• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI. Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI. Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DESAIN SISTEM

PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem

Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu

(3)

SEBAGIAN KEUNTUNGAN PENJUALAN AKAN DIDONASIKAN UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN SOSIAL DI INDONESIA

www.intranspublishing.com

(4)

DR. AGUS RIWANTO

DESAIN SISTEM

PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem

Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu

Setara Press Malang 2018

(5)

DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Copyright © September, 2018

Pertama kali diterbitkan di Indonesia dalam Bahasa Indonesia olehSetara Press. Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik sebagian ataupun keseluruhan isi buku dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Ukuran: 15,5cm X 23cm; Hal: xx + 170 Penulis:

DR. AGUS RIWANTO ISBN: 978-602-6344-40-3 Cover: Dino Sanggrha Irnanda Lay Out: Kamilia Sukmawati

Penerbit:

Setara Press

Kelompok Intrans Publishing

WismaKalimetro

Jl. Joyosuko Metro 42 Malang, Jatim Telp. 0341-573650 Fax. 0341-588010

Email Pernaskahan: redaksi.intrans@gmail.com Email Pemasaran: intrans_malang@yahoo.com Website: www.intranspublishing.com

Anggota IKAPI Distributor:

Cita Intrans Selaras

(6)

Pengantar Penulis ...

Segala Puji bagi Allah SWT, karena hanya atas limpahan rahmah dan kasih-Nya yang tak terhingga buku sederhana berjudul,

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi, Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu ini, dapat selesai dan hadir dihadapan pembaca yang budiman.

Buku sederhana ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pemikiran kritis secara teoritik dan sajian data empirik tentang korupsi politik yang masih menjadi ancaman utama dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Fenomena maraknya korupsi politik yang dilakukan politisi ini jauh lebih berbahaya dari korupsi biasa, karena korupsi model ini memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk tujuan memperkaya diri dan tentu saja dilakukan dengan jejaring yang sempurna dan penuh intrik politik. Karena itu, korupsi politik merupakan kejahatan yang dapat dikate-gorikan sebagai “pelanggaran hak asasi manusia (HAM)”, karena

(7)

hilangnya pendidikan politik; tumpulnya wibawa kedaulatannya, serta tragikomis atau membuat lingkaran setan, rakyat kehilangan tempat mengadu sehingga menimbulkan krisis keadilan.

Korupsi politik yang dilakukan partai politik ini memperjelas tesis, bahwa demokrasi yang kita anyam selama ini telah gagal karena disandera para koruptor dari partai politik. Sebab demokrasi terwujud dalam bentuk pemilu, aktor utama pemilu adalah partai politik. Jika aktor utamanya korup dipastikan pemilu dan demokrasinya juga terkontaminasi perilaku korup. Dengan demikian, maka di-pastikan pemerintahan yang terwujud dari hasil pemilu juga meru-pakan pemerintahan yang tak bersih. Bila negeri kita ingin segera keluar dari kubangan penyakit korupsi sistemik, maka membebaskan dan menyelamatkan partai politik, sistem pemilu dan pemerintahan dari perilaku korupsi adalah jalan utama yang mesti ditempuh.

Di sinilah relevansi perlunya ikhtiar bersama untuk menye-lamatkan parpol dari korupsi agar parpol dapat menjadi agen penting demokrasi terutama dalam menjalankan fungsi-fungsi vitalnya bagi pelembagaan demokrasi dan penguatan kapasitas keterlibatan parpol dalam ikut serta mengontrol jalanya pemerintah yang antikorupsi. Itulah pula sebabnya mengapa jika hendak memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang antikorupsi, tak ada jalan lain kecuali mengubah watak sistem kepartaian dan sistem pemilu menjadi sebuah desain arsitektur yang tepat sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Instrumen yang tersedia untuk menatanya adalah melalui perubahan pengaturannya secara sistematis dan cermat dari perspektif hukum tata negara. Dalam perspektif arsitektur ketatanegaraan, secara teoritik, sistem pemerintahan yang dianut di suatu negara sesungguhnya adalah merupakan hasil dari kesepakatan para aktor politik yang telah terpilih melalui pemilu yang duduk di parlemen sebagai wakil rakyat, sekaligus wakil dari parpol pengusungnya.

Buku ini terdiri dari 10 bab yaitu, Bab 1 menguraikan tentang desain arsitektur sistem antikorupsi di pemerintahan, partai politik, dan pemilu. Bab 2 menguraikan tentang partai politik, pemilu, pemerintahan, dan korupsi politik. Maksud dari bab ini adalah untuk mendalami tentang desain arsitektur ketatanegaraan diperlukan

(8)

yaitu partai politik, sistem pemilu, dan sistem peme-rintahan. Ketiganya merupakan satu kesatuan sistemik yang tak boleh dipisahkan karena partai politik merupakan aktor utama demokrasi perwakilan yang merupakan peserta pemilu. Hasil pemilu kelak menentukan konstelasi politik di lembaga perwakilan (parlemen) dan sistem pemerintahan merupakan kesepakatan elite partai politik yang ada di parlemen. Itulah sebabnya ketiganya merupakan organ penting dalam desain besar ketatanegaraan. Ketika hendak mencita-citakan pemerintahan yang bersih atau antikorupsi, maka tak akan berhasil jika hanya mereformasi aparatur pemerin-tahan, melainkan juga harus mereformasi institusi partai politik dan sistem pemilunya. Formasi ketatanegaraan sangat ditentukan oleh ketiga pilar ini.

Bab 3 menguraikan tentang hak kebebasan berpolitik dan jaminan

konstitusi. Tujuan dari bab ini adalah hendak meng-aktualisasi secara teoritik hak asasi warga negara dalam kehidupan sosial dan politik di setiap negara menjadi keniscayaan, karena salah satu aspek pengukuran praktik HAM ditentukan oleh tinggi-rendah aktualisasinya dalam kebebasan berorganisasi (association). Kian tinggi kebebasan warga negara dalam berorganisasi maka kian tinggi pula praktik penghormatan dan perlindungan HAM oleh negara pada warga negaranya, sebaliknya, kian rendah kebebasan ber-organisasi, maka sudah barang pasti kian rendah pula praktik HAM di suatu negara.Itulah sebabnya partai politik lahir sebagai instrumen penting bagi warga negara untuk berorganisasi. Bahkan ciri utama negara demokrasi adalah adanya kebebasan warga negara dalam berorganisasi sebagai pengejawantahan berkembangnya hak sipil dan politik.Bab 4 menguraikan tentang pendanaan partai politik dan faktor korupsi politik. Mencita-citakan pemerintahan yang bebas korupsi tidak bisa melupakan aspek penyokong pemerintah yang paling utama, yakni partai politik untuk melakukan reformasi menjadi institusi yang bersih pula. Salah satu problem mendasar dari perilaku korupsi politik di partai politik marak terjadi karena tak jelasnya model pengaturan tentang pendanaan partai politik baik dalam menjalankan roda organisasi internal partai politik maupun pendanaan pembiayaan saat pemilu berlangsung.Itulah sebabnya, pendanaan partai politik harus diatur secara cermat dalam halsumber pendapatannya, model

(9)

kepentingan konstituen dan politik lainnya. Hanya dengan mengatur secara cermat, rigid, dan sistematiklah partai politik akan dapat menjadi organisasi yang bersih dan kelak dapat melakukan fungsi kontrol jalannya pemerintahan dan juga menyiapkan visi-misi besar dan program kerja yang konkrit untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir demokrasi perwakilan.Bab 5 menguraikan tentang desain arsitektur sistem pemerintahan presidensial antikorupsi. Pengaturansistempemilu tahun 2009 dan pemilu tahun 2014 lalu telah menonfirmasi bahwa sistem peme-rintahan presidensial murni yang dianut di Indonesia pasca-amandemen UUD 1945 tak tepat (compatible) dengan pilihan model sistem kepartaian yang kita anut. Berikut ini akan lebih diperjelas lagi dengan sejumlah argumentasi dari perspektif hukum ketata-negaraan problematika yang akan dilahirkan akibat dari pilihan model sistem kepartaian tersebut yang berujung pada desain arsitektur sistem pemerintahan presidensial yang tak efektif dan berpotensi menyokong kuatnya korupsi politik di kalangan elite politik. Bab 6 menguraikan tentang desain arsitektur penyelamatanpartai politik dan perilaku korupsi politik. Menyelamatkan partai politik dari perilaku korupsi menjadi keniscayaan yang tak boleh ditawar lagi karena jika dibiarkan maka semakna dengan kita membiarkan negara ini berada dalam penyakit kronis akut yang membahayakan. Itulah sebabnya, setelah ditemukan faktor penyebab partai politik melakukan korupsi, maka diperlukan ikhtiar menemukan jalan kreatif menye-lamatkan partai politik dari perilaku korupsi politik melalui aneka reformasi pengaturan pendanaan partai politik, mulai dari perlunya alternatif pembiayaan organisasi partai dari dana APBN, akuntabilitas pendanaannya, memurahkan biaya pemilu, perlunya pengaturan larangan dinasti politik hingga pengaturan tentang pembiayaan pilkada dari APBN, bukan APBD.Bab 7 menguraian tentang desain pelembagaan partai politik antikorupsi. Cita-cita untuk melahirkan pemerintahan antikorupsi dalam perspektif hukum tata negara tak dapat dilepaskan dari kemauan untuk melakukan reformasi terhadap partai politik dan sistem kepartaian. Salah satu agenda penting yang harus dilakukan adalah melakukan upaya sistemik pembaruan model pelembagaan partai politik, yakni agar terjadi proses pemantapan

