• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyelamatkan Partai Politik dari Perilaku Korupsi Politik

D. Perlunya Pengaturan Larangan Politik Dinasti

Salah satu faktor penting dari kuatnya perilaku korupsi partai politik adalah kuatnya sistem politik dinasti atau kekerabatan politik. Dalam ‘politik dinasti’, pengisian jabatan politik baik di eksekutif (kepala daerah) maupun jabatan politik di legislatif (DPR/DPRD), hanya berputar di sekitar ring kekuasaan elite politik atau orang-orang kuat di lingkaran elite partai politik yang telah menjabat dalam jabatan eksekutif dan legislatif sebelumnya (petahana); mulai dari istri, suami, anak, keponakan hingga kerabat dekat dalam garis keturunan ke atas dan ke samping lainnya. Tradisi politik dinasti ini justru menguat seiring dengan pilihan model politik perwakilan melalui Pemilu langsung, baik Pemilu legislatif maupun Pemilu kepala daerah (Pilkada) di Indonesia pasca Orde Baru.

Faktanya, politik dinasti ini telah melahirkan dominasi elite lokal di daerah dalam penguasaan isu-isu publik dan merugikan publik daerah, karena tak mampu membawa kemakmuran daerah bahkan melahirkan korupsi yang akut. Model politik dinasti terjadi di Bangkalan, Jawa Timur, yakni Ibnu Fuad terpilih menjadi bupati menggantikan ayahnya, Fuad Amin Imron; Di Bantul, Sri Surya Widati memenangi pilkada menggantikan suaminya, Idham Samawi. Begitu pula terjadi di Banten. Wakil Bupati Serang, Tatu Chasanah, adalah adik kandung Gubernur Banten (nonaktif), Atut Chosiyah.

6 Lihat, Ni’matul Huda, 2011, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogjakarta, hal, 159.

7 Produk UU Recalling masa Orde Baru adalah UU No.10 Tahun 1966 tentang Kedudukan

Wali Kota Serang, Tubagus Haerul Jaman, adalah adik tiri Atut. Adapun Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany, adalah adik ipar Atut dan Wakil Bupati Pandeglang, Heryani, adalah ibu tiri Atut. Kasus serupa terjadi di daerah lain. Yang paling mutakhir adalah politik dinasti dan atau kekerabatan di Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah. Dalam kurun waktu 16 tahun terakhir, Klaten dipimpin oleh dua dinasti, yakni Haryanto Wibowo dan Sunarna dan kini istri-istri mereka menjadi Bupati dan Wakil Bupati, yakni Sri Hartini dan Sri Mulyani.

Paling tidak, ada empat doktrin utama mengapa politik kekerabatan (political dynasti) terus abadi menjadi tren dalam Pemilu untuk meraih jabatan politik di banyak negara termasuk Indonesia. Pertama, kepercayaan (trusty) karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan yang biasanya semata hanya untuk membuat jejak kerabat baru lagi. Kedua, loyalitas (loyality); kerabat akan jauh memiliki loyalitas yang tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas-tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Sebab, orang lain akan memiliki kecenderungan untuk menelikungi kesepakatan politik, bahkan meng-habisi jalur kerabat penguasa lama untuk dialihkan pada kerabat penguasa baru. Ketiga, solidaritas (solidarity); kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh dalam mempertahankan kekuasaan politik, terutama dalam menolong klan keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan, ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Kelestarian dan kesinambungan dinasti politik biasanya menjadi ikon dan matra politik yang ampuh untuk menjaga solidaritas antar kerabat. Keempat, proteksi (protection); ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keturunan yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki dan dikuasai keluarga ketimbang orang lain. Upaya memproteksi jalur penguasaan sumber-sumber ekonomi adalah motivasi utamanya. Lalu, biasanya menciptakan sistem kartel ekonomi-politik, sehingga persaingan dan kompetisi dalam meraih keuntungan dan mempertahankan keuntungan ekonomi-politik sebisa mungkin hanya berkutat dalam lingkaran kerabat penguasa. Bahkan ada kecenderungan untuk

menciptakan sebuah mekanisme persaingan semu di atas aturan dan hukum yang didesain sedemikian rupa dan berujung pada pemaksaan pada rakyat untuk menjalankan pola-pola demokrasi yang hanya prosedural.

Politik dinasti kini berurat kuat dan langgeng di daerah. Bahkan politik dinasti akan menjadi cara ampuh bagi para petahana untuk menjadikan mereka menjadi raja-raja kecil di daerah. Politik dinasti dijadikan sebagai amunisi untuk menumpuk harta dan pundi-pundi kekayaan alam yang berlimpah di daerah untuk mempertahankan, meluaskan dan menguatkan kekuasaannya di daerah dengan cara menggulirkan kekuasaan politik hanya berputar di sekeliling kerabat dekatnya.

