ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI PAPUA
1.
KINERJA PEMBANGUNAN WILAYAH
1
1.1.
PERKEMBANGAN INDIKATOR UTAMA
1
1.2.
KUALITAS PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA
4
2.
ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH
8
2.1.
ANALISIS PEMBANGUNAN MANUSIA
8
2.1.1.
Pendidikan
8
2.1.2.
Kesehatan
10
2.1.3.
Perumahan
12
2.1.4.
Mental/Karakter
14
2.2.
ANALISIS PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN
15
2.2.1.
Pengembangan Sektor Pangan
15
2.2.2.
Pengembangan Sektor Energi
20
2.2.3.
Pengembangan Sektor Kemaritiman dan Kelautan
21
2.2.4.
Pengembangan Sektor Pariwisata dan Industri
23
2.3.
ANALISIS PEMERATAAN DAN PEMBANGUNAN KEWILAYAHAN
26
2.3.1.
Pusat Pertumbuhan Wilayah
26
2.3.1.1
Kawasan Ekonomi Khusus
26
2.3.2.
Kesenjangan intra wilayah
28
3.
ISU STRATEGIS WILAYAH
30
4.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
41
ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI PAPUA
1.
KINERJA PEMBANGUNAN WILAYAH
Pembangunan wilayah bertujuan untuk meningkatkan daya saing wilayah, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan antarwilayah, serta memajukan kehidupan masyarakat. Pembangunan wilayah yang strategis dan berkualitas menjadi harapan setiap daerah di Indonesia.
1.1. PERKEMBANGAN INDIKATOR UTAMA
Pembangunan wilayah selain meningkatkan daya saing wilayah juga mengupayakan keseimbangan pembangunan antardaerah sesuai dengan potensinya masing-masing. Perkembangan indikator utama dalam pembangunan wilayah meliputi pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, dan pengurangan kemiskinan dapat menggambarkan capaian kinerja pembangunan wilayah secara umum.
1.1.1. Pertumbuhan Ekonomi
Potensi kekayaan alam di Provinsi Papua melimpah, yang berasal dari hasil hutan, perkebunan, pertanian, perikanan, dan pertambangan. Sektor pertambangan telah mampu menyumbang lebih dari 50 persen perekonomian di Papua dengan komoditas tembaga, emas, minyak dan gas. Selain sektor pertambangan, kegiatan perekonomian masyarakat dominan pada sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan. Pertumbuhan ekonomi Papua terus mengalami peningkatan periode 2011 – 2013, kemudian menurun pada tahun 2014(Gambar 1). Selama kurun waktu 2011-2014 kinerja perekonomian Provinsi Papua memiliki laju pertumbuhan rata-rata 2,15 persen, mengalami pertumbuhan negatif tahun 2011 dan meningkat pada tahun 2013 karena pengaruh dari produksi sektor pertambangan yang mendominasi perekonomian di wilayah ini. Kegiatan ekonomi utama masih bersifat ekstraktif, memanfaatkan sumber daya alam secara langsung.
Gambar 1
Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan
Sumber: BPS, 2014 2011 2012 2013 2014 Papua -4.28 1.72 7.91 3.25 Nasional 6.16 6.16 5.74 5.21 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 P erse n / Ta h u n
Selama kurun waktu 2010-2014 pendapatan per kapita di Provinsi Papua cenderung meningkat , lebih tinggi dari pendapatan per kapita nasional sampai dengan tahun 2013 namun pada tahun 2014 lebih rendah dari nasional. Tingginya pendapatan perkapita di Provinsi Papua tidak dapat digunakan untuk mengukur besarnya pendapatan di lapangan. Dukungan pendapatan dari sektor pertambangan mempengaruhi peningkatan pendapatan perkapita di Provinsi Papua. Jika pada tahun 2010 rasio PDRB perkapita Provinsi Papua dan PDB Nasional sebesar 134,77 persen, maka pada tahun 2014 rasionya menurun menjadi 93,92 persen (Gambar 2). Hal ini menunjukkan pengaruh sektor pertambangan mulai mengalami penurunan bagi peningkatan pendapatan perkapita di provinsi ini. Besarnya PDRB perkapita yang menunjukkan tingkat kesejahteraan di Provinsi Papua relatif meningkat namun tidak secara riil menunjukkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.
Gambar 2
PDRB Per Kapita ADHB
Sumber: BPS, 2013
1.1.2. Pengurangan Pengangguran
Tingkat pengangguran di Provinsi Papua berada di bawah rata-rata tingkat pengangguran nasional. Seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran wilayah cenderung menurun pada tahun 2008-2013, namun kembali meningkat pada tahun 2014-2015, yang menunjukkan peningkatan angkatan kerja baru selama tahun 2008-2013 masih mampu diserap oleh lapangan kerja yang tersedia. Tingkat pengangguran terbuka Provinsi Papua tahun 2008-2015 berkurang sebesar 1,13 persen (Gambar 3).
2010 2011 2012 2013 2014 Papua 38,785.11 37,111.15 37,935.01 39,496.27 39,850.48 Nasional 28,778.17 32,336.26 35,338.48 38,632.67 42,432.08 0.00 5,000.00 10,000.00 15,000.00 20,000.00 25,000.00 30,000.00 35,000.00 40,000.00 45,000.00 Ri b u Rup ia h
Gambar 3
Tingkat Pengangguran Terbuka
Sumber: BPS, 2015
1.1.3. Pengurangan Kemiskinan
Tingginya pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua tidak berdampak signifikan terhadap pengurangan tingkat kemiskinan di wilayah ini. Selama kurun waktu 2007-2014 persentase penduduk miskin di Provinsi Papua telah berkurang sebesar 10,78 persen namun kemiskinan di wilayah ini masih menempati urutan tertinggi secara nasional (Gambar 4). Kemiskinan disebabkan karena struktur sosial dalam masyarakat, yaitu kurang mampunya memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam yang melimpah akibat terbatasnya tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki. Tingkat kemiskinan di Provinsi Papua tahun 2007-2014 selalu berada di atas rata-rata nasional.
Gambar 4
Persentase Penduduk Miskin
Sumber: BPS, 2014 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Papua 4.85 4.13 4.08 3.72 2.9 2.81 3.48 3.72 Nasional 8.46 8.14 7.41 6.8 6.32 5.92 5.7 5.81 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 P erse n 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Perkotaan 7.97 7.02 6.10 5.55 4.60 5.81 6.11 4.47 Perdesaan 50.47 45.96 46.81 46.02 41.58 39.39 39.9 38.9 Papua 40.78 37.08 37.53 36.80 31.98 30.66 31.1 30.0 Nasional 16.58 15.42 14.15 13.33 12.49 11.96 11.37 10.96 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 P erse n
1.2. KUALITAS PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA
Kualitas pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi biasanya diikuti oleh pengurangan kemiskinan, peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), serta perluasan lapangan kerja.
1.2.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan
Gambar 5 menunjukkan persebaran kabupaten dan kota di Provinsi Papua menurut rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan tahun 2008 sampai dengan tahun 2013, dengan penjelasan sebagai berikut. Pertama, Kabupaten Membramo Raya, Dunga, Puncak, Jayapura, dan Yalimo termasuk kabupaten dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di atas rata-rata provinsi. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di kuadran ini dapat mendorong pengurangan kemiskinan secara lebih cepat (growth,
pro-poor). Tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah adalah menjaga momentum
pertumbuhan ekonomi dengan tetap meningkatkan upaya pengurangan kemiskinan.
Gambar 5
Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengurangan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Papua Tahun 2008-2013
Kedua, Kabupaten Merauke, Nabire, Intan Jaya, Biak Numfor, Mimika, Yopen Waropen,
Sarmi, Paniai, Supiori, dan Puncak Jaya terletak di kuadran II yang termasuk kategori daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata, tapi pengurangan kemiskinan di atas rata-rata (low growth, pro-poor). Tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah adalah menjaga efektvititas dan efisiensi kebijakan dan program pengurangan kemiskinan, dan secara bersamaan mendorong percepatan pembangunan ekonomi dengan prioritas sektor atau kegiatan ekonomi yang punya potensi berkembang seperti pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan, serta perdagangan dan jasa.
Ketiga, Kabupaten Jayawijaya, Tolikara, Deiyai, Boven Digoel, Dogiyai, Keerom, dan
Asmat terletak di kuadran III dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di bawah rata-rata provinsi (low growth, less pro-poor). Kinerja pembangunan daerah tersebut menegaskan bahwa pemerintah daerah harus bekerja keras untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi melalui peningkatan produkvititas sektor atau kegiatan ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja secara lebih besar dari golongan miskin. Selain itu, pemerintah daerah juga dituntut untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi berbagai kebijakan dan program pengurangan kemiskinan.
Keempat, Kabupaten Memberamo Tengah, Pegunungan Bintang, Waropen, Yahukimo,
Lanny Jaya, Mappi, dan Kota Jayapura terletak di kuadran IV dengan rata-rata pertumbuhan tinggi di atas rata-rata, tapi pengurangan kemiskinan di bawah rata-rata (high-growth, less-pro
poor). Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi di daerah tersebut belum
memberi dampak penuruan angka kemiskinan secara nyata. Tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah adalah mendorong pengembangan sektor dan kegiatan ekonomi yang menyerap tenaga kerja relatif tinggi seperti pertanian dan perkebunan, serta usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. Tantangan lainnya adalah meningkatkan koordinasi sinergi dalam mengoptimalkan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
1.2.2. Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan IPM
Gambar 6 menunjukkan distribusi kabupaten dan kota di Provinsi Papua berdasarkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan peningkatan IPM selama tahun 2008-2013. Pertama, Kabupaten Lanny Jaya, Memberamo Raya, Pegunungan Bintang, Mappi, Jayapura, dan Kota Jayapura terletak di kuadran I, merupakan daerah dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan peningkatan IPM di atas rata-rata provinsi. Kondisi ini menyiratkan bahwa pertumbuhan ekonomi sejalan dengan peningkatan IPM (pro-growth, pro-human development). Dengan kinerja yang baik ini, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah daerah adalah menjaga momentum pertumbuhan dengan tetap meningkatkan produktivitas dan nilai tambah, dan sekaligus mempertahankan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan.
Kedua, Kabupaten Jayawijaya, Merauke, Yapen Waropen, Deiyai, Boven Digoel, Dogiya,
dan Nabire yang terletak di kuadran II termasuk kategori daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata, tapi peningkatan IPM di atas rata-rata (low growth, pro-human
development). Hal ini mengindikasikan bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunan
untuk meningkatkan pelayanan publik dapat meningkatkan IPM. Tantangan yang harus diatasi adalah mendorong percepatan pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan nilai tambah sektor dan kegiatan ekonomi yang menggunakan sumber daya lokal seperti pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan.
Gambar 6
Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan IPM Provinsi Papua Tahun 2008-2013
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
Ketiga, Kabupaten Asmat, Mimika, Supiori, Tolikara, Biak Numfor, Paniai, Keerom, Intan
Jaya, Sarmi, dan Puncak Jaya terletak di kuadran III dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan peningkatan IPM di bawah rata-rata provinsi (low growth, less pro-human development). Kondisi ini menegaskan perlunya pemerintah daerah membenahi pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, pemerintah daerah juga harus bekerja keras mendorong seluruh SKPD untuk memacu pembangunan ekonomi dengan meningkatkan produktivitas dan nilai tambah sektor dan kegiatan utama daerah.
Keempat, Yahukimo, Waropen, memberamo Tengah, Yalimo, Nduga, dan Puncak terletak
di kuadran IV dengan rata-rata pertumbuhan tinggi di atas rata-rata, tapi peningkatan IPM di bawah rata-rata (high-growth, less-pro human development). Tantangan bagi pemerintah daerah adalah menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan peningkatan mutu pelayanan publik terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.
1.2.3. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Pengangguran
Gambar 7 menunjukkan persebaran kabupaten/kota di Provinsi Papua menurut rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran selama tahun 2008-2013. Pertama, Kabupaten Pegunungan Bintang, Yahukimo, Mappi, Jayapura, dan Kota Jayapura termasuk darah dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran di atas rata-rata provinsi. Kondisi ini menyiratkan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mendorong perluasan lapangan kerja (pro-growth, pro-job). Tantangan yang dihadapi oleh pemerintah daerah adalah menjaga momentum pertumbuhan dengan tetap meningkatkan produktivitas dan nilai tambah sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja seperti pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan.
Kedua, Kabupaten Merauke, Biak Numfor, Supiori, Mimika, Paniai, Puncak Jaya, Intan
Jaya, Dogiyai, Asmat, Sarmi, Boven Digoel yang terletak di kuadran II termasuk kategori daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata, tapi pengurangan pengangguran di atas rata-rata (low growth, pro-job). Hal ini mengindikasikan bahwa perluasan lapangan kerja terjadi pada sektor ekonomi dengan pertumbuhan rendah seperti pertanian dan perikanan.
Gambar 7
Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Rata-Rata Pengurangan Jumlah Pengangguran Provinsi Papua Tahun 2008-2013
Ketiga, Kabupaten Jayawijaya, Keerom. Nabire, Yapen Waropen, Deiyai, dan Tolikara
terletak di kuadran III dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran di bawah rata-rata provinsi (low growth, less pro-job). Hal ini menegaskan bahwa pemerintah daerah harus bekerja keras untuk memacu pengembangan sektor atau kegiatan ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja secara lebih besar.
Keempat, Kabupaten Puncak, Waropen, Yalimo, memberamo Tengah, Lanny Jaya, dan
Nduga terletak di kuadran IV dengan rata-rata pertumbuhan tinggi di atas rata-rata, tapi pengurangan pengangguran di bawah rata-rata (high-growth, less-pro job). Hal ini menunjukan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di wilayah tersebut, tetapi tidak dapat menurunkan jumlah pengangguran. Daerah tersebut termasuk daerah perkebunan, dan daerah perkotaan yang harus menampung migrasi penduduk dari daerah perdesaan. Tantangan yang harus dihadapi adalah mendorong pengembangan sektor dan kegiatan ekonomi yang menyerap tenaga kerja relatif tinggi seperti pertanian dan perkebunan. Tantangan lainnya adalah mengembangkan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi yang mampu menyerap tenaga kerja di sektor informal.
2.
ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH
Pembangunan wilayah berkelanjutan bersifat multidimensi sehingga diperlukan analisis pembangunan yang komprehensif untuk mengatasi berbagai masalah publik. Analisis pembangunan wilayah didasarkan pada dimensi pembangunan manusia, pembangunan sektor unggulan, serta pemerataan pembangunan dan kewilayahan.
2.1. ANALISIS PEMBANGUNAN MANUSIA
2.1.1. Pendidikan
Pendidikan merupakan sarana dalam menyiapkan sumberdaya manusia untuk pembangunan. Penyelenggaraan pendidikan di daerah terpencil akan mampu menjembatani kesenjangan budaya di masyarakat melalui budaya belajar di sekolah. Karena pembangunan sektor pendidikan di Papua memiliki peran penting dan strategis, dalam UU Nomor 21 Tahun 200, tentang Otonomi Khusus Papua, pendidikan menjadi sektor prioritas yang berada pada urutan pertama diantara sektor-sektor prioritas lainnya.
Secara keseluruhan tingkat pendidikan di Papua belum berkembang, terutama di kabupaten yang terisolir. Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun (pendidikan dasar) tahun 2013 antarkota dan kabupaten di Provinsi Papua tidak merata (Gambar 8). Rata-rata APS Provinsi Papua tahun 2013 sebesar 75,51 persen untuk usia 7-12 tahun dan 73,27 persen untuk usia 13-15 tahun. Kabupaten di Provinsi Papua dengan APS terendah meliputi Kabupaten Nduga (13,34 persen), Kabupaten Puncak (21,35 persen), dan Kabupaten Asmat (36,8 persen). Pendidikan dasar di wilayah terpencil dan terisolir di Provinsi Papua belum terpenuhi karena kekurangan tenaga pendidik dan layanan pendidikan lainnya. Terbatasnya tenaga pendidik banyak terjadi pada jumlah guru yang bertugas di pedalaman, daerah pinggiran, serta terpencil. Kurangnya guru di daerah pedalaman Papua ini dikarenakan sulitnya transportasi menuju daerah tersebut, tempat tinggal penduduk yang masih nomaden, serta adanya budaya kamiri yang mengharuskan anak-anak ikut orang tua ketika mencari bahan makan ikan dan sagu. Angka ketidakhadiran guru dan kepala sekolah di wilayah terpencil dan terisolir cukup tinggi. Terbatasnya ketersediaan gedung sekolah juga mengakibatkan banyaknya anak Papua yang belum mendapatkan pendidikan.
Gambar 8
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Pendidikan Dasar Tahun 2013 (Persen)
Sumber: BPS, 2013
Gambar 9
Rata-Rata Lama Sekolah dan Angka Melek Huruf Tahun 2009-2013
Sumber: BPS, 2013 0 20 40 60 80 100 120 K ab . M er au ke K ab . J ay aw ijay a K ab . J ay ap ur a K ab . N ab ir e K ab . K epu lau an Y apen K ab . B iak N um for K ab . P ani ai K ab . P un cak Jay a K ab . M im ik a K ab . B ov en D ig oel K ab . M app i K ab . As m at K ab . Y ah uk im o K ab . P eg unung an B int ang K ab . T oli kar a K ab . S ar m i K ab . K eer om K ab . W ar open K ab . S upi or i K ab . M am ber am o Ra ya K ab . N du ga K ab . Lann y J ay a K ab . M am ber am o Teng ah K ab . Y al im o K ab . P un cak K ab . D ogi yai K ab . I nt an J ay a K ab . D ei yai K ota J ay apu ra
Angka Partisipasi Sekolah (APS) 07-12 tahun Angka Partisipasi Sekolah (APS) 13-15 tahun APS 7-12 tahun Provinsi APS 13-15 tahun Provinsi
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2009 2010 2011 2012 2013
RLS Provinsi (Tahun) RLS Nasional (Tahun) AMH Provinsi (%) AMH Nasional (%)
Rendahnya capaian APS pendidikan dasar usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun berdampak pada rendahnya rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH) sebagai indiktor keberhasilan pembangunan oleh MDGs di Provinsi Papua (Gambar 9). RLS di Provinsi Papua 6 -7 tahun, lebih rendah dari RLS nasional 8 tahun. AMH Provinsi Papua tahun 2009-2013 berkisar pada angka 75 persen dan tidak banyak peningkatannya, lebih rendah daripada AMH nasional yang terus meningkat dari 91 persen di tahun 2009 menjadi 94 persen di tahun 2013. Rendahnya AMH dan RLS di Provinsi Papua antara lain disebabkan kondisi Papua dengan aksesibilitas yang masih rendah sehingga pertumbuhan pencapaian komponen AMH dan RKS berjalan lambat. Beberapa faktor yang juga menyebabkan rendahnya APS, AMH, dan RLS di Provinsi Papua, seperti rendahnya pendanaan dukungan pendanaan bidang pendidikan karena alokasinya yang belum sesuai, ketersediaan unit layanan dan kapasitas pelaksana kegiatan yang menyebabkan rendahnya pertumbuhan AMH, serta didukung kondisi geografis yang sulit sehingga menyulitkan dalam penyediaan tenaga pendidik yang belum memadai. Dampak dari rendahnya APS, AMH, serta RLS mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di Provinsi Papua. Angkatan kerja di Provinsi Papua memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga Papua berada dalam ekonomi dengan produktivitas rendah.
Provinsi Papua perlu konsisten dalam meningkatkan APS, AMH, dan RLS sehingga penyelenggaraan layanan untuk pemerataan akses dan mutu pendidikan dapat tercapai. Salah satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya dilakukan analisis terhadap kondisi umum pendidikan, prioritas bidang, prioritas wilayah dan anggaran sebagai suatu kesatuan analisis pemecahan masalah penyelenggaraan pembangunan pendidikan di Papua.
2.1.2. Kesehatan
Faktor kesehatan merupakan salah satu kebutuhan penting untuk pembangunan manusia. Penyediaan fasilitas kesehatan menjadi salah satu upaya dalam meningkatkan pembangunan kesehatan di Provinsi Papua. Tingkat kesehatan masyarakat Papua belum menunjukkan hasil yang baik apabila dilihat dari indikator kesehatan, seperti angka kematian ibu, angka kematian bayi dan balita, serta gizi buruk yang berada di atas nasional. Kematian pada bayi baru lahir disebabkan karena gangguan pernafasan serta tidak mencukupinya berat badan bayi yang baru lahir. Hal lain anak-anak yang baru lahir kemudian mengalami masalah kesehatan akibat menderita gizi buruk sebelum usia 5 tahun. Angka kematian bayi di Papua pada tahun 2012 sebanyak 54 kematian per 1000 kelahiran baru, sedangkan angka nasional
menunjukkan 34 kematian per 1000 kelahiran baru (Gambar 10). Angka ini juga mengalami
peningkatan bila dibandingkan dengan kondisi pada 2007, angka kematian bayi Papua 41 kematian per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu, angka kematian balita mencapai 115 kematian per 1000 kelahiran hidup atau meningkat tajam dari kondisi tahun 2007 sebesar 64 kematian per 1000 kelahiran hidup. Faktor penyebab meningkatnya AKB adalah gizi buruk penanganan persalinan yang kurang memadai, kesehatan lingkungan yang buruk, serta wawasan masyarakat terhadap kesehatan. Kondisi geografis Papua membuat tenaga medis sulit memberikan pekayanan kesehatan terutama di daerah pedalaman. Sarana penunjang kesehatan bayi yang masih terbatas menjadi salah satu penyebab tingginya AKB di Papua.
Gambar 10
Angka Kematian Bayi Provinsi Papua
Sumber: BPS, 2012
Pemerintah Provinsi Papua telah mengajukan program prioritas untuk percepatan pembangunan kesehatan di Papua. Program prioritas pembangunan bidang kesehatan di Provinsi Papua antara lain pembangunan rumah sakit pratama di Kabupaten Sarmi, Deiyai, Tolikara, Lanