• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KESEIMBANGAN GENDER UMAMETAN LAWALU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV KESEIMBANGAN GENDER UMAMETAN LAWALU"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

74

BAB IV

KESEIMBANGAN GENDER UMAMETAN LAWALU

4.1 Pengantar

Pada bab ini penulis akan menganalisa hubungan antara simbol laki-laki dan perempuan di rumah adat dengan tindakan yang berlaku dalam masyarakat. Penulis akan menggunakan teori-teori yang telah dipaparkan dalam bab II untuk menganalisa apa yang didapatkan dari hasil penelitian lapangan. Untuk itu, maka pada bab ini, penulis membaginya dalam beberapa bagian yaitu makna simbol laki-laki dan perempuan yang digunakan dalam rumah adat, kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat suku Umametan Lawalu dan keseimbangan gender dalam masyarakat suku Umametan Lawalu.

Pembahasan ini dinilai penting, karena melalui pembahasan ini, akan membentuk pola pikir kita sesuai dengan apa yang ada dalam masyarakat suku Umametan Lawalu. Dengan pembahasan ini, kita akan lebih menganalisa simbol yang mereka gunakan dan perlakuan yang diberikan bagi anggota suku yang ada. Melalui analisa inilah kita dapat menarik sebuah kesimpulan dengan tidak berdasarkan pada apa yang kita ketahui dari luar saja, melainkan berdasarkan pada fakta yang ada dalam suku Umametan Lawalu itu sendiri.

4.2 Memahami Simbol Laki-laki dan Perempuan

4.2.1 Simbol Laki-laki dan Perempuan Sebagai Rangkaian Pengulangan Sejarah Simbol seperti yang dimaksudkan oleh Turner adalah unit terkecil dari ritual yang masih mempertahankan sifat spesifik dari perilaku ritual dan merupakan unit terakhir dari struktur spesifik dalam konteks ritual. Simbol tidak dapat dipahami tanpa

(2)

75

mempelajari waktu dan peristiwa lainnya, karena simbol pada dasarnya terlibat dalam

proses sosial.1 Hal ini menunjukan bahwa simbol tidak dapat berdiri sendiri. Pemahaman

akan sebuah simbol akan merujuk pada sejarah atau mitos yang telah dipelihara yang menjadi latar belakang dari penggunaan simbol tersebut dan setiap makna yang menjadikan simbol tersebut tetap dihidupi.

Dalam konteks masyarakat suku Umametan Lawalu, simbol laki-laki dan perempuan yang digunakan dalam pembangunan rumah adat merupakan sebuah simbol yang telah ada sejak zaman dahulu, dipelihara dan diteruskan pengajarannya hingga saat ini. Dalam bab III halaman 61, dikatakan bahwa simbol tiang agung sebagai syarat utama pembangunan karena kedua tiang tersebut melambangkan leluhur laki-laki dan perempuan yang diyakini bahwa dari kedua orang itu maka hadirlah mereka anggota suku dan anak cucu dalam dunia ini. Hal ini dapat dipahami bahwa bagi mereka konsep rumah adat itu sendiri merupakan konsep keluarga kecil sehingga sebuah keluarga tidak dapat terbentuk hanya dari pihak laki-laki saja atau pihak perempuan saja. Dengan anggapan ini maka penggunaan simbol laki-laki dan perempuan dalam rumah adat ini sebagai sebuah bentuk nyata dari pemahaman mereka akan sebuah keluarga dimana laki-laki dan perempuan mempunyai andil yang sama. Anggapan ini bukan muncul dalam waktu yang sekejap, namun hal ini sudah dipelihara secara turun-temurun. Dia telah berakar dalam pemahaman mereka dan pada akhirnya hal inilah yang membentuk pola pikir mereka dan perilaku mereka.

Sebagai sesuatu yang berkembang dengan pengaruh sejarah, maka kehadiran simbol pun tidak dapat dilepaskan dari mitos dan ritual yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Menurut Eliade, mitos merupakan sejarah masyarakat dan sejarah kosmos yang suci dan terus dipelihara. Menurut Eliade, mitos menceritakan sejarah suci

1

Victor Turner, The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual, (Ithaca dan London: Cornel University Press, 1967), 19-20.

(3)

76

yang terjadi pada waktu primordial dan dari permulaan, tidak hanya berhubungan dengan asal usul manusia, dunia, hewan dan tumbuhan, tetapi juga semua persitiwa yang

menjadi penyebab tindakan manusia saat ini.2 Mitos adalah simbol yang digunakan

dalam bentuk narasi dan menceritakan kisah para dewa, para leluhur atau pahlawan dan

dunia mereka yang supranatural.3 Dengan pemahaman ini, maka dapat dikatakan bahwa

simbol tidak dapat berdiri tanpa bayang-bayang mitos di dalamnya. Mitos ini menjadi salah satu yang terus dipelihara dan diwujudkan dalam simbol serta diaktualisasikan dalam tindakan masyarakat.

Jika kita melihat hal ini dalam konteks masyarakat Umametan Lawalu, simbol laki-laki dan perempuan yang digunakan dalam rumah adat, berangkat dari sejarah munculnya rumah adat itu sendiri. Dalam bab III halaman 56 dan 61 sudah dikatakan bahwa rumah adat dianggap sebagai tempat berlindung dan tempat untuk memperoleh semua kekuatan. Tanpa adanya rumah adat, seseorang akan kehilangan jati diri atau ciri khas mereka. Ketika rumah adat tersebut dianggap sebagai sebuah identitas masyarakat, tempat berlindung dan tempat memperoleh kekuatan, maka dalam pembangunan tersebut dibutuhkan sebuah kekuatan utama (dalam bahasa adat mereka dikenal dengan istilah rinhu) yang menjadi sentral bagi rumah adat tersebut. Dari pemahaman inilah maka mereka menjadikan tiang agung sebagai pusat pembangunan rumah adat. Tiang agung dijadikan sebagai pusat, karena bagi mereka tiang agung inilah yang melambangkan leluhur laki-laki dan perempuan. Mereka meyakini bahwa dari leluhur laki-laki (bei mane) dan perempuan (bei feto) inilah maka muncul anak cucu suku Umametan Lawalu hingga saat ini. Pusat kehidupan suku Umametan Lawalu berasal dari bei mane dan bei feto. Bei mane dan bei feto inilah yang menjadi landasan bagi terbentuknya sebuah keluarga menurut suku Umametan Lawalu. Mereka tidak hanya sebatas landasan

2

Mircea Eliade, Myth and Reality, (New York: Harper and Row, 1963), 5 & 11.

3

(4)

77

melainkan juga menjadi panutan bagi anggota suku Umametan Lawalu. Sejarah inilah yang pada akhirnya dihadirkan dalam simbol laki-laki dan perempuan dalam rumah adat suku Umametan Lawalu. Secara tidak langsung hal ini ingin melambangkan bagaimana posisi laki-laki dan perempuan dalam suku memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada yang lebih penting dibandingkan dengan yang lain, atau yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Hal inilah yang diaktualkan oleh masyarakat suku Umametan Lawalu. Walaupun dalam proses mengaktualkannya ada pandangan-pandangan yang muncul dengan anggapan berbeda terhadap pemaknaan ini. Namun perlu disadari bahwa anggapan yang berbeda ini tidak muncul dari konteks masyarakat dimana simbol ini tumbuh, melainkan hal ini muncul dari pemikiran orang-orang di luar masyarakat tersebut.

