ANALISIS LOGIKA FORMAL BERTRAND RUSSELTERHADAP
PROBLEM KEBAHASAAN
USHUL FIQH
SKRIPSI
diajukan untuk memenuhi dan melengkapi sebagai syarat ujian guna memperoleh
gelar Sarjana dalam Ilmu Ushuluddin
Oleh:
NINGSIH
NIM: E51212053
JURUSAN FILSAFAT AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
ix
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Analisis Logika Formal Bertrand Russell terhadap Problem Kebahasaan Ushul Fiqh. Adapun fokus penelitian yang dibahas dalam skripsi ini adalah (1). Bagaimana pendekatan kebahasaan ushul fiqh dilihat dari logika Bertrand Russel? (2). Bagaimana konsep pendekatan kebahasaan dalam ushul fiqh?
Ushul fiqh sebagai sebuah disiplin yang pertama kali digagas Asy-Syafi’i sebagaimana dikatakan Imran Ahsan Khan Nyazee merupakan ratunya ilmu keislaman (the queen of Islamic sciences). Di samping kedudukannya sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fiqh merupakan cabang ilmu yang dalam banyak hal berkaitan dengan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadist dan ilmu kalam. Ushul fiqh sebagai disiplin yang mengkaji hukum, bukan hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial dan institusional, melainkan juga melihat persoalan hukum sebagai masalah epistemologi.
Dengan kata lain ushul fiqh tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan penalaran hukum belaka, akan tetapi di dalamnya juga terdapat pembicaraan mengenai logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi hukum. Bahkan Arkoun secara tegas berpendapat bahwa ushul fiqh telah menyentuh epistemologi kontemporer.
Dalam penelitian yang penulis lakukan ini merupakan metode kepustakaan murni. Penelitian akan dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau segala informasi yang memuat objek penelitian yang akan diteliti, yang memuat tulisan tentang ushul fiqh yang dilihat dari sudut pandang filsafat bahasa Bertran Russell. Baik didapatkan dari buku yang memuat tentang pemikirannya maupun jurnal-jurnal yang telah dituliskan ataupun pada tulisan-tulisan yang dituangkan yang termuat dalam situs-situs yang penulis gunakan adalah deskripsi dan analisa. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai ushul fiqh dilihat dari fisafat bahasa Bertrand Russell.
Dari kesimpulan yang didapat, Bertrand Russell memandang bahwa bahasa yang digunakan harus jelas dengan formulasi tatanan bahasa yang tepat. Tugas dari filsafat bahasa disini adalah untuk memperjelas arti dari makna yang ada di dalam
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B.Rumusan Masalah ... 8
C.Tujuan Peneitian ... 8
D.Kegunaan Penelitian ... 8
E. Penegasan Judul ... 9
F. Penelitian Terdahulu ... 10
G.Metode Penelitian ... 12
xiii
BAB II. KAJIAN TEORI
A. Biografi Bertand Russell ... 15
B. Pemikiran Bertand Russell ... 16
a. Atomisme Logis ... 17
b. Proposisi Atomik dan Proposisi Majemuk ... 20
4. Kelemahan Atomisme Logis Bertrand Russell ... 22
BAB III. PENYAJIAN DATA A. Pengertian Ushul Fiqh ... 23
B. Objek Kajian Ushul Fiqh ... 27
C. Perkembanagan Ushul Fiqh ... 27
1. Ushul Fiqh Sebelum di Bukukan ... 30
2. Pembukuan Ushul Fiqh ... 32
D. Aliran Ilmu Ushul Fiqh ... 33
1. Jumhur Ulama’ ... 34
2. Aliran Hanafiyah (Anhaf) Atau Fuqoha ... 37
3. Metode Campuran ... 40
E. Problem Kebahasaan dalam Ushul Fiqh ... 41
F. Pengertian Dalalah Mantuq dan Dalalah Mafhum ... 48
1. Pengertian Dalalah Mantuq ... 49
2. Pengertian Dalalah Mafhum ... 50
xiv
BAB IV. ANALISIS DATA
A.Kaitan Logika Formal Bertand Russell dalam Problem
Kebahasaan Ushul Fiqh ... 59 1. Metode Atomisme ... 61 1. Metode Kebahasaan Usul Fiqh ... 62 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 64 B. Saran/ Kritik ... 65 C. Penutup ... 67
DAFTAR PUSTAKA
1 BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Termasuk di antara anugerah dan kasih sayang Allah SWT pada
manusia adalah munculnya al-Maudhu’at al-Lughawiyyah (beberapa
peletakan bahasa), atas ciptaan Allah SWT. Meskipun ada yang mengatakan
bahwa peletakan bahasa adalah selain Allah SWT, yakni para hamba sendiri,
munculnya bahasa tetap menjadi anugerah agung dari-Nya, karena Allah-lah
yang menciptakan semua perbuatan hamba-hamba-Nya. Setiap manusia
membutuhkan bahasa sebagai pengungkap makna dalam hati, untuk
berinteraksi dengan sesama. Karena secara fitrah, manusia makhluk sosial,
tidak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat. Selain itu
bahasa adalah faidah dari pada isyarat yang lebih mudah dipahami.1 Selain bahasa manusia memerlukan pemahaman hukum-hukum tentang Islam seperti
ilmu ushul fiqh.
Para ulama’ ushul berupaya untuk menggali hukum atau meng
-istimbath-kan hukum dari Al-qur’an dan Hadits, sebagaimana usaha untuk memecahkan problem dalam masyarakat. Salah satu cara untuk menggali
hukum adalah melalui nash-nash Al-qur’an dan Hadits. Ushul fiqh merupakan
ilmu yang mempelajari dasar-dasar fikih. Karena untuk memahami atau
mengetahui hukum tentang pengkajian hukum Islam. Dalil-dalil ini merupakan
2
pondasi dalam menentukan suatu pernyataan. Jadi jelas ushul fiqh merupakan
metode untuk mengkaji dan memahami hukum secara komprehensif. Dalam
ilmu fikih, Al-qur’an merupakan sumber hukum Islam pertama yang dipahami
dan ditetapkan sebagai hukum melalui ushul fiqh. Yaitu ilmu yang membahas
tentang metodologiistinbathhukum Islam dari sumbernya yaitu sumber primer yakni Al-qur’an, hadits, ijma’, qiyas dan sumber sekunder yakni istihshan, maslahah al-mursalah, sadz al-dzari’ah, istishab, urf, syar’u man qablahadan
qaul shahabi. Metodologi yang dimaksud secara garis besar ada dua macam yaitu metode pendekatan lughawiyah (kebahasaan) danmaqashid al-syari’ah (kemaslahatan bersama). Metode pendekatan kebahasaan dalam ushul fiqh
merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui dalil-dalil am-khas,
mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh dan lain-lain. Sedangkan metode pendekatan maqashid al-syari’ah merupakan metode dalam ushul fiqh yang memandang pada kemaslahatan umat. Karena sebagaimana diketahui bahwa
Tuhan tidak menghendaki kesukaran kepada hamba-Nya.
Sedikit telah kita paparkan mengenai metode yang digunakan dalam
ushul fiqh, seperti di atas ada dua macam yaitu pendekatan kebahasaan dan
pendekatan maqashid al-syari’ah. Tetapi dalam tulisan ini, kita akan mengkhususkan bahasan pada metodogi yang pertama yaitu pendekatan
kebahasaan.
Adapun nash-nash dalam Al-qur’an dan Hadits ialah menggunakan
bahasa Arab. Konsekuensi logis yang harus diterima benar adalah
3
agar pemahaman yang diperoleh dalam menetapkan suatu hukum yang berasal
dari nash itu memadai. Oleh karena itu, para ulama ushul fiqh melakukan
penelitian sistematis terhadap susunan bahasa Arab, mufradat, dan lain-lain
yang secara garis besar mereka melakukan penelitian terhadap gramatika
bahasa Arab.2
Dengan demikian jadi jelas bahwasanyaal nushusmerupakan hal yang pertama. Syatibi memperinci pandangan sebagai metode dalam menemukan
maqashid al-syari’ah yaitu pertama, berpegang nash (al nushus) dalam menetapkan hukum, yang pertama kali dijadikan rujukan adalah lafal dan
maknalughawi al-qu’randansunnah.Dalam konteks ini yang menjadi fokus kajian adalah lafadz-lafadz nash yang‘am, khas, mutlak, muqayyad, mustarak,
mantuk, mafhum, amr, nahi, persoalan nasikh dan mansukh dan sebagainya yang berkaitan dengandalalah.Untuk memahami nash diperlukan kemampuan bahasa Arab yang baik dan ilmu-ilmu pendukunnya.3
Madzhab Syafi’iyah dalam memahami dalil nash dibagi menjadi dua
macam yaitu dalalah manthuq dan dalalah mafhum. Pertama, dalalah manthuq adalah petunjuk lafadz yang sama antara redaksi dan arti lafadz itu sendiri. Artinya, dalil-dalil nash dalam Al-qur’an dan hadits memiliki maksud
dan tujuan sama dalam penerapannya.
