9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Iklan Sebagai Pengelolaan Simbol
Iklan adalah setiap bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk memotivasi seseorang pembeli potensial dan mempromosikan penjual suatu produk atau jasa, untuk mempengaruhi pendapat publik, memenangkan dukungan publik untuk berpikir atau bertindak sesuai dengan keinginan si pemasang iklan. Sedangkan menurut Paul Copley, advertising is by and large seen as an art the art of persuasion and can be defined as any paid for communication designed to inform and or persuade. Dimana iklan adalah sebuah seni dari persuasi dan dapat didefinisikan sebagai desain komunikasi yang dibiayai untuk menginformasikan
dan membujuk. Dari beberapa pengertian diatas, pada dasarnya iklan merupakan sarana
komunikasi yang digunakan komunikator dalam hal ini perusahaan atau produsen untuk menyampaikan informasi tentang barang atau jasa kepada publik, khususnya pelanggannya melalui suatu media massa. Selain itu, semua iklan dibuat dengan tujuan yang sama yaitu untuk memberi informasi dan membujuk para konsumen untuk mencoba atau mengikuti apa yang ada di iklan tersebut,
dapat berupa aktivitas mengkonsumsi produk dan jasa yang ditawarkan. “Advertising can be used to build up a long-term image for a product or
Quick sales”.6
Iklan berfungsi sebagai pengelolaan makna atau simbol baik oleh penyampai atau penerima pesan. Dalam kosteks ini yaitu komunikasi dalam iklan merupakan sebagai proses personal, karena makna atau pemahaman yang diperoleh penerima pesan pada dasarnya bersifat pribadi, persepsi seorang peserta komunikasi bergantung pada persepsi orang lain tersebut terhadapnya, bahkan tergantung pula pada persepsi terhadap lingkungan disekitarnya, makin banyak kita berbagi kode yang sama, maka semakin banyak kita menggunakan sistem tanda yang sama, maka semakin dekatlah ’makna’ kita berdua atas pesan yang datang pada masing-masing kita.
Artinya, iklan dapat digunakan untuk membangun citra jangka panjang untuk suatu produk atau sebagai pemicu penjualan-penjualan cepat. Disadari atau tidak, iklan dapat berpengaruh tetapi juga dapat berlalu begitu cepat. Iklan sangat unik karena iklan dapat mencapai tujuan meskipun disampaikan dengan panjang lebar dan terkadang membingungkan. Karena kita membayar iklan maka kita dapat memilih media yang sesuai untuk pemasangan atau penayangan iklan, sehingga pesan di dalamnya dapat sampai pada kelompok sasaran yang dituju.
7
Dalam proses berlangsung nya sebuah Iklan, selalu memungkinkan adanya pengelolan makna, dimana simbol-simbol dalam Iklan di transaksikan sebagai sebuah proses timbal balik yang melibatkan gagasan dan perasaan dimana komunikator melakukan penyandian(endcoding) dan komunikan melakukan penyandian balik (decoding), Disinilah sebuah proses transaksional seperti yang
6
Duncam Tom,Advertising&IMC,McGraw-Hill,2005
7 John Fiske,Cultural and Communication Studies:Sebuah Pengantar paling komprehensif,
dinyatakan oleh Willian I. Gorden bahwa komunikasi secara ringkas didefiniskan sebagai suatu transaksi dinamis yang melibatkan gagasan dan perasaan.8
Judy C. Pearson dan paul E.Nelson menyatakan komunikasi adalah proses memahami dan berbagi makna.9
Iklan merupakan wadah pengelolaan simbol yang didalamnya terdapat suatu rangkaian, dimana makna yang tersampaikan oleh penerima pesan dapat dipahami sebagaimana yang dimaksud oleh penyampai pesan. Sehingga menghasilkan makna yang sama. Raymond S,Ross menyebutkan komunikasi (intensional) adalah suatu proses menyortir, memilih dan mengirimkan simbol-simbol sekedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respon dari pikirannya yang serupa dengan yang maksud kan komunikator.
Seperti yang telah dijelaskan pada pendapat tersebut komunikasi didalam beriklan menciptakan makna-makna yang mampu dipahami oleh para pelaku komunikasi.
10
Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat Simbol didalam periklanan, tidak hanya menggunakan bahasa verbal sebagai alatnya, tetapi juga unsur-unsur lainnya seperti gambar, warna dan bunyi serta non verbal seperti gerak dan mimik wajah. Iklan disampaikan melalui dua saluran media massa, yaitu media cetak meliputi:surat kabar, majalah, brosur, dan papan iklan atau billboarad dan media elektronik meliputi radio, televisi, film. Pengirim pesan adalah penjual produk dan penerima nya adalah khalayak ramai yang menjadi sasarannya.
8
Ibid
9 Deddy Mulyana,Ilmu Komunikasi Suatu pengantar,Bandung:PT.Remaja Rosdakarya,2005,hal 69 10 Ibid,hal.62
sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri dari lambang, baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan televisi.
Dengan penjelasan konsep iklan sebagai pengelolaan simbol seperti diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap iklan yang ditampilkan pada sebuah media, tidak lepas dari tanda-tanda yang terdapat dalam setiap unsur yang menciptakan makna yang serupa dari penyampai dan penerima pesan.guna memahami adanya tanda dan makna yang ada dalam kegiatan komunikasi, maka perlu digunakan suatu kajian dalam ilmu komunikasi yang disebut dengan studi Semiotika atau Semiologi. Yakni studi yang mempelajari tentang makna dari suatu tanda.
2.2 Semiotika sebagai sebuah kajian
Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang dipergunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotika merupakan studi yang banyak dipakai untuk mencari makna tersembunyi dari sebuah teks. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta semua tanda atau sinyal yang diakses dan diterima oleh seluruh indera yang kita miliki, ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia. Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu tanda itu sendiri, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda, serta kebudayaan tempat kode
dan tanda bekerja. Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.
Berbeda dengan Ferdinand de Saussure yang sudah dikemukakan di atas, Charles Sanders Peirce, seorang filsuf berkebangsaan Amerika, mengembangkan filsafat pragmatisme melalui kajian semiotik. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Peirce membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign,
dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Sedangkan legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik semiotik, dan pragmatik semiotik.
Sintaksis semiotik mempelajari hubungan antar tanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan. Semantik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Pragmatik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer, hubungan berdasarkan konvensi masyarakat.
Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Sedangkan argument adalah yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.
Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda,
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama
1.Signifier (Penanda)
2.Signified (Petanda)
Peta Tanda Roland Barthes 3.Denotative Sign (Tanda Denotatif) 4.Connotative Signifier (Penanda Konotatif) 5.Connotative Signified (Petanda Konotative) 6.Connotative Sign (Tanda Konotatif)
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz.1999.Introducing Semiotics.NY:Totem Books,hlm 51.
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (staggered systems), yang memungkinkan untuk dihasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan konotasi (connotation).
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan pertanda, atau antara tanda dan rujukan nya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini makna yang tampak yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan pertanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Konotasi bisa menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi yang disebut makna konotatif (connotative meaning).
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Sesungguhnya inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.
Dalam kerangka barthes, Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutkan nya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Budiman,2001:2008). Didalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, pertanda dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rangkaian pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain mitos adalah juga suatu sisitem pemaknaan tataran ke dua.11
Gambar 2.2 Tingkatan tanda dan makna Barthes
Sumber:Roland Barthes, Element of semoilogy,Hill&Wang,New york,1967
Roland barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena baik didalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang orang hidup di didunia yang imajiner dan ideal. Ideologi ada selama budaya ada dan itulah sebabnya didalam S/Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya.
2.3. Tanda-tanda dan simbol dalam Iklan
Didalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.
Tanda-tanda dan simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut
11 Alex Sobur,pengantar:Yasrif Amir Piliang,Semiotika Komunikasi,Bandung:PT Remaja
Rosdakarya,2009,hal 71
membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia. Begitu pula simbol atau tanda yang terdapat pada sebuah iklan. Pada dasarnya, lambang yang digunakan dalam iklan terdiri dari dua jenis, yaitu verbal dan non verbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal; lambang yang non verbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas.12
12 Arthur Asa Berger,Tekhnik-tekhnik analisis media,Yogyakarta:Universitas Atma jaya
Yogyakarta,2000,hal 116
Meskipun bentuk interaksi diantara tanda-tanda ini terbuka luas, tetapi ada dua bentuk interaksi utama yang dikenal, yaitu metafora (metaphor) dan metonomi (metonomy).
Metafora adalah sebuah model interaksi tanda, yang didalamnya sebuah tanda dari sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sebuah sistem yang lainnya. Misalnya penggunaan metafora ’kepala batu’ untuk menjelaskan seseorang yang tidak mau diubah pikirannya. Metafora merupakan sebuah kecenderungan yang kini banyak digunakan didalam berbagai desain produk dan desain komunikasi visual.
Metonimi adalah interaksi tanda, yang didalamnya sebuah tanda diasosiasikan dengan tanda lain, yang didalamnya terdapat hubungan bagian (part) dengan keseluruhan (whole). Misalkan, tanda botol (bagian) untuk mewakili pemabuk(total).Relasi metafora dengan metonimi ini banyak digunakan dalam iklan sebagai dua majas (Figure of speech), untuk menjelaskan makna-makna secara tidak langsung.