Ditengah-tengah anggapan yang terkadang menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh masyarakat suku Umametan Lawalu, namun simbol yang digunakan ini tetap dipelihara dalam kehidupan mereka. Mereka tetap melaksanakan apa yang dipahami dan apa yang dipelihara secara turun temurun. Pemahaman dan perlakuan ini bukan muncul secara tiba-tiba melainkan telah diwariskan sejak zaman dahulu. Jika dilihat, menurut penulis, hal ini sejalan dengan apa yang Eliade katakan dalam teorinya. Dalam pandangan Eliade, dia menyebutkan bahwa kehidupan manusia kuno, cendrung

untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah dilakukan sebelumnya.4 Jika hal ini

diterapkan dalam kehidupan masyarakat Umametan Lawalu saat ini, menghasilkan suatu pemahaman yang sejalan. Masyarakat suku Umametan Lawalu, memegang apa yang telah diwariskan bagi mereka sejak dahulu. Simbol laki-laki dan perempuan dalam rumah adat terus digunakan karena hal inilah yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Pemahaman dan tindakan bahkan arsitektur yang ada pun sudah dipelihara sejak dahulu.

4

Mircea Eliade, Mitos Gerak kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah, ed. Supriyanto Abdullah, trans. Cuk Ananta (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), 5.

(5)

78

Walaupun konteks kehidupan masyarakat suku Umametan Lawalu saat ini bukanlah kehidupan yang masih tergolong dalam masyarakat primitif, namun apa yang mereka pelihara masih berpedomana pada pemahaman-pemahaman masyarakat primitif. Dalam bab III halaman 51 dapat dilihat walaupun banyak anggota suku Umametan Lawalu yang tidak menempati kampung adat, namun ketika diadakan ritual mereka diwajibkan untuk ikut serta. Hal ini menunjukan bahwa ritual, adat, dan tradisi yang ada tetap dipelihara oleh masyarakat suku Umametan Lawalu. Mereka tetap melaksanakan apa yang diatur dalam adat dan tradisi yang telah terpelihara. Sehingga jika berbicara tentang adat, anggota suku Umametan Lawalu akan melaksanakannya dengan baik. Hal ini terlihat pada saat ritual adat untuk pembangunan kembali rumah adat misalnya, atau pun ritual-ritual yang lainnya. Ketika akan dilaksanakan acara adat dalam suku Umametan Lawalu, maka kehadiran anggota suku dinilai wajib untuk dipenuhi. Kehadiran dari setiap anggota akan disertai dengan berbagai tuntutan atau tanggung jawab yang diberikan bagi mereka.

Hal ini menunjukan bahwa dalam kehidupan masyarakat suku Umametan Lawalu, adat dinilai sangat penting bagi setiap anggota suku. Bahkan denda-denda adat pun

masih berlaku bagi mereka yang melanggar adat yang telah ditetapkan.5 Hal ini sekali

lagi menunjukan bahwa setiap apa yang mereka lakukan sebagai sebuah bentuk pengulangan dari apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang atau leluhur mereka. Dan hal ini tentunya tidak terlepas dari sejarah-sejarah dan mitos yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Eliade dalam teorinya mengatakan bahwa mitos merupakan

simbol yang dimasukan dalam bentuk narasi.6 Simbol yang digunakan oleh suku

Umametan Lawalu merupakan wujud dari apa yang telah ada dalam mitos para leluhur. Dengan cerita yang sudah ada dari zaman para leluhur maka hal itu yang tetap dipelihara

5

Lihat Bab III Halaman 72. Salah satu contoh denda adat yang diberikan apabila perempuan dijadikan sebagi tulang punggung keluarga.

6

(6)

79

oleh anggota suku Umametan Lawalu dan dijadikan pedoman dalam bertindak. Sehingga pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa simbol laki-laki dan perempuan yang dijumpai dalam rumah adat masyarakat suku Umametan Lawalu, merupakan sebuah pengulangan dari apa yang sudah ada sejak zaman dahulu. Masyarakat masih menggunakan simbol ini, karena bagi mereka, simbol ini merupakan pembuka bagi kehadiran anak cucu suku Umametan Lawalu yang telah diterapkan oleh nenek moyang mereka. Simbol ini juga pada akhirnya menunjukan keseimbangan keberadaan laki-laki dan perempuan. Hal ini dianggap sebagai sebuah bentuk penghormatan yang harus terus dijunjung oleh anggota suku Umametan Lawalu.

Sejak awal mereka mengenal simbol ini dan menggunakannya sebagai sebuah bentuk kesetaraan yang ingin dicapai oleh anggota suku Umametan Lawalu, hingga kini, pemahaman tersebut masih terus dipelihara dan diteruskan bagi anak cucu mereka. Bagi mereka, simbol ini tidak sebatas sebuah simbol, tetapi hal ini juga nampak dalam tindakan mereka sehari-hari dan dalam ritual adat yang mereka jalankan. Simbol ini tidak terlepas dari sejarah yang ada pada suku Umametan Lawalu dan akan selalu diulangi dalam kehidupan masyarakat secara turun temurun.

4.2.2 Simbol Laki-laki dan Perempuan Terwujud dalam Realitas

Pada penjelasan-penjelasan sebelumnya yang telah dijabarkan di bab II tentang simbol, ada satu pandangan yang cukup menarik ketika kita berbicara mengenai simbol. Hal ini dapat dilihat dalam karakteristik simbol yang ingin ditunjukan oleh Paul Tillich. Pada salah satu karakter tersebut, Paul Tillich menyebutkan bahwa simbol memiliki karakter yang sama dengan tanda, dimana mereka menunjuk pada sesuatu yang melebihi diri mereka sendiri. Namun simbol akan berpartisipasi dalam realitas yang mereka

tunjuk. Sedangkan tanda tidak terlibat dalam realitas yang ditunjuknya.7 Simbol laki-laki

7

(7)

80

dan perempuan yang digunakan dalam rumah adat suku Umametan Lawalu, merupakan sebuah simbol yang terlibat dalam tingkat realitas yang mereka tunjuk. Simbol ini digunakan untuk menggambarkan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam rumah adat dan dalam suku tersebut. Dengan keberadaan ini, maka ingin menunjukan sebuah bentuk kesetaraan antara pihak laki-laki dan perempuan. Hal ini tidak hanya dijumpai dalam simbol, tetapi masyarakat juga memahami dan mempraktekan kesetaraan tersebut sesuai dengan apa yang mereka gunakan dalam simbol rumah adat suku Umametan Lawalu. Dalam pemahaman suku Umametan Lawalu, mereka menganggap bahwa apa yang ada dalam simbol juga telah nyata diwujudkan dalam kehidupan masyarakat.

Apa yang kita jumpai dalam simbol masyarakat suku Umametan Lawalu, tidak hanya sebuah simbol tanpa pemaknaan yang real. Simbol ini ada dengan pemaknaan seperti apa yang terkandung dalam pemahaman mereka. Walaupun dalam beberapa kesempatan, kita menjumpai perempuan yang tidak terlibat dalam beberapa acara adat yang dilaksanakan, namun hal ini sebenarnya bukan suatu kenyataan bahwa perempuan tidak diperbolehkan untuk berada dalam kegiatan-kegiatan publik. Perempuan tidak terlibat dalam acara-acara adat yang ada disebabkan karena beberapa faktor dan faktor-faktor tersebut telah penulis jelaskan dalam bab III halaman 54 dan akan penulis bahas secara mendalam pada bagian selanjutnya.

Dengan pemahaman kita yang melihat bahwa perempuan tidak terlibat dalam ruang publik, sering menjadikan sebuah alasan untuk mengatakan bahwa simbol yang digunakan oleh masyarakat suku Umametan Lawalu tidak sesuai dengan realitas yang ada. Namun, sebenarnya kita perlu untuk melihat kembali, sejauh mana realitas yang kita maksudkan tidak sesuai dengan simbol yang mereka gunakan. Jika kita melihat pemakaian simbol tersebut untuk mengangkat derajat perempuan menjadi seimbang dengan laki-laki maka hal ini sebenarnya sudah terwujud. Dalam ritual yang ada di suku

(8)

81

Umametan Lawalu, bukan tidak melibatkan perempuan didalamnya. Tetapi perempuan memegang peran yang sangat berarti. Perempuan diijinkan untuk terlibat bahkan

diijinkan untuk memberikan pendapat walaupun ada batasan yang masih berlaku.8 Hal

ini akan penulis bahas lebih lengkap dalam bagian selanjutnya.

Oleh sebab itu, menurut penulis simbol yang digunakan oleh masyarakat suku Umametan Lawalu juga terwujud dalam tindakan masyarakat sehari-hari. Ketika simbol ini terwujud dalam realitas kehidupan masyarakat, maka simbol ini akan terus dipelihara dan diwariskan secara turun-temurun. Hal ini bertolak belakang dengan salah satu karakter yang diungkapkan oleh Paul Tillich. Dalam salah satu karakternya, Tillich mengungkapkan bahwa simbol akan mati atau tidak dapat ditemukan lagi. Simbol mati bukan karena kritik manusia, melainkan ketika dia tidak dapat lagi diekspresikan dalam

kelompok dimana simbol itu tumbuh.9 Hal ini menunjukan bahwa dapat saja simbol itu

mati ketika dia menghasilkan makna yang berbeda dari apa yang sebenarnya. Simbol akan menjadi tidak berarti ketika kelompok dimana simbol itu tumbuh, tidak dapat mengaplikasikan makna yang sebenarnya dalam simbol tersebut.

Jika karakter ini digunakan dalam konteks masyarakat suku Umametan Lawalu, maka akan menghadirkan sebuah pemahaman yang sedikit berbeda. Menurut penulis, simbol laki-laki dan perempuan yang ada dalam masyarakat suku Umametan Lawalu, memiliki potensi untuk mencapai hal ini jika dinilai oleh masyarakat luar yang belum mengenal dengan baik kehidupan suku Umametan Lawalu. Tetapi bagi anggota suku Umametan Lawalu, hal ini tidak akan terjadi karena bagi mereka, apa yang ada dalam simbol, itu juga yang ditemui dalam tindakan mereka. Dalam hal ini, mereka meyakini bahwa setiap tindakan mereka dalam berbagai acara adat yang berlangsung, selalu menerapkan makna yang sebenarnya dari simbol laki-laki dan perempuan yang mereka

8

Lihat Bab III halaman 54.

9

(9)

82

gunakan dalam rumah adat suku mereka sendiri. Sehingga pada akhirnya, karakter ini bagi mereka tidak dapat diterapkan. Simbol laki-laki dan perempuan akan terus hidup dalam kehidupan mereka dan tidak akan mati.

Hal ini berarti bahwa matinya sebuah simbol atau hilangnnya sebuah simbol terjadi karena makna dari simbol tersebut tidak sesuai dengan realitas yang dijumpai. Jika demikian, maka karakter simbol yang terwujud dalam realitas pun tidak dapat dijalankan. Kalau kita memilih untuk menggunakan karakter yang mengatakan bahwa simbol terlibat dalam realitas yang ada, maka seharusnya kita tidak bisa menggunakan pemahaman bahwa simbol akan mati. Jika sebuah simbol telah hidup dalam realitas dan diaplikasikan dengan benar, maka simbol tersebut akan terus berkembang dan tidak akan pernah hilang. Jika simbol tersebut dapat kita jumpai dalam kehidupan real masyarakat maka dengan sendirinya akan selalu ada cara untuk melihat simbol itu tumbuh dan berkembang dalam kehidupan mereka. Hal inilah yang perlu kita perhatikan kembali ketika berbicara tentang karakter simbol itu sendiri. Karena pada akhirnya karakter itu tidak dapat digeneralisasi untuk semua simbol yang ada.

4.2.3 Makna yang Ingin Diungkapkan dalam Simbol Laki-laki dan Perempuan Penulis melihat bahwa, pemahaman mereka tentang hadirnya anak cucu suku Umametan Lawalu dari leluhur laki-laki dan perempuan yang menjadi landasan penggunaan simbol di rumah adat membuka sebuah pemahaman kita tentang posisi laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, terlihat bahwa laki-laki-laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara. Simbol yang mereka gunakan ini merupakan sebuah konsep kesetaraan yang ingin ditunjukan bagi perempuan dan laki-laki. Jika kita mencoba untuk mencermati setiap kehidupan mereka, maka sebenarnya kesetaraan ini tidak hanya dalam bentuk simbol tetapi juga terwujud dalam realitas kehidupan mereka. Mereka menghadirkan simbol untuk menggambarkan sikap mereka dalam kehidupan sehari-hari.

(10)

83

Jika kita melihat simbol masyarakat Umametan Lawalu ini, maka dapat dikatakan bahwa simbol ini bertumbuh dan berakar dalam masyarakat sehingga akan terus dilaksanakan dalam kehidupan mereka. Simbol ini tidak muncul secara tiba-tiba tetapi memiliki landasan yang kuat dalam sejarah kehidupan suku Umametan Lawalu. Hal ini sejalan dengan pemikiran Turner tentang jenis-jenis simbol. Salah satu jenis simbol yang disebutkan oleh Turner yaitu simbol kondensasi. Menurut Turner, simbol kondensasi merupakan bentuk perilaku substitusi yang sangat kental untuk ekspresi langsung, yang

memungkinkan ketegangan emosional yang nyata dalam bentuk sadar atau tidak sadar.10

Karena konsep simbol ini merupakan sesuatu yang sudah dipelihara sejak dahulu, sesuatu yang terlibat dalam kepercayaan masyarakat dari awal nenek moyang mereka hingga saat ini, maka simbol yang digunakan dalam suku Umametan Lawalu ini merupakan simbol yang hidup dan berakar dalam pikiran masyarakat anggota suku. Simbol ini terus dipelihara dan diwariskan karena ini merupakan ajaran yang sudah ada sejak zaman dahulu. Simbol ini tidak pernah kehilangan makna bagi setiap anggota suku. Makna yang mereka yakini, tidak pernah berubah dari tahun ke tahun dan ini yang selalu mereka ajarkan bagi para generasi penerus suku Umametan Lawalu. Simbol ini hidup dalam masyarakat dan terus dihidupi dengan makna yang mereka yakini.

Dengan melihat pada beberapa kenyataan yang ada, kita sering untuk menghadirkan makna simbol berdasarkan pada apa yang sebenarnya kita pahami dan bukan apa yang mereka (komunitas dimana simbol itu bertumbuh) pahami. Sehingga menurut Turner ada 3 tingkatan penafsiran makna yang perlu untuk dilihat ketika membuat sebuah makna. Pertama, tingkat penafsiran pribumi (atau arti eksegetikal). Pada tingkat ini, makna Eksegetis diperoleh dari mempertanyakan informan pribumi tentang perilaku ritual yang diamati. Kedua, makna operasional. Pada tingkatan ini,

10

(11)

84

pencarian makna dilakukan dengan terlibat secara langsung dalam simbol ritual yang dilaksanakan. Ketiga, makna posisional. Makna posisional simbol berasal dari hubungannya dengan simbol-simbol lain dalam totalitas, yang elemen-elemennya

memperoleh signifikansi mereka dari sistem secara keseluruhan.11 Dengan melihat pada

tiga tingkatan penafsiran ini, maka kita akan mengerti sejauh mana kita menafsirkan sebuah simbol yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Simbol yang kita jumpai dalam suku Umametan Lawalu sering dipahami dengan tingkat penafsiran yang pertama. Makna yang kita berikan bagi simbol tersebut, hanya berasal dari observasi atau pemahaman kita sendiri dengan melihat simbol yang ada dalam suatu masyarakat. Dengan menggunakan tahapan atau tingkat pertama ini, maka kita mengeneralisasi sebuah makna dari simbol yang ada dalam masyarakat. Hal ini sangat sering dilakukan dalam memahami simbol laki-laki dan perempuan dalam suku Umametan Lawalu. Sehingga kita sering hidup dengan pemahaman bahwa simbol suku Umametan Lawalu ini tidak dapat dipraktekan dalam tindakan-tindakan yang ada.

Tingkat penafsiran yang digunakan oleh Turner dalam mengungkapkan sebuah makna, menjadi landasan bagi kita untuk mempertimbangkan makna simbol laki-laki dan perempuan yang digunakan oleh suku Umametan Lawalu. Pemaknaan akan simbol suku Umametan Lawalu, akan sesuai jika kita tidak hanya memberikan penafsiran eksegetik melainkan kita juga dapat melakukan penafsiran operasional. Hal ini berarti bahwa sebuah makna akan tercipta dengan baik jika kita tidak hanya sebatas mengetahui makna tersebut dari orang lain, melainkan bagaimana kita terlibat dalam pembuatan makna simbol yang ada dalam komunitas dimana simbol itu bertumbuh. Makna sebuah simbol pada akhirnya tidak datang dari pemahaman sepintas, melainkan bagaimana makna tersebut hadir dalam keterlibatan kita untuk menghadirkan makna tersebut. Makna dari

11

(12)

85

sebuah simbol tidak dapat diciptakan ketika kita mendengar pandangan orang lain tentang simbol tersebut. Makna sebuah simbol dapat kita tentukan ketika kita benar-benar mencoba untuk melihat kehadiran simbol tersebut dalam kehidupan masyarakat dan makna yang ada dalam kehidupan mereka. Hal inilah yang seharusnya dapat kita berlakukan ketika menciptakan makna dari simbol laki-laki dan perempuan di rumah adat suku Umametan Lawalu. Dalam pemahaman masyarakat suku, simbol itu bermakna dalam tindakan dan nyata dalam perilaku mereka bagi perempuan anggota suku Umametan Lawalu. Makna inilah yang coba mereka sampaikan dan mereka harapkan untuk dipahami oleh orang yang tidak berasal dari suku Umametan Lawalu.

4.3 Kedudukan Perempuan

Dalam kehidupan orang Belu, ada sebuah ungkapan yang dapat menggambarkan keberadaan perempuan. Ungkapan tersebut adalah “Ina susuh roh, feto maromak, feto tais ninimanas”, yang artiya Ibu adalah sumber kehidupan, perempuan adalah dewi, ujung kain perempuan adalah sakti. Ungkapan ini menjadi salah satu pedoman bagi orang Belu karena masyarakat Belu memandang kedudukan perempuan harus dijunjung tinggi, perempuan merupakan lambang kehidupan dan kesuburan, hidup mereka ibarat telur diujung tanduk, hidup atau mati. Perempuan adalah lambang bumi/daratan yang

ditunjukan dalam tiang agung rumah adat. 12

Berangkat dari ungkapan ini, menurut penulis, bagi anggota suku Umametan Lawalu, penghargaan kepada pihak perempuan bukanlah sebuah hal yang perlu untuk dipertanyakan lagi. Perempuan Belu pada umumnya dan perempuan dalam suku Umametan Lawalu secara khusus ini memegang posisi dan kedudukan yang sangat berarti bagi anggota suku yang lainnya. Dengan melihat pada data lapangan yang penulis

(13)

86

temukan, maka dapat dikatakan bahwa seorang perempuan memiliki nilai yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam bab III halaman 62 dalam serangakaian tahapan ketika meminang seorang gadis. Dalam berbagai tahapan tersebut, terdapat mas kawin (belis) yang harus dipenuhi dan menjadi suatu kewajiban bagi pihak laki-laki ketika meminang gadis pujaan mereka.

Dalam beberapa kesempatan, pembahasan tentang belis yang berlaku di Nusa Tenggara Timur (NTT) sering membawa pemikiran negatif. Belis dalam budaya suku-suku di NTT secara umum sering kita pandang sebagai upaya untuk menjual kaum perempuan. Namun menurut penulis, hal ini tidak dapat secara gamblang kita tafsirkan sebagai bentuk jual beli atau tukar menukar yang diterapkan oleh suku-suku di NTT. Dengan penentuan jumlah belis yang sangat tinggi, sering menimbulkan anggapan bahwa belis sebagai sebuah bentuk untuk menjual anak gadis kepada pihak laki-laki. Namun sebenarnya, perlu untuk kita pahami, belis merupakan salah satu budaya yang mengangkat martabat seorang perempuan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia belis adalah harta yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada saat melamar. Menurut pendapat umum, belis mempunyai arti dalam hubungan kekeluargaan adalah sebagai tanda terimakasih kepada pihak perempuan yang merelakan anaknya untuk pindah tempat, sebagai hubungan keluarga baru untuk seterusnya, serta memberi nilai kepada perempuan. Umumnya belis juga mempunyai arti untuk menentukan sahnya perkawinan sebagai imbalan jasa atau jerih payah orangtua dan sebagai tanda penggantian nama si gadis. Hal ini berarti menurunkan nama keluarga si gadis dan menaikan nama keluarga laki-laki. Jika tidak dilaksanakan belis, pihak laki-laki tidak berhak atas pemberian nama suku menggunakan

(14)

87

nama suku mereka.13 Anggapan inilah yang umumnya ada dalam kehidupan masyarakat.

Ketika seorang perempuan telah dibelis dan menikah dengan seorang laki-laki, maka perempuan tersebut akan masuk menjadi anggota suku dari pihak laki-laki. Hal ini berarti perempuan tersebut tidak lagi menjadi milik suku dimana ia berasal. Sehingga dengan pemahaman ini maka dapat dikatakan bahwa belis merupakan sebuah bentuk menjual perempuan dengan sejumlah barang atau uang kepada pihak laki-laki. Karena ketika diberikan belis maka hubungan perempuan dengan suku asalnya telah terputus. Perempuan tersebut telah menjadi bagian atau menjadi anggota suku pihak laki-laki. Namun hal ini tidak berlaku bagi anggota suku Umametan Lawalu. Pada bab III halaman 68 sudah dikatakan bahwa dalam kebiasaan suku Umametan Lawalu, jika perempuan itu sudah dibelisi, tetap saja masih ada hubungan yang terikat antara suku perempuan dan suku laki-laki yang memberikan belis. Hal ini disebabkan karena dalam budaya yang ada, jika sudah memiliki keturunan, maka dua orang anak dari keturunan mereka akan masuk menggantikan marga mama atau marga perempuan tersebut (dalam bahasa adat dikenal dengan sebutan urun soru). Ketika ada yang menggantikan marga mama, maka hubungan kekerabatan itu akan tetap terjalin dan perempuan tidak dapat dianggap sebagai barang yang dapat dibeli. Ketika telah dilaksanakan urun soru, maka kekerabatan antara kedua belah pihak masih tetap terjalin.

Pada bab III halaman 62, dapat dilihat dalam setiap makna tahapan belis yang berlaku bagi anggota suku Umametan Lawalu, selalu mengandung nilai sebagai sebuah bentuk ucapan terimakasih. Ucapan terimakasih tersebut diberikan kepada ibu dan ayah dari pihak perempuan. Selain ucapan terimakasih tersebut, ada juga penghargaan khusus yang diberikan bagi perempuan yang akan dinikahi. Sehingga dengan tahapan-tahapan ini, menurut penulis belis yang diberikan tidak dapat dianggap sebagai sebuah bentuk

13

Fransiska Idaroyani Neonnub dan Novi Triani Habsari, “Belis: Tradisi Perkawinan Masyarakat Insana Kabupaten Timor Tengah Utara”, Jurnal Agastya, Vol 08 No 01 (Januari 2018), 111.

(15)

88

jual beli atau tukar menukar anatara pihak laki-laki dan perempuan. Belis ini merupakan sebuah warisan budaya sebagai ungkapan terimakasih dan penghormatan yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan apabila ingin meminang gadis yang mereka cintai.

Dalam bab III halaman 66 juga sudah dikatakan bahwa tahapan belis yang diberikan ini tidak hanya berlaku bagi perempuan yang menikah sebelum memiliki anak saja. Tahapan-tahapan yang sama dalam belis ini juga berlaku bagi mereka yang menikah setelah terjadi sebuah “kecelakaan” (hamil diluar nikah). Dengan perlakuan yang sama ini, dapat membuka pemahaman kita bahwa bagi anggota suku Umametan Lawalu, perempuan tetap harus dihargai bahkan ketika mereka menikah setelah terjadi “kecelakaan”. Dengan kondisi yang ada dalam suku Umametan Lawalu dapat membuktikan bahwa perempuan tidak hanya dianggap sebagai pelengkap dari pihak laki-laki namun mereka juga memiliki kehormatan yang sama dengan pihak laki-laki-laki-laki. Sehingga sudah menjadi tanggung jawab bagi laki-laki untuk tetap memelihara martabat dan kehormatan pihak perempuan.

Dengan melihat berbagai tahapan yang diberikan sebelum menikah, maka membuat keberadaan perempuan menjadi sesuatu yang diperhitungkan bagi anggota suku Umametan Lawalu. Tidak hanya sebatas pada belis yang diberikan saja, namun tradisi urun soru yang ada juga menjadi suatu penunjuk bahwa kedudukan perempuan dalam suku menjadi sesuatu yang sangat berarti. Dengan adanya tradisi seperti ini maka semakin mengangkat pemahaman bahwa perempuan bukanlah pelengkap bagi pihak laki-laki semata. Perempuan juga memiliki kebebasan, memiliki posisi bahkan keberadaannya pun diperhitungkan oleh anggota suku yang lain.

Dalam bab III halaman 68 dikatakan bahwa selain melihat pada budaya belis dan urun soru, kebiasan dalam suku Umametan Lawalu yang tidak mengizinkan poligami

(16)

89

maupun bercerai juga dapat menjadi sebuah penentu betapa pentingnya keberadaan kaum perempuan dalam suku tersebut. Dalam konteks ini, perempuan dapat dinilai sebagai manusia yang tidak hanya dipandang sebelah mata oleh pihak laki-laki, melainkan juga merupakan insan yang berharga dan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Kebiasaan yang diterapkan oleh suku Umametan Lawalu ini menjadi suatu penentu bahwa keberadaan perempuan juga diperhitungkan dalam suku ini. Perempuan tidak dapat diperlakukan dengan sembarangan atau seenaknya oleh pihak laki-laki. Ketika laki-laki memilih untuk meminang perempuan tersebut, maka dengan sendirinya penghormatan kepada perempuan akan tetap diberikan. Kebiasaan ini kembali menunjukan bahwa ketika keputusan untuk menikah ditetapkan, maka pada saat itu laki-laki harus menyadari keberadaan kaum perempuan sebagai partner dalam kehidupan selanjutnya, yang perlu untuk dihargai, dihormati dan disayangi. Dengan kebiasaan ini dapat menunjukan bahwa posisi perempuan dalam suku ini tidak lagi dianggap sebagai pihak kedua dari laki-laki. Perempuan tidak dianggap sebelah mata, namun mereka dianggap sebagai pemeran utama yang sepaket dengan pihak laki-laki.

Tradisi dan kebiasaan dalam suku Umametan Lawalu inilah yang menjadi sebuah dongkrak bagi pemahaman kita bahwa perempuan tidak selamanya selalu dipinggirkan. Perempuan tidak selamanya berada pada barisan kedua. Tradisi-tradisi ini sangat jelas mengangkat bagaimana perempuan dalam suku Umametan Lawalu ini memiliki posisi dan memiliki hak yang sama dalam kehidupan suku Umametan Lawalu.

4.4 Keseimbangan Gender Umametan Lawalu 4.4.1 Gender dan Jenis Kelamin

Diskusi tentang gender dan jenis kelamin masih menjadi topik yang ramai untuk diperbincangkan hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena masih banyak yang terkurung

(17)

90

dalam pemahaman bahwa gender dan jenis kelamin merupakan hal yang sama. Sehingga apabila jenis kelamin terbagi atas dua jenis, maka gender pun demikian. Dalam tulisan Ann Oakley, disebutkan bahwa jenis kelamin adalah istilah biologis sedangkan gender bermakna psikologis dan budaya. Namun, setiap masyarakat percaya bahwa definisi gender sendiri berhubungan dengan dualitas biologis seks. Jika istilah yang tepat untuk seks adalah laki-laki dan perempuan, maka istilah untuk gender adalah maskulin dan feminin. Dalam efisiensi sosial peran gender saat ini berpusat pada perempuan sebagai ibu rumah tangga dan seorang mama. Ini berarti bahwa perbedaan sederhana antara laki-laki dan perempuan diuraikan menjadi satu antara maskulin dan feminin dengan suami dan istri yang berbeda dalam kekuatan mereka, kemampuan mereka untuk mengambil keputusan, hubungan mereka dengan dunia di luar rumah, kepentingan waktu luang

mereka dan seterusnya.14

Apa yang dijelaskan oleh Oakley, merupakan kenyataan yang sering kita jumpai dalam masyarakat. Sebagian masyarakat hidup dengan pemahaman bahwa pada akhirnya laki-laki dan perempuan sama dengan feminin dan maskulin. Seorang laki-laki pasti memiliki sifat maskulin dan seorang perempuan pasti memiliki sifat feminin. Dengan penggolongan seperti inilah yang membuat perlakuan bagi laki-laki dan perempuan pun mengalami perbedaan. Perempuan dengan sifat femininnya akan dikategorikan dalam segala sesuatu yang berbau, kelemah lembutan, emosional yang tinggi, tidak tegas dan lain sebagainya. Begitu juga dengan laki-laki. Dengan sifat maskulin yang diberikan, laki-laki akan dikategorikan dengan sifat yang berani, gagah, dapat memimpin dan lain sebagainya. Dengan penggolongan-penggolongan inilah maka setiap perlakuan yang diberikan akan mengacu pada label yang diberikan masyarakat bagi laki-laki dan perempuan. Namun dalam kenyataan yang ada, hal ini tidak dapat dibuktikan

14

Ann Oakley, Sex, Gender and Society, ed. Paul Barker, (London: Maurice Temple Smith, 1972), 158-159 & 189.