2Ebook offline Ushul Fiqh, 1 , dalam agustionto.niriah.com, diakses pada 15 September 2015
3Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq,Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam
4
Kedua, dalalah mafhum yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang didiamkan dari lafadz itu dalam hal menetapkan atau meniadakan hukum. Artinya, makna dari lafadz-lafadz dalil nash tidak dijelaskan penerapannya secara langsung melainkan memerlukan metode induksi untuk dapat memahami
makna yang terkandung di dalamnya.4
Dari kedua metode yang diterapkan oleh ulama Syafi’iyah kita dapat
mengetahui bahwa dalam metode kebahasaan juga harus berlaku dalam
penerapannya yakni kehidupan nyata. Di mana proses istimbath suatu hukum dapat melahirkan hukum fikih yang dapat diterapkan oleh umat Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya pengetahuan hukum tidak terlepas dari tujuan hukum
(maqashid al-syari’ah) dan hakikatnya hukum. Pengetahuan tentang ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum yang tepat dan mengandung
kemaslahatan bagi umat Islam. Dan begitu juga dalam filsafat Bertrand Russel
menjelaskan tentang pentingnya sebuah penjelasan di dalam fakta realita yang
dibantu oleh logika yang berasal dari inderawi.
Menurut Russell, proposisi merupakan hasil daripada pemikiran yang
disampaikan melalui pernyataan-pernyataan dalam bentuk bahasa. Dalam sistem
logika tradisional dan modern, proposisi merupakan unsur utama. Tetapi dalam
perkembangan logika sejak digagas oleh Aristoteles proposisi-proposisi banyak
dipakai dan disesuaikan dengan pemahaman filsafat yang dianut oleh
5
aliran tertentu. Penganut idealisme akan menyatakan bahwa proposisi tidak lain
adalah hasil daripada ide atau pikiran, sedangkan bagi penganut materialisme
akan mengatakan bahwa proposisi tidak lain adalah hasil daripada interaksi indra
dengan benda-benda material.5
Jika dalam ushul fiqh menurut pandangan Syafi’iyah untuk memahami
nash ada dalalah mafhum dan dalalah manthuq akan tetapi dalam pendekatan kebahasaan Bertrand Russell menggunakan proposisi atomik dan proposisi
majemuk. Atomisme Logis merupakan nama filsafat yang diberikan oleh
Russell, yang mana logika adalah fundamental filsafat. Logika bersifat atomis.
Atom yang dimaksud adalah atom logis bukan atos fisika. Analisis logis
digunakan untuk mendapatkan satuan-satuan logis akan kebenaran realitas.
Russell menganggap bahasa sehari-hari tidak memadai untuk bahasa filsafat
karena banyak makna ganda dan keterikatan dengan konteks, pikiran harus
dibangun melalui bahasa yang berdasarkan formulasi logika.
Russell mengatakan adanya kaitan erat dalam istilah isomorphismenya
yakni adanya kesepadanan atau kesetaraan antara struktur realitas dan struktur
bahasa. Suatu proposisi disebut proposisi atomik apabila berupa proposisi yang
berdiri dalam satu kalimat yang mengandung realitas sederhana, tidak memuat
unsur-unsur majemuk. Proposisi atomik yang telah digabungkan dengan
proposisi lain dengan kata penghubung, misalnya “yang, atau, dan” dan
sebagainya.
5Robert C. Solomon dan Kathleen M. H.,A Short History of Philosophy, terj. Saut Pasaribu,
6
Menurut Russell, kebenaran atau ketidakbenaran suatu proposisi
majemuk ialah tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi
atomiknya. Atau dengan kata yang lebih mudah untuk dipahami ialah bahwa
proposisi majemuk merupakan fungsi kebenaran daripada proposisi atomik.
Suatu proposisi atomik menurutnya tidak dapat dinilai benar atau salahnya,
hanya bahasa yang dipakai dapat ditentukan kebenaran dan ketidakbenarannya,
karena proposisi atomik sendiri mengandung unsur-unsur realitas sederhana.6
Filsafat analitis lahir sebagai respon atas kerancuan dan permasalahan
dalam menjelaskan dan menguraikan ungkapan-ungkapan filosofis. Dengan
kata lain, filsafat analitis digunakan untuk membahas, menjelaskan dan
memecahkan masalah filsafat dengan menggunakan analisa bahasa, ataupun
melalui analisis linguistik. Salah-satu teori dalam filsafat analitis adalah
atomisme logis. Istilah ini dinisbatkan pada dua filsuf Ludwig Wittgenstein dan
Bertrand Russel.
Pemikiran atomisme logis lebih dulu telah dikembangkan Ludwig
Wittgenstein dalam karyanya“Tractatus Logico Philosophicus”. Namun nama
dari aliran atomisme logis ini pertama kali dikemukakan oleh Bertrand Russell
dalam suatu artikelnya yang dimuat dalam “Contemporary British
Philosophy”yang terbit pada tahun 1924.
7
Nama atomisme logis yang digunakan oleh Bertrand Russell
menunjukkan pengaruh dari David Hume dalam karyanya “An Enguiry
Concerning Human Understanding”.7
Sedikit mengulas hubungan Russel dan Witgenstein. Keduanya adalah
sahabat sejaman. Wittgeinstein adalah murid Russel yang cemerlang. Namun
demikian, di beberapa waktu, Russel mengaku sebagai murid Wittgeinstein.
Mengenai atomisme logis yang dikembangkan keduanya, sebenarnya memiliki
perbedaan. Tetapi jika dipandang dari pendekatannya terdapat kesamaan yang
signifikan.8 Karena itu, dalam penulisan ini, akan difokuskan pada atomisme logisnya Bertrand Russel.
Begitu juga yang terjadi pada saat ini, bahasa menjadi tolak ukur
seseorang untuk memahami sebuah makna, kenyataan yang ada dalam
Al-qur’an ataupun Hadits makna yang digunakan banyak memakai arti yang
tersirat. Sedangkan pemahaman yang lebih mudah ialah makna yang tersurat.
Oleh karena itu, penelitian ini beranjak dari fenomena kebahasaan yang sering
terjadi kesalah fahaman antara teks dan konteks, dalam Al-qur’an, hadits, ijma’
dan qiyas dalam kehidupan sehari-hari, yang bisa kita paparkan melalui analisis
proposisi Bertrand Russell. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melalui
penelitian dengan judul. “Analisis Logika Formal Bertrand Russell
terhadap ProblemKebahasaan Ushul Fiqh”.
7Kaelan,Filsafat Bahasa(Yogyakarta: Paradigma 1998), 87.
8
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah peneliti kemukakan di atas, maka
dirumuskan beberapa rumusan masalah yang kemudian akan dikaji lebih
lanjut, yaitu:
1. Bagaimana pendekatan kebahasaan ushul fiqh dilihat dari analisis logika
Bertrand Russell?
2. Bagaimana konsep pendekatan kebahasaan dalam ushul fiqh?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang diajukan di atas maka tujuan penelitian
ini adalah:
1. Untuk memahami pendekatan kebahasaan ushul fiqh dilihat dari analisis
logika Bertrand Russell.
2. Untuk memahami konsep pendekatan kebahasaan dalam ushul fiqh.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara
teoritis, praktis, maupun secara akademik.
1. Secara Teoritik
Penelitian ini disamping sebagai salah satu upaya memenuhi tugas akhir
dalam program strata S1 jurusan Filsafat dan Agama Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat dan juga diharapkan mampu menambah keilmuan peneliti dalam
9
2. Secara Praktis
Sebagai kontribusi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai analisis
proposisi Bertrand Russell terhadap metode kebahasaan ushul fiqh, dan bahan
pertimbangan bagi peneliti lainnya.
3. Secara Akademik
Sebagai masukan dan sebagai pembendaharaan perpustakaan untuk
kepentingan ilmiah selanjutnya dapat memberikan informasi atau gambaran
bagi peneliti lainnya mengenai (filsafat bahasa, pengetahuan terhadap
kebahasaan ushul fiqh dan strategi logika formal Bertrand Russell).
E. Penengasan Judul
Analisis : Penyelidikan terhadap sesuatu peristiwa menguraikan
pemahaman dan arti keseluruhan untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya (sebab, musabab, dan
sebagainya), dan juga menguraikan suatu pokok atas
berbagai bagianya dan penelaahan bagian itu sendiri, serta
hubungan antar bagian untuk memperoleh pengetahuan
yang tepat dalam pemahaman.9
Logika : Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang
berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan
lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah
10
salah satu cabang filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut
denganlogike episteme(bahasa Latin:logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari
kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk
mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan
akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam
tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga
diartikan dengan masuk akal.10
Formal : Sesuai dengan peraturan, atau kebiasaan.11
Kebahasaan : Bahasa yang memilki definisi, sesuatu yang mewakilkan
benda, tindakan gagasan, dan keadaan.12 Sesuatu yang
bertujuan untuk menggambarkan sesuatu dengan bahasa
yang jelas.
Ushul fiqh : Ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus
ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’.13
Bertrand Russell : Filsuf atau ilmuan yang lahir pada 1872-1970 di
Cambridge pada abad ke-19 M. Dalam perumusan Russell
ia mencoba membagikan dalam tiga tipe: tipe tradisional
10https://id.wikipedia.org/wiki/Logika. Di akses pada 21 agustus 2016.
11Hasan Alwi.Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta: Manteri Pendidikan Nasional, 2003),
320.
12https://bahasadankesastraan.wordpress.com/category/pengertian/.
11
klasik, tipe evolusionalisme, dan yang ketiga tipe logika
atomisme.14
Dengan demikian maksud dari judul tersebut adalah untuk memahami
ilmu-ilmu ushul fiqh terutama dalam dalalah-dalalah yang ada di ushul fiqh
dan di lihat dari segi filsafat bahasa Bertrand Russell melalui Proposisinya,
yang mana dijelaskan melalui proposisi atomic dan proposisi majemuk.
Penengasan judul ini tidak lain untuk tidak terjadi kesalah pahaman judul.
F. Telaah Pustaka
Dalam penulisan ini tentunya penulis menggunakan sumber primer dan
sumber sekunder. Sejauh ini penulis berhasil mengetahui karya ilmiah yang
membahas tentang ushul fiqh.
1. Dalam jurnal “Diskursus Interpretasi Linguistik;Ragam Kejelasan dan
Kesamaan Makna dalam Ushul Fiqh” pengarang Atik Abidah di sini
menjelaskan bahwa dalalah yang tidak jelas bukan berarti karena ketidak
jelasan dalil itu akan tetapi mungkin karena qarinah yang belum jelas sehingga diperlukan ijtijad dan upaya yang lebih besar lagi. Akan tetapi
perbandingan antara ulama’ Ushul Hanafiyyah dan Mutakallimin adalah
Hanafiyyah membagi dalalah yang jelas menjadi empat: Dahir, nas,
mufassar, dan Muhkam sedangkan Mutakallimin membagi menjadi dua
yaitu; Dahir dan Nas.
14Wahyu Murtiningsih.Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Majah. Cet III (Yogjakarta: IRCisod,
12
2. Dalam jurnal“Interrelasi dan Interkoneksi antara Hermeneutika dan Ushul
Fiqh” pengarang Lindra Darnela di sini menjelaskan bahwa hermeneutika
dan ushul fiqh memiliki korelasi yang sangat dekat jika melihat beberapa
metode yang digunakan. Oleh karena itu, hermeneutika yang merupakan
metode penafsiran yang tegas dan jelas.Dengan kata lain untuk mengikuti pergerakan makna dari al-qur’an sebagai rahmatan lil allamin maka perlu metode ushul fiqh yang senantiasa mampu menerjemahkan bahasa Al-qur’an
dan menjawab persoala-persoalan kemanusian yang selalu berubah.
Berbeda dengan skripsi yang ditulis oleh peneliti terdahulu, Peneliti
ingin membahas macam-macam dalalah dalam ushul fiqh. Dengan kata lain,
peneliti ingin membahas secara keseluruhan mengenai ushul fiqh dan
mengaitkan dengan proposisi formal Bertran Russell.
G. Pendekatan dan Kerangka Teroritik
Sudah dijelaskan di atas bahwa tujuan penelitian skripsi ini ialah untuk
mengetahui kebahasaan ushul fiqh dilihat dari kacamata proposisi Bertrand
Russell. Karena jenis penelitian ini merupakan tentang filsafat bahasa tokoh
filsafat barat yang mana untuk menelaah kebahasaan ushul fiqh, maka untuk
mendapatkan gambaran yang jelas dan hasil yang sesuai dengan apa yang
sudah diharapkan maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:
13
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan
pendekatanlibrary research(penelitian kepustakaan), sebagai refrensi adalah data-data yang baik primer atau sekunder seperti skripsi, tesis, disertai dengan
yang sudah dijadikan buku, jurnal, ensklopedi dan dokumentasi lain yang
membahas tentang kebahasaan ushul fiqh.15 2. Metode analisis data
Data sebagai hasil studi kepustakaan akan ditempuh dengan metode
deskriptif analitik yaitu suatu metode yang digunakan untuk menganalisis
data yang sudah diperoleh, kemudian diklasifikasikan agar sampai pada
kesimpulan dari kumpulan data tersebut.16Tentunya dalam penulisan skripsi ini akan sering berjumpa dengan bahasa asing, maka akan diproses dengan
penterjemahan yaitu mengalihkan makna bahasa asing ke bahasa Indonesia.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan rangkuman sementara dari sisi
skripsi, yakni gambaran isi skripsi secara keseluruhan. Adapun penyajian
skripsi ini dibagi dalam bab-bab, dan secara keseluruhan dibagi dalam empat
bab dengan rincian sub-bab secara sistematis dan berkesinambungan.
Adapun penyajiannya sebagai berikut:
Dalam bab I ini memuat uraian pendahuluan yang di dalamnya terinci
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
definisi konsep, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
15Muhammad Nasir,Metode Penelitian(Jakarta: Ghaila Indonesia, 1998), 56.
14
Pada bab II. Berisi ulasan biografi Bertrand Russell tentang pengertian
logika formal, fungsi logika formal dan kelemahan atomisme logis Bertrand
Russel.
Dalam bab III. Berisi ulasan, pengertian ushul fiqh, kajian ushul fiqh,
perkembang ushul fiqh, aliran ilmu ushul fiqh, problem kebahasaan dalam
ushul fiqh, serta macam-macam dalalah dalam ushul
Dalam bab IV. Analisis data, peneliti menuliskan analisis tentang kaitan
logika Bertand Russel dan bagaimana cakupan dalam metode kebahasaan ushul
fiqh.
Dalam bab V. Penutup, berisi kesimpulan dan saran dari peneliti terkait
15 BAB II
KAJIAN TEORI
A. Biografi Bertrand Russell (1872-1970 M)
Bertrand Russell dilahirkan di Cambridge pada abad ke-19 M dia
dilahirkan setahun sebelum kematian John Stuart Mill. Ibunya adalah anak
Lord Stanley dari Arderley, ayahnya Viscount Amberley adalah anak tertua
Lord John Russell. Pada usia empat tahun ibunya meninggal dunia, dan setelah
itu ia diasuh oleh neneknya secara ketat hingga ia masuk Trinity Collage
Cambridge, dengan beasiswa dalam bidang matematika. Kemajuan
intelektualnya segera mulai berkembang. Ia perlahan-lahan pindah dari
matematika kepada filsafat dan terus tinggal sampai tahun keempat di Trinity
untuk membaca bagian kedua Moral Science Tripos. Pada tahun 1895 ia
memperoleh beasiswa pada Trinity.
Pada bulan Juli 1909 dalam kongres filsafat yang bertempat di Paris ia
bertemu dengan ahli logika Itali, Peano, dan melalui pertukaran gagasannya ia
mengembangkan pikirannya mengenai identitas yang mungkin dari
matematika dan logika.17 Hasil akhir dari ini adalah kolaborasinya dengan Whitehead yang menguji dalam program doktor di Trinity untuk menyusun
principia mathematic. Karya detail daripada bukunya secara luas dimuat dalam
penulisan ulang dalil-dalil yang dilakukan dengan susah payah oleh Russell.18
17 Diane Collingson,Fifty Major Philosoper, terj. Ali Mufty dan Ilzamuddin,Lima Puluh Filosof
Dunia yang Mempengaruhi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 197
16
Dalam bukunya mengenai Russell, Ayer mengatakan bahwa sejak
tahun 1907 sampai tahun 1910 Russell menulis buku itu kira-kira selama 8
bulan setiap tahun, 10-12 jam sehari. Ayer meneruskan:
”Ketika buku itu selesai ditulis, Syindics dari Cambridge University
memperkirakan bahwa penerbitannya akan merugikan mereka sebanyak P600,
yang sebagian darinya merekatidak mau menanggung lebih banyak”.
Russell meninggal dunia pada usia 98 tahun di North Wales dengan
membuat kecaman terhadap perang yang dilakukan oleh Israel-Arab.
B. Pemikiran Bertrand Russell
Bertrand Russell termasuk dalam kelompok filosof kontemporer yang
pokok kajiannya adalah persoalan logosentris, yakni pengkajian filsafat
melalui analisis aturan-aturan kesesuaian kebahasaan. Pemikirannya mengenai
tata bahasa logis yang digunakan sehari-hari merupakan suatu paradox
terhadap para pemikir-pemikir Inggris yang cenderung mengedepankan ajaran
idealisme. Maka dari itu ia menegaskan bahwa kesadaran adalah akses manusia
terhadap dunia dan pengetahuan manusia berasal daripada pengalaman
sehingga dapat dipahami dengan cepat dan tanggap dengan bantuan logika
yang sesuai dengan realitas. Karenanya realitas dapat dirasakan dengan adanya
sensor atas fakta-fakta yang berupa sensasi-sensasi yang berasal inderawi.19
1. Atomisme Logis
19 Robert C. Solomon dan Kathleen M. H.,A Short History of Philosophy, terj. Saut Pasaribu,
17
Pada saat pemikiran filsafat di Inggris didominasi oleh tradisi-tradisi
idealisme membuat Russell tergugah untuk memberikan tantangan terhadap
tradisi yang dinilai konservatif. Ia menciptakan gagasan pemikiran filsafat
yang berbeda dengan pemikir yang lain, yakni atomisme logis. Melalui konsep
ini ia telah dinilai berhasil mensintesakan pemikiran para filosof sebelumnya.
Atomisme logis merupakan sebuah ajaran yang menyatakan bahwa
semua entitas bersifat kompleks yang hanya dapat dianalisis melalui
nama-nama yang secara logika tepat dan berupa keadaan partikular-partikular.20 Menurutnya, bahwa dunia memuat berbagai fakta yang sesuai dengan
wujudnya tersendiri seperti yang terpikir oleh akal. Dalam teorinya terlihat
jelas bahwa Russell termasuk ke dalam golongan empirisme.
Atomisme logis Russell telah berhasil memberikan sebuah konsepsi
logis mengenai realitas yang terjadi sehari-hari. Pemikirannya merupakan
sebuah reaksi terhadap para Hegelian Inggris yang dinilainya sebagai sebuah
pemahaman yang salah mengenai realitas. Idealisme Hegel dikatakannya
sebagai sebuah ajaran yang tidak perlu untuk dikaji karena dalam sistem
ajarannya Hegel menyatakan bahwa realitas adalah satu dan realitas seluruhnya
berupa pikiran. Misalnya, ketika seseorang melihat orang lain kelaparan, maka
selamanya orang tersebut akan tetap merasa lapar apabila tidak diberikan
makanan untuknya. Ini persis seperti apa yang telah diajarkan oleh Hegel, maka
ketika melihat orang kelaparan akan bisa merasakan kenyang dengan dikatakan
20Diane Collingson,Fifty Major Philosoper, terj. Ali Mufty dan Ilzamuddin,Lima Puluh Filosof
18
kepadanya “makan, makan, dan makan”. Akan tetapi, pada kenyataannya
manusia lapar tidak membutuhkan kata-kata seperti itu melainkan mereka
butuh pada makanan.
Pemikiran Russell merupakan pertukaran gagasan G.E. Moore, yang
mengemukakan konsep filsafat analitik bahasa, yaitu teman seperjuangan
dengannya. Rusell dan Moore memiliki gagasan bahwa seorang filosof
mempunyai tugas untuk menganalisis proposisi-proposisi kebahasaan, yaitu:
suatu pemikiran yang dinyatakan dalam bentuk kalimat yang dapat dinilai
benar tidaknya kalimat tersebut.21 Meskipun mereka berdua memiliki persamaan, namun mereka memiliki perbedaan yang mendasar. Yaitu Moore,
menggunakan analisa berdasarkan commonsence. Moore beranggapan bahwa
bahasa alamiah yang digunakan sehari-hari dinilai telah memadai dalam
filsafat. Sedangkan Rusell mengatakan bahwa bahasa sehari-hari tidak cukup
memadai dalam filsafat karena menurutnya bahasa sehari-hari sering kali
memilki makna dasar yang ambigu sesuai dengan konteks yang terjadi. Atas
dasar inilah maka Rusell menciptakan pemikrannya melalui bahasa yang
berdasarkan formulasi logika.
Dalam hal ini Rusell ingin mewujudkan realitas yang akurat yang sesuai
dengan fakta berdasarkan formulasi logika. Namun ia juga mengakui bahwa
untuk dapat mengimplementasikan bahasa logis itu banyak terpengaruh oleh
19
logika Gothlob Frege. Secara mendasar Russell mengemukakan alasan sebagai
dasar pemikirannya adalah;
1. Logika Frege yang baru itu hanya cocok diterapkan pada ilmu itu hitung
(aritmatika), tidak untuk diterapkan pada cabang matematika yang lain.
2. Premis Frege tidak dapat meniadakan berbagai kontradiksi yang terdapat
dalam sistem logika formal tradisional.
Dengan teori atomisme bahasa ini, Russell menawarkan dasar-dasar
logico-epistemologik untuk bahasa, artinya Russell mengetengahkan antara
fakta, logika formal dan bahasa ideal. Dengan ini Russell sebenarnya hendak
menyatakan bahwa antara fakta dan bahasa harus sepadan, bahasa digunakan
sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta ini dijelaskan olehnya bahwa
fakta bukanlah benda-benda melainkan adalah totalitas keberadaan indera
dalam mempersepsikan. Baginya realitas sesungguhnya merupakan totalitas
fakta-fakta yang terbagi menjadi dua yaitu fakta universalia (kesadaran akan
alam semesta) dan fakta partikular (benda-benda).22
Russell mengemukakan teori kebahasaan yang di era post-Modern ini
dinilai sangat berharga dalam perkembangan filsafat, yakni bahwa antara fakta
dan bahasa memiliki unsur isomorphisme yaitu semacam kesetaraan antara
realitas atau fakta dengan bahasa yang diungkapkan. Akan tetapi, realitas yang
22Noeng Muhadjir,Filsafat Ilmu: Positivisme, Post-Positivisme, dan Post-Modernisme,
20
dimaksud Russell tidak hanya terarah kepada fenomena empirik melainkan
merupakan ke-periada-an sifat universal.23
Agaknya memang membingungkan, bagaimana seorang Russell
dengan pandangannya mengenai realitas fakta memiliki kaitan erat dengan
bahasa. Kattsoff dalam bukunya Pengantar Filsafat mengatakan bahwa
pemikiran Russell didominasi oleh fakta-fakta yang berupa kejadian-kejadian,
tidak berupa kebendaan. Dalam memahami Russell, Kattsoff menjelaskan
bahwa Russell memakai istilah minimal events sebagai sebuah
kejadian-kejadian terkecil yaitu kejadian-kejadian-kejadian-kejadian yang menempati lingkungan
berhingga tertentu dalam gerak, ruang, dan waktu. Misalnya, meja
sesungguhnya bukanlah sebuah realitas melainkan campuran proses
penyerapan inderawi manusia terhadap warna, bangun dan pengalaman.24 Jadi terlihat jelas bahwa tidak ada yang benar-benar bersifat material di dunia
karena adanya indera menerima berbagai sensor dari kualitas dan kuantitas
yang bersifat substansial. Materi baginya hanya merupakan sebuah reaksi
inderawi belaka sehingga yang tinggal hanyalah kejadian-kejadian yang
disebut fakta-fakta.
2. Proposisi Atomik dan Proposisi Majemuk
Dalam pembahasan proposisi atomik dan proposisi majemuk Russell
menyatakan adanya kaitan erat antara struktur realitas dan struktur bahasa.
Suatu proposisi disebut proposisi atomic apabila berupa proposisi yang berdiri
23Ibid., 100.
21
dalam satu kalimat yang mengandung ralitas sederhana, tidak memuat
unsur-unsur majemuk. Proposisi atomik yang telah digabungkan dengan proposisi
lain dengan kata penghubung, misalnya “yang, atau, dan” dan sebagainya.25
Untuk dapat lebih memahami proposisi atomik dan proposisi majemuk
sebaiknya kita sajikan misal sebagai berikut;
“Socrates adalah seorang warga Athena yang bijaksana”.
Contoh proposisi ini terdiri dari dua unsur proposisi atomik yaitu:
a. Socrates adalah seorang warga Athena, dan
b. Socrates adalah seorang bijaksana.
Menurut Russell, kebenaran suatu pernyataan atau ketidakbenaran
suatu pernyataan dalam suatu proposisi majemuk ialah tergantung pada
kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomiknya. Karena proposisi
majemuk ialah fungsi yang utama dalam proposisi Atomik. Didamana
proposisi atomik tidak dapat dinyatakan benar atau salah, karena hal tersebut
hanya bahasa yang dapat menentukan kesalahan atau kebenarannya, karena
proposisi atomik hanya bisa mengutarakan bahasa dengan unsur-unsur realita
yang sederhana. Misalnya seperti contoh di atas, kata Socrates, bijaksana, dan
Athena, ketiga kata ini merupakan objek yang terkandung dalam proposisi
atomik.26
25Rizal Mustansyir,Filsafat Analitik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), 48-49.
22
C. Kelemahan Atomisme Logis Bertrand Russell
Atomisme logis yang disusun Russell memiliki kelemahan yang
tampak dari ketidakkonsistennya dalam menolak metafisika. Karena tak dapat
disangkal, atomisme logis mengandung suatu metafisika, sebab teori ini ingin
menjelaskan struktur hakiki dari bahasa dan dunia. Atau dengan kata lain, teori
ini mau mengatakan bagaimana akhirnya dengan realitas seluruhnya.
Mengatakan bahwa dunia ini diasalkan pada fakta-fakta atomis, jelas
sekali merupakan suatu pendapat metafisis. Pendapat Russell tersebut juga
terlihat jelas, tidak berdasar pada data-data empiris, melainkan suatu analisis
tentang bahasa.
Atomisme logis juga menggunakan suatu kriteria untuk menentukan
makna. Suatu proposisi disebut bermakna hanya jika dapat ditunjukkan suatu
fakta atomis yang sepadan dengannya. Tapi sudah jelas bahwa proposisi yang
dirumuskan dalam atomisme logis itu sendiri tak dapat disamakan dengan jenis
proposisi lain. Tak ada fakta atomis yang membuat proposisi-proposisi yang
membentuk teori atomisme logis itu menjadi benar atau salah. Akibatnya, perlu
disimpulkan bahwa proposisi-proposisi atomisme logis itu sendiri tidak
bermakna.27
23 BAB III
PENYAJIAN DATA
A. Pengertian Ushul Fiqh
Kata ushul fiqh adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan
kata “fiqh”. Secara etimologi berarti “paham yang mendalam” kata ini muncul
sebanyak 20 kali dalam Al-qur’an dengan arti pahan itu, umpamanya dalam
Surat al-Kahfi (18):93.
“Hingga ketika dia sampai diantara dua gunung, didapatinya dibelakang kedua
gunung itu suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan”.
Arti dalam ayat itu“mereka memahami”.
Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dalam
arti etimologi sebagaimana disebutkan di atas, yaitu “ilmu tentang hukum
-hukum syara’” yang bersifat amaliyah yang digali dan dirumuskan dari
dalil-dalil tafsili”.28
Kata ushul yang merumakan jama’ dari kata “ashal” secara etimologi
berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya”, arti etimologi ini tidak
jauh dari kata ashal tersebut karena ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang
kepadanya didasarkan fiqh. Dengan demikian ushul fiqh secara istilah teknik
24
hukum berarti: “ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha
merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci, “atau artian sederhana
adalah:”kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari
dalil-dalilnya”.
Umpama dalam kitab-kitab fikih ditemukan ungkapan,”mengerjakan
shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum
syara’”. Tidak pernah disebut dalam Al-qur’an maupun hadits bahwa shalat itu
hukumnya wajib. Yang tersebut dalam Al-qur’an hanyalah perintah
mengerjakan shalat yang berbunyi:
َة َﻼ ﱠﺻ ﻟا ِمِﻗأ
“Kerjakanlah shalat”.
Ayat Al-qur’an mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut
“dalil syara’”. Untuk merumuskan kewajiban shalat yang disebut hukum syara’
dari Firman Allah:ة َﻼ ﱠﺻ ﻟا ِمِﻗاyang disebut”dalil syara’”itu ada aturannya dalam
bentuk kaidah, umpamanya “setiap perintah menunjukkan wajib”.
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara-cara
mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang
disebut hukum ushul fiqh.29
25
Ilmu ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah atau
bahasan-bahasan sebagai metodologi untuk memahami hukum-hukum syari’ah. Dalam
bahasa non Arab, ushul fiqh ini sering diterjemahkan dengan teori hukum
(legal theory), karena memang didalamnya berisi tentang teori-teori dalam
memahami hukum syari’ah.30
Dari penjelasan di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dan fiqh.
Ushul fiqh merupakan pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan
menjelaskan ketentuan atau aturan yang harus diikuti seorang fakih dalam
usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dan dalilnya. Sedangkan
fiqh merupakan hukum-hukum syara’ yang sudah digali dan dirumuskan
melalui dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan.
Adapun menurut istilah, ashal mempunyai beberapa arti berikut ini:
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama’ ushul fikih
bahwa ashal dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan
Sunnah Rasul.
b.Qa’idah, yaitu dasar atau pondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad
SAW:
َﻋ ُمَﻼ ْﺳ ِْﻻ ا َﻲ ِﻧُﺑ ٍل ْو ُﺻ ُأ ِﺔَﺳ ْﻣ َﺧ ﻰ َﻠ .
“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau pondasi)”.
26
c.Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat
dari perkataan tersebut.31
d. Mustashab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang,
apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan
perkawinannya?. Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada
berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap
mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u(cabang), seperti perkataan ulama ushul:
ِب َ ْﻸ ِﻟ ٌع ْرَﻓ ُدَﻟ َوْﻟَا
“Anak adalah cabang dari ayah”. (Al-Ghazali, I: 5).
Dari kelima pengertianashaldi atas, yang bisa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fikih. Adapun fikih, secara etimologi berarti pemahaman yang
mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut
dapat ditemukan dalam Al-qur’an, yakni dalam Surat Thaha (20): 27-28,
An-Nisa (4): 78. Hud (11): 91. Dan terdapat pula dalam hadits, seperti sabda
Rasulullah SAW:
27
“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang. Dia akan memberikan
pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim,
Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmidzi dan Ibnu Majah).32 B. Objek Kajian Ushul fiqh
Dari definisi ushul fiqh yang sudah dipaparkan di atas, terlihat jelas
bahwa objek kajian ushul fiqh secara garis besar terbagi menjadi tiga:
1. Sumber hukum dengan semua hukum seluk beluknya.
2. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
3. Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istimbath dengan semua
permasalahannya.33
Menurut pendapat Muhammad Al-Juhaili memperinci tentang objek
kajian ushul fiqh sebagai berikut:
1. Sumber-sumber hukum syara’ baik yang disepakati seperti Al-qur’an dan
Sunnah, maupun yang masih diperselisihkan, seperti istihsan dan maslahah
mursalah.
2. Mencari jalan keluar dari kedua dalil yang bertentangan secara dzahir, ayat
dengan ayat atau Sunnah dengan Sunnah, dan lain-lain. Baik dengan jalan
32Ibid,. 19.
