• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerintahan dan Korupsi Politik

D. Memahami Pemerintahan Antikorupsi

Aneka model sistem pemerintahan yang dianut oleh berbagai negara di dunia tersebut oleh beberapa ahli ilmu politik dikategorikan sebagai implementasi rekayasa desain institusi demokrasi.20

Dalam praktik penggunaan model sistem pemerintahan demi mengakhiri transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi dan stabilitas demokrasi terjadi perdebatan antara para ahli di antaranya adalah Juan J. Linz21 yang berpendapat bahwa penggunaan model sistem pemerintahan presidensial tidak mendukung stabilitas demokrasi, terutama dalam praktik di Amerika Latin, lebih tepat dengan sistem parlementer karena: (1). sistem presidensial ini tidak fleksibel atau kaku (rigidly); (2) adanya legitimasi ganda antara presiden dan parlemen yang sama-sama dipilih oleh rakyat (duel legitimacy); (3) adanya sistem pemilihan langsung menyebabkan “winner take all” (pemenang mengambil semua) akhirnya mengecualikan kelompok-kelompok di pemerintahan; (4) desain konstitusi yang memberi kekuasaan lebih besar pada presiden daripada parlemen. Akibatnya sering melahirkan presiden yang diktator, bahkan acapkali ke-kuasaan diambil alih kaum militer. Sehingga membahayakan sistem presidensial (peril of presidentialism).

19 Denny Indrayana, 2012, “Sistem Presidensial Yang Adil dan Demokratis”, Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Diucapkan di depan Rapat Terbuka majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 6 Februari 2012 di Yogjakarta, hal, 2. Lihat juga, Sofian Effendi, 2004, “Sistem Pemerintahan Negara Kekeluargaan” Makalah, Disampaikan dalam Orasi Ilmiah Dies natalis Ke 18 Universitas Wangsa Manggala, Yogjakarta, bertema: “Revitalisasi Nilai Luhur Budaya Bangsa Sebagai Landasan Jati Diri Bangsa Indonesia, Disampaikan pada tanggal 9 Oktober 2004, hal, 1-19.

20 Alfred Stepan and Cindy Skach, 1994, “Presidential and Parliamentary in Compara-tive PerspecCompara-tive” in Juan J.Linz and Arturo Valenzuela (eds), The Failure Presidential Democracy, John Hopkins University Press, Baltimore, hal, 119-136.

21 Juan J. Linz, 1994, “Presidential or parliamentary: Does It a Difference ?, in Juan J.Linz and Arturo Valenzuela (eds), The Failure Presidential Democracy, John Hopkins University Press, Baltimore, hal, 3-91. Lihat juga, Juan J. Linz, “The Virtue of Parliamentary”, Journal of Democracy I (4), hal, 84-91

Pendapat ini didukung oleh Pzeworski, yang mengatakan bukti-bukti empirik bahwa, probabilitas kemacetan demokrasi, dengan berbasis sistem presidensial, tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan sistem parlementer.22 Senada dengan dua ahli ini, Scott Mainwaring bahkan menandaskan bahwa sistem presidensial dengan berbasis multipartai yang terfragmentasi tinggi, terutama ketika presiden terpilih berasal dari partai minoritas dan tidak dapat memperoleh dukungan partai mayoritas di parlemen maka akan sangat melemahkan stabilitas demokrasi.23 Namun pendapat ini ditentang oleh Haggard.24 yang menyatakan, bahwa sistem presidensial jauh lebih efektif dari parlementer, karena aktor politik yang bermain dalam sistem parlementer jauh lebih banyak ketimbang presidensial yang terpilih melalui popular vote dan dapat menguasai suara di parlemen. Ahli lain, Shugart and Carey, mengkritik studi tentang sistem presidensial selama ini yang seolah telah melupakan aspek lain, di mana sebenarnya sistem presidensial akan dapat efektif terutama dalam mengimplementasikan program-program presiden terpilih dalam pemerintahannya, bila dilakukan sejumlah desain institusi lainnya, yakni sistem Pemilu dan sistem kepartaian yang harus menopang sistem presidensial.25

Model lain yang dapat dijadikan tolak ukur efektivitas jalannya sistem pemerintahan presidensial terutama hubungan kerja antara presiden dan parlemen adalah bergantung pada sistem Pemilu yang digunakan di suatu negara. Sistem distrik jauh lebih efektif di-bandingkan sistem proporsional, karena sistem distrik menghasilkan dwi partai, karena itu kebijakan publik dirumuskan melalui mandat pada mayoritas (pemenang). Sedangkan sistem proporsional meng-hasilkan kompetisi multipartai yang berakibat pada berbelit-belitnya pengambilan keputusan melalui konsensus, apalagi jika presiden terpilih memiliki dukungan partai yang berbeda di parlemen.26

22 Adam Przeworski, et al, 1994 “What Make Democracy Endure ?” in Larry Diamond, Marc F Plattner (eds) Concolidating in The Third Wave Democracies, John Hopkins University Press, Baltimore, ha, 295-311.

