• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Permasalahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Permasalahan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

 

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Permasalahan

Perilaku agresif merupakan salah satu permasalahan yang kerap muncul dan sering terjadi pada anak. Anak tidak hanya mengenal arti agresi, akan tetapi mereka juga sering melakukannya, baik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Perilaku ini umumnya sudah dapat terlihat sejak masa kanak-kanak awal, dan mulai semakin terlihat ketika menginjak usia sekolah dasar. Wilson dan Lipsey (2007) menyatakan bahwa masa sekolah dasar merupakan masa yang rentan bagi anak untuk menunjukkan perilaku agresif. Hal ini karena pada masa sekolah dasar, anak memiliki tugas-tugas perkembangan, dimana secara sosial mereka dituntut dapat menjalin hubungan yang akrab dengan teman sebaya, sedangkan secara emosi mereka belajar mengenal dan mengekspresikan emosi mereka secara tepat (Charlesworth, Wood & Viggiani, 2007). Namun seiring dengan berjalanannya waktu, tidak semua anak memiliki kematangan emosi yang berkembang sesuai dengan tahapan usianya, sehingga memungkinkan bagi sang anak untuk berperilaku agresif dalam mengatasi persoalan mereka sehari-hari. Perilaku ini biasanya muncul karena adanya ketidaktahuan anak dalam mengendalikan dan melampiaskan rasa marah dalam dirinya secara tepat (Berkowitz, 1995). Untuk itu, diperlukan adanya suatu bentuk pendampingan yang bisa diberikan oleh orang tua di rumah maupun guru di sekolah yang dapat

(2)

membantu meningkatkan kompetensi sosial dan emosi anak agar tidak terjadi penyimpangan perilaku yang semakin meluas.

Perilaku agresif merupakan suatu perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik, maupun psikis yang menimbulkan kerugian atau bahaya bagi orang lain ataupun merusak milik orang lain (Berkowitz, 1995). Adelman dan Taylor (2011) menyatakan bahwa sekitar (12 – 22) % siswa di sekolah dasar beresiko mengalami gangguan emosional dan perilaku, dan baru sedikit diantara mereka yang sudah mendapatkan pelayanan dengan tepat. Di Indonesia sendiri, kasus anak yang terlibat dalam aksi agresivitas secara kuantitas selalu mengalami peningkatan. Bentuk-bentuk perilaku agresif yang dilakukan oleh siswa sekolah dasar tersebut seringkali ditunjukkan dengan perilaku mengejek teman, menolak melakukan tugas, mengganggu teman, melempar barang, mencubit, menendang, memukul, mendorong untuk mendapatkan keinginan, membuat keributan, berkelahi, serta bertindak usil (Vasta & Haith dalam Syahadat, 2013). Hasil survey yang pernah dilakukan oleh Huneck (2010) juga mengungkapkan bahwa sekitar (10 – 60) % siswa sekolah dasar di Indonesia melaporkan mendapat tindak agresif melalui temannya, seperti: ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan, maupun dorongan. Hal tersebut terjadi minimal satu kali dalam seminggu (Fitrina, 2011).

Peneliti juga mendapatkan adanya temuan di lapangan mengenai tindakan agresivitas yang dilakukan oleh siswa di SDIT “H”, Yogyakarta. Dari hasil observasi dan wawancara terhadap guru kelas yang telah dilakukan pada tanggal 05, 09 dan 20 Oktober 2015, didapatkan data bahwa terdapat hampir sebagian besar siswa di kelas IV dan V sering menunjukkan perilaku agresif mereka di

(3)

dalam kelas. Adapun bentuk-bentuk perilaku agresif yang sering dilakukan antara lain ialah: mengejek teman dengan perkataan yang kasar hingga menyakiti hati temannya, memukul dan menendang teman hingga teman kesakitan, berusaha mencelakakan teman, membuat kebisingan (seperti berteriak-teriak, memukul-mukul meja, dan berlari-lari di dalam kelas saat proses belajar), membantah dan menyela perkataan guru ketika menerangkan, serta berkelahi antar teman hingga menyebabkan teman terluka.

Dari hal tersebut dapat digambarkan bahwa terdapat beberapa siswa di sekolah yang menunjukkan intensitas perilaku agresif yang cukup tinggi, sehingga membuat para guru menjadi kewalahan dalam menangani siswa. Siswa yang awalnya menjadi korban, kini justru menjadi pelaku agresif akibat adanya proses modeling yang dimunculkan. Kelas yang seharusnya bisa menjadi tempat yang nyaman untuk belajar, menjadi tidak kondusif akibat tingginya intensitas perilaku agresif yang dilakukan oleh siswa di dalam kelas. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan wali kelas, diketahui bahwa hampir sebagian besar siswa tersebut memiliki sifat yang tempramental dan mudah tersinggung. Ketika ada seorang anak yang mengejek anak lainnya, maka dengan cepat anak tersebut akan bereaksi marah dan membalasnya, baik dengan ejekan maupun dengan pukulan. Dari hasil wawancara juga, diketahui bahwa sebagian besar perilaku agresif yang dilakukan anak di sekolah, juga dilakukan oleh anak di rumah. Bentuk-bentuk perlaku tersebut diantaranya ialah membantah perkataan orang tua, membuat keributan seperti berteriak-teriak di rumah ketika keinginan anak tidak terpenuhi, memukul atau bersikap kasar terhadap saudara, melimpahkan kesalahan kepada saudara, serta marah ketika dimintai tolong melakukan sesuatu.

(4)

Dengan beragamnya perilaku agresif yang dilakukan siswa, maka beragam cara pula usaha-usaha yang sudah dilakukan guru dalam mengatasi perilaku agresif siswa di sekolah, diantaranya ialah memberikan nasehat secara personil maupun klasikal, teguran langsung kepada siswa yang bersangkutan, serta mengeluarkan siswa sementara dari kelas apabila guru merasa sudah kewalahan dalam melerai perkelahian antar siswa. Namun berdasarkan pengalaman yang sudah ada, cara-cara tersebut nampaknya masih belum dapat memberikan efek jera secara permanen kepada anak dalam mengurangi perilaku agresif mereka di dalam kelas, sehingga perilaku tersebut cenderung terulang dan belum dapat tertangani secara efektif.

Agresi biasanya digunakan oleh anak sebagai cara untuk mengungkapkan perasaan dan menyelesaikan persoalan. Saat memulai permainan, tak jarang siswa sering mengakhirinya dengan adanya ejekan maupun perkelahian secara fisik. Holmes, Gibson & Danner (2014) menyatakan bahwa anak laki-laki biasanya lebih menunjukkan intensitas perilaku agresif secara fisik, sedangkan anak perempuan lebih sering menunjukkan perilaku secara verbal. Sehingga siswa laki-laki biasanya cenderung lebih sering mengalami hukuman seperti pengusiran atau pengasingan ke luar kelas dibandingkan siswa perempuan.

Anak yang berperilaku agresif umumnya tidak memiliki kesadaran tentang perilaku agresif yang dilakukannya. Mereka kurang dapat memahami emosi yang ada dalam diri maupun orang lain (Giles & Heymann, 2004; Graham & Hoen, 1995). Dengan kurang berkembangnya keterampilan sosial emosional yang dimiliki tersebut, banyak anak tidak mampu mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang tepat, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk bertindak

(5)

agresif dalam mengatasi konflik dan permasalahan mereka sehari-hari. Ketika anak dihadapkan pada situasi sosial, seperti saat anak berinteraksi dengan teman-temannya, anak yang agresif cenderung kurang terampil dalam mengatasi persoalan, sehingga mereka akan mudah bertindak dan berperilaku yang tidak sesuai dengan aturan yang ada (Berkowitz, 1993 ; Cavel, 2000 ; Graham & Hoen, 1995 dalam Malti, 2006).

Pencegahan dan penanganan terhadap perilaku agresif sangatlah perlu dilakukan, mengingat anak yang berperilaku agresif cenderung memiliki kemungkinan mengembangkan pola perilaku yang sama ketika dewasa (Farrington, 1991, Craig dan Robert, 1995). Di sekolah, dampak dari perilaku agresif itu sendiri menyebabkan kelas menjadi tidak kondusif. Guru menjadi tidak maksimal dalam mengajar, sementara siswa lainnya merasa terganggu oleh adanya perilaku agresif dari siswa lainnya. Untuk si pelaku agresif sendiri ia menjadi rentan mengalami adanya peer labelling dan penolakan yang didapat dari lingkungan pertemanannya (Bloomquist dan Schnell, 2002).

Perilaku agresi berbeda dengan kenakalan. Banyak masyarakat awam yang menganggap bahwa anak yang nakal marupakan anak yang agresif, padahal tidak semua kenakalan umum yang dilakukan oleh anak dianggap sebagai bentuk agesivitas. Di satu sisi, perilaku agresif anak cukup berkorelasi dengan kenalakan. Krahe (2005) menyatakan bahwa siswa yang berperilaku agresif sejak kanak-kanak secara signifikan memiliki hubungan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan pada saat remaja. Mereka juga cenderung membawa serta perilaku agresifnya ketika umur semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena perilaku

(6)

agresif yang dimiliki oleh seseorang dapat terus menetap dalam diri seseorang tersebut hingga beranjak dewasa.

Terbentuknya sikap anak yang agresif biasanya terjadi melalui proses pengamatan dan pembelajaran yang diperoleh melalui modelling (Tadeshi dan Flson, 2005; Guerra, N. G, Huesmann, L.R & Spindler, A, 2003). Bandura (dalam Anantasari, 2006) menjelaskan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan perilaku yang dipelajari, demikian halnya dengan perilaku agresi. Adanya perilaku yang dipelajari berdasarkan pengalaman masa lalu melalui pengamatan dan pengalaman langsung yang mendapat pengukuhan positif maupun negatif menyebabkan seorang anak dapat bertindak agresif. Hal yang serupa juga sempat diutarakan oleh Khumas pada tahun 1997 di kota Yogyakarta menunjukkan adanya korelasi antara minat terhadap film kekerasan dengan kecenderungan perilaku agresi. Demikian juga Santrock (dalam Suprihatin, 2012) menyebutkan bahwa tayangan kekerasan dalam adegan televisi yang terus menerus ditonton oleh anak dapat menyebabkan meningkatnya tingkat agresivitas pada anak.

Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Campbell, Shaw dan Gilliom (2000) di Amerika; Deater-Deckard dan Dunn, (1999) di Inggris; Smart dan Oberklaid (2001) di Australia, menunjukkan adanya korelasi yang konsisten antara tempramental anak, gaya pengasuhan orang tua dengan munculnya perilaku agresif pada anak. Pada anak dengan tempramental yang mudah marah, memiliki reaksi emosional negatif yang kuat dan terlalu aktif dan sulit untuk ditenangkan sangat beresiko untuk memiliki adanya gangguan perilaku agresif dan antisosial pada masa awal dan tengah sekolah. Hal ini juga diperkuat oleh

(7)

kurangnya kasih sayang dan peranan orang tua terhadap perkembangan tingkah laku dan emosi anak-anak mereka, seperti penerapan gaya pengasuhan yang keras, tidak konsisten, dan memaksa.

Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Giles dan Heyman (2004) menunjukkan bahwa anak yang berperilaku agresif bisanya terjadi karena kurangnya kompetensi sosial emosional dalam dirinya. Mereka pada dasarnya kurang memiliki pemehaman diri yang baik, sehingga mereka kurang mampu membedakan antara dirinya dengan orang lain (Malti, 2006). Hal yang senada juga diungkapkan oleh Einsenberg (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) yang mengemukakan bahwa adanya konflik akibat perilaku agresif tersebut biasanya terjadi karena kurangnya kemampuan anak dalam mengatur emosi negatif dalam dirinya. Untuk itu, adanya latihan pengenalan emosi dan keterampilan bersosialisasi penting diajarkan kepada anak agar anak dapat belajar untuk mengendalikan perilaku mereka sesuai dengan tuntutan sosial yang ada.

Diantara beberapa penyebab di atas, peneliti melihat adanya kaitan yang cukup erat antara perkembangan sosial dan emosional dalam pembentukan perilaku anak. Pada anak yang memiliki keterampilan sosial emosional yang rendah, mereka cenderung lebih rentan berperilaku agresif, sehingga anak akan menunjukkan rasa permusuhan, terutama saat anak dihadapkan pada stimulus sosial yang ambigu, yang sering disalahartikan anak sebagai tanda permusuhan, sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif. Disamping itu, juga kurang mampu mengontrol emosinya, sulit memhami perasaan dan keinginan orang lain, dan cenderung kurang terampil dalam menyelesaikan konflik sosial (Anderson & Huesman, 2007 ; Elliot, 2001, Cartledge, 1995 ; Berkowitz, 1993).