Iklan menciptakan simbol-simbol produk dan maknanya bagi konsumen. Citra-citra pun mulai dibangun dalam sebuah iklan yang ditampilkan pada produk tersebut. Pencitraan (imagology) atau teknology citra adalah sebuah strategy penting didalam sistem periklanan, yang didalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada sebuah produk, untuk dijadikan sebagai memori publik (public memory), dalam rangka mengendalikan diri (self)13mereka.
Untuk itu iklan sarat akan tanda-tanda didalamnya, terutama dengan iklan yang semakin berkembang saat ini, dimana iklan tidak hanya menginformasikan karakteristik produk, tetapi sudah membawa pesan-pesan yang selalu terdapat pemaknaan atas ideologi yang tersembunyi dibaliknya. Iklan televisi menggunakan tanda-tanda audio visual, analisa semiotika terhadap iklan televisi dipengaruhi oleh berbagai aspek tentang tata cara bagaimana potongan-potongan gambar disusun menjadi rangkaian gambar yang bergerak yang mampu menyampaikan pesan yang dikenal dengan sinematografi atau elemen-elemen gambar.
Penanda(signifier) Petanda( signified) Pengambilan gambar: Big close up Close up Medium Shoot Long shoot Emosi,dramatik,momen penting Intim,dekat
Hubungan personal dengan subyek
Konteks,Perbedaan publik
Penanda(signifier) Petanda( signified)
Sudut pandang(Angle) Pengambilan gambar: High Eye level Low Dominasi kekuasaan,otoritas Kesejajaran,kesamaan,sederajat Rendah,didominasi Tipe lensa : Wide Angel Normal Tele Dramatis Normalitas,Keseharian Tidak personal,voyeuristic
Fokus : Selective focus Soft focus Deep fokus Meminta perhatian Romantis,nostalgia
Semua unsur adalah penting
Pencahayaan : High key Low key High contrast Low contrast Riang ,ceria Suram,maram Dramatik,teaterikal Realistik,dokumenter Pewarnaan: Warm( Kuning,oranye,merah,abu-abu) Cool( biru,hijau)
Black and white
Optimis,harapan,hasrat Pesimis tidak ada harapan
Realisme,aktualitas,faktual
Tabel 2.1 Elemen-elemen pengambilan gambar
Sumber: Keith Selby and Ron Cowdery dalam Farid Hamid,modul 8 : Semiotika sebagai sebuah bidang kajian ,Jakarta :2008:3-6
2.4 Ideologi
Ideologi adalah sistem ide-ide yang diungkapkan dalam komunikasi. Secara positif ideology di persepsi sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai-nilai kelompok social tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Secara negatif, ideology dilihat sebagai kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikan pemahaman orang mengenai realitas sosial.14
Kepentingan
Apter melukiskan ideology itu berada pada perpotongan antara prinsip atau tujuan filosofis, pilihan dan keyakinan individual, serta nilai-nilai tujuan umum dan khusus, perpotongan ini diikhtisarkan dalam gambar berikut ini:
Nilai Pilihan
Gambar 2.3 Komponen-komponen Ideologi
Sumber: David E.Apter.1996.Pengantar Analisa Politik.Jakarta:LP3ES,hlm 236
Nilai, kepentingan, dan pilihan, jelas saling bertumpang tindih. Ideologi, menurut Apter, merupakan atribut-atribut ini: kadang-kadang koheren dan kadang tidak. Pilihan dapat diubah menjadi kepentingan dan kepentingan menjadi nilai, atau pilihan dapat ditingkatkan kepada status nilai untuk mencapai kepentingan.
Terdapat tiga dimensi yang dapat dipakai untuk melihat dan mengukur
14 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,Analisis Semiotik,dan
kualitas suatu ideologi(Alvian,1995:93),yakni: (1) kemampuannya mencerminkan realitas yang hidup dalam masyarakat, (2) mutu idealisme yang dikandungnya, dan (3) sifat fleksibelitas yang dimilikinya. Berikut ini sekedar penjelasan singkat ketiga dimensi tersebut.
Dimensi pertama ideologi ialah pencerminan realita yang hidup dalam masyarakat dimana ia muncul pertama kalinya, paling tidak pada saat-saat kelahirannya itu. Dengan kata lain, ideologi itu merupakan gambaran tentang sejauh mana sesuatu masyarakat berhasil memahaminya sendiri.
Dimensi kedua dari ideologi adalah lukisan tentang kemampuannya memberikan harapan kepada berbagai kelompok atau golongan yang ada dalam masyarakat untuk mempunyai kehidupan bersama secara lebih baik dan untuk membangun suatu masa depan yang lebih cerah.
