• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS LOGIKA FORMAL BERTRAND RUSSELTERHADAP PROBLEM KEBAHASAAN USHUL FIQH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS LOGIKA FORMAL BERTRAND RUSSELTERHADAP PROBLEM KEBAHASAAN USHUL FIQH."

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS LOGIKA FORMAL BERTRAND RUSSELTERHADAP

PROBLEM KEBAHASAAN

USHUL FIQH

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi dan melengkapi sebagai syarat ujian guna memperoleh

gelar Sarjana dalam Ilmu Ushuluddin

Oleh:

NINGSIH

NIM: E51212053

JURUSAN FILSAFAT AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ix

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Analisis Logika Formal Bertrand Russell terhadap Problem Kebahasaan Ushul Fiqh. Adapun fokus penelitian yang dibahas dalam skripsi ini adalah (1). Bagaimana pendekatan kebahasaan ushul fiqh dilihat dari logika Bertrand Russel? (2). Bagaimana konsep pendekatan kebahasaan dalam ushul fiqh?

Ushul fiqh sebagai sebuah disiplin yang pertama kali digagas Asy-Syafi’i sebagaimana dikatakan Imran Ahsan Khan Nyazee merupakan ratunya ilmu keislaman (the queen of Islamic sciences). Di samping kedudukannya sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fiqh merupakan cabang ilmu yang dalam banyak hal berkaitan dengan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadist dan ilmu kalam. Ushul fiqh sebagai disiplin yang mengkaji hukum, bukan hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial dan institusional, melainkan juga melihat persoalan hukum sebagai masalah epistemologi.

Dengan kata lain ushul fiqh tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan penalaran hukum belaka, akan tetapi di dalamnya juga terdapat pembicaraan mengenai logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi hukum. Bahkan Arkoun secara tegas berpendapat bahwa ushul fiqh telah menyentuh epistemologi kontemporer.

Dalam penelitian yang penulis lakukan ini merupakan metode kepustakaan murni. Penelitian akan dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau segala informasi yang memuat objek penelitian yang akan diteliti, yang memuat tulisan tentang ushul fiqh yang dilihat dari sudut pandang filsafat bahasa Bertran Russell. Baik didapatkan dari buku yang memuat tentang pemikirannya maupun jurnal-jurnal yang telah dituliskan ataupun pada tulisan-tulisan yang dituangkan yang termuat dalam situs-situs yang penulis gunakan adalah deskripsi dan analisa. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai ushul fiqh dilihat dari fisafat bahasa Bertrand Russell.

Dari kesimpulan yang didapat, Bertrand Russell memandang bahwa bahasa yang digunakan harus jelas dengan formulasi tatanan bahasa yang tepat. Tugas dari filsafat bahasa disini adalah untuk memperjelas arti dari makna yang ada di dalam

(7)

 

xii 

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 8

C.Tujuan Peneitian ... 8

D.Kegunaan Penelitian ... 8

E. Penegasan Judul ... 9

F. Penelitian Terdahulu ... 10

G.Metode Penelitian ... 12

(8)

 

xiii   

 

BAB II. KAJIAN TEORI

A. Biografi Bertand Russell ... 15

B. Pemikiran Bertand Russell ... 16

a. Atomisme Logis ... 17

b. Proposisi Atomik dan Proposisi Majemuk ... 20

4. Kelemahan Atomisme Logis Bertrand Russell ... 22

BAB III. PENYAJIAN DATA A. Pengertian Ushul Fiqh ... 23

B. Objek Kajian Ushul Fiqh ... 27

C. Perkembanagan Ushul Fiqh ... 27

1. Ushul Fiqh Sebelum di Bukukan ... 30

2. Pembukuan Ushul Fiqh ... 32

D. Aliran Ilmu Ushul Fiqh ... 33

1. Jumhur Ulama’ ... 34

2. Aliran Hanafiyah (Anhaf) Atau Fuqoha ... 37

3. Metode Campuran ... 40

E. Problem Kebahasaan dalam Ushul Fiqh ... 41

F. Pengertian Dalalah Mantuq dan Dalalah Mafhum ... 48

1. Pengertian Dalalah Mantuq ... 49

2. Pengertian Dalalah Mafhum ... 50

(9)

 

xiv 

 

BAB IV. ANALISIS DATA

A.Kaitan Logika Formal Bertand Russell dalam Problem

Kebahasaan Ushul Fiqh ... 59 1. Metode Atomisme ... 61 1. Metode Kebahasaan Usul Fiqh ... 62 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 64 B. Saran/ Kritik ... 65 C. Penutup ... 67

DAFTAR PUSTAKA

(10)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Termasuk di antara anugerah dan kasih sayang Allah SWT pada

manusia adalah munculnya al-Maudhu’at al-Lughawiyyah (beberapa

peletakan bahasa), atas ciptaan Allah SWT. Meskipun ada yang mengatakan

bahwa peletakan bahasa adalah selain Allah SWT, yakni para hamba sendiri,

munculnya bahasa tetap menjadi anugerah agung dari-Nya, karena Allah-lah

yang menciptakan semua perbuatan hamba-hamba-Nya. Setiap manusia

membutuhkan bahasa sebagai pengungkap makna dalam hati, untuk

berinteraksi dengan sesama. Karena secara fitrah, manusia makhluk sosial,

tidak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat. Selain itu

bahasa adalah faidah dari pada isyarat yang lebih mudah dipahami.1 Selain bahasa manusia memerlukan pemahaman hukum-hukum tentang Islam seperti

ilmu ushul fiqh.

Para ulama’ ushul berupaya untuk menggali hukum atau meng

-istimbath-kan hukum dari Al-qur’an dan Hadits, sebagaimana usaha untuk memecahkan problem dalam masyarakat. Salah satu cara untuk menggali

hukum adalah melalui nash-nash Al-qur’an dan Hadits. Ushul fiqh merupakan

ilmu yang mempelajari dasar-dasar fikih. Karena untuk memahami atau

mengetahui hukum tentang pengkajian hukum Islam. Dalil-dalil ini merupakan

(11)

2

pondasi dalam menentukan suatu pernyataan. Jadi jelas ushul fiqh merupakan

metode untuk mengkaji dan memahami hukum secara komprehensif. Dalam

ilmu fikih, Al-qur’an merupakan sumber hukum Islam pertama yang dipahami

dan ditetapkan sebagai hukum melalui ushul fiqh. Yaitu ilmu yang membahas

tentang metodologiistinbathhukum Islam dari sumbernya yaitu sumber primer yakni Al-qur’an, hadits, ijma’, qiyas dan sumber sekunder yakni istihshan, maslahah al-mursalah, sadz al-dzari’ah, istishab, urf, syar’u man qablahadan

qaul shahabi. Metodologi yang dimaksud secara garis besar ada dua macam yaitu metode pendekatan lughawiyah (kebahasaan) danmaqashid al-syari’ah (kemaslahatan bersama). Metode pendekatan kebahasaan dalam ushul fiqh

merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui dalil-dalil am-khas,

mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh dan lain-lain. Sedangkan metode pendekatan maqashid al-syari’ah merupakan metode dalam ushul fiqh yang memandang pada kemaslahatan umat. Karena sebagaimana diketahui bahwa

Tuhan tidak menghendaki kesukaran kepada hamba-Nya.

Sedikit telah kita paparkan mengenai metode yang digunakan dalam

ushul fiqh, seperti di atas ada dua macam yaitu pendekatan kebahasaan dan

pendekatan maqashid al-syari’ah. Tetapi dalam tulisan ini, kita akan mengkhususkan bahasan pada metodogi yang pertama yaitu pendekatan

kebahasaan.

