• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

113

Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi Model

Verifikasi Model KlasteRula dilakukan untuk memastikan bahwa model klaster industri rumput laut terbebas dari kekeliruan proses logis sehingga dapat berfungsi sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Setiap submodel yang terdapat pada Model KlasteRula diverifikasi dengan cara menguji apakah program pada setiap submodel tersebut telah dapat berjalan dengan baik dan benar.

Verifikasi model diawali cara penelisikan berulang (debugging) pada setiap setiap modul Model KlasteRula untuk menganalisis alur kerja program. Langkah ini dilakukan guna mengurangi kesalahan yang bersifat logika (logical errors). Hasil proses debug menunjukkan tidak terdapat kesalahan logika didalam program, sehingga dapat berperilaku seperti yang diharapkan.

Untuk tujuan verifikasi, Model KlasteRula diujicobakan pada sistem klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep Madura sebagai studi kasus. Setiap modul dalam Model KlasteRula diverifikasi menggunakan data riil yang dikumpulkan dari lapangan sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan, baik data sekunder maupun data primer yang berasal dari pengetahuan pakar.

Hasil verifikasi terhadap seluruh submodel didalam program KlateRula menunjukkan bahwa model telah dapat diimplementasikan dengan baik dan menghasilkan keluaran sesuai dengan output yang diharapkan. Hal ini didukung dengan tidak adanya penyimpangan antara output model dengan hasil-hasil perhitungan manual, sebagaimana diperlihatkan didalam lampiran-lampiran.

Hasil-hasil implementasi tersebut mengindikasikan bahwa model telah terverifikasi dengan baik yang memberikan petunjuk bahwa tidak ada masalah dalam menterjemahkan model konsepsional ke model matematik. Hal ini menunjukkan bahwa model telah sesuai dengan kerangka logika dan mampu melakukan simulasi dengan menggunakan program komputer. Selengkapnya hasil verifikasi model diuraikan lebih lanjut pada bagian Implementasi Model.

(2)

Validasi Model

Pada proses verifikasi model KlasteRula telah dilakukan evaluasi terhadap proses komputasi, kerja logika, dan elemen-elemen substansi yang diakomodir model. Kondisi seperti ini mendorong proses validasi lebih ditujukan untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa berdasarkan kondisi yang diasumsikan model mampu mewakili sistem yang sebenarnya. Proses validasi dilakukan dengan mempelajari seluruh komponen model dan keluaran yang dihasilkan.

Validasi model makro pengembangan klaster industri rumput laut secara struktural dilakukan menggunakan face validity melalui diskusi dengan pakar. Hasil validasi menunjukkan bahwa model KlasteRula telah mengandung semua elemen, kejadian, dan hubungan input output dari sebuah sistem klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Model KlasteRula dianggap cukup akurat dan mempunyai nilai kegunaan yang besar peranannya dalam mendukung para pengambil keputusan melalui berbagai fasilitas analisis yang mudah digunakan. Kegunaan model ditunjukkan dari kelengkapan model untuk bisa diterapkan dan mampu menganalisis berbagai aspek, baik pada level input, proses, maupun output.

Validasi model KlasteRula untuk setiap submodelnya secara umum telah dianggap mencukupi. Hal ini dapat dilihat dari kesesuaian antara output model dengan kondisi sistem yang sebenarnya yang merupakan petunjuk bahwa model yang dikembangkan adalah model yang valid. Logika model yang dikembangkan pada setiap submodel adalah benar dan hubungan antar input-output didalam model dianggap telah berkesesuaian (reasonable). Keluaran model dianggap sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Perilaku sistem dapat diprediksi melalui perbandingan dengan keluaran model.

Selain diukur berdasarkan hasil validasinya, efektivitas model ditunjukkan dengan tercapainya tujuan sistem. Implementasi Model KlasteRula menghasilkan keluaran sebagaimana diharapkan dalam tujuan pemodelan yang telah ditetapkan. Selengkapnya hasil validasi model diuraikan lebih lanjut pada bagian hasil implementasi model.

(3)

Implementasi Model

Pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan direkayasa melalui Model KlasteRula yang ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan baik di lingkungan pemerintahan (pusat/daerah) maupun para praktisi usaha (stakeholders) yang bergerak dalam pengembangan klaster industri rumput laut. Penggunaan Model KlasteRula dirancang secara fleksibel. Model KlasteRula tidak hanya dapat digunakan pada suatu daerah tertentu, tetapi dapat juga digunakan di daerah lain sesuai dengan karakteristik daerah, potensi wilayah, dan permasalahan yang ingin diselesaikan.

Implementasi Model KlasteRula dilakukan di Kabupaten Sumenep Provinsi Jawa Timur. Hasil implementasi model disajikan secara berurutan, yang meliputi: (i) diagnosis persyaratan kelayakan pengembangan klaster; (ii) operasi pengembangan klaster; dan (iii) prediksi kinerja pengembangan klaster.

Model Diagnosis Kelayakan Pengembangan

Tahap awal yang merupakan aspek kunci dalam pengembangan klaster industri adalah melakukan diagnosis terhadap kelayakan pengembangan klaster. Menurut Bappenas (2006a), tahap diagnosis dilakukan dengan mengidentifikasi dan memetakan potensi klaster, termasuk menganalisis kekuatan dan kelemahan klaster. Penilaian klaster pada tahap diagnosis ini menurut EDA (1997) sangat diperlukan untuk mendukung kinerja klaster.

Model diagnosis kelayakan pengembangan bertujuan untuk mengidentifikasi potensi pengembangan klaster. Hasil diagnosis bermanfaat untuk menilai kelayakan daerah untuk mengembangkan klaster industri rumput laut berdasarkan dimensi-dimensi dalam pembangunan yang berkelanjutan. Model ini tersusun atas submodel prasyarat ekologi, sub model prasyarat ekonomi, submodel prasyarat sosial, dan submodel prasyarat kelembagaan. Keempat submodel diagnosis ini selanjutnya diagregasi kedalam suatu model agregasi diagnosis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut.

(4)

Submodel Prasyarat Ekologi

Submodel prasyarat ekologi bertujuan untuk mengidentifikasi kesesuaian lokasi yang akan digunakan untuk budidaya rumput laut. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari usaha budidaya rumput laut, maka perlu dicari lokasi yang sesuai dengan kondisi ekologi rumput laut (Deptan 1997; Deptan 1999). Kondisi ekologi perairan ini diperlukan untuk memenuhi persyaratan tumbuh rumput laut (Eucheuma cottonii). Metode yang digunakan untuk menganalisis kelayakan pada submodel prasyarat ekologi adalah metode heuristic yang dikembangkan oleh Deptan (1990) dan Amarullah (2007).

Parameter penilaian yang digunakan didalam model mencakup 10 indikator kesesuaian lokasi yang untuk budidaya rumput laut, yang secara rinci tercakup dalam matriks kesesuaian lahan budidaya rumput laut. Data-data yang diperlukan untuk menilai kesesuaian lahan didasarkan pada item-item penilaian pada matriks kesesuaian lahan. Kebutuhan data untuk implementasi model diambil berdasarkan data potensi perairan pada 11 kecamatan pesisir di Kabupaten Sumenep yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sumenep dan Stasiun Meteorologi Maritim Perak Surabaya. Hasil rata-rata penilaian kondisi ekologis perairan pada kecamatan-kecamatan yang dianalis disajikan pada Tabel 16. Hasil selengkapnya kondisi ekologi perairan untuk budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii) di Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 16 Hasil penilaian kesesuaian lahan budidaya rumput laut

No. Parameter Satuan Rata-rata penilaian

1 Dasar perairan -- --

2 Kedalaman pada surut terendah meter 0,95

3 Kecepatan arus cm/detik 17,90

4 Suhu permukaan ⁰C 31,77 5 Salinitas ‰ 30,55 6 pH -- 7,71 7 Kecerahan % 61,06 8 DO mg/l 6,50 9 Nitrat mg/l 0,14 10 Amonium mg/l 0,35

(5)

Ikhtisar hasil keseluruhan analisis kesesuaian lahan budidaya rumput laut yang dilakukan pada 11 kecamatan pesisir di Kabupaten Sumenep disajikan pada Tabel 17. Pada tabel terlihat bahwa rata-rata nilai indeks parameter adalah 100,45, atau >91,68, sehingga masuk dalam kategori kelas “Sesuai”. Hasil implementasi model menunjukkan bahwa secara ekologis wilayah perairan Kabupaten Sumenep sesuai dengan persyaratan tumbuh Eucheuma cottonii sehingga sangat potensial untuk dilakukan usaha pembudidayaannya.

Tabel 17 Analisis kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut

No. Kecamatan Nilai indeks Kesimpulan

1 Ambunten 103 Sesuai 2 Batuputih 111 Sesuai 3 Batang-batang 111 Sesuai 4 Bluto 95 Sesuai 5 Dasuk 111 Sesuai 6 Dungkek 101 Sesuai 7 Gapura 95 Sesuai 8 Kalianget 93 Sesuai

9 Pragaan 79 Cukup Sesuai

10 Pasongsongan 111 Sesuai

11 Saronggi 95 Sesuai

Agregat 100,45 Sesuai

Kesesuaian secara ekologis wilayah perairan Kabupaten Sumenep untuk persyaratan tumbuh rumput laut Eucheuma sp. akan mendorong tingkat peningkatan jumlah dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan. Produksi rumput laut Kabupaten Sumenep tahun 2009 mencapai 69.283,80 ton, atau meningkat sebanyak 14,19% dari produksi tahun 2008. Peningkatan jumlah produksi ini diimbangi dengan peningkatan jumlah pembudidaya dan jumlah rakit yang diusahakan untuk budidaya rumput laut. Gambaran kondisi seperti ini menunjukkan bahwa validasi terhadap submodel diagnosis prasyarat ekologi secara event validity menghasilkan keluaran model yang cukup akurat

(6)

4.386 6.325 6.485 19.084 30.735 31.195 36.763,12 60.673,35 69.283,80 0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000 2007 2008 2009

Jumlah Pembudidaya (orang) Jumlah Rakit (unit) Jumlah Produksi (ton) Gambar 41 Potensi pengembangan rumput laut di Kabupaten Sumenep.