Dimensi ketiga dari ideologi yaitu erat kaitannya dengan kedua dimensi diatas mencerminkan kemampuan sesuatu ideologi dalam mempengaruhi dan sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan atau perkembangan masyarakatnya. Mempengaruhi berarti ikut mewarnai proses perkembangan itu, sedangkan menyesuaikan diri berarti bahwa masyarakat berhasil menemukan interpretasi-interpretasi baru terhadap nilai-nilai dasar atau pokok dari ideologi itu sesuai dengan realita-realita baru yang muncul dan mereka hadapi.15
15 Ibid,hal 220-221
2.5 Komodifikasi Dalam Iklan
Komodifikasi adalah objek produksi yang didalamnya memuat dua nilai dasar, yakni nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value). Nilai guna adalah nilai yang secara ilmiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya dianggap memiliki manfaat atau kegunaan bagi kepentingan manusia. Nilai guna menjadi prinsip interaksi sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat feodal. Sementara itu, Seiring dengan perkembangan struktur masyarakat feodal menuju masyarakat kapitalis, lahir nilai baru yang menyertai konsep komoditi, yakni nilai tukar. Nilai tukar adalah nilai yang diberikan objek-objek produksi berdasarkan ukuran nilai gunanya. Dalam masyarakat kapitalisme, Setiap objek adalah komoditi, yang memiliki kedua nilai dasar tersebut. Dengan konsep komoditi, barang yang memiliki manfaat berbeda, memiliki nilai tukar yang sama.
Dengan lahirnya konsep komoditi, maka menurut Douglas kellner dalam buku Baudrillard reader, Uang sebagai alat tukar semakin mendapat tempat penting, dalam aktivitas ekonomi masyarakat kapitalis. Sejalan dengan pandangan tersebut bahkan lebih jauh Marx menyatakan, dalam era kapitalisme awal, uang hanyalah sarana tukar pemenuhan kebutuhan, maka dalam era kapitalisme lanjut, uang adalah tujuan akhir dengan komoditi sebagai saranannya. Dengan kata lain, nilai tukar menjadi lebih penting dibanding nilai guna. Komoditi digunakan bukan nilai gunannya, melainkan dengan nilai tukar yang berupa uang.
Berangkat dari kerangka analisis komodifikasi dengan segala ideologi citra yang ditonjolkan ini, maka dalam tipologi masyarakat komoditi (commodity
society), juga secara stimulan berkembang apa yang di istilahkan oleh Guy debord
sebagai masyarakat tontonan (society of spectacle). Masyarakat tontonan adalah juga komoditi, namun dalam bentuknya yang sublime atau abstrak.16
Komodifikasi menurut perbendaharaan kata dalam istilah marxist adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang pada awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan,menjadi hubungan yang sifatnya komersil Dalam artian bahwa hubungan sosial ter-reduksi menjadi hubungan pertukaran.17
Menurut Vincent Mosco, Komodifikasi mengacu pada proses mentransformasi nilai guna(use value) yakni nilai yang didasarkan pada kemampuan memenuhi kebutuhan menjadi nilai tukar (exchange value) yakni nilai yang didasarkan pasar. Minimal terjadi dua bentuk komodifikasi dalam proses resonansi perang di media massa sekarang ini. Pertama komodifikasi isi, sebagai proses mengubah pesan dari sekumpulan data ke dalam sistem makna sehingga menjadi prosuk-produk yang dapat dipasarkan.18
Kedua komodifikasi khalayak, artinya media massa menghasilkan proses dimana perusahaan media memproduksi khalayak dan menyerahkan pada pengiklan. Dalam hal ini, program dan ulasan media massa digunakan untuk menarik khalayak. Pemasang iklan membayar perusahaan media untuk mengakses khalayak. Oleh karenanya, khalayak diserahkan pada perusahaan
16 Kasiyan,Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan,yogyakarta:Ombak,2008,hal
190
17
Http://www.marxists.org/glossary/terms/c/o.htm
18 Vincent Moscow,Komodifikasi,The Political Economy of Communication,London:Sage
pengiklan. Semakin acara diminati khalayak, maka dengan sendirinya akan memompa penghasilan media yang bersangkutan. kita harus menyadari, media massa saat ini berada dalam era industrialisasi. Seringkali faktor ekonomi-politk mendeterminasi kegiatan keseluruhan proses produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya media dengan tidak mengindahkan tata nilai kemanusiaan.
Mosco mengembangkan kerangka acuan dari ekonomi politik kedalam suatu proses komunikasi dengan tiga proses, dimulai dari komodifikasi, dimulai dari komodifikasi (commodification) yaitu proses tranformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu apabila masing-masing diantaranya mempunyai kepentingan kemudian dilanjutkan spesialisasi yaitu proses perpanjangan instituisme media.