Adapun nash-nash dalam Al-qur’an dan Hadits ialah menggunakan

bahasa Arab. Konsekuensi logis yang harus diterima benar adalah

(12)

3

agar pemahaman yang diperoleh dalam menetapkan suatu hukum yang berasal

dari nash itu memadai. Oleh karena itu, para ulama ushul fiqh melakukan

penelitian sistematis terhadap susunan bahasa Arab, mufradat, dan lain-lain

yang secara garis besar mereka melakukan penelitian terhadap gramatika

bahasa Arab.2

Dengan demikian jadi jelas bahwasanyaal nushusmerupakan hal yang pertama. Syatibi memperinci pandangan sebagai metode dalam menemukan

maqashid al-syari’ah yaitu pertama, berpegang nash (al nushus) dalam menetapkan hukum, yang pertama kali dijadikan rujukan adalah lafal dan

maknalughawi al-qu’randansunnah.Dalam konteks ini yang menjadi fokus kajian adalah lafadz-lafadz nash yang‘am, khas, mutlak, muqayyad, mustarak,

mantuk, mafhum, amr, nahi, persoalan nasikh dan mansukh dan sebagainya yang berkaitan dengandalalah.Untuk memahami nash diperlukan kemampuan bahasa Arab yang baik dan ilmu-ilmu pendukunnya.3

Madzhab Syafi’iyah dalam memahami dalil nash dibagi menjadi dua

macam yaitu dalalah manthuq dan dalalah mafhum. Pertama, dalalah manthuq adalah petunjuk lafadz yang sama antara redaksi dan arti lafadz itu sendiri. Artinya, dalil-dalil nash dalam Al-qur’an dan hadits memiliki maksud

dan tujuan sama dalam penerapannya.

2Ebook offline Ushul Fiqh, 1 , dalam agustionto.niriah.com, diakses pada 15 September 2015

3Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq,Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam

(13)

4

Kedua, dalalah mafhum yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang didiamkan dari lafadz itu dalam hal menetapkan atau meniadakan hukum. Artinya, makna dari lafadz-lafadz dalil nash tidak dijelaskan penerapannya secara langsung melainkan memerlukan metode induksi untuk dapat memahami

makna yang terkandung di dalamnya.4

Dari kedua metode yang diterapkan oleh ulama Syafi’iyah kita dapat

mengetahui bahwa dalam metode kebahasaan juga harus berlaku dalam

penerapannya yakni kehidupan nyata. Di mana proses istimbath suatu hukum dapat melahirkan hukum fikih yang dapat diterapkan oleh umat Islam dalam

kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya pengetahuan hukum tidak terlepas dari tujuan hukum

(maqashid al-syari’ah) dan hakikatnya hukum. Pengetahuan tentang ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum yang tepat dan mengandung

kemaslahatan bagi umat Islam. Dan begitu juga dalam filsafat Bertrand Russel

menjelaskan tentang pentingnya sebuah penjelasan di dalam fakta realita yang

dibantu oleh logika yang berasal dari inderawi.

Menurut Russell, proposisi merupakan hasil daripada pemikiran yang

disampaikan melalui pernyataan-pernyataan dalam bentuk bahasa. Dalam sistem

logika tradisional dan modern, proposisi merupakan unsur utama. Tetapi dalam

perkembangan logika sejak digagas oleh Aristoteles proposisi-proposisi banyak

dipakai dan disesuaikan dengan pemahaman filsafat yang dianut oleh

(14)

5

aliran tertentu. Penganut idealisme akan menyatakan bahwa proposisi tidak lain

adalah hasil daripada ide atau pikiran, sedangkan bagi penganut materialisme

akan mengatakan bahwa proposisi tidak lain adalah hasil daripada interaksi indra

dengan benda-benda material.5

Jika dalam ushul fiqh menurut pandangan Syafi’iyah untuk memahami

nash ada dalalah mafhum dan dalalah manthuq akan tetapi dalam pendekatan kebahasaan Bertrand Russell menggunakan proposisi atomik dan proposisi

majemuk. Atomisme Logis merupakan nama filsafat yang diberikan oleh

Russell, yang mana logika adalah fundamental filsafat. Logika bersifat atomis.

Atom yang dimaksud adalah atom logis bukan atos fisika. Analisis logis

digunakan untuk mendapatkan satuan-satuan logis akan kebenaran realitas.

Russell menganggap bahasa sehari-hari tidak memadai untuk bahasa filsafat

karena banyak makna ganda dan keterikatan dengan konteks, pikiran harus

dibangun melalui bahasa yang berdasarkan formulasi logika.

Russell mengatakan adanya kaitan erat dalam istilah isomorphismenya

yakni adanya kesepadanan atau kesetaraan antara struktur realitas dan struktur

bahasa. Suatu proposisi disebut proposisi atomik apabila berupa proposisi yang

berdiri dalam satu kalimat yang mengandung realitas sederhana, tidak memuat

unsur-unsur majemuk. Proposisi atomik yang telah digabungkan dengan

proposisi lain dengan kata penghubung, misalnya “yang, atau, dan” dan

sebagainya.

5Robert C. Solomon dan Kathleen M. H.,A Short History of Philosophy, terj. Saut Pasaribu,

(15)

6

Menurut Russell, kebenaran atau ketidakbenaran suatu proposisi

majemuk ialah tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi

atomiknya. Atau dengan kata yang lebih mudah untuk dipahami ialah bahwa

proposisi majemuk merupakan fungsi kebenaran daripada proposisi atomik.

Suatu proposisi atomik menurutnya tidak dapat dinilai benar atau salahnya,

hanya bahasa yang dipakai dapat ditentukan kebenaran dan ketidakbenarannya,

karena proposisi atomik sendiri mengandung unsur-unsur realitas sederhana.6

Filsafat analitis lahir sebagai respon atas kerancuan dan permasalahan

dalam menjelaskan dan menguraikan ungkapan-ungkapan filosofis. Dengan

kata lain, filsafat analitis digunakan untuk membahas, menjelaskan dan

memecahkan masalah filsafat dengan menggunakan analisa bahasa, ataupun

melalui analisis linguistik. Salah-satu teori dalam filsafat analitis adalah

atomisme logis. Istilah ini dinisbatkan pada dua filsuf Ludwig Wittgenstein dan

Bertrand Russel.

Pemikiran atomisme logis lebih dulu telah dikembangkan Ludwig

Wittgenstein dalam karyanya“Tractatus Logico Philosophicus”. Namun nama

dari aliran atomisme logis ini pertama kali dikemukakan oleh Bertrand Russell

dalam suatu artikelnya yang dimuat dalam “Contemporary British

Philosophy”yang terbit pada tahun 1924.

(16)

7

Nama atomisme logis yang digunakan oleh Bertrand Russell

menunjukkan pengaruh dari David Hume dalam karyanya “An Enguiry

Concerning Human Understanding”.7

Sedikit mengulas hubungan Russel dan Witgenstein. Keduanya adalah

sahabat sejaman. Wittgeinstein adalah murid Russel yang cemerlang. Namun

demikian, di beberapa waktu, Russel mengaku sebagai murid Wittgeinstein.

Mengenai atomisme logis yang dikembangkan keduanya, sebenarnya memiliki

perbedaan. Tetapi jika dipandang dari pendekatannya terdapat kesamaan yang

signifikan.8 Karena itu, dalam penulisan ini, akan difokuskan pada atomisme logisnya Bertrand Russel.

Begitu juga yang terjadi pada saat ini, bahasa menjadi tolak ukur

seseorang untuk memahami sebuah makna, kenyataan yang ada dalam

Al-qur’an ataupun Hadits makna yang digunakan banyak memakai arti yang

tersirat. Sedangkan pemahaman yang lebih mudah ialah makna yang tersurat.

Oleh karena itu, penelitian ini beranjak dari fenomena kebahasaan yang sering

terjadi kesalah fahaman antara teks dan konteks, dalam Al-qur’an, hadits, ijma’

dan qiyas dalam kehidupan sehari-hari, yang bisa kita paparkan melalui analisis

proposisi Bertrand Russell. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melalui

penelitian dengan judul. “Analisis Logika Formal Bertrand Russell

terhadap ProblemKebahasaan Ushul Fiqh”.

7Kaelan,Filsafat Bahasa(Yogyakarta: Paradigma 1998), 87.

(17)

8

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah peneliti kemukakan di atas, maka

dirumuskan beberapa rumusan masalah yang kemudian akan dikaji lebih

lanjut, yaitu:

1. Bagaimana pendekatan kebahasaan ushul fiqh dilihat dari analisis logika

Bertrand Russell?

2. Bagaimana konsep pendekatan kebahasaan dalam ushul fiqh?

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang diajukan di atas maka tujuan penelitian

ini adalah:

1. Untuk memahami pendekatan kebahasaan ushul fiqh dilihat dari analisis

logika Bertrand Russell.

2. Untuk memahami konsep pendekatan kebahasaan dalam ushul fiqh.

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara

teoritis, praktis, maupun secara akademik.

1. Secara Teoritik

Penelitian ini disamping sebagai salah satu upaya memenuhi tugas akhir

dalam program strata S1 jurusan Filsafat dan Agama Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat dan juga diharapkan mampu menambah keilmuan peneliti dalam

(18)

9

2. Secara Praktis

Sebagai kontribusi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai analisis

proposisi Bertrand Russell terhadap metode kebahasaan ushul fiqh, dan bahan

pertimbangan bagi peneliti lainnya.