(8)

Peneliti melihat bahwa belajar sosial emosional (social emotional learning) ini cocok untuk diterapkan pada siswa yang mengalami kesulitan dalam mengekpresikan emosi dan perilaku. Belajar sosial emosional merupakan suatu proses dimana anak dikenalkan kepada beberapa cara ataupun keterampilan dalam mengenali dan mengelola emosi, mengembangkan kepedulian dan perhatian untuk orang lain, membuat keputusan yang bertanggung jawab, membangun hubungan yang positif dan menangani situasi secara efektif (Merrel & Guliner, 2010). Social emotional learning merupakan salah satu metode belajar yang efektif dalam menangani siswa yang memiliki permasalahan emosi dan perilaku, baik permasalahan internalizing maupun externalizing (Kauffman, 2005). Permasalahan externalizing ini dideskripsikan sebagai perilaku “acting out”, seperti agresi verbal maupun fisik, kemarahan, mudah tersinggung dan suka menantang. Sedangkan permasalahan internalizing termasuk depresi, kecemasan, penarikan sosial, kesedihan, ketakutan, serta kesulitan dalam bersikap asertif. Meskipun dekimikian, banyak penelitian yang lebih banyak menggunakan social emotional learning ini sebagai suatu bentuk intervensi maupun pencegahan dalam mengatasi perilaku externalizing siswa di sekolah (Christensen, et al, 2009).

Salah satu program yang pernah dibuat oleh Merrel, Whitcomb, dan Parisi (2009) dengan menggunakan social emotional learning ini adalah “ Strong Start” dan “Strong Kids”. Strong Start merupakan suatu program yang dirancang untuk mempromosikan pembelajaran sosial dan emosional kepada siswa di sekolah sebagai upaya pencegahan maupun program intervensi dini. Program ini awalnya dirancang untuk siswa kelas awal (K-2), sedangkan Strong Kids untuk siswa yang pada jenjang yang lebih tinggi, dan dapat digunakan secara efektif pada

(9)

anak-anak yang memiliki faktor resiko tinggi mengalami permasalahan emosi dan perilaku, termasuk perilaku agresi dan mengganggu di kelas. Beberapa penelitian empiris yang pernah diujicobakan menggunakan program Strong Start maupun Strong Kids ini menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan siswa dalam hal pengelolaan emosi, dan penurunan dalam menghadapi simptom-simptom negatif (Merrel, Feuerborn & Gueldner, 2008).

Penelitian yang pernah dilakukan dengan menggunakan social emotional learning strong kids ini sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Caldarella, dkk pada tahun 2009 di kota Utah, dengan subjek sebanyak 26 siswa kelas IV, dan menggunakan desain quasi experimental. Hasilnya menunjukkan menunjukkan bahwa program Strong Kids terbukti efektif dalam meningkatkan perilaku prososial dan menurunkan perilaku agresif pada anak.

Di Indonesia sendiri, bentuk adaptasi dari program Strong Start ini pernah diaplikasikan oleh Zwagery (2012) dalam bentuk program pembelajaran sosial emosional Aku Anak Baik dalam mengatasi perilaku agresif siswa. Program ini menggunakan pendekatan kognitif perilaku, karena melihat faktor kognitf berperan dalam pembentukan perilaku seseorang, khususnya perilaku agresif. Penelitian ini melibatkan subjek siswa taman kanak-kanak. Hasilnya menunjukkan bahwa program pembelajaran sosial emosional Aku Anak Baik dapat menurunkan perilaku agresif pada anak.

Beberapa bentuk intervensi lain yang pernah dilakukan dengan melibatkan aspek sosial maupun emosional dalam mengatasi perilaku agresif pada siswa, diantaranya ialah penelitian yang pernah dilakukan oleh Murtiningtyas (2009) dengan judul “Pelatihan Keterampilan Sosial Untuk Menurunkan Tingkat Agresif

(10)

Pada Siswa Kelas IV”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan sosial secara signifikan dapat menurunkan perilaku agresif siswa. Selain itu, Syahadat (2013) juga pernah melakukan penelitian dengan judul “Pelatihan regulasi emosi untuk menurunkan perilaku agresif pada anak”. Subjek dari penelitian tersebut merupakan siswa sekolah dasar kelas V yang berusia 10 tahun dan memiliki kriteria perilaku agresif. Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa pelatihan regulasi emosi terbukti dapat membantu mengurangi perilaku agresif pada anak.