Pelan tapi pasti, nafas demokrasi lokal akan mati di daerah, karena politik dinasti ini sangat kejam melebihi zombie-zombie yang meng-guritakan proyek, fee, hasil pembangunan daerah hanya dinikmati oleh segelintir orang dalam relasi kekerabatan di daerah. Akibatnya akan mematikan lahirnya calon-calon pemimpin lokal alternatif. Sebab kompetisi pilkada tak berlangsung fair dan kompetitif, siapapun yang bertanding melawan gurita kekerabatan lokal dengan petahana akan tersingkir. Sebab, petahana dengan kekuasaannya, harta, relasi, modal sosial, jaringan politik birokrasi, segenap fasilitas dana ABPD, dan popularitasnya akan dengan mudah disalahgunakan untuk me-mobilisasi dan memengaruhi rakyat di daerah untuk memilih kerabatnya dalam pilkada serentak. Di titik ini, betapa beratnya calon kepala daerah yang tidak memiliki jalur kerabat dengan petahan untuk dapat menang dalam kompetisi pilkada yang sistemnya dirancang tak adil sejak dalam pikiran pembuat UU dan para hakim MK ini.

Watak politik dinasti yang paling buruk adalah korupsi dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan kepala daerah dalam rotasi dan promosi jabatan Aparatus Sipil Negara (ASN) di lingkungan pejabat di Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) yang hanya ber-dasarkan kedekatan pada tokoh lokal dengan elite politik berbasis suap minus seleksi ketat ini dapat terjadi karena ada aspek ikutan yang mendorong salah satunya karena para pejabat yang dipilih dalam mengisi di pos-pos jabatan dinas yang syarat dengan proyek-proyek basah adalah hanya mereka yang dapat mengamankan sekaligus mampu menyetor pundi-pundi uang dan proyek-proyek daerah

untuk pengamanan politik kekerabatan. Jangan harap, para ASN yang profesional namun jauh dari kerabat elite lokal, dekat dengan tokoh politik yang dekat dengan kerabat elite politik lokal atau tak bersedia menyuap akan memperoleh jabatan di Pemda.

Aspek lain yang mendorong para politisi dalam dinasti politik cenderung menjual-belikan jabatan di Pemda adalah karena pada saat Pilkada berlangsung, biaya politik uang untuk mempertahankan dinasti politik agar menang dalam pilkada sangatlah mahal. Itulah sebabnya ketika para politisi dalam jaringan politik dinasti ini berhasil menang dalam pilkada maka posisi Bupati dan Wakil Bupati seolah menjadi raja-raja kecil di daerah. Posisi ini dijadikan sebagai alat politik untuk mengeruk keuntungan ekonomi-politik dan sumber daya daerah untuk mempertahankan jaringan kekerabatan. Di titik ini tak jarang jabatan-jabatan dinas selalu diperjual-belikan layaknya perdagangan di pasar tradisional ada yang model tawar-menawar ada pula tarif yang telah ditetapkan. Seperti rumor yang kuat terdengar jabatan eselon di Klaten dipatok antara Rp50 juta-75 juta rupiah. Belum lagi khusus untuk jabatan Kepala Sekolah SD, SMP, SMA/SMK dan Pengawas Pendidikan di Klaten yang jumlahnya paling banyak diperebutkan tentu harganya bervariasi dan kadang masih dapat ditawar sesuai lokasi. Jual-beli ini dilakukan karena Bupati dan wakil Bupati beserta para kerabat elite politik lokal berkepentingan untuk mengembalikan modal uang yang ditanam dalam kompetisi Pilkada yang tak murah. Maka dipastikan dalam lima tahun menjabat rotasi, mutasi, dan promosi pejabat setidaknya akan berlangsung paling sedikit lima kali dalam lima tahun dan hanya dibutuhkan 2-3 kali mutasi uang modal pilkada dapat pulih kembali dan di tahun ke-4 dan ke-5 telah memetik untung yang menggiurkan. Berdasarkan catatan Akhir tahun 2016 dari Komisi Aparatur Sipil (KASN), uang hasil jual beli jabatan di pemerintahan selama tahun 2016 mencapai Rp35 triliun. Sungguh merupakan nilai uang yang sangat fantastis dan mencengangkan. Maka sesungguhnya jabatan birokrasi di pemerintahan kini tak berbeda jauh dengan jabatan politik yang diraih melalui Pemilu. Jika jabatan politik melalui Pemilu, seperti anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota, dan Kepala Desa diraih dengan meme-ngaruhi pemilih melalui jual-beli suara (vote buying) dengan aneka

cara, maka jabatan biroksai di pemerintahan diraih dengan cara menyuap para elite politik penguasa dinasti politik. Jadi, setali tiga uang antara jabatan politik dan jabatan birokrasi hampir tak ada bedanya dalam hal cara memperolehnya. Padahal jamak diketahui, jabatan politik harus berbeda dalam model seleksinya dengan jabatan birokrasi. Jabatan politik memerlukan kemampuan untuk meme-ngaruhi kebijakan, sehingga diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang punya kapasitas dalam pengawasan dan kontrol terhadap kebijakan publik, sedangkan untuk jabatan birokrasi diperlukan SDM yang memiliki kapasitas dalam hal melaksanakan kebijakan publik, profesional dan diperlukan model seleksi meritokratis (berdasarkan urutan kepangkatan, pendidikan dan senioritas).

