• Tidak ada hasil yang ditemukan

KH. ABDUL WAHAB CHASBULLAH : PEMIKIRAN DAN PERANANNYA DALAM TASWIRUL AFKAR (1914-1926 M).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KH. ABDUL WAHAB CHASBULLAH : PEMIKIRAN DAN PERANANNYA DALAM TASWIRUL AFKAR (1914-1926 M)."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

KH. ABDUL WAHAB CHASBULLAH: PEMIKIRAN DAN PERANANNYA DALAM TASWIRUL AFKAR (1914-1926 M)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh: Arina Wulandari NIM: A0.22.12.042

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “KH. Abdul Wahab Chasbullah: Pemikiran dan Peranannya dalam Taswirul Afkar (1914-1926 M)”. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah: 1) bagaimana riwayat hidup KH. Abdul Wahab Chasbullah? 2) apa yang melatarbelakangi berdirinya Taswirul Afkar? dan 3) bagaimana pemikiran dan peran KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam Taswirul Afkar?.

Penulisan skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian sejarah. Adapun metode penulisan sejarah yang digunakan penulis adalah dengan menggunakan beberapa langkah yaitu heuristik (mengumpulkan arsip-arsip terkait dengan pembahasan yang ditujukan), verifikasi (kritik terhadap data), interpretasi (penafsiran) serta historiografi (penulisan sejarah). Sedangkan pendekatan dan kerangka teori yang digunakan adalah pendekatan historis (mendeskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau) dan teori peranan dan teori kepemimpinan.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, berdasarkan judul skripsi tentang “KH. Abdul Wahab Chasbullah: Pemikiran dan Peranannya dalam Taswirul Afkar (1914-1926 M)”, maka didapatkan hasil penjabaran tentang 1) riwayat hidup KH. Abdul Wahab Chasbullah, 2) latarbelakang berdirinya Taswirul Afkar serta 3) pemikiran dan peranan KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam Taswirul Afkar. KH. Abdul Wahab Chasbullah merupakan tokoh sentral pendiri kelompok diskusi Taswirul Afkar, dimana terbentuknya kelompok diskusi tersebut dilatarbelakangi oleh adanya politik etis (politik balas budi) serta munculnya organisasi Budi Utomo dan Sarikat Islam. Dalam kelompok diskusi tersebut KH. Abdul Wahab Chasbullah dapat menuangkan hasil pemikirannya dan di Taswirul Afkar inilah ia memiliki peran yang sangat penting, terutama pada tahun 1914-1926 M.

(6)

ix ABSTRACT

Thesis entitled “KH. Abdul Wahab Chasbullah: Thought and Its Role in

Taswirul Afkar (1914-1926 AD)”. Problem studied in this thesis is about 1) how is the biography of KH. Abdul Wahab Chasbullah? 2) what is the background of built Taswirul Afkar? and 3) how its thinking and the role of KH. Abdul Wahab Chasbullah in Taswirul Afkar?.

Writing of this prepared using the historical approach used to describe the events that occured in the past. The methode used by the author of historical writing is to use some of the steps that the historical method, by collecting the archives related to the discussion addressed, verification (criticism of the data), interpretation and how the writing of history. From this thesis, the writer also use histories methode, role theory and leader theory.

(7)

BAB II RIWAYAT HIDUP KH. ABDUL WAHAB CHASBULLAH A. Sekilas tentang Jombang ... 14

3. Pembaru Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang ... 28

4. Pendiri Nahdlatul Wathan ... 30

5. Pendiri Nahdlatul Tujjar ... 30

BAB III SEJARAH TASWIRUL AFKAR A. Latar Belakang Berdirinya Taswirul Afkar ... 32

1. Politik Etis ... 34

2. Budi Utomo ... 36

3. Sarikat Islam ... 38

(8)

xiii

B. Sejarah Berdirinya Taswirul Afkar dan Kegiatannya ... 41

C. Keluarnya KH. Mas Mansur dari Taswirul Afkar ... 46

1. Pergeseran di Tanah Suci ... 47

2. Kongres Umat Islam Indonesia (Muktamar Alam Islami Hindi as-Syarqiyah) ... 49

3. Komite Hijaz ... 51

BAB IV PEMIKIRAN KH. ABDUL WAHAB CHASBULLAH DAN PERANANNYA DALAM TASWIRUL AFKAR A. Pemikiran KH. Abdul Wahab Chasbullah ... 55

1. Bidang Keagamaan ... 55

2. Bidang Pendidikan ... 58

3. Bidang Pergerakan ... 61

4. Nasionalisme Islam ... 62

B. Peranan KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam Taswirul Afkar ... 63

1. Tokoh Sentral Pendiri Kelompok Diskusi Taswirul Afkar (1914) dan Madrasah Taswirul Afkar (1918) ... 63

2. Membentuk Koperasi Sjirkah al-Inan ... 65

3. Nahdlatul Ulama Cabang Taswirul Afkar ... 68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA

(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbagai pergerakan nasional yang muncul di kalangan pribumi lahir dari rasa persatuan dan kemanusiaan yang tinggi dari para golongan terpelajar yang pada saat itu mayoritas masyarakat Indonesia mengalami keterpurukan. Kebijaksanaan pemerintahan kolonial Belanda menyebabkan mereka terbelakang dalam segala bidang, baik dalam bidang sosial maupun ekonomi. Dalam bidang sosial, masyarakat pribumi golongan menengah ke bawah tidak dapat merasakan fasilitas belajar mengajar secara layak. Mereka bisa saja bersekolah, akan tetapi dalam jumlah tempat yang sangat terbatas. Berikut fasilitas belajar yang telah diberikan. Mereka hanya diajarkan bagaimana cara membaca, menulis dan berhitung. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat pribumi golongan bangsawan yang dapat menikmati fasilitas pendidikan yang lebih baik, mereka dapat mengenyam pendidikan sistem Barat.

Melihat fenomena tersebut maka muncullah berbagai ide dan inisiatif dari para golongan terpelajar, baik dari para ulama maupun tokoh-tokoh nasionalis. Sekitar tahun 1900-1942 banyak sekali berbagai organisasi yang muncul guna melawan keterpurukan yang telah dialami masyarakat dari ulah para penjajah. Sebagai contoh adalah organisasi Budi Utomo yang berdiri pada tahun 1908, Sarikat Islam yang didirikan oleh KH. Samanhudi di Solo pada tahun 1912,1 Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta oleh KH.

1

(10)

2

Ahmad Dahlan pada tahun 1912,2 Nahdlatul Ulama yang didirikan di Surabaya pada tahun 1926 oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah serta organisasi-organisasi lainnya yang telah tersebar di berbagai wilayah di Jawa. Walaupun masing-masing organisasi tersebut terkonsentrasi dalam bidang yang lebih spesifik seperti pendidikan, perekonomian, serta politik akan tetapi secara umum beberapa organisasi tersebut memiliki latar belakang yang sama yakni untuk melawan para penjajah.

Beberapa organisasi yang paling dominan adalah organisasi dalam bidang pendidikan. Salah satu organisasi tersebut adalah Taswirul Afkar. Perkumpulan diskusi ini dapat dikatakan sebagai pendahulu berdirinya Nahdlatul Ulama. Perkumpulan ini membahas berbagai permasalahan keagamaan, sosial kemasyarakatan dan juga bagaimana mempertahankan sistem bermadhab.3 Perkumpulan diskusi ini didirikan di Surabaya pada tahun 1914 oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Mas Mansur, dan KH. Achmad Dahlan Achyad.

Sebelum KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Mas Mansur4 menjalankan gagasan untuk mendirikan kelompok diskusi tersebut, beliau telah belajar terlebih dahulu di Timur Tengah. Kelompok diskusi ini pada

2

Ibid., 84. 3

Choirul Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU (Sala: PT. Duta Aksara Mulia, 2010), 31. 4

(11)

3

awalnya sangat sederhana, bersifat lokal dan terbatas pada kalangan-kalangan tertentu seperti para ulama. Seiring perjalanan waktu pada tahun 1922 pengurus daripada kelompok diskusi Taswirul Afkar tersebut hanya terdiri dari kalangan tradisionalis. Hal ini dikarenakan pada tahun 1922 KH. Mas Mansur memutuskan untuk keluar dari Taswirul Afkar dan masuk ke dalam organisasi Muhammadiyah yang lebih condong kepada paham-paham yang dianut oleh kaum pembaru.5

Untuk lebih jelasnya mengetahui pemikiran dan peran KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam Taswirul Afkar maka dalam penelitian ini akan dibahas secara mendalam tentang pemikiran dan peranan KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam Taswirul Afkar.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul mengenai “KH. Abdul Wahab Chasbullah:

Pemikiran dan Peranannya dalam Taswirul Afkar (1914-1926 M)”, maka penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana riwayat hidup KH. Abdul Wahab Chasbullah? 2. Apa yang melatarbelakangi berdirinya Taswirul Afkar?

