• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyelamatkan Partai Politik dari Perilaku Korupsi Politik

E. Perlunya Pendanaan Pilkada dari APBN

Sejumlah pihak menyatakan kecewa pada praktik Pilkada karena terjadinya kekerasan di sejumlah daerah, merebaknya praktik politik uang, dan mahalnya biaya. Biaya pilkada, selama ini di Indonesia, melahirkan paradoks dilihat dari aspek mahalnya biaya politik. Tak sebanding antara biaya yang dikeluarkan dan gaji yang didapat para calon setelah menjadi kepala daerah. Misalnya, untuk calon gubernur diperlukan biaya Rp20 miliar-Rp100 miliar, padahal gaji yang diterima per-tahun “hanya’’ Rp510 juta-Rp600 juta; calon bupati/wali kota Rp0,3 miliar-Rp10 miliar, sedangkan gaji yang diperoleh “cuma’’ Rp 300 juta-Rp 420 juta/tahun.

Hal ini berakibat pada tak sebanding lurusnya dengan tuntutan publik agar kepala daerah harus menjalankan roda pemerintahannya dengan bersih tanpa korupsi. Padahal modal yang dikeluarkan lebih besar ketimbang gaji. Pada titik ini dipastikan calon kepala daerah (setelah terpilih) melakukan aneka siasat untuk mengembalikan modal biaya politik saat pilkada, dari APBD, DAU, dan DAK untuk daerahnya. Letak kesalahan mahalnya biaya politik pilkada utamanya pada desain sistem politik kita, sebab pilkada langsung dilaksanakan di tengah suasana masyarakat yang miskin secara ekonomi, ber-konsekuensi suara menjadi alat satu-satunya untuk diperjualbelikan di pasar politik pilkada.

Pilihan yang tersedia adalah mengevaluasi kritis berbagai perangkat Undang-Undang (UU) Pilkada. Pilihan model pilkada langsung tanpa disertai dengan model pencerdasan rakyat menjadi pemilih rasional, cerdas, dan bertanggung jawab atas pilihannya, juga tanpa disertai usaha sistemik meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah kekurangan utama sistem pilkada langsung selama ini.

Isu politik menjadi domain elite dan warga urban, bukan mereka yang tinggal di pedesaan yang jumlahnya lebih banyak. Padahal suara merekalah yang selama pilkada menjadi objek sasaran politik uang kandidat kepala daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diubah menjadi UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pilkada dan selanjutnya diubah lagi menjadi UU No. 10 Tahun 2016 tampaknya alpa mengatur tentang pembatasan pemberian sumbangan untuk Parpol pengusung calon dan pasangan calon sehingga dengan leluasa sumbangan dana lebih banyak diterima oleh keduanya. Demikian pula sanksinya tidak tegas, selama ini UU masih memungkinkan kandidat untuk melakukan politik uang. Akibatnya, belanja politik tak terkontrol. Apalagi selama ini model kampanye politik uang yang dikemas para calon tidak dengan pemberian uang tunai tetapi dengan pemberian sembako, bakti sosial, pengobatan gratis, uang transpor, dan uang bensin saat kampanye maka kian sulit dikontrol.

Demikian pula UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) tak secara cermat meng-atur tentang pemberian sanksi politik uang, dan hanya bagi tim kampanye yang terdaftar di KPU, sehingga sulit menjatuhkan sanksi bila dilakukan oleh bukan tim kampanye. Para calon juga cerdas menyiasati dengan mendaftar jumlah ribuan jumlah kader, sebab UU memperbolehkan pemberian uang untuk para kadernya.

Yang dilarang bila uang itu diberikan kepada non kader untuk meengaruhi pilihannya. Siasat yang tak kalah cerdas dilakukan calon dengan memberikan uang pada saat hari tenang (tiga hari) menjelang pemungutan suara.

UU Pilkada tidak mengatur pemberian sanksinya. Kemudian pelaporan dana kampanye dalam dua regulasi itu hanya dilakukan amat pendek hanya 20 hari sehingga pelaporan uang kampanye dan konversi sumbangan bukan uang hanya formalitas dan asal-asalan, pun tidak ada sanksi yang tegas.

Upaya memangkas biaya penyelenggaraan pilkada dapat dilakukan dengan sistem pilkada gabungan: menyatukan pilkada dengan pilpres dan Pemilu DPR dan DPRD, dengan format Pemilu lokal dan nasional, seperti dilakukan di sejumlah negara Amerika

Latin. Salah satu problem klasik dalam setiap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia adalah terkait dengan ketidaksiapan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam menyediakan pembiayaan Pilkada dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena sangat mahal dan membebani APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan Pilkada.

Misalnya Pilkada serentak 9 Desember 2015 lalu yang berlangsung di 264 daerah dari 269 daerah yang direncanakan, terdiri dari 8 provinsi, 222 kabupaten dan 34 kota dan pilkada serentak tahun 2017 di 101 daerah. Penyelenggara Pilkada (KPU daerah) di sejumlah daerah terpaksa harus melaksanakan tahapan Pilkada tanpa dana yang memadai. Akibatnya, pelaksanaan Pilkada tanpa standar biaya yang sama antardaerah. Penyelenggaraan Pilkada di daerah yang kaya terlampau boros, sedangkan daerah yang miskin nyaris tanpa biaya memadai.

Agar persoalan pembiayaan ini tidak menjadi persoalan rutin dalam Pilkada, maka perlu dipikirkan model pembiayaan alternatif yang bersumber dari dana publik yang diakumulasi oleh negara di pemerintah pusat berupa, Anggaran Pendapatan dan Biaya Negara (APBN). Menurut Michael G. Miller, (2014), mensubsidi “proyek demokrasi” melalui dana-dana publik sangat penting karena akan sangat menguntungkan penataan politik dan desain sistem Pemilu nasional untuk investasi demokrastisasi jangka panjang yang berkesinambungan di sebuah negara.8

Sesungguhnya, Pilkada adalah merupakan bagian dari rezim pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia yang terdiri dari pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD (Pileg) dan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres). Karenanya, Pilkada merupakan bagian dari hajat nasional. Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 E UUD 1945 pasca amandemen. Bahkan berdasarkan UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, semua jenis Pemilu (Pilkada, Pileg dan Pilpres) diselenggarakan oleh lembaga yang sama, yakni KPU, Bawaslu dan DKPP yang bersifat nasional, tetap dan mandiri bukan bersifat lokal. Bila pileg 2014 dan pilpres 2014 lalu tidak mengalami persoalan dalam hal pembiayaannya, maka mestinya Pilkada pun demikian.

8 Michael G. Miller, 2014, Subsidizing Democracy: How Public Funding Changes Elections, and How It Can Work in the Future. Cornell University Press.

Karena Pileg dan Pilpres dibiayai oleh dana APBN. Jika demikian maka tidak logis bila Pilkada yang merupakan bagian dari rezim Pemilu nasional dibiayai oleh APBD, mestinya Pilkada juga dibiayai oleh APBN sebagaimana Pileg dan Pilpres. Gagasan biaya Pilkada dari APBN ini selain dalam rangka singkronisasi sistem Pemilu juga dalam rangka untuk meringankan beban keuangan daerah, terutama daerah-daerah yang Pendapatan Asli Daerah (PAD) minim dan APBD-nya nyaris defisit.

Selain itu, model pembiayaan APBN ini juga akan dapat meng-hindari adanya proses negosiasi dan lobi antara KPUD, Pemda dan DPRD dalam menyusun anggaran Pilkada yang dapat mengganggu konsentrasi KPUD dalam menyiapkan penyelenggaraan Pilkada. Belum lagi, ditambah tradisi penganggaran APBD selama ini selalu diwarnai dengan “pesanan politik” tertentu yang amat menyulitkan KPUD. Akibatnya independensi KPUD turut tergadaikan. Apalagi jika sejumlah pejabat pemda, incumbent kepala daerah dan para anggota DPRD turut mencalonkan diri dalam Pilkada, maka per-soalan anggaran Pilkada kian rumit dan dijadikan alat “menyandera” KPUD agar lebih pro pada calon-calon tertentu. Lain halnya, bila anggaran Pilkada berasal dari APBN, maka persoalan ini akan dapat ditepis.

Problemnya bukan hanya berhenti di situ, bila para pihak di daerah yang terkait dengan penganggaran APBD Pilkada ini kalah dalam kompetisi Pilkada, maka biasanya KPUD akan disandera untuk dipenjarakan, karena kecurigaan antara calon pada KPUD dalam berpihak pada calon-calon tertentu. Kendati KPUD telah bekerja secara profesional, independen, dan transparan. Pembiayaan Pilkada bersumber dari APBN ini juga berefek positif, karena Pemda tidak lagi memikirkan biaya politik. Sehingga dana APBD dapat diserap untuk penyelenggaraan kesejahteraan rakyat di daerah.

Kendati tak terucap, sesungguhnya ketidaksiapan dana Pilkada dari APBD di setiap daerah ini menunjukkan pemda tak bersedia dalam pembiayaan Pilkada. Padahal telah disediakan regulasi taktis, dalam bentuk Peraturan Menteri dalam Negeri (Permendagri) dan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) yang memberikan solusi untuk permasalahan anggaran Pilkada. Dalam peraturan itu, peme-rintah daerah bisa menabung dana untuk penyelenggaraan Pilkada sebelum masa Pilkada dimulai. Ini dimaksudkan agar dana Pilkada

tak membebani satu tahun anggaran. Namun, realitasnya jarang dilakukan oleh Pemda, karena berbagai alasan. Umumnya karena anggaran APBD telah habis terserap untuk belanja rutin daerah.

Secara teknis, pembiayaan dari APBN ini juga akan dapat mempermurah biaya Pilkada karena cara ini memungkinkan bagi pemerintah pusat untuk membuat standarisasi nasional biaya Pilkada. Harus diakui, Pilkada dengan biaya APBD membuat setiap daerah mempunyai standar masing-masing, sehingga terkesan boros. Karena itu, pemerintah pusat perlu membuat standar baku dengan kriteria berdasar jumlah pemilih dan kondisi sosial-politik tertentu. Cara ini bukan saja akan mengefektifkan biaya Pilkada, akan tetapi juga akan memudahkan kontrol penggunaan biaya Pilkada.

Model pembiayaan Pilkada dari APBN ini tidak menyulitkan KPUD dalam mempertanggungjawabkan anggaran pasca Pilkada, karena harus berhadapan dengan berbagai macam “kepentingan politik” daerah yang ragam dan bentuknya amat sulit diprediksi. Cara ini secara politik akan menaikkan daya tawar KPUD dari tarikan politik lokal terutama elite lokal untuk memengaruhi dan meng-intervensi KPUD. Dengan model ini, maka KPUD akan kian inde-penden, profesional, dan akuntabel.

Karena itu, presiden perlu mengambil kebijakan yang luar biasa

(extraordinary) dengan menugaskan Mendagri untuk mengkaji

secara cepat dan cermat model pembiayaan Pilkada serentak nasional dari APBN melalui revisi terhadap UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada Serentak untuk menyongsong Pilkada serentak gelombang berikutnya.