Secara filosofis, jabatan politik dapat diperoleh dan diperebutkan oleh setiap orang sepanjang memenuhi syarat dan berhasil dipilih rakyat dalam Pemilu yang diatur dalam UU Pemilu, UU Pilkada dan UU Pilpres. Sedangkan jabatan birokrasi tidak dapat diperebutkan oleh semua orang kecuali telah terpenuhi syarat meritokratis yang diatur dalam UU ASN, UU Pemerintah Daerah dan aneka peraturan perundang-undangan teknis lainnya. Praktik jual-beli jabatan birokrasi di pemerintahan ini jelas kian mengaburkan nilai dan asas filosofis dalam menata desain kelembagaan negara dan mengkacaukan desain sistem ketatanegaraan.

Mahkamah Konstutisi (MK) belum lama ini membatalkan klausul pembatasan politik dinasti yang termuat dalam Pasal 7 Huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasca putusan MK ini maka anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada 9 Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan. MK berpendapat, pembatasan kerabat petahana dalam pilkada serentak adalah melanggar hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam Pasal 28 Huruf J Ayat (2) UUD 1945 Pasca amandemen dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia (HAM) yang mengamanatkan agar melindungi hak-hak setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Dalam amar putusannya, MK juga berpendapat bahwa pembuat UU No.8/2015 tentang pilkada telah keliru dalam mengatur pem-batasan politik dinasti, pembuat UU ini seharusnya mengatur

pembatasan hak asasi ditujukan kepada kepala daerah petahana, bukan hak asasi keluarga, kerabat, atau kelompok-kelompok yang dimaksud. Benarkah demikian?

Sesungguhnya ketentuan Pasal 7 huruf r UU No.8/2015 yang membatasi politik dinasti ini tidak untuk melakukan diskriminasi. Karena UU ini sesungguhnya tidak melarang secara mutlak praktik politik dinasti dalam pilakda, melainkan hanya mengatur jeda waktunya, yakni para kerabat petahana ini dapat ikut dalam pilkada setelah melewati jeda waktu satu periode masa jabatan petahana. Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak ada konflik kepentingan antara calon dan petahana dalam pilkada, sehingga tidak merugikan calon yang bukan dari garis kerabat dengan petahana.

Jika dicermati dalam batas penalaran yang wajar, sesungguhnya putusan MK ini jelas abai dalam melihat konsekuensi pencalonan kerabat petahana terhadap pilkada yang jujur, adil, dan demokratis. MK lebih mempertimbangkan hak politik kerabat petahana yang dinilai tercederai oleh Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015. Padahal hak politik mereka sebenarnya tak hilang, tetapi hanya diatur waktunya, yakni satu periode setelah masa jabatan petahana.

Lebih dari itu, putusan MK ini hanya fokus pada pemihakan hak asasi manusia (HAM) dari perspektif hak politik (individu) kerabat petahana saja, namun melupakan pemihakannya pada hak politik warga negara secara umum. MK telah mengabaikan hak warga negara yang lebih besar terkait dampak buruk dominasi politik dinasti itu sendiri yang berpotensi menyuburkan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

Pilkada yang jujur, adil, dan demokratis juga adalah mandat konstitusi (UUD), bagaimana mungkin pilkada dapat berlangsung demikian, jika UU Pilkada tak mampu mengatur dan membatasi dominasi politik dinasti ini. Sejak semula, publik menginginkan agar pilkada dapat berlangsung secara adil dan demokratis dengan cara mengatur jeda waktu satu periode masa jabatan petahana dengan kerabatnya. Ini dimaksudkan agar kepala daerah petahana tidak punya berbagai keuntungan terkait pencalonan kerabatnya.

Seharusnya, MK sepakat dengan pentingnya pembatasan politik dinasti ini agar aneka keuntungan itu tidak disalahgunakan petahana

untuk kepentingan dirinya dan kerabatnya. Sebab realitasnya, petahana dapat secara leluasa menyalahgunakan kekuasaannya untuk menyokong kemenangan kerabatnya dalam pilkada, mulai dari mobilisasi pemilih, penggunaan fasilitas dana APBD, mobilisasi aparat birokrasi daerah, hingga menjual popularitas untuk men-dulang suara pemilih agar memilih kerabatnya.