Submodel Prasyarat Ekonomi

Submodel prasyarat ekonomi bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut ditinjau dari perspektif ekonomi. Implementasi Model KlasteRula dilakukan dengan memberikan input data penilaian pakar kedalam modul submodel prasyarat ekonomi. Data penilaian pakar yang diinput berupa data bobot dan data skor berdasarkan kriteria prasyarat ekonomi yang telah ditetapkan.

Hasil diagnosis kelayakan persyaratan ekonomi pengembangan klaster secara perhitungan manual dapat dilihat pada Lampiran 2.1. Hasil pemeriksaan terhadap output model dengan perhitungan manual tidak menunjukkan adanya penyimpangan, sehingga hal ini merupakan petunjuk bahwa model telah terverifikasi dengan baik. Ikhtisar keluaran model penilaian pakar pada diagnosis kelayakan prasyarat ekonomi pengembangan klaster disajikan pada Tabel 18.

Hasil implementasi model menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep ditinjau dari perspektif ekonomi “Cukup Layak” untuk dilakukan yang didukung oleh potensi pasar produk yang cukup tinggi. Pada Tabel 18 terlihat bahwa permintaan pasar dan ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan indikator-indikator yang mempunyai bobot “Tinggi”, sementara untuk indikator lainnya mempunyai bobot “Sedang”. Hal ini menunjukkan bahwa indikator permintaan pasar dan infrastruktur merupakan indikator yang harus menjadi perhatian utama dalam pengembangan klaster industri rumput laut.

(7)

Tabel 18 Penilaian prasyarat ekonomi

No. Indikator Bobot Skor Nilai Indeks

1 Permintaan pasar T T T

2 Kemampuan teknologi S S S

3 Infrastruktur ekonomi T S S

4 Kemampuan SDM S S S

5 Kegiatan ekonomi lokal S S S

6 Iklim investasi S S S

7 Permodalan S S S

8 Pertumbuhan industri/usaha S S S

Kesimpulan Cukup Layak

Dari sisi infrastruktur, prasyarat yang sudah dimiliki Kabupaten Sumenep untuk pengembangan klaster industri rumput laut meliputi:

• Ketersediaan listrik dengan kapasitas daya mencapai 53.099.102 VA. Dari jumlah kapasitas tersebut, hanya sekitar 7.408.773 VA yang saat ini terpakai (BPS 2009). Kapasitas daya listrik ini cukup memadai mengingat kebutuhan listrik khusus untuk industri ATC hanya sebesar 33.000 VA.

• Ketersediaan air PDAM dengan potensi produksi sebesar 6.868.864 m3 , dengan tingkat konsumsi hanya mencapai 2.771.633 m3 (BPS 2009). Kebutuhan air untuk produksi hanya sebesar 263 m3 /hari. Potensi ini masih belum memperhitungkan potensi air tanah yang cukup tersedia.

• Akses jalan cukup baik. Dari sekitar 1.629.900 km panjang jalan, sekitar 84,81% dalam kondisi baik. Panjang jalan yang diaspal mencapai 92,79% (BPS 2009). Kondisi jalan yang cukup baik ini akan memudahkan pelaku usaha dalam melakukan kegiatan transportasi dan distribusi barang.

• Ketersediaan pelabuhan. Selain transportasi darat, keberadaan transportasi laut sangat diperlukan mengingat wilayah Kabupaten Sumenep adalah kepulauan. Pelabuhan yang berada di Kecamatan Kalianget melayani rute Kalianget-Kangean dan Kalianget-Jangkar. Wilayah ini juga berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Perak yang berada di Kota Surabaya.

Sumberdaya manusia secara kuantitas cukup tersedia di Kabupaten Sumenep. Jumlah angkatan kerja tahun 2009 mencapai 473.118 orang. Namun, sekitar 22,0%

(8)

adalah angkatan kerja yang berpendidikan tidak tamat SD (BPS 2009). SDM yang terlibat dalam pengusahaan rumput laut di Kabupaten Sumenep cukup banyak. Pada tahun 2009, jumlah pembudidaya mencapai 6.485 orang dengan jumlah rakit budidaya sebanyak 31.195 rakit.

Tabel 19 Potensi sumberdaya manusia di Kabupaten Sumenep

No. Kecamatan Jumlah pembudidaya (orang)

2008 2008 2009 1 Giligenting 391 460 480 2 Bluto 814 900 930 3 Saronggi 1.122 2.250 2.270 4 Talango 519 610 615 5 Gapura 321 375 385 6 Dungkek 362 390 395 7 Ra’as 125 140 140 8 Sapeken 653 750 800 9 Kangayan 0 150 150 10 Arjasa 0 215 200 11 Masalembu 79 85 85 12 Batu Putih 0 30 35 Jumlah 4.386 6.355 6.485

Sumber: DKP Kabupaten Sumenep (2010)

Submodel Prasyarat Sosial

Submodel prasyarat sosial bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut ditinjau dari perspektif sosial. Implementasi Model KlasteRula dilakukan dengan memberikan input data penilaian pakar kedalam modul submodel prasyarat sosial, baik berupa data bobot dan data skor, yang didasarkan pada kriteria prasyarat sosial yang telah ditetapkan.

Hasil diagnosis kelayakan persyaratan sosial secara perhitungan manual dapat dilihat pada Lampiran 2.2. Hasil pemeriksaan terhadap output model dengan perhitungan yang dilakukan secara manual tidak menunjukkan adanya penyimpangan, sehingga hal ini merupakan petunjuk bahwa model telah terverifikasi dengan baik.

Ikhtisar hasil implementasi submodel diagnosis kelayakan prasyarat sosial disajikan pada Tabel 20. Hasil diagnosis menunjukkan bahwa secara sosial

(9)

pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep “Cukup Layak” untuk dilakukan. Hal ini didukung oleh kondisi sosial budaya yang kondusif untuk pengembangan klaster.

Tabel 20 Penilaian prasyarat sosial

No. Kriteria Bobot Skor Nilai Indeks

1 Dukungan stakeholders ST S S

2 Kondisi sosial budaya T T T

3 Motivasi stakeholders S S S

4 Ketersediaan tata ruang T S S

5 Keterlibatan masyarakat setempat T S S

Agregasi Cukup Layak

Pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa indikator dukungan para pemangku kepentingan (stakeholders) mempunyai bobot yang “Sangat Tinggi”. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut harus mendapatkan dukungan penuh dari stakeholders terkait agar nantinya klaster dapat beroperasi secara optimal.

Submodel Prasyarat Kelembagaan

Submodel model prasyarat kelembagaan bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan persyaratan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di Kabupaten Sumenep ditinjau dari perspektif kelembagaan. Ikhtisar hasil penilaian prasyarat kelembagaan disajikan pada Tabel 21. Hasil perhitungan manual diagnosis kelayakan persyaratan kelembagaan pengembangan klaster di Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Lampiran 2.3.

Tabel 21 Penilaian prasyarat kelembagaan

No. Kriteria Bobot Skor Nilai Indeks

1 Kelengkapan struktur kelembagaan ST S S

2 Mekanisme hubungan kelembagaan T S S

3 Mekanisme monitoring dan evaluasi S S S

(10)

Pada Tabel 21 terlihat bahwa indikator kelengkapan struktur kelembagaan mempunyai bobot “Sangat Tinggi”. Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan pengembangan klaster industri sangat dipengaruhi oleh kelengkapan struktur kelembagaan yang terlibat dalam aktivitas pengembangan klaster di daerah. Semakin lengkap stakeholders yang terlibat dalam kelembagaan klaster industri, maka semakin besar kemungkinan keberhasilan pengembangan klaster.

Agregasi prasyarat kelembagaan pengembangan klaster berdasarkan hasil penilaian pakar adalah “Sedang”. Artinya, pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep ditinjau dari perspektif kelembagaan “Cukup Layak” untuk dilakukan, meskipun kelengkapan struktur kelembagaan klaster masih belum sepenuhnya terbentuk.

Potensi kelengkapan struktur kelembagaan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep, meliputi:

• Pembudidaya. Pembudidaya merupakan produsen primer yang membudidayakan rumput laut. Pembudidaya umumnya tergabung dalam suatu kelompok usaha pembudidaya yang saat ini jumlahnya mencapai 214 kelompok.

• Koperasi. Koperasi merupakan wadah bagi para pembudidaya untuk berusaha di sektor rumput laut. Koperasi membina kelompok-kelompok pembudidaya. Koperasi sekaligus bertindak sebagai pengepul di tingkat desa dan kecamatan.