28
pengkompromian (Al-Jam’u Wa At-taufiq), menguatkan salah satu tarjih, pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan.
3. Pembahasan tentang ijtihad, syarat-syarat, sifat-sifat, dan orang yang
melakukan ijtihad.
4. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam
meng-istimbath-kan hukum.
Dan adapun sumber pengambilan ushul fiqh ialah:
1. Ilmu kalam (theology)
2. Ilmu bahasa Arab
3. Tujuan syara’ (maqashid asy-sari’ah).
Dan hal ini disebabkan sumber hukum yang merupakan objek kajian
ushul fiqh diyakini oleh Allah SWT. Yang berbentuk Al-qur’an dan Sunnah.
Pembuat hukum adalah Allah, tiada hukum kecuali dari Allah SWT, hal
tersebut pembahasan dalam ilmu kalam.
C. Perkembangan Ushul fiqh
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun
dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Dan
pada Rasullah ilmu ini sudah digunakan oleh beliau sendiri yaitu sebagai
syar’i.34 Sebenanya keberadaan ushul fiqh harus didahului oleh ushul fiqh,
29
karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid
pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh
datang belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah nabi wafat, yaitu
pada periode sahabat. Peminggiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu
perumusan fiqh itu. Para sahabat di antaranya Umar bin Ibn Khattab, Ibnu
Ma’sud, Ali Ibn Abi Thalib, umpamanya pada waktu mengemukakan aturan
atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak
mengemukakan demikian.
Sewaktu Ali Ibn Thalib mengemukakan hukum cambuk sebanyak 80
kali terhadap peminum khamar, beliau berkata: “bila ia minum ia akan mabuk
bila ia mabuk ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar”, dari
pernyataan Ali itu, akan diketahui bahwa Ali mengenggunakan kaidah pintu
kejahatan yang akan timbul atau “sad al-dzari’ah”.
Abdullah Ibnu Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang
wanita hamil yang kematian suaminya iddah-nya adalah melahirkan anak,
mengemukakan argumennya dengan Firman Allah dalam surah at-Thalaq (85)
ayat 4, meskipun juga ada Firman Allah dalam surah al-Baqarah (2) yang
menjelaskan bahwa istri yang kematian suami iddahnya empat bulan sepuluh
hari. Dalam menetapkan pendapatnya ini beliau mengatakan bahwa ayat 4
Surat at-Thalaq datang sesudah Surat al-Baqarah (2).35
30
Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam menetapkan
fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul, tentangnasikhdanmansukh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian me-nasakh-kan dalil yang terdahulu. Dari
apa yang dilakukan Ibnu Mas’ud ini juga dari apa yang dilakukan oleh Ali Bin
Abu Thalib, dari paparan di atas dapat dipahami bahwa para sahabat dalam
melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun tidak secara
jelas.
1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a. Masa Sahabat
Pada wafatnya Rasulullah SAW membuka catatan baru dalam
penetapan sebuah hukum. Akan tetapi pada munculnya para sahabat
setelah Nabi wafat muncullah permasalahan baru yang belum pernah ada
pada masanya Nabi menyangkut dengan penetapan Hukum. Untuk
mendapatkan hukum baru baru maka para sahabat melakukan ijtihad
dengan bersumber pada Al-qur’an dan Sunnah. Pada masa sahabat ini
ijtihad tidak hanya dilakukan dengan menggunakan Al-qur’an dan Sunnah
saja melainkan dengan ijtihad para sahabat.36
Banyak hal positif terhadap ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat,
yang mana mereka sudah siap menghadapi permasalahan sosial. Meskipun
kaidah ushul fiqh belum dirumuskan secara tertulis. Cara yang dilakukan
oleh para sahabat dalam ijtihad ialah mereka mempelajari teks Al-qur’an
31
dan Sunnah Nabi. Apabila tidak ditemukan diantara kedua tersebut maka
para sahabat melakukan ijtihad. Hasil kesepakatan sahabat disebut dengan
ijma’, qiyas dan mereka juga menggunakan istilah maslahah mursalah seperti mengumpulkan Al-qur’an dalam satu mufhaf.
b. Masa Tabi’in
Setelah masa sahabat muncul periode berikutnya yaitu, tabi’in tabi’
al-tabi’in serta imam-imam mujtahid. Pada masa ini daulah Islamiyah
semakin berkembang dan muncul permasalah baru. Berbagai masalah,
perselisihan, pandangan serta pembangunan material dan spiritual satu
persatu mulai muncul. Persoalan tersebut menambah beban imam
mujtahid untuk membuka pandangan yang lebih luas terhadap lapangan ijtihad. Sumber yang digunakan pada periode ini ialah Al-qur’an, Sunnah,
keputusan sahabat Rasul, serta fatwamujtahid.37
c. Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i
Sebenarnyamujtahidsebelum imam Syafi’i dikenal dua tokoh besar,
yaitu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Imam Abu Hanifah
Al-Nu’man (w. 150 H), pendiri madzhab Hanafi menggunakan dasaristimbath
secara berurutan yaitu Al-qur’an Sunnah, fatwa sahabat. Imam Abu Hanifah
di hadapkan oleh beberapa pendapat yang berbeda, maka ia memilih
pendapat yang tidak akan mengeluarkan pendapat baru. Imam Abu Hanifah
32
dikenal dikenal mujtahid yang banyak menggunakan qiyas dan istihsan. Dan Iman Hanifah tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqh.38
Imam Malik bin Anas dalam ijtihadnya tidak memiliki metode yang
cukup jelas, sehingga ushul fiqh pada masanya belum dibukukan secara
sistematis. Dan ia juga tidak meninggalkan karyanya dalam ushul fiqh.
2. Pembukuan Ushul Fiqh
Ushul fiqh lahir pada dua Hijriyah, karena pada abad pertama belum
ada dan belum terasa diperlukan. Rasulullah SAW berfatwa dan menjatuhkan
keputusan (hukum) berdasarkan pada Al-qur’an dan Hadits, dan berdasarkan
naluri yang bersih tampa memerlukan ushul atau kaidah yang dijadikan
istimbath. Adapun para sahabat membuat keputusan hukum berdasarkan pada nash yang telah dipahami dari aspek kebahasaan semampu mereka, dan untuk
memahaminya perlu kaidah bahasa yang baik. Di samping itu mereka juga
melakukan istimbath hukum sesuatu yang tidak terdapat dalam nash. Jadi para sahabat sudah benar-benar menguasai tujuan-tujuan hukum syari’at serta
dasar-dasar pembentukannya.39
Setelah Islam semakin berkembang dan bangsa Arab memperluas
pergaulannya dengan bangsa lain maka penyerapan bahasa asing dalam
bentuk mufradat dan tata bahasa ke dalam bahasa Arab yang menimbulkan
kesamaran-kesamaran dan kemungkinan lain dalam rangka memahaminya
38Muhammad Abu Zahra,Ushul Fiqh(Damaskus: Dar al-Fikr,tt), 13.
33
lebih luas. Pada abad kedua Hijriyah muncul ulama’ bernama Muhammad bin
Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) yang menggagas, mengsistematiskan, dan
membukukan ushul fiqh.
Sebelum imam Syafi’i tercatatat sebagai orang yang pertama kali
membukukan ushul fiqh yang bercerai-berai dalam satu kumpulan adalah
Abu Yusuf seorang pengikut Abu Hanifah. Akan tetapi kumpulan tersebut
tidak sampai pada kita. Namun hasil pertama kali kitab imam Syafi’i diberi
nama kitabAr-Risalah yang merupakan kitab pertama kali ushul fiqh yang
sampai kepada kita hingga saat ini. Setelah imam Syafi’i banyak ulama’ yang
berbondong-bondong untuk menyusun ushul fiqh baik dalam bentuk yang
panjang ataupun ringkas. Adapun karya ushul fiqh setelah imam Syafi’i yang
tercatata pada abad ke-3 diantaranya adalah:al-Khabar al-Wahid, karya Isa Ibn Abban Ibn Sedekah (w.220 H), dari kalangan Hanafiyah,al-Nasihk wa al-Mansukh oleh imam bin Hambal (w. 164 H- 241 H), pendiri madzab hambali dan kitabIbtal al-Qiyasoleh Daud al-Zahiri (200 H-270 H) pendiri
madzab Zahiri. Berdasarkan penelitiaan ulama’ ushul dikit demi sedikit ilmu
ushul fiqh terus merosot, akan tetapi setelah 200 tahun barulah ilmu ushul
fiqh tumbuh dengan subur, yaitu sebagai tolak ukur hukum fiqh.40
D. Aliran Ilmu Ushul Fiqh
Maraknya kajian tentang ushul fiqh setelah imam Syafi’i semakin
berkembang pesat yang diwarnai oleh kecenderungan yang berbeda dalam
34
merumuskan kaidal Al-qur’an dan Sunnah yang sudah jauh terjadi sebelumnya.
