BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Seksio Sesarea
2.1.1. Definisi Seksio Sesarea
Seksio sesarea adalah suatu teknik melahirkan janin melalui insisi dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi). Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari rongga abdomen pada kasus ruptur uterus atau kasus kehamilan abdominal (Cunningham et al., 2010).
Berdasarkan sejarah, istilah seksio sesarea berasal dari hukum Romawi, yang dibentuk pada abad ke 8 oleh Kaisar Numa Pompilus, yang memerintahkan prosedur tersebut untuk dilakukan pada wanita dalam keadaan sekarat pada beberapa minggu terakhir kehamilan dengan harapan untuk menyelamatkan sang janin. Selain itu, kata
caesarean dibentuk di abad pertengahan dari bahasa Latin caedere, yang berarti
memotong (Cunningham et al., 2010).
2.1.2. Klasifikasi Seksio Sesarea
Seksio sesarea secara konvensional dibagi ke dalam dua kelompok yaitu seksio sesarea elektif dan seksio sesarea darurat. Seksio sesarea dapat dilakukan sebagai prosedur elektif ketika adanya risiko yang dapat diprediksi terhadap ibu maupun janin selama persalinan atau adanya indikasi yang terdeteksi untuk dilakukannya prosedur tersebut. Selain itu, digolongkan ke dalam prosedur darurat ketika terjadi komplikasi kehamilan maupun persalinan yang membutuhkan intervensi yang cepat dan segera untuk melahirkan janin. (Kwawukume 2002; Jaiyesimi dan Ojo, 2003)
Menurut Lucas et al. (2000), seksio sesarea berdasarkan tingkatan urgensi dibagi menjadi:
1. Emergency
Seksio sesarea dimana adanya ancaman langsung terhadap nyawa sang ibu maupun janin.
2. Urgent
Seksio sesarea dimana adanya keadaan penyulit maternal maupun fetal namun tidak segera mengancam nyawa.
3. Scheduled
Seksio sesarea dimana keadaan menuntut persalinan segera namun tidak ada penyulit fetal maupun maternal.
4. Elective
Seksio sesarea yang dilakukan pada waktu yang disesuaikan dengan keinginan ibu dan juga kesiapan tim maternal.
Menurut Benson dan Pernoll (2008), jenis-jenis seksio sesarea yang sering dilakukan adalah:
1. Seksio Sesarea Segmen Bawah
Tindakan ini dilakukan dengan insisi melintang pada peritoneum uterus kira-kira 1 cm dari perlekatan kandung kemih. Kemudian dipisahkan ruang yang menghubungkan antara kandung kemih dan segmen bawah rahim sepanjang 3-4 cm dengan diseksi tumpul dan menarik kandung kemih ke arah simfisis pubis sehingga segmen bawah rahim tampak. Lalu insisi vertikal di garis tengah segmen bawah rahim untuk memasuki uterus lebih jauh. Setelah itu pelahiran janin, plasenta, dan selaput ketuban.
2. Seksio Sesarea Klasik
Seksio sesarea klasik merupakan tindakan yang paling sederhana. Indikasi seksio sesarea klasik adalah plasenta previa, letak janin melintang, atau oblik dan jika persalinan cepat sangat dibutuhkan. Tindakan ini dilakukan melalui insisi vertikal pada bagian bawah korpus uteri (di atas lipatan vesikouteri) melalui peritoneum
viseral ke dalam miometrium. Setelah masuk ke dalam kavum uterus, insisi diperluas ke arah kaudal dan kranial. Lalu pelahiran bayi, plasenta, dan selaput ketuban.
3. Seksio Sesarea Ekstraperitonial
Tindakan seksio sesarea ekstraperitoneal adalah tindakan dimana memasuki uterus tanpa membuka peritoneum.
2.1.3. Indikasi Seksio Sesarea
Seksio sesarea dilakukan pada kasus-kasus dimana persalinan pervaginam tidak dapat dilakukan ataupun akan memaksakan risiko yang tidak semestinya kepada sang ibu ataupun janin. Dalam beberapa kasus, penilaian yang baik dibutuhkan untuk menentukan apakah seksio sesarea atau persalinan pervaginam yang lebih baik untuk dilakukan (DeCherney et al., 2007).