• Pengepul/pedagang besar. Pengepul/pedagang besar melakukan pembelian rumput laut dari pengepul di tingkat kecamatan. Ada 9 unit usaha yang melakukan pembelian rumput laut di Kabupaten Sumenep yang tergolong pengepul besar, yaitu: UD. Karang Baru, UD. Ladaina, UD. Beni Tanasa, UD. Harapan Jaya, CV. Delta Surya Prima, PT. Madura Prima Interna, PT. Indo Carragenan, dan PT. Sansiwita. Pengepul besar selanjutnya menjual rumput laut kering ke eksportir yang berkedudukan di Surabaya dan Malang. • Insitusi pembiayaan. Lembaga pembiayaan, baik bank dan non bank, yaitu:

(11)

Koperasi dan LKM (KSP, USP, BMT). Menurut laporan BI (2008), jumlah total kredit yang telah dikucurkan oleh pihak BRI, BCA, dan Bank Jatim pada tahun 2008 untuk usaha rumput laut sebesar Rp. 1.648.000.000,-

• Institusi pendidikan. Institusi pendidikan yang mendukung pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep, meliputi: Universitas Wiraraja Sumenep, Universitas Negeri Trunojoyo Bangkalan, STM Perikanan Jurusan Budidaya Rumput Laut Sumenep, Pesantren Al-Amin Prenduan Sumenep, serta Balai Besar Air Payau (BBAP) Situbondo.

Submodel Agregasi Prasyarat Kelayakan Pengembangan

Submodel ini bertujuan untuk mengagregasi prasyarat-prasyarat kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan). Proses agregasi menggunakan teknik sistem pakar (expert system). Jumlah aturan yang digunakan dalam sistem pakar sebanyak 81 aturan. Aturan-aturan (rulebase) yang digunakan dalam sistem pakar dapat dilihat pada Lampiran 3.

Konsultasi pada sistem pakar menggunakan input dari keluaran submodel ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Konsultasi pada sistem pakar dilakukan dengan memberikan data masukan pada modul formulir konsultasi pada sistem pakar. Berdasarkan hasil konsultasi ditemukan ada satu buah aturan yang tepat dengan kondisi aktual yang ditanyakan, yaitu Aturan 14.

Tabel 22 Hasil agregasi diagnosis kelayakan pengembangan klaster

No. Prasyarat Hasil Diagnosis Agregasi

1 Ekologi Sesuai

Cukup Layak

2 Ekonomi Cukup Layak

3 Sosial Cukup Layak

4 Kelembagaan Cukup Layak

Hasil konsultasi pada sistem pakar menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut “Cukup Layak” dikembangkan di Kabupaten Sumenep. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa Kabupaten Sumenep mempunyai potensi yang cukup baik untuk pengembangan klaster industri rumput laut.

(12)

Saran yang diberikan dalam konsultasi dengan sistem pakar adalah mempertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster, yaitu dengan meningkatkan beberapa prasyarat yang dianggap belum menunjukkan kondisi ideal yang diharapkan seperti pada prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan sebagai faktor kunci keberhasilan dalam penilaiannya. Faktor-faktor tersebut menurut Porter (1990) merupakan penentu daya saing klaster industri rumput laut sebagaimana tercakup dalam model berlian Porter.

Model Operasi Pengembangan Klaster

Model operasi pengembangan klaster bertujuan untuk menganalisis operasi pengembangan klaster jika prasyarat pengembangan klaster telah dipenuhi. Model ini dikembangkan untuk menganalisis langkah-langkah operasional pengembangan yang perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan tercapainya klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Model operasi sistem pengembangan klaster meliputi submodel operasi ekonomi, operasi sosial, dan operasi lingkungan.

Submodel Operasi Ekonomi

Submodel operasi ekonomi digunakan untuk menentukan harga rumput laut pada rantai usaha rumput laut didalam klaster, baik di tingkat agroindustri ATC, koperasi, kelompok pembudidaya, dan pembudidaya. Harga rumput laut untuk produk ATC di pasaran sangat dipengaruhi oleh kekuatan gel (gel strength/GS). Kekuatan gel merupakan parameter utama yang menentukan kualitas ATC. ATC dengan kualitas GS yang tinggi diasumsikan akan mempunyai harga yang tinggi. Meningkatnya harga ATC dengan GS tinggi akan mendorong meningkatnya harga rumput laut didalam klaster.

Implementasi model dilakukan dengan memberikan input data parameter GS, harga ATC, harga rumput laut pada berbagai tingkatan kedalam modul submodel operasi ekonomi. Hasil penentuan harga rumput laut secara perhitungan manual dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil pemeriksaan terhadap output model dengan perhitungan manual tidak menunjukkan adanya penyimpangan, sehingga hal ini merupakan petunjuk bahwa model telah terverifikasi dengan baik.

(13)

Harga rumput laut di tingkat agroindustri

Harga rumput laut di tingkat agroindustri ditentukan oleh harga ATC di pasar internasional. Peningkatan harga ATC akan diikuti oleh peningkatan harga rumput laut sesuai dengan kualitas GS. Keluaran model penentuan harga beli rumput laut di tingkat agroindustri pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 23.

Asumsi-asumsi yang digunakan untuk menentukan harga rumput laut di tingkat agroindustri adalah sebagai berikut:

• Volume produksi ATC sebesar 472,5 ton/tahun • Volume pembelian rumput laut 1.575 ton/tahun • Margin keuntungan 25%

• Nilai tukar mata uang dolar terhadap rupiah adalah Rp. 9.000 per 1 US$. • Biaya produksi sebesar Rp. 1.394.887.500/tahun (rincian perhitungan biaya

produksi dapat dilihat pada Lampiran 4.1).

Tabel 23 Skenario harga rumput laut di tingkat agroindustri

Gel strength (gr/cm2)

Harga jual ATC (US$/kg)

Harga beli rumput laut (Rp/kg) 500 3,40 5.999 550 3,80 6.809 600 4,20 7.619 650 4,60 8.429 700 5,00 9.239 725 5,20 9.644 750 5,40 10.049 775 5,60 10.454 800 5,80 10.859 825 6,00 11.264 850 6,20 11.669 875 6,40 12.074 900 6,60 12.479 925 6,80 12.884 950 7,00 13.289 975 7,20 13.694 1.000 7,40 14.099

Tabel 23 menunjukkan simulasi harga beli rumput laut di tingkat agroindustri yang didasarkan pada harga ATC di pasar internasional. Berdasarkan tabel dapat

(14)

diketahui secara interaktif pada tingkat berapa harga rumput laut harus dibeli oleh agroindustri dari pemasok bahan baku dengan margin keuntungan yang dikehendaki.

Harga rumput laut merupakan salah satu parameter yang dianggap sensitif dalam pengembangan usaha agroindustri ATC. Perubahan nilai parameter tersebut sangat menentukan kelayakan usaha agroindustri ATC. Tabel 24 menunjukkan harga maksimum rumput laut yang dapat dibeli oleh agroindustri yang masih dalam kondisi kelayakan usaha. Pembelian rumput laut melebihi harga maksimum akan menyebabkan agroindustri akan mengalami kerugian.

Tabel 24 Skenario harga maksimum rumput laut di tingkat agroindustri

Gel strength (gr/cm2)

Harga beli rumput laut (Rp/kg) Harga maksimum (Rp/kg) Keterangan 500 5.999 - Tidak layak 550 6.809 - Tidak layak 600 7.619 7.673 Harga naik 0.7% 650 8.429 8.598 Harga naik 2% 700 9.239 9.609 Harga naik 4% 725 9.644 10.127 Harga naik 5% 750 10.049 10.552 Harga naik 5% 775 10.454 11.082 Harga naik 6% 800 10.859 11.620 Harga naik 7% 825 11.264 12.053 Harga naik 7% 850 11.669 12.603 Harga naik 8% 875 12.074 13.040 Harga naik 8% 900 12.479 13.478 Harga naik 8% 925 12.884 14.044 Harga naik 9% 950 13.289 14.485 Harga naik 9% 975 13.694 15.064 Harga naik 10% 1,000 14.099 15.509 Harga naik 10%

Harga rumput laut kering riil di tingkat agroindustri pada bulan Maret 2011 dengan kualitas GS 775 gr/cm2 adalah sebesar Rp. 10.500/kg. Harga tersebut masih di sekitar rentang interval harga yang dianggap layak didalam model, yaitu tidak melebihi harga beli maksimum rumput laut di tingkat agroindustri. Harga maksimum rumput laut kering di tingkat agroindustri adalah Rp. 11.082/kg, atau 6% dari harga normal.

(15)

Harga rumput laut di tingkat koperasi

Harga rumput laut di tingkat koperasi mencakup harga jual rumput laut kepada agroindustri dan harga beli rumput laut yang dipasok dari kelompok pembudidaya. Harga rumput laut di tingkat koperasi dipengaruhi oleh harga rumput laut di tingkat agroindustri. Keluaran model penentuan harga rumput laut di tingkat koperasi pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 25.

Asumsi-asumsi yang digunakan untuk menentukan harga di tingkat koperasi adalah sebagai berikut:

• Volume penjualan rumput laut sebesar 1.575 ton/tahun • Volume pembelian rumput laut 1.575 ton/tahun

• Biaya produksi mencakup biaya transportasi dari koperasi ke pabrik pengolahan yang nilainya sebesar Rp. 30/kg rumput laut kering

Tabel 25 Skenario harga rumput laut di tingkat koperasi

Gel Strength (gr/cm2) Harga jual (Rp/kg) Harga beli (Rp/kg) Margin (%) 500 5.999 5.669 5,82 550 6.809 6.439 5,75 600 7.619 7.208 5,70 650 8.429 7.978 5,66 700 9.239 8.747 5,62 725 9.644 9.132 5,61 750 10.049 9.517 5,59 775 10.454 9.902 5,58 800 10.859 10.286 5,57 825 11.264 10.671 5,56 850 11.669 11.056 5,55 875 12.074 11.441 5,54 900 12.479 11.825 5,53 925 12.884 12.210 5,52 950 13.289 12.595 5,51 975 13.694 12.980 5,51 1.000 14.099 13.364 5,50

Tabel 25 menunjukkan simulasi harga beli maksimum rumput laut di tingkat koperasi yang dipasok oleh kelompok pembudidaya pada berbagai harga jual rumput laut kepada pihak agroindustri. Margin keuntungan koperasi diperoleh dari selisih

(16)

harga beli dan harga jual rumput laut di tingkat koperasi yang rata-rata nilainya sebesar 5,6% per kg.

Harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya

Kelompok pembudidaya berperan sebagai pengumpul rumput laut kering yang dihasilkan oleh pembudidaya. Harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya mencakup harga jual rumput laut kepada koperasi dan harga beli rumput laut yang dikumpulkan dari pembudidaya. Harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya dipengaruhi oleh harga rumput laut di tingkat koperasi.

Biaya produksi yang dikeluarkan kelompok pembudidaya adalah biaya pengeringan dan pengemasan sebesar Rp. 50/kg, serta biaya transportasi dari tempat kelompok pembudidaya ke koperasi yang nilainya sebesar Rp. 20/kg rumput laut kering. Keluaran model penentuan harga di tingkat kelompok pembudidaya pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26 Skenario harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya

Gel Strength (gr/cm2) Harga jual (Rp/kg) Harga beli (Rp/kg) Margin (%) 500 5.669 5.032 12,66 550 6.439 5.725 12,47 600 7.208 6.418 12,32 650 7.978 7.110 12,21 700 8.747 7.803 12,11 725 9.132 8.149 12,07 750 9.517 8.495 12,03 775 9.902 8.841 11,99 800 10.286 9.188 11,96 825 10.671 9.534 11,93 850 11.056 9.880 11,90 875 11.441 10.227 11,87 900 11.825 10.573 11,85 925 12.210 10.919 11,82 950 12.595 11.265 11,80 975 12.980 11.612 11,78 1.000 13.364 11.958 11,76

Tabel 26 menunjukkan simulasi harga beli rumput maksimal rumput laut yang dihasilkan pembudidaya pada berbagai variasi harga jual rumput laut yang akan dijual kepada koperasi. Margin keuntungan kelompok pembudidaya diperoleh dari

(17)

selisih harga beli dan harga jual rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya yang rata-rata nilainya sebesar 12,03% per kg.

Harga rumput laut di tingkat pembudidaya

Harga rumput laut di tingkat pembudidaya mengikuti harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya. Tingkat keuntungan pembudidaya ditentukan oleh harga jual rumput di tingkat kelompok dibandingkan dengan harga pokok produksi (HPP) usaha budidaya rumput laut. HPP dihitung berdasarkan jumlah biaya operasional budidaya rumput laut dibagi dengan jumlah produksi rumput laut yang dihasilkan. Keluaran model penentuan harga di tingkat koperasi pada berbagai skenario disajikan pada Tabel 27.

Harga jual adalah harga rumput laut yang dijual kepada kelompok pembudidaya yang bertindak sebagai pengepul. Harga pokok produksi (HPP) adalah rata-rata HPP budidaya rumput laut dengan menggunakan skenario jumlah rakit sebanyak 1, 3, 5, 10, 15, dan 20 unit (Lampiran 5). Margin keuntungan pembudidaya adalah selisih harga jual dengan HPP. Semakin tinggi margin menunjukkan bahwa tingkat keuntungan yang diperoleh pembudidaya akan semakin tinggi pula.

Tabel 27 Skenario harga rumput laut di tingkat pembudidaya

Gel strength (gr/cm2)

Harga jual (Rp/kg)

Harga pokok produksi (Rp/kg) Margin (%) 500 5.032 5.504 -8,57 550 5.725 5.504 4,02 600 6.418 5.504 16,60 650 7.110 5.504 29,18 700 7.803 5.504 41,76 725 8.149 5.504 48,05 750 8.495 5.504 54,35 775 8.841 5.504 60,64 800 9.188 5.504 66,93 825 9.534 5.504 73,22 850 9.880 5.504 79,51 875 10.227 5.504 85,80 900 10.573 5.504 92,09 925 10.919 5.504 98,39 950 11.265 5.504 104,68 975 11.612 5.504 110,97 1.000 11.958 5.504 117,26

(18)

Pada Tabel 27 dapat dilihat bahwa jika rumput laut mempunyai kualitas GS yang tidak baik, misalnya pada kisaran 500 gr/cm2, maka pembudidaya akan mengalami kerugian karena harga jual rumput laut tidak bisa menutup biaya untuk produksinya. Sebaliknya, jika pembudidaya mampu menghasilkan rumput laut dengan kualitas GS sebesar 1.000 gr/cm2, maka margin keuntungan yang diperoleh pembudidaya mencapai 117,26%.

Berdasarkan nilai-nilai pembelian bahan baku dan penjualan produk dalam rantai produksi rumput laut, maka selanjutnya dapat ditentukan besarnya nilai tambah yang diperoleh oleh masing-masing pelaku usaha didalam klaster industri rumput laut. Menurut Brown (1994), nilai tambah adalah perbedaan atau selisih antara biaya bahan dan nilai produk akhir dari suatu proses produksi. Perhitungan nilai tambah pada simpul-simpul pemasaran rumput laut didalam klaster mengikuti definisi yang disampaikan Brown. Rantai nilai usaha didalam klaster mulai budidaya hingga pemasaran dapat dilihat pada Gambar 42.

Gambar 42 Rantai usaha klaster industri rumput laut.

Pada Gambar 42 dapat dilihat bahwa nilai tambah terbesar dihasilkan oleh pembudidaya yang mencapai 61,12%, kemudian diikuti oleh pihak agroindustri sebesar 30,86%. Peningkatan nilai tambah yang cukup besar disebabkan oleh adanya proses pengolahan yang cukup panjang yang dilakukan baik oleh pembudidaya maupun agroindustri, sementara kelompok pembudidaya dan koperasi relatif tidak melakukan proses pengolahan produk. Semua elemen yang terlibat dalam rantai produksi didalam klaster harus mempunyai visi bersama untuk meningkatkan daya

(19)

saing produk sesuai peran dan fungsinya untuk mendapatkan keuntungan secara bersama.

Submodel Operasi Teknologi

Submodel operasi teknologi pada dasarnya dibangun dalam rangka mengatasi permasalahan ketidakseimbangan jumlah bahan baku yang tersedia dengan kapasitas produksi agroindustri rumput laut. Sulaeman (2006) menyatakan bahwa ketersediaan jumlah rumput laut kering sebagai bahan baku produksi sering tidak sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dapat terjadi karena kapasitas terpasang industri pengolahan rumput laut yang ada umumnya lebih besar dari kapasitas suplai bahan baku. DKP (2005) menyebutkan bahwa jaminan pasokan baku merupakan salah satu faktor yang mendorong berkembangnya industri rumput laut.

Submodel keseimbangan bahan baku bertujuan untuk mencari titik keseimbangan antara jumlah pasokan bahan baku rumput laut kering yang tersedia dengan kapasitas produksi agroindustri ATC. Model ini dirancang untuk mengatasi kurang seimbangnya antara jumlah kapasitas produksi ATC dengan jumlah pasokan bahan baku rumput laut. Model keseimbangan bahan baku menggunakan teknik heuristic.

Dengan mengetahui titik keseimbangan bahan baku, maka dapat dicari secara interaktif berapa jumlah kapasitas produksi ATC yang optimal, luas lahan budidaya rumput laut yang diperlukan, serta berapa luas kebun bibit yang perlu disediakan untuk menunjang usaha budidaya rumput laut. Model ini dapat mengatasi permasalahan kurang seimbangnya antara jumlah pasokan bahan baku dengan kapasitas produksi.

Model keseimbangan bahan baku dirancang dapat memprediksi kebutuhan bahan baku dan luas areal budidaya rumput laut secara interaktif dengan memasukkan data tingkat kapasitas produksi ATC yang ditetapkan. Kemampuan model dalam memprediksi keseimbangan antara tingkat produksi, kebutuhan bahan baku dan luas lahan, dapat dimanfaatkan untuk menjaga kontinuitas pasokan bahan baku yang terkendali. Hasil simulasi model keseimbangan bahan baku pada berbagai

(20)

skenario dapat dilihat pada Tabel 28. Simulasi menggunakan variasi kapasitas produksi ATC berkisar antara 1,35 – 2,03 ton/hari.

Asumsi yang digunakan untuk menganalisis keseimbangan bahan baku adalah sebagai berikut:

• Rendemen ATC dari rumput laut kering adalah 30%

• Produktivitas budidaya rumput laut sebesar 1,5 ton/ha/siklus • Jumlah siklus budidaya dalam satu tahun sebanyak 5 siklus

• Rasio luas kebun bibit dengan luas areal tanam budidaya adalah 1:3,5 dimana luas areal tanam budidaya adalah 3,5 kali luas kebun bibit yang digunakan. Tabel 28 merupakan hasil simulasi keluaran model yang memperlihatkan hubungan antara kebutuhan bahan baku, kebutuhan lahan budidaya, dan kebutuhan lahan pembibitan, pada berbagai skenario kapasitas produksi ATC yang telah ditetapkan. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa jika kapasitas produksi agroindustri ATC sebesar 1,575 ton/hari, atau 472,5 ton/tahun, maka jumlah kebutuhan rumput laut kering yang diperlukan adalah 1.575 ton/tahun. Untuk mendapatkan jumlah bahan baku sesuai dengan kapasitas produksi ATC, maka kebutuhan lahan untuk budidaya yang perlu disediakan adalah 210 ha dengan luasan kebun bibit mencapai 60 ha.

