SEJARAH KH. MASJKUR DALAM PERJUANGAN
KEMERDEKAAN INDONESIA (1938-1945 M)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh
Kurnia Sukma
NIM: A82212144
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul tentang “Sejarah KH. Masjkur dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1938-1945 M)”. Adapun permasalahan yang dibahas pada penelitian ini, meliputi; (1) Siapa KH. Masjkur?, (2) Bagaimana kiprah KH. Masjkur dalam organisasi Nadhatul Ulama?, (3) Bagaimana peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia?.
Untuk menjawab permasalah tersebut, penulis menggunakan metode sejarah dengan tahapan heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan historis. Selain itu penulis juga menggunakan teori peran dan teori kepemimpinan kharismatik Max Weber.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ...iv
TRANSLITERASI... v
MOTTO ...vi
PERSEMBAHAN ...vii
KATA PENGANTAR ...viii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI...xii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian... 5
D. Kegunaan Penelitian... 5
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritis... 6
F. Penelitian Terdahulu ... 7
G. Metode Penelitian... 8
BAB II: BIOGRAFI KH. MASJKUR
A. Riwayat Hidup KH. Masjkur ... 13
B. Karir KH. Masjkur ... 19
BAB III: KIPRAH KH. MASJKUR DALAM ORGANISASI NADHATUL ULAMA A. Perkembangan Nadhatul Ulama Sampai Jepang Datang ... 38
B. Peran Masjkur Dalam Organisasi Nadhatul Ulama ... 42
C. Peran Organisasi Nadhatul Ulama Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia ... 48
BAB IV: PERAN KH. MASJKUR DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA A. Perjuangan KH. Masjkur dalam Keprajuritan Indonesia ... 51
1. Syuu Sangi-kai (DPRD zaman Jepang) ... 51
2. PETA... 55
3. Hizbullah dan Sabilillah ... 56
B. Perjuangan KH. Masjkur dalam BPUPKI dan PPKI ... 58
C. Peran KH. Masjkur dalam Piagam Jakarta di Konstituante ... 69
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan... 72
B. Saran... 73
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penjajahan, bagaimanapun bentuk dan dimanapun tempatnya selalu saja membawa penderitaan, baik lahir terutama batin. Dalam perspektif ajaran agama Islam, penjajahan atau yang disebut dengan kolonialisme (dalam segala bentuknya) termasuk perkara munkar (keji/kejahatan) sebagai kebalikan dari ma’ruf(kebijakan/ perdamaian). Dimana setiap umat Islam (pria dan wanita) secara individual maupun kolektif berkewajiban melengkapinya.
Karena termasuk perkara munkar yang harus dilenyapkan sejak semula, sikap orang Islam maupun umat Islam dimanapun dan dalam zaman kapanpun melandasi mereka sikap mereka melawan penjajah berdasar ajaran Rasulullah SAW.
Di Indonesia, penjajahan dimata umat Islam adalah orang-orang kafir yang anti Islam dan itu pula sebabnya dimanapun tempatnya disitu umat Islam berada dan terjajah selalu saja muncul reaksi perlawanan.1
Kondisi umat Islam yang tidak sama dalam setiap periode perjuangan yang ada membuat sikap perlawanan yang di munculkan juga bervariasi dan beraneka ragam. Adakalanya melalui pemberontakan dalam perjuangan kemerdekaan melalui pergerakan politik, melalui jalur dakwah maupun perang kebudayaan dan melalui
2
perjuangan di bawah tanah. Dalam kondisi yang paling burukpun, sikap perlawanan terhadap penjajahan dilakukan secara perorangan, bahkan kelihatan seolah-olah diam seribu bahasa. Namun, dalam hati bergejolak sikap perlawanan yang membara.
Apapun keragaman tersebut, pada dasarnya tetaplah tidak menyimpang dari dasar ajaran agama Islam itu sendiri tentang kewajiban dalam mengantisipasi setiap bentuk kemungkaran yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam.
Tiga setengah abad (bahkan jika dihitung sejak zaman Portugis, penjajahan di Indonesia justru berlangsung selama 433 tahun, yakni sejak 1511-1945). Belum lagi Agresi Militer Belanda II yang berakhir pada tahun 1949, begitulah sejarah mencatat masa-masa dimana kehidupan masyarakat bangsa Indonesia banyak diwarnai dengan pergerakan-pergerakan dan perjuangan di dalam rangka melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Melihat sejarah Indonesia baik berupa perjuangan dan kemerdekaannya, fakta sejarah dalam bentuk apapun menyebutkan bahwa betapa keberadaan serta peranan dan sumbangsih umat Islam yang dimotori oleh para ulama adalah sangat besar. Bahkan menurut penuturan para pelaku-pelaku sejarah (para ulama dan pembantu-pembantunya yang sudah wafat maupun yang masih hidup) adalah diramalkan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah tercapai, bila mengingat keadaan rakyat dimasa itu yang serba kekurangan, akibat kekejaman penjajah.
3
ulama pendahulu dengan disertai sugesti pensakralkan peperangan melawan penjajah.2Maka kemerdekaan itu tidak luput dari hasil perjuangan para ulama.
Karenanya tidak heran jika dikemudian hari para ahli sejarah Indonesia menilai ketidaksempurnaan pemaparan sejarah nasional Indonesia tanpa disertai keberadaan dan perkembangan peranan umat Islam di dalamnya. Sebagai salah satu contoh yang dikemukakan oleh HM. Yunan Nasution dalam makalahnya pada seminar tahun 1984 di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta bahwa: “… Apabila
ditelusuri peranan ulama dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, dapatlah disimpulkan bahwa pada umumnya para ulama mendorong, menggerakkan dan menjiwai perjuangan tersebut sejak zaman atau periode meretas, merintis hingga sampai dengan tercetusnya kemerdekaan Indonesia menjadi satu kenyataan”.3
Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa, umat Islam di bawah komando para ulama telah memberikan warna yang sangat terang dalam kanvas sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, utamanya dalam perlawanan menentang penjajahan Belanda, merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik saat seluruh bangsa mempertaruhkan hidup dan mati untuk tetap tegaknya kemerdekaan Indonesia. Begitu mendalamnya torehan sejarah yang dipahat umat Islam sepanjang masa imperialisme di bumi nusantara ini, sehingga kemanapun kita mencoba melacak jejak-jejak perjuangan dimasa penjajahan maka senantiasa akan menemukan pijaran-pijaran api semangat Islam dimana-mana.
4
Sebagai kilas balik sejarah, uraian tersebut diatas menjelaskan bahwa keunggulan persenjataan bangsa-bangsa penjajah selama dua ratus tiga puluh lima tahun ternyata tidak mampu secara politik menguasai bumi nusantara apalagi mengendalikannya. Dari sini sebabnya Islam dan umat Islam menjadi penghalang bagi setiap laju imperialisme di Indonesia.
Bebicara tentang perjuangan umat Islam, penulis ingin sekali mengangkat sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sehingga penulis memasukkan tokoh yang mengalami sendiri proses dimana memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari awal sampai akhir. Disini penulis mengangkat judul Sejarah KH. Masjkur dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1938-1945 M), karena penulis sangat tertarik dengan pengabdian KH. Masjkur yang merupakan tokoh nasional dan mempunyai peran kesejarahan sangat besar baik saat perjuangan fisik melawan Belanda maupun perjuangan pergerakan nasional di era revolusi.
B. Rumusan Masalah
Dari deskripsi latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan permasalahan yang akan menjadi pokok pembahasan pada penelitian ini. Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Siapa KH. Masjkur?
2. Bagaimana kiprah KH. Masjkur dalam organisasi Nadhatul Ulama?
5
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui biografi KH. Masjkur.
2. Mengetahui kiprah KH. Masjkur dalam organisasi Nadhatul Ulama.
3. Mengetahui peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. D. Kegunaan Penelitian
Pada dasarnya penelitian ini memiliki arti penting bagi penulis untuk mengintegrasikan keseluruhan mata kuliah Sejarah dan Kebudayaan Islam secara ilmiah. Selain itu, penelitian ini juga mempunyai kegunaan lain yang penjelasannya sebagai berikut:
1. Secara akademik
Sebagai upaya menambah dan memperluas wawasan serta pengetahuan tentang sejarah Indonesia. Di samping itu, KH. Masjkur adalah tokoh yang sangat penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
2. Secara praktis
6
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini yaitu pendekatan yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang terjadi di masa lampau melalui pendekatan historis. Pendekatan ini diharapkan bisa mengungkapkan latar belakang sejarah awal perjuangan sampai peranan yang dilakukan oleh KH. Masjkur.