3. Bagaimana pemikiran dan peran KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam TaswirulAfkar?

5

(12)

4

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan yang ingin penulis sampaikan, antara lain:

1. Untuk mengetahui riwayat hidup KH. Abdul Wahab Chasbullah 2. Untuk mengetahui latarbelakang berdirinya Taswirul Afkar

3. Untuk mengetahui pemikiran dan peranan KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam Taswirul Afkar

D. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: 1. Secara Akademik (Praktis)

a. Hasil daripada penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi penelitian di bidang kesejarahan

b. Memberikan sumbangan wacana bagi perkembangan perbendaharaan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang sejarah.

2. Secara Ilmiah (Teoritis)

a. Bagi penulis, penyusunan penelitian ini digunakan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar S-1 pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

(13)

5

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Pada dasarnya, untuk mempermudah membantu ilmu sejarah memecahkan masalah, maka dibutuhkan pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya. Sebagaimana yang digambarkan oleh Sartono Kartodirdjo, bahwa penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat bergantung pada pendekatan, yaitu dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, dan unsur-unsur mana yang diungkapkan.6 Dengan pendekatan tersebut maka akan memudahkan penulis untuk merelasikan antara ilmu sosial sebagai ilmu bantu dalam penelitian sejarah.

Dalam penulisan skripsi ini pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan historis, dimana pendekatan tersebut digunakan untuk mendeskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Dengan pendekatan historis maka penulis dapat menjelaskan latarbelakang sejarah kehidupan KH. Abdul Wahab Chasbullah, pemikirannya serta peranannya dalam Taswirul Afkar.

Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan teori. Teori merupakan pedoman guna mempermudah jalannya penelitian dan sebagai pegangan pokok bagi peneliti disamping sebagai pedoman, teori adalah salah satu sumber bagi peneliti dalam memecahkan masalah penelitian.7 Teori yang digunakan dalam bahasan ini adalah teori peranan. Peranan merupakan proses dinamis dari status. Apabila seseorang

6

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1993), 4.

7

(14)

6

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, berarti dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena antarkeduanya memiliki ketergantungan satu sama lain.

Menurut Levinson, dalam bukunya Soerjono Soekanto peranan mencakup tiga hal antara lain:8

1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Dalam hal ini KH. Abdul Wahab Chasbullah memiliki peranan yang sangat penting dalam Taswirul Afkar karena ia merupakan penggagas berdirinya kelompok diskusi tersebut. Peran yang disumbangkannya dalam Taswirul Afkar merupakan buah dari hasil pemikirannya, baik dalam bidang agama, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Selain teori peranan, teori yang selanjutnya berkaitan dengan pembahasan ini adalah teori

8

(15)

7

kepemimpinan. Secara umum teori kepemimpinan terdiri dari tiga jenis yaitu:9

1. Teori genetis yaitu seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan.

2. Teori sosial yaitu setiap orang bisa menjadi seorang pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.

3. Teori ekologis yaitu seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia pada waktu lahirnya telah memiliki bakat kepemimpinan dan bakat tersebut dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman.

Berdasarkan dua tipe kepemimpinan di atas, dapat disimpulkan bahwa KH. Abdul Wahab Chasbullah termasuk ke kategori pemimpin dalam teori genetis, yaitu bahwasanya pemimpin itu dilahirkan dari keturunan, tetapi lahir menjadi seorang pemimpin karena bakat alami yang hebat dan ditakdirkan menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi apapun. Sebagaimana beliau telah mendirikan beberapa organisasi yang nantinya merupakan embrio daripada organisasi masyarakat Taswirul Afkar. Salah satunya adalah mendirikan Taswirul Afkar.

Max Weber juga mengklasifikasikan tipe kepemimpinan ke dalam tiga jenis yakni:10

9

YW. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), 18-20.

10

(16)

8

1. Pemimpin kharismatik ialah seseorang yang seolah-olah diberi tugas khusus dan karena itu dikaruniai bakat-bakat khusu oleh Tuhan untuk memimpin sekelompok manusia mengarungi tangan-tangan sejarah hidupnya.

2. Pemimpin tradisional ialah pemimpin yang mendapat kekuasaan berdasarkan warisan dari leluhurnya.

3. Pemimpin legal ialah pemimpin yang mendapat pelimpahan wewenang berdasarkan prosedur pemilihan atau pengangkatan atau pelantikan dan pengukuhan yang diatur dengan hukum positif yang berlaku dalam masyarakat.

Berdasarkan tipe kepemimpinan di atas, maka KH. Abdul Wahab Chasbullah dapat dikategorikan ke dalam tipe kepemimpinan berdasarkan otoritas kharismatik karena ia sangat berpengaruh dan memiliki kewibawaan pribadi yang muncul dengan sendirinya.

F. Penelitian Terdahulu

Kajian tentang KH. Abdul Wahab Chasbullah dan Taswirul Afkar sudah pernah dituliskan oleh beberapa mahasiswa dan penulis, baik dalam bentuk skrispi maupun buku. Namun, pembahasan mengenai “KH. Abdul

Wahab Chasbullah: Pemikiran dan Peranannya dalam Taswirul Afkar (1914-1926 M)” masih belum ada. Adapun beberapa penelitian terdahulu tentang KH. Abdul Wahab Chasbullah dan Taswirul Afkar, antara lain:

(17)

9

Skripsi mahasiswa jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya tersebut membahas tentang perjuangan dan pemikiran KH. Abdul Wahab Chasbullah dan dibahas sepintas tentang Taswirul Afkar.

2. Siti Khoiriah, “Peranan KH. Achmad Dahlan Achyad dalam Memperjuangkan Taswirul Afkar (1914-1942)” (Skripsi, 2014). Dalam skripsi mahasiswa jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut membahas tentang peran KH. Achmad Dahlan Achyad yang telah memperjuangkan Taswirul Afkar dan lembaga tersebut masih bertahan hingga saat ini.

3. Ade Fajrul Muttaqin, “Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Tujjar: Tiga Lembaga Pendahulu Lahirnya Taswirul Afkar 1914-1929” (Skripsi, 2008). Skripsi mahasiswa program studi Sejarah Universitas Indonesia tersebut membahas tentang tiga organisasi sekaligus yang menjadi pendahulu daripada Taswirul Afkar.

4. Choirul Anam, “KH. Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya” (Buku, 2015). Dalam buku tersebut membahas tentang

kehidupan dan perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah.

(18)

10

perkumpulan para ulama berbasiskan Islam-tradisional hingga akhirnya kelompok tersebut berkembang menjadi sebuah lembaga pendidikan.

G. Metode Penelitian

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode penulisan sejarah dengan langkah-langkah sebagai berikut:11

1. Heuristik (pengumpulan data) adalah kegiatan untuk mencari data atau menghimpun bahan-bahan sumber sejarah. Sumber sejarah adalah segala sesuatu yang berlangsung atau tidak langsung menceritakan tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau.12 Metode heuristik merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh peneliti. Adapun metode yang ditempuh dalam menghimpun data-data sumber sejarah dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan sumber data tertulis baik berupa sumber primer maupun sumber sekunder.

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber yang ditulis oleh pihak yang terlibat langsung dalam peristiwa sejarah atau pihak yang menjadi saksi mata peristiwa sejarah. Sumber primer yang digunakan penulis untuk penulisan ini adalah:

1) arsip yang ditulis pada tahun 1956 atas keterangan tahun lahir KH. Abdul Wahab Chasbullah sebagai anggota Dewan

11

Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), 38.

12

(19)

11

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Surat Perizinan Taswirul Afkar pada masa pemerintahan Jepang, Riwayat Taswirul Afkar oleh Hamim Syahid dan lain-lain.

2) wawancara terhadap para informan yang terkait dengan Taswirul Afkar, antara lain:

a) Hasib Wahab Chasbullah selaku putra kesepuluh KH. Abdul Wahab Chasbullah.

b) Nyai Hj. Hani’ah Mudjri selaku cucu KH. Achmad Dahlan Achyad, pengasuh Lembaga Taswirul Afkar tahun 1914-1942.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder digunakan sebagai pendukung dalam penelitian ini. Sumber-sumber tersebut didapatkan dari beberapa buku maupun literatur yang berkaitan dengan tema yang penulis bahas, dalam hal ini yang berkaitan dengan KH. Abdul Wahab Chasbullah.

1) buku “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”, karya Deliar Noer pada tahun 1988.

2) buku “KH. Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya”, karya Choirul Anam pada tahun 2015.