Tabel 28 Hasil simulasi keseimbangan bahan baku

Kapasitas produksi ATC (ton/hari) Kapasitas produksi ATC (ton/tahun) Kebutuhan bahan baku (ton/tahun) Kebutuhan lahan budidaya (Ha) Kebutuhan lahan pembibitan (Ha) 1,350 405,0 1.350,0 180,0 51,4 1,425 427,5 1.425,0 190,0 54,3 1,500 450,0 1.500,0 200,0 57,1 1,575 472,5 1.575,0 210,0 60,0 1,650 495,0 1.650,0 220,0 62,9 1,725 517,5 1.725,0 230,0 65,7 1,800 540,0 1.800,0 240,0 68,6 1,875 562,5 1.875,0 250,0 71,4 1,950 585,0 1.950,0 260,0 74,3 2,025 607,5 2.025,0 270,0 77,1

(21)

Salah satu manfaat utama yang diperoleh dari klaster industri adalah meningkatkan efisiensi dan produktivitas (Porter 1998a; Desrochers dan Sautet 2004; Waits 2000). Parameter efisiensi dan produktivitas pada penelitian ini salah satunya didekati menggunakan model keseimbangan bahan baku. Model ini menggambarkan hubungan antara tingkat produksi ATC dengan pemenuhan rumput laut sebagai bahan baku.

Hasil validasi model menunjukkan bahwa keluaran model menghasilkan hubungan yang linier antara tingkat produksi ATC dengan kebutuhan bahan baku. Hubungan ini bermanfaat untuk menetapkan estimasi tingkat kapasitas produksi ATC yang tepat sesuai dengan kapasitas bahan baku yang tersedia. Hal ini akan mendorong peningkatan tingkat utilisasi kapasitas produksi ATC pada kondisi optimal sehingga akan menghasilkan efisiensi penggunaan bahan baku dan meningkatkan produktivitas perusahaan. Hasil ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan jaminan ketersediaan pasokan bahan baku bagi industri sebagaimana dilaporkan oleh DKP (2005). 350 400 450 500 550 600 650 700 1.250 1.350 1.450 1.550 1.650 1.750 1.850 1.950 2.050 2.150 2.250 Kebutuhan Bahan Baku (Ton/Tahun)

P roduks i A T C ( T on/ T a hun)

Gambar 43 Hubungan antara produksi ATC dan kebutuhan bahan baku. Submodel Operasi Sosial

Model operasi sosial dirancang untuk menstrukturisasi elemen-elemen yang berperan dalam sistem pengembangan klaster industri rumput laut. Model ini mencakup identifikasi elemen-elemen penting pembangun sistem pengembangan klaster dan strukturisasi sistem yang digunakan untuk menentukan klasifikasi

(22)

elemen-elemen sistem berdasarkan tingkat driver power – dependence serta struktur hirarki elemen-elemen pengembangan sistem klaster industri rumput laut. Elemen-elemen sistem yang dianalisis mencakup Elemen-elemen kendala pengembangan, Elemen-elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, elemen aktivitas pengembangan, serta elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan.

Struktur elemen kendala pengembangan

Kendala pengembangan merupakan kendala atau permasalahan yang harus diselesaikan dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil survei lapang dan diskusi dengan pakar telah teridentifikasi 15 sub elemen kendala pengembangan klaster industri rumput laut, meliputi:

(E1) Rendahnya keterkaitan dan kerjasama usaha (E2) Keterbatasan SDM yang berkualitas

(E3) Keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran (E4) Keterbatasan infrastruktur usaha

(E5) Keterbatasan teknologi (E6) Keterbatasan sarana produksi

(E7) Rendahnya akses kepada sumber pembiayaan (E8) Kurangnya dukungan pemerintah dan stakeholders (E9) Lemahnya kelembagaan di tingkat pembudidaya (E10) Rendahnya mutu lingkungan perairan budidaya (E11) Belum ada penetapan tata ruang kawasan budidaya (E12) Terbatasnya tenaga pendamping

(E13) Perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan (E14) Asimetris informasi terkait dengan harga dan mutu

(E15) Eksklusivisme antar pelaku klaster

Hasil penilaian hubungan kontekstual antar elemen kendala pengembangan klaster, pembentukan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix (RM) dapat dilihat pada Lampiran 7.2. Strukturisasi terhadap elemen-elemen kendala pengembangan klaster tersebut menghasilkan klasifikasi elemen-elemen serta struktur hirarki.

(23)

Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster didasarkan pada nilai-nilai driver power (DP) dan dependence (D) pada matriks reachability (RM final), yang mencakup 4 (empat) sektor, yaitu sektor independent, linkage, dependent dan autonomous. Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster dapat dilihat pada Gambar 44.

Gambar 44 Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster.

Gambar 44 menunjukkan bahwa keterbatasan SDM yang berkualitas (E2) serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk (E3) termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Elemen-elemen lain yang termasuk dalam sektor independent adalah lemahnya kelembagaan di tingkat pembudidaya (E9) dan terbatasnya tenaga pendamping (E12). Hasil tersebut menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap elemen-elemen pengembangan klaster lainnya.

Elemen rendahnya keterkaitan dan kerjasama usaha (E1), keterbatasan infrastruktur usaha (E4), keterbatasan teknologi (E5), keterbatasan sarana produksi (E6), dan rendahnya mutu lingkungan perairan budidaya (E10) termasuk dalam sektor linkage. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 8 9 10 11 13 14 15

D R I V E R P O W E R 12 DEPENDENCE

7 E2, E3 E9, E12

E1, E4, E5, E6, E10

E7, E8, E11, E13, E14, E15

Independent Linkage

(24)

kekuatan penggerak yang cukup besar, namun saling terkait sehingga dalam mengkaji perlu hati-hati. Perubahan terhadap satu elemen ini akan berdampak terhadap elemen lainnya.

Elemen rendahnya akses kepada sumber pembiayaan (E7), kurangnya dukungan pemerintah dan stakeholders (E8), belum ada penetapan tata ruang kawasan budidaya (E11), perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan (E13), asimetris informasi terkait dengan harga dan mutu (E14), dan eksklusivisme antar pelaku klaster (E15) termasuk dalam peubah tidak bebas (sektor dependent). Elemen-elemen ini merupakan elemen output karena sangat tergantung pada elemen-elemen lainnya. Hasil ini memberi makna bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang relatif kecil dan sangat tergantung dengan peubah-peubah lainnya.

Hasil klasifikasi elemen-elemen kendala pengembangan klaster yang didasarkan pada matriks reachability menunjukkan bahwa keterbatasan SDM yang berkualitas (E2) serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk (E3) merupakan elemen kunci karena mempunyai daya dorong dengan nilai tertinggi serta tidak tergantung pada elemen-elemen kendala lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut merupakan kendala utama yang harus diprioritaskan penanganannya terlebih dahulu untuk mendorong berkembangnya klaster industri rumput laut yang berkelanjutan.

Berdasarkan hasil klasifikasi elemen-elemen kendala pengembangan, struktur hirarki elemen kendala pengembangan klaster terdiri dari 4 (empat) level. Strukturisasi terhadap hirarki elemen kendala pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 45.

Berdasarkan struktur hirarki elemen kendala pengembangan, terlihat bahwa elemen keterbatasan SDM yang berkualitas (E2) serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk (E3) menempati hirarki tertinggi pada level 4. Elemen-elemen pada level tertinggi ini tidak bergantung pada elemen-elemen pada level lainnya. Tertanganinya elemen-elemen kendala pada level 4 akan mendorong

(25)

terselesaikannya elemen-elemen kendala pada level 3, yaitu lemahnya kelembagaan di tingkat pembudidaya (E9) dan terbatasnya tenaga pendamping (E12).

Gambar 45 Struktur hirarki elemen kendala pengembangan klaster.

Keberadaan elemen-elemen kendala pada hirarki level 3 ditentukan oleh elemen-elemen kendala pada level 4. Tertanganinya elemen-elemen kendala pada level 3 akan mendorong terselesaikannya elemen-elemen kendala pada level 2, yaitu elemen rendahnya keterkaitan dan kerjasama usaha (E1), keterbatasan infrastruktur usaha (E4), keterbatasan teknologi (E5), keterbatasan sarana produksi (E6), dan rendahnya mutu lingkungan perairan budidaya (E10).

Elemen-elemen kendala pada level 2 keberadaannya tergantung pada elemen-elemen kendala pada level 3. Tertanganinya elemen-elemen kendala pada level 2 akan mendorong terselesaikannya elemen-elemen kendala pada level 1, yaitu elemen rendahnya akses kepada sumber pembiayaan (E7), kurangnya dukungan pemerintah dan stakeholders (E8), belum ada penetapan tata ruang kawasan budidaya (E11), perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan (E13), asimetris informasi terkait dengan harga dan mutu (E14), dan eksklusivisme antar pelaku klaster (E15). Elemen-elemen kendala pada level terendah ini keberadaannya sangat bergantung pada elemen-elemen kendala pada level lainnya.