(10)

dalam sikap atau budaya(the process by wich the party becomes

established in terms of both of integrated patterns of behavior and attitude or culture).Bab 8menguraikan tentang desain arsitektur rekrutmen kader partai

politik di parlemen dan di eksekutif. Reformasi untuk mem-perbaiki model rekruitmen kader partai politik untuk menduduki jabatan politik di parlemen (DPR dan DPRD) dan di eksekutif (presiden dan kepala daerah) menjadi keniscayaan yang tak dapat ditawar lagi guna menyokong hadirnya pemerintahan yang antikorupsi. Berikut ini akan dikemukan sejumlah desain arsitektur tentang bagaimana sebaiknya model rekrutmen kader partai politik yang akan menempati posisi jabatan strategis dalam institusi kenegaraan, yakni di parlemen dan di eksekutif yang demokratis, bersih dan akuntabel.

Bab 9 menguraikan tentang desain arsitektur reformasi sistem pemilu

antikorupsi. Diperlukan desain arsitektur untuk mereformasi sistem pemilu agar jauh dari perilaku korupsi politik, dimulai dari realitas bahwa pemilu dengan suara terbanyak telah menjadi biang korupsi politik dan pemikiran alternatif mereformasinya menjadi kembali ke sistem nomor urut, mencoba alternatif sistem pemilu campuran, dan gagasan pemikiran tentang desain arsitektur ketatanegaraan masa depan. Berikut ini akan diuraikan secara lebih luas. Bab 10 meng-uraikan tentang desain arsitektur reformasi ketatanegaraan masa depan. Mencita-citakan sistem pemilu berintegritas alias antikorupsi tak dapat dilepaskan dari pertaliannya dengan penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berintegritas pula. Karena itu penting dilakukan reformasi desain arsitektur untuk menyeleksi KPU yang demokratis, akuntabel, dan antikorupsi.

Gagasan ini diperlukan karena KPU adalah lembaga urgen yang akan melaksanakan pemilu. Itulah sebabnya KPU perlu diperkuat dalam hal memahami dan menerjemahkan aneka produk UU Pemilu dalam peraturan teknis yang mudah dieksekusi dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan pemilu.Berikutnya agar penyelenggara pemilu dapat menggaransi penyelenggaraan pemilu yang bebas, adil, dan demokratis.

Selesainya buku ini dihadapan pembaca tidak lepas dari bantuan banyak pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terutama kepada bapak dan ibu saya, istri, dan anak serta guru-guru saya sejak

(11)

pada saya untuk terus menjadi manusia yang bermanfaat dan berguna bagi orang lain. Semoga buku ini dapat memberikan sumbangan pikiran kendati hanya sebatas biji zarah bagi upaya sistemik untuk terus berikhtiar memerangi korupsi dan bersama-sama bergandengan tangan untuk tetap optimis menyongsong masa depan Indonesia yang kian terus lebih baik.

Buku ini tidaklah sempurna, di sana-sini masih terdapat gagasan, pikiran yang dangkal, dan penulisannya yang belum ideal.Karena itu, saya sangat terbuka atas saran, masukan, dan kritik dari sidang pembaca yang budiman. Semoga Allah Swt selalu melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua.

Demikian, terimakasih.

Banyuanyar, Solo, Medio Maret 2017

Ttd

(12)

Pengantar Ahli ...

Assalamualaikum w.w.,

Pertama tama saya ucapkan selamat pada Dr. Agus Riwanto ditengah tengah kegiatan sebagai dosen di Fakultas Hukum Univer-sitas Sebelas Maret Surakarta, yang setiap hari disibukkan dengan banyak kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi, telah selesai me-nyelesaikan penyusunan sebuah buku yang dikemas dengan judul

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi, Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu.

Buku yang terdiri dari Sepuluh bab ini disamping merupakan potret penyelenggaraan hukum di Indonesia secara umum, namun juga memberikan gambaran secara khusus mengenai eksistensi Hukum Tata Negara Indonesia yang terselenggara pasca reformasi tahun 1998 yang mengusung sebuah semboyan antikorupsi, kolusi, dan nepotisme. Reformasi tahun 1998 tersebut nampaknya juga merupakan momentum “lahir kembalinya” Hukum Tata Negara dalam kancah nasional setelah keberadaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata di Indonesia.

(13)

bunga rampai Arsitektur Hukum Tata Negara antikorupsi karya saudara Dr. Agus Riwanto, yang juga dikenal sebagai penulis yang produktif diberbagai media cetak baik lokal maupun nasional.

Semoga buku ini bermanfaat bagi pembangunan hukum pada umumnya, serta Hukum Tata Negara khususnya dalam mewujudkan suatu tatanan negara yang ingin membebaskan diri dari cengkeraman penyakit bangsa yang sudah berurat-berakar ini.

Wassalamualaikum w.w.,

Jakarta, 17 Mei 2017

Prof. Dr. Jamal Wiwoho. S.H., M.Hum. Inspektur Jenderal Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia

(14)

Pengantar Penerbit ...

Isu korupsi telah menjadi perhatian nasional, karena kekayaan negara yang dihimpun dari sumber daya alam dan dana pajak rakyat dalam bentuk APBN dan APBD digerogoti oleh koruptor. Koruptor adalah para penguasa yang memanfaatkan jabatan yang mereka miliki. Dengan sistem yang teratur, penguasa di negara ini dilahirkan oleh partai politik, yang menjadi bukti bahwa negeri ini mengenyam sistem demokrasi. Hal ini menjadi bukti bahwa partai politik turut memiliki peran dalam adanya tindak korupsi, sehingga menyelamatkan partai politik dari perilaku korupsi menjadi keniscayaan yang tak boleh ditawar lagi.

Buku “Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi, Konsep

Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu.” ini memberikan pemikiran kritis secara teoritik dan sajian data

empirik tentang korupsi politik yang masih menjadi ancaman utama dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

(15)

sistem antikorupsi di pemerintahan, partai politik dan pemilu. Bab 2 menguraikan tentang partai politik, pemilu, peme-rintahan, dan korupsi politik. Bab 3 menguraikan tentang hak kebebasan berpolitik dan jaminan konstitusi. Tujuan dari bab ini adalah hendak mengaktualisasi secara teoritik hak asasi warga negara dalam kehidupan sosial dan politik di setiap negara menjadi ke-niscayaan, karena salah satu aspek pengukuran praktik HAM ditentukan oleh tinggi-rendah aktualisasinya dalam kebebasan berorganisasi

(association). Kian tinggi kebebasan warga negara dalam berorganisasi

maka kian tinggi pula praktik penghormatan dan perlindungan HAM oleh negara pada warga negaranya.Sebaliknya kian rendah kebebasan berorganisasi, maka sudah pasti kian rendah pula praktik HAM di suatu negara.Itulah sebabnya, partai politik lahir sebagai instrumen penting bagi warga negara untuk ber-organisasi. Bahkan ciri utama negara demokrasi adalah adanya kebebasan wargan negara dalam berorganisasi sebagai pegejawan-tahan berkembangnya hak sipil dan politik. Bab 4 menguraikan tentang pendanaan partai politik dan faktor korupsi politik. Bab 5 menguraikan tentang desain arsitektur sistem pemerintahan presidensial antikorupsi. Bab 6 menguraikan tentang desain arsitektur menyelamatkan partai politik dan perilaku korupsi politik. Bab 7 menguraian tentang desain pelembagaan partai politik antikorupsi. Bab 8 menguraikan tentang desain arsitektur rekrutmen kader partai politik di parlemen dan di eksekutif. Bab 9 menguraikan tentang desain arsitektur reformasi sistem pemilu antikorupsi. Bab 10 menguraikan tentang desain arsitektur reformasi ketatanegaraan masa depan.

Akhirnya atas terbitnya buku ini, selaku pihak yang menerbitkan, Intrans Publishing Group menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada penulis karena telah memberikan kepercayaan kepada kami dalam penerbitan dan publikasi karya yang sangat berharga ini. Buku ini diperuntukkan bagi mahasiswa yang sedang menempuh studi ilmu hukum baik S1, S2, hingga S3. Juga, para peneliti, dosen, pemangku kebijakan, serta masyarakat umum yang ingin memahami konsep hukum hak cipta.