(20)

12

dimaksudkan sebagai penggunaan dan penerapan dari sejumlah prinsip-prinsip untuk menilai atau menguji kebenaran nilai-nilai sejarah dalam bentuk aslinya dan menerapkan pengertian sebenarnya. Kritik sumber terdiri dari dua jenis, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern adalah proses untuk melihat apakah sumber yang didapatkan tersebut asli atau tidak, sedangkan kritik intern adalah upaya yang dilakukan untuk melihat apakah sumber tersebut layak dipercaya kebenarannya atau tidak. Dengan kritik ekstern penulis melihat fisik daripada arsip-arsip yang telah didapatkan sedangkan dengan kritik intern penulis berusaha untuk melihat isi daripada arsip-arsip tersebut.

3. Interpretasi (penafsiran) yaitu menetapkan makna yang saling berhubungan atau menafsirkan fakta-fakta sejarah yang telah diperoleh. Tujuannya agar fakta yang ada mampu untuk mengungkap permasalahan yang ada, sehingga diperoleh pemecahannya. Dalam tahap ini penulis membandingkan fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga dapat ditetapkan makna dari fakta yang diperoleh untuk menjawab permasalahan yang ada.

(21)

13

1914-1926 M. Pada tahun tersebut kelompok diskusi Taswirul Afkar mengalami perkembangan yang cukup signifikan.

H. Sistematika Bahasan

Untuk mempermudah pemahaman dalam menyajikan pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini, maka perlu adanya langkah-langkah yang sistematis dalam penulisan skripsi ini, dimana apabila dijabarkan maka pokok bahasannya terdiri dari lima bab.

Bab pertama berupa pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika bahasan.

Bab kedua menjelaskan tentang biografi KH. Abdul Wahab Chasbullah, baik itu dari sisi genealogi, pendidikan karakter pribadi, hingga perjalanan karir di masa hidupnya.

Bab ketiga menjelaskan tentang latar belakang berdirinya Taswirul Afkar, sejarah berdirinya, serta perpecahan yang terjadi antara KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan KH. Mas Mansur.

Bab keempat menjelaskan tentang pemikiran KH. Abdul Wahab Chasbullah dan aplikasi pemikirannya dalam Taswirul Afkar serta peranannya dalam Taswirul Afkar.

(22)

14

BAB II

RIWAYAT HIDUP KH. ABDUL WAHAB CHASBULLAH

A. Sekilas tentang Jombang

Kota Jombang atau yang biasa disebut dengan Kota Santri merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang melahirkan beberapa tokoh-tokoh terkemuka di Indonesia seperti KH. Hasyim Asyari (1871-1947 M), KH. Abdul Wahab Chasbullah (1887-1971 M), KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009 M), KH. Wahid Hasyim (1914-1953 M), Nurcholish Madjid (1939-2005 M) dan masih banyak lagi lainnya.

Jombang disebut sebagai Kota Santri dikarenakan kota ini banyak tumbuh dan berkembang beberapa pondok pesantren. Hampir di setiap daerah terdapat pesantren. Namun, pesantren yang tergolong besar dan masih ada hingga saat ini adalah Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas yang berdiri pada tahun 1838 M, Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan yang didirikan oleh Kiai Tamim Irsyad pada tahun 1885 M, Pesantren Tebuireng Diwek yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M, dan Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar yang didirikan oleh KH. Bisri Syansuri pada

tahun 1917 M.1 Dari keempat pesantren itulah telah dilahirkan beberapa tokoh besar nasional maupun regional.

Dahulu Jombang juga merupakan sebuah ibukota kerajaan sejak zaman Mpu Sendok, Airlangga dan Majapahit. Sebelum Islam masuk, kota ini dijadikan sebagai pusat kota kerajaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya

1

(23)

15

prasasti Turyyan di desa Watugaluh yang menjelaskan bahwa Mpu Sendok mendirikan Kerajaan Medaeng Mataram Tamlang pada Juli 929 M dan ditemukannya batu Yoni Gambar di dusun Sedah desa Japanan kecamatan Mojowarno (pada zaman Majapahit). Jombang juga menjadi wilayah penting pada masa kerajaan Islam Demak Bintoro, Pajang dan Kerajaan Mataram. Bukti bahwa Jombang menjadi wilayah penting adalah digunakan sebagai transit pasukan Demak saat hendak menyerbu Majapahit.

Kekuasaan pun beralih ke tangan Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet atau Jaka Tingkir) dan ibukota kerajaan dipindah ke Pajang karena sebelum itu ada peselisihan dengan Aryo Panangsang. Dalam perselisihan tersebut Aryo Panangsang terbunuh dan karena prestasinya tersebut, maka peralihan kekuasaan dari Jaka Tingkir diserahkan kepada Raden Sutowijoyo. Sedangkan anak kandungnya sendiri memilih untuk menyendiri dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Pada tahun 1825 M daerah Wonosalam didatangi oleh seorang pemuda yang datang untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Pemuda tersebut bernama Abdussalam, cicit Pangeran Benowo. Ketika mengembara ia lebih memilih desa Gedang, sekitar tiga kilometer utara kota Jombang. Di desa itulah ia mendirikan sebuah pondok pesantren yang dijuluki dengan nama pesantren selawe karena santrinya hanya terdiri dari 25 orang.2

Kiai Abdussalam juga merupakan salah satu pemimpin pasukan Diponegoro. Setelah tertangkapnya Pangeran Diponegoro, Kiai Abdussalam

2

(24)

16

akhirnya memindahkan pasukannya dari Tegalrejo ke arah timur hingga sampai di wilayah Jombang. Karena dirasa pasukan akan selalu mengalami kekalahan apabila tidak terorganisir secara baik, maka Kiai Abdussalam berpikir strategis dengan menyiapkan kader untuk mengusir kolonialis Belanda melalui pondok pesantren. Pondok selawe benar-benar disiapkan untuk membentuk kader pejuang. Beberapa santrinya telah dikirimkan ke Timur Tengah untuk belajar agama sekaligus membuat jaringan perlawanan. Pondok itulah yang kemudian dikenal sebagai Bahrul Ulum, dimana pondok tersebut merupakan pondok tertua di Jombang dan disinilah tempat lahirnya Kiai Wahab. Kiai Abdussalam sendiri adalah kakek dari KH. Abdul Wahab Chasbullah.3

B. Genealogis

KH. Abdul Wahab Chasbullah atau yang sering dikenal dengan Kiai Wahab dilahirkan di desa Gedang kelurahan Tambakberas yakni sebuah wilayah yang terletak ± 3 km sebelah utara kota Jombang. Tidak diketahui tanggal dan bulan kelahirannya. Berdasarkan beberapa buku yang ada, dituliskan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1888, akan tetapi dalam kartu anggota parlemen tahun 1956 yang ditandatangani oleh Kiai Wahab sendiri menunjukkan bahwasanya ia dilahirkan pada tahun 18874 dan memang ia sendiripun tidak tahu secara detail pada tanggal dan bulan berapa ia dilahirkan.

3

Zainul Milal Bazawie, Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad (Tangerang: Pustaka Compass, 2014), 50.

4

(25)

17

Ia adalah putra pertama dari delapan bersaudara yang terlahir dari pasangan KH. Chasbullah dan Nyai Lathifah. Ayahnya sendiri adalah seorang pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas Jombang.

Kiai Wahab masih mempunyai hubungan keluarga dengan KH. Hasyim Asy’ari, karena mereka mempunyai nenek moyang (di atas kakek)

yang sama,5 silsilah ke atas sampai dengan pada Brawijaya VI atau yang biasa disebut dengan Lembu Peteng atau bertemu pada datuk yang sama6 yang bernama KH. Abdus Salam atau dikenal dengan sebutan Kiai Soichah yang berarti petir atau blêdhég (pemberani) dimana mereka juga memang sudah mempunyai bakat keturunan sebagai seorang pemimpin.

Untuk lebih jelasnya dalam mempelajari dan membaca genealogis Kiai Wahab dimulai dari Prabu Brawijaya VI sampai anak dari Kiai Wahab, maka akan disusun garis keturunan sebagai berikut:7

5

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942 (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1980), 250.

6

Hasib Wahab Chasbullah, Wawancara, Jombang, 4 November 2015. 7

(26)

18

Pangeran Handayaningrat

Kebo Kenongo

Jaka Tingkir (Mas Karebet)

Pangeran Benowo

Pangeran Sambo

Ahmad

Abdul Jabbar

Abdus Salam/ Kiai Soichah

dll. Fathimah

Layyinah

Chasbullah Halimah

Hasyim Asy’ari

Ummu Muhammad

Bisri Syansuri Wahab Hasbullah

Muh. Wahib

(27)

19

Jika dilihat dari garis keturunannya, Kiai Wahab memang memiliki bakat keturunan untuk menjadi seorang pemimpin, baik pemimpin agama maupun negara. Meskipun tidak ia tidak memiliki ambisi untuk menjadi seorang pemimpin tetapi sumbangan ilmu, pemikiran dan peranannya sangat berpengaruh bagi lingkungan di sekitarnya. Apalagi pada saat-saat itu juga keadaan Indonesia sedang dalam keterpurukan yakni pada zaman kedudukan kolonial Belanda yang menyengsarakan pribumi baik dari segi materiil maupun spirituil.