Mosco mengembangkan kerangka acuan dari politik ekonomi kedalam suatu proses komunikasi dengan tiga proses, dimulai dari komodifikasi (commodification), yaitu proses merubah nilai pakai menjadi nilai tukar, kemudian dilanjutkan dengan spatialization, yaitu perubahan tempat dengan waktu atau proses perluasan. Instutisional strukturasi (structurction), proses dimana struktur melalui agen sosial, ketiga proses entry poin, dari ketiga entry poin yang pertama yaitu komodifikasi (commodification), karena sesuai dengan fokus kajian dalam penelitian ini.
Komodifikasi atau commodification mengacu pada proses ini kemudian diperluas dalam bidang sosial dari produk komunikasi, audiens dan tenaga kerja yang selama ini mendapat sedikit perhatian. Menurut marx komodifikasi secara luas berarti kumpulan yang besar dari komoditas, (the immense colluction of
commodities) dimana kapitalisme mewakili dirinya sendiri sebagai perwujudan
yang biasa ( it is largely through, the immense collection of comodities). That capitalisme present it self, its most common embodiment. Namun akhirnya marx merasa perlu adanya kesesuaian dalam keseimbangan konseptual dan analisis politik ekonomi memberikan pemikiran yang lebih luas kepada institusi bisnis dan struktur yang memproduksi dan memproduksikan komoditas serta kepada badan pemerintahan yang mengatur proses ini
Bagaimanapun, komodifikasi pada saat ini pastinya telah meluas kedalam segala aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya, politik dan lain-lain. Hal ini menjadikan khalayak sebagai sasaran yang paling sensitif dari efek komodifikasi, khususnya dalam media massa dan periklanan.
Dalam penelitian ini, pembuat iklan Extra Joss menampilkan unsur maskulinitas untuk dijadikan komoditi, untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai guna (use value ), proses komodifikasi, yaitu dengan menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar.
2.6 Maskulinitas
Terminologi maskulin sama halnya jika berbicara mengenai feminin. Maskulin merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Laki-laki tidak dilahiran begitu saja dengan sifat maskulinnya secara alami, maskulinitas dibentuk oleh kebudayaan. Hal yang menentukan sifat perempuan
dan laki-laki adalah kebudayaan (Barker, dalam Nasir, 2007:1).19
Sifat kelelakian berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Maskulinitas itu sendiri dikonstruksi oleh kebudayaan. Konsep maskulinitas dalam budaya Timur seperti di Indonesia dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Ketika seorang anak laki-laki lahir ke dunia, maka telah dibebankan beragam norma, kewajiban dan setumpuk harapan keluarga terhadapnya. Berbagai aturan dan atribut budaya telah diterima melalui beragam media yaitu ritual adat, teks agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan televisi, buku bacaan, petuah dan filosofi hidup. Hal-hal sepele yang terjadi sehari-hari selama berpuluh tahun yang bersumber dari norma-norma budaya telah membentuk suatu pencitraan diri dalam kehidupan seorang laki-laki. Kondisi ini dapat dilihat dari selera dan cara berpakaian, penampilan, bentuk aktivitas, cara bergaul, cara penyelesaian permasalahan, ekspresi verbal maupun non verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang dipakai (Vigorito & Curry,
Secara umum, maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. Di antara yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak (Barker, Nasir, 2007: l). Dalam kehidupan sosial, dengan tradisi maskulin yang semacam ini, laki-laki dianggap gagal jika dirinya tidak maskulin. Kebanyakan laki-laki ditekan untuk menjadi maskulin. Berpenampilan lemah, emosional, atau berlaku inefisien secara seksual merupakan suatu ancaman utama terhadap percaya diri laki-laki.
19 Http://Maskulinitas.uns.ac.id
1998: 1).
Pencitraan diri tersebut telah diturunkan dari generasi ke generasi, melalui mekanisme pewarisan budaya hingga menjadi suatu kewajiban yang harus dijalani jika ingin dianggap sebagai laki-laki sejati. Aturan umum yang tidak tertulis yang mengatakan bahwa laki-laki sejati pantang untuk menangis, harus tampak tegar, kuat, pemberani, garang serta berotot. Laki-laki hebat adalah yang mampu menaklukkan hati banyak perempuan hingga adanya dorongan berpoligami. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi figur pelindung atau pengayom ataupun yang mengatakan bahwa laki-laki akan sangat laki-laki apabila identik dengan rokok, alkohol dan kekerasan (Donaldson, 1993: 1).
Banyak laki-laki yang kemudian sering terlibat perkelahian baik secara individu maupun antar kelompok ketika sudah tidak menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi, biasanya menyangkut permasalahan harga diri. Juga kasus kekerasan terhadap perempuan yang umumnya dilakukan oleh laki-laki, tindak kriminalitas, kerusuhan etnik yang sebagian besar dilakukan oleh kaum laki-laki, termasuk kasus tawuran. Beberapa bentuk perilaku yang telah disebutkan di atas sangat umum dilakukan oleh kaum laki-laki. Dikatakan umum jika dilihat dari kuantitas para pelakunya, juga karena jika dilakukan oleh perempuan maka orang akan melihatnya sebagai sesuatu yang aneh atau tidak wajar sehingga akan menjadi bahan obrolan. Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa pendapat umum yang mengatakan bahwa laki-laki adalah manusia bebas yang pantas untuk melakukan apapun tanpa terbebani oleh norma-norma kepantasan dan kesopanan (Barker, dalam Nasir, 2007:3).
Konsep maskulinitas tradisional tersebut cenderung membuat laki-laki enggan membicarakan dirinya sendiri terutama perasaannya. Padahal sebenamya ruang-ruang dialog bagi laki-laki untuk mengkritisi konsep kelelakiannya sangat diperlukan, termasuk membuka ruang bagi laki-laki untuk mendialogkan kecemasan-kecemasannya terhadap konsep kelelakian yang dianggap membebani. Termasuk kecemasan-kecemasan terhadap situasi yang berubah yang menuntut perubahan konsep tradisional kelelakian. Tuntutan kesetaraan perempuan dengan laki-laki juga menghendaki laki-laki untuk berani berbagi kekuasaan dengan perempuan di semua level kehidupan sosial mulai dari rumah tangga sampai negara. Begitu juga dengan penawaran konsep diri baru laki-laki yang penuh cinta kasih, sabar, setia dengan pasangan, supportive, egaliter, dan anti terhadap segala bentuk kekerasan.
Hal yang sama juga terjadi di dunia Barat bahwa konsep maskulinitas juga dipengaruhi oleh kebudayaan. Konsep maskulinitas pada masyarakat Barat biasanya berasosiasi dengan citra industrialisasi, kekuatan militer, dan peran sosial gender yang konvensional. Hal yang dimaksudkan dalam hal ini, misalnya bahwa laki-laki harus kuat secara fisik, pintar, agresif secara seksual, logis, seorang yang individualistik, dan condong memimpin, serta sifat-sifat jantan lainnya. Dengan citra demikian, maka kebudayaan terus menciptakan maskulin-maskulin baru dalam keluarganya sebagai semacam prestise yang seolah-olah dimiliki secara genetis oleh laki-laki.
Konsep maskulinitas dalam perkembangan jaman mengalami perkembangan. Hal itu seperti dikemukakan Beynon (Nasir, 2007: 2) yang melakukan kajian tentang maskulin dalam bukunya Masculinities and Culture. Dalam buku ini, Beynon menggambarkan sosok maskulin dalam setiap dekade. Beynon membagi bentuk maskulin dengan ide tren perkembangan zaman, sebagai berikut:
Maskulin sebelum tahun 1980-an
Sosok maskulin yang muncul adalah pada figur-figur laki-laki kelas pekerja dengan bentuk tubuh dan perilakunya sebagai dominator, terutama atas perempuan. Citra laki-laki semacam ini memang kental dengan awal industrialisasi pada masa itu, laki-laki bekerja di pabrik sebagai buruh berlengan baja. Laki-laki terlihat sangat bapak, sebagai penguasa dalam keluarga dan sosok yang mampu memimpin perempuan serta pembuat keputusan utama. Konsep maskulinitas semacam ini dinamakan konsep maskulin yang tradisional dalam pandangan barat. Menurut tulisan Levine (wikipedia 2008: l) yang diambil dari Ensiklopedi Wikipedia yang juga mengutip tulisan dari dua orang ilmuwan sosial Deborah David dan Robert Brannon (Nasir, 2007:2), terdapat empat aturan yang memperkokoh sifat maskulinitas, yaitu:
A) No Sissy Stuff: sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau feminin dilarang, seorang laki-laki sejati harus menghindari perilaku atau karakteristik yang berasosiasi dengan perempuan.
B) Be a Big Wheel: Maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan, kekuasan, dan pengaguman dari orang lain. Seseorang harus mempunyai kekayaan, ketenaran,
dan status yang sangat lelaki.
C) Be a Sturdy Oak: kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan dan kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem dalam berbagai situasi, tidak menunjukkan emosi, dan tidak menunjukkan kelemahannya.
D) Give em Hell: Laki-laki harus mempunyai aura keberanian dan agresi, serta harus mampu mengambil risiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya.
Dalam ketradisionalitasan yang dikembangkan oleh kebudayaan Jawa juga kurang lebih sama, salah satunya mirip dengan poin kedua bahwa laki- laki must be a big wheel. Seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memiliki garwo (istri), bondo (harta), turonggo (kendaraan), kukilo (burung peliharaan), dan pusoko (senjata atau kesaktian) (Osella & Osella, 2000: 120).
Maskulin tahun 1980-an
Sosok maskulin kemudian berkembang pada tahun 1980-an dengan cara yang berbeda. Maskulin bukanlah laki-laki yang berbau woodspice lagi, maskulin adalah sosok laki-laki sebagai new man. Beynon (Nasir, 2007: 3) menunjukkan dua buah konsep maskulinitas pada dekade 80-an itu dengan anggapan-anggapan bahwa new man as nurturer dan new man as narcissist. New man as nurturer merupakan gelombang awal reaksi laki-laki terhadap feminisme. Laki-laki pun menjalani sifat alamiahnya seperti perempuan sebagai makhluk yang mempunyai rasa perhatian. Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya, untuk mengurus anak. Keinginan laki-laki untuk menyokong gerakan
perempuan juga melibatkan peran penuh laki-laki dalam arena domestik. Kelompok ini biasanya berasal dari kelas menengah, berpendidikan baik, dan intelek (Beynon, dalam Nasir, 2007: 3).
Anggapan kedua adalah bahwa new man as narcissist, hal ini berkaitan dengan komersialisme terhadap maskulinitas dan konsumerisme semenjak akhir Perang Dunia II. New man as narcissist adalah anak-anak dari generasi zaman hippies (tahun 60-an) yang tertarik pada pakaian dan musik pop. Banyak produk-produk komersil untuk laki-laki yang bermunculan, bahkan laki-laki sebagai objek seksual menjadi bisnis yang amat luar biasa. Di sini, laki-laki menunjukkan maskulinitasnya dengan gaya hidup yuppies yang flamboyan dan perlente. Laki-laki semakin suka memanjakan dirinya dengan produk-produk komersial yang membuatnya tampak sukses. Properti, mobil, pakaian atau artefak personal merupakan wujud dominan dalam gaya hidup ini. Kaum maskulin yuppies ini dapat dilihat dari penampilannya berpakaian, juga Porsche mereka. Kaum yuppies menganggap laki-laki pekerja industri yang loyal dan berdedikasi sebagai sosok yang ketinggalan zaman dalam pengoprasian modal (Beynon, dalam Nasir, 2007:3).
Maskulin tahun 1990-an
Di era tahun 1990-an kemudian muncul juga sosok yang disebut maskulin dalam dekade tahun 1990-an. Laki-laki kembali bersifat tidak peduli lagi terhadap remeh-temeh seperti kaum maskulin yuppies di tahun 80-an, The new lad ini berasal musik pop dan football yang mengarah kepada sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism. Laki-laki kemudian menyatakan dirinya
dalam label konsumerisme dalam bentuk yang lebih macho, seperti membangun kehidupannya di sekitar football atau sepak bola dan dunia minum-minum, juga sex dan hubungan dengan para perempuan (Beynon, dalam Nasir, 2007: 4).
Pada dekade 1990-an ini kaum laki-laki masih mementingkan leisure time mereka sebagai masa untuk bersenang-senang, menikmati hidup bebas seperti apa adanya. Laki-laki bersama teman-temannya, bersenang-senang, menonton sepak bola, minum bir, dan membuat lelucon-lelucon yang dianggap merendahkan perempuan. Hubungan-hubungan laki-laki dengan perempuan pun terbatas dalam hubungan yang bersifat kesenangan semata. Kebebasannya menjauhkan dari hubungan yang bersifat domestik yang membutuhkan loyalitas dan dedikasi. Maskulin tahun 2000-an
Di luar perkembangan maskulin yang dikemukakan oleh John Beynon, juga patut dicermati maskulin pada tahun 2000-an, mengingat tahun 2000-an sudah nyaris mendekati satu dekade. Hal yang terjadi dengan laki-laki sekarang ini adalah munculnya sesuatu yang khas dan semakin lama gejala kelelakian semakin penuh dengan terminologi-terminologi baru. Homoseksual yang sudah berkembang semenjak dekade 80-an, sekarang bahkan terminologi laki-laki sudah mengenal istilah metroseksual (Beynon, dalam Nasir, 2007: 5).
Laki-laki metroseksual adalah laki-laki yang berasal dari kalangan menengah atas, mereka rajin berdandan, dan juga tergabung dalam komunitas yang terpandang dalam masyarakat. Laki-laki metroseksual semacam socialite (orang-orang yang senang gaul bergengsi). Mereka pada umumnya harus
berpengetahuan luas, atau mereka yang disebut dengan laki-laki yang berbudaya. Laki-laki metroseksual mengagungkan fashion, mungkin mirip dengan tipe maskulin yang ada di tahun 1980-an, bahkan mungkin sama. Laki-laki metroseksual adalah orang-orang yang peduli dengan gaya hidup yang teratur, menyukai detail, dan cenderung perfeksionis. Laki-laki metroseksual berbeda dengan banci atau laki-laki normal, tapi sama saja laki-laki. Metroseksual lebih condong kepada pilihan akan identitas kelelakian, terutama karena tuntutan bahwa laki-laki metroseksual biasanya berada dalam kelas ekonomi menengah ke atas yang mampu menghiraukan remeh-temeh gaya hidup mereka. Tipe maskulin laki-laki tahun 2000-an yang berkembang cenderung ke arah metroseksual.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengelompokan mengenai maskulinitas yang dikemukakan Beynon (Nasir, 2007) ke dalam empat kategori, yakni: (l) maskulin sebelum tahun l980-an, (2) maskulin tahun 1980-an, (3) maskulin tahun 1990-an, dan (4) maskulin tahun 2000-an. Berdasarkan keempat kelompok tersebut, dapat ditarik sifat-sifat maskulinitas seperti berikut:
• No Sissy Stuff: Seorang laki-laki sejati harus menghindari perilaku atau karakteristik yang berasosiasi dengan perempuan.
• Be a Big Wheel: Maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan, kekuasaan, dan pengaguman dari orang lain. Seseorang harus mempunyai kekayaan, ketenaran, dan status yang sangat lelaki. Atau dalam masyarakat Jawa: seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memiliki garwo (istri), bondo (harta), turonggo (kendaraan), kukiro (burung peliharaan), dan pusoko (senjata atau kesaktian).
• Be a Sturdy Oak. kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan, dan kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem dalam berbagai situasi, tidak menunjukkan emosi, dan tidak memunjukkan kelemahannya. • Give em Hell: Laki-laki harus mempunyai aura keberanian dan agresi,
serta harus mampu mengambil risiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya.
• New man as nurturer: Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya, untuk mengurus anak, melibatkan peran penuh laki-laki dalam arena domestik.
• New man as narcissist: laki-laki menunjukkan maskulinitasnya dengan gaya hidup yuppies yang flamboyan dan perlente, laki-laki semakin suka memanjakan dirinya dengan produk-produk komersial properti, mobil, pakaian atau artefak personal yang membuatnya tampak sukses.
• Sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism, laki-laki membangun kehidupannya di sekitar football atau sepak bola dan dunia minum-minum, juga sex dan hubungan dengan para perempuan, mementingkan leisure time, bersenang-senang, menikmati hidup bebas seperti apa adanya bersama teman-temannya, bersenang-senang, menyumpah, menonton sepak bola, minum bir, dan membuat lelucon-lelucon yang diangap merendahkan perempuan.
• Laki-laki metroseksual mengagungkan fashion, mungkin mirip dengan tipe maskulin yang ada di tahun 1980-an, bahkan mungkin sama Laki-laki metroseksual adalah orang-orang yang peduli dengan gaya hidup yang
teratur, menyukai detail, dan cenderung perfeksionis.
Citra maskulin dalam tulisan ini mengacu pada konsep yang dikemukakan Beynon (Nasir, 2007) tersebut di atas membedakan konsep maskulinitas dalam empat kelompok. Alasan pemilihan konsep maskulinitas yang dikemukakan Beynon (Nasir, 2007) tersebut karena mewakili berbagai sifat atau karakter dari laki-laki, baik dari segi usia, kelas sosial, maupun status dalam masyarakat.
2.7 Maskulinitas sebagai daya tarik dalam Iklan
Iklan merupakan media dimana terdapat banyak tanda-tanda, karena secara keseluruhan iklan ditampilkan dengan berbagai scene yang setiap elemen nya terdapat tanda-tanda. Munculnya perubahan sikap dan perilaku yang terjadi akibat adayanya interaksi antara pemirsa dengan iklan televisi, yang menyajikan tanda-tanda dalam adegan demi adegan yang dapat memberikan makna bagi penontonnya.
Pencitraan Maskulin adalah Stereotip laki-laki dalam realitas sosial nyata. Untuk menggambarkan realitas tersebut, maka iklan memproduksinya ke dalam realitas media, tanpa memandang bahwa yang digambarkan itu sesuatu yang real atau sekedar memproduksi realitas itu dalam realitas media yang penuh dengan kepalsuan.20
Citra maskulin dalam iklan juga mempertontonkan kejantanan, otot laki-laki, ketangkasan, keperkasaan, keberanian menantang bahaya, keuletan, keteguhan
20 Prof.Dr.H.M.Burhan Bungin,S.sos.,Msi,Teori paradigma dan diskursus teknologi komunikasi
hati, bagian-bagian tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki sebagai bagian dari citra maskulin.
Pada hal ini Pencitraan tersebut ditampilkan oleh Iklan Extra joss versi ”Laki”pun dilatar belakangi oleh pencitraan Maskulin, dimana ditampilkan sebagian pekerja yang bekerja keras dibawah teriknya matahari, kegiatan tersebut merupakan kegiatan keseharian mayoritas laki-laki dan dalam iklan tersebut menampilkan atmosfer atau suasana di lingkungan pekerja/buruh.