(16)

Daftar Isi ...

Pengantar Penulis ... v Pengantar Ahli ... xi Pengantar Penerbit ... xiii Daftar Isi ... xv

Daftar Tabel ... xix Daftar Gambar ... xix

Bab Pertama: Urgensi Desain Arsitektur Sistem Antikorupsi di Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu ... 1

Bab Kedua: Partai Politik, Pemilu, Pemerintahan dan Korupsi Politik ... 9

A. Memahami Partai Politik dan Sistem Kepartaian ... 10 B. Memahami Sistem Pemilu ... 11

C. Memahami Sistem Pemerintahan ... 12 D. Memahami Pemerintahan Antikorupsi ... 16 E. Memahami Korupsi Politik ... 21

Bab Ketiga: Hak Kebebasan Berpolitik dan Jaminan Konstitusi ... 23

A. Korelasi HAM dan Partai Politik ... 23

B. Hak Berserikat dan Berpolitik Menurut UUD 1945 ... 25

(17)

A. Partai Politik dan Pendanaanya ... 30

B. Kelemahan Pengaturan Pendanaan Partai Politik ... 31 C. Faktor-faktor Korupsi Partai Politik ... 34

1. Partai Politik, Agen Penting Tanpa Kualitas ... 34 2. Pembiayaan Partai Politik Mahal ... 36

3. Pilihan Model Pemilu Tak Tepat ... 37 D. Pilihan Sistem Multi Partai Ekstrim ... 38

1. Multipartai Politik Ekstrim Pemilu 2009 ... 38 2. Multipartai Politik Ekstrim Pemilu 2014 ... 46

Bab Kelima: Desain Arsitektur Sistem Pemerintahan Presidensial Antikorupsi ... 54

A. Perlunya Dua Partai Politik ... 54

B. Perlunya Pelembagaan Partai Politik ... 60 C. Perlunya Sistem Pemilu Mayoritas (Distrik) ... 64

Bab Keenam: Desain Arsitektur Menyelamatkan Partai Politik dari Perilaku Korupsi Politik ... 70

A. Perlunya Reformasi Pendanaan Partai Politik ... 70 1. Perlunya Akuntabilitas Pendanaan Partai Politik ... 71 B. Perlunya Memperketat Syarat Parpol Peserta Pemilu ... 73 C. Perlunya Memurahkan Biaya Pemilu ... 73

D. Perlunya Pengaturan Lararangan Politik Dinasti ... 74 E. Perlunya Pendanaan Pilkada dari APBN ... 82

Bab Ketujuh: Desain Arsitektur Pelembagaan Partai Politik Antikorupsi ... 87

A. Konsep Pelembagaan Partai Politik ... 87 B. Model Pelembagaan Partai Politik ... 88 C. Penguatan Pelembagaan Partai Politik ... 90 D. Pelembagaan Partai Politik di Akar Rumput ... 91

(18)

F. Pelembagaan Partai Politik di Internal ... 95

Bab Kedelapan: Desain Arsitektur Rekrutmen Kader Partai Politik di Parlemen dan di Eksekutif Antikorupsi ... 98

A. Tujuan Mendemokratiskan Rekrutmen ... 98

B. Penerapan Prinsip Demokrasi Penentuan Calon ... 102 C. Mendemokratiskan Kepengurusan Partai Politik ... 104 D. Mendemokratisasikan Penentuan Capres/Cawapres ... 105 E. Mendemokratiskan Penentuan Caleg DPR dan DPRD ... 108 F. Mendemokratiskan Penentuan Calon Kepala Daerah ... 110 G. Reformasi Pendanaan Seleksi Calon ... 112

H. Mendemokratiskan Waktu, Visi, Misi dan Shadow Cabinet ... 113

I. Perlunya Pengaturan Seleksi Demokratis ... 114

Bab Kesembilan: Desain Arsitektur Reformasi Sistem Pemilu Antikorupsi ... 117

A. Pemilu Suara Terbanyak Biang Korupsi Politik ... 117 B. Arsitektur Reformasi Pemilu Antikorupsi ... 123

1. Sistem Nomor Urut ... 123 2. Sistem Pemilu Campuran ... 124

C. Desain Arsitektur Reformasi Ketatanegaraan Masa Depan ... 125

Bab Kesepuluh: Desain Arsitektur Reformasi Seleksi Penyelenggara Pemilu Antikorupsi ... 129

A. Eksistensi KPU Menurut UUD 1945 ... 131

B. Kriteria Penyelenggara Pemilu Internasional ... 133 C. Evaluasi Seleksi KPU Tahun 2001, 2007 dan 2012 ... 138

D. Model Seleksi KPU, KPU Prop dan KPU Kab/Kota di Hulu ... 142

1. Model Pembuatan Tim Seleksi ... 143 2. Syarat Aggota Tim Seleksi ... 144 3. Mekanisme Kerja Tim Seleksi ... 144 4. Luaran Hasil Kinerja Seleksi di Hulu ... 145

(19)

1. Model Seleksi KPU RI di DPR RI ... 146 2. Model Seleksi KPU Provinsi dari Hulu ... 147 3. Model Seleksi KPU Kabupaten/Kota di Hulu ... 148

4. Luaran Hasil Kinerja Seleksi KPU Prop dan KPU Kab/Kota di Hilir ... 149

F. Model Seleksi KPU, KPU Prop dan KPU Kab/Kota Berkala ... 150

G. Masa Kerja KPU RI, KPU Prop, KPU Kab/Kota Pemilu Serentak ... 150

Daftar Pustaka ... 152 Tentang Penulis ... 169

(20)

Daftar Gambar ...

Gambar 1. Identiats Parpol Peserta Pemilu 2014 ... 52

Daftar Tabel ...

Tabel 1. Pandangan Partai Politik Soal RUU Pemilu ... 48 Tabel 2. Perbedaan Praktek Sistem Kepartaian, Pemilu,

Pemerintah, dan Implikasinya di Dunia ... 69

Tabel 3. Model Ideal Pelembagaan Partai Politik dan Sistem Kepartaian ... 96

Tabel 4. Pemilu Inkonstitusionalitas ... 119

Tabel 5. Implikasi Negatif Pemilu Suara Terbanyak ... 122 Tabel 6. Desain Arsitektur Ketatanegaraan Indonesia Masa

(21)
(22)

Belakangan ini, isu korupsi menjadi perhatian nasional, karena kekayaan negara yang dihimpun dari sumber daya alam dan dana pajak rakyat dalam bentuk APBN dan APBD digerogoti oleh koruptor. Korupsi tidak lagi di pusat kekuasaan, akan tetapi telah merambah ke daerah. Institusi Partai Politik (Parpol) tengah menjadi perhatian publik di Indonesia, karena perilaku korupsi yang dilakukan oleh elite Parpol yang tengah memegang jabatan dalam struktur Parpol (pusat, provinsi, kabupaten, dan kota), di parlemen (DPR RI dan DPRD Propinsi, Kabupaten/Kota), maupun di level pemerintah yang berkuasa (menteri/gubernur/bupati/walikota). Menjadi kian jelas, bahwa partai politik adalah agen korupsi sistemik di negeri ini, bahkan “biangnya korupsi”.

Dalam sidang pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) terhadap sejumlah elit politik yang melakukan korupsi terungkap sejumlah fakta bahwa korupsi tidak dilakukan sendiri melainkan melibatkan struktur partai politik, Anggota DPR, pengusaha dan birokrasi. Artinya, model korupsi politik ini amatlah sistemik dan melibatkan jejaring mafia yang kuat.

... Bab Pertama ...

Urgensi Desain Arsitektur Sistem

Antikorupsi di Pemerintahan,

(23)

Modus operasi korupsi politik di parlemen persis seperti disinyalir oleh sejumlah LSM Antikorupsi (ICW, IBC, PSHK, dan Yappika, 2011). Ditemukan fakta, terdapat 5 celah potensi korupsi yang dilakukan elit Parpol terutama di DPR. Pertama, berkaitan dengan kewenangan DPR dalam menyusun dan menetapkan APBN. Badan Anggaran DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR memiliki kewenangan luar biasa dalam menentukan jatah kue APBN untuk kementerian dan lembaga negara. Termasuk penerimaan hibah atau pajak negara. Bahkan, Banggar dapat menentukan perusahaan-perusahaan mana yang akan melaksanakan sejumlah proyek di kementerian. Kondisi tersebut rentan akan praktik penyimpangan. Banggar powerfull dalam menentukan besar kecilnya anggaran, masuknya program-program baru, kalau ada perubahan anggaran sering kali modusnya mark up.