Selain itu memang sejak kecil Kiai Wahab sudah dapat diperkirakan bahwa kelak ia akan menjadi seorang pemimpin bahkan di tingkat nasional. Tanda-tanda tersebut dapat dilihat dari kecerdasan otaknya yang dapat menguasai beberapa ilmu seperti ilmu tauhid, ilmu hukum dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari tingkah lakunya juga disegani oleh masyarakat di sekitarnya.8

8

(28)

20

C. Pernikahan

Kiai Wahab dikabarkan beberapa kali menikah. Hal ini dikarenakan setelah menikah dan dikarunia anak, istrinya telah meninggal. Bermula ketika ia memperistri putri Kiai Musa dari Kertopaten, Surabaya yang bernama Maimunah. Dari pernikahannya tersebut pada tahun 1916 mereka dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Muhammad Wahib yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama.9

Pada tahun 1921 ketika ia dan istrinya menunaikan ibadah haji, istrinya meninggal di Mekkah. Tidak berselang lama setelah istri pertamanya meninggal, Kiai Wahab memperistri putri Kiai Alwi yang bernama Alwiyah. Dari pernikahannya dengan istri kedua, mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama Khadijah. Namun, tidak lama setelah kelahiran putrinya, istrinya pun meninggal dunia.

Setelah istrinya meninggal, Kiai Wahab pernah menikah lagi sebanyak tiga kali akan tetapi dari pernikahannya tersebut mereka tidak dikarunia anak. Kemudian Kiai Wahab menikah lagi dengan Asna, putri Kiai Said, seorang pedagang dari Peneleh, Surabaya. Dari pernikahannya dengan Asna, mereka dikaruniai empat anak. Salah satunya bernama Muhammad Nadjib.

Tidak lama setelah Asna meninggal sepulang dari menunaikan ibadah haji, Kiai Wahab menikah lagi dengan Fatimah binti H. Burhan. Bersama Fatimah mereka tidak dikarunia anak. Ia juga menikahi Masmah, bersama

9

(29)

21

Masmah mereka dikarunia seorang putra yang bernama Muhammad Adib. Kiai Wahab juga pernah menikah dengan Aslikhah, putri KH. Abdul Madjid dari Bangil dan dikaruniai empat orang anak, diantaranya yaitu: Jam’iyatin dan Mu’tamaroh. Pada tahun 1939 ia dan istrinya menunaikan ibadah haji dan

sepulangnya ke Jombang tidak lama istrinya meninggal dunia.

Pada akhirnya, pernikahannya yang terakhir adalah dengan Sa’diyah, kakak dari almarhum istrinya yang bernama Aslikhah. Sa’diyah hingga saat

ini masih hidup dan menjadi pengurus Pondok Pesantren Putri al-Lathifiyah Tambakberas.10 Pernikahan dengan istri terakhirnya ini merupakan pernikahan yang berlangsung paling lama daripada pernikahan dengan istri sebelumnya. Dari pernikahannya dengan Sa’diyah mereka dikaruniai empat

orang anak, diantaranya: 1. Mahfudhoh

2. Hasbiyah 3. Munjidah

4. Muhammad Hasib, dan 5. Muhammad Rokib

Sebagai seorang suami dan tokoh terkemuka di masyarakat, Kiai Wahab tidak pernah lepas dari tanggungjawabnya sebagai ayah dan seorang pemimpin. Ia mampu mengatur waktu seefektif dan seefisien mungkin dan melakukan segala kegiatannya secara totalitas. Berbagai organisasi telah didirikan, akan tetapi pondok pesantren Tambakberas tidak lepas dari

10

(30)

22

pengawasannya. Ia rela pergi pulang dari Jombang-Surabaya hanya untuk mengurus organisasi yang ia dirikan di Surabaya (Taswirul Afkar) bersama KH. Mas Mansur dan KH. Ahmad Dahlan Achyad.

Kiai Wahab merupakan keluarga berada dalam hal materi, keluarganya memiliki berbagai usaha, antara lain: berdagang nila (bahan untuk membuat batik), beternak ayam dan bertani. Dari hasil kekayaannya itulah maka ketika mendirikan organisasi Nahdlatul Tujjar Kiai Wahab mampu membiayai berbagai keperluan organisasi.11 Ia juga dipercaya sebagai pokrol (pengacara), dan sebagai syekh yang mengurusi ibadah haji (badal haji).

D. Pendidikan

Dikarenakan sejak kecil Kiai Wahab hidup di kalangan pesantren, maka saat itu pula ia mendapatkan pendidikan Islam tingkat dasar sampai umur 13 tahun. Ayahnya sebagai guru baginya. Beberapa buku elementer tentang teologi Islam, yurisprudensi12 dan tata bahasa Arab tingkat menengah telah dipelajarinya. Tidak hanya berhenti sampai disitu, ayahnya juga mengirimkannya ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur untuk mempelajari dan memperdalam ilmu keagamaannya. Beberapa pondok pesantren tersebut antara lain:

1. Pondok Pesantren Langitan Tuban. Selama satu tahun ia belajar disana.

11

Hasib Wahab Chasbullah, Wawancara, Jombang, 4 November 2015. 12

(31)

23

2. Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk. Belajar di pondok tersebut selama empat tahun berada di bawah bimbingan Kiai Saleh dan Kiai Zainuddin. Di pondok inilah ia memperdalam ilmu yurisprudensi Islam. Salah satu kitab yang dipelajarinya ketika di pondok Mojosari adalah kitab Fathul Mu’in.

3. Pondok Pesantren Cepaka. Namun, di tempat inilah ia hanya tinggal selama enam bulan saja.

4. Pondok Pesantren Tawangsari Surabaya dibawah bimbingan Kiai Ali. Di pondok tersebut ia kembali lagi memperdalam pengetahuan dalam bidang yurisprudensi Islam. Kali ini kitab yang didalami adalah kitab Al-Iqna. 5. Pondok Pesantren Kademangan, pada kesempatan itu ia berada di bawah

bimbingan Kiai Khalil, seorang kiai yang paling masyhur di seluruh Jawa-Madura pada akhir abad ke-19 M dan permulaan abad ke-20 M. Ia belajar selama tiga tahun di pondok tersebut dengan memperdalam pengetahuan di bidang tata bahasa Arab dari kitab karangan Ibn Malik dan Ibnu Aqil yakni alfiyah dan syarah-syarahnya, linguistik dan kesusastraan Arab. Kiai Khalil hampir seangkatan dengan Syekh Nawawi, Abdul Karim dan Mahfudh dan belajar di Mekkah sekitar tahun 1860-an. Di Jawa ia dikenal sebagai seorang wali, walaupun tidak memimpin sebuah tarekat. Selain dikenal sebagai seorang wali. Kiai Khalil juga dikenal sebagai seorang ahli tatabahasa dan sastra Arab, fikih dan tasawuf.

(32)

24

Islam, tauhid dan tasawuf,13 sejarah Islam serta kitab-kitab fikih dari madhab Syafi’i seperti Fathul Wahab.

7. Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang selama empat tahun di bawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari. Ia belajar di pesantren Tebuireng atas saran

dari Kiai Kholil dikarenakan Kiai Kholil yakin bahwa ilmu Kiai Hasyim Asy’ari sudah mumpuni walaupun umurnya tergolong masih muda pada

saat itu.

Walaupun Kiai Wahab juga masih tergolong muda yaitu 23 tahun pada saat itu, akan tetapi ilmunya juga sudah mencukupi. Namun, ayahnya merasa tidak cukup hanya sampai disitu. Maka, pada tahun 1909 ia dikirim ke Mekkah untuk memperdalam ilmunya. Kiai Hasyim Asy’ari juga

mendukungnya untuk memperdalam ilmunya dengan pergi ke Mekkah. Di tanah suci Kiai Wahab berguru dengan beberapa ulama terkenal dari Indonesia. Ia berguru di Mekkah selama empat tahun. Ulama-ulama tersebut antara lain:

1. Kiai Mahfudz at-Tarmisy (kelahiran Termas, Pacitan dan pengarang kitab Syafi’i yang populer dengan sebutan al-Turmusi). Kepada Kiai Mahdfudz

ia memperdalam ilmu hukum, tasawuf dan usul-fikih. Kiai Mahfudz juga seorang pengajar di Masjidil Haram, ia menjadi kebanggaan bangsa Melayu sebagai seorang alim berkaliber internasional. Di kalangan para kiai ia juga dikenal sebagai seorang ahli dalam hadis Bukhari. Ia diakui

13

(33)

25

sebagai seorang isnad (mata rantai) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran sahih Bukhari.14

2. Kiai Mukhtarom (berasal dari Banyumas, Jawa Tengah). Kepada Kiai Mukhtarom ia menamatkan kitab Fathul Wahab.

3. Syekh Ahmad Khatib (kelahiran Minangkabau). Yang pada waktu itu menjadi Mufti Syafi’i di Mekkah, terutama dalam bidang ilmu fikih.