Selain itu penulis juga menggunakan teori peran dan teori kepemimpinan. Menurut Soerjono Soekanto, peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan.4 Peranan juga merupakan bagian dari tugas utama yang harus dilakukan dan terdapat sesuatu yang diharapkan orang lain melalui proses sosial, yaitu hubungan timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama.5
Penulis juga menggunakan teori kepemimpinan kharismatik, jenis kepemimpinan ini pertama kali diperkenalkan oleh ahli sosiologi Jerman yakni Max Weber. Kepemimpinan kharismatik didefinisikan oleh Weber berdasarkan persembahan pemimpin terhadap para pengikut dengan kesucian, kepahlawanan, karakter khusus seorang individu dan juga pola normatif atau keteraturan yang telah disampaikan. Pemimpin kharismatik muncul pada waktu krisis atau keadaan yang sukar, termasuk jika ada masalah-masalah ekonomi, agama, ras, politik dan sosial.6
4
Soerjono Soekanto,Sosiologi Suatu Pengantar(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 243.
5Soekanto,Sosiologi: Ruang Lingkup dan Aplikasinya, 100.
6Anthony Giddens,Kapitalisme dan Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx Durkheim dan
7
Teori ini bisa dipakai untuk menganalisis beberapa jenis pemimpin, termasuk pemimpin agama, spiritual dan politik. Dalam rangka untuk mengungkapkan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar menghasilkan penjelasan kausal mengenai pelaksanaan dan akibat- akibatnya. Ia juga mengatakan bahwa:“ciri yang mencolok dari hubungan sosial adalah kenyataan bahwa hubungan-hubungan tersebut bermakna bagi mereka yang mengambil bagian didalamnya.7
Yang dikenal dengan teori tindakan”.Selanjutnya dia juga mengatakan bahwa: “ciri
penting kependekatan (Kiai) adalah spesialis sekelompok orang tertentu dalam menjalankan kegiatan penyembahan yang bersifat terus-menerus, yang senantiasa terkait dengan norma-norma, tempat-tempat dan saat-saat tertentu pula”.8
Dari uraian tersebut penulis gunakan untuk mengetahui bagaimana KH. Masjkur menjalankan fungsinya sebagai seorang Kiai, pejuang, tokoh politik, panutan dan sebagai seorang pemimpin. Menurut Weber ada tiga kepemimpinan yang dimiliki oleh para pemimpin agama.
F. Penelitian Terdahulu
Untuk menunjang hasil penelitian, penulis melakukan penelusuran terkait tulisan-tulisan yang mengenai judul diatas. Setahu penulis, hanya ada beberapa tulisan ilmiah yang membahas tentang judul tersebut. Tulisan pertama adalah Skripsi karya Muhammad Ali Dimyati yang berjudul“KH. Masjkur Dalam Laskar Sabilillah
7
Tom Campbell,Tujuh Teori Sosial Sketsa, Penilaian dan Perbandingan, terj. F. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 199.
8Betty R. Scraft,Kajian Sosiologi Agama, terj. Machun Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995),
8
(1945-1949)” di UIN Sunan Ampel Surabaya. Seperti yang ditunjukkan judulnya, tulisan ini membahas tentang peranan K.H. Masjkur dengan fokus pembahasan dalam Laskar Sabilillah.
Karya selanjutnya yang membahas tentang judul tersebut adalah “Peranan KH. Masjkur Dalam Mengembangkan Pendidikan Islam di Malang”. Skripsi ini membahas tentang peran KH. Masjkur dalam memberikan suatu dorongan terhadap pemuda-pemudi muslimin dalam dunia pendidikan di kota Malang.
Penulis juga menemukan buku yang membahas tentang judul tersebut yakni buku yang berjudul “Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik”, buku ini berisi tentang profil KH. Masjkur dan mantan menteri-menteri agama dulu dan juga perjalanannya didunia perpolitikan.
Berbeda dengan penelitian-penilitian diatas, pada kali ini penulis ingin membahas tentang peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan fokus pembahasan pada peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan juga kiprah KH. Masjkur dalam organisasi Nadhatul Ulama tahun 1938-1945.
G. Metode Penelitian
9
1. Heuristik
Heuristik adalah suatu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Sejarah tanpa sumber maka tidak bisa bicara. Maka sumber dalam penelitian sejarah merupakan hal yang paling utama yang akan menentukan bagaimana aktualitas masa lalu manusia bisa dipahami oleh orang lain.9
Dalam tahap ini peneliti berusaha mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan melalui studi kepustakaan, yaitu bertujuanmengumpulkan data dan informasi dengan bantuan macam-macam material yang terdapat di perpustakaan.10
Sumber primer penulisan ini berasal dari buku arsip milik Negara yaitu
“Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Dibuku tersebut dijelaskan peran KH. Masjkur dalam anggota BPUPKI.
Sumber sekunder diperoleh melalui riset kepustakaan meliputi buku-buku karangan ilmiah yang ditulis oleh para ahli yang relevan dengan masalah yang diteliti. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa melalui penelusuran kepustakaan, dapat dipelajari bagaimana mengungkapkan buah pikiran secara sistematis dan kritis. Di samping itu data juga diperoleh dari internet yang terkait
10
dengan permasalahan-permasalahan yang dikaji. Sumber sekunder digunakan untuk membantu dalam melengkapi data yang tidak diperoleh dari sumber primer. 2. Kritik Sumber
Kritik sumber adalah satu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh agar memperoleh kejelasan apakah sumber tersebut kredibel atau tidak, dan apakah sumber tersebut autentik apa tidak. Pada proses ini dalam metode sejarah biasa disebut dengan istilah kritik intern dan kritik ekstern.
a. Kritik intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup kredibel atau tidak. Di dalam buku yang berjudul KH. Masjkur, sebuah biografi karya Soebagijo I.N. yang bisa dikatakan sumber kredibel atau dapat dipercaya. Karena buku tersebut dibuat saat KH. Masjkur masih hidup. Dengan kata lain saat buku itu dibuat KH. Masjkur sendiri dapat mengoreksi kebenarannya.
b. Kritik ekstern adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik atau tidak. Dengan kata lain peneliti wajib meneliti sumber secara seksama agar bisa dipercaya kebenarannya.
3. Interpretasi
11
Dalam fase ini, peneliti akan menginterpretasikan atau menafsirkan fenomena yang sudah diteliti tentang sejarah KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan menggunakan beberapa sumber yang sudah terkumpul dan memberikan perbandingan atas sumber yang sudah ada.
4. Historiografi
Historiografi adalah menyusun atau merekonstruksi fakta-fakta yang telah tersusun yang didapatkan dari penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber sejarah dalam bentuk tertulis. Dalam bahasa lain, pada tahap ini penulis melakukan pemaparan hasil penelitian secara sistematis data sejarah menjadi kisah.11
H. Sistematika Bahasan
Agar dalam penyusunan skripsi ini dapat terarah dan sesuai dengan apa yang direncanakan atau diharapkan oleh peneliti untuk mengungkapkan alur bahasan sehingga dapat diketahui logika penyusunan dan koherensi antara satu bagian (bab dan sub-bab) dengan bagian (bab dan sub-bab) yang lain maka disusunlah sistematika pembahasan sebagai berikut.
Bab I antara lain: Pendahuluan, Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Kegunaan penelitian, Pendekatan dan kerangka teoritis, Penelitian terdahulu, Metode penelitian dan Sistematika bahasan.
12
Bab II tentang biografi KH. Masjkur yang berisi tentang informasi pribadi, pendidikan, karir dalam politik dan pemerintahannya.
Bab III tentang kiprah KH. Masjkur dalam organisasi Nadhatul Ulama yang dimulai dari awal bergabung dengan organisasi Nadhatul Ulama sampai ditunjuk menjadi ketua umum PBNU.
Bab IV tentang peran KH. Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dimulai dari ditunjuk sebagai anggota PETA, BPUPKI, pengurus hizbullah sampai sejarah beliau dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
BAB II
BIOGRAFI KH. MASJKUR
A. Riwayat Hidup KH. Masjkur
KH. Masjkur lahir di Singosari, Malang, tahun 1900 M/ 1315 H.1 Ia
dilahirkan dari pasangan Maksum dengan Maemunah. Maksum adalah seorang
perantau yang berasal dari sebuah dusun di kaki gunung Muria, Kudus, Jawa
Tengah. Ia datang ke Singosari memenuhi perintah ibunya untuk mencari ayahnya
yang pergi meninggalkan kampung halaman.2 Maksum sebagai anak laki-laki
yang melajang masa remaja tidak hendak membantah perintah sang ibu. Baginya,
apa yang diperintahkan ibundanya, merupakan suatu keharusan yang tak dapat
dan tak perlu dibantah lagi.3
Pada masa itu, orang masih belum banyak yang berani ke luar kampung
halaman, berdagang seorang diri, mengembara di kota orang. Namun ayah
Maksum dan teman-temanya meninggalkan desa karena ikut dalam gerakan
perlawanan terhadap Belanda.
Kemudian, di Singosari, Maksum tinggal di pesantren yang dipimpin kiai
Rohim. Dan menjadi santri di pesantren tersebut. Dalam waktu yang singkat,
Maksum sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang santri yang rajin, yang
cerdas dan juga tekun serta suka menolong sesama rekannya. Karena itu tidak
Soebagijo I.N,K.H. Masjkur(Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), 3.
✁
Azyumardi Azra (ed),Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik(Jakarta: PPIM, 1998), 56.