Kedua, proses penyusunan anggaran yang tidak transparan dan

cenderung tertutup mulai dari perencanaan hingga tahap penetapan. Rapat-rapat Banggar terkait anggaran sering kali tidak tertib; ada yang dibahas di DPR, ada juga yang di luar forum di Senayan. Tentu spiritnya menjauhkan pemantauan publik. Ketiga, munculnya pos alokasi dana di luar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam undang-undang itu sebenarnya hanya dikenal Dana Perimbangan. Namun, beberapa waktu lalu Banggar memunculkan alokasi dana di luar ketentuan resmi bernama Dana Penyesuaian dan Percepatan Pembangunan. Ini berawal dari celah antara pendapatan dan belanja negara. Sehingga selisihnya sering dimanfaatkan mafia anggaran untuk dialokasikan dengan alasan untuk daerah. Padahal tidak ada di undang-undang. Keempat, tidak adanya rapat dengar pendapat umum yang melibatkan masyarakat dalam pembahasan rancangan undang-undang APBN. Padahal umumnya pengesahan suatu RUU harus melalui RDPU dengan masyarakat. Ini berdampak pada pembahasan yang cenderung elitis, kental nuansa politik, dan tertutup. Kelima, korupsi di bidang legislasi dilakukan dengan mengorupsi pasal-pasal tertentu melalui transaksi jual-beli pasal untuk memenangkan kelompok ekonomi-politik dominan. Tak aneh jika Hasil Survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dilakukan di 16 Negara Asia Pasifik pada Juli 2015-Januari 2017 kepada 22.000 responden (untuk Indonesia survei berlangsung pada 26 April-27 Juni 2016 dengan 1.000 responden di 31 Provinsi), cukup

(24)

mencegangkan. DPR dianggap sebagai institusi yang paling korup.1

Hasil survei di atas terus konsisten dengan sejumlah lembaga survei yang selalu menempatkan Parpol sebagai institusi korup. Transparancy

International yang berbasis di Berlin, Jerman, misalnya, merilis Global Corruption Barometer tahun 2013 yang menempatkan Indonesia sebagai

salah satu dari 107 negara yang disurvei. Hasilnya lima lembaga publik dikategorikan sebagai lembaga terkorup, yaitu kepolisian (4, 5), parlemen (4, 5), pengadilan (4, 4), partai politik (4, 3) dan pegawai negeri sipil (4,0).2

Itulah sebabnya kepercayaan publik pada Parpol sangat rendah akhir-akhir ini. Lihatlah, misalnya, hasil survei Political

Communica-tion Institute (Polcomm Institute) yang dirilis pada 9 Februari 2014,

mayoritas publik tidak memercayai partai politik (Parpol). Persentasi publik yang tidak percaya Parpol yakni sebesar 58,2 persen. Kemudian yang menyatakan percaya sebanyak 26,3 persen, dan 15,5 persen menyatakan tidak tahu. Tingkat kepercayaan publik ini dipengaruhi oleh krisis yang dialami sejumlah partai politik.

Terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan krisis keper-cayaan masyarakat terhadap Parpol. Pertama, banyaknya kader Parpol yang terjerat kasus korupsi. Kedua, konflik internal partai yang muncul di publik. Ketiga, adanya pelanggaran etika yang dilakukan kader Parpol.3

Sedangkan hasil survei Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, pada Oktober 2012, menyatakan bahwa 70 persen publik Indonesia sangat mempercayai demokrasi sebagai sistem politik yang tepat bagi Indonesia dibandingkan dengan sistem yang lain. Namun hanya 23 persen publik Indonesia yang percaya pada Parpol, karena Parpol berperilaku paradoks: koruptif dan tak mampu mengartikulasikan kepentingan konstituennya.4

Beberapa hasil survei itu hanyalah contoh dari survei-survei tentang perilaku Parpol setiap tahunnya tak lebih baik, bahkan cenderung menurun. Karena itu, cerita tentang buruknya perilaku

1 IAN/APA/AGE/MDN/DIM/RWN, 2017, “DPR Jadi Lembaga Terkorup”, Kompas,

hal, 1.

2 Reza Syawawi, 2013, “Barometer Korupsi Indonesia”,Kompas, 24 Juli 2013, hal, 7. 3 Survei: Mayoritas Publik Tak Percaya Partai Politik, Kompas, Minggu, 9 Februari 2014. 4 Firman Noor, “Demokrasi Yes, Parpol No”, Koran Sindo, 12 Oktober 2012, hal, 7.

(25)

Parpol melalui hasil survei itu, sungguh menampar eksistensi Parpol di mata publik. Karena tampaknya publik menghendaki demokrasi, namun antipati pada Parpol atau demokrasi yes, Parpol no. padahal menjalankan demokrasi tanpa Parpol adalah sesuatu yang mustahil sebagaimana dinyatakan oleh Intelektual politik Amerika Serikat Clinton Rossister, “No democracy without politics and no politics

without parties”.5

Jika direfleksikan secara mendalam, sebab utama partai politik menjadi biang korupsi politik di negeri ini, paling tidak karena dua hal. Pertama, untuk mengembalikan modal saat kampanye dalam Pemilu 2009 dan persiapan menuju Pemilu 2014. Perubahan sistem Pemilu 2009 dan 2014 mendatang, menggunakan model mekanisme penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Kampanye dalam sistem Pemilu ini tidak pernah melibatkan partai politik, karena itu berbiaya mahal dan boros. Para caleg lebih mengutamakan pencitraan diri lewat iklan di media massa, melalui spanduk, bener, poster aneka bentuk media komunikasi lainnya, seperti TV dan radio. Bahkan Pemilu tahun 2009 dan 2014 lalu menarik dicermati karena di tahun inilah era kebangkitan munculnya aneka konsultan politik dan lembaga survei sebagai bagian yang tak terelakkan dalam kampanye.6 Kedua, tak jelasnya model pembiayaan organisasi partai

politik untuk survavilitas partai. Sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai tak terbatas. Pada saat bersamaan, partai adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba. Partai adalah institusi nirlaba, tetapi melibatkan investasi tak terhingga. Sementara mengandalkan subsidi negara melalui bantuan APBN untuk partai politik tak mencukupi dan iuran anggota partai tak memadai. Maka tak ada cara lain selain harus memanfaatkan kader-kader partai politik di DPR untuk menjadi agen partai dalam mengisi kekosongan kas keuangan partai, begitu pula kader-kader partai yang menduduki jabatan menteri, staf ahli menteri, dan utusan khusus menteri yang sebisa mungkin dapat menggelontorkan pundi-pundi uang ke kas partai, tentu saja dengan memanfaatkan jabatan yang dimilikinya.

5 Clinton Rossiter, 1960, Parties and Politics in America, Cornell University Press, Ithaca, N.Y, hal, 1.

6 Lihat, Pramono Anung Wibowo, 2013, Mahalnya Demokrasi, Memudarnya Ideologi Potret Komunikasi Politik Legislator-Konstituen, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

(26)

Perkiraan besar belanja satu partai per tahun sekitar Rp51,2 miliar, sedangkan pendapatan Parpol hanya berkisar Rp1,2 miliar. Pemasukan Parpol dari subsidi negara hanya Rp0,6 miliar, sisanya didapat dari iuran perseorangan bukan anggota partai dan anggota partai. Mengandalkan pada iuran anggota partai sulit dilaksanakan dan dapat memenuhi target kebutuhan partai, selain karena tak ada mekanisme yang jelas serta jumlah yang pasti melalui pengaturan AD/ART partai. Itulah sebabnya sumber dana partai yang paling favorit adalah memanfaatkan dana-dana nonformal yang cenderung gelap dan haram.

Fenomena maraknya korupsi politik yang dilakukan politisi ini jauh lebih berbahaya dari korupsi biasa, karena korupsi model ini memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk tujuan mem-perkaya diri dan tentu saja dilakukan dengan jejaring yang sempurna dan penuh intrik politik. Karena itu, korupsi politik merupakan kejahatan yang dapat diketegorikan sebagai “pelanggaran hak asasi manusia (HAM)”, karena dapat berdampak pada politik, berupa ketidakadilan politik, dan hilangnya pendidikan politik; tumpulnya wibawa kedaulatannya, serta tragikomis atau membuat lingkaran setan, rakyat kehilangan tempat mengadu sehingga menimbulkan krisis keadilan.

Korupsi politik yang dilakukan partai politik ini memperjelas tesis bahwa demokrasi yang kita anyam selama ini telah gagal, karena disandera para koruptor dari partai politik. Sebab demokrasi terwujud dalam bentuk Pemilu, maka aktor utama Pemilu adalah partai politik. Jika aktor utamanya korup, dipastikan Pemilu dan demokrasinya juga terkontaminasi perilaku korup. Dengan demikian, maka dipastikan pemerintahan yang terwujud dari hasil Pemilu juga merupakan pemerintahan yang tak bersih. Bila negeri kita ingin segera keluar dari kubangan penyakit korupsi sistemik, maka membebaskan dan menyelamatkan partai politik, sistem Pemilu, dan pemerintahan dari perilaku korupsi adalah jalan utama yang mesti ditempuh.