Struktur elemen tolok ukur tujuan pengembangan

Tolok ukur tujuan pengembangan merupakan tolok ukur atau ukuran untuk menilai pencapaian tujuan pengembangan klaster industri rumput laut yang

(26)

berkelanjutan. Berdasarkan hasil survei lapang dan diskusi dengan pakar telah teridentifikasi 15 sub elemen tolok ukur tujuan pengembangan klaster industri rumput laut, meliputi:

(E1) Peningkatan luas areal panen budidaya rumput laut (E2) Peningkatan tingkat produktivitas usaha budidaya (E3) Kecukupan bahan baku bagi industri pengolahan (E4) Mutu produk sesuai spesifikasi

(E5) Peningkatan volume produksi untuk memenuhi permintaan (E6) Peningkatan akses dan jaringan pemasaran

(E7) Peningkatan nilai produksi produk olahan (E8) Peningkatan diversifikasi produk olahan (E9) Tingkat keuntungan pembudidaya diatas UMR

(E10) Tingkat keuntungan tenaga kerja industri inti diatas UMR (E11) Peningkatan jumlah tenaga kerja yang terserap

(E12) Peningkatan kontribusi rumput laut terhadap ekonomi wilayah (E13) Peningkatan jaringan dan pengembangan modal sosial

(E14) Peningkatan kapasitas inovasi

(E15) Penurunan potensi pencemaran lingkungan

(E16) Proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E17) Peningkatan kolaborasi/kerjasama antar pelaku dalam klaster

Hasil penilaian hubungan kontekstual antar elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster, pembentukan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix (RM) dapat dilihat pada Lampiran 7.3. Strukturisasi terhadap elemen-elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster tersebut menghasilkan klasifikasi elemen serta struktur hirarki, sebagaimana disajikan pada Gambar 46 dan Gambar 47.

Pada Gambar 46 dapat dilihat bahwa penurunan potensi pencemaran lingkungan (E15) dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E16) termasuk dalam peubah bebas. Elemen-elemen lainnya dalam sektor independent adalah tingkat keuntungan pembudidaya diatas UMR (E9), tingkat keuntungan tenaga kerja industri inti diatas UMR (E10), peningkatan jumlah tenaga

(27)

kerja yang terserap (E11), dan peningkatan kontribusi rumput laut terhadap ekonomi wilayah (E12). Hasil tersebut menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap elemen-elemen pengembangan klaster lainnya.

Gambar 46 Klasifikasi elemen pencapaian tujuan pengembangan klaster. Elemen tolok ukur tujuan peningkatan luas areal panen budidaya rumput laut (E1), peningkatan tingkat produktivitas usaha budidaya (E2), kecukupan bahan baku bagi industri pengolahan (E3), mutu produk sesuai spesifikasi (E4), peningkatan volume produksi untuk memenuhi permintaan (E5), peningkatan akses dan jaringan pemasaran (E6), peningkatan nilai produksi produk olahan (E7), peningkatan diversifikasi produk olahan (E8), peningkatan jaringan dan pengembangan modal sosial (E13), peningkatan kapasitas inovasi (E14), peningkatan kolaborasi/kerjasama antar pelaku dalam klaster (E17) termasuk dalam sektor linkage. Hal ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang

17

DEPENDENCE E15, E16 15 14 13 12 11 10 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 8 9 10 11 13 16 D R I V E R P O W E R 12

7

E9, E10, E11, E12

E1, E2, E3, E4, E5, E6 E7, E8, E13, E14, E17

14 15

9 16 17

Independent Linkage

(28)

cukup besar, namun saling terkait sehingga dalam mengkaji perlu hati-hati. Perubahan terhadap satu elemen ini akan berdampak terhadap elemen lainnya.

Pada Gambar 46 terlihat bahwa tidak ada satu pun elemen-elemen tolok ukur tujuan pengembangan yang termasuk dalam sektor dalam sektor dependent. Hasil ini memberi makna bahwa seluruh elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan mempunyai penggerak yang cukup tinggi, meskipun beberapa diantaranya mempunyai ketergantungan dengan elemen-elemen lainnya.

Hasil klasifikasi elemen-elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster yang didasarkan pada matriks reachability menunjukkan bahwa penurunan potensi pencemaran lingkungan (E15) dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E16) merupakan elemen kunci karena mempunyai daya dorong dengan nilai tertinggi serta tidak tergantung pada elemen-elemen tujuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut merupakan tujuan utama yang harus dicapai terlebih dulu untuk mendorong berkembangnya klaster industri rumput laut.

Berdasarkan hasil klasifikasi elemen-elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, struktur hirarki elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster terdiri dari 3 (tiga) level. Strukturisasi terhadap hirarki elemen tujuan pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 47.

Gambar 47 Struktur hirarki elemen pencapaian tujuan pengembangan.

Berdasarkan struktur hirarki tersebut, terlihat bahwa penurunan potensi pencemaran lingkungan (E15) dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E16) menempati hirarki tertinggi pada level 3. Elemen-elemen pada

(29)

level ini tidak bergantung pada elemen-elemen pada level lainnya. Tercapainya tujuan-tujuan pada level ini akan mendorong terwujudnya tujuan-tujuan pada level 2, yaitu tingkat keuntungan pembudidaya diatas UMR (E9), tingkat keuntungan tenaga kerja industri inti diatas UMR (E10), peningkatan jumlah tenaga kerja yang terserap (E11), dan peningkatan kontribusi rumput laut terhadap ekonomi wilayah (E12).

Dengan tercapainya tujuan-tujuan pada level 2, akan mempengaruhi pula terhadap pencapaian tujuan pada level 1, yaitu tujuan peningkatan luas areal panen budidaya rumput laut (E1), peningkatan tingkat produktivitas usaha budidaya (E2), kecukupan bahan baku bagi industri pengolahan (E3), mutu produk sesuai spesifikasi (E4), peningkatan volume produksi untuk memenuhi permintaan (E5), peningkatan akses dan jaringan pemasaran (E6), peningkatan nilai produksi produk olahan (E7), peningkatan diversifikasi produk olahan (E8), peningkatan jaringan dan pengembangan modal sosial (E13), peningkatan kapasitas inovasi (E14), serta peningkatan kolaborasi/kerjasama antar pelaku dalam klaster (E17).

Struktur elemen aktivitas pengembangan

Aktivitas pengembangan merupakan aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil survei lapang dan diskusi dengan pakar telah teridentifikasi 15 sub elemen aktivitas pengembangan klaster rumput laut, meliputi: (E1) Memberikan bimbingan dan pendampingan

(E2) Melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja

(E3) Meningkatkan kerjasama dan kemitraan usaha antar pelaku klaster (E4) Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait secara lintas sektor (E5) Meningkatkan skala ekonomi usaha yang efisien

(E6) Memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran

(E7) Mengembangkan sistem manajemen mutu serta sistem sertifikasi keamanan produk

(E8) Mendorong industri rumput laut menerapkan manajemen lingkungan

(E9) Mendorong upaya pelestarian fungsi lingkungan melalui pembangunan instalasi pengolahan limbah

(30)

(E10) Mengembangkan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan (E11) Mengembangkan infrastruktur ekonomi

(E12) Meningkatkan akses kepada sumber pembiayaan dan permodalan

Hasil penilaian hubungan kontekstual antar elemen aktivitas pengembangan klaster, pembentukan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix (RM) dapat dilihat pada Lampiran 7.4. Strukturisasi terhadap elemen-elemen aktivitas pengembangan klaster tersebut menghasilkan klasifikasi elemen-elemen serta struktur hirarki, sebagaimana disajikan pada Gambar 48 dan Gambar 49.

Gambar 48 Klasifikasi elemen aktivitas pengembangan klaster.

Pada Gambar 48 dapat dilihat bahwa memberikan bimbingan dan pendampingan (E1) dan memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran (E6) termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Elemen-elemen lain yang termasuk dalam sektor independent adalah mengembangkan infrastruktur ekonomi (E11). Hasil tersebut menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap elemen-elemen pengembangan klaster lainnya.

Elemen aktivitas melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (E2), meningkatkan skala ekonomi usaha yang efisien (E5), mengembangkan teknologi

12 DEPENDENCE 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 8 9 10 11

•  

• 

• 

7 E1, E6 E11

E2, E5, E10, E12

E3, E4, E7, E8, E9 D R I V E R P O W E R Independent Linkage Autonomous Dependent

(31)

yang efisien dan ramah lingkungan (E10), dan meningkatkan akses kepada sumber pembiayaan dan permodalan (E12) termasuk dalam sektor linkage. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang cukup besar, namun saling terkait sehingga dalam mengkaji perlu hati-hati. Perubahan terhadap satu elemen ini akan berdampak terhadap elemen lainnya.

Sementara, elemen aktivitas meningkatkan kerjasama dan kemitraan usaha antar pelaku klaster (E3), meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait secara lintas sektor (E4), mengembangkan sistem manajemen mutu serta sistem sertifikasi keamanan produk (E7), mendorong industri rumput laut menerapkan manajemen lingkungan (E8), dan mendorong upaya pelestarian fungsi lingkungan melalui pembangunan instalasi pengolahan limbah (E9) termasuk dalam peubah tidak bebas (sektor dependent). Elemen-elemen ini merupakan elemen output karena sangat tergantung pada elemen lainnya. Hasil ini memberi makna bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang relatif kecil dan sangat tergantung dengan peubah-peubah lainnya.

Hasil klasifikasi elemen-elemen aktivitas pengembangan klaster yang didasarkan pada matriks reachability menunjukkan bahwa memberikan bimbingan dan pendampingan (E1) dan memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran (E6) merupakan elemen kunci karena mempunyai daya dorong dengan nilai tertinggi serta tidak tergantung pada elemen-elemen tujuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut merupakan aktivitas utama yang dibutuhkan untuk perencanaan tindakan dalam pengembangan klaster.