3
✂ ✄
anehlah bahwa Maksum menjadi kesayangan kiai Rohim, sampai akhirnya dia
diambil menantu oleh sang kiai, dikawinkan dengan anak perempuannya,
Maemunah.
Pasangan Maksum dengan Maemunah inilah yang kemudian melahirkan
Masjkur bersaudara. Mereka itu ialah: Masjkur (tertua), Toyib, Hafsah, Barmawi,
Toha dan Hassan. Dalam perkembangannya, keenam bersaudara itu berhasil
menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan Madinah.4
Sepulang haji, Masjkur memulai proses pendidikannya di dunia pesantren.
Ia belajar pada tidak kurang dari tujuh pesantren terkemuka di berbagai daerah
dengan konsentrasi keilmuan yang berbeda-beda.masjkur kecil diantarkan
ayahnya ke pesantren Bungkuk Singosari, di bawah pimpinan kiai Thohir. Selesai
belajar di pesantren Bungkuk, Masjkur pindah ke pesantren Sono, yang terletak di
Bundaran Sidoarjo, untuk belajar ilmu sharaf dan nahwu. Empat tahun kemudian
pindah ke pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, untuk belajar ilmu fikih.
Selanjutnya, Masjkur pindah ke pesantren Tebuireng Jombang untuk belajar ilmu
tafsir dan hadits pada kiai Hasyim Asy’ari selama dua tahun. Setelah menamatkan
pelajaran di Tebuireng, Masjkur berangkat ke pesantren Bangkalan Madura untuk
belajar qiraat al-Qur’an pada kiai Khalil selama satu tahun. Dan kemudian pindah
ke pesantren Jamasaren di Solo.5
Selama itu pula, Masjkur mendapat pengalaman bahwa kehidupan di
pesantren pada waktu dulu diatur sedemikian rupa oleh kiai masing-masing,
sehingga para santri itu selalu saling tolong-menolong baik dalam hal rohani
☎
Mastuki H.S. at el. Intelektualisme Pesantren(Jakarta: Diva Pustaka,2003), 95.
5
✆ ✝
maupun jasmani, lahir dan batin. Ada lagi suatu hal yang berhasil diamati
Masjkur. Yakni bahwa para ulama pada masa dahulu sangat kuatnya semangat
non-koperator terhadap musuh (Belanda), maka para santrinya tidak dibenarkan
untuk meniru tingkah laku dan tabiat orang asing itu. Karenanya, menggunakan
bahasa Belanda pun dilarang keras dan berpakaian sebagai orang Eropa sama
sekali tidak dibenarkan.
Sedangkan pesantren yang memiliki makna tersendiri bagi Masjkur adalah
pesantren Jamsaren, karena waktu itu sudah mulai menginjak masa dewasa. Di
sini pula dia mulai berkenalan dengan teman-temannya yang dikemudian hari
menjadi ulama terkenal dan pemimpin masyarakat di daerah masing-masing,
seperti kiai Musta’in (Tuban), kiai Arwan (Kudus), kiai Abdurrahim (adik kiai
Abdul Wahab Hasbullah, Jombang).6
Selain itu, di pesantren Jamsaren ini perkembangan berfikir Masjkur
mengalami kemajuan pesat. Dia mulai menyadari bahwa umat Islam kalah maju
dengan golongan lain, karena tidak dapat mengikuti zaman. Banyak di antara
sesama rekannya santri yang hanya pandai menulis dan membaca huruf arab,
tetapi tidak mampu membaca huruf latin. Padahal, ketika itu huruf latin sudah
banyak di pelajari orang. Di sekolah-sekolah para murid sudah di beri pelajaran
huruf latin, di samping huruf jawa. Buku-buku ilmu pengetahuan, yang berisi
dongeng dan cerita banyak di tulis dalam huruf latin. Tetapi, semua itu bagi
6
✞6
mereka yang paham akan huruf latin pasti buku yang ia miliki hanya tertutup saja
dan tidak ada artinya sama sekali.7
Karena itu tergeraklah hati Masjkur dan beberapa orang temannya santri di
Jamsaren untuk belajar membaca dan menulis huruf latin. Dia mendengar kabar
bahwa di kota ada seorang janda tua, berkebangsaan Indo-Belanda, mau dan
bersedia mengajar mereka yang ingin membaca dan menulis latin. Begitulah
Masjkur dan beberapa orang temannya mulai belajar dengan beberapa temannya
tadi sampai akhirnya dia cukup mahir menulis dan membaca huruf latin.
Setelah dia menyelesaikan pelajaran di Jamsaren, Masjkur melanjutkan
belajar di pesantren Kresek, Penyosokan Cibatu Jawa Barat, setahun lamanya.8
Selama itu pula dia berhasil menjalin tali persahabatan dengan beberapa ulama
terkemuka di sana seorang diantaranya ialah Jalil al-Muqadasih yang kemudian
pindah ke Makkah, mendirikan madrasah di sana dan bermukim di Makkah
sampai akhir hayatnya. Masjkur berkelana dan menjelajah tanah Priangan,
berpindah-pindah dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain,
membandingkan keadaan pondok yang satu dengan pondok yang lain dan setelah
dia merasa puas serta cukup mengadakan penelitian, dia pun lalu pulang kembali
ke Singosari, Malang, dengan membawa cita-cita serta gagasan yang mantap dan
matang.
Setibanya kembali di kampung halaman, dia berniat hendak mengamalkan
segala apa yang telah dipelajarinya dengan bertekad membangun pondok
7
Azra,Menteri-Menteri Agama RI, 57.
8
✟ ✠
pesantren. Di sana dia hendak memberi pelajaran kepada anak-anak di sekitarnya
terutama mengenai ajaran-ajaran agama.
Pada tahun1923 di Singosari dia mulai membuka pondok madrasah yang
di beri nama Misbachul Wathon. Yang berarti pelita tanah air. Madarasah itu
mula-mula masih sederhana saja, baru menerima beberapa murid laki-laki karena
pada waktu itu memang belum lazim anak perempuan belajar mengaji di sekolah
bersama dengan anak laki-laki.9
Dengan tekun serta telatennya madrasah yang didirikan itu dibinanya,
meskipun dia tahu dengan pasti halangan dan rintangan pasti datang terutama dari
pihak penguasa, yaitu asisten wedana atau camat setempat.
Hampir setiap hari Masjkur mendapat gangguan dan sering kali dipanggil
untuk datang ke kantor kecamatan untuk ditanya pelajaran apa saja yang diberikan
kepada murid-muridnya. Peristiwa tersebut menarik perhatian masyarakat
setempat. Dan rakyat yang sebagian besar terdiri dari orang awam terpengaruh
pula oleh keadaan yang demikian. Pada umumnya mereka takut mengirim
anak-anaknya ke madrasah yang dipimpin oleh Masjkur.
Masjkur menyadari bahwa tiap usaha dan perjuangan selalu harus
menghadapi tantangan. Dengan segala ketabahan dia berusaha agar madrasah
yang dipimpinnya tetap bisa bertahan dan berdiri meskipun jumlah muridnya
tidak begitu banyak. 10Akhirnya kiai Masjkur meminta bantuan kepada kiai
Wahab Hasbulloh. Dan Wahab Hasbulloh menganjurkan kepadanya, agar
madrasahnya yang di Singosari diubah namanya dari Misbachul Wathon menjadi
9
Ibid., 16.
10
✡8
madrasah Nadhatul Wathon (yang artinya kebangunan tanah air), sekaligus
menjadi cabangNadhatul Wathondari Surabaya.11
Cara pengajian, cara pengajaran agama, cara penyampaian ajaran agama
disesuaikan dengan kehendak zaman, dengan cara yang sudah lazim dilakukan
madrasah Nadhatul Wathon Surabaya. Sekembalinya di Singosari dia pun
menyatakan niatnya kepada para muridnya dan sejak saat itulah madrasah
Misbachul Wathonberganti nama menjadi madrasahNadhatul Wathon.
Kiai Wahab Hasbullah kemudian datang ke Singosari dan membawa
Masjkur ke kantor kewedanan, sambil memberitahukan bahwaMisbachul Wathon
sejak itu merupakan cabang dari Nadhatul Wathon di Malang. Sejak saat itu
pihak alat pemerintah Belanda tidak lagi mengungkit-ungkit serta memanggil
Masjkur agar datang ke kantornya. Dia kini dibenarkan bebas merdekan memberi
pelajaran kepada muridnya, tidak mendapat gangguan atau rintangan.
Masjkur mengucap syukur dan perkembangan madrasah yang
dipimpinnya mengalami kemajuan yang cukup. Masyarakat disekitar setelah tidak
lagi melihat adanya adanya panggilan-panggilan oleh kantor kewedanan dan
mulailah mereka berani mengirimkan anak-anaknya untuk bersekolah di madrasah
itu.12Masjkur begitu penasaran dan menyelidiki penyebab dia tidak dipanggil lagi
oleh pihak Belanda. Dan ternyata anggota pengurus Nadhatul Wathon Mas
Sugeng adalah seorang sekretaris Pengadilan Tinggi Pemerintah Hindia Belanda.