Di sinilah relevansi perlunya ikhtiar bersama untuk menye-lamatkan Parpol dari korupsi, agar Parpol dapat menjadi agen penting demokrasi terutama dalam menjalankan fungsi-fungsi vitalnya bagi pelembagaan demokrasi dan penguatan kapasitas keterlibatan Parpol dalam ikut serta mengkontrol jalannya pemerintah yang

(27)

antikorupsi. Itulah pula sebabnya mengapa jika hendak memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang antikorupsi, tak ada jalan lain kecuali mengubah watak sistem kepartaian dan sistem Pemilu menjadi sebuah desain arsitektur yang tepat sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Instrumen yang tersedia untuk menatanya adalah melalui perubahan pengaturannya secara sistematis dan cermat dari perspektif hukum tata negara.

Dalam perspektif arsitektur ketatanegaraan, secara teoritik, sistem pemerintahan yang dianut di suatu negara sesungguhnya adalah merupakan hasil dari kesepakatan para aktor politik yang telah terpilih melalui Pemilu yang duduk di parlemen sebagai wakil rakyat sekaligus wakil dari Parpol pengusungnya. Sistem pemerintahan merupakan bagian-bagian dari pemerintahan (semua organ kekuasaan). Masing-masing mempunyai tugas dan fungsi sendiri-sendiri. Namun secara keseluruhan, bagian-bagian (organ-organ negara) itu merupakan suatu kesatuan yang harus padu bekerja sama secara rasional. Pada hakikatnya, membicarakan sistem pemerintahan berarti membicarakan sistem kerja (fungsi) pemerintahan yang dilakukan oleh presiden dalam hubungannya dengan sistem kerja (fungsi) lembaga lainnya.7

Sistem pemerintahan terbagi atas tiga bentuk, yakni sistem pemerintahan presidensil, parlementer, dan campuran yang kadang-kadang disebut “kuasi presidensil” atau “kuasi parlementer”.8 Hampir

semua pakar hukum tatanegara menyepakati adanya tiga sistem pemerintahan yang lazim dipraktikkan di dunia, yakni presidensil, parlementer, dan campuran keduanya. Namun berbeda dalam penyebutan sistem pemerintahan yang ketiga, misalnya: Jimly Assidiqie menyebut “kuasi presidensil” atau “kuasi parlementer”. Moh. Mahfud MD,9 menambah bentuk ketiganya adalah referendum.

Denny Indryana,10 menambahnya menjadi sistem kolegial, monarki,

dan sistem campuran (hybrid).

7 Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Nusamedia-UIN Suska, Bandung, hal, 16.

8 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah(Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara), Cet.1, (Jakarta: UI-PRESS, 1996), hlm. 59.

9 Moh.Mahfud MD, 2000, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal, 74

10 Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum

(28)

Dalam teori ilmu negara dan ilmu politik dibedakan dalam tiga hal yakni sistem pemerintahan berbeda dengan bentuk pemerintahan dan berbeda pula bentuk negara. Bentuk pemerintahan ada dua: republik dan kerajaan. Bentuk negara terbagi tiga, kesatuan, federal, dan konfederasi. Meski berbeda, sistem pemerintahan mempunyai korelasi kuat dengan bentuk pemerintahan. Presidensial adalah sistem pemerintahan dalam bentuk republik. Sedangkan pemerintahan kerajaan, sistem pemerintahannya monarki. Korelasi yang serupa, tidak ada antara sistem pemerintahan dengan bentuk negara. Sistem pemerintahan presidensial terdapat di bentuk negara kesatuan, federal ataupun konfederasi.11

Partai Politik (Parpol) adalah aktor penting dalam demokrasi di sebuah negara. Demokrasi terwujud dalam bentuk Pemilu, aktor utama Pemilu adalah Parpol. Parpol juga merupakan aktor utama dalam demokrasi yang menghubungkan kepentingan rakyat dengan negara dan pemerintah,12 terutama dalam level demokrasi elektoral

(electoral democracy) dan demokrasi politik (political democracy). Keduanya

mencermin demokrasi perwakilan (representation democracy). Sedangkan Pemilu adalah aspek penting dalam demokrasi yang digunakan dalam proses pergantian kekuasaan politik secara berkala dan berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi politik publik yang luas. Sehingga mampu melahirkan pergantian kekuasaan politik atas dasar prosedur demokrasi dan persetujuan rakyat. Oleh karena itu antara sistem pemerintahan, sistem kepartaian, dan sistem Pemilu merupakan tiga pilar negara yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya merupakan satu kesatuan utuh dalam desain arsitektur ketatanegaraan. Di Indonesia, demokrasi dimaknai sebagai kedaulatan berada di

tangan rakyat yang disistematisasikan ke dalam ideologi negara yaitu

Pancasila, yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai pilarnya yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan martabat dan harkat kemanusiaan. Prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila terangkum dalam sila keempat. Pancasila, dapat dilihat terdiri dari sila pertama sebagai sila dasar, sila kedua sebagai pancaran sila pertama, sila ketiga sebagai wahana, sila keempat sebagai cara, dan

11 Ibid., hal, 192.

12 Lihat, H.A. Mukthie Fadjar, 2008, Parpol Dalam Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia, In-TRANS Publising, Malang, hal, 16-17.

(29)

sila kelima sebagai tujuan.13 William M. Reisinger, membuat sejumlah

variabel tentang demokrasi, salah satunya adalah model kompetisi dalam mengejar kekuasaan melalui Pemilu dan mengizinkan partisipasi massa yang adil.14

Miriam Budiharjo, menuturkan enam syarat pemerintahan demokratis salah satunya adalah adanya pemilihan umum yang bebas.15 Jimly Asshidiqie juga menyatakan bahwa salah satu ciri

negara hukum adalah negara yang bersifat demokratis dan adanya pembatasan kekuasaan (Pemilu).16 Eksistensi Parpol sangat penting

bukan saja karena merupakan peserta Pemilu, akan tetapi juga merupakan agen penting dalam relasi simbolik antara rakyat dan pemerintah.

13 Fatkhurrohman, 2010, Pembubaran Partai Politik di Indonesia, Tinjauan Historis Normatif Pembubaran Parpol Sebelum dan Sesudah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Malang, hal, 14-15.

14 William M. Reisinger, 2004, “Selected Definitions of Democracy” sebagaimana dikutip oleh Suyatno, 2004, Menjelajahi Demokrasi, Liebe Book Press, Yogjakarta, hal 33. 15 Mirriam Budiaardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, hal 60. 16 Jimly Assidiqqie 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hal, 154-162.

(30)

Untuk mendalami tentang desain arsitektur ketatanegaraan diperlukan pemahaman yang cukup mengenai korelasi antara tiga pilar pentingnya, yaitu partai politik, sistem Pemilu, dan sistem pemerintahan. Ketiganya merupakan satu kesatuan sistemik yang tak boleh dipisahkan karena partai politik merupakan aktor utama demokrasi perwakilan yang merupakan peserta Pemilu. Hasil Pemilu kelak menentukan konstelasi politik di lembaga perwakilan (parlemen) dan sistem pemerintahan merupakan kesepakatan elit partai politik yang ada di parlemen. Itulah sebabnya, ketiganya merupakan organ penting dalam desain besar ketatanegaraan.

Ketika hendak mencita-citakan pemerintahan yang bersih atau antikorupsi, maka tak akan berhasil jika hanya mereformasi aparatur pemerintahan, melainkan juga harus mereformasi institusi partai politik dan sistem Pemilunya. Formasi ketatanegaraan sangat ditentukan oleh ketiga pilar ini. Untuk itulah maka pertama-tama perlu dipahami secara utuh tentang partai politik, Pemilu, dan pemerintahan yang dikaitkan dengan konsep korupsi politik.

... Bab Kedua ...

Partai Politik, Pemilu,

(31)

A. Memahami Partai Politik dan Sistem Kepartaian

Partai politik berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yakni pars yang artinya “bagian” atau “bagian dari keseluruhan”. Karena itu partai politik adalah perkumpulan orang-orang yang seazas, sehaluan, dan setujuan yang berikhtiar untuk memenangkan dan mencapai cita-cita politik dan sosial mereka secara bersama-sama.1

Basis sosiologis Parpol adalah pada dua hal, yakni ideologi dan kepentingan yang diarahkan pada usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan. Tanpa kedua elemen ini, maka Parpol tidak akan mampu mengidentifikasi dirinya dengan para pendukungnya.

Peran penting Parpol di samping untuk membentuk struktur sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara juga untuk membentuk sistem formasi dan kontelasi politik di parlemen. Keduanya dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu) yang mengandung asas dan prinsip-prinsip demokrasi secara universal.