Merujuk pada beberapa referensi di atas, peneliti melihat bahwa intervensi yang berkaitan dengan aspek sosial dan emosional dianggap sesuai untuk membantu mengurangi tingkat perilaku agresif pada anak usia sekolah dasar. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk menggunakan intervensi social emotional learning dalam menangani perilaku agresif siswa di sekolah dasar. Dengan adanya pelatihan belajar sosial emosional tersebut, diharapkan siswa dapat lebih mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan mengelola emosi yang ada pada diri mereka melalui strategi coping, sehingga perilaku agresif mereka di sekolah dapat menurun.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan social emotional learning dalam mengurangi tingkat agresivitas siswa di sekolah dasar.

(11)

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini baik secara teoretis maupun secara empiris adalah :

1. Manfaat Teoretis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan teoritis

dalam mengungkap permasalahan psikologi pendidikan yang berkaitan dengan permasalahan emosi dan perilaku siswa

b. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini ini bisa dijadikan salah satu

acuan dalam memberikan ide-ide berdasarkan topik serupa yang akan diteliti

2. Manfaat Praktis

a. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat memberikan perubahan yang positif, agar para siswa dapat lebih mengenal dan mempelajari keterampilan apa saja yang dapat dipelajari dalam mengatasi permasalahan agresi siswa agar tidak semakin meningkat.

b. Bagi guru, penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak guru maupun sekolah dalam menangani permasalahan perilaku siswa terkait dengan hal permasalahan emosi dan perilaku agresif siswa. Dengan adanya pengaruh antara variabel tersebut, dapat digunakan sebagai salah satu referensi dalam menangani perilaku agresif pada siswa sekolah dasar.

D. Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian ini didasari oleh beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki kesamaan tema dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Beberapa penelitian tersebut antara lain ialah :

(12)

1. Penelitian tentang “Program pembelajaran sosial-emosional Aku Anak Baik untuk menurunkan perilaku agresif pada siswa jenjang taman kanak-kanak” oleh Zwagery, RV (2012). Subjek penelitian ini ialah enam orang siswa TK yang memiliki karakteristik berperilaku agresif. Intervensi yang digunakan dalam program ini mengadaptasi program Strong Start yang dikemukakan oleh Merrel, Whitcomb, dan Parisi (2009), dengan mengacu pada aspek-aspek social emotional learning oleh Dehham dan Weissberg (2004). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat penurunan tingkat agresivitas pada subjek setelah diberikan program tersebut. Sehingga bisa dikatakan bahwa program pembelajaran sosial-emosional Aku Anak Baik secara efektif dapat menurunkan tingkat peilaku agresif pada siswa jenjang TK.

2. Penelitian selanjutnya mengenai perilaku agresif pada siswa sekolah dasar juga pernah dilakukan oleh Murtiningtyas (2009) dengan judul “Pelatihan keterampilan sosial untuk menangani anak agresif”. Subjek penelitiannya ialah siswa sekolah dasar kelas IV berjumlah 34 siswa yang berasal dari dua sekolah yang berbeda dan memiliki karakteristik serupa dengan karakteristik penelitian. Subjek memiliki latar belakang keluarga yang cenderung dekat dengan kekerasan, sedangkan orang tua subjek berasal dari kalangan pengangguran, pekerja serabutan, tukang parkir, nahkan pekerja seks. Subjek terbagi menjadi 17 anak sebagai kelompok kontrol dan 17 anak sebagai kelompok eksperimen. Hasil analisis menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan sosial secara signifikan dapat menurunkan perilaku agresif (F = 49,23, p<0,001).