Berdasarkan hasil klasifikasi elemen-elemen aktivitas pengembangan, struktur hirarki elemen aktivitas pengembangan klaster terdiri dari 4 (empat) level. Strukturisasi terhadap hirarki elemen aktivitas pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 49.

Pada struktur hirarki tersebut dapat dilihat bahwa memberikan bimbingan dan pendampingan (E1) serta memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran (E6) menempati hirarki tertinggi, yaitu level 4. Setelah aktivitas-aktivitas pada level 4 dilaksanakan, untuk mendorong keberhasilan program maka selanjutnya perlu

(32)

dilakukan pengembangan infrastruktur ekonomi (E11) yang merupakan elemen pada hirarki level 3. Dilakukannya aktivitas-aktivitas pada hirarki level ke 4 dan level 3, perlu diikuti dengan aktivitas-aktivitas pada hirarki level 2, yaitu melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (E2), meningkatkan skala ekonomi usaha yang efisien (E5), mengembangkan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan (E10), dan meningkatkan akses kepada sumber pembiayaan dan permodalan (E12). Aktivitas terakhir yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kerjasama dan kemitraan usaha antar pelaku klaster (E3), meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait secara lintas sektor (E4), mengembangkan sistem manajemen mutu serta sistem sertifikasi keamanan produk (E7), mendorong industri rumput laut menerapkan manajemen lingkungan (E8), serta mendorong upaya pelestarian fungsi lingkungan melalui pembangunan instalasi pengolahan limbah (E9).

Gambar 49 Struktur hirarki elemen aktivitas pengembangan klaster. Struktur elemen pelaku pengembangan

Pelaku pengembangan adalah pelaku atau lembaga yang terlibat dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Ada 15 sub elemen aktivitas pengembangan klaster industri rumput laut yang teridentifikasi, meliputi: (E1) Industri inti (agroindustri/penghela)

(E2) Pembeli produk inti (buyer) (E3) Kelompok usaha pembudidaya (E4) Pedagang perantara (middleman)

(33)

(E5) Industri penyedia sarana dan prasarana produksi (E6) Industri jasa distribusi dan transportasi

(E7) Lembaga pembiayaan

(E8) Lembaga pengembangan bisnis (BDS) (E9) Perguruan Tinggi

(E10) Koperasi

(E11) Masyarakat lokal

(E12) Lembaga pengelola dampak lingkungan (Bapedal) (E13) Pemerintah Daerah

(E14) Pemerintah Pusat (KKP) (E15) Lembaga Standarisasi Mutu

Hasil penilaian hubungan kontekstual antar elemen pelaku pengembangan klaster, pembentukan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix (RM) dapat dilihat pada Lampiran 7.1. Strukturisasi terhadap elemen-elemen pelaku pengembangan klaster tersebut menghasilkan klasifikasi elemen-elemen serta struktur hirarki, sebagaimana disajikan pada Gambar 50 dan Gambar 51.

Gambar 50 Klasifikasi elemen pelaku pengembangan klaster.

15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 8 9 10 11 13 14 15

• 

D R I V E R P O W E R 12 DEPENDENCE

7

E1, E2, E3, E11

E4, E5, E6, E10, E13

E7, E8, E9, E12, E14, E15

Independent Linkage

(34)

Pada Gambar 50 dapat dilihat bahwa industri inti (E1), pembeli (E2), kelompok usaha pembudidaya (E3), dan masyarakat lokal (E11) termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pengembangan klaster industri rumput laut.

Elemen pelaku pedagang perantara (E4), industri penyedia sarana dan prasarana produksi (E5), industri jasa distribusi dan transportasi (E6), koperasi (E10), dan pemerintah daerah (E13) termasuk dalam sektor linkage. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang cukup besar, namun saling terkait sehingga dalam mengkaji perlu hati-hati. Perubahan terhadap satu elemen ini akan berdampak terhadap elemen lainnya. Sementara, lembaga pembiayaan (E7), lembaga pengembangan bisnis (E8), perguruan tinggi (E9), lembaga pengelola dampak lingkungan (E12), pemerintah pusat (E14), serta lembaga standarisasi mutu (E15) termasuk dalam peubah tidak bebas (sektor dependent). Hasil ini memberi makna bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang relatif kecil dan sangat tergantung dengan peubah-peubah lainnya.

Hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen pelaku pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 51. Berdasarkan struktur hirarki elemen pelaku tersebut, terlihat bahwa industri inti (E1), pembeli (E2), kelompok usaha pembudidaya (E3), dan masyarakat lokal (E11) menempati hirarki tertinggi, yaitu level 3. Elemen-elemen pelaku ini merupakan pelaku-pelaku inti karena mempunyai pengaruh yang sangat besar dan menentukan terhadap keberhasilan dalam program pengembangan klaster industri rumput laut.

(35)

Elemen pelaku pedagang perantara (E4), industri penyedia sarana dan prasarana produksi (E5), industri jasa distribusi dan transportasi (E6), koperasi (E10), dan pemerintah daerah (E13) menempati hirarki pada level 2. Keberadaan elemen-elemen pada level ini sangat ditentukan oleh elemen-elemen-elemen-elemen yang ada pada level 1. Elemen-elemen pada level ini merupakan pelaku pendukung dan terkait bagi pelaku-pelaku ini didalam klaster.

Elemen pelaku lembaga pembiayaan (E7), lembaga pengembangan bisnis (E8), perguruan tinggi (E9), lembaga pengelola dampak lingkungan (E12), pemerintah pusat (E14), serta lembaga standarisasi mutu (E15) menempati hirarki pada level 1, yaitu hirarki terendah dalam elemen pelaku pengembangan. Keberadaan elemen pada hirarki terendah ini dipengaruhi oleh elemen-elemen pelaku lainnya didalam klaster. Elemen-elemen-elemen pelaku ini merupakan elemen pelaku yang berperan sebagai insitusi-intitusi pendukung dalam pengembangan klaster. Elemen-elemen ini berperan dalam memberikan bantuan dan bimbingan dalam pengembangan klaster agar bisa berkembang secara optimal.

Submodel Operasi Lingkungan

Submodel operasi lingkungan bermaksud untuk mengembangkan suatu alternatif upaya dalam rangka mengurangi potensi pencemaran lingkungan pada pengembangan klaster industri rumput laut, khususnya pada agroindustri ATC. Model ini dirancang untuk mengatasi permasalahan limbah yang sangat besar yang dihasilkan oleh agroindustri ATC. Metode yang digunakan untuk mencari alternatif penanganan limbah ATC adalah metode analytical hierarchy process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty (1988).

Implementasi model dilakukan dengan memberikan input data penilaian pakar kedalam modul submodel operasi lingkungan, baik berupa data kriteria dan data alternatif. Hasil verifikasi model untuk pemilihan prioritas penanganan limbah cair industri ATC disajikan pada Tabel 29. Struktur hirarki penanganan limbah cair agroindustri dapat dilihat pada Gambar 52.

(36)

Tabel 29 Prioritas penanganan limbah cair ATC

Alternatif

Kriteria

Sintesis Prioritas Teknologi Ekonomi Lingkungan

0,240 0,328 0,433

Peningkatan nilai tambah limbah 0,345 0,552 0,385 0,430 II

Pemanfaatan kembali air limbah 0,564 0,310 0,520 0,462 I

Optimasi peningkatan kinerja IPAL 0,091 0,138 0,095 0,108 III

Gambar 52 Struktur hirarki penanganan limbah.

Upaya memanfaatkan kembali air limbah yang digunakan untuk proses pencucian merupakan prioritas utama dalam penanganan limbah agroindustri ATC didalam klaster. Alternatif ini dipilih dengan pertimbangan kemudahan teknologi yang digunakan serta mempunyai resiko pencemaran lingkungan yang minimal.

Alternatif kedua yang dapat dipertimbangkan untuk dipilih adalah upaya peningkatan nilai tambah limbah dalam menangani permasalahan limbah dalam industri ATC. Faktor utama yang menyebabkan alternatif peningkatan nilai tambah limbah terpilih adalah penggunaan biaya dan investasi yang lebih efisien jika dibandingkan dengan alternatif-alternatif lainnya.

Alternatif ketiga, yaitu optimasi peningkatan kinerja IPAL, ternyata belum menjadi prioritas untuk dipilih terkait dengan biaya investasi, operasional maupun perawatannya yang lebih mahal. Pemilihan proses dan sistem yang tidak tepat atau disain IPAL yang salah akan menimbulkan berbagai persoalan, misalnya sistem tidak bisa bekerja secara optimal, hasil olahan tidak sesuai dengan yang diharapkan, serta sulit dalam pengendalian dan operasionalnya.

(37)

Model Prediksi Kinerja Pengembangan Klaster

Submodel Prediksi Kinerja Ekonomi

Submodel prediksi kinerja ekonomi bertujuan untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan klaster industri rumput laut ditinjau dari perspektif ekonomi. Pada submodel ini akan diperlihatkan prediksi keuntungan pelaku usaha didalam klaster dengan asumsi meningkatnya kualitas produk sebagai implikasi dari upaya kerjasama antar pelaku usaha yang mempunyai visi bersama dalam pengembangan klaster industri rumput laut.

Keuntungan pembudidaya

Keuntungan pembudidaya adalah keuntungan yang diterima pembudidaya dari usaha budidaya rumput laut. Data masukan yang digunakan untuk menganalisis keuntungan pembudidaya didalam model adalah harga jual rumput laut di tingkat pembudidaya, volume produksi rumput laut yang dihasilkan serta biaya produksi.