Dalam khazanah ilmu politik dibedakan antara Parpol dan sistem kepartaian. Pembedaan ini ditujukan untuk memperjelas dalam menganalisis fungsi, peran, dan modelnya dalam sebuah sistem demokrasi. Terutama dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang-tindih antara keduanya. Herbert Kitschelt, membedakan tiga tipe Parpol: partai program (programmatic party), partai kharismatik (charismatic

party), dan partai klientalistik (clientalistic party).2

Tipologi sistem kepartaian diukur berdasarkan pada struktur kepartaian di sebuah negara terutama hubungannya dengan partai-partai yang lain: apakah bersifat kerja sama atau berkompetisi. Ada tiga faktor yang memengaruhi sistem kepartian yaitu: (1) tingkat fragmentasinya; (2) tingkat polarisasinya dan (3) tingkat insti-tusionalisasinya (pelembagaannya). Sebagian ahli ilmu politik melihat hanya ada dua faktor yakni fragmentasi dan polarisasinya untuk mengukur jarak ideologi antara partai di sebuah negara.3

1

Nn.http://mediappr.wordpress.com/2007/09/13/pengantar-dasar-partai-politik-dan-demokrasi/. Diakses pada 23 Maret 2011.

2 Aurel Croissant and Wolfgang Merkel,”Political Party Formation in Presidential and Parliamentary System” dalam http://library.tes.de/pdf-files/bueros/philippinen/50072.pdf. Diakses pada tanggal, 4 April 2011, pukul 13.54 Wib.

3 Scott Mainwaring and Timothy R. Scully, eds.,1995, Building Democratic Institutions:  Party Systems in Latin America. Stanford: Stanford University Press, hal, 1.

(32)

B. Memahami Sistem Pemilu

Arus globalisasi telah membawa dampak pada perubahan sistem politik di seluruh dunia, salah satunya adalah sistem Pemilu yang digunakan. Sistem global berkonsekuensi perlunya meng-harmonisasikan antara sistem untuk dapat saling berinteraksi secara global dalam aktivitas ekonomi, politik, sosial, dan hukum men-jangkau seluruhnya (are stretching out across the globe).4 Praktik sistem

Pemilu di negara manapun tidaklah kedap dari pengaruh global, maka dapat dikatakan kini telah terjadi semacam globalisasi Pemilu dalam Pemilu global.5

Dalam Pemilu, sesungguhnya, terdapat perbedaan antara sistem Pemilu (electoral laws) dengan proses Pemilu (electoral process). Menurut Douglas, Rae electoral laws adalah:

“thoses which govern the process by which electoral preferences are articulate as votes and by which these votes are translated into distribution of governmentatl authority (typicall parliamentary seats) among the competing political parties”.

Artinya, sistem pemilihan (electoral laws) dan aturan yang menata, ialah bagaimana Pemilu dijalankan serta distribusi hasil pemilihan umum. Sementara electoral process adalah mekanisme yang dijalankan di dalam Pemilu, seperti misalnya mekanisme penentuan calon, cara berkampanye dan lain-lain.6

Secara garis besar, dikenal dua macam sistem yang secara mayoritas digunakan di dunia, yaitu: (1) sistem proporsional dan (2) sistem nonproporsional atau sistem distrik.7 Paling tidak, terdapat

empat rumpun keluarga di dalam sistem Pemilu, yaitu: (1) sistem pluralitas/mayoritas (plurality/majority system); (2) sistem perwakilan proporsionalitas (proporsional representation system); (3) sistem campuran

(mixed system), dan (4) sistem-sistem yang lain (other systems).8 4 Larry Cata Backer, 2007, Harmonizing Law in an Era of Globalization, Convergence, Divergence and Resistance, Carolina Academic Press, USA, hal, 3-26.

5 M. Marsh, 2002, “Electoral Context”, in Electoral Studies Journal, No.21: 2002, Pp. 207-217.

6 Ni’matul Huda, 2010, Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta, hal 278.

7 Aurel Croissant, 2002, “Intruduction” in Electoral politics in Southeast & East Asia, (Ed): Aurel Croissant, Friedrich-Ebert-Stiftung, Office for Regional Co-operation in Southeast Asia, Singapore, hal, 7.

8 Pippa Norris, 2007,”Choosing Electoral System: Proportional, Majoritarian and Mixed System”, in International Political Science Review, Vol.18, No.3, p.299.

(33)

C. Memahami Sistem Pemerintahan

Untuk memudahkan pemahaman sistem pemerintahan maka akan diuraikan tiga model sistem pemerintahan yang lazim di-praktikkan di dunia, yakni sistem parlementer, sistem presidensial, dan campuran keduanya. Karakter sistem pemerintahan parlementer menurut Douglas V.Verney ada sebelas, yakni:9

1. The asembly becomes a parlement 2. The executive is divided into two parts

3. The head of state appoints the head goverment 4. The head of goverment appoints the ministry 5. The ministry (or goverment) is acollective body 6. Ministers are usually members of parlement

7. The government is politically responsible to the assembly

8. The head of government may advice the head of state to dissolve parlement 9. Parlement as awhole is supreme over its constituent parts, goverment and

assembly, neither or which may dominate the other

10. The government as a whole is only indirecly responsible to the electorate 11. Parlement is the focus of power in the political system.

Adapun sistem presidensial menurut Douglas V Verney juga memiliki sebelas ciri, yaitu:

1. The assembly remains an assembly only

2. The executive is not divided but is president elected by the people for definite

term at the time of assembly elections

3. The head of the government is head of the state

4. The president appoints heads of departments who are his subordinates 5. The president is sole executive

6. Members of the assembly are not eligible for office in the administration

and vice versa

7. The executive is responsible the constitution

8. The president cannot dissolve or coerce the assembly

9 Douglas V. Verney, 1979, “Parlementary Government And Presidential Government” in Arend Lijphard (eds), 1992, Parlementary Versus Presidential Government, Oxford University Press, hal, 31-40.

(34)

9. The assembly is ultimately supreme over the other branches of government

and there is no fusion of the executive and legislative branches as in a parliament

10. The executive is directly responsible to the electorate 11. There is no focus of power in the political system.10

Sedangkan karakter sistem pemerintahan presidensial memiliki sembilan karakter, yakni:11

1. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.

2. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja.

3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan. 4. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau

sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya.

5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya.

6. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen. 7. Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen,

maka dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi.

8. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat.

Sedangkan, Denny Indrayana hanya membedakan karakter utama antara sistem parlementer dan presidensial dalam tiga hal pokok saja.12 Karakter parlementer adalah (1) ada kepala negara yang

perannya hanya simbolik dan seremonial, mempunyai pengaruh politik (political influence) yang amat terbatas. Kepala negara mungkin seorang presiden sebagaimana di Jerman, India dan Italia, meski di

10 Ibid., hal, 40-47.

11 Jimly Assiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu, hal, 316.

(35)

Jepang adalah kaisar atau ratu di Inggris. (2) Cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana menteri atau kanselir, yang bersama-sama dengan kabinet, adalah bagian dari parlemen, dipilih oleh parlemen dan setiap saat dapat diberhentikan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. (3) parlemen dipilih melalui Pemilu yang waktunya bervariasai, ditentukan oleh kepala negara berdasarkan masukan dari perdana menteri atau kanselir.

Negara-negara yang menerapkan sistem parlementer, masih terdapat perbedaan-perbedaan mendasar. Ketidaksamaan tersebut dipengaruhi beberapa faktor: (1) perbedaan jenis parlemen, apakah unikameral atau bikameral, termasuk perbedaan sistem pemilihan anggota kamar kedua (second chamber). (2) Perbedaan kekuatan eksekutif untuk membubarkan parlemen dan mempercepat Pemilu, serta sebaliknya perbedaan kekuatan parlemen untuk member-hentikan perdana menteri. (3) Perbedaan adanya kewenangan judicial

review. Di Inggris kewenangan demikian tiada, karena kedaulatan

parlemen yang supreme. (4) Perbedaan jumlah dan tipe Parpol.13

Karakter sistem presidensial adalah (1) presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan; (2) presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi langsung dipilih oleh rakyat (popular elected). (3) presiden bukan bagian dari parlemen, dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen, kecuali melalui proses pemakzulan (impeachment); (4) presiden tidak dapat membubarkan parlemen.14

Menurut Duchacck, perbedaan utama antara sistem presidensial dan parlementer pada pokoknya menyangkut empat hal, yaitu: 1) Terpisah tidaknya kekuasaan seremonial dan politik (fusion of

ceremonial and political powers).

2) Terpisah tidaknya personalia legislatif dan eksekutif (separation of

legislatif and eksekutif personels).

3) Tinggi rendahnya corak kolektif dalam sistem pertanggung-jawbannya (lack of collective responsibility).

4) Pasti tidaknya jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan

(fixed term of office).15 13 Denny Indrayana, Op.Cit, hal, 198 14 Ibid., hal 198.

15 Ilham Endra, “Sistem Pemerintahan” dalam http://ilhamendra.wordpress.com/2009/ 03/12/sistem-pemerintahan/. Diakses pada tanggal, 21/11/2010.

