• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Arsitektur Sistem Pemerintahan Presidensial

B. Perlunya Pelembagaan Partai Politik

Sesungguhnya, pada prinsipnya, secara filosofis UUD 1945 pasca amandemen telah menempatkan posisi dua lembaga: DPR dan presiden sama kuat keduanya tidak dapat saling menjatuhkan sehingga akan melahirkan mekanisme saling kontrol dan mengimbangi (checks

and balances) antara kedua lembaga ini, dengan demikian akan

melahirkan stabilitas politik.19

Menginginkan lembaga DPR yang kuat tidak bisa dilepaskan pertaliannya dengan politisi dan Parpol, sebab komposisi lembaga DPR dengan segenap alat kelengkapannya (komisi dan fraksi) adalah merupakan kader-kader partai terbaik dari Parpol yang telah meme-nangkan kompetisi untuk meraih kursi melalui pemilihan umum legislatif yang diselenggarakan secara berkala dan berkelanjutan. Oleh karena itu, DPR yang kuat dalam menjalankan fungsinya,

peng-17 Agus Riwanto, “Rumitnya Memakzulkan Presiden”, Suara Pembaharuan, 4 Januari 2010, hal, 6 dan Agus Riwanto, “Alergi Impeachment Presiden”, Suara Merdeka, 28 Januari 2010, hal, 6.

18 Denny Indrayana, Negara Antara Ada Dan Tiada, Reformasi Ketatanegaraan, PT Gramedia-Kompas, Jakarta, 2006, hal, 68.

19 Afan Gaffar,, “Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Perubahan

Kelembagaan” dalam Riza Sihbudi (eds), Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis-Politik, PP.AIPI, Jakarta, 2002, hal, 431-446.

awasan, legislasi dan anggaran, berarti mencerminkan kuatnya pelembagaan sistem kepartaian. Sebaliknya, DPR yang lemah mencerminkan lemahnya pelembagaan sistem kepartaian.

Pelembagaan sistem kepartaian adalah seperti dinyatakan oleh Vicky Randall:20

“……the process by which the party becomes established in terms at both of integrated pattern of behavior and of attitude or culture….”

Perilaku aktor politik di DPR pasca reformasi tidak terpola dengan jelas antara beroposisi atau mendukung kebijakan pemerintah. Padahal, perilaku yang mempola kelak dan menjadi sikap dan budaya tentu akan mempermudah bagi pelaksanaan tugas-tugas DPR dalam hubungannya dengan presiden karena dengan perilaku partai yang mempola tidak mengalami fluktuasi dan standar ganda dalam melakukan pengawasan pada kinerja presiden. Sehingga mem-permudah pula bagi presiden untuk menjalankan tugas penyeleng-garaan pemerintahan tanpa diiringi oleh sikap-sikap reaktif dan oportunistik parlemen.

Dengan perilaku partai di parlemen yang mempola, maka akan cenderung melahirkan sikap disiplin dan konsisten pada partai. Misalnya, ketika Parpol di parlemen bersikap sebagai oposisi, maka perilaku oposisi ini akan dipertahankan dalam bentuk budaya oposisi di parlemen, dalam semua isu dan kebijakan publik yang dijalankan presiden. Sebaliknya jika sikap Parpol di parlemen yang bersekutu dan mendukung pemerintah/presiden, maka sikap ini juga dipertahankan dalam kondisi apapun.

Kejelasan sikap ini akan melahirkan budaya politik yang demokratis, karena memperlihatkan fatsoen (etika) politik, berupa konsistensi dan komitmen berpolitik. Model ini akan meminimalkan sikap pragmatisme Parpol dan membentuk disiplin berpolitik. Terutama dalam mengusung program partai dan ideologi partai di parlemen.21

Chile adalah contoh negara yang menggabungkan sistem multi-partai dengan sistem presidensial yang tidak bermasalah, bahkan

20 Vicky Randall dan Lars Svasand, “Party Institutionalization in New Democracies”, in Party Politics Journal, Vol.8 No.1, 2002, hal,.6-7.

21 Barry Ames and Timotothy J Power, “Parties and Governability” dalam Paul Webb and Stephen White, (eds), Party Politics in New Democracies, Oxford, USA : Oxford University Press, 2009, sebagaimana di kutip oleh Ramlan Surbakti, 2010, “Sistem Pemilihan Umum Rentan Masalah” Kompas, 9 September 2009, hal, 6.

cenderung stabil pemerintahannya. Salah satu faktor keber-hasilannya adalah adanya kedisiplinan Parpol di parlemen dalam mengusung ideologi dan program partai di parlemen, serta sikap politik yang konsisten dan penuh komitmen.22

Kedisiplinan Parpol di parlemen menjadi kata kunci keber-hasilan keberkeber-hasilan sistem presidensial maupun parlementer di hampir semua negara demokrasi di dunia terutama dalam mem-pertahankan stabilitas pemerintah dan efektivitas pemerintah, apakah sistem itu dipadukan dengan multipartai atau dwipartai. Bahkan ketika sistem parlementer telah disokong oleh dwipartai (partai pemerintah dan oposisi) yang secara teoritik akan lebih stabil dan efektif pemerintahannya, namun jika tidak disertai kedisiplinan Parpol akan dapat melahirkan sistem pemerintahan yang tidak stabil.

Karena itu, dalam pandangan beberapa ahli perbandingan politik stabilitas dan efektivitas sistem pemerintahan tidak lagi berporos pada dua pandangan ekstrim: presidensial atau parlementer, melainkan pada model sistem kepartaiannya yang dapat atau tidak menyokong pemerintahannya.23 Walaupun ada yang berpendapat sistem parlementer jauh lebih banyak sumbangsihnya pada konsolidasi demokrasi, terutama di negara-negara demokrasi baru.24

Jika tujuan utama pemilihan sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 adalah sistem presidensial murni yang efektif dan stabil pastilah berkeinginan adanya sistem pelembagaan Parpol yang kuat di DPR, terutama adanya perilaku yang mempola dan dapat diwujudkan dalam sikap dan budaya politik. Dengan cara ini akan dapat melahirkan sikap politik yang konsisten dan meminimal-kan politik yang pragmatis (untuk kepentingan jangka pendek).

Dengan demikian, sebenarnya sistem pemerintahan presidensial versi UUD 1945 pasca amandemen tidak kompatibel dengan sistem

22 Scott Mainwaring,”Presidentialism, Multipartism…,”Op. Cit, 1993, hal, 224. 23 Lihat gagasan ini melalui, Jose Anthonio, Adam Przeworski and Sebastian M.Saiegh, “Government Coalition and Legislative Success Under Presidentialism and Parlementarism”, in British Journal of Political Science, No.34, 2004, hal, 565-587, Jose Antonio Cheilbub, “Minority Government, Deadlock Situations and The Survival at Presi-dential Democracies”, in Comparative Political Studies Journal, Vol.35 No.284, 2002, hal, 284-311.

24 Affred Stepan and Cindy Skach, “Constitutional Framework and Democratic Con-solidation Parlementarism Versus Presidentialism” in Journal of World Politics, Vol.46 No.1, 1993, hal, 1-22.

pelembagaan Parpol yang lemah sebagaimana dituangkan dalam prinsip pengaturan sistem kepartaian dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2009.

Pada puncaknya, perilaku yang mempola dari Parpol di parlemen, berupa kedisiplinan yang tinggi itu akan menentukan derajat kesistemannya, yaitu proses pelaksanaan fungsi-fungsi Parpol, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, per-syaratan prosedur, dan mekanisme yang disepakati dan ditetapkan dalam AD/ART Parpol. Aturan dalam Anggaran Dasar dan Anggran Rumah Tangga (AD/ART) itu harus demokratis sesuai asas kedaulatan partai, terletak di tangan anggota, juga perlu dirumuskan secara rinci sehingga mampu berfungsi sebagai kaidah dan prosedur penuntun perilaku dalam melaksanakan semua fungsi Parpol. Karenanya Parpol dapat dikatakan sudah melembaga dari segi kesisteman apabila Parpol melaksanakan fungsi semata-mata menurut AD/ART yang demokratik dan dirumuskan secara komprehensif dan rinci tersebut.25

Sejauh ini, kelemahan Parpol di Indonesia belum ada kesisteman dalam partai yang ditandai dengan adanya tiga hal. Pertama, struktur organisasi partai yang sentralistik. Kedua, kepemimpinan bersifat oligarki, yaitu dilakukannya oleh segelintir elite Parpol. Ketiga, kepentingan fraksi kelompok dan golongan lebih dominan daripada kepentingan partai sebagai organisasi.26

Isu-isu politik yang menyebabkan kelemahan sistem kepartaian Indonesia dapat dilihat dalam tiga fenomena belakangan ini. Pertama, penentuan pengurus Parpol pada semua tingkatan. Kedua, penentuan calon dari Parpol yang akan mengisi jabatan legeslatif (DPR dan DPRD). Ketiga, penentuan kebijakan Parpol mengenai peraturan per-undang-undangan dan kebijakan publik pada umumnya. Setidaknya tiga isu itu harus diputuskan melalui mekanisme rapat anggota sesuai dengan tingkatannya. Karena itu UU Partai Politik perlu memuat ketentuan yang mengharuskan setiap Parpol merumuskan AD/ART secara komprehensif, setidaknya dalam tiga isu tersebut.27

25 Ramlan Surbakti, “Perkembangan Parpol Indonesia” dalam Andy Ramses M, (eds), 2009, Politik dan Pemerintahan Indonesia, MIPI, Jakarta, 2009, hal, 144-145.

26 Ibid.,hal, 144. 27 Ibid., hal, 45.