4. Kiai Bakir (asal Yogyakarta). Kepada Kiai Bakir ia belajar mengenai ilmu mantik.

5. Kiai Asy’ari (asalBawean). Kepada Kiai Asy’ari ia mendalami ilmu hisab dan ilmu falak.

6. Syekh Abdul Karim ad-Daghestany. Kepada Syekh Abdul Karim ia menamatkan Kitab Tuhfah.

7. Syekh Abdul Hamid (asal Kudus, Jawa Tengah). Kepada Syekh Abdul Hamid ia belajar mengenai ilmu ‘arudh dan ma’ani.

8. Syekh Umar Bejened, kepada Syekh Umar ia belajar tentang ilmu fikih. Karena kepandaiannya dalam bidang keagamaan, Kiai Wahab akhirnya mendapatkan ijazah istimewa dari gurunya yaitu Kiai Mahfudz Termas dan Syekh Sa’id al-Yamani. Kegiatan Kiai Wahab di Makkah tidak

hanya belajar keagamaan saja, rupanya ia belajar tentang ilmu perdebatan. Sesuai dengan kegemarannya, disana pula ia bertemu dengan seorang guru

14

(34)

26

ahli mujadalah. Ahli mujadalah tersebut ialah Kiai Muchith asal Panji, Sidoarjo.15

E. Karakter Pribadi

Jika disebut nama Kiai Wahab, orang yang pernah bergaul dengannya akan mudah teringat image seseorang yang bertubuh kecil tetapi bersikap gagah, memiliki ketangkasan seorang genial yang hidup, ramah tamah tetapi berwibawa. Kulitnya yang hitam tidak mengurangi sinar wajahnya yang menyimpan sifat kasih sayang kepada siapapun. Kiai Wahab dikenal sebagai kiai yang suka humor. Ia senang dan mudah sekali bergaul karena dalam pandangannya semua orang adalah sama, saling memerlukan. Ilmunya tidak saja hanya terbatas pada bidang agama, tetapi memiliki kekayaan ilmu di banyak bidang. Orang yang dekat dengannya tak pernah merasa jemu mendengar uraian kata-katanya, serba baru dan mengandung nilai kebenaran. Kiai Wahab bukan termasuk golongan “manusia klise”, karena tindak tanduk serta tutur katanya orisinil keluar dari perbendaharaan ilmu dan pengalamannya. Tak pernah merasa tanggung berbicara di muka umum. Kecerdasan otaknya diperlengkap dengan retorika (keterampilan berbahasa secara efektif) menyebabkan kesanggupannya yang menarik apabila berbicara.16

Kiai Wahab tidak hanya berkecimpung dalam organisasi saja, ia juga memiliki hobi yaitu pencak silat. Tentang kepandaian silatnya ia sering

15

Anam, Kiai Abdul Wahab Chasbullah, 97. 16

Saifuddin Zuhri, Al-Maghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri Nahdlatul

(35)

27

mengalahkan penantangnya di arena perlombaan yang diadakan di daerahnya. Pernah ada seorang penantang yang menginginkan Kiai Wahab untuk menghadapinya. Dipercaya bahwa penantang tersebut adalah pengikut “aliran hitam”. Ketika ia menantang Kiai Wahab, Kiai Wahab menyanggupinya.

Dengan kelihaiannya ia dapat mengalahkan penantang tersebut dan penantang tersebut mengaku kalah serta mengikuti jejak Kiai Wahab dan menjauhkan diri dari “aliran hitam”.17

Di tengah-tengah kesibukannya, Kiai Wahab juga menyempatkan diri untuk mendidik anak-anaknya terutama masalah dasar agama Islam sebelum mengirimkan mereka ke para ulama untuk memperdalam ilmunya. Ia juga mengajak anak-anaknya ke berbagai pertemuan-pertemuan tidak resmi, baik pada acara Hari Ulang Tahun Nahdlatul Ulama maupun pada acara-acara pengajian yang biasanya diselenggarakan setelah kongres NU. Tujuannya adalah agar mereka menjadi anak yang bermental kuat dan berani. Kiai Wahab juga tidak pernah membeda-bedakan anaknya apabila mereka melakukan suatu kesalahan.

F. Perjalanan Karier 1. Lurah Pondok

Kiai Wahab senantiasa mencari ilmu dari pesantren satu ke pesantren lain. Ia diibaratkan sebagai santri pengelana di abad ke-20 M, sebagaimana yang digambarkan oleh Zamakhsyari Dhofier.18 Pengalaman kehidupan beliau menyajikan suatu contoh yang paling bagus dari karier

17

Hasib Wahab Chasbullah, Wawancara, Jombang, 4 November 2015. 18

(36)

28

pendidikan seorang santri yang akhirnya menjadi seorang kiai yang masyhur. Karena pengalaman kehidupannya yang banyak di berbagai pesantren dan pengetahuannya yang telah cukup tinggi dalam cabang-cabang pengetahuan Islam, ia ditunjuk untuk menjadi lurah pondok dan anggota baru dalam kelompok musyawarah. Kelompok musyawarah adalah kelompok dimana terdapat para ustad senior, yang setelah belajar di berbagai pesantren antara 10-20 tahun dan memiliki pengalaman mengajar, maka di kemudian hari akan dididik oleh KH. Hasyim Asy’ari untuk menjadi kiai. Dalam kelompok musyawarah tersebut ada beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu seminar-seminar yang membahas berbagai masalah agama, baik yang dipertanyakan oleh masyarakat, maupun yang dilontarkan oleh kiai sebagai latihan untuk memecahkan masalah.

2. Mendirikan Taswirul Afkar

(37)

29

3. Pembaru Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tambakberas Jombang

Pada tahun 1914, sekembali dari Mekkah ia melakukan pembaharuan di pondok pesantren Tambakberas, Jombang. Pembaharuan tersebut yaitu dengan mengubah sistem pendidikan halaqah menjadi sistem pendidikan madrasah. Dengan perubahan tersebut pondok pesantren Tambakberas mengalami perkembangan yang cukup pesat dan pada tahun 1915 Kiai Wahab mendirikan madrasah yang pertama (terletak di sebelah barat masjid, sekarang dibangun gedung Yayasan PPBU), madrasah tersebut diberi nama Madrasah Mubdil Fan.19

Pada awalnya Madrasah Mubdil Fan ini tidak mendapatkan izin dari Kiai Chasbullah, ayahnya. Secara diam-diam Kiai Wahab mengajar murid-muridnya di sebuah ruangan. Pintu ruangan tersebut ditutup dan digunakan sebagai media untuk menulis (papan tulis) dengan menggunakan kapur tulis. Ayahnya sempat mendatanginya ketika pelajaran sedang berlangsung. Ayahnya marah seraya mengucapkan:

ثَ ت ْنَم

مُهْ نِم َوُهَ ف ٍمْوَقِب َهِب

ْْ

Artinya:

Barangsiapa berbuat sama dengan suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.

19

(38)

30

Hal ini berarti bahwa Kiai Chasbullah melarang Kiai Wahab untuk melaksanakan pendidikan tersebut karena dikhawatirkan akan menyerupai dengan pendidikan yang dilakukan oleh para penjajah pada waktu itu dengan sistem pembelajaran yang menggunakan bangku, buku dan mulai menerapkan metode menulis.

Entah apa yang terjadi, satu tahun setelah itu ayahnya mengizinkan Kiai Wahab untuk melanjutkan pendidikan tersebut dengan mendirikan sebuah madrasah yang terletak kurang lebih setengah kilometer sebelah barat Pondok Pesantren Tambakberas. Setelah berkembang madrasah tersebut kembali lagi di lokasi sekitar Pondok Pesantren Tambakberas.

Rupanya sistem pembelajaran di madrasah tersebut telah menyedot animo masyarakat untuk memperdalam ilmunya hingga akhirnya sistem pendidikan di madrasah tersebut ditiru oleh pondok pesantren lainnya.

4. Pendiri Nahdlatul Wathan

Bersama KH. Mas Mansur ia mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan. Organisasi ini bertujuan untuk menghimpun pemikiran dan perjuangan para ulama yang prihatin atas kondisi rakyat dan bangsanya. Nahdlatul Wathan di bawah pimpinan Kiai Wahab berhasil mendirikan sekolah-sekolah di berbagai daerah di Jawa Timur, antara lain:20

a. Sekolah atau Madrasah Wathan di Wonokromo b. Sekolah atau Madrasah Farul Wathan di Gresik c. Sekolah atau Madrasah Hidayatul Wathan di Jombang

20

(39)

31

d. Sekolah atau Madrasah Khitabul Wathan di Surabaya.