(36)

Karakter sistem pemerintahan campuran antara presidensial dan parlementer memiliki ciri sebagaimana dinyatakan oleh Rod Haque dan Martin Harrop.

“….Semi-Presidenial government combines an elected President performing political tasks with a prime minister who heads a cabinet accountable to parliament. The prime minister, usually appointed by the Presiden, is responsible for day-to-day domes-tic government (including relations with the assembly) but the President  retains  an  oversight  role,  responsi­bility  for  foreign affairs, and can usually take emer­gency powers…”.16

Sistem campuran atau semi-presidensial ialah mengombinasikan peran Presiden terpilih untuk melaksanakan tugas politis dengan seorang Perdana Menteri yang mengepalai Kabinet dari sebuah Parlemen. Perdana Menteri yang biasanya ditunjuk oleh Presiden bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pemerintahan domestik atau harian. Sementara, Presiden mengambil peran yang lebih umum, bertanggung jawab terhadap urusan luar negeri, dan biasanya dapat mengambil kekuasaan-kekuasaan yang sifatnya darurat. Jadi pada sistem campuran ini kedudukan Presiden tidak hanya sebagai serimonial saja, tetapi turut serta di dalam pengurusan pemerintahan, adanya pembagian otoritas di dalam eksekutif.17

Model sistem pemerintahan semi presidensial atau campuran antara presidensial dan parlementer ini dipraktikkan di Perancis dan memiliki karakter sebagai berikut:

1) Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu dan dapat dipilih kembali;

2) Ada jabatan dewan Menteri yang dipimpin Perdana Menteri yang terpisah dari jabatan presiden;

3) Baik presiden maupun kabinet sama-sama mempunyai kekuasaan riil atas penyelenggaraan pemerintahan.

4) Perdana Menteri dan Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.18

16 Ibid., hal, 6 17 Ibid., hal, 7

18 Lili Romli, 2002, “Memantapkan Sistem Pemerintahan: Salah Satu strategi Mengatasi Krisis Politik di Indonesia”, dalam Riza Sih Budi dan Moch. Nurhasim, Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, AIPI, Jakarta, hal, 182

(37)

Sesungguhnya tidak ada rumus baku bahwa satu sistem pemerintahan adalah yang terbaik. Setiap negara dapat memilih dari beberapa alternatif, dengan mempertimbangkan sejarah bangsanya, pengalaman negara lain, dan kebutuhan khas negara yang bersangkutan. Perpaduan tiga elemen itu melahirkan pemerintahan yang variatif dalam praktik, meskipun tetap dapat diketahui warna dominan sistem pemerintahan negara.19

D. Memahami Pemerintahan Antikorupsi

Aneka model sistem pemerintahan yang dianut oleh berbagai negara di dunia tersebut oleh beberapa ahli ilmu politik dikategorikan sebagai implementasi rekayasa desain institusi demokrasi.20

Dalam praktik penggunaan model sistem pemerintahan demi mengakhiri transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi dan stabilitas demokrasi terjadi perdebatan antara para ahli di antaranya adalah Juan J. Linz21 yang berpendapat bahwa penggunaan model

sistem pemerintahan presidensial tidak mendukung stabilitas demokrasi, terutama dalam praktik di Amerika Latin, lebih tepat dengan sistem parlementer karena: (1). sistem presidensial ini tidak fleksibel atau kaku (rigidly); (2) adanya legitimasi ganda antara presiden dan parlemen yang sama-sama dipilih oleh rakyat (duel legitimacy); (3) adanya sistem pemilihan langsung menyebabkan “winner take all” (pemenang mengambil semua) akhirnya mengecualikan kelompok-kelompok di pemerintahan; (4) desain konstitusi yang memberi kekuasaan lebih besar pada presiden daripada parlemen. Akibatnya sering melahirkan presiden yang diktator, bahkan acapkali ke-kuasaan diambil alih kaum militer. Sehingga membahayakan sistem presidensial (peril of presidentialism).

19 Denny Indrayana, 2012, “Sistem Presidensial Yang Adil dan Demokratis”, Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Diucapkan di depan Rapat Terbuka majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 6 Februari 2012 di Yogjakarta, hal, 2. Lihat juga, Sofian Effendi, 2004, “Sistem Pemerintahan Negara Kekeluargaan” Makalah, Disampaikan dalam Orasi Ilmiah Dies natalis Ke 18 Universitas Wangsa Manggala, Yogjakarta, bertema: “Revitalisasi Nilai Luhur Budaya Bangsa Sebagai Landasan Jati Diri Bangsa Indonesia, Disampaikan pada tanggal 9 Oktober 2004, hal, 1-19.

20 Alfred Stepan and Cindy Skach, 1994, “Presidential and Parliamentary in Compara-tive PerspecCompara-tive” in Juan J.Linz and Arturo Valenzuela (eds), The Failure Presidential Democracy, John Hopkins University Press, Baltimore, hal, 119-136.

21 Juan J. Linz, 1994, “Presidential or parliamentary: Does It a Difference ?, in Juan J.Linz and Arturo Valenzuela (eds), The Failure Presidential Democracy, John Hopkins University Press, Baltimore, hal, 3-91. Lihat juga, Juan J. Linz, “The Virtue of Parliamentary”, Journal of Democracy I (4), hal, 84-91

(38)

Pendapat ini didukung oleh Pzeworski, yang mengatakan bukti-bukti empirik bahwa, probabilitas kemacetan demokrasi, dengan berbasis sistem presidensial, tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan sistem parlementer.22 Senada dengan dua ahli

ini, Scott Mainwaring bahkan menandaskan bahwa sistem presidensial dengan berbasis multipartai yang terfragmentasi tinggi, terutama ketika presiden terpilih berasal dari partai minoritas dan tidak dapat memperoleh dukungan partai mayoritas di parlemen maka akan sangat melemahkan stabilitas demokrasi.23 Namun pendapat ini ditentang

oleh Haggard.24 yang menyatakan, bahwa sistem presidensial jauh

lebih efektif dari parlementer, karena aktor politik yang bermain dalam sistem parlementer jauh lebih banyak ketimbang presidensial yang terpilih melalui popular vote dan dapat menguasai suara di parlemen. Ahli lain, Shugart and Carey, mengkritik studi tentang sistem presidensial selama ini yang seolah telah melupakan aspek lain, di mana sebenarnya sistem presidensial akan dapat efektif terutama dalam mengimplementasikan program-program presiden terpilih dalam pemerintahannya, bila dilakukan sejumlah desain institusi lainnya, yakni sistem Pemilu dan sistem kepartaian yang harus menopang sistem presidensial.25

Model lain yang dapat dijadikan tolak ukur efektivitas jalannya sistem pemerintahan presidensial terutama hubungan kerja antara presiden dan parlemen adalah bergantung pada sistem Pemilu yang digunakan di suatu negara. Sistem distrik jauh lebih efektif di-bandingkan sistem proporsional, karena sistem distrik menghasilkan dwi partai, karena itu kebijakan publik dirumuskan melalui mandat pada mayoritas (pemenang). Sedangkan sistem proporsional meng-hasilkan kompetisi multipartai yang berakibat pada berbelit-belitnya pengambilan keputusan melalui konsensus, apalagi jika presiden terpilih memiliki dukungan partai yang berbeda di parlemen.26

22 Adam Przeworski, et al, 1994 “What Make Democracy Endure ?” in Larry Diamond, Marc F Plattner (eds) Concolidating in The Third Wave Democracies, John Hopkins University Press, Baltimore, ha, 295-311.

23 Scott Mainwaring, Op.Cit., hal 5

24 Stephan Haggard, Mathew D. McCubbins, and Matthew Soberg Shugart. 2001. “Policy Making in Presidential Systems”. In Presidents, Parliaments, and Policy. Ed. by Stephan Haggard and Mathew D. McCubbins. Cambridge: Cambridge University Press. 25 Mattew Soberg Shugart and John M Carey, 1992, Presidents and Assemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamic, Cambride University Press, New York.

26 Gary W Cox and Mathew D. McCubbins. 2005. Setting the Agenda: Responsible Party Government in the U.S. House of Representatives, Cambridge University Press, New York.