Di titik ini, sesungguhnya, pembatasan politik dinasti dalam UU Pilkada tidak melanggar HAM justru memuliakan HAM karena dengan pembatasan politik dinasti ini akan dapat menciptakan pilkada berlangsung secara adil dan demokratis, karena tak ada satu pihak pun yang dapat diuntungkan secara politis atas posisi petahana.

Seperti diingatkan oleh Roscoe Pound (1961) dalam buku klasiknya

The Sociological Jurisprudence, bahwa seharusnya hukum dijadikan

instrumen untuk perubahan sosial (law as a tool of social engeneering). Karena itulah, maka UU No.8/2015 tentang Pilkada harus menjadi alat untuk melakukan pengaturan agar demokrasi dapat berjalan secara adil sehingga akan menciptakan ruang kompetisi yang adil dalam pilkada antar calon tanpa dibebani oleh politik dinasti.

Di sinilah relevansi Pasal 7 Huruf r UU No.8/2015 yang mengatur jeda waktu bolehnya anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015, harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan menjadi sangat urgen dari sebagai bagian komitmen me-muliakan HAM bukan melanggar HAM.

Di negara demokrasi baru seperti Indonesia yang memiliki karakter pemilih dalam pilkada dan Pemilu yang masih belum terdidik secara politik rasional untuk cerdas dalam menentukan pilihan politik kepada calon yang baik, diperlukan instrumen hukum sebagai cara untuk mencerdaskan pemilih sehingga pilkada tidak berlangsung liberal dan bebas tanpa batasan-batasan rasional. Berbeda dengan negara demokrasi yang sudah matang, seperti di Eropa, Skandinavia dan Amerika Serikat yang memiliki karakter pemilih cerdas dan rasional, tak lagi memerlukan pembatasan politik dinasti dalam Pemilu. Mekanisme Pemilu diserahkan pada selera pasar, yakni pilihan pemilih yang rasional. Karena itu, politik dinasti menjadi wajar dan biasa di negara-negara tersebut, karena di negara-negara tersebut menganut sistem Pemilu liberal.

Sistem pilkada dan Pemilu di Indonesia bukanlah sistem liberal, melainkan sistem yang dibangun atas dasar Pancasila yang menem-patkan negara melalui instrumen hukum dapat berperan dalam mengatur dan membuat pembatasan-pembatasan tertentu menuju sistem pilkada yang adil dan demokratis sepanjang dimaksudkan untuk menjamin HAM dan pertimbangan moral, nilai-nilai agama dan ketertiban umum.

Seperti dinyatakan dalam Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945, bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Karena itu, pembatasan politik dinasti melalui jeda waktu satu periode bagi calon yang memiliki hubungan kerabat dengan petahana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 Huruf r UU No.8/2015 yang dibatalkan oleh MK ini sesungguhnya tidak diskriminatif dan tidak melanggar HAM, karena memiliki spirit mengatur kompetisi pilkada agar berlangsung adil dan demokratis karena tidak mem-bedakan antara calon orang biasa dan calon yang memiliki hubungan kerabat dengan petahana.

Maka solusi untuk mengatasi politik dinasti adalah mengubah kembali desain ketatanegaraan melalui revisi terhadap ketentuan UU Pilkada dan UU Pemilu untuk melarang para kerabat dekat calon petahana (incumbent) dalam pilkada. Kendati ketentuan pasal ini telah dibatalkan oleh MK, bukan berarti pemerintah tak boleh memasukkan kembali klausul pemotongan mata rantai politik dinasti dengan redaksi yang berbeda dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, sepanjang ditujukan untuk mencegah politik dinasti yang telah nyata mendorong para kepala daerah dalam ikatan dinasti memperjual-belikan jabatan di Pemda.

Solusi berikutnya untuk dapat memotong mata rantai politik dinasti adalah dari aspek budaya politik melalui peran partai politik (Parpol) dan pemilih. Parpol seharusnya memilih kader-kader yang berkualitas yang bukan berasal dari dinasti politik untuk maju dalam konstestasi Pemilu. Pemilih pun harus cerdas dalam memilih dengan

tidak memilih calon yang berasal dari dinasti politik. Yang paling bertanggung jawab untuk memangkas dinasti politik yang paling berkuasa dalam Pemilu adalah pemilih. Di sinilah relevansi di-perlukannya upaya mencerdaskan pemilih agar tidak menjadi pemilih yang sentimentil dan emosional melainkan pemilih yang rasional dan bermartabat. Dalam banyak teori dan praktik Pemilu di dunia, dinasti politik tidak akan tumbuh dan terbonsai jika pemilih tidak memilih kelompok dan keluarga yang terafiliasi dengan dinasti politik.