23 Scott Mainwaring, Op.Cit., hal 5

24 Stephan Haggard, Mathew D. McCubbins, and Matthew Soberg Shugart. 2001. “Policy Making in Presidential Systems”. In Presidents, Parliaments, and Policy. Ed. by Stephan Haggard and Mathew D. McCubbins. Cambridge: Cambridge University Press. 25 Mattew Soberg Shugart and John M Carey, 1992, Presidents and Assemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamic, Cambride University Press, New York.

26 Gary W Cox and Mathew D. McCubbins. 2005. Setting the Agenda: Responsible Party Government in the U.S. House of Representatives, Cambridge University Press, New York.

Dalam konteks ketidakseimbangan hubungan antara presiden dengan parlemen, di mana presiden lebih lemah dari pada parlemen yang berakibat pada ketidakefektifan pemerintah, maka yang diperlukan adalah memperkuat fungsi legislasi kepada presiden.27

Ketika terjadi ketidakseimbangan hubungan antara presiden dan parlemen dalam skema sistem presidensial di mana presiden lebih lemah, maka dalam konteks fungsi legislasi, Chris Lawrence mengusulkan perlunya presiden diberi kekuasaan untuk merespon isu-isu nasional yang penting sebagai pembuat undang-undang. Inilah yang ia sebut sebagai “presidential effective”. Bahkan ia juga mengusulkan solusi perlunya dilakukan perubahan model sistem pemerintahan dari presidensial murni ke semi presidensial atau

hybrid system of government. 28

Untuk mendapatkan dukungan suara di parlemen, seorang presiden yang terpilih dari partai minoritas dalam sistem presidensial, agar pemerintahannya efektif, umumnya melakukan praktik koalisi dengan partai-partai di parlemen, dengan cara membagi jatah menteri kepada partai-parti pendukung koalisi. Ini dimaksudkan semata-mata agar presiden dapat bekerja sama dengan mitra koalisi di parlemen.29

Koalisi dalam sistem presidensial seharusnya adalah sebuah langkah darurat, karena sesungguhnya koalisi hanya lazim dilakukan dalam sistem parlementer. Koalisi dalam sistem presidensial jauh longgar dan sulit ketimbang dalam sistem parlementer. Karena partai-partai mitra koalisi biasanya berdiri dalam dua kaki, satu kaki mendukung pemerintah di kaki yang lagi mengontrol presiden di parlemen atau akan terjadi semacam pemerintahan yang terbelah

(divide of government).30

Karena itu, dalam tulisan “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”, Mainwaring

menya-27 Ibid., hal 12

28 Chris Lawrence and Jenifer Haye, 2000, “Regime Stability and Presidential Government: A Preliminary Analysis”, Paper Presented at the 72nd Annual Meeting at The Southern Political Science Association, Georga, Atlanta, 8-11 November.

29 Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, “Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism”, dalam British Journal of Political Science, No. 34, hal. 565-566.

30 Scott Mainwaring, 1992, “Presidentialism in Latin America”, dalam Arend Lijphart (edit.), 1992, Parliamentary Versus Presidensial Government, Oxford University Press, hal. 115.

takan bahwa the combination of presidentialism and multipartism is

complicated by the difficulties of interparty coalition-building in presidential democracies. Dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam

sistem parlementer, Scott Mainwaring mengemukakan tiga per-bedaan koalisi multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial.

Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi Parpol memilih

menteri-menteri dan perdana menteri-menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya (presidents

put together their own cabinets) dan Parpol punya komitmen yang

rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari Parpol yang punya menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan Parpol untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.31

Menurut J. Mark Payne, Daniel Zovatto, dan Mercedes Mateo Diaz, efektivitas pemerintahan presidensial tergantung pada dua hal.

Pertama, sistem pemilihan presiden yang dapat menghasilkan

legiti-masi substansial (mayoritas/terbesar) dari pemilih. Kedua, porsi dukungan parlemen untuk bekerja sama dalam menyusun legislasi dan nonlegislasi.32 Karena itulah maka, bagi Andrew B. Withford, pemerintah yang efektif (effective governance) adalah mengukur kemampuan pemerintah dalam melaksanakan suatu kebijakan melalui kualitas pelayanan publik, layanan sipil, dan tingkat independensi dari tekanan-tekanan politik dan kualitas perumusan kebijakan publik

31 Scott Mainwaring, 1993, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination”, dalam Journal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, hal. 200. Dilema sistem multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial termasuk yang paling banyak ditulis adalah pengalaman Brazil. Lebih jauh, misalnya, dapat dibaca dalam Scott Mainwaring & Anibal Perez-Linan, 1997, Party Discipline in the Brazilian Constitutional Congress, Working Paper 235; Scott Mainwaring, 1992, Dilemmas of Multiparty Presidential Democracy: The Case of Brazil, Working Paper 174; dan Scott Maiwaring, 1990, Politician, Parties and Electoral System: Brazil in Comparative Perspectives, Working Paper 141. Sebagaimana ditulis Saldi Isra, 2009, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematik Koalisi dalam Sistem Presidensial”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009, Mahkmah Konstitusi Bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Jakarta, hal 122.