Berbagai indikasi dilakukannya seksio sesarea adalah: 1. Seksio sesarea berulang
Diktum yang berbunyi “once cesarean always a cesarean” telah dipegang selama bertahun-tahun. Walaupun demikian, seiring munculnya publikasi-publikasi yang mendokumentasikan akan keamanan persalinan pervaginam setelah seksio sesarea dalam berbagai literatur, telah banyak tenaga kesehatan berpindah dari kepercayaan ini. Dorongan terbesar yang mengarahkan kepada terjadinya perubahan ini adalah lebih sedikitnya risiko persalinan pervaginam, lebih sedikit diperlukannya anestesi, kurangnya kesakitan pasca persalinan, waktu rawat inap yang lebih singkat, biaya yang lebih rendah, serta pembentukan ikatan batin dan interaksi ibu dan bayi lebih dini. Namun semakin banyaknya persalinan pervaginam setelah seksio sesarea yang dilakukan di tempat-tempat dimana tindakan ini tidak ideal terlaksana maka semakin meningkat angka komplikasi yang terjadi. Oleh karena itu, faktanya muncul kembali tren untuk mengadopsi diktum “once cesarean always a cesarean” kembali. (DeCherney et al., 2007)
2. Atas Permintaan Ibu
Seksio sesarea yang dilakukan atas keinginan tanpa adanya indikasi maternal maupun fetal untuk dilakukan tindakan seksio sesarea.
Beberapa alasan yang mendasari para ibu menginginkan persalinan dengan cara seksio sesarea adalah nyeri saat bersalin, rasa takut menghadapi persalinan pervaginam, keinginan untuk melahirkan sesuai waktu yang direncanakan, mencegah kesakitan matenal berupa inkontinesia dan prolaps organ pelvis, mencegah luaran bayi yang buruk seperti kematian intrauterin, trauma lahir, infeksio neonatal. (Ecker, 2013)
Namun demikian, seksio sesarea yang dilakukan atas permintaan ibu memiliki beberapa risiko yaitu lama rawatan yang lebih panjang, meningkatnya risiko masalah pernapasan pada bayi, kemungkinan komplikasi pada kehamilan berikut yang lebih tinggi, mencakup ruptur uterus, masalah implantasi plasenta, dan histerektomi. (American Congress of Obstetricians and Gynecologists, 2013)
3. Primigravida Tua
Primigravida tua adalah keadaan dimana seorang wanita mengalami kehamilan pertama di usia 35 tahun keatas (Padubidri dan Anand, 2006).
Risiko primigravida tua terhadap ibu maupun janin adalah:
1. Adanya kemungkinan timbul fibroid uterus, dan kehamilan bisa menjadi sulit karena aborsi, torsio fibroid, serta persalinan prematur.
2. Dapat terjadi aborsi dan intrauterine growth retardation karena tidak adekuatnya perfusi plasenta.
3. Hipertensi dan diabetes dapat mempersulit kehamilan. 4. Tingginya kejadian seksio sesarea.
5. Risiko pada janin yaitu kelainan kongenital janin, seperti sindroma down dan intrauterine growth retardation.
4. Distosia
Distosia secara harfiah diartikan sebagai persalinan yang sulit. Ini terjadi ketika persalinan mengalami kemajuan dan kemudian berhenti sama sekali atau menjadi berkepanjangan. Ketika situasi ini terjadi saat persalinan, diperlukan penilaian kembali terhadap pasien, menyangkut pola persalinan, pola kontraksi, evaluasi estimasi berat janin dan presentasi janin, serta evaluasi pelvis (DeCherney et al., 2007).
Beberapa penyebab distosia menurut Simkin dan Ancheta (2002) adalah: 1. Kekuatan (kontraksi uterus)
2. Jalan Lahir (ukuran, bentuk, mobilitas sendi panggul, serta daya regang dan kelenturan vagina)
3. Janin (ukuran dan bentuk kepala janin, presentasi dan posisi janin) 4. Nyeri (kemampuan wanita untuk menghadapi nyeri)
5. Psikis (kecemasan, keadaan emosional wanita)
5. Malposisi dan malpresentasi janin
Letak lintang dan presentasi sungsang merupakan indikasi umum dilakukannya seksio sesarea. Metode persalinan seksio sesarea bagi kasus presentasi sungsang disarankan oleh karena luaran bayi yang dicapai lebih baik. Versi sefalik eksternal dapat menjadi alternatif pada beberapa pasien dan dapat diusahakan untuk mengubah janin ke presentasi kepala. Walau demikian, prosedur ini berhasil dalam mentoleransi persalinan pervaginam hanya dalam 50% kasus (DeCherney et al., 2007).
6. Gawat Janin
Sehubungan dengan diagnosis gawat janin , rekomendasi oleh American Academy
of Pediatrics and the American College of Obstetricians and Gynecologists (2007)
mengambil keputusan dan pelaksanaan operatif. Oleh karena itu, ketika dihadapkan dengan keadaan akut, perburukan kondisi janin, seksio sesarea biasanya diindikasikan secepat mungkin dan penundaan bertujuan dalam jangka waktu tertentu menjadi tidak patut terjadi (Cunningham et al., 2010).
7. Ketuban Pecah dini
Ketuban pecah dini adalah keadaan dimana terjadi ruptur dari selaput ketuban sebelum timbulnya tanda-tanda persalinan pada pasien dengan usia kehamilan diatas 37 minggu (Jazayeri, 2013).
8. Plasenta Previa
Plasenta previa merupakan keadaan dimana plasenta terletak di atau sangat dekat dengan tulang seviks interna (Khrisna et al., 2001).
Menurut Krishna et al. (2001), plasenta previa dikelompok menjadi empat, yaitu: 1. Plasenta previa totalis
Dimana cervical os tertutup seluruhnya oleh plasenta. 2. Plasenta previa parsial
Dimana cervical os tertutup sebagian oleh plasenta. 3. Plasenta previa marginal
Dimana tepi dari plasenta tidak menutupi namun terletak dekat cervical os. 4. Plasenta previa letak rendah
Dimana plasenta terletak di segmen bawah rahim namum tepi plasenta tidak mencapai cervical os hanya mendekati.
9. Hipertensi dalam Kehamilan
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah menetap diatas 140/90 mmHg (DeCherney et al., 2007).
Dalam Cunningham et al. (2010), Hipertensi dalam kehamilan diklasifikasi menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Hipertensi gestasional
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pertama kali selama kehamilan Proteinuria (-)
Tekanan darah kembali normal sebelum 12 minggu pasca partus 2. Preeklampsia
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+dipstik
Serum kreatin > 1.2 mg/dl Platelet < 100.000/ɥL
Laktat Dehidrogenase meningkat Kadar serum transaminase meningkat
Nyeri kepala, gangguan serebral, atau penglihatan yang menetap Nyeri epigastrium menetap
3. Eklampsia
Sindroma preeklampsia dengan adanya kejang tanpa penyebab yang jelas. 4. Superimposed preeklampsia – eklampsia
Onset baru proteinuria ≥ 300mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi namun tidak ada proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu.
Peningkatan tiba-tiba proteinuria, atau tekanan darah, atau jumlah platelet < 100.000/ɥL pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi Kronik
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau hipertensi yang didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu pasca partus.
10. Ruptur uterus
Ruptur uterus adalah keadaan dimana uterus mengalami disrupsi. Ruptur uteri spontan memanglah jarang. Namun, hal ini dapat membahayakan keadaan ibu oleh karena munculnya perdarahan masif. Menurut DeCherney et al. (2007), ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya ruptur uteri, yaitu: 1. Mapresentasi janin
2. Grande multipara 3. Riwayat operasi uterus
4. Induksi persalinan dengan oksitosin
11. Bayi Besar (Makrosomia)
Makrosomia didefinisikan sebagai berat badan lahir diatas 4000 gram pada persalinan cukup bulan. Ini masih menjadi penyebab penting terjadinya kesakitan perinatal dan kesakitan serta kematian ibu, yang muncul karena cedera lahir, asfiksia, dan frekuensi seksio sesarea yang meningkat (Winn dan Hobbins, 2000).
12. Prolapsus Tali Pusat
Stright (2001) mengatakan bahwa, “Prolapsus tali pusat adalah penurunan tali pusat ke dalam vagina mendahului bagian terendah janin yang mengakibatkan kompresi tali pusat di antara bagian terendah janin dan panggul ibu.”
Prolapsus tali pusat dihubungkan dengan keadaan prematuritas, presentasi abnormal janin, tumor pelvis, multiparitas, plasenta previa, plasenta letak rendah, disproporsi fetopelvik. Selain itu, dapat juga ditemukan kejadian prolapsus tali pusat pada keadaan hidraamnion (cairan ketuban berlebih), kehamilan ganda, ruptur dini selaput plasenta (DeCherney et al., 2007).
Kehamilan ganda adalah kehamilan dengan jumlah janin dua atau lebih intrauterin. Kehamilan ini dianggap mempunyai risiko tinggi karena beberapa alasan berikut:
1. Kejadian komplikasi pada kehamilan ganda lebih tinggi 2. Dikaitkan dengan kelainan kongenital
3. Memerlukan tindakan operasi persalinan 4. Menimbulkan trauma persalinan
5. Komplikasi paska partus lebih tinggi
6. Selama hamil dikaitkan dengan kejadian anemia tinggi karena nutrisi dan vitamin atau Fe masih kurang (Manuaba et al., 2003)
Menurut DeCherney et al. (2007), kehamilan ganda dikategorikan sebagai salah satu kehamilan dengan risiko tinggi karena meningkatnya insidensi anemia pada ibu hamil, infeksi saluran kemih, preeklampsia maupun eklampsia, perdarahan, serta atoni uterus.
14. Partus Lama
Partus lama didefinisikan sebagai keadaan dimana persalinan memiliki onset yang regular, kontraksi uterus ritmis yang disertai dilatasi serviks namun lama persalinan diatas 24 jam (WHO, 2008).
15. Partus Tak Maju
Tidak adanya kemajuan dalam pembukaan serviks, turunnya kepala janin dan putar paksi dalam selama 2 jam terakhir meskipun adanya his yang adekuat (Tanjung, 1995).
2.1.4. Kontraindikasi Seksio Sesarea
Beberapa kontraindikasi terhadap tindakan seksio sesarea pada persalinan meliputi janin abnormal yang tidak dapat hidup,infeksi piogenik dinding abdomen, janin mati (kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu), dan kurangnya fasilitas, perlengkapan atau tenaga yang sesuai (Benson dan Pernoll, 2008).
2.1.5. Manajemen Preoperatif Seksio Sesarea
Menurut DeCherney et al. (2007), ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan sebelum pasien menjalani proses operatif persalinan seksio sesarea, diantaranya:
1. Pasien dijelaskan agar paham terhadap indikasi seksio sesarea, tidakan alternatif lain, dan risiko yang mungkin terjadi, serta komplikasi. 2. Pasien menandatangani pernyataan yang menandakan bahwa pasien
telah menerima informasi dan setuju untuk dilakukan prosedur ini (“informed consent”).
3. Memasang kateter intravena berukuran 18 gauge beserta cairan intravena sebelum operasi dimulai.
4. Memasang kateter urin untuk drainase kandung kemih pada saat sebelum, selama, dan setelah operasi.
5. Anestesi diberikan, kemudian abdomen dipersiapkan untuk operasi. 6. Pasien ditutupi kain steril dan operasi segera dimulai.
2.1.6. Prosedur Operatif Seksio Sesarea
Prosedur operatif pada seksio sesarea menurut Cunningham et al. (2010) adalah:
1. Insisi abdomen
Teknik insisi yang biasa digunakan adalah insisi vertikal maupun insisi transversal.