Namun tampak jelas aliran ushul fiqh menjadi tiga aliran.
1. Jumhur Ulama’ Ushul Fiqh
Disebut jumhur ulama’ karena mayoritas aliran ini di anut oleh ulama’
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.Di sebut juga aliran Syafi’iyahkarena pertama kali mewujudkan cara penulisan ushul fiqh seperti ini adalah imam
Syafi’i. Dan disebut juga aliranmutakalliminkarena pakar di bidang ini setelah
imam Syafi’i adalah dari kalangan mutakallimin (para ahli ilmu kalam) seperti
imam al-Juwaini, al-Qadho Abdul Jabbar, dan imam al-Ghazali.41
SebutanMutakalliminadalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum Mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan
pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk
logika Yunani. Orang-orang seperti Qadlo Abdul Jabbar adalah seorang teolog
Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran
Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku
al-Taqrib wa al-Irsyaddan diringkas oleh Imam al-Juwaini, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan
Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis
ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi
35
teologis, tetapi menulis dengan polaMutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.42
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran mutakallimin, antara lain:
1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas
kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang
menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum
digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti
terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan
pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah
(pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali,Rawdlah al-Nadzirkarya Ibnu Qudamah, danMuntaha al-Wushul (al-Sul)karya Ibnu Hajib. AliranMutakalliminmengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama’ dan
menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab.43
42http://sofiswa.blogspot.co.id/2011/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses
pada 08 Oktober 2015
36
Aliran ini berdasarkan pada logika yang bersifat rasional dan
pembuktiannya oleh kaidah-kaidah yang ada. Fokus perhatinnya tidak
diarahkan kepada soal penerapan kaidah terhadap hukum yang telah diterapkan
oleh imammujtahidatau hubungan kaidah dengan masalahfuru’tetapi apa saja yang di anggap rasional dan terdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok
hukum syari’at Islam baik sesuai dengan masalah furu’ dalam berbagai
madhzab atau menyalahinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pembahasan ushul fiqh aliran jumhur ini bersifat teoritis tampa disertai contoh
dan bersifat murni karena tidak mengacu pada madzhab fiqh tertentu yang
sudah ada.44
Adapun dalalah menurut ushulmutakalliminialah terbagi menjadi dua yaitu dhahir dan nash, yang keduanya mengandung dalam kalimat yang terang
yaitu kalimat yang tidakmujmal.45
a.Dhahir, yaitu lafadz yang mengandungta’wilatau lafadz yang maknanya menunjukkan terhadap dalalah yangdzahiratau rajihitu dalalahnya muncul dalam pembahasan lughawi (bahasa) seperti ‘am terhadap segala macam
afrad-nya (satuannya) dan dari urf seperti dalalah shalat yang secara sah berupa ucapan dan perbuatan tertentu. Dzahir menurut ushul mutakallimin
sama artinya dengan konsep dzahir dan nash menurut Hanafiyah. Hukum
44Ibid,. 25.
45Abu Hamid al-Ghazali,Al-Mustasfa min ‘Ilmi al-Ushul(t.t.p, Syirkah Tiba’ah al-Fatanniyah,
37
dzahir ini adalah diamalkan sesuatu dengan mathlub-nya, tidak boleh meninggalkan kecuali adanya ta’wilyang benar.46
b.Nas, menurut ushul Mutakallimin adalah lafadz yang tidak mengandung ta’wil atau lafadz yang menunjukkan makna yang qat’i yang tidak ada
pemahaman lainnya. Bisa juga nash adalah lafadz yang seiring sejalan
diantaradzahirlafadz dan batinnya. Seperti nama Muhammad yang diartikan nama seseorang dan nash serupa denganmusaffarmenurut ushul Hanafiyah.47
Hukum nash ini adalah seperti qat’i harus diamalkan kecuali ada nasakh. Akan tetapi musaffar menurut ushul Hanafiyah tidak terlalu terkenal dalam
pandangan ushul Mutakallimin. Namun muhkam, menurut ushul
Mutakallimin adalah mengandung diantara nash dan dzahir yaitu lafadz-lafadz yang maknanya menunjukkan makna yang jelas dan terang. Adapun
as-Syafi’i sebagaimana dikatakan al-Ghazali menganggapdzahiradalah nas dimana nash itu terbagi menjadi nash yang menerima ta’wil dan nash yang
tidak menerimata’wil.48
2. Aliran Hanafiyah (Ahnaf) atau Fuqaha
Metode ini dicetuskan oleh imam Hanifah dan dikembangkan oleh
ulama’ Hanifah. Aliran ini juga disebut aliranfuqaha(ahli fiqh), karena sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan
46Wahab al-Zuhaily,Ushul fiqh, I(Damaskus: Dar al-Firk, 1986), 319
38
kaidah ushul fiqh Abu Hanifah dan para muridnya serta melengkapinya dengan
contoh-contohnya.49
Cara yang digunakan oleh aliran ini ialah istiqro’ (induksi), terhadap
imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan
yang mereka gunakan. Sehingga metode ini mengambil konklusi darinya.
Metode yang dipakai oleh aliran Hanafiyah dalam menyusun kaidah-kaidah,
ditempuh berdasarkan asumsi bahwa para imamnya terdahulu telah
menyandarkan ijtihad kepada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyah
tersebut. Jadi, mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah sebagai
cabang dari kaidah itu. Adapun yang mendorong mereka untuk membuktikan
kaidah-kaidah itu adalah beberapa hukum yang telah di-istimbath-kan oleh para imamnya yang bersandar kepadanya bukan hanya sekedar dalil yang
bersifat teoritis. Oleh karena itu, mereka banyak menyebutkan masalah furu’
dalam beberapa kitabnya. Pada saat yang lain mereka pun menaruh perhatian
serius terhadap kaidah ushuliyah tentang masalah-masalah yang telah
disepakati dan juga pada masalah furu’. Jadi, semata-mata perhatian mereka
tertuju kepada masalah ushul fiqh para imamnya yang diambil dari
masalah-masalah furu’ dalam melakukan istimbath. Dan ulama’ ushul Hanafiyah
membgi dalalah menjadi empat bagian, yaitu: dhahir, nash, musaffar, dan
39
muhkam.50 Dari urutan tersebut nampak dari status hukum dari yang kuat sampai kepada yang paling kuat.
a.Dhahir, ulama’ ushul mengartikandhahirdengan suatu lafadz atau kalam yang jelas maknanya. Kejelasan makna itu tercermin dari bentuk nash itu
sendiri, tampa memerlukan faktor luar dari nash itu dan bisa saja mengandung
ta’wil.51 Hukumdhahiradalah wajib qat’i diamalkan baik‘amadanya atau khas sebagaimana arti yang ditunjukkan lafadz itu kecuali ada dalil yang
meng-ta’wil-kannya. Jika dhahir berupa lafadz mutlak, maka harus diamalkan menurut kemutlakannya sampai ada dalil yang membatasinya
(qayyid) kemutlakannya dan jika dhahir itu berupa lafadz ‘am, maka harus diamalkan keumumannya, sampai ada dalil lain yang meng-takhsih-nya atau diamalkan menurut arti yang ditunjuki lafadz itu sampai adanya dalil yang
me-mansukh-kannya. Misalnya pembatasan terhadap kemutlakan kebolehan mengawini wanita. Kebolehan menikah dengan wanita tampa dibatasi
kemudian muncul ayat yang meng-takhsis-kannya dengan maksimal empat istri.52
b. Nash, para ushul Hanafiyah mengatakan bahwa nash adalah suatu lafadz yang lebih jelas dari dhahir, dimana kejelasan lafadz itu ditunjukkan oleh lafadz itu sendiri yang berasal dari radiksional dan tidak mungkin
mengandung pengertian lain dari lafadz itu juga bisa mengandung ta’wil.