3. Secara Akademik

Sebagai masukan dan sebagai pembendaharaan perpustakaan untuk

kepentingan ilmiah selanjutnya dapat memberikan informasi atau gambaran

bagi peneliti lainnya mengenai (filsafat bahasa, pengetahuan terhadap

kebahasaan ushul fiqh dan strategi logika formal Bertrand Russell).

E. Penengasan Judul

Analisis : Penyelidikan terhadap sesuatu peristiwa menguraikan

pemahaman dan arti keseluruhan untuk mengetahui

keadaan yang sebenarnya (sebab, musabab, dan

sebagainya), dan juga menguraikan suatu pokok atas

berbagai bagianya dan penelaahan bagian itu sendiri, serta

hubungan antar bagian untuk memperoleh pengetahuan

yang tepat dalam pemahaman.9

Logika : Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang

berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan

lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah

(19)

10

salah satu cabang filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut

denganlogike episteme(bahasa Latin:logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari

kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.

Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk

mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan

akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam

tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga

diartikan dengan masuk akal.10

Formal : Sesuai dengan peraturan, atau kebiasaan.11

Kebahasaan : Bahasa yang memilki definisi, sesuatu yang mewakilkan

benda, tindakan gagasan, dan keadaan.12 Sesuatu yang

bertujuan untuk menggambarkan sesuatu dengan bahasa

yang jelas.

Ushul fiqh : Ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus

ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’.13

Bertrand Russell : Filsuf atau ilmuan yang lahir pada 1872-1970 di

Cambridge pada abad ke-19 M. Dalam perumusan Russell

ia mencoba membagikan dalam tiga tipe: tipe tradisional

10https://id.wikipedia.org/wiki/Logika. Di akses pada 21 agustus 2016.

11Hasan Alwi.Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta: Manteri Pendidikan Nasional, 2003),

320.

12https://bahasadankesastraan.wordpress.com/category/pengertian/.

(20)

11

klasik, tipe evolusionalisme, dan yang ketiga tipe logika

atomisme.14

Dengan demikian maksud dari judul tersebut adalah untuk memahami

ilmu-ilmu ushul fiqh terutama dalam dalalah-dalalah yang ada di ushul fiqh

dan di lihat dari segi filsafat bahasa Bertrand Russell melalui Proposisinya,

yang mana dijelaskan melalui proposisi atomic dan proposisi majemuk.

Penengasan judul ini tidak lain untuk tidak terjadi kesalah pahaman judul.

F. Telaah Pustaka

Dalam penulisan ini tentunya penulis menggunakan sumber primer dan

sumber sekunder. Sejauh ini penulis berhasil mengetahui karya ilmiah yang

membahas tentang ushul fiqh.

1. Dalam jurnal “Diskursus Interpretasi Linguistik;Ragam Kejelasan dan

Kesamaan Makna dalam Ushul Fiqh” pengarang Atik Abidah di sini

menjelaskan bahwa dalalah yang tidak jelas bukan berarti karena ketidak

jelasan dalil itu akan tetapi mungkin karena qarinah yang belum jelas sehingga diperlukan ijtijad dan upaya yang lebih besar lagi. Akan tetapi

perbandingan antara ulama’ Ushul Hanafiyyah dan Mutakallimin adalah

Hanafiyyah membagi dalalah yang jelas menjadi empat: Dahir, nas,

mufassar, dan Muhkam sedangkan Mutakallimin membagi menjadi dua

yaitu; Dahir dan Nas.

14Wahyu Murtiningsih.Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Majah. Cet III (Yogjakarta: IRCisod,

(21)

12

2. Dalam jurnal“Interrelasi dan Interkoneksi antara Hermeneutika dan Ushul

Fiqh” pengarang Lindra Darnela di sini menjelaskan bahwa hermeneutika

dan ushul fiqh memiliki korelasi yang sangat dekat jika melihat beberapa

metode yang digunakan. Oleh karena itu, hermeneutika yang merupakan

metode penafsiran yang tegas dan jelas.Dengan kata lain untuk mengikuti pergerakan makna dari al-qur’an sebagai rahmatan lil allamin maka perlu metode ushul fiqh yang senantiasa mampu menerjemahkan bahasa Al-qur’an

dan menjawab persoala-persoalan kemanusian yang selalu berubah.

Berbeda dengan skripsi yang ditulis oleh peneliti terdahulu, Peneliti

ingin membahas macam-macam dalalah dalam ushul fiqh. Dengan kata lain,

peneliti ingin membahas secara keseluruhan mengenai ushul fiqh dan

mengaitkan dengan proposisi formal Bertran Russell.

G. Pendekatan dan Kerangka Teroritik

Sudah dijelaskan di atas bahwa tujuan penelitian skripsi ini ialah untuk

mengetahui kebahasaan ushul fiqh dilihat dari kacamata proposisi Bertrand

Russell. Karena jenis penelitian ini merupakan tentang filsafat bahasa tokoh

filsafat barat yang mana untuk menelaah kebahasaan ushul fiqh, maka untuk

mendapatkan gambaran yang jelas dan hasil yang sesuai dengan apa yang

sudah diharapkan maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

(22)

13

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan

pendekatanlibrary research(penelitian kepustakaan), sebagai refrensi adalah data-data yang baik primer atau sekunder seperti skripsi, tesis, disertai dengan

yang sudah dijadikan buku, jurnal, ensklopedi dan dokumentasi lain yang

membahas tentang kebahasaan ushul fiqh.15 2. Metode analisis data

Data sebagai hasil studi kepustakaan akan ditempuh dengan metode

deskriptif analitik yaitu suatu metode yang digunakan untuk menganalisis

data yang sudah diperoleh, kemudian diklasifikasikan agar sampai pada

kesimpulan dari kumpulan data tersebut.16Tentunya dalam penulisan skripsi ini akan sering berjumpa dengan bahasa asing, maka akan diproses dengan

penterjemahan yaitu mengalihkan makna bahasa asing ke bahasa Indonesia.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan rangkuman sementara dari sisi

skripsi, yakni gambaran isi skripsi secara keseluruhan. Adapun penyajian

skripsi ini dibagi dalam bab-bab, dan secara keseluruhan dibagi dalam empat

bab dengan rincian sub-bab secara sistematis dan berkesinambungan.

Adapun penyajiannya sebagai berikut:

Dalam bab I ini memuat uraian pendahuluan yang di dalamnya terinci

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

definisi konsep, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

15Muhammad Nasir,Metode Penelitian(Jakarta: Ghaila Indonesia, 1998), 56.

(23)

14

Pada bab II. Berisi ulasan biografi Bertrand Russell tentang pengertian

logika formal, fungsi logika formal dan kelemahan atomisme logis Bertrand

Russel.

Dalam bab III. Berisi ulasan, pengertian ushul fiqh, kajian ushul fiqh,

perkembang ushul fiqh, aliran ilmu ushul fiqh, problem kebahasaan dalam

ushul fiqh, serta macam-macam dalalah dalam ushul

Dalam bab IV. Analisis data, peneliti menuliskan analisis tentang kaitan

logika Bertand Russel dan bagaimana cakupan dalam metode kebahasaan ushul

fiqh.

Dalam bab V. Penutup, berisi kesimpulan dan saran dari peneliti terkait

(24)

15 BAB II

KAJIAN TEORI

A. Biografi Bertrand Russell (1872-1970 M)

Bertrand Russell dilahirkan di Cambridge pada abad ke-19 M dia

dilahirkan setahun sebelum kematian John Stuart Mill. Ibunya adalah anak

Lord Stanley dari Arderley, ayahnya Viscount Amberley adalah anak tertua

Lord John Russell. Pada usia empat tahun ibunya meninggal dunia, dan setelah

itu ia diasuh oleh neneknya secara ketat hingga ia masuk Trinity Collage

Cambridge, dengan beasiswa dalam bidang matematika. Kemajuan

intelektualnya segera mulai berkembang. Ia perlahan-lahan pindah dari

matematika kepada filsafat dan terus tinggal sampai tahun keempat di Trinity

untuk membaca bagian kedua Moral Science Tripos. Pada tahun 1895 ia

memperoleh beasiswa pada Trinity.

Pada bulan Juli 1909 dalam kongres filsafat yang bertempat di Paris ia

bertemu dengan ahli logika Itali, Peano, dan melalui pertukaran gagasannya ia

mengembangkan pikirannya mengenai identitas yang mungkin dari

matematika dan logika.17 Hasil akhir dari ini adalah kolaborasinya dengan Whitehead yang menguji dalam program doktor di Trinity untuk menyusun

principia mathematic. Karya detail daripada bukunya secara luas dimuat dalam

penulisan ulang dalil-dalil yang dilakukan dengan susah payah oleh Russell.18

17 Diane Collingson,Fifty Major Philosoper, terj. Ali Mufty dan Ilzamuddin,Lima Puluh Filosof

Dunia yang Mempengaruhi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 197

(25)

16

Dalam bukunya mengenai Russell, Ayer mengatakan bahwa sejak

tahun 1907 sampai tahun 1910 Russell menulis buku itu kira-kira selama 8

bulan setiap tahun, 10-12 jam sehari. Ayer meneruskan:

”Ketika buku itu selesai ditulis, Syindics dari Cambridge University

memperkirakan bahwa penerbitannya akan merugikan mereka sebanyak P600,

yang sebagian darinya merekatidak mau menanggung lebih banyak”.

Russell meninggal dunia pada usia 98 tahun di North Wales dengan

membuat kecaman terhadap perang yang dilakukan oleh Israel-Arab.

B. Pemikiran Bertrand Russell

Bertrand Russell termasuk dalam kelompok filosof kontemporer yang

pokok kajiannya adalah persoalan logosentris, yakni pengkajian filsafat

melalui analisis aturan-aturan kesesuaian kebahasaan. Pemikirannya mengenai

tata bahasa logis yang digunakan sehari-hari merupakan suatu paradox

terhadap para pemikir-pemikir Inggris yang cenderung mengedepankan ajaran

idealisme. Maka dari itu ia menegaskan bahwa kesadaran adalah akses manusia

terhadap dunia dan pengetahuan manusia berasal daripada pengalaman

sehingga dapat dipahami dengan cepat dan tanggap dengan bantuan logika

yang sesuai dengan realitas. Karenanya realitas dapat dirasakan dengan adanya

sensor atas fakta-fakta yang berupa sensasi-sensasi yang berasal inderawi.19

1. Atomisme Logis

19 Robert C. Solomon dan Kathleen M. H.,A Short History of Philosophy, terj. Saut Pasaribu,

(26)

17

Pada saat pemikiran filsafat di Inggris didominasi oleh tradisi-tradisi

idealisme membuat Russell tergugah untuk memberikan tantangan terhadap

tradisi yang dinilai konservatif. Ia menciptakan gagasan pemikiran filsafat

yang berbeda dengan pemikir yang lain, yakni atomisme logis. Melalui konsep

ini ia telah dinilai berhasil mensintesakan pemikiran para filosof sebelumnya.

Atomisme logis merupakan sebuah ajaran yang menyatakan bahwa

semua entitas bersifat kompleks yang hanya dapat dianalisis melalui

nama-nama yang secara logika tepat dan berupa keadaan partikular-partikular.20 Menurutnya, bahwa dunia memuat berbagai fakta yang sesuai dengan

wujudnya tersendiri seperti yang terpikir oleh akal. Dalam teorinya terlihat

jelas bahwa Russell termasuk ke dalam golongan empirisme.

Atomisme logis Russell telah berhasil memberikan sebuah konsepsi

logis mengenai realitas yang terjadi sehari-hari. Pemikirannya merupakan

sebuah reaksi terhadap para Hegelian Inggris yang dinilainya sebagai sebuah

pemahaman yang salah mengenai realitas. Idealisme Hegel dikatakannya

sebagai sebuah ajaran yang tidak perlu untuk dikaji karena dalam sistem

ajarannya Hegel menyatakan bahwa realitas adalah satu dan realitas seluruhnya

berupa pikiran. Misalnya, ketika seseorang melihat orang lain kelaparan, maka

selamanya orang tersebut akan tetap merasa lapar apabila tidak diberikan

makanan untuknya. Ini persis seperti apa yang telah diajarkan oleh Hegel, maka

ketika melihat orang kelaparan akan bisa merasakan kenyang dengan dikatakan

20Diane Collingson,Fifty Major Philosoper, terj. Ali Mufty dan Ilzamuddin,Lima Puluh Filosof

(27)

18

kepadanya “makan, makan, dan makan”. Akan tetapi, pada kenyataannya

manusia lapar tidak membutuhkan kata-kata seperti itu melainkan mereka

butuh pada makanan.

Pemikiran Russell merupakan pertukaran gagasan G.E. Moore, yang

mengemukakan konsep filsafat analitik bahasa, yaitu teman seperjuangan

dengannya. Rusell dan Moore memiliki gagasan bahwa seorang filosof

mempunyai tugas untuk menganalisis proposisi-proposisi kebahasaan, yaitu:

suatu pemikiran yang dinyatakan dalam bentuk kalimat yang dapat dinilai

benar tidaknya kalimat tersebut.21 Meskipun mereka berdua memiliki persamaan, namun mereka memiliki perbedaan yang mendasar. Yaitu Moore,

menggunakan analisa berdasarkan commonsence. Moore beranggapan bahwa

bahasa alamiah yang digunakan sehari-hari dinilai telah memadai dalam

filsafat. Sedangkan Rusell mengatakan bahwa bahasa sehari-hari tidak cukup

memadai dalam filsafat karena menurutnya bahasa sehari-hari sering kali

memilki makna dasar yang ambigu sesuai dengan konteks yang terjadi. Atas

dasar inilah maka Rusell menciptakan pemikrannya melalui bahasa yang

berdasarkan formulasi logika.

Dalam hal ini Rusell ingin mewujudkan realitas yang akurat yang sesuai

dengan fakta berdasarkan formulasi logika. Namun ia juga mengakui bahwa

untuk dapat mengimplementasikan bahasa logis itu banyak terpengaruh oleh

(28)

19

logika Gothlob Frege. Secara mendasar Russell mengemukakan alasan sebagai

dasar pemikirannya adalah;

1. Logika Frege yang baru itu hanya cocok diterapkan pada ilmu itu hitung

(aritmatika), tidak untuk diterapkan pada cabang matematika yang lain.

2. Premis Frege tidak dapat meniadakan berbagai kontradiksi yang terdapat

dalam sistem logika formal tradisional.

Dengan teori atomisme bahasa ini, Russell menawarkan dasar-dasar

logico-epistemologik untuk bahasa, artinya Russell mengetengahkan antara

fakta, logika formal dan bahasa ideal. Dengan ini Russell sebenarnya hendak

menyatakan bahwa antara fakta dan bahasa harus sepadan, bahasa digunakan

sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta ini dijelaskan olehnya bahwa

fakta bukanlah benda-benda melainkan adalah totalitas keberadaan indera

dalam mempersepsikan. Baginya realitas sesungguhnya merupakan totalitas

fakta-fakta yang terbagi menjadi dua yaitu fakta universalia (kesadaran akan

alam semesta) dan fakta partikular (benda-benda).22

Russell mengemukakan teori kebahasaan yang di era post-Modern ini

dinilai sangat berharga dalam perkembangan filsafat, yakni bahwa antara fakta

dan bahasa memiliki unsur isomorphisme yaitu semacam kesetaraan antara

realitas atau fakta dengan bahasa yang diungkapkan. Akan tetapi, realitas yang

22Noeng Muhadjir,Filsafat Ilmu: Positivisme, Post-Positivisme, dan Post-Modernisme,

(29)

20

dimaksud Russell tidak hanya terarah kepada fenomena empirik melainkan

merupakan ke-periada-an sifat universal.23

Agaknya memang membingungkan, bagaimana seorang Russell

dengan pandangannya mengenai realitas fakta memiliki kaitan erat dengan

bahasa. Kattsoff dalam bukunya Pengantar Filsafat mengatakan bahwa

pemikiran Russell didominasi oleh fakta-fakta yang berupa kejadian-kejadian,

tidak berupa kebendaan. Dalam memahami Russell, Kattsoff menjelaskan

bahwa Russell memakai istilah minimal events sebagai sebuah

kejadian-kejadian terkecil yaitu kejadian-kejadian-kejadian-kejadian yang menempati lingkungan

berhingga tertentu dalam gerak, ruang, dan waktu. Misalnya, meja

sesungguhnya bukanlah sebuah realitas melainkan campuran proses

penyerapan inderawi manusia terhadap warna, bangun dan pengalaman.24 Jadi terlihat jelas bahwa tidak ada yang benar-benar bersifat material di dunia

karena adanya indera menerima berbagai sensor dari kualitas dan kuantitas

yang bersifat substansial. Materi baginya hanya merupakan sebuah reaksi

inderawi belaka sehingga yang tinggal hanyalah kejadian-kejadian yang

disebut fakta-fakta.

2. Proposisi Atomik dan Proposisi Majemuk

Dalam pembahasan proposisi atomik dan proposisi majemuk Russell

menyatakan adanya kaitan erat antara struktur realitas dan struktur bahasa.

Suatu proposisi disebut proposisi atomic apabila berupa proposisi yang berdiri

23Ibid., 100.

(30)

21

dalam satu kalimat yang mengandung ralitas sederhana, tidak memuat

unsur-unsur majemuk. Proposisi atomik yang telah digabungkan dengan proposisi

lain dengan kata penghubung, misalnya “yang, atau, dan” dan sebagainya.25

Untuk dapat lebih memahami proposisi atomik dan proposisi majemuk

sebaiknya kita sajikan misal sebagai berikut;

“Socrates adalah seorang warga Athena yang bijaksana”.

Contoh proposisi ini terdiri dari dua unsur proposisi atomik yaitu:

a. Socrates adalah seorang warga Athena, dan

b. Socrates adalah seorang bijaksana.

Menurut Russell, kebenaran suatu pernyataan atau ketidakbenaran

suatu pernyataan dalam suatu proposisi majemuk ialah tergantung pada

kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomiknya. Karena proposisi

majemuk ialah fungsi yang utama dalam proposisi Atomik. Didamana

proposisi atomik tidak dapat dinyatakan benar atau salah, karena hal tersebut

hanya bahasa yang dapat menentukan kesalahan atau kebenarannya, karena

proposisi atomik hanya bisa mengutarakan bahasa dengan unsur-unsur realita

yang sederhana. Misalnya seperti contoh di atas, kata Socrates, bijaksana, dan

Athena, ketiga kata ini merupakan objek yang terkandung dalam proposisi

atomik.26

25Rizal Mustansyir,Filsafat Analitik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), 48-49.

(31)

22

C. Kelemahan Atomisme Logis Bertrand Russell

Atomisme logis yang disusun Russell memiliki kelemahan yang

tampak dari ketidakkonsistennya dalam menolak metafisika. Karena tak dapat

disangkal, atomisme logis mengandung suatu metafisika, sebab teori ini ingin

menjelaskan struktur hakiki dari bahasa dan dunia. Atau dengan kata lain, teori

ini mau mengatakan bagaimana akhirnya dengan realitas seluruhnya.

Mengatakan bahwa dunia ini diasalkan pada fakta-fakta atomis, jelas

sekali merupakan suatu pendapat metafisis. Pendapat Russell tersebut juga

terlihat jelas, tidak berdasar pada data-data empiris, melainkan suatu analisis

tentang bahasa.

Atomisme logis juga menggunakan suatu kriteria untuk menentukan

makna. Suatu proposisi disebut bermakna hanya jika dapat ditunjukkan suatu

fakta atomis yang sepadan dengannya. Tapi sudah jelas bahwa proposisi yang

dirumuskan dalam atomisme logis itu sendiri tak dapat disamakan dengan jenis

proposisi lain. Tak ada fakta atomis yang membuat proposisi-proposisi yang

membentuk teori atomisme logis itu menjadi benar atau salah. Akibatnya, perlu

disimpulkan bahwa proposisi-proposisi atomisme logis itu sendiri tidak

bermakna.27

(32)

23 BAB III

PENYAJIAN DATA

A. Pengertian Ushul Fiqh

Kata ushul fiqh adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan

kata “fiqh”. Secara etimologi berarti “paham yang mendalam” kata ini muncul

sebanyak 20 kali dalam Al-qur’an dengan arti pahan itu, umpamanya dalam

Surat al-Kahfi (18):93.

“Hingga ketika dia sampai diantara dua gunung, didapatinya dibelakang kedua

gunung itu suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan”.

Arti dalam ayat itu“mereka memahami”.

Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dalam

arti etimologi sebagaimana disebutkan di atas, yaitu “ilmu tentang hukum

-hukum syara’” yang bersifat amaliyah yang digali dan dirumuskan dari

dalil-dalil tafsili”.28

Kata ushul yang merumakan jama’ dari kata “ashal” secara etimologi

berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya”, arti etimologi ini tidak

jauh dari kata ashal tersebut karena ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang

kepadanya didasarkan fiqh. Dengan demikian ushul fiqh secara istilah teknik

(33)

24

hukum berarti: “ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha

merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci, “atau artian sederhana

adalah:”kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari

dalil-dalilnya”.

Umpama dalam kitab-kitab fikih ditemukan ungkapan,”mengerjakan

shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum

syara’”. Tidak pernah disebut dalam Al-qur’an maupun hadits bahwa shalat itu

hukumnya wajib. Yang tersebut dalam Al-qur’an hanyalah perintah

mengerjakan shalat yang berbunyi:

َة َﻼ ﱠﺻ ﻟا ِمِﻗأ

“Kerjakanlah shalat”.

Ayat Al-qur’an mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut

“dalil syara’”. Untuk merumuskan kewajiban shalat yang disebut hukum syara’

dari Firman Allah:ة َﻼ ﱠﺻ ﻟا ِمِﻗاyang disebut”dalil syara’”itu ada aturannya dalam

bentuk kaidah, umpamanya “setiap perintah menunjukkan wajib”.

Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara-cara

mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang

disebut hukum ushul fiqh.29

(34)

25

Ilmu ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah atau

bahasan-bahasan sebagai metodologi untuk memahami hukum-hukum syari’ah. Dalam

bahasa non Arab, ushul fiqh ini sering diterjemahkan dengan teori hukum

(legal theory), karena memang didalamnya berisi tentang teori-teori dalam

memahami hukum syari’ah.30

Dari penjelasan di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dan fiqh.

Ushul fiqh merupakan pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan

menjelaskan ketentuan atau aturan yang harus diikuti seorang fakih dalam

usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dan dalilnya. Sedangkan

fiqh merupakan hukum-hukum syara’ yang sudah digali dan dirumuskan

melalui dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan.

Adapun menurut istilah, ashal mempunyai beberapa arti berikut ini:

a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama’ ushul fikih

bahwa ashal dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan

Sunnah Rasul.

b.Qa’idah, yaitu dasar atau pondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad

SAW:

َﻋ ُمَﻼ ْﺳ ِْﻻ ا َﻲ ِﻧُﺑ ٍل ْو ُﺻ ُأ ِﺔَﺳ ْﻣ َﺧ ﻰ َﻠ .

“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau pondasi)”.

(35)

26

c.Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:

“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.

Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat

dari perkataan tersebut.31

d. Mustashab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang,

apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan

perkawinannya?. Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada

berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap

mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.

e. Far’u(cabang), seperti perkataan ulama ushul:

ِب َ ْﻸ ِﻟ ٌع ْرَﻓ ُدَﻟ َوْﻟَا

“Anak adalah cabang dari ayah”. (Al-Ghazali, I: 5).

Dari kelima pengertianashaldi atas, yang bisa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fikih. Adapun fikih, secara etimologi berarti pemahaman yang

mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut

dapat ditemukan dalam Al-qur’an, yakni dalam Surat Thaha (20): 27-28,

An-Nisa (4): 78. Hud (11): 91. Dan terdapat pula dalam hadits, seperti sabda

Rasulullah SAW:

(36)

27

“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang. Dia akan memberikan

pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim,

Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmidzi dan Ibnu Majah).32 B. Objek Kajian Ushul fiqh

Dari definisi ushul fiqh yang sudah dipaparkan di atas, terlihat jelas

bahwa objek kajian ushul fiqh secara garis besar terbagi menjadi tiga:

1. Sumber hukum dengan semua hukum seluk beluknya.

2. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari

sumbernya.

3. Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istimbath dengan semua

permasalahannya.33

Menurut pendapat Muhammad Al-Juhaili memperinci tentang objek

kajian ushul fiqh sebagai berikut:

1. Sumber-sumber hukum syara’ baik yang disepakati seperti Al-qur’an dan

Sunnah, maupun yang masih diperselisihkan, seperti istihsan dan maslahah

mursalah.

2. Mencari jalan keluar dari kedua dalil yang bertentangan secara dzahir, ayat

dengan ayat atau Sunnah dengan Sunnah, dan lain-lain. Baik dengan jalan

32Ibid,. 19.

(37)

28

pengkompromian (Al-Jam’u Wa At-taufiq), menguatkan salah satu tarjih, pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan.

3. Pembahasan tentang ijtihad, syarat-syarat, sifat-sifat, dan orang yang

melakukan ijtihad.

4. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam

meng-istimbath-kan hukum.

Dan adapun sumber pengambilan ushul fiqh ialah:

1. Ilmu kalam (theology)

2. Ilmu bahasa Arab

3. Tujuan syara’ (maqashid asy-sari’ah).

Dan hal ini disebabkan sumber hukum yang merupakan objek kajian

ushul fiqh diyakini oleh Allah SWT. Yang berbentuk Al-qur’an dan Sunnah.

Pembuat hukum adalah Allah, tiada hukum kecuali dari Allah SWT, hal

tersebut pembahasan dalam ilmu kalam.

C. Perkembangan Ushul fiqh

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun

dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Dan

pada Rasullah ilmu ini sudah digunakan oleh beliau sendiri yaitu sebagai

syar’i.34 Sebenanya keberadaan ushul fiqh harus didahului oleh ushul fiqh,

(38)

29

karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid

pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh

datang belakangan.

Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah nabi wafat, yaitu

pada periode sahabat. Peminggiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu

perumusan fiqh itu. Para sahabat di antaranya Umar bin Ibn Khattab, Ibnu

Ma’sud, Ali Ibn Abi Thalib, umpamanya pada waktu mengemukakan aturan

atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak

mengemukakan demikian.

Sewaktu Ali Ibn Thalib mengemukakan hukum cambuk sebanyak 80

kali terhadap peminum khamar, beliau berkata: “bila ia minum ia akan mabuk

bila ia mabuk ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar”, dari

pernyataan Ali itu, akan diketahui bahwa Ali mengenggunakan kaidah pintu

kejahatan yang akan timbul atau “sad al-dzari’ah”.

Abdullah Ibnu Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang

wanita hamil yang kematian suaminya iddah-nya adalah melahirkan anak,

mengemukakan argumennya dengan Firman Allah dalam surah at-Thalaq (85)

ayat 4, meskipun juga ada Firman Allah dalam surah al-Baqarah (2) yang

menjelaskan bahwa istri yang kematian suami iddahnya empat bulan sepuluh

hari. Dalam menetapkan pendapatnya ini beliau mengatakan bahwa ayat 4

Surat at-Thalaq datang sesudah Surat al-Baqarah (2).35

(39)

30

Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam menetapkan

fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul, tentangnasikhdanmansukh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian me-nasakh-kan dalil yang terdahulu. Dari

apa yang dilakukan Ibnu Mas’ud ini juga dari apa yang dilakukan oleh Ali Bin

Abu Thalib, dari paparan di atas dapat dipahami bahwa para sahabat dalam

melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun tidak secara

jelas.

1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan

a. Masa Sahabat

Pada wafatnya Rasulullah SAW membuka catatan baru dalam

penetapan sebuah hukum. Akan tetapi pada munculnya para sahabat

setelah Nabi wafat muncullah permasalahan baru yang belum pernah ada

pada masanya Nabi menyangkut dengan penetapan Hukum. Untuk

mendapatkan hukum baru baru maka para sahabat melakukan ijtihad

dengan bersumber pada Al-qur’an dan Sunnah. Pada masa sahabat ini

ijtihad tidak hanya dilakukan dengan menggunakan Al-qur’an dan Sunnah

saja melainkan dengan ijtihad para sahabat.36

Banyak hal positif terhadap ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat,

yang mana mereka sudah siap menghadapi permasalahan sosial. Meskipun

kaidah ushul fiqh belum dirumuskan secara tertulis. Cara yang dilakukan

oleh para sahabat dalam ijtihad ialah mereka mempelajari teks Al-qur’an

(40)

31

dan Sunnah Nabi. Apabila tidak ditemukan diantara kedua tersebut maka

para sahabat melakukan ijtihad. Hasil kesepakatan sahabat disebut dengan

ijma’, qiyas dan mereka juga menggunakan istilah maslahah mursalah seperti mengumpulkan Al-qur’an dalam satu mufhaf.

b. Masa Tabi’in

Setelah masa sahabat muncul periode berikutnya yaitu, tabi’in tabi’

al-tabi’in serta imam-imam mujtahid. Pada masa ini daulah Islamiyah

semakin berkembang dan muncul permasalah baru. Berbagai masalah,

perselisihan, pandangan serta pembangunan material dan spiritual satu

persatu mulai muncul. Persoalan tersebut menambah beban imam

mujtahid untuk membuka pandangan yang lebih luas terhadap lapangan ijtihad. Sumber yang digunakan pada periode ini ialah Al-qur’an, Sunnah,

keputusan sahabat Rasul, serta fatwamujtahid.37

c. Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i

Sebenarnyamujtahidsebelum imam Syafi’i dikenal dua tokoh besar,

yaitu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Imam Abu Hanifah

Al-Nu’man (w. 150 H), pendiri madzhab Hanafi menggunakan dasaristimbath

secara berurutan yaitu Al-qur’an Sunnah, fatwa sahabat. Imam Abu Hanifah

di hadapkan oleh beberapa pendapat yang berbeda, maka ia memilih

pendapat yang tidak akan mengeluarkan pendapat baru. Imam Abu Hanifah

(41)

32

dikenal dikenal mujtahid yang banyak menggunakan qiyas dan istihsan. Dan Iman Hanifah tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqh.38

Imam Malik bin Anas dalam ijtihadnya tidak memiliki metode yang

cukup jelas, sehingga ushul fiqh pada masanya belum dibukukan secara

sistematis. Dan ia juga tidak meninggalkan karyanya dalam ushul fiqh.

2. Pembukuan Ushul Fiqh

Ushul fiqh lahir pada dua Hijriyah, karena pada abad pertama belum

ada dan belum terasa diperlukan. Rasulullah SAW berfatwa dan menjatuhkan

keputusan (hukum) berdasarkan pada Al-qur’an dan Hadits, dan berdasarkan

naluri yang bersih tampa memerlukan ushul atau kaidah yang dijadikan

istimbath. Adapun para sahabat membuat keputusan hukum berdasarkan pada nash yang telah dipahami dari aspek kebahasaan semampu mereka, dan untuk

memahaminya perlu kaidah bahasa yang baik. Di samping itu mereka juga

melakukan istimbath hukum sesuatu yang tidak terdapat dalam nash. Jadi para sahabat sudah benar-benar menguasai tujuan-tujuan hukum syari’at serta

dasar-dasar pembentukannya.39

Setelah Islam semakin berkembang dan bangsa Arab memperluas

pergaulannya dengan bangsa lain maka penyerapan bahasa asing dalam

bentuk mufradat dan tata bahasa ke dalam bahasa Arab yang menimbulkan

kesamaran-kesamaran dan kemungkinan lain dalam rangka memahaminya

38Muhammad Abu Zahra,Ushul Fiqh(Damaskus: Dar al-Fikr,tt), 13.

(42)

33

lebih luas. Pada abad kedua Hijriyah muncul ulama’ bernama Muhammad bin

Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) yang menggagas, mengsistematiskan, dan

membukukan ushul fiqh.

Sebelum imam Syafi’i tercatatat sebagai orang yang pertama kali

membukukan ushul fiqh yang bercerai-berai dalam satu kumpulan adalah

Abu Yusuf seorang pengikut Abu Hanifah. Akan tetapi kumpulan tersebut

tidak sampai pada kita. Namun hasil pertama kali kitab imam Syafi’i diberi

nama kitabAr-Risalah yang merupakan kitab pertama kali ushul fiqh yang

sampai kepada kita hingga saat ini. Setelah imam Syafi’i banyak ulama’ yang

berbondong-bondong untuk menyusun ushul fiqh baik dalam bentuk yang

panjang ataupun ringkas. Adapun karya ushul fiqh setelah imam Syafi’i yang

tercatata pada abad ke-3 diantaranya adalah:al-Khabar al-Wahid, karya Isa Ibn Abban Ibn Sedekah (w.220 H), dari kalangan Hanafiyah,al-Nasihk wa al-Mansukh oleh imam bin Hambal (w. 164 H- 241 H), pendiri madzab hambali dan kitabIbtal al-Qiyasoleh Daud al-Zahiri (200 H-270 H) pendiri

madzab Zahiri. Berdasarkan penelitiaan ulama’ ushul dikit demi sedikit ilmu

ushul fiqh terus merosot, akan tetapi setelah 200 tahun barulah ilmu ushul

fiqh tumbuh dengan subur, yaitu sebagai tolak ukur hukum fiqh.40

D. Aliran Ilmu Ushul Fiqh

Maraknya kajian tentang ushul fiqh setelah imam Syafi’i semakin

berkembang pesat yang diwarnai oleh kecenderungan yang berbeda dalam

(43)

34

merumuskan kaidal Al-qur’an dan Sunnah yang sudah jauh terjadi sebelumnya.

Namun tampak jelas aliran ushul fiqh menjadi tiga aliran.

1. Jumhur Ulama’ Ushul Fiqh

Disebut jumhur ulama’ karena mayoritas aliran ini di anut oleh ulama’

Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.Di sebut juga aliran Syafi’iyahkarena pertama kali mewujudkan cara penulisan ushul fiqh seperti ini adalah imam

Syafi’i. Dan disebut juga aliranmutakalliminkarena pakar di bidang ini setelah

imam Syafi’i adalah dari kalangan mutakallimin (para ahli ilmu kalam) seperti

imam al-Juwaini, al-Qadho Abdul Jabbar, dan imam al-Ghazali.41

SebutanMutakalliminadalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum Mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan

pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk

logika Yunani. Orang-orang seperti Qadlo Abdul Jabbar adalah seorang teolog

Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran

Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku

al-Taqrib wa al-Irsyaddan diringkas oleh Imam al-Juwaini, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan

Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis

ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi

(44)

35

teologis, tetapi menulis dengan polaMutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.42

Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran mutakallimin, antara lain:

1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas

kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang

menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum

digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.

2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti

terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan

pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah

(pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali,Rawdlah al-Nadzirkarya Ibnu Qudamah, danMuntaha al-Wushul (al-Sul)karya Ibnu Hajib. AliranMutakalliminmengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama’ dan

menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab.43

42http://sofiswa.blogspot.co.id/2011/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses

pada 08 Oktober 2015

(45)

36

Aliran ini berdasarkan pada logika yang bersifat rasional dan

pembuktiannya oleh kaidah-kaidah yang ada. Fokus perhatinnya tidak

diarahkan kepada soal penerapan kaidah terhadap hukum yang telah diterapkan

oleh imammujtahidatau hubungan kaidah dengan masalahfuru’tetapi apa saja yang di anggap rasional dan terdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok

hukum syari’at Islam baik sesuai dengan masalah furu’ dalam berbagai

madhzab atau menyalahinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

pembahasan ushul fiqh aliran jumhur ini bersifat teoritis tampa disertai contoh

dan bersifat murni karena tidak mengacu pada madzhab fiqh tertentu yang

sudah ada.44

Adapun dalalah menurut ushulmutakalliminialah terbagi menjadi dua yaitu dhahir dan nash, yang keduanya mengandung dalam kalimat yang terang

yaitu kalimat yang tidakmujmal.45

a.Dhahir, yaitu lafadz yang mengandungta’wilatau lafadz yang maknanya menunjukkan terhadap dalalah yangdzahiratau rajihitu dalalahnya muncul dalam pembahasan lughawi (bahasa) seperti ‘am terhadap segala macam

afrad-nya (satuannya) dan dari urf seperti dalalah shalat yang secara sah berupa ucapan dan perbuatan tertentu. Dzahir menurut ushul mutakallimin

sama artinya dengan konsep dzahir dan nash menurut Hanafiyah. Hukum

44Ibid,. 25.

45Abu Hamid al-Ghazali,Al-Mustasfa min ‘Ilmi al-Ushul(t.t.p, Syirkah Tiba’ah al-Fatanniyah,

(46)

37

dzahir ini adalah diamalkan sesuatu dengan mathlub-nya, tidak boleh meninggalkan kecuali adanya ta’wilyang benar.46

b.Nas, menurut ushul Mutakallimin adalah lafadz yang tidak mengandung ta’wil atau lafadz yang menunjukkan makna yang qat’i yang tidak ada

pemahaman lainnya. Bisa juga nash adalah lafadz yang seiring sejalan

diantaradzahirlafadz dan batinnya. Seperti nama Muhammad yang diartikan nama seseorang dan nash serupa denganmusaffarmenurut ushul Hanafiyah.47

Hukum nash ini adalah seperti qat’i harus diamalkan kecuali ada nasakh. Akan tetapi musaffar menurut ushul Hanafiyah tidak terlalu terkenal dalam

pandangan ushul Mutakallimin. Namun muhkam, menurut ushul

Mutakallimin adalah mengandung diantara nash dan dzahir yaitu lafadz-lafadz yang maknanya menunjukkan makna yang jelas dan terang. Adapun

as-Syafi’i sebagaimana dikatakan al-Ghazali menganggapdzahiradalah nas dimana nash itu terbagi menjadi nash yang menerima ta’wil dan nash yang

tidak menerimata’wil.48

2. Aliran Hanafiyah (Ahnaf) atau Fuqaha

Metode ini dicetuskan oleh imam Hanifah dan dikembangkan oleh

ulama’ Hanifah. Aliran ini juga disebut aliranfuqaha(ahli fiqh), karena sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan

46Wahab al-Zuhaily,Ushul fiqh, I(Damaskus: Dar al-Firk, 1986), 319

(47)

38

kaidah ushul fiqh Abu Hanifah dan para muridnya serta melengkapinya dengan

contoh-contohnya.49

Cara yang digunakan oleh aliran ini ialah istiqro’ (induksi), terhadap

imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan

yang mereka gunakan. Sehingga metode ini mengambil konklusi darinya.

Metode yang dipakai oleh aliran Hanafiyah dalam menyusun kaidah-kaidah,

ditempuh berdasarkan asumsi bahwa para imamnya terdahulu telah

menyandarkan ijtihad kepada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyah

tersebut. Jadi, mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah sebagai

cabang dari kaidah itu. Adapun yang mendorong mereka untuk membuktikan

kaidah-kaidah itu adalah beberapa hukum yang telah di-istimbath-kan oleh para imamnya yang bersandar kepadanya bukan hanya sekedar dalil yang

bersifat teoritis. Oleh karena itu, mereka banyak menyebutkan masalah furu’

dalam beberapa kitabnya. Pada saat yang lain mereka pun menaruh perhatian

serius terhadap kaidah ushuliyah tentang masalah-masalah yang telah

disepakati dan juga pada masalah furu’. Jadi, semata-mata perhatian mereka

tertuju kepada masalah ushul fiqh para imamnya yang diambil dari

masalah-masalah furu’ dalam melakukan istimbath. Dan ulama’ ushul Hanafiyah

membgi dalalah menjadi empat bagian, yaitu: dhahir, nash, musaffar, dan

(48)

39

muhkam.50 Dari urutan tersebut nampak dari status hukum dari yang kuat sampai kepada yang paling kuat.

a.Dhahir, ulama’ ushul mengartikandhahirdengan suatu lafadz atau kalam yang jelas maknanya. Kejelasan makna itu tercermin dari bentuk nash itu

sendiri, tampa memerlukan faktor luar dari nash itu dan bisa saja mengandung

ta’wil.51 Hukumdhahiradalah wajib qat’i diamalkan baik‘amadanya atau khas sebagaimana arti yang ditunjukkan lafadz itu kecuali ada dalil yang

meng-ta’wil-kannya. Jika dhahir berupa lafadz mutlak, maka harus diamalkan menurut kemutlakannya sampai ada dalil yang membatasinya

(qayyid) kemutlakannya dan jika dhahir itu berupa lafadz ‘am, maka harus diamalkan keumumannya, sampai ada dalil lain yang meng-takhsih-nya atau diamalkan menurut arti yang ditunjuki lafadz itu sampai adanya dalil yang

me-mansukh-kannya. Misalnya pembatasan terhadap kemutlakan kebolehan mengawini wanita. Kebolehan menikah dengan wanita tampa dibatasi

kemudian muncul ayat yang meng-takhsis-kannya dengan maksimal empat istri.52

b. Nash, para ushul Hanafiyah mengatakan bahwa nash adalah suatu lafadz yang lebih jelas dari dhahir, dimana kejelasan lafadz itu ditunjukkan oleh lafadz itu sendiri yang berasal dari radiksional dan tidak mungkin

mengandung pengertian lain dari lafadz itu juga bisa mengandung ta’wil.

50Abu Bakar Ibn Ahmad Ibn Sahal al-Sarakhsi,Ushul al-Sarakhsi, I (Beirut: Dar Kutub

al-‘ilmiyyah), 163.

51Ibid,. 164

(49)

40

Memang kelihatanya antara nash dan dhahir agak mirip akan tetapi sebenarnya berbeda. Bisa dikatakan nash adalah tindak lanjut dari dhahir

terhadap suatu makna lafadz. Hukum nash adalah sebagaimana hukum

dhahir, nash juga harus diamalkan menurut arti yang ditunjuk oleh nash tersebut sampai ada dalil yang meng-ta’wil-kannya, yaitu kalau lafadz itu

berupa lafadz mutlak harus diamalkan atas kemutlakannya sampai ada dalil

yang meng-takhsis-kannya atau diamalkan menurut arti yang ditunjukinya samsapi ada dalil yang me-mansukh-kannya.

c. Musaffar, pengertiannya adalah suatu lafadz yang terang petunjukannya kepada arti yang dimaksud dari susunan lafadz itu, yang lebih terang

disebanding nash dan dhahir dan tidak mungkin di-ta’wil-kan kepada yang lain akan tetapi dapat menerima nasakh (penghapusan) pada masa diutusannya Rasul. Hukum musaffar adalah wajib diamalkan sebagaimana penjelasannya terhadapnya, tidak mengandung kemungkinan untuk

dipalingkan dari makna dhahir-nya, kecuali kalau ada dalil shahih yang

me-nasakh-nya. Yang jelas hukum musaffar lebih qat’i dan kuat jika dibandingkan dengan nash dandhahir.53

d. Muhkam, para ushul Hanafiyah mengartikan muhkam dengan lafadz yang sangat terang petunjukannya dari susunan lafadz itu, dengan tidak menerima

pembatalan dan penggatiannya pada masa Rasul dan tidak sama sekali tidak

mengandungta’wil. Ia tidak mengandung ta’wil artinya tidak menghendaki

(50)

41

arti lain yang bukan arti formalnya. Karena ia dijelaskan dan ditafsiri dengan

penafsiran yang tidak mungkin membuka penakwilan baginya. Juga tidak

menerima penghapusan yang diambil adakalanya berupa kaidah hukum yang

bersifat asasi seperti pada kasus penuduh zina terhadap wanita baik-baik, dan

adakalanya dari hukum cabang seperti ibadah kepada Allah, mempercayai

Rasul-Nya dan kitab-Nya dan sebagainya.54

3. Metode Campuran

Metode cempuran ini adalah gabungan antara Mutakallimin dan

Hanafiyah. Metode yang ditempuh adalah mengombinasikan kedua aliran terdahulu dan yang telah dijelaskan di atas. Mereka memerhatikan

kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu, juga

memerhatikan penerapan terhadap masalah fiqh far’iyah dan relevansinya

dengan kaidah-kaidah itu.55 Kitab-kitab yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut:

a. Kitaban-Nizham, karangan al-Bazdawi.

b. Kitab al-Ahkam, karangan Mudhaoffaruddin al-Bagdadi al-Hanafi (694 H).

c. Kitabal-Tauhid, karangan Shadrus Shariah.

d. Kitabat-Tahrir, karangan al-Kamal bin Hamman.

54Ibid,. 324.

(51)

42

e. KitabJam’u al-Jawami’, karangan Ibnu Subki.

f. Kitab Irsyad litahqiqi al-Haqqi min al-Ilmi al-Ushul, karangan al-Syaukani (w. 1250 H).

g. Kitab Ushul Fiqh, karangan Khudari Bek (w.1927).

h. Kitab Al-Wushul ila Ilmi al-Wushul, karangan Syekh Muhammad

Abdurahman ‘Aid al-Mihlawi (w. 1920).56

E. Problem kebahasaan dalam Ushul Fiqh

Logika menempati posisi sangan sentral dalam dunia ushul fiqh, selain

mengacu pada wahyu verbal, rumusan kaidah ushul fiqh juga didasarkan pada

pijakan logika formal sehingga ia tidak mudah lekang dengan waktu lantaran

bisa selalu di-update sesuai konteks perkembangan masyarakat. Nalar berpikir merupakan intriksi dan ciri khan manusia yang dapat membedakan dirinya dari

makhluk lain. Karena dalam ilmu mantiq disebutkan, al-insanu hayawan an-nathiq(manusia adalah hewan yang bisa berkata-kata, sekaligus berpikir).57

Sebenarnya logika induksi digunakan untuk menarik kesimpulan dari

kasus-kasus individual yang mempunyai jangkauan sangat spesifik menjadi

kesimpulan yang sangat umum. Sedangkan logika deduktif adalah sebaliknya,

yakni digunakan untuk menarik dari kesimpulan yang bersifat hal yang bersifat

umum menjadi kasus yang bersifat individual. Dalam tradisi pemikiran ilmu

56Ibid,. 19.

57Abu Yazid.Instrument Ijtihad “logika induktif-deduktif ilmu ushul fiqh”bagian 1, Tahwirul

(52)

43

ushul fiqh, penggunaan logika induktif sering direppresentasikan oleh mazhab

Ahnaf, sedangkan logika deduktif banyak digunakan oleh mahzab

Muktakallimin yang di logomotifi oleh imam Al-Syafi’i.58

Jika mazhab tersebut pertama menginduksi kasus-kasus hukum secara

spesifik menjadi teori dan kaidah-kaidah penalaran hukum secara umum maka

mazhab tersebut kedua sebaliknya. Mereka sering mendeduksi kaida-kaidah

umum ijtihad tentang pengalian hukum terhadap kasus- kasus hukum yang

bersifat khusus. Dengan perkataan lain, mazhan Ahnaf dalam paradigma fikih

berangkat dari kasus-kasus hukum yang dihadapi masyarakat secara khusus,

kemudian ditarik kesimpulan menjadi postulat-postulat berupa kaidah

istimbath hukum. Sebaliknya, karangangan mutakallimin segaja membangun

kaidah-kaidah ushuliyah secara mandiri kemudian diterapkan dalam

pengimpulan hukum-hukum secara khusus yang terjadi ditengah masyarakat.

Preseden yang ditampilkan kedua mazhab besar ini menunjukkan

logika induktif dan deduktif merupakan cara kerja yang khas dalam dunia

pemikiran ushul fiqh. Pada tahapan perkembangan selanjutnya pemaduan

keduan jenis pemikir logis ini tidak dapat dihindarkan seseai tingkat

perkembangan masyarakat dan dunia ilmu pengetahuan. Pada akhirnya, cara

kerna para juris memiliki asal-usul yang sama dengan mengetangahkan dan

58Ibid,.Instrument Ijtihad “logika induktif-deduktif ilmu ushul fiqh”bagian II, Tahwirul Afkar,

(53)

44

mengembangkan logika induktif dan deduktif secara terintegrasi untuk

menemukan prekskripsi hukum.59

Selain kedua cara berpikir logis ini sesungguhnya terdadap jenis lain

dalam tradisi pemikiran ushul fiqh, yaitu logika dialektif. Logika ini digunakan

untuk mengompromikan perb edaan pendapat antara juris yang satu dengang

yang lain. Seperti kita tahu bahwa dalam hazanah fiqh syarat dengan

diferensiasi pendapat hukum (ikhtifaf), bukan pertentangan (khilaf). Dalam

kondisi seperti ini antara tesis yang satu dengan yang lain lalu bisa ditarik

sintesi sebagai upaya dialektika dalam perumusan hukum Islam.

Karena itu dalam terminology ilmu ushul fiqh lalu popular apa yang

sebut at-tarjih, yakni upaya seleksi dan memilih pendapat-pendapat yang prosesistidlal-nya di nilai lebih mendekati kebenaran. Logika lain yang justru lebih mengkristal dalam tradisi pemikiran uhul fiqh adalah logika analogi atau

dalam bahasa arabnya disebut qiyas. Logika ini dalam ushul fiqh diposisikan sebagai sumber hukum aqli sejajar dengan jenis-jenis logika lain semisal

istihsan, maslahatul mursalah urf, istishafdan lain-lain.

Lebih jelasnya logika induktif dan deduktif mempunyai peran sangat

penting dalam proses pengambilan kesimpulan hukum berdasarkan mekanisme

istidlal. Kedua jenis logika ini merupakan cara kerja yang khas dalam dunia

Referensi

Dokumen terkait