32 J. Mark Payne, Daniel Zovatto, and Mercedes Mateo Diaz, 2007, Democracies in Development: Politics and Reform in Latin America, The Inter-American Development Bank, and the International Institute for Democracy and Electoral Assistance, and the David Rockefeller Center for Latin American Studies, Harvard University Press, Washington D.C, hal, 18.

antara presiden dan parlemen dan implementasinya, serta komitmen pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya.33

Lebih lanjut ia menyatakan:

“Government effectiveness indicator is to capture the capacity of the state to implement sound policies by measuring the quality of public services, the quality of the civil service and the degree of its independence from political pressures, the quality of policy formulation and implementation, and the credibility of the government’s commitment to such policies”34

Menurut Kacung Marijan, pemerintahan yang efektif acapkali dikaitkan dengan pemerintahan yang cukup kuat, yang memiliki otonomi relatif dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Richard Doner (1992: 399) pernah mengatakan, suatu negara di-katakan kuat manakala memiliki dua karaketeristik. Pertama, negara harus memiliki kebebasan dan tekanan (insulated) dari kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat. Hal demikian akan memungkinkan negara merumuskan dan membuat kebijakan-kebijakan publik. Kedua, negara secara organisasi memiliki kemampuan yang cukup dan terkoordinasi untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan itu.35

Pratikno menyatakan dalam karyanya, pemerintahan efektif bukan saja yang demokratis, akan tetapi juga diikuti dengan Govern Ability atau kemampuan pemerintahan dalam membangun dan mengurus bangsanya. Karena itu, studi politik dalam pemerintahan harus bergeser dengan tidak lagi meributkan seberapa tinggi derajat demokrasi tetapi seberapa bisa demokrasi tersebut menopang pemerintahan yang efektif, menghasilkan hak-hak politik sosial ekonomi serta martabat bangsa yang berdaulat.36 Menurut Ni’matul Huda, pemerintah efektif adalah pemerintah yang dapat menjalankan roda kekuasaannya dengan terbangunnya hubungan konstruktif antara Presiden-DPR di atas prinsip saling mengawasi secara seimbang

33 Andrew B. Whitford and Soo-Young Lee, 2008, “The Efficiency And Inefficiency of Democracy In Making Governments Effective: Cross-National Evidence”, Paper Pre-sented at The Annual Meeting of American Political Science Association, Toronto, Ontario, Canada, September.

34 Ibid., hal 7.

35 Kacung Marijan, 2010, “Bangunan Koalisi SBY Rapuh”, dalam Jawa Pos, 4 Januari, hal, 4.

36 Pratikno, 2009, “Rekonsolidasi Reformasi Indonesia, Kontribusi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif” Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogjakarta Diucapkan tanggal, 21 Desember.

(check and balance).37 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sistem pemerintahan efektif dalam perspektif desain besar ketata-negaraan merupakan sebuah cita-cita ideal yang harus diwujudkan agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir dari fungsi negara.

Pemerintahan dapat dianggap efektif jika di dalamnya ada kesediaan secara sadar dari seluruh komponen struktur dan suprastruktur politik untuk menyokong jalannya pemerintahan secara mandiri di tangan presiden/perdana menteri dalam skema pilihan sistem pemerintahannya, baik dalam sistem presidensial maupun sistem parlementer.

Pemerintahan tidak akan berjalan secara efektif jika eksekutif (presiden/perdana menteri) dipaksa oleh keadaan politik yang membuatnya tidak dapat mandiri dari tekanan politik. Sejumlah tekanan politik ini cenderung membuat eksekutif tak lagi leluasa menjalankan roda pemerintahannya secara mandiri dan kreatif, karena waktunya lebih banyak dipergunakan untuk melakukan kompromi dan aneka macam konsesi politik guna menaklukkan lawan-lawan politik dalam skema sistem pemerintahan yang tak terhindarkan.

Maka dipastikan, sistem pemerintahan yang tersandera kepentingan dan tekanan politik akan cenderung mendorog pemerintah dekat dengan perilaku korupsi politik. Maka sistem pemerintahan tak efektif akan melahirkan korupsi politik yang kuat, sebaliknya sistem pemerintahan yang efektif dipastikan akan cenderung mereduksi lahirnya korupsi politik.