Pada usia 27 tahun Masjkur menikah dengan cucu kiai Tohir di Bungkuk
tempat pertama kali dia menjadi santri. Tetapi, waktu itu Haji Maksum meninggal
11
Ibid., 19.
12
☛9
dunia dan dengan sendirinya beban orang tua dilimpahkan kepada bahu Masjkur
sebagai anak pertama. Dialah yang di tugaskan membesarkan, mengasuh dan
mengawinkan adik-adiknya.13
Sejak kecil Masjkur sudah dididik untuk hidup sederhana dan dia
menyaksikan sendiri bagaimana kedua orang tuanya hidup tirakat sepanjang
ajaran Jawa dan agama Islam. Segala hasil kerja orang tuanya di pergunakan
untuk kepentingan anak-anak agar mereka itu nanti dapat maju dalam kehidupan.
Ajaran kedua orang tuanya itu diterapkan kepada adik-adiknya dan mereka di ajari
hidup serba hemat, apa adanya, rajin dan tetap beribadah kepada tuhan.
Setelah 16 tahun hidup bersama dengan cucu kiai Thahir (istrinya).
Masjkur ditinggal meninggal dunia tanpa diberi keturunan oleh istrinya. Pada
tahun 1939, atas saran dari kiai Khalil dari Genteng, Masjkur menikahi adik
almarhumah istrinya yang bernama Fatimah. Setahun kemudian, pada 1940
pasangan itu dikaruniai seorang putra yang diberi nama Syaiful Islam.14
B. Karir KH. Masjkur
Ketika masih di Singosari, Masjkur sudah aktif di Nadhatul Ulama sebagai
ketua Cabang Malang, yang kala itu merupakan cabang ke 6. 15Awal mula
perkenalan Masjkur dengan Nadhatul Ulama terjadi ketika ia meminta nasehat
kiai Wahab Hasbullah tentang adanya gangguan-gangguan dari pemerintah
setempat terhadap pesantren yang dipimpinnya. Kiai Wahab menganjurkan agar
Masjkur mengubah nama pesantrennya menjadi pesantren Nadhatul Wathon yang
13
Azra,Menteri-Menteri Agama RI, 58.
14
Mastuki,Intelektualisme Pesantren, 96.
☞✌
✍ ✎
merupakan cabang dariNadhatul WathonSurabaya. Sejak saat itu Masjkur sering
datang ke Surabaya untuk mengadakan pertemuan dengan kelompok Taswirul
Afkar yang membahas masalah agama, dakwah dan sosial.
Masjkur merasa memperoleh pengalaman baru dengan pertemuan tersebut.
Ia berkenalan langsung dengan para pemimpin Taswirul Afkar, seperti kiai Mas
Alwi, kiai Mas Mansur dan kiai Ridwan. Kelompok inilah yang kemudian
memprakarsai keikutsertaan beberapa ulama “tradisional” dalam kongres Islam
sedunia di Hijaz dan membidani lahirnya Nadhatul Ulama. Karena Masjkur sering
terlibat dalam kelompok tersebut,dia pun ditunjuk menjadi ketua Nadhatul Ulama
cabang Malang. Aktivitas Masjkur di Nadhatul Ulama semakin hari semakin
meningkat. Pada 1938 Masjkur diangkat sebagai salah seorang Pengurus Besar
Nadhatul Ulama yang bermarkas di Surabaya. Sejak itu, Masjkur hampir 12 tahun
sering pulang pergi dari Malang ke Surabaya.16
Pada masa pendudukan Jepang, Masjkur terlibat dalam laskar hizbullah. Ia
mengikuti latihan kemiliteran yang diadakan di Cisarua Bogor pada akhir Februari
1945. Selain itu Masjkur juga ikut latihan khusus bagi ulama yang diadakan
Jepang pada Juli 1945. Masjkur saat itu menjadi utusan dari keresidenan Malang
bersama dengan Haji Nuryasin dan H.M. Kholil. Selepas latihan, Masjkur
diangkat menjadi anggota Syu Sangi-kai (semacam DPRD).17
Menjelang kemerdekaan, Masjkur diangkat menjadi anggota Badan
Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Bersama-sama Kahar Muzzakkir, Agus Salim dan Wahid Hasyim, ketika membahas
16
Soebagijo,KH. Masjkur, 18.
17
✏ ✑
rancangan Undang-Undang Dasar, Masjkur termasuk anggota sidang yang
mengusulkan agar Islam menjadi dasar negara yang akan dibangun.
Saat pihak Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Segera setelah itu,
barisan tentara suka rela lainnya dibentuk, kali ini hanya merekrut kalangan
muslim saja, dan barisan ini diberi nama dengan hizbulloh (tentara Allah).
Kelompok barisan ini adalah salah satu bagian Masyumi sebagai satu-satunya
partai Islam yang ada pada saat itu. Partai Masyumi membentuk komandonya
sendiri yang disebut sebagai pembelaan. Pemimpin bagian ini dipercayakan
kepada Masjkur yang juga sudah pengalaman memimpin hizbulloh pada masa
Jepang.
Belakang Masjkur juga diangkat sebagai anggota Dewan Pertahana
Negara. Masjkur dalam dewan tersebut adalah utusan Masyumi. Dewan
Pertahanan Negara ini dibentuk Presiden karena dinyatakan negara dalam keadaan
bahaya, setelah terjadi huru-hara dan bentrokan senjata di daerah Solo yang
diikuti dengan culik menculik yang dinilai pemerintah menjurus kearah anarki.
Dewan Pertahanan Negara terdiri dari Perdana Menteri, Menteri Pertahan,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Panglima Besar
dan tiga orang wakil organisasi rakyat. Anggota-anggota Dewan Pertahanan
Negara yang bukan menteri ialah Sarjono (PKI), Sumarso (Pesindo) dan kiai Haji
Masjkur (hizbullah/Masyumi) sedangkan, yang menjadi sekretarisnya ialah Mr.
Ali Sastroamijoyo.18
18
✒✒
Dewan Pertahanan Negara diberi kekuasaan dalam membuat
peraturan-peraturan yang disamakan dengan undang-undang dan tindakan-tindakan lain
tersebut.19Maksudnya ialah untuk memusatkan mengkoordinasi dan mempercepat
jalannya pemerintahan.
Saat menjadi anggota Dewan Pertahanan Negara, tepatnya pada November
1947 Masjkur dipanggil Bung Karno untuk segera datang ke Yogyakarta.20
Setibanya di Yogyakarta Masjkur tidak langsung menuju ke Gedung
Agung, tetapi terlebih dahulu datang ke kantor pusat Masyumi untuk melapor
sekaligus mencari informasi tentang panggilan tersebut. Dari situlah, ia
mendapatkan informasi bahwa sebentar lagi kabinet Amir Syarifuddin akan
mengadakan reshuffle dan Masyumi yang semula ditinggalkan akan
diikutsertakan dalam kabinet. Mendengar informasi tersebut, Masjkur langsung
menemui Bung Karno dan saat itu juga Masjkur diminta untuk menjadi Menteri
Agama oleh Bung Karno dalam kabinet Amir Syarifuddin ke-2 yang mulai
bertugas sejak 11 November 1947.
Dalam kondisi politik yang belum stabil dan perekonomian yang masih
terpuruk, sebagai Menteri Agama, Masjkur hanya mendapat gaji Rp 300,- Oeang
Republik Indonesia (ORI) dalam sebulan. Pada saat itu gaji tersebut hanya cukup
dimakan sekeluarga antara lima sampai enam hari.
Setiap kali rapat kabinet, jamuannya hanya teh manis dan disediakan
makan siang atau malam apabila sidang sampai lama. Namun hal itu tidak
mengurangi semangat anggota kabinet untuk terus memikirkan strategi
✓9
A.H. Nasution,Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 3(Bandung: Penerbit Angkasa, 1977), 140-141.
20
✔ ✕
perjuangan melawan Belanda dan mempertahankan kemerdekaan yang telah
diraih.21
Dengan kondisi seperti itu, dapat dimaklumi jika pada masa kabinet Amir
Syarifuddin kedua, Masjkur belum dapat melakukan pembenahan terhadap tugas
dan fungsi Kementrian Agama seperti yang telah diamanatkan dalam Konferensi I
(Rapat Kerja) Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta pada 17-18
Maret 1946.
Perhatian kabinet tercurah untuk menyiapkan perundingan dengan
Belanda yang dilaksanakan di atas kapal USS Renville milik Amerika Serikat,
yang kemudian menghasilkan perjanjian Renville. Ironisnya isi perjanjian
tersebut justru memperlemah posisi Republik Indonesia.