(18)

91

sepenuhnya. Dalam kenyataan yang dapat dijumpai hingga saat ini, sifat maskulin maupun feminim dapat ditemukan baik dalam diri laki-laki maupun perempuan. Tidak jarang kita melihat ada laki-laki yang memiliki sifat feminim dan ada juga perempuan yang memiliki sifat maskulin. Sehingga tidak ada yang dapat menjamin satu jenis kelamin akan selalu memiliki satu sifat yang lazaimnya sudah berlaku. Hal inilah yang dikatakan Oakley bahwa dapat ditemukan seseorang yang gender-nya didefinisikan secara kultural hidup berdampingan dengan seks (jenis kelamin) yang tidak tentu. Orang-orang ini adalah interseks, dan studi terbaru tentang mereka di Inggris dan Amerika Serikat telah menunjukan bahwa seseorang yang bukan laki-laki atau perempuan bisa maskulin atau feminin — sama maskulin atau sama femininnya dengan mereka yang

secara biologis normal.15

Tidak hanya sebatas pada teori yang ada, dalam perlakuan masyarakat pun hal ini masih nyaman untuk diberlakukan. Dalam masyarakat suku Umametan Lawalu, perlakuan bagi laki-laki dan perempuan masih terpengaruh oleh anggapan gender dan jenis kelamin yang ada. Berdasarkan pada hasil yang didapatkan di lapangan, masyarakat suku Umametan Lawalu menganggap bahwa ada pekerjaan-pekerjaan khusus yang tidak

dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki.16 Contohnya dalam membuat hasil

kerajinan berupa anyaman tempat sirih pinang dan lain sebagainya, hal ini hanya dapat dilakukan oleh pihak perempuan karena mereka sebagai laki-laki tidak dapat melakukan hal ini. Selain itu, dalam mengambil keputusan, ini dianggap sebagi kewajiban dan hak dari pihak laki-laki dan bukan menjadi tanggung jawab perempuan. Hal ini dinilai karena kaum laki-laki yang dianggap sebagai penentu bagi kehidupan mereka. Secara tidak langsung, ini menunjukan bahwa sebenarnya dalam kehidupan masyarakat suku Umametan Lawalu pun masih sangat sadar akan perbedaan gender yang ada. Perlakuan

15

Oakley, Sex, Gender, 158.

16

(19)

92

yang diberikan pun terkadang masih mempertimbangkan anggapan-anggapan gender yang ada. Hal ini menunjukan bahwa dalam pemahaman mereka, laki-laki hidup dengan sifat maskulin sehingga segala sesuatu yang bersifat memimpin akan jatuh ke dalam tanggung jawab laki-laki. Sedangkan perempuan hidup dengan sifat feminin yang ada, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan keterampilan akan diberikan bagi perempuan.

Penulis melihat bahwa pada dasarnya anggapan ini sudah ada sejak dahulu. Laki-laki tidak dapat membuat anyaman karena dari kecil mereka tidak diajarkan untuk berbuat demikian. Perempuan tidak tegas dalam mengambil keputusan karena dari kecil sudah dibiasakan bahwa bagian mereka bukan disini. Pembiasaan dan pola didikan yang diterima sejak kecillah yang membentuk laki-laki dan perempuan dalam beberapa tanggung jawab dan tugas-tugas yang tidak dapat ditukar. Kehidupan masyarakat suku Umametan Lawalu pun menurut penulis berada dalam masa ini. Masa dimana bagi mereka perlakuan yang dilakukan sekarang adalah pengulangan dari apa yang mereka terima sejak masa kecil. Perlakuan-perlakuan inilah yang pada akhirnya semakin jelas menunjukan bahwa gender dan jenis kelamin akan selalu dianggap sebagai kesatuan. Seorang laki-laki pada akhirnya akan selalu maskulin dan seorang perempuan pada akhirnya akan selalu feminin.

4.4.2 Pemisahan Gender dalam Beban Kerja

Dari pembahasan sebelumnya telah sedikit disinggung bahwa dengan pemahaman suku Umametan Lawalu yang menganggap bahwa jenis kelamin dan gender sebagai suatu kesatuan, maka menunjukan bahwa pemahaman mereka tentang gender pun akan merujuk pada perbedaan jenis kelamin. Sehingga dalam pemahaman mereka gender pun dipisahkan secara biologis. Hal inilah yang membuat beban kerja bagi laki-laki dan perempuan pun turut dibedakan. Oakley dalam tulisannya juga menunjukan hal ini.

(20)

93

Menurutnya kebanyakan orang percaya bahwa perbedaan gender mencerminkan

perbedaan bawaan antara kedua jenis kelamin.17 Pembedaan gender ini tidak terjadi

secara biologis saja (organ reproduksi) tetapi pembedaan ini terlihat nyata dalam beberapa bidang. Menurut Jane Pilcher dan Imelda Whelehan pemisahan gender ini terjadi ketika perempuan dan laki-laki ditempatkan secara terpisah antara satu dengan yang lainnya, namun sebaliknya berpartisipasi dalam serangkaian kegiatan yang sama. Hal ini dapat dilihat dalam pendidikan yang terkadang mengelompokan perempuan dan laki-laki pada sekolah yang hanya terdiri dari satu jenis kelamin atau dapat juga dilihat dalam pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dengan hirarki dimana

perempuan terkadang tidak memegang jabatan yang lebih tinggi dari pada laki-laki.18

Jika pemahaman Oakley, Pilcher dan Whelehan disesuaikan dengan konsep kehidupan masyarakat suku Umametan Lawalu, maka penulis dapat mengatakan hal ini sejalan. Dengan pemahaman yang ada pada masyarakat suku Umametan Lawalu, maka setiap beban kerja yang diberikan bagi laki-laki dan perempuan pun disesuaikan dengan perbedaan gender yang berdasar pada perbedaan jenis kelamin tersebut. Masyarakat hidup dengan berbagai perlakuaan dimana perempuan masih digolongkan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan urusan rumah tangga dan laki-laki yang berhubungan dengan tugas-tugas publik mencari nafkah. Walaupun dalam hal ini perempuan tidak diberi batasan untuk terlibat dalam urusan-urusan publik bahkan melakukan pekerjaan-pekerjaan publik, namun anggapan bahwa laki-laki sebagai tulang punggung dan sebagai pengambil keputusan masih tetap dipelihara.

Pada bab III halaman 71, ada beberapa contoh yang dapat menggambarkan posisi atau keadaan yang ada dalam kehidupan masyarakat suku Umametan Lawalu. Contoh yang pertama dapat dilihat dalam jabatan-jabatan pemerintahan (RW, RT, Camat) yang

17

Oakley, Sex, Gender, 189.

18

Jane Pilcher and Imelda Whelehan, 50 Key Concepts in Gender Studies, (London: SAGE Publications, 2004), 64 & 66.

(21)

94

juga dapat dipegang oleh perempuan. Dalam hal ini perempuan mendapat kesempatan untuk terlibat dengan pekerjaan-pekerjaan yang dulunya hanya dapat dilakukan oleh pihak laki-laki semata. Dalam suku ini, perempuan diberi kebebasan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di ruang publik bahkan jika perempuan pun harus menjadi pekerja kantoran. Namun kapasitas perempuan ketika bekerja ini tidak dapat disamakan dengan kapasitas laki-laki ketika bekerja. Hal ini disebabkan karena perempuan diijinkan untuk bekerja namun tidak diijinkan untuk menjadi tulang punggung. Perempuan diperbolehkan untuk bekerja di ruang publik namun tidak diijinkan untuk mengantikan peran laki-laki sebagai pencari nafkah. Jika perempuan bekerja menjadi tulang punggung keluarga, maka hal ini dinilai sebagai sebuah bentuk pelanggaran adat. Contoh yang kedua dapat dilihat dalam urusan-urusan adat yang berlangsung dalam suku Umametan Lawalu. Dalam acara-acara adat yang ada, pihak laki-laki lebih memegang peran karena pihak laki-lakilah yang memiliki hak untuk mengambil keputusan (misalnya menentukan tanggungan yang harus dibawa oleh pihak perempuan dalam sebuah acara). Namun dalam acara-acara adat ini pun, perempuan diberi kebebasan untuk mengikuti bahkan jika ingin berpendapat. Perempuan dapat memberikan berbagai saran dan pendapat, namun tidak dapat mengambil keputusan. Dalam acara-acara adat ini, tugas perempuan yang berhubungan dengan hal-hal domestik tetap dijalankan. Perempuan bertugas untuk menyiapkan makanan, membuat kerajinan ayaman, dan juga menyiapkan perlengkapan tari-tarian. Perempuan dengan sejumlah tugas domestik yang ada, harus tetap dijalankan ketika acara adat berlangsung. Walaupun mereka diijinkan untuk terlibat dalam ritual adat, musyawarah adat, memberikan saran dan sebagainya, namun terlepas dari itu tugas mereka yang berhubungan dengan tugas domestik harus tetap terpenuhi.