(13)

3. Syahadat (2013) juga pernah melakukan penelitian mengenai perilaku agresif dengan judul “Pelatihan regulasi emosi untuk menurunkan perilaku agresif pada anak”. Ini merupakan penelitian dengan jenis single case experimental design dengan subjek yang berjumlah dua orang, yang merupakan siswa sekolah dasar kelas V berusia 10 tahun dan memiliki kriteria perilaku agresif. Intervensi yang digunakan ialah dalam penelitian ini ialah pelatihan regulasi emosi yang mengacu pada teori Reivich & Shalle (2002). Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelatihan regulasi emosi terbukti dapat membantu mengurangi perilaku agresif pada anak.

4. Penelitian lainnya juga pernah dilakukan oleh Ali dan Utami (2013) dengan judul “Efektivitas buku “Pelangi Hatiku” dalam menurunkan tingkat agresi siswa di sekolah dasar”. Penelitian ini berttujuan untuk mengetahui efektivitas penurunan agresivitas pada siswa sekolah dasar dengan menggunakan buku “Pelangi Hatiku”. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 19 siswa berusia 10 sampai 12 tahun dengan skor tingat agresivitas sedang sampai sangat tinggi dalam kelompok eksperimen. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat penurunan tingkat agresivitas siswa sebesar 9,59 % setelah diberikan perlakuan dengan menggunakan buku Pelangi Hatiku (BPH). Secara kualitatif, BPH mampu menjadi alternatif media bagi para siswa untuk mengungkapkan ide, emosi, dan pengalaman yang dirasakan.

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, maka peneliti meyakini ada terdapat beberapa perbedaan yang dilakukan oleh peneliti dari penelitian sebelumnya, yaitu :

(14)

1. Keaslian topik

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti mengangkat topik mengenai pengaruh pelatihan social emotional learning untuk menurunkan tingkat agresivitas siswa sekolah dasar. Penelitian ini memiliki konsep yang hampir serupa dengan penelitian Zwagery (2012). Perbedaannya terletak pada subjek, dimana pada penelitian sebelumnya, subjek diambil pada jenjang taman kanak-kanak (TK), sedangkan penelitian ini mengambil tingkat agresivitas pada jenjang Sekolah Dasar .

2. Keaslian teori

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori dan aspek perilaku agresif yang dikemukakan oleh Anderson & Huesman, 2007 (dalam Ridwan 2014). Sedangkan untuk teori belajar sosial emosional, peneliti menggunakan aspek-aspek pembelajaran sosial emosional yang dikemukakan oleh Denham & Weisberg (2004).

3. Keaslian alat ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini ialah sosiometri peer nomination dan skala perilaku agresif siswa sekolah dasar yang dibuat oleh Murtiningtyas (2009), dan merupakan adaptasi dari teori agresivitas yang dikemukakan oleh Anderson & Huesmann (2007).

4. Keaslian subjek penelitian

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti menggunakan subjek siswa Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) “H” dengan rentang usia antara 9 hingga 11 tahun yang termasuk dalam kriteria perilaku agresif yang

(15)

didapat melalui hasil peer nomination dan skala yang dibagikan ke guru pada kategori tinggi dan sedang.

Referensi

Dokumen terkait

Pada multifragmentary complex fracture tidak terdapat kontak antara fragmen proksimal dan distal setelah dilakukan reposisi. Complex spiral fracture terdapat dua atau

Fasilitasi Outline Plan Sistem Drainase Kabupaten Dharmasraya ... III –35 Gambar 3.9 Bagan Alir Kegiatan Survey Pengukuran Topografi ... III –60 Gambar 3.11 Penampang

Dari segi desain x banner masih sama dengan desain-desain media yang lainnya dimana background yang diambil dari illustrasi yang dimana lekukan diambil dari bentuk daun

Pengelolaan risiko kredit dalam Bank juga dilakukan dengan melakukan proses analisa kredit atas potensi risiko yang timbul melalui proses Compliant Internal

Perhitungan indeks RCA bertujuan untuk menjelaskan kekuatan dayasaing komoditas nenas dan pisang Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain (dunia) yang juga

Sumber data sekunder yang dimaksud berupa buku dan laporan ilmiah primer atau asli yang terdapat di dalam artikel atau jurnal (tercetak dan/atau non-cetak)

 Dengan berdiskusi dan mencari informasi dalam kelompok, siswa mampu membuat kliping yang menunjukkan usaha persatuan dan kesatuan yang dilakukan oleh pemerintah dan