50Abu Bakar Ibn Ahmad Ibn Sahal al-Sarakhsi,Ushul al-Sarakhsi, I (Beirut: Dar Kutub
al-‘ilmiyyah), 163.
51Ibid,. 164
40
Memang kelihatanya antara nash dan dhahir agak mirip akan tetapi sebenarnya berbeda. Bisa dikatakan nash adalah tindak lanjut dari dhahir
terhadap suatu makna lafadz. Hukum nash adalah sebagaimana hukum
dhahir, nash juga harus diamalkan menurut arti yang ditunjuk oleh nash tersebut sampai ada dalil yang meng-ta’wil-kannya, yaitu kalau lafadz itu
berupa lafadz mutlak harus diamalkan atas kemutlakannya sampai ada dalil
yang meng-takhsis-kannya atau diamalkan menurut arti yang ditunjukinya samsapi ada dalil yang me-mansukh-kannya.
c. Musaffar, pengertiannya adalah suatu lafadz yang terang petunjukannya kepada arti yang dimaksud dari susunan lafadz itu, yang lebih terang
disebanding nash dan dhahir dan tidak mungkin di-ta’wil-kan kepada yang lain akan tetapi dapat menerima nasakh (penghapusan) pada masa diutusannya Rasul. Hukum musaffar adalah wajib diamalkan sebagaimana penjelasannya terhadapnya, tidak mengandung kemungkinan untuk
dipalingkan dari makna dhahir-nya, kecuali kalau ada dalil shahih yang
me-nasakh-nya. Yang jelas hukum musaffar lebih qat’i dan kuat jika dibandingkan dengan nash dandhahir.53
d. Muhkam, para ushul Hanafiyah mengartikan muhkam dengan lafadz yang sangat terang petunjukannya dari susunan lafadz itu, dengan tidak menerima
pembatalan dan penggatiannya pada masa Rasul dan tidak sama sekali tidak
mengandungta’wil. Ia tidak mengandung ta’wil artinya tidak menghendaki
41
arti lain yang bukan arti formalnya. Karena ia dijelaskan dan ditafsiri dengan
penafsiran yang tidak mungkin membuka penakwilan baginya. Juga tidak
menerima penghapusan yang diambil adakalanya berupa kaidah hukum yang
bersifat asasi seperti pada kasus penuduh zina terhadap wanita baik-baik, dan
adakalanya dari hukum cabang seperti ibadah kepada Allah, mempercayai
Rasul-Nya dan kitab-Nya dan sebagainya.54
3. Metode Campuran
Metode cempuran ini adalah gabungan antara Mutakallimin dan
Hanafiyah. Metode yang ditempuh adalah mengombinasikan kedua aliran terdahulu dan yang telah dijelaskan di atas. Mereka memerhatikan
kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu, juga
memerhatikan penerapan terhadap masalah fiqh far’iyah dan relevansinya
dengan kaidah-kaidah itu.55 Kitab-kitab yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut:
a. Kitaban-Nizham, karangan al-Bazdawi.
b. Kitab al-Ahkam, karangan Mudhaoffaruddin al-Bagdadi al-Hanafi (694 H).
c. Kitabal-Tauhid, karangan Shadrus Shariah.
d. Kitabat-Tahrir, karangan al-Kamal bin Hamman.
54Ibid,. 324.
42
e. KitabJam’u al-Jawami’, karangan Ibnu Subki.
f. Kitab Irsyad litahqiqi al-Haqqi min al-Ilmi al-Ushul, karangan al-Syaukani (w. 1250 H).
g. Kitab Ushul Fiqh, karangan Khudari Bek (w.1927).
h. Kitab Al-Wushul ila Ilmi al-Wushul, karangan Syekh Muhammad
Abdurahman ‘Aid al-Mihlawi (w. 1920).56
E. Problem kebahasaan dalam Ushul Fiqh
Logika menempati posisi sangan sentral dalam dunia ushul fiqh, selain
mengacu pada wahyu verbal, rumusan kaidah ushul fiqh juga didasarkan pada
pijakan logika formal sehingga ia tidak mudah lekang dengan waktu lantaran
bisa selalu di-update sesuai konteks perkembangan masyarakat. Nalar berpikir merupakan intriksi dan ciri khan manusia yang dapat membedakan dirinya dari
makhluk lain. Karena dalam ilmu mantiq disebutkan, al-insanu hayawan an-nathiq(manusia adalah hewan yang bisa berkata-kata, sekaligus berpikir).57
Sebenarnya logika induksi digunakan untuk menarik kesimpulan dari
kasus-kasus individual yang mempunyai jangkauan sangat spesifik menjadi
kesimpulan yang sangat umum. Sedangkan logika deduktif adalah sebaliknya,
yakni digunakan untuk menarik dari kesimpulan yang bersifat hal yang bersifat
umum menjadi kasus yang bersifat individual. Dalam tradisi pemikiran ilmu
56Ibid,. 19.
57Abu Yazid.Instrument Ijtihad “logika induktif-deduktif ilmu ushul fiqh”bagian 1, Tahwirul
43
ushul fiqh, penggunaan logika induktif sering direppresentasikan oleh mazhab
Ahnaf, sedangkan logika deduktif banyak digunakan oleh mahzab
Muktakallimin yang di logomotifi oleh imam Al-Syafi’i.58
Jika mazhab tersebut pertama menginduksi kasus-kasus hukum secara
spesifik menjadi teori dan kaidah-kaidah penalaran hukum secara umum maka
mazhab tersebut kedua sebaliknya. Mereka sering mendeduksi kaida-kaidah
umum ijtihad tentang pengalian hukum terhadap kasus- kasus hukum yang
bersifat khusus. Dengan perkataan lain, mazhan Ahnaf dalam paradigma fikih
berangkat dari kasus-kasus hukum yang dihadapi masyarakat secara khusus,
kemudian ditarik kesimpulan menjadi postulat-postulat berupa kaidah
istimbath hukum. Sebaliknya, karangangan mutakallimin segaja membangun
kaidah-kaidah ushuliyah secara mandiri kemudian diterapkan dalam
pengimpulan hukum-hukum secara khusus yang terjadi ditengah masyarakat.
Preseden yang ditampilkan kedua mazhab besar ini menunjukkan
logika induktif dan deduktif merupakan cara kerja yang khas dalam dunia
pemikiran ushul fiqh. Pada tahapan perkembangan selanjutnya pemaduan
keduan jenis pemikir logis ini tidak dapat dihindarkan seseai tingkat
perkembangan masyarakat dan dunia ilmu pengetahuan. Pada akhirnya, cara
kerna para juris memiliki asal-usul yang sama dengan mengetangahkan dan
58Ibid,.Instrument Ijtihad “logika induktif-deduktif ilmu ushul fiqh”bagian II, Tahwirul Afkar,
44
mengembangkan logika induktif dan deduktif secara terintegrasi untuk
menemukan prekskripsi hukum.59
Selain kedua cara berpikir logis ini sesungguhnya terdadap jenis lain
dalam tradisi pemikiran ushul fiqh, yaitu logika dialektif. Logika ini digunakan
untuk mengompromikan perb edaan pendapat antara juris yang satu dengang
yang lain. Seperti kita tahu bahwa dalam hazanah fiqh syarat dengan
diferensiasi pendapat hukum (ikhtifaf), bukan pertentangan (khilaf). Dalam
kondisi seperti ini antara tesis yang satu dengan yang lain lalu bisa ditarik
sintesi sebagai upaya dialektika dalam perumusan hukum Islam.
Karena itu dalam terminology ilmu ushul fiqh lalu popular apa yang
sebut at-tarjih, yakni upaya seleksi dan memilih pendapat-pendapat yang prosesistidlal-nya di nilai lebih mendekati kebenaran. Logika lain yang justru lebih mengkristal dalam tradisi pemikiran uhul fiqh adalah logika analogi atau
dalam bahasa arabnya disebut qiyas. Logika ini dalam ushul fiqh diposisikan sebagai sumber hukum aqli sejajar dengan jenis-jenis logika lain semisal
istihsan, maslahatul mursalah urf, istishafdan lain-lain.
Lebih jelasnya logika induktif dan deduktif mempunyai peran sangat
penting dalam proses pengambilan kesimpulan hukum berdasarkan mekanisme
istidlal. Kedua jenis logika ini merupakan cara kerja yang khas dalam dunia