Dalam perjanjian tersebut diputuskan bahwa kedaulatan atas Hindia
Belanda akan tetap di tangan kerajaan Belanda sampai pada saat nanti diserahkan
ke Republik Indonesia Serikat. Selain itu, dalam perjanjian tersebut diakui pula
adanya garis Van Mook (garis yang menghubungkan dua daerah terdepan yang
diduduki Belanda). Dan yang lebih tragis lagi, pasukan dan laskar Republik
Indonesia yang masih beroperasi di daerah-daerah haruslah hijrah ke Republik
Indonesia. Dan barulah bisa diadakan dasar-dasar baru untuk meneruskan
perundingan. Perjanjian ini ditandatangani pada 17 Februari 1948 dan
mendapatkan reaksi keras dari berbagai golongan. Bahkan, anggota-anggota
Masyumi dan PNI yang duduk di kabinet meletakkan jabatannya, sambil
✖✗
✘ ✙
mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak ikut bertanggung jawab atas hasil
perundingan Renville dan menuntut pergantian kabinet.22
Karena kabinet Amir Syarifuddin tidak mendapat dukungan dari Masyumi
dan PNI, ia akhirnya meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada 23
Januari 1948. Dengan demikian kabinet Amir Syarifuddin kedua hanya berjalan
dua setengah bulan. Dalam waktu yang relatif singkat tersebut, Masjkur selaku
Menteri Agama menghasilkan Peraturan Menteri Agama No. 5/ 1947 tentang
biaya perkara Pengadilan Agama yang harus disetor ke kas negara. Dalam waktu
itu, berlangsunglah Konferensi Agama dengan Jawatan-jawatan Agama seluruh
Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 13-16 November 1947 yang
menghasilkan keputusan penting yaitu ditambahkannya bagian Penyiaran dan
Penerangan Agama di setiap Jawatan Agama.23
Dengan mundurnya Amir Syarifuddin, Presiden Soekarno menunjuk Hatta
untuk memimpin kabinet presidensial darurat yang bukan bertanggungjawab
kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) melainkan kepada Bung Karno
sebagai Presiden. Para anggota kabinet berasal dari golongan tengah, terutama
terdiri dari PNI, Masyumi dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Pada awalnya
orang-orang Masyumi ragu untuk duduk di Kabinet Hatta, karena trauma dengan
perjanjian Renville. Di tubuh Masyumi sendiri terjadi pertentangan antara pro dan
kontra untuk duduk di kabinet. Namun hal ini dapat diselesaikan berkat usaha
yang dilakukan K.H. Wahab Chasbullah, sehingga akhirnya Masyumi mendukung
✚ ✚
Ibid., 76.
23
✛ ✜
sepenuhnya kabinet Hatta. Pada kabinet baru ini, Masjkur kembali ditunjuk
sebagai Menteri Agama.24
Dalam kabinet yang dikenal dengan Kabinet Hatta I ini Masjkur
memberlakukan UU NO. 19/ 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Kehakiman dan Kejaksaan yang salah satu pasalnya, 35 (2) menyatakan bahwa
perkara-perkara perdata antar umat Islam diperiksa dan diputuskan menurut
hukum Islam oleh pengadilan dengan formasi satu orang ketua hakim beragama
Islam, dan 2 orang anggota hakim yang ahli agama Islam. Demikian pula halnya
dengan peradilan tingkat kasasi, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 53. Semua
hakim yang dimaksudkan itu diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama
dengan persetujuan Menteri Kehakiman.25
Dalam menjalankan programnya, Kabinet Hatta I mendapatkan tantangan
cukup berat dari Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang menjadi oposisi dan
beraliran komunis. Kelompok FDR ini mendapat dukungan Muso, seorang
komunis berasal dari Rusia. Kelompok ini berusaha keras untuk dapat kembali
memegang kemudi pemerintahan dengan berbagai cara. Dimana-mana mereka
mengadakan rapat raksasa dan demonstrasi, meneriakkan tuntut-tuntutan agar
Amir Syarifuddin diangkat kembali menjadi Perdana Menteri. Pucak aksi mereka
adalah terjadinya perebutan kekuasaan di Madiun pada 19 September 1948.
Pemberontakan ini telah merusak dan membakar tempat-tempat ibadah dan
pesantren-pesantren, terutama di daerah Madiun, Magetan dan Ponorogo. Setelah
pemberontakan berhasil dipadamkan, Masjkur memerintahkan stafnya
✢✣
Deliar Noer,Mohammad Hatta: Biografi Politik(Jakarta: LP3ES, 1990), 311.
25
✤6
membentuk sebuah tim untuk mengadakan penyelidikan serta pencatatan jumlah
penghulu, naib, alim ulama dan pesantren yang menjadi korban keganasan kaum
komunis. Selain itu, Kementerian Agama juga membentuk sebuah tim yang
bersama-sama kementerian lainnya mengadakan perjalanan keliling ke berbagai
daerah yang terkena dampak pemberontakan kaum komunis, khususnya Madiun
dan Kediri.26 Tim ini juga memberi penjelasan dan penerangan kepada berbagai
organisasi kemasyarakatan mengenai peristiwa yang baru terjadi, sekaligus
menganjurkan ketahanan mental menghadapi kasus tersebut.27
Di Kediri, Masjkur menemui Kiai Abdul Kholik dan menginstruksikan
agar membentuk Kantor Urusan Agama (KUA) di tingkat Kabupaten. Dalam
sejarah Kementrerian Agama, KUA Kabupaten Kediri merupakan kantor pertama
yang ada di Indonesia. Sebagai kepala KUA Kabupaten Kediri ditetapkan Kiai
Mohammad Makhin, yang waktu itu penghulu kabupaten dan dibantu beberapa
tenaga muda.28 Di samping itu, Masjkur ditugaskan kabinet pergi ke Jawa Barat
untuk menemui Kartosuwiryo, yang telah melepaskan diri dari Masyumi dan
mendirikan Negara Islam Indonesia. Usaha Masjkur menemui Kartosuwiryo
gagal, karena tidak ada di tempat dan sengaja menghindari pertemuan dengan
Menteri Agama.29
Tugas lain yang dijalankan Masjkur selaku Menteri Agama adalah
berkunjung ke Jakarta untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan orang-orang
kepercayaannya di jalan cemara, Menteng. Pertemuan itu membahas cara-cara
26
Ibid., 65. 27
Saifullah Ma’shum,Menapak Jejak, Mengenal Watak: Sekilas Biografi 26 Tokoh NU(Jakarta: Yayasan Saifudin Zuhri, 1994), 184.
28
Ibid., 185. 29
✥ ✦
mendapatkan senjata, membelinya dan mengangkutnya ke daerah pedalaman.
Kunjungannya ke Jakarta ini juga dimanfaatkan Masjkur untuk melawat ke
wilayah Serang dan Banten. Di daerah tersebut Masjkur menjelaskan perihal
situasi saat itu, baik yang berkaitan dengan jalannya perundingan maupun
mengenai tugas dan kewajiban rakyat untuk menjaga dan memperkokoh
persatuan.30
Keberhasilan Republik Indonesia menumpas pemberontakan kaum
komunis mengubah simpati Amerika yang semula samar-samar, yang didasarkan
atas sentimen anti penjajahan, menjadi dukungan diplomatik yang didasarkan
pada strategi global. Dukungan Amerika semakin terlihat nyata setelah Belanda
melakukan agresi militer kedua pada 18 Desember 1948. Amerika menghentikan
bantuan kepada Belanda yang dialokasikan untuk keperluan di Indonesia. Aksi
militer kedua sebetulnya merupakan bencana militer dan politik bagi Belanda,
meski tampaknya mereka memperoleh kemenangan.31
Pada 19 Desember 1948 Yogyakarta berhasil diduduki Belanda dan para
pemimpin Republik Indonesia sengaja membiarkan dirinya ditangkap dengan
harapan bahwa opini dunia akan begitu tersinggung sehingga kemenangan militer
Belanda akan berbalik menjadi kekalahan diplomatik.
Soekarno, Hatta, Agus Salim dan seluruh anggota Kabinet ditangkap
Belanda, kecuali beberapa orang yang tidak ada ditempat. Masjkur adalah salah
seorang menteri yang lolos dari penyergapan Belanda. Ia meloloskan diri dari
belakang rumahnya dengan membawa putra tunggalnya, Syaiful yang masih kecil.
30
Ibid., 84-85.
31
✧8
Sejak saat itu, Masjkur mulai bergerilya. Mula-mula ia pergi ke wilayah Kauman.
Di sana ia menemui seorang pegawai Kementerian Agama yang ditugaskan
memberitahu orang di rumah bahwa Masjkur dan Syaiful selamat dan hendak
pergi ke luar kota untuk bergerilya.32
Perjalanan dilanjutkan ke arah Solo, kemudian ke Ponorogo. Setibanya di
Ponorogo Masjkur diikuti oleh 12 anggota tentara pelajar. Bersama dengan
pasukannya Masjkur singgah di Pondok Gontor selama beberapa hari untuk
mencari informasi mengenai tokoh-tokoh pemerintahan yang juga bergerilya. Di
Gontor, Masjkur bertemu dengan Menteri Susanto. Rencananya mereka ingin
bergabung untuk bergerilya, tetapi Masjkur agak keberatan atas pertimbangan
strategis dengan rombongan kecil akan lebih baik dari pada rombongan besar.
Setelah beristirahat di Gontor, Masjkur dan pasukannya meneruskan
perjalanan ke daerah Trenggalek. Di daerah ini ia bertemu dengan Harsono
Cokroaminoto (penasehat Panglima Besar Sudirman waktu itu), yang akhirnya
mempertemukan Masjkur dengan Jenderal Sudirman.