Keuntungan pembudidaya dipengaruhi pula oleh jumlah rakit yang diusahakan sebagai fungsi produksi dengan asumsi bahwa semakin banyak jumlah rakit yang diusahakan maka jumlah keuntungan yang diperoleh akan semakin bertambah, demikian pula sebaliknya. Disamping jumlah rakit sebagai fungsi produksi rumput laut, aspek musim dan spasial juga berperan dalam menentukan jumlah produksi rumput laut. Pada studi kasus di Kabupaten Sumenep, budidaya rumput laut diasumsikan dapat dilakukan sebanyak 5 kali dalam setahun dengan pertimbangan bahwa di wilayah ini pada bulan-bulan tertentu rumput laut mengalami penurunan produksi.

Hasil simulasi model keuntungan pembudidaya menggunakan skenario variasi harga jual rumput laut di tingkat pembudidaya dan jumlah rakit budidaya dapat dilihat pada Tabel 30. Asumsi-asumsi yang digunakan untuk mendapatkan nilai keuntungan pembudidaya serta hasil-hasil perhitungan secara manual dapat dilihat pada Lampiran 9.

Tabel 30 menunjukkan bahwa semakin tinggi harga jual rumput laut di tingkat pembudidaya, maka keuntungan yang diterima pembudidaya akan semakin

(38)

besar, demikian pula sebaliknya. Jumlah rakit juga menentukan tingkat penerimaan pembudidaya. Semakin banyak jumlah rakit yang diusahakan, maka keuntungan yang diterima oleh pembudidaya akan semakin meningkat pula karena semakin efisien.

Tabel 30 Skenario keuntungan pembudidaya

Gel strength (gr/cm2)

Harga jual (Rp/kg)

Keuntungan (Rp/Bulan/Jumlah Rakit)

1 5 10 15 20 500 5.032 -49.156 -245.782 -491.563 -737.345 -983.127 550 5.725 -4.809 -24.043 -48.086 -72.128 -96.171 600 6.418 36.757 183.786 367.571 551.357 735.142 650 7.110 75.970 379.852 759.704 1.139.557 1.519.409 700 7.803 115.240 576.202 1.152.404 1.728.607 2.304.809 725 8.149 134.847 674.236 1.348.471 2.022.707 2.696.942 750 8.495 154.454 772.269 1.544.538 2.316.807 3.089.075 775 8.841 174.060 870.302 1.740.604 2.610.907 3.481.209 800 9.188 193.724 968.619 1.937.238 2.905.857 3.874.475 825 9.534 213.330 1.066.652 2.133.304 3.199.957 4.266.609 850 9.880 232.937 1.164.686 2.329.371 3.494.057 4.658.742 875 10.227 252.600 1.263.002 2.526.004 3.789.007 5.052.009 900 10.573 272.207 1.361.036 2.722.071 4.083.107 5.444.142 925 10.919 291.814 1.459.069 2.918.138 4.377.207 5.836.275 950 11.265 311.420 1.557.102 3.114.204 4.671.307 6.228.409 975 11.612 331.084 1.655.419 3.310.838 4.966.257 6.621.675 1.000 11.958 350.690 1.753.452 3.506.904 5.260.357 7.013.809

Pada tabel dapat dilihat bahwa parameter gel strength (GS) sebagai parameter kualitas rumput laut berpengaruh terhadap keuntungan pembudidaya. Semakin tinggi GS rumput laut pembudidaya, maka keuntungan pembudidaya juga semakin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa keuntungan pembudidaya ditentukan pula oleh kualitas rumput laut yang dihasilkan.

Model keuntungan pembudidaya memasukkan unsur upah minimum kabupatan (UMK) sebagai pembanding sampai sejauh mana usaha budidaya rumput laut dianggap menguntungkan. Dengan asumsi harga rumput laut di tingkat pembudidaya sebesar Rp. 8.841/kg dan UMK Sumenep tahun 2011 per bulan sebesar Rp. 785.000, maka tingkat keuntungan pembudidaya pada berbagai jumlah rakit disajikan pada Tabel 31.

(39)

Tabel 31 Tingkat keuntungan pembudidaya Jumlah Rakit (Unit) Keuntungan (Rp/Bulan) UMK 2011 (Rp/Bulan) Rasio 1 176.060 785.000 0,22 3 522.181 785.000 0,67 5 870.302 785.000 1,11 10 1.740.604 785.000 2,22 15 2.610.907 785.000 3,33 20 3.481.209 785.000 4,43

Tabel 31 menunjukkan tingkat keuntungan pembudidaya yang diukur berdasarkan nilai rasio antara keuntungan pembudidaya dengan UMK yang berlaku. Berdasarkan nilai rasio tersebut, maka usaha budidaya rumput laut dianggap menguntungkan dengan pengusahaan rakit minimal 5 unit.

Usaha rumput laut yang dilakukan oleh pembudidaya merupakan usaha yang menguntungkan sehingga layak dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut sebagaimana disajikan pada Tabel 32. Asumsi-asumsi yang digunakan dan perhitungan hasil analisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Data yang digunakan untuk implementasi model didasarkan pada hasil observasi dan diskusi dengan kelompok pembudidaya rumput laut di Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep.

Tabel 32 Analisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut

No. Parameter Satuan Hasil

1 Net Present Value Rp. 175.737.908

2 Internal Rate of Return % 354,77

3 Payback Periode Tahun 0,33

4 Benefit-Cost Ratio 1,43

5 Resiko Rendah

Keputusan Layak

Dalam konteks analisis kelayakan usaha budidaya rumput laut, parameter-parameter yang dianggap berpengaruh terhadap keputusan investasi dalam usaha budidaya rumput laut didalam model meliputi produktivitas budidaya, harga jual rumput laut, dan harga bibit rumput laut. Parameter-parameter tersebut diuji

(40)

sensitivitasnya untuk menentukan sampai batas berapa perubahan terhadap parameter tersebut masih dapat diterima dalam investasi usaha budidaya rumput laut.

Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa paramater produktivitas budidaya dan harga jual rumput laut lebih sensitif dibandingkan dengan parameter harga bibit rumput laut. Meskipun produktivitas budidaya turun hingga 20% dan harga jual rumput laut turun 20%, sementara harga bibit tetap, maka usaha budidaya masih dianggap layak dijalankan. Hasil simulasi uji sensitivitas selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.6. sampai Lampiran 9.12.

Keuntungan yang diterima pembudidaya berpeluang untuk ditingkatkan didalam klaster diantaranya melalui upaya perbaikan kualitas rumput laut yang dihasilkan pembudidaya. BI (2008) melaporkan bahwa paramater GS pada rumput laut Sumenep masih dibawah standar kualitas yang dikehendaki pabrikan. Pengolahan rumput laut dengan bahan baku seperti ini akan menghasilkan ATC dengan kualitas rendah sehingga harganya tidak kompetitif.

Kondisi ini disebabkan teknis budidaya rumput laut masih belum dilakukan secara benar, serta kebiasaan dalam penanganan pasca panen yang kurang tepat. Harga rumput laut yang berkualitas baik dan berkualitas rendah harganya tidak terlalu jauh berbeda. Proses penggaraman masih banyak dijumpai. Hal ini juga merupakan perilaku dari para pengumpul karena menghendaki produk rumput laut yang kering bergaram (berkualitas rendah), sehingga menyebabkan pembudidaya kurang perduli terhadap kualitas terhadap rumput laut kering yang dihasilkan (Zulham et al. 2007; BI 2008).

Kebiasaan pembudidaya tentang teknik budidaya dan cara penanganan pasca panen yang kurang benar masih dapat diperbaiki didalam klaster melalui pembinaan dan pendampingan secara intensif. Kualitas rumput laut yang semakin baik akan mendorong peningkatan pada harga jual rumput laut di tingkat pabrikan pengolah rumput laut. Kualitas rumput laut selain ditentukan oleh kualitas perairan, juga dipengaruhi oleh mutu bibit, perawatan, penanganan panen, umur rumput laut saat dipanen, penanganan pasca panen (penjemuran dan penyimpanan di gudang).

Gambar

Tabel 18  Penilaian prasyarat ekonomi
Tabel 19  Potensi sumberdaya manusia di Kabupaten Sumenep
Tabel 20  Penilaian prasyarat sosial
Tabel 23  Skenario harga rumput laut di tingkat agroindustri  Gel strength
+7

Referensi

Dokumen terkait

Contoh sikap yang tidak sesuai dengan konsep berserikat dan mengeluarkan pendapat dalam demokrasi Pancasila adalah .... penuh semangat sehingga disenangi

Karena minimnya aplikasi perjalanan wisata di Indonesia, khususnya Surabaya, maka dalam Jurnal ini dibuat aplikasi perjalanan wisata berbasis web yang diharapkan bisa

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa keterlaksanaan pembelajaran renang di Madrasah Tsanawiyah (MTs) se- Kecamatan

• Dalam keadaan tertentu, seperti kondisi stress metabolik, aktivitas fisik yang berat, dan proses penuaan, tubuh mungkin memerlukan asam-amino dalam jumlah yang lebih banyak

Apabila lingkungan kerja memungkinkan, maka para karyawan akan menjadikan tempat kerja sebagai suatu lingkungan yang menyenangkan dalam melaksanakan aktivitas

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir

Jenis gula (sukrosa, glukosa, fruktosa) mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap pembentukan etanol dan asam laktat, namun konsentrasi gula secara individual hanya

Semua mahasiswa yang telah dinyatakan diterima oleh Mitra IDUKA mengikuti sesi pembekalan dari Ditjen DIKTI secara online agar mahasiswa memahami etika dan lebih siap