(39)

Dalam konteks ketidakseimbangan hubungan antara presiden dengan parlemen, di mana presiden lebih lemah dari pada parlemen yang berakibat pada ketidakefektifan pemerintah, maka yang diperlukan adalah memperkuat fungsi legislasi kepada presiden.27

Ketika terjadi ketidakseimbangan hubungan antara presiden dan parlemen dalam skema sistem presidensial di mana presiden lebih lemah, maka dalam konteks fungsi legislasi, Chris Lawrence mengusulkan perlunya presiden diberi kekuasaan untuk merespon isu-isu nasional yang penting sebagai pembuat undang-undang. Inilah yang ia sebut sebagai “presidential effective”. Bahkan ia juga mengusulkan solusi perlunya dilakukan perubahan model sistem pemerintahan dari presidensial murni ke semi presidensial atau

hybrid system of government. 28

Untuk mendapatkan dukungan suara di parlemen, seorang presiden yang terpilih dari partai minoritas dalam sistem presidensial, agar pemerintahannya efektif, umumnya melakukan praktik koalisi dengan partai-partai di parlemen, dengan cara membagi jatah menteri kepada partai-parti pendukung koalisi. Ini dimaksudkan semata-mata agar presiden dapat bekerja sama dengan mitra koalisi di parlemen.29

Koalisi dalam sistem presidensial seharusnya adalah sebuah langkah darurat, karena sesungguhnya koalisi hanya lazim dilakukan dalam sistem parlementer. Koalisi dalam sistem presidensial jauh longgar dan sulit ketimbang dalam sistem parlementer. Karena partai-partai mitra koalisi biasanya berdiri dalam dua kaki, satu kaki mendukung pemerintah di kaki yang lagi mengontrol presiden di parlemen atau akan terjadi semacam pemerintahan yang terbelah

(divide of government).30

Karena itu, dalam tulisan “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”, Mainwaring

menya-27 Ibid., hal 12

28 Chris Lawrence and Jenifer Haye, 2000, “Regime Stability and Presidential Government: A Preliminary Analysis”, Paper Presented at the 72nd Annual Meeting at The Southern Political Science Association, Georga, Atlanta, 8-11 November.

29 Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, “Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism”, dalam British Journal of Political Science, No. 34, hal. 565-566.

30 Scott Mainwaring, 1992, “Presidentialism in Latin America”, dalam Arend Lijphart (edit.), 1992, Parliamentary Versus Presidensial Government, Oxford University Press, hal. 115.

(40)

takan bahwa the combination of presidentialism and multipartism is

complicated by the difficulties of interparty coalition-building in presidential democracies. Dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam

sistem parlementer, Scott Mainwaring mengemukakan tiga per-bedaan koalisi multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial.

Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi Parpol memilih

menteri-menteri dan perdana menteri-menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya (presidents

put together their own cabinets) dan Parpol punya komitmen yang

rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari Parpol yang punya menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan Parpol untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.31

Menurut J. Mark Payne, Daniel Zovatto, dan Mercedes Mateo Diaz, efektivitas pemerintahan presidensial tergantung pada dua hal.

Pertama, sistem pemilihan presiden yang dapat menghasilkan

legiti-masi substansial (mayoritas/terbesar) dari pemilih. Kedua, porsi dukungan parlemen untuk bekerja sama dalam menyusun legislasi dan nonlegislasi.32 Karena itulah maka, bagi Andrew B. Withford,

pemerintah yang efektif (effective governance) adalah mengukur kemampuan pemerintah dalam melaksanakan suatu kebijakan melalui kualitas pelayanan publik, layanan sipil, dan tingkat independensi dari tekanan-tekanan politik dan kualitas perumusan kebijakan publik

31 Scott Mainwaring, 1993, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination”, dalam Journal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, hal. 200. Dilema sistem multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial termasuk yang paling banyak ditulis adalah pengalaman Brazil. Lebih jauh, misalnya, dapat dibaca dalam Scott Mainwaring & Anibal Perez-Linan, 1997, Party Discipline in the Brazilian Constitutional Congress, Working Paper 235; Scott Mainwaring, 1992, Dilemmas of Multiparty Presidential Democracy: The Case of Brazil, Working Paper 174; dan Scott Maiwaring, 1990, Politician, Parties and Electoral System: Brazil in Comparative Perspectives, Working Paper 141. Sebagaimana ditulis Saldi Isra, 2009, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematik Koalisi dalam Sistem Presidensial”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009, Mahkmah Konstitusi Bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Jakarta, hal 122.

32 J. Mark Payne, Daniel Zovatto, and Mercedes Mateo Diaz, 2007, Democracies in Development: Politics and Reform in Latin America, The Inter-American Development Bank, and the International Institute for Democracy and Electoral Assistance, and the David Rockefeller Center for Latin American Studies, Harvard University Press, Washington D.C, hal, 18.

(41)

antara presiden dan parlemen dan implementasinya, serta komitmen pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya.33

Lebih lanjut ia menyatakan:

“Government effectiveness indicator is to capture the capacity of the state to implement sound policies by measuring the quality of public services, the quality of the civil service and the degree of its independence from political pressures, the quality of policy formulation and implementation, and the credibility of the government’s commitment to such policies”34

Menurut Kacung Marijan, pemerintahan yang efektif acapkali dikaitkan dengan pemerintahan yang cukup kuat, yang memiliki otonomi relatif dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Richard Doner (1992: 399) pernah mengatakan, suatu negara di-katakan kuat manakala memiliki dua karaketeristik. Pertama, negara harus memiliki kebebasan dan tekanan (insulated) dari kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat. Hal demikian akan memungkinkan negara merumuskan dan membuat kebijakan-kebijakan publik. Kedua, negara secara organisasi memiliki kemampuan yang cukup dan terkoordinasi untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan itu.35

Pratikno menyatakan dalam karyanya, pemerintahan efektif bukan saja yang demokratis, akan tetapi juga diikuti dengan Govern Ability atau kemampuan pemerintahan dalam membangun dan mengurus bangsanya. Karena itu, studi politik dalam pemerintahan harus bergeser dengan tidak lagi meributkan seberapa tinggi derajat demokrasi tetapi seberapa bisa demokrasi tersebut menopang pemerintahan yang efektif, menghasilkan hak-hak politik sosial ekonomi serta martabat bangsa yang berdaulat.36 Menurut Ni’matul

Huda, pemerintah efektif adalah pemerintah yang dapat menjalankan roda kekuasaannya dengan terbangunnya hubungan konstruktif antara Presiden-DPR di atas prinsip saling mengawasi secara seimbang

33 Andrew B. Whitford and Soo-Young Lee, 2008, “The Efficiency And Inefficiency of Democracy In Making Governments Effective: Cross-National Evidence”, Paper Pre-sented at The Annual Meeting of American Political Science Association, Toronto, Ontario, Canada, September.

34 Ibid., hal 7.

35 Kacung Marijan, 2010, “Bangunan Koalisi SBY Rapuh”, dalam Jawa Pos, 4 Januari, hal, 4.

36 Pratikno, 2009, “Rekonsolidasi Reformasi Indonesia, Kontribusi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif” Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogjakarta Diucapkan tanggal, 21 Desember.

(42)

(check and balance).37 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa

sistem pemerintahan efektif dalam perspektif desain besar ketata-negaraan merupakan sebuah cita-cita ideal yang harus diwujudkan agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir dari fungsi negara.

Pemerintahan dapat dianggap efektif jika di dalamnya ada kesediaan secara sadar dari seluruh komponen struktur dan suprastruktur politik untuk menyokong jalannya pemerintahan secara mandiri di tangan presiden/perdana menteri dalam skema pilihan sistem pemerintahannya, baik dalam sistem presidensial maupun sistem parlementer.

Pemerintahan tidak akan berjalan secara efektif jika eksekutif (presiden/perdana menteri) dipaksa oleh keadaan politik yang membuatnya tidak dapat mandiri dari tekanan politik. Sejumlah tekanan politik ini cenderung membuat eksekutif tak lagi leluasa menjalankan roda pemerintahannya secara mandiri dan kreatif, karena waktunya lebih banyak dipergunakan untuk melakukan kompromi dan aneka macam konsesi politik guna menaklukkan lawan-lawan politik dalam skema sistem pemerintahan yang tak terhindarkan.

Maka dipastikan, sistem pemerintahan yang tersandera kepentingan dan tekanan politik akan cenderung mendorog pemerintah dekat dengan perilaku korupsi politik. Maka sistem pemerintahan tak efektif akan melahirkan korupsi politik yang kuat, sebaliknya sistem pemerintahan yang efektif dipastikan akan cenderung mereduksi lahirnya korupsi politik.

E. Memahami Korupsi Politik

Korupsi adalah tindakan melawan hukum dan moral karena menyalahgunakan kekuasaan dan kewenanagan yang dimiliki seseorang untuk kepentingan dirinya, kelompok atau pihak-pihak lain untuk saling mencari keuntungan secara ekonomi maupun politik. Karena pelakunya adalah pejabat publik maka perilakunya dapat disebut sebagai korupsi politik (political corruption). Ini sejalan dengan definisi korupsi politik menurut Wikipedia,

37 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, PT Rajawali Press, Jakarta, hal, 292.

Gambar

Gambar 1. Identitas Parpol peserta Pemilu 2014
Tabel 2. Perbedaan Praktik Sistem Kepartaian, Pemilu, Pemerintah, dan Implikasinya di Dunia
Tabel 3. Model Ideal Pelembagaan Partai Politik dan Sistem Kepartaian
Tabel 4. Pemilu Inkonstitusionalitas

Referensi

Dokumen terkait