5. Pendiri Nahdlatul Tujjar

Sadar akan pentingnya mambangun sektor ekonomi, Kiai Wahab pada akhirnya menghubungi kawan-kawannya di Kediri, Jombang dan Surabaya yang berlatarbelakang sebagai seorang pedagang kecil dan memperjualbelikan produk-produk pertanian, perkebunan dan industri.

Organisasi tersebut didukung oleh 45 orang pedagang dari ketiga kota tersebut. Anggota dari organisasi tersebut antara lain:21

a. KH. Hasyim Asy’ari

b. KH. Abdul Wahab Chasbullah c. KH. Bisri Syansuri

d. H. Yusuf e. Kiai Mansyur f. H. Abdul Hamid

g. H. Abdurrahim, dan lain-lain

Demikian secara singkat dipaparkan tentang riwayat hidup KH. Abdul Wahab Chasbullah. Dalam bab-bab berikutnya akan dibahas secara mendalam tentang pemikiran Kiai Wahab dan peranannya di Taswirul Afkar.

21

(40)

32

BAB III

SEJARAH TASWIRUL AFKAR

A. Latar Belakang Berdirinya Taswirul Afkar

Setelah menimba ilmu selama kurang lebih empat tahun lamanya di Mekkah, pada tahun 1914 Kiai Wahab kembali ke tanah air. Pada tahun tersebut bersamaan pula dengan menjelang meletusnya Perang Dunia I dan pada saat itu juga rakyat Indonesia juga berada dalam cengkeraman kolonial. Kiai Wahab tidak bisa bertopang dagu melihat rakyat Indonesia yang terjajah tersebut hidup dalam kesengsaraan. Ia juga tidak rela melihat kaum santri direndahkan, baik oleh para penjajah maupun oleh bangsa sendiri, yaitu kalangan para priayi. Selain keterpurukan yang dialami oleh kaum pribumi sebagai inisiatif berdirinya Taswirul Afkar, beberapa organisasi lain juga turut menjadi inspirasi bagi Kiai Wahab untuk mewadahi para intelektual muslim di Taswirul Afkar.

Sebelumnya, pada pertengahan abad ke-19 M sampai dengan awal abad ke-20 kondisi masyarakat pribumi sangat terpuruk, khususnya di Jawa. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemerintah Belanda, demi mendapatkan kesejahteraan negaranya mereka berusaha untuk memonopoli rakyat Indonesia dengan diterapkannya sistem Tanam Paksa. Johannes van den Bosch (1780-1844) selaku pengusul sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830 berhasil menjadi gubernur jenderal yang baru di Jawa.1 Sistem Tanam Paksa yang ia terapkan berhasil memeras hasil jerih payah

1

(41)

33

kaum pribumi. Menurutnya, setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya guna ditanami komoditas ekspor (khususnya kopi, tebu dan nila) untuk dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan.2 Dari rancangan tersebut dapat dipastikan antara kaum pribumi dan pihak Belanda sama-sama mendapatkan keuntungan. Namun, apa yang diharapkan oleh kaum pribumi justru jauh berbanding terbalik. Penyelewengan dan korupsi pun terjadi.

Situasi dan kondisi inilah yang menyebabkan keresahan sosial masyarakat pribumi, sehingga dengan kondisi tersebut maka muncul berbagai perlawanan dalam bentuk peperangan. Perang Paderi (1821-1838 M), Perang Diponegoro (1825-1830 M) dan Perang Aceh (1837-1912 M) merupakan bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda.

Pada permulaan awal abad ke-20 M Belanda mulai mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kebijakan kolonial Belanda kini memiliki tujuan baru, sebagai pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia akibat eksploitasi yang telah mereka lakukan, maka pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan baru yang dinamakan dengan “politik etis” sebagaimana yang telah dicantumkan dalam jurnal

Belanda de Gids oleh C. Th. van Deventer (1857-1915 M) dengan artikel yang berjudul “Een eerrschuld”, “suatu utang kehormatan”.3

2

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, terj. Tim Penerjemah Serambi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), 260.

3

(42)

34

1. Politik Etis

Politik etis atau yang biasa disebut dengan istilah politik balas budi merupakan suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas. Politik etis tersebut muncul setelah adanya kecaman-kecaman terhadap pemerintan bangsa Belanda yang dilontarkan dalam novel Max Havelaar (1860 M) karya Multatuli (Edward Douwes Dekker).

Setelah meninggalnya C. Th. van Deventer (salah satu kampium politik etis terkemuka), maka pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina (1890-1948) mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa dan pada saat itulah politik etis telah diresmikan. Pada tahun 1902, Alexander W.F. Idenburg selaku Menteri Urusan Daerah Jajahan (1902-1905, 1908-1909, 1918-1919) dan Gubernur Jenderal (1909-1916)4 telah mempraktikkan pemikiran-pemikiran politik etis ke dalam tiga hal, antara lain:5

a. Edukasi (pendidikan), terdapat dua aliran pemikiran yang berbeda mengenai sistem pendidikan yang akan diterapkan untuk pribumi. Aliran pertama diusulkan oleh Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon, mereka menginginkan pendidikan bergaya Eropa yang hanya diberikan kepada kaum elite saja dengan Bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Demikian mereka dapat mengambil alih pekerjaan yang ditangani para pegawai pemerintah berkebangsaan

4

Ibid., 328. 5

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia V:

(43)

35

Belanda sehingga mereka dapat bekerja sama dengan pihak Belanda dan dapat mengendalikan “fanatisme Islam”.6 Sedangkan aliran kedua

diusulkan oleh Idenburg dan Gubernur Jenderal van Heutz (1904-1909) yang menginginkan agar pendidikan diutamakan bagi golongan bawah dengan bahasa Jawa sebagai pengantarnya sehingga diharapkan dengan sistem pendidikan seperti itu dapat mensejahterakan rakyat. Akan tetapi nyatanya apa yang diingiinkan jauh dari apa yang diharapkan oleh pendukungnya.

b. Irigasi (pengairan), sistem daripada politik ini memiliki tujuan untuk membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan serta bendungan untuk keperluan pertanian.

c. Emigrasi (perpindahan penduduk), pada zaman penjajahan Belanda pertambahan jumlah penduduk khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami peningkatan yang cukup pesat, sementara penduduk di daerah-daerah luar Jawa masih jarang penduduknya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, satu-satunya jawaban yang diberikan Belanda adalah emigrasi dari Jawa ke luar Jawa, suatu kebijakan yang masih terus dilanjutkan setelah kemerdekaan Indonesia dengan nama ‘transmigrasi’.

Dari beberapa kebijakan politik etis yang diterapkan tersebut pada kenyataannya terdapat lebih banyak janji daripada pelaksanaan dan faktanya. Namun, di sisi lain ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh oleh

6

(44)

36

rakyat pribumi. Sebagian dari mereka dapat mengenyam pendidikan yang layak meskipun hanya dikhususkan bagi kaum bangsawan saja. Oleh karena itu sebagian dari mereka telah menjadi pemimpin sekaligus berkembang menjadi pencetus sebuah pergerakan kebangkitan nasional yang pada awalnya sebagian besar dimulai dengan melalui perhimpunan sosial-pendidikan. Dari laterbelakang tersebut timbulah gerakan kebangkitan nasional seperti kelompok diskusi Taswirul Afkar, Budi Utomo dan Sarikat Islam.

2. Budi Utomo

Sebagai akibat dari politik etis yang salah satu didalamanya terkandung usaha memajukan pendidikan, maka pada dekade pertama abad ke-20 kaum pribumi masih mengalami hambatan dana belajar. Keadaan tersebut telah menggugah dr. Wahidin Sudirohusodo untuk menghimpun dana pada tahun 1906-1907. Ide tersebut diterima dan dikembangkan oleh Sutomo, seorang mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Arsten).7 Dari sinilah awal perkembangan Budi Utomo dapat direalisasikan.

Tepat pada hari Minggu, tanggal 20 Mei 1908 organisasi Budi Utomo didirikan. Organisasi untuk kaum muda Jawa ini didirikan oleh Soetomo dengan dibantu oleh beberapa rekan yang mendukungnya, seperti: Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, Goembreng,

7

(45)

37

Mohammad Saleh dan Soelaeman. Mereka adalah tokoh-tokoh yang paling banyak jasanya bagi berdirinya Budi Utomo.8

Untuk merealisasikan cita-cita Budi Utomo maka diperlukan pengajaran bagi orang Jawa untuk membangkitkan kembali kultur Jawa dengan cara mengkombinasikan antara tradisi, kultur dan sistem pendidikan Barat. Corak baru yang selanjutnya diperkenalkan oleh Budi Utomo adalah kesadaran lokal untuk mewadahi organisasi modern dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota dan yang membedakan organisasi Budi Utomo dengan organisasi yang lain adalah bahwa organisasi ini diikuti oleh organisasi lainnya dan disinilah terjadi perubahan-perubahan sosio-politik.

Seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelum berdirinya Budi Utomo, tepatnya pada tahun 1901 di Semarang telah dibentuk sebuah perkumpulan bernama Suria Sumirat atau “Matahari Bersinar”. Perkumpulan ini berfungsi untuk mengorganisasi rakyat orang Jawa yang terdiri dari para pengrajin. Lebih tepatnya perkumpulan ini digambarkan sebagai koperasi pengrajin, dimana para anggotanya menerima pendidikan dalam hal pandai besi, pekerjaan perkalengan, pembuatan barang-barang tembaga dan keterampilan semacamnya.9 Dalam perkumpulan tersebut terdapat kedekatan antara tokoh-tokoh Taswirul Afkar seperti Kiai Wahab dan KH. Mas Mansur dengan organisasi Budi Utomo yang kemudian melahirkan gagasan untuk membentuk wadah

8

Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, terj. Pustaka Utama Grafiti dan KITLV(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 189), 64.

9

(46)

38

organisasi bagi para anggota Budi Utomo agar mereka dapat mempelajari agama Islam secara lebih mendalam.10

3. Sarekat Islam

Pada tahun 1911 H. Samanhudi mendirikan sebuah organisasi yang bernama Sarikat Dagang Islam (SDI) di kampung Laweyan kota Surakarta. Anggota-anggotanya adalah para pengusaha batik dari Surakarta. Berdirinya SDI dilatarbelakangi oleh ekonomi rakyat yang pada waktu itu dikuasai oleh golongan Cina seperti bahan-bahan batik yang hanya dapat diperoleh dengan perantara pedagang Cina, mereka mempermainkan harga batik. Demikianlah, timbul usaha dari pengusaha batik di Surakarta untuk mengadakan persatuan demi melawan taktik dagang para pedagang Cina. Dinamakan Sarikat Dagang Islam dikarenakan mayoritas dari pedagang batik tersebut memeluk agama Islam.

Berdirinya SDI disambut baik oleh para pengusaha batik, akan tetapi organisasi tersebut tidak akan disahkan oleh pemerintah apabila tidak terdapat anggaran dasarnya. Karena dirasa H. Samanhudi merasa tidak mampu untuk menyusunnya, maka dia mencari bantuan kepada HOS Tjokroaminoto. Ia adalah seorang pelajar Indonesia yang bekerja pada sebuah perusahaan di Surabaya.11

10

Hamim Syahid, Riwayat Taswirul Afkar, 1968, 2. 11

(47)

39

Setelah H. Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto melakukan diskusi, Tjokroaminoto memiliki inisiatif untuk merubah nama Sarekat Dagang Islam menjadi Sarikat Islam. Alasan tersebut atas pertimbangan bahwa perkumpulan tersebut tidak hanya terbatas pada kaum pedagang saja, akan tetapi juga mempunyai dasar yang lebih luas sehingga orang Islam yang bukan pedagangpun dapat menjadi anggota. Gagasan Tjokroaminoto akhirnya dapat diterima oleh H. Samanhudi dan pada tanggal 10 September 1912 berdirinya Sarikat Islam disampaikan kepada notaris dan selanjutnya dapat disahkan sebagai badan hukum oleh pemerintah.

Tujuan SI adalah mengembangkan perekonomian, demikian pidato yang berkali-kali disampaikan oleh HOS Tjokroaminoto. Ia adalah seorang orator yang cakap dan bijak dan mampu memikat anggotanya. Pada tanggal 26 Januari 1913 tepatnya di Kebun Binatang Surabaya, SI telah mengadakan kongres dan menegaskan bahwa tujuan SI adalah menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia dan mampu bersaing dengan bangsa asing.12 Secara tidak langsung pidato dari HOS Tjokroaminoto telah menggugah para pendengarnya untuk mengobarkan semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda untuk menuntut keadilan. Salah satu pendengar dari pidatonya adalah Kiai Wahab, dapat disimpulkan bahwa berdirinya Taswirul Afkar adalah

12

(48)

40

inspirasi dari pidato HOS Tjokroaminoto. dimana pada saat itu Kiai Wahab merupakan salah satu anggota yang bergabung dengan SI.13

Usaha untuk meningkatkan ekonomi bangsa telah diterima oleh kalangan wong cilik. Mereka mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kehidupan sebelumnya yaitu upah kerja yang buruk, sewa-menyewa tanah, masalah-masalah yang berlaku di tanah partikelir dan juga tingkah laku menyakitkan hati yang dilakukan oleh para mandor dan kepala pribumi. Di kalangan rakyat bawah, SI mampu meyedot perhatian rakyat. Di cabang Jakarta SI mempunyai anggota sebanyak 12 ribu orang. Dalam kongresnya di Surabaya jumlah keseluruhan anggotanya menjadi lebih dari 90 ribu orang yang terdiri dari 30 ribu orang dari cabang Solo, 16 ribu orang dari cabang Surabaya, 25 ribu orang dari cabang Jakarta, 23 ribu orang dari cabang Cirebon dan 17 ribu orang dari Semarang.

Dengan terlihatnya peningkatan anggota yang cukup signifikan, pemerintah Hindia-Belanda harus mencermati jejak SI yang dianggapnya berbahaya. Gubernur Jenderal Idenburg (1909-1916) merasa gelisah dengan ancaman yang akan segera datang dengan semakin kuatnya basis SI. Idenburg tidak begitu saja melarang organisasi SI, tetapi ia hanya membuat kanalisasi dalam arti mengurangi desakan kuat sehingga tidak timbul satu kekuatan besar yang dapat menghancurkan eksistensi pemerintah. Hal ini dijabarkan dalam pemberian badan hukum

13

(49)

41

(rechtpersoon) kepada SI, sehingga organisasi ini leluasa menjalankan kegiatannya tanpa ada hambatan dari pihak manapun.14

4. Gerakan Pembaruan Islam

Tokoh pemikir pembaruan Islam di Timur Tengah baik dari Turki, India, Mesir dan sebagainya secara tidak langsung telah memengaruhi para pemikir Islam di Indonesia. Model pemikiran mereka terlihat berbeda akan tetapi lebih cenderung memiliki tujuan yang sama yaitu adanya keadilan bagi umat Islam dan semangat untuk keluar dari cengkeraman Barat sebagaimana gagasan yang telah dipelopori oleh Jamaludin al-Afghani tentang Pan-Islamisme, dimana ia menginginkan adanya persatuan umat muslim di seluruh dunia. Secara tidak langsung gagasan tersebut telah memengaruhi semangat kebangkitan nasional di Indonesia baik dari para ulama dan golongan nasionalis karena mayoritas negara muslim di Timur Tengah melakukan pemberontakan terhadap penjajah.

Peristiwa tersebut juga memengaruhi beberapa ulama yang sedang menimba ilmu di Mekkah seperti Kiai Wahab, KH. Muhammad Dahlan dan Kiai Asnawi. Mereka telah membentuk suatu perkumpulan Sarikat Islam yang disebut dengan SI Mekkah. Namun, usaha daripada organisasi tersebut tidak dapat berlanjut dikarenakan pada saat itu bersamaan dengan terjadinya peristiwa Perang Dunia I. Peristiwa tersebut memutuskan

14

(50)

42

mereka untuk kembali ke Indonesia dan di Indonesialah mereka berusaha bergabung lagi dengan SI di Indonesia.

B. Sejarah Berdirinya Taswirul Afkar dan Kegiatannya

Berdasarkan catatan sejarah, dipahami bahwa tiga organisasi pendahulu seperti Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Nahdlatul Tujjar merupakan embrio utama berdirinya Nahdlatul Ulama. Organisasi-organisasi ini telah melibatkan tokoh-tokoh pesantren, para saudagar dan simpatisan yang masih memiliki kesamaan cara pandang dan ideologi sebagai penganut Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sekaligus memiliki kecintaan kepada bangsa.15 Di antara ketiga organisasi tersebut salah satu yang menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama adalah Taswirul Afkar. Taswirul Afkar berarti “potret pemikiran”, ada pula yang mengartikannya sebagai “pergolakan pemikiran”.

Taswirul Afkar merupakan suatu kelompok diskusi yang didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Mas Mansur (1896-1946 M) dan KH. Ahmad Dahlan Achyad (1885-19 M)16 di Surabaya pada tahun 1914.17 Taswirul Afkar dijadikan sebagai wadah para ulama baik dari lingkungan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya. Pada

15

Wasid Mansyur, Biografi Kiai Ahmad Dahlan: Aktivis Pergerakan dan Pembela Ajaran Aswaja (Surabaya: Pustaka Idea, 2015), 37.