Penggambaran contoh-contoh yang penulis jelaskan di atas, secara tidak langsung menunjukan bahwa dalam kehidupan suku Umametan Lawalu, tugas dan pekerjaan yang

(22)

95

diberikan dalam acara-acara adat masih terikat dengan perbedaan gender yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin yang ada. Selain berdasarkan pada perbedaan jenis kelamin yang ada pun, adat menjadi salah satu faktor yang mendukung perlakuan ini. Adat yang dimaksud adalah dalam serangkaian tahapan belis yang telah penulis jelaskan pada bab III halaman 62. Dalam serangkaian tahapan belis tersebut, pada tahapan yang terakhir, hanya dapat dilakukan setelah menikah yaitu pada generasi kedua maupun generasi ketiga. Apabila hal tersebut dilakukan terlebih dahulu, maka dipercaya dapat memperpendek umur perempuan yang dibelisi. Dalam suku Umametan Lawalu, mereka tidak ingin acara adat yang dijalankan akan membuat perempuan menjadi tumbal. Sehingga dengan alasan keamanan maka laki-laki yang lebih banyak terlibat dalam bebagai acara adat yang ada. Pemahaman ini menjadi salah satu contoh bagaimana adat dalam suku Umametan Lawalu yang menjadi sebuah penyebab pemisahan gender dan beban kerja yang diberikan tetap dilestarikan dengan pemahaman bahwa laki-laki sebagai pengambil keputusan dan perempuan selalu mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan domestik.

Dalam hal ini, adat dapat menjadi salah satu faktor yang melestarikan perbedaan gender yang berdampak pada pembagian beban kerja bagi laki-laki dan perempuan. Namun, tidak hanya adat, pola didikan pun menjadi salah satu penyebab apa yang berlaku hingga saat ini dalam suku Umametan Lawalu. Seperti apa yang telah penulis sampaikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa kebiasaan yang diterima oleh anggota suku Umametan Lawalu sejak kecillah yang mereka teruskan hingga saat ini. Anggapan laki-laki sebagai tulangg punggung tentunya bukan anggapan yang baru didapatkan ketika dewasa, melainkan anggapan ini sudah didapatkan sejak mereka kecil. Sehingga pola kehidupan selanjutnya pun akan sesuai dengan anggapan yang telah mereka terima dari kecil. Laki-laki dari kecil tidak dibiasakan untuk melakukan pekerjaan yang

(23)

96

diidentikan dengan “pekerjaan perempuan” (memasak, menganyam dll) sehingga ketika dewasa pun mereka akan beranggapan bahwa hal ini hanya dapat dilakukan oleh perempuan karena laki-laki tidak tahu mengerjakan hal ini. Inilah yang menjadi suatu penunjuk bagaimana adat dan kebiasaan mempengaruhi pola perilaku dan beban kerja yang diberikan baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki.

Arief Budiman dalam bukunya juga menjelaskan tentang hal ini. Menurutnya pembagian kerja yang ada dalam masyarakat dapat disebabkan oleh dua faktor. Pertama, karena faktor-faktor yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi masyarakat. Kedua, karena faktor-faktor yang didasarkan pada sistem psikokultural dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang menyebarkan dan mengembangkan

sistem pembagian kerja ini.19 Kenyataan yang dijumpai dalam suku Umametan Lawalu

menjadi sebuah pembenaran bagi faktor kedua yang diungkapkan oleh Arief Budiman. Dengan latar belakang budaya, adat dan kebiasaan dari dahulu yang ada dalam masyarakat, maka membuat pembagian kerja bagi laki-laki dan perempuan terus dipelihara hingga saat ini. Namun ada hal menarik dibalik tetap dilestarikannya pembagian kerja ini. Pada hakikatnya, walaupun pembagian kerja ini dipengaruhi dengan faktor budaya masyarakat, namun pembagian kerja ini tidak menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Dengan adanya pembagian kerja ini, tidak mengurung perempuan untuk selalu berada dalam ruang domestik. Perempuan diberi kebebasan terlibat dalam ruang publik tetapi dengan aturan-aturan yang harus tetap diindahkan. Kebebasan yang berlaku bagi perempuan disatu sisi memberikan kesempatan untuk perempuan berada dalam ruang publik namun disisi lain, kebebasan tersebut juga tidak membuat perempuan meninggalkan ruang domestik. Kebebasan yang diberikan akan

19

Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1985), 34.

(24)

97

senantiasa di pantau dengan aturan-aturan dan norma-norma yang selama ini telah berlaku dalam masyarakat.

4.4.3 Keseimbangan Gender

Kenyataan bahwa perbedaan gender ini akan melahirkan suatu bentuk ketidakadilan gender membuat kita perlu untuk memahami sebuah makna keseimbangan gender yang ada. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesimbangan memiliki arti keadaan yang seimbang atau kondisi yang sama atau setara. Ketika konsep kesimbangan ini dipadukan dengan gender, maka dalam hal ini keseimbangan tersebut akan berbicara mengenai realitas relasi antara laki-laki dan perempuan secara seimbang. Keseimbangan gender ini akan menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan hubungan (relasi)

antara laki-laki dan perempuan (teori equilibrium).20 Hal ini berarti bahwa keseimbangan

gender akan menekankan pada kondisi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, perempuan dapat melaksanakan atau melakukan apa yang dapat dilakukan oleh laki-laki.

Dalam pembahasan-pembahasan yang telah dibahas sebelumnya tentang kehidupan masyarakat suku Umametan Lawalu, telah tergambar jelas bagaimana keseimbangan ini diberlakukan. Menurut penulis, jika kita melihat dari segi kehidupan sosial yang ada, maka sebenarnya keseimbangan ini telah tercapai. Artinya bahwa dalam pemahaman mereka, perempuan tidak lagi berada dalam tembok pemisah antara domestik dan publik. Perempuan memiliki hak untuk terlibat dalam berbagai urusan publik. Bahkan jika hal tersebut mengharuskan perempuan untuk menjadi pekerja kantoran. Hal ini bukan merupakan sebuah permasalahan untuk melarang perempuan terlibat dalam berbagai pekerjaan-pekerjaan yang dahulu diidentikan sebagai pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki. Namun dalam hal ini, masih ada batasan yang sangat

20

(25)

98

jelas untuk dilihat. Perempuan dapat bekerja namun tidak dapat menggantikan pekerjaan laki-laki sebagai tulang punggung keluarga. Secara tidak langsung, batasan ini menunjukan bahwa mereka sadar akan keseimbangan gender, mereka sadar bahwa tidak selamanya perempuan hanya dapat melaksanakan pekerjaan domestik dan tidak dapat terlibat dalam pekerjaan publik. Tetapi, kesadaran ini masih berada dalam pengaruh konstruksi gender yang menganggap bahwa laki-laki akan selalu menjadi tulang punggung keluarga. Pemahaman ini berangkat dari pemahaman budaya yang berkembang secara turun temurun bahwa laki-laki sebagai tulang punggung keluarga, sehingga bila perempuan melaksanakan hal ini dianggap sebagai sebuah bentuk pelanggaran adat. Keseimbangan yang ada dalam hal ini merupakan sebuah bentuk keseimbangan yang berusaha untuk menempatkan perempuan dan laki-laki dalam satu level tetapi masih terikat pada budaya yang sudah diwariskan sejak dahulu.

