dengan beladiri atau pencak silat yang biasa

dipublikasikan. Menurut sejarahnya ada seseorang bernama Kamsuri, yakni

beliau sebagai jawara kampung yang ilmunya tidak tertandingi. Tetapi suatu

ketika Kamsuri ditantang duel oleh seorang prajurit atau pejuang yang biasa

menghadapi penjajah yaitu Belanda dan Jepang. Prajurit tersebut bernama

Laskar Muchsin. Laskar Muckhsin kemudian bertarung dengan Kamsuri, yang

pada akhirnya pertarungan pun dimenangkan oleh Laskar Muchsin. Sehingga

Kamsuri pun berguru pada Laskar muchsin tersebut. Menurut Legenda Laskar

Muchsin berasal dari Gresik, beliau melarikan diri dari kejaran belanda dengan

berenang mengarungi lautan, sampai pada akhirnya sampai di tanah Madura,

tepatnya di desa Petaonan yang bersebrangan langsung dengan kota Gresik.

1. Kondisi Sosial Masyarakat Desa Petaonan

Masyarakat desa Petaonan kecamatan Socah kabupaten Bangkalan, pada

dasarnya sama dengan masyarakat desa lain yang notabene nya orang Madura.

Yaitu masyarakat yang senang bergotong royong dalam hal apapun, serta

masyarakat yang keras ketika menghadapi apapun yang mengganggu

(56)

47

Namun ada yang berbe

Referensi

Dokumen terkait

yang akan diteliti yaitu, Apakah praktik jual beli padi dengan sistem tebas di Desa. Mlaten Kecamatan Mijen Kabupaten Demak sudah sesuai dengan

Kemudian sapi hibah tersebut akan dikelola dan dikembang oleh masyarakat desa Mojomalang Kecamatan Parengan Kabaupaten Tuban, ketentuan pembagian keuntungan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK BAGI HASIL TANGKAPAN IKAN NELAYAN DI DESA KEDUNGREJO KECAMATAN MUNCAR KABUPATEN BANYUWANGI.. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA FAKULTAS

Agar tidak menimbulkan kesalahan dalam memahami skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Arisan Kelompenan (Studi kasus di Desa Semali Kecamatan Sempor

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan tentang ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Ganti Rugi Dalam Jual Beli Padi Tebasan Di Desa Kemiri Kecamatan Kebak

Permasalahan pengulangan pekerjaan ini sesuai dengan hukum islam dengan didasarkan pada pendapat ulama Syafiiyah yang menjelaskan bahwa buruh yang ada di desa Krikilan ini

Jadi berdasarkan latar belakang di atas, “Praktik Pengupahan Buruh Tani Tembakau Di Desa Sidodadi Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember Dalam Perspektif Islam” menjelaskan

Berdasarkan hasil penelitian ini, Akad hutang piutang yang terjadi di desa Gentong, kecamatan Paron, kabupaten Ngawi, tepatnya di rumah ibu Suparmi sebagai pihak yang memberi hutang