16

KH. Ahmad Dahlan Achyad biasa dikenal dengan Muhammad Dahlan (bukan KH. Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah). Ia lahir pada tanggal 30 Oktober 1885 M di daerah Kertopaten, Surabaya. Ia merupakan putra keempat dari enam bersaudara yang terlahir dari pasangan KH. Muhammad Achyad dan Nyai Hj. Mardliyah. KH. Ahmad Dahlan Achyad, juga merupakan pengasuh di Pondok Pesantren Kebondalem Surabaya. Najmuddin Ramly dan Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Muhammadiyah: Pemikiran dan Kiprah dalam Panggung Sejarah

Muhammadiyah (Jakarta: Best Media Utama, 2010), 55.

17

(51)

43

dasarnya kelompok diskusi ini membahas berbagai masalah keagamaan, kemasyarakatan dan juga bagaimana mempertahankan sistem bermadhab.

Pada awalnya Taswirul Afkar sangat sederhana, bersifat lokal dan terbatas pada kalangan orang-orang tertentu seperti para ulama. Oleh karena terbatasnya anggota yang terhimpun dalam kelompok diskusi tersebut maka Taswirul Afkar kurang dikenal secara umum oleh masyarakat. Namun, dikarenakan sang pendiri menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan, terutama kebebasan berpikir dan berpendapat di kalangan umat Islam Indonesia pada akhirnya kelompok diskusi ini menarik minat masyarakat terutama para pemuda untuk ikut serta di dalamnya.

Pada akhirnya Taswirul Afkar merupakan suatu tempat perdebatan yang intensif dan menarik perhatian. Di situlah banyak tokoh Islam dari organisasi lain bertemu dan memanfaatkan kelompok diskusi ini untuk memecahkan masalah-masalah agama yang sedang mereka hadapi. Beberapa tokoh Islam dari organisasi lain tersebut diantaranya adalah Syekh Ahmad Soorkati (1872-M), pendiri perkumpulan al-Irsyad dan KH. Ahmad Dahlan (1869-M). Para tokoh Islam tersebut biasanya membahas tentang permasalahan agama yang sedang dihadapi pada waktu itu. Pada pelaksanaan kegiatannya, kelompok diskusi tersebut kemudian berkembang pada hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan khilafiyah18 dalam Islam, yakni mengenai madhab dan ijtihad.

18

(52)

44

Sebagai langkah awal dalam menjalankan gagasannya tersebut, KH. Wahab bersama teman belajarnya ketika di Timur Tengah, KH. Mas Mansur dan KH. Ahmad Dahlan Achyad menetapkan beberapa tujuan dari kelompok diskusi tersebut, antara lain:

1. Membina kontak yang dinamis antara sejumlah tokoh agama dan intelektual dengan mengedepankan berbagai masalah kehidupan dari yang bersifat keagamaan murni sampai pada masalah politik perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda.

2. Menyalurkan aspirasi para pemuda dan menghimpunnya dalam suatu ikatan yang potensial, dan diharapkan semangat kebangsaan yang bergelora di hati para pemuda menjadi semakin kuat dan berlandaskan agama.19

Setelah perdebatan yang dilakukan oleh kelompok diskusi tersebut berjalan secara berangsur-angsur, pada akhirnya hasilnya adalah adanya perpecahan antaranggota dan menjadi dua kelompok Islam di Indonesia. Kelompok yang dimaksudkan adalah kelompok Islam-tradisional dan kelompok Islam-modern.

Namun, meskipun diskusi-diskusi yang dilakukan oleh Taswirul Afkar menyebabkan timbulnya Islam-tradisional dan Islam-modern, kelompok ini memiliki arti penting bagi perkembangan pengetahuan Islam di Indonesia karena kelompok diskusi tersebut merupakan kelompok diskusi pertama di Indonesia yang mempertemukan antara kelompok Islam-tradisional dan Nina M. Armando, et al., Ensiklopedi Islam Jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005) 108.

19

(53)

45

Islam-modern guna mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang sangat kontroversial pada saat itu.

Dalam pelaksanaan kegiatannya, Taswirul Afkar pada kenyataannya tidak hanya melibatkan para ulama saja tetapi, juga menjadi tempat komunikasi dan tukar informasi antartokoh nasionalis seperti dr. Wahidin Sudirohusodo dan HOS Tjokroaminoto. Taswirul Afkar juga turut menjadi jembatan komunikasi bagi generasi muda dan generasi tua. Dalam kegiatan selanjutnya, Taswirul Afkar tidak hanya membahas tentang permasalahan keagamaan saja tetapi kelompok ini menginginkan hal yang lebih yaitu menggalang para intelektual dan ulama untuk menentang para penjajah kolonial Belanda.

(54)

46

Lembaga pendidikan Taswirul Afkar yang berpusat di Ampel Denta, Surabaya didirikan oleh:20

1. KH. Abdul Wahab Chasbullah

2. KH. Ahmad Dahlan Achyad dari Kebondalem Surabaya 3. KH. Mas Mansur, dan

4. KH. Mangun

dan ketika lembaga pendidikan Taswirul Afkar bernama Suria Sumirat Afdeling Taswirul Afkar maka susunan pengurusnya adalah sebagai berikut: 1. KH. Ahmad Dahlan Achyad sebagai ketua

2. KH. Alwan 3. KH. Abdullah 4. KH. Ihsan

5. KH. Abdul Qadir 6. KH. Ghazali 7. KH. Mangun

Pada perkembangan selanjutnya sampai menjelang berdirinya Nahdlatul Ulama, Taswirul Afkar masih memiliki peran yang sangat penting yakni sebagai perwakilan utama dari golongan tradisional pada Kongres al-Islam yang membahas masalah khilafiyah yang dihadiri oleh organisasi-organisasi maupun para ulama Islam di Indonesia.

20

(55)

47

C. Keluarnya KH. Mas Mansur dari Taswirul Afkar

Kegiatan diskusi dalam Taswirul Afkar tidak selamanya berjalan dengan baik. Ada beberapa permasalahan yang mengakibatkan tujuan kelompok diskusi tersebut jauh dari apa yang diinginkan yaitu mempersatukan para ulama untuk melawan para penjajah. Hal ini ditandai dengan keluarnya salah satu tokoh sentral pendiri Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan yakni KH. Mas Mansur sekitar tahun 1922. Meskipun terlihat adanya jalinan kerja sama dan ikatan yang kuat antara Kiai Wahab dan KH. Mas Mansur, akan tetapi diantara keduanya memiliki pemikiran yang sangat berbeda dalam hal memahami permasalahan keagamaan, terutama masalah-masalah khilafiyah.

Perbedaan pemikiran mereka terlihat ketika mengenai masalah bermadhab, kebebasan berijtihad,21 tawasul22 dan kunut.23 Pemikiran Kiai Wahab tampak lebih cenderung kepada pemikiran para ulama tradisional, sedangkan pendapat KH. Mas Mansur lebih condong kepada paham-paham yang dianut oleh kaum modernisme seperti Muhammadiyah yang dibawa oleh KH. Ahmad Dahlan. Apalagi keluarnya KH. Mas Mansur adalah ketika pada tahun 1921 KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) acapkali datang ke Surabaya memberikan ceramah agama dan disitulah KH. Mas

21

Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan hukum syarak mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera di Alquran dan Sunnah. Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005) 136.

22

Memohon atau berdoa kepada Allah Swt., dengan perantaraan nama seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Tuhan. Kamus Besar Bahasa Indonesia online http://ebsoft.web.id

23

(56)

48

Mansur dapat terpengaruh dan memutuskan untuk mengikuti jejak KH. Ahmad Dahlan. Jabatan sebagai kepala sekolah di Nahdlatul Wathan ia lepaskan dan digantikan oleh KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz.24 Perpecahan antara Kiai Wahab dengan KH. Mas Mansur juga terlihat dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Pergeseran di Tanah Suci

Pada abad ke-20 M tepatnya pada tahun 1924 di Hijaz telah terjadi pergantian kekuasaan dari satu rezim ke rezim yang lain. Pergolakan dan pergeseran tersebut tidak hanya sekedar fenomena politis, tetapi juga menyangkut aspek sosial keagamaan yang cukup mendasar. Kepemimpinan rezim Syarif Hussein di Mekkah berhasil ditumbangkan oleh Abdul Aziz ibnu Saud, seorang penganut setia paham Wahabi.25

Paham Wahabi merupakan sebuah gerakan keagamaan yang dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787 M), seorang tokoh yang berasal dari Uyainah, sebuah desa di Najd. Paham Wahabi yang diajarkannya memang tergolong keras dalam kemauan dan radikal dalam sikap serta keyakinan. Pada permulaan pencanangan ide-idenya, ia juga sempat diusir dari Uyainah oleh Amir Alhasa, seorang pemimpin Uyainah.

Di tempatnya yang baru yakni Hijaz, ide-ide Muhammad bin Abdul Wahab dapat diterima oleh masyarakat. Tampaknya paham yang disebarkan oleh Abdul Wahab di Hijaz mendapatkan respon yang sangat

24

Anam, Sejarah & Perkembangan NU, 32. 25

Referensi

Dokumen terkait