Sejak itu pasukan Masjkur bergabung dengan pasukan Panglima
Sudirman. Tiga hari setelah mengikuti Jendral Sudirman, di daerah Pacitan
Menteri Agama beserta pasukannya memisahkan diri. Kemudian Masjkur pergi ke
arah Barat menuju kota Yogyakarta. Selama menjedi Menteri Agama sampai
masa gerilya tersebut, ada beberapa kebijakan penting yang diambil Masjkur.33
32
Azra,Menteri-Menteri Agama RI, 66.
33
★9
1. Bidang Pendidikan.
Masjkur mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 2/ 1948 tentang
bantuan kepada perguruan agama.
2. Bidang Haji.
Masjkur mengirimkan misi haji ke tanah suci Makkah di bawah pimpinan
KH. Adnan. Misi ini adalah misi haji pertama setelah perang dunia kedua,
sebelumnya misi haji Indonesia dihentikan pemerintah dengan keluarnya
Maklumat Kementerian Agama No. 4/ 1947 tentang penghentian ibadah haji di
masa perang.
3. Bidang Perkawinan.
Dalam bidang perkawinan ada dua kebijakan yang dikeluarkan oleh
Menteri Agama Masjkur yaitu:
a. Penetapan Menteri Agama No. 1/ 1948 yang mencabut penetapan Menteri
Agama No. 7/ 1947, tentang penambahan biaya NTR Rp 10,- untuk kas
masjid (75%) dan kaum (25%).
b. Peraturan Menteri Agama No. 3/ 1948 tentang penyetoran biaya pencatatan
NTR oleh naib kepada penghulu kabupaten. Peraturan ini mengganti
Peraturan Menteri Agama No. 2/1947 pasal 2 (1).34
Dengan Penetapan Presiden No. 6/ 1949, tertanggal 4 Agustus 1949, PDRI
berarti bubar dan pemerintahan berada di tangan kabinet Hatta, yang kemudian
dikenal dengan Kabinet Hatta II. Dengan Penetapan Presiden tersebut, Kabinet
Hatta mengalami berbagai perubahan karena ada menteri yang diresshuffle,
34
✩ ✪
mengundurkan diri dan berpindah jabatan. Natsir adalah salah seorang menteri
yang mengundurkan diri karena tidak setuju dengan hasil perjanjian
Roem-Royen.35
Sementara Syarifuddin Prawiranegara yang dalam Kabinet Hatta I
menjadi Menteri Kemakmuran, dalam Kabinet Hatta II menjadi wakil Perdana
Menteri. Dalam Kabinet Hatta II ini, Masjkur tetap dipercaya menjadi Menteri
Agama.36Sejak Kabinet Hatta II ini, Kementerian Agama memasuki awal periode
restaurasi yaitu periode penyusunan kembali organisasi, baik di pusat maupun di
daerah, setelah mengalami kerusakan dan pemusnahan. Kabinet Hatta II ini
kemudian diganti dengan kabinet Peralihan pimpinan Perdana Menteri Mr.
Susanto Tirtoprodjo berdasarkan Keppres-RIS No. 2 tahun 1949 yang berlaku
efektif mulai 20 Desember 1949 sampai 24 Januari 1950. Sekali lagi, dalam
kabinet yang hanya berusia sekitar satu bulan ini, Masjkur ditunjuk sebagai
Menteri Agama.37
Dalam periode yang singkat ini dikeluarkan peraturan Pemerintah No. 33
tahun 1949 tentang lapangan pekerjaan (tugas-tugas) Kementerian Agama.
Berdasarkan peraturan pada 24 Desember 1949 ini, Kementerian Agama
mempunyai program kerja yaitu:
1. Melaksanakan asas ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya.
35
Azra,Menter-Menteri Agama RI, 69.
✫6
Deliar Noer,Muhammad Hatta, 352.
37
✬ ✭
2. Menjaga bahwa tiap-tiap penduduk mempunyai kemerdekaan untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya.
3. Membimbing, menyokong, memelihara dan mengembangkan aliran agama
yang sehat.
4. Menyelenggarakan, memimpin dan mengawasi pendidikan agama di sekolah
negeri.
5. Menjalankan, memimpin, menyokong serta mengamati pendidikan dan
pengajaran di madrasah dan perguruan agama lain.
6. Menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkutan paut dengan pelajaran
rohani kepada anggota tentara, asrama, rumah penjara dan tempat-tempat lain
yang dipandang perlu.
7. Mengatur, mengerjakan dan mengamati segala hal yang bersangkutan dengan
pencatatan pernikahan, rujuk dan talak orang Islam.
8. Memberikan bantuan material untuk perbaikan dan pemeliharaan
tempat-tempat untuk beribadat (masjid, gereja dan lain-lain).
9. Mengerjakan, mengurus dan mengawasi segala sesuatu yang bersangkut paut
dengan Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi.
10. Menyelidiki, menentukan mendaftar dan mengawasi pemeliharaan wakaf.
11. Mempertinggi kecerdasan umum dalam hidup bermasyarakat dan hidup
beragama.38
38
✮ ✯
Guna mengantisipasi masalah kepegawaian yang mungkin timbul sebagai
akibat pendudukan wilayah RI oleh Belanda, Menteri Agama mengeluarkan
Instruksi No. 1/ 1950, tertanggal 13 Januari 1950, yang berkenaan dengan
masalah kepagaiwan. Dalam instruksi tersebut dinyatakan bahwa kedudukan
pegawai berdasarkan Maklumat Menteri Agama RI No. S/ 2 tahun 1949, yang
bekerja dan menerima sokongan dari pemerintah pendudukan dianggap bukan
pegawai lagi. Namun mereka masih dapat diterima kembali sebagai pegawai RI
jika berada di tempat, dengan jalan mengajukan permohonan kepada Kementerian
Agama di atas kertas bermaterai Rp 75,- dengan ketentuan tidak diberi kedudukan
dan gaji lebih tinggi dari kedudukan dan gaji sebelum tanggal 19 Desember 1949.
Sesudah kabinet peralihan itu, pemerintah RI, sebagai salah satu negara
bagian Republik Indonesia Serikat, berada di tangan kabinet baru yang dipimpin
Perdana Menteri A. Halim. Dalam kabinet ini, Menteri Agama dijabat KH. Faqih
Usman, menggantikan posisi Masjkur yang telah sakit-sakitan akibat bergerilya.
Pada saat yang sama terbentuk pula pemerintahan Republik Indonesia Serikat
yang kabinetnya dipimpin Muhammad Hatta dengan Menteri Agama KH. Wahid
Hasyim.39
Masjkur yang pada saat itu telah sakit-sakitan beristirahat di kampung
halamannya hingga datang surat panggilan dari KH. Wahid Hasyim, selaku
Menteri Agama dalam Kabinet Natsir. Surat panggilan itu berisi perintah agar
Masjkur datang ke Jakarta karena ada pembicaraan mengenai tugas yang sangat
penting. Masjkur ditugaskan untuk mengadakan kunjungan kerja ke seluruh
39
✰✰
Indonesia. Tujuannya adalah membuka kantor-kantor agama di seluruh penjuru
tanah air. Dalam menjalankan tugas ini Masjkur ditemani KH. Fakih Usman.
Tugas Masjkur dalam hal ini bukan hanya mendirikan kantor-kantor agama, tetapi
juga mengangkat pegawai dan memberi petunjuk apa dan bagaimana mengelola
kantor agama.40
Pada saat Masjkur menduduki posisi Ketua Umum PBNU, ia ditunjuk
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menjadi Menteri Agama yang mewakili NU.
Masjkur menjabat Menteri Agama menggantikan KH. Fakih Usman berdasarkan
Keppres No. 123/ 1953, terhitung sejak 30 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955.
Usaha-usaha perbaikan dalam tubuh Kementerian Agama di bawah pimpinan
Masjkur terus dilanjutkan. Rencana-rencana ke arah itu dituangkan dalam
Konferensi Dinas Kementerian III di Tretes Jawa Timur, pada 25-30 Juni 1955.
Namun, tak lama kemudian mengalami penggantian pimpinan, sehingga
rencana-rencana tersebut tidak dapat dijalankan.41
Struktur organisasi kementerian agama tidak mengalami perubahan.
Struktur organisasi dan lapangan pekerjaan Kementerian Agama masih sama
dengan masa KH. Fakih Usman, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun
1952 jo Peraturan Menteri Agama No. 9, 10, 31 dan 39 tahun 1952. Adapun
beberapa kebijakan Masjkur sewaktu memimpin Kementerian Agama dalam
periode ini adalah sebagai berikut:
1. Bidang Pendidikan.
Kebijakan Menteri Agama Masjkur mengenai pendidikan di antaranya berupa:
40Saifullah Ma’shum,Menapak Jejak
, 186.