Segmen bawah rahim diinsisi secara transversal seperti yang dideskripsikan oleh Kerr pada tahun 1921. Adakalanya, dilakukan insisi vertikal segmen bawah seperti dideskripsikan oleh Krönig pada tahun 1921.
3. Pelahiran janin dan plasenta 4. Perbaikan uterus
5. Penutupan kembali abdomen
2.1.7. Manajemen Paska Operatif Seksio Sesarea
Manajemen paska operatif seksio sesarea menurut Joy (2014) adalah: 1. Penilaian paska operasi rutin
2. Monitor tanda-tanda vital, output urin, jumlah perdarahan vaginal. 3. Palpasi fundus uterus.
4. Pemberian cairan intravena.
5. Pemberian analgesik intravena atau intramuskular jika pasien tidak menerima analgesik jangka panjang atau menerima anestesi general. 6. Ambulasi pada hari pertama paska operasi.
7. Jika pasien berencana menyusui bayi, inisiasi dilakukan dalambeberapa jam setelah persalinan.
8. Pasien dapat pulang pada hari ketiga atau empat paska operasi jika tidak ada komplikasi.
2.1.8. Komplikasi Seksio Sesarea
Menurut Sibuea (2007), seksio sesarea memiliki beberapa komplikasi tertentu, yaitu:
1. Komplikasi ibu selama dan setelah persalinan a. Komplikasi berat
Berupa perlukaan usus, perlukaan kandung kemih, jahitan luka abomen terbuka sampai peritoneum, luka sayatan dinding abdomen bernanah, peritonitis, pneumonia paska operasi, aspirasi saat pembiusan, komplikasi anestesi spinal, hematoma perianal, perlukaan vagina sampai rektum.
b. Operasi ulangan
Berupa pengeluaran plasenta dengan tangan, kuretase paska persalinan, jahitan ulang luka perineum.
c. Perdarahan dan dapat tansfusi darah d. Perihisterektomi
Berupa histerektomi postpartum, histerorafi pada kasus uterus ruptur, seksio sesarea – histerektomi.
e. Kematian ibu
Kematian ibu intrapartum, kematian ibu sewaktu seksio sesarea, kematian ibu postpartum, kematian ibu pasca seksio sesarea.
2. Komplikasi neonatal dini a. Asfiksia ringan dan sedang
Bayi lahir dengan APGAR Score 4-7 pada menit pertama. b. Asfiksia berat
Bayi lahir dengan APGAR Score 3 atau kurang pada menit pertama. c. Kematian neonatal dini
Kematian bayi pada hari ketujuh atau kurang.
2.1.9. Mortalitas dan Morbiditas pada Seksio Sesarea
Sibuea (2007) mengungkapkan bahwa, “Angka morbiditas dan mortalitas ibu dan anak pada seksio sesarea erat kaitannya dengan komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan, dan indikasi seksio sesarea; juga erat kaitannya dengan ketersediaannya sarana dan fasilitas, termasuk keterampilan tim operator. Angka
kematian ibu pada seksio sesarea juga tidak terlepas dari kondisi ibu yang dirujuk ke rumah sakit, kualitas penanganan kehamilan risiko tinggi, kualitas perawatan pre-intra-post seksio sesarea, kecukupan persediaan darah dan antibiotika..”
Selain itu ditinjau dari sisi sang bayi, meskipun, mungkin terlihat bahwa tindakan seksio sesarea pada persalinan merupakan tindakan paling aman bagi sang bayi, ini tidaklah sepenuhnya benar. Transien takipnu pada bayi baru lahir lebih sering muncul pada persalinan seksio sesarea daripada persalinan pervaginam. Risiko perdarahan janin dan hipoksia timbul ketika plasenta ditemukan dibawah insisi uterus dan terpotong, serta adanya risiko terjadi laserasi pada bayi saat insisi uterus dilakukan. Daerah biasanya terjadi laserasi itu di wajah, area pipi, tetapi juga terjadi di daerah pantat, telinga, kepala, atau bagian tubuh lain dibawah tempat insisi. Oleh karena itu, perhatian lebih sangatlah penting ketika dilakukan insisi terhadap uterus. (DeCherney et al., 2007).