Selain dari segi sosial, dalam kehidupan adat pun, keseimbangan tersebut ingin kembali ditunjukan. Dalam berbagai acara adat yang berlangsung, keseimbangan tersebut dinilai ketika perempuan diperbolehkan untuk terlibat dalam diskusi-diskusi adat bahkan diperbolehkan untuk memberikan pendapat dan saran. Hal ini berarti bahwa perempuan tidak lagi dianggap sebagai pelengkap dari laki-laki namun perempuan dianggap sama dengan laki-laki dalam hal kesempatan untuk berbicara. Namun dalam hal ini, ada batasan yang diberikan bagi perempuan. Perempuan dapat berbicara, dapat menyampaikan saran tetapi tidak dapat mengambil keputusan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan konteks sosial yang telah penulis sebutkan diatas. Perempuan dapat terlibat dalam musyawarah adat, menyampaikan apa yang ingin disampaikan tetapi tidak dapat memutuskan apa yang harus dilakukan. Secara tidak langsung, dalam hal ini pun masyarakat suku Umametan Lawalu berusaha untuk menerapkan sebuah keseimbangan antara posisi laki-laki dan perempuan tetapi masih juga terikat dalam budaya yang ada.

(26)

99

Laki-laki sebagai pihak yang berhak megambil keputusan merupakan sebuah pola pikir budaya yang berkembang sejak dahulu dan masih tetap diwariskan untuk saat ini. Konstruksi budaya yang membentuk laki-laki sebagai pemegang kendali akan terus menjadi faktor bagi sebuah keseimbangan yang akan dicapai.

Jika kondisi seperti ini yang dijumpai, maka kita patut untuk memikirkan kembali sebuah bentuk keseimbangan seperti apa yang dimaksudkan untuk menjaga relasi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Konteks kehidupan masyarakat suku Umametan Lawalu dapat menjadi sebuah pertimbangan bagi kita ketika topik tentang keseimbangan gender itu diperbincangkan. Dalam pemahaman mereka, apa yang dilakukan itu merupakan sebuah bentuk yang seimbang, perempuan bebas melakukan apa saja yang ingin dilakukan, tetapi ada batasan yang harus diperhatikan ketika melakukan sesuatu. Secara tidak langsung, hal ini menunjukan bahwa keseimbangan ini akan berbicara mengenai sebuah kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal tugas-tugas atau pekerjaan yang ada, namun akan terus memperhatikan norma-norma budaya yang berlangsung dalam masyarakat. Keseimbangan akan tercapai apabila norma-norma yang ada pun tetap diperhitungkan dan dilakukan dengan baik. Hal ini berarti kembali menunjukan bahwa pengaruh budaya untuk merekonstruksi pemahaman tentang gender akan terus melekat dan dilaksanakan oleh masyarakat. Sehingga pada akhirnya kesetaraan atau keseimbangan yang dimaksudkan akan disesuaikan dengan pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai atau norma-norma yang sudah terbentuk dan berlaku dalam kehidupan masyarakat secara turun temurun.

4.5 Kesimpulan

Dari penjelasan-penjelasan yang telah disampaikan diatas, menurut penulis bahwa ungkapan yang menyebutkan gender merupakan sebuah konstruksi budaya adalah

(27)

100

sesuatu yang dapat dibuktikan. Pembagian gender, pola perilaku yang ditentukan berdasarkan gender, bahkan beban kerja hingga keseimbangan pun akan direkonstruksi oleh budaya masyarakat. Artinya masyarakat yang membentuk gender dalam bentukan fisik laki-laki dan perempuan, lalu sikap-sikap yang diidentikan pada laki-laki dan perempuan akan menjadi sebuah pemahaman umum tentang gender dalam pandangan mereka. Berangkat pada pemahaman inilah maka gender sebagai sebuah bentukkan masyarakat menjadi nyata dalam setiap perilaku dan sikap yang berlangsung.

Dengan pemahaman gender yang berangkat dari budaya yang ada, maka pemahaman mereka tentang keseimbangan pun akan disesuaikan dengan budaya yang ada. Hal ini kembali menunjukan bahwa pada dasarnya gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda. Gender akan lebih merujuk pada sifat yang direkonstruksi atau di pengaruhi oleh budaya yang ada sedangkan jenis kelamin merupakan sesuatu yang sudah didapatkan sejak lahir. Pemahaman tentang gender dan jenis kelamin ini harus kita pahami dengan seksama ketika ingin untuk membahas sebuah konsep keseimbangan antara laki-laki dan perempuan yang saat ini sangat banyak untuk diperbincangkan.

Keseimbangan gender dalam kehidupan masyarakat Umamaetan Lawalu, menunjukan bahwa sebuah keseimbangan tidak dapat dipahami dengan hanya mengartikan keseimbangan sebagai kesetaraan tanpa adanya batasan yang perlu untuk diperhatikan. Dengan adanya pembagian kerja bagi anggota suku, menunjukan bahwa keseimbangan ini pada akhirnya dijalankan tanpa menghilangkan norma-norma atau aturan yang ada dalam kehidupan masyarakat. Keseimbangan dapat saja terwujud dengan memberikan kebebasan bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam urusan publik namun tetap menjalankan aturan-aturan yang ada. Perempuan dapat terlibat dalam urusan publik, namun memiliki batasan sesuai dengan norma yang ada dan terpelihara dalam

(28)

101

masyarakat itu sendiri. Keseimbangan yang tercipta pada akhirnya tidak lagi mengurung perempuan dalam ruang domestik dengan aturan-aturan yang harus dipelihara. Kebebasan diberikan bagi perempuan, namun tetap berpatokan pada norma dan aturan-aturan dalam suku.

Dengan melihat konsep gender bahkan relasi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat suku Umametan Lawalu, maka dapat dikatakan bahwa simbol yang digunakan oleh masyarakat merupakan sebuah bentuk keseimbangan yang terwujud dalam tindakan mereka. Dalam hal ini masyarakat menggunakan simbol laki-laki dan perempuan dalam rumah adat mereka, untuk menunjukan bahwa dalam kehidupan pun hal ini dapat dilaksanakan. Apa yang ada dalam simbol mereka, itu pula yang berusaha mereka praktekan dalam kehidupan yang dijalani. Keseimbangan gender tidak hanya muncul dalam simbol kebudayaan yang ada, tetapi bagaimana simbol itu nyata dalam kehidupan sosial mereka dan kehidupan adat mereka.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil persentase luas area fraksi menunjukkan kadar DAG lebih tinggi pada suhu 160°C, hasil tersebut berhubungan dengan hasil kadar ALB yang menunjukkan bahwa asam lemak

Larutan baku nitrit konsentrasi 1,4 ppm diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi Griess selanjutnya dibaca absorbansinya

Manfaat yang diharapkan dari penelitian eksperimen tentang efektivitas penggunaan media gambar seri untukmeningkatkan keterampilan bercerita siswa pada pembelajaran Tematik

Perbedaan karakteristik media pertumbuhan berbasis sampah buah dan sayur terlihat dari tampilan morofologis yang berbeda antara medium pertumbuhan Fusarium Sp berbasis

Keistimewaan buah jambu biji yang memiliki berbagai jenis antioksidan dan potensi aktivitas antioksidannya yang besar, membuat peneliti merasa tertarik dan perlu meneliti

Dalam hal ini, pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Ekaprasetia Pancakarsa) tampaknya juga belum diikuti upaya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih

menunjukkan bahwa variabel bebas yang terdiri dari mudharabah, musyarakah, murabahah dan ijarah secara bersama-sama mempunyai pengaruh positif dan signifikan

KJKS sendiri mulai awal berdiri sudah mengeluarkan beberapa produk yangs salah satunya adalah pembiayaan mudharabah. Pembiayaan Mudharabah saat ini memang belum