41
✱ ✲
a. Perubahan masa belajar PGA menjadi 6 tahun yang dibagi dua:
1. Bagian pertama, dari kelas I s/d IV: 4 tahun.
2. Bagian atas, dari kelas V s/d VI: 2 tahun.
b. Dengan penetapan Menteri Agama Np. 109 tanggal 19 Mei 1954, terhitung
mulai 1 juni 1954, SGHA (Sekolah Guru dan Hakim Agama) bagian A
(bahasa), bagian B (ilmu pasti) dan bagian C (agama) berangsur-angsur
dihapus. Sedang bagian D (Hukum Agama) dijadikan PHIN (Pendidikan
Hakim Islam Negeri) di Yogyakarta. Perubahan terakhir ini dilakukan atas
dasar penetapan Menteri Agama No. 14/ 1954.
c. Berkenaan dengan berlakunya Undang-Undang No. 12 tahun 1954 tentang
pendidikan maka dilakukan:
1. Usaha persiapan pelaksanaan wajib belajar dilingkungan Kementerian
Agama.
2. Pelaksanaan pengajaran Agama pada sekolah-sekolah umum
berdasarkan keputusan bersama Menteri PPK dan Menteri Agama.
3. Menjadikan pondok pesantren sebagai sasaran pendidikan yang perlu
dipertahankan.
2. Bidang Perkawinan.
a. Mengadakan P3NTR di desa-desa seluruh daerah luar Jawa dan Madura,
dengan Penetapan Menteri Agama No. 14/ 1955.
b. Semua petugas P3NTR diwajibkan untuk melaksanakan UU No. 22/ 1946 jo
UU No. 32/ 1954, yang diatur dengan Peraturan Menteri Agama No. 1/
✳ ✴
3. Bidang Haji.
Mengenai bentuk paspor haji, diatur dengan penetapan Menteri Agama
No. 3/ 1955 dan mengenai cara-cara penyetoran ongkos haji serta
perubahan-perubahan akomodasi penumpang kapal dengan Penetapan Menteri Agama No.
4/ 1955 dan No.5/ 1955.
Mengenai tugas dan kewajiban MPH dan kedudukan penasehat MPH
diatur dengan Penetapan Menteri Agama No. 8/ 1955. Sedangkan mengenai
susunan rombongan haji diatur dengan penetapan Menteri Agama No. 13/
1955.
4. Kerjasama dengan Departemen Dalam Negeri.
Bersama dengan Departemen Dalam Negeri Masjkur mengeluarkan
pernyataan tentang berlakunya maklumat bersama Kementerian Dalam Negeri
dan Kementerian Agama. Maklumat bersama tersebut berisi tentang Peraturan
Kaum dan Rois (PKR) di luar Jawa.42
Setelah tidak lagi menjadi Menteri Agama karena Kabinet Ali
Sastroamidjojo I jatuh, ada satu kasus yang belum diselesaikan Masjkur. Semasa
dia menjabat Menteri Agama, diberitakan di media ibukota bahwa Menteri
Agama Masjkur melakukan manipulasi kain kafan sebanyak satu juta yard. Berita
itu menggegerkan masyarakat. Masjkur sendiri menanggapi berita tersebut dengan
tenang dan sabar karena ia yakin bahwa berita itu disiarkan dengan tujuan
menjelekkan pribadinya dan menjatuhkan partai yang diwakilinya, bahkan
42
✵6
menjatuhkan Kabinet Ali Sastroamidjojo.43 Sampai kabinet Ali jatuh, kasus itu
belum dapat diselesaikan tuntas. Baru pada awal Desember 1955 pihak Kejaksaan
Agung secara resmi mengumumkan bahwa setelah diadakan
pemeriksaan-pemeriksaan teliti dan mendalam di sekitar soal pembagian kain kafan dalam
Kementerian Agama sebanyak lebih kurang satu juta yard dan menurut
berita-berita yang tersiar telah terjadi kekusutan dan kecurangan di dalamnya, maka
pihak Kejaksaan Agung kini telah mengambil keputusan, menganggap tidak ada
alasan untuk mengadakan sesuatu tuntutan terhadap diri mantan Menteri Agama,
Masjkur.
Tidak lama setelah menjabat Menteri Agama, Masjkur mendapatkan tugas
dari Sekretariat Negara untuk menyertai Ibu Haryati Soekarno menunaikan ibadah
haji bersama dengan rombongan ibu-ibu lainnya. Sebelum menjalankan tugas,
Masjkur mengajukan syarat agar istrinya juga diizinkan menyusul ke Tanah Suci.
Istri dan anaknya menyusul bersama rombongan di bawah pimpinan Kiai Wahab.
Di sanalah Masjkur bertemu keluarganya. Selesai menunaikan ibadah haji,
rombongan ibu Haryati pulang ke Indonesia, sedang Masjkur dan keluarganya
tinggal beberapa hari di Mekkah kemudian mengunjungi Mesir, Libanon, Irak dan
Iran. Selesai melakukan perjalanan ia pulang ke Indonesia melalui Hongkong,
Jepang dan Filipina.44
Pada masa Kabinet Ali II diadakan pemilihan anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Konstituante) yang akan menetapkan Undang-Undang
Dasar Negara. Masjkur adalah salah satu anggota Konstituante. Sebagaimana
43
Soebagijo,KH. Masjkur, 178.
44
✶ ✷
diketahui, terjadi perdebatan sengit dalam sidang Konstituante mengenai masalah
dasar negara. Sebagian anggota, yakni kalangan Islam, mengusulkan agar dasar
negara Indonesia adalah Islam mengingat mayoritas penduduknya adalah Muslim:
sebagain lain, kalangan nasionalis, menolak usulan tersebut dengan alasan
heterogenitas agama yang dipeluk masyarakat Indonesia, perdebatan yang sama
pernah terjadi sepuluh tahun sebelumnya ketika BPUPKI bersidang. 45
Pada masa Orde baru Masjkur aktif di DPR. Ia pernah menjadi Ketua
Fraksi Persatuan Pembangunan. Pada masanya terjadi perdebatan keras tentang
RUU Perkawinan. Umat Islam banyak melakukan demonstrasi dan protes
terhadap RUU yang di anggap bertentangan dengan hukum Islam tersebut. RUU
tersebut akhirnya disahkan menjadi UU no. 1 tahun 1974, setelah mengalami
perubahan penting di sana-sini.46
Selain itu, Masjkur juga menjabat Ketua Yayasan Universitas Islam
Malang (UNISMA) dan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an
(PTIQ), yang diembannya hingga akhir hayat. Pada 18 Desember 1992, Masjkur
dipanggil menghadap sang pencipta dalam usia 92 tahun.47
✸✹
Kacung Marijan,Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926(Jakarta: Erlangga, 1992), 82.
46
Azra,Menteri-Menteri Agama RI, 78.
47
BAB III
KIPRAH KH. MASJKUR DALAM ORGANISASI NADHATUL ULAMA
A. Perkembangan Nadhatul Ulama Sampai Jepang Datang
Organisasi yang menamakan diri Nadhatul Ulama dalam waktu yang
singkat ternyata dapat berkembang pesat. Di mana-mana berhasil dibentuk
cabangnya dan masyarakat pun segera berbondong-bondong minta dicatat sebagai
anggotanya.
Hal yang demikian itu dapat dipahami, karena sebagian besar dari rakyat
di Jawa terutama adalah penganut agama Islam. Sedangkan di mana-mana baik di
Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur terdapat banyak pesantren. Peranan
para kiai dengan pesantrennya besar pengaruhnya dalam perkembangan Nadhatul
Ulama.1
Nadhatul Ulama dilahirkan oleh aspirasi pesantren yang ketika itu
merupakan lingkungan yang terabaikan, tersisihkan dari hitungan serta percaturan
zaman, bahkan tidak jarang dipandang sebagai lambang kejumudan, simbol
kebekuan.2
Nadhatul Ulama hanya berdiri sebagai suatu perkumpulan agama dan
sosial, tidak mencampuri soal-soal politik negara, jika tidak mengenai
1
Soebagijo I.N.,KH. Masjkur(Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), 26.
2
39
kepentingan Islam. Hal ini bukan tidak disengaja, tetapi diperbuat dengan rencana
yang tertentu. Di antara, sebab-sebabnya ialah perkumpulan politik dalam masa
Belanda tidak dapat berjalan lancar, berhubungan dengan sempitnya lapangan
perjuangan dalam masa kolonial Belanda itu. Umat Islam juga harus dipersatukan
terlebih dahulu dengan dasa-dasar keyakinan yang kuat dan dibimbing hidup
berorganisasi.
Berdirinya Nadhatul Ulama sangat berkembang pesat kemajuannya.
Dalam waktu perjuangan lima bulan telah berdiri tidak kurang dari tiga puluh lima
cabangnya di seluruh Jawa, meskipun belum melangkah ke Sumatra dan
Kalimantan.Kongres yang pertama diadakan dalam bulan Rabiul Awal 1345 H, di
Surabaya.3
Dan begitulah selanjutnya, dari kongres pertama ke kongres kedua dan
seterusnya, organisasi ini mendapatkan kemajuan dan setiap kali mengadakan
kongres. Kongres tidak saja diadakan di Jawa Timur, tetapi juga di Jawa Tengah,
Jawa Barat dan dapat berkembang di Kalimantan. Kongres yang ke- 11 diadakan
di Banjarmasin adalah kongres yang pertama kali diadakan di luar Jawa.4
Pada bulan September 1939 organisasi yang baru ini secara resmi mulai
mengadakan aktivitasnya yang pertama dengan mengundang orang-orang Islam
luar negeri untuk menghadiri Pameran Islam di Tokyo dan Osaka pada tanggal
5-29 November tahun itu juga. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam
3
Aboebakar,Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan karangan tersiar(Jakarta: Panitya Buku Peringatan alm. KH. A. Wahid Hasyim, 1957),480.
4
40
Indonesia, perhatian dialihkan dari Timur Tengah ke Negeri matahari Terbit.
Sebuah konfrensi khusus diadakan oleh MIAI pada permulaan Oktober, di mana
undangan dari Tokyo disetujui dan diterima.5
Pada 18-23 September 1938 di Surabaya diadakan permusyawaratan yang
pertama kali dihadiri oleh segenap wakil umat Islam yang tergabung dalam
berbagai partai dan organisasi. Kongres tersebut memutuskan memberi nama
kepada permusyawaratan itu Majelis Islam A’la Indonesia.6
Maksudnya boleh diringkas menjadi dua. Pertama: Littasaawur, artinya
karena untuk bermusyawarah. Di situ dikumpulkan para ulama dan pemimpin
Islam guna berunding dan bermusyawarah. Kedua: Litta’aruf,artinya guna saling
berkenalan, saling mengetahui dan nanti akhirnya persahabatan yang dapat
membuahkan persatuan lahir dan batin di antara sesama umat Islam, ulama dan
pemimpin umat Islam di tanah air Indonesia.
Kongres Al-Islam di Surabaya tahun 1938 adalah gambaran yang
sebaik-baiknya bagi persatuan umat Islam.7 Dalam Kongres itu tidak ada satu pun di
antara perhimpunan Islam yang menjadi anggotanya yang mengeluh karena
kepentingannya tidak diselenggarakan. Oleh karena itu Kongres MIAI di dalam
tahun-tahun pertama mencapai hasil-hasil yang baik.
Selanjutnya Kongres Al-Islam yang ke 2 diadakan antara tanggal 2-7 Mei
1939 di Solo, yang dibanjiri oleh anggota-anggotanya dari perhimpunan Islam
5
Harry J. Benda,Bulan Sabit dan Matahari Terbit(Jakarta: Pustaka Jaya, 1958), 134. 6
Nur Khalik,NU dan Bangsa, 52.
7
41
seluruh Indonesia dan mengambil keputusan yang penting yaitu dengan adanya
perubahan susunan organisasi MIAI.
Pada tanggal 5-8 Juli 1941 diadakan Kongres Al-Islam yang ke 3 dengan
diganti namanya “Kongres Muslimin Indonesia” (KMI) yang bertempat di kota
Solo. Rapat tersebut memutuskan tentang perubahan tata negara, milisi dan
pemindahan darah. Kongres ini menghimpun semua pengurus besar
perkumpulan-perkumpulan Islam yang ada di Indonesia sebagai anggotanya, antara lain:8
1. LTPSII.
2. PBPII.
3. HB Muhammadiyah.
4. HB Persatuan Ulama Indonesia.
5. HB Persatuan Islam.
6. HB Nadhatul Ulama.
7. HB Al-Ittihadiyatul Islamiyah.
8. HB Al-Islam.
9. HB Al-Irsyad.
10. HB PAI.
11. HB Musyawaratut Thalibin.
12.HB Jam’iatul Washliyah.
13. Komite Kesengsaraan Indonesia Mekkah (Kokesin).
8
42
B. Peran Masjkur Dalam Organisasi Nadhatul Ulama
Di Singosari, Masjkur giat mengadakan tabligh, menyampaikan dakwah ke
desa-desa sekitarnya. Kegiatan Masjkur dilihat pula oleh pimpinan Pengurus
Besar yang kala itu berpusat di Surabaya. Maka oleh karenanya pada tahun 1938
Masjkur diminta untuk memperkuat staf Pengurus Besar Nadhatul Ulama.9
Sejak itu dia pun harus selalu mengikuti rapat-rapat yang diadakan, meskipun
awalnya hanya sebagai pendengar saja dan akhirnya diperbolehkan untuk
mengeluarkan pendapatnya.
Pada masa itu para pejuang baik yang ada di dalam gerakan nasional maupun
yang ada di dalam organisasi seperti Nadhatul Ulama ini, segala keperluan hidup
harus ditanggung sendiri. Semua keperluan untuk biaya keluarga haruslah dicari
sendiri dan organisasi sama sekali tidak memberi jaminan apapun. Meskipun
demikian, karena sadar akan tanggung jawab kepada Tuhan dan rakyat, semua
para pejuang melakukannya dengan penuh keikhlasan dengan mengharapkan
ridho Ilahi semata.
Dua belas tahun lamanya, mulai tahun 1928 sampai 1940, Masjkur hampir
tiap minggu (2-3 kali) pulang balik Surabaya-Malang semata-mata bekerja pada
PB Nadhatul Ulama.
Pada saat itu rakyat yang dipimpinnya menyadari serta melihat sendiri bahwa
hendak mempunyai hajat atau nazar, akan menyembelih kerbau atau sapi.
Dagingnya dibuat kenduri dan dimakan beramai-ramai dengan mengundang pak
9
43
kiai. Dengan demikian hubungan ulama dengan rakyatnya menjadi lebih akrab
lagi.
Masjkur sendiri ketika itu memiliki tiga ekor kuda. Dua ekor digunakan untuk
menarik dokar sehingga dengan begitu dia mendapatkan nafkah untuk ongkos
hidup keluarganya. Yang seekor lagi digunakan untuk mengadakan perjalanan
apabila dia melakukan dakwah atau propaganda organisasi di daerah sekitar
Malang dan Singosari. Pada waktu itu masih sangat langkah sekali pemimpin dan
ulama yang memiliki mobil dan kendaraan kuda memang sangat cocok untuk
dipergunakan di daerah pegunungan seperti Singosari dan sekitarnya.10
Masjkur sering datang ke Surabaya untuk mengadakan pertemuan dengan
kelompok Tashwirul Afkar yang membahas masalah agama, dakwah dan sosial.
Melalui forum diskusi inilah Masjkur merasa memperoleh pengalaman baru. Ia
berkenalan langsung dengan para pemimpin Tashwirul Afkar, seperti kiai Mas
Alwi, kiai Mas Mansur dan kiai Ridwan.
Kelompok inilah yang kemudian memprakarsai keikutsertaan beberapa ulama
tradisional dalam kongres Islam sedunia di Hijaz dan membidani lahirnya
Nadhatul Ulama.
Mengingat Masjkur sering terlibat dalam kelompok tersebut, Masjkur pun
ditunjuk menjadi ketua Nadhatul ulama cabang Malang. Aktivitas Masjkur di
Nadhatul Ulama semakin hari semakin meningkat. Pada tahun 1938, Masjkur
10
44
diangkat sebagai salah seorang Pengurus Besar Nadhatul Ulama yang bermarkas
di Surabaya.11
Dalam hal sistem pengajaran, Masjkur termasuk ulama yang akomodatif
terhadap perubahan. Beliau selalu memikirkan metode pembelajaran yang tepat
bagi para santrinya. Sistem madrasah (sekolah) pun beliau terapkan. Padahal,
sistem sekolah pada saat itu termasuk sistem yang banyak ditolak kalangan ulama.
Beliau juga mewajibkan para santrinya menguasai tulisan latin, sesuatu yang tidak
lazim di dunia pesantren saat itu.12
Kiprah Masjkur di bidang sosial keagamaan dimulai dari keterlibatannya di
Nadhatul Ulama pada tahun 1932 sebagai ketua Nadhatul Ulama cabang Malang.
Tetapi, jauh sebelum itu, Masjkur sudah aktif terlibat dalam usaha-usaha
pendirian Nadhatul Ulama.
Tahun 1938, jabatan Masjkur di Nadhatul Ulama semakin tinggi, yaitu
anggota PBNU yang berkedudukan di Surabaya. Bahkan pada tanggal 19 April
1953, Masjkur ditunjuk sebagai Ketua Umum PBNU menggantikan posisi KH.
Wahid Hasyim yang meninggal dunia karena kecelakaan.
Wafatnya KH. Wahid Hasyim langsung atau tidak langsung membawa akibat
bagi kehidupan Masjkur. Dalam hirarki Pengurus Besar Partai Nadhatul Ulama
yang baru disahkan di Kongres Palembang, KH. Wahid Hayim menduduki
jabatan Ketua Umum. Sedangkan Masjkur menjadi Ketua I. Setelah KH. Wahid
Hasyim meninggal dunia, lowongan jabatan itu harus segera diisi, tidak perlu
menunggu sampai berlangsungnya Kongres berikutnya.
11
Azyumardi Azra (ed),Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik(Jakarta: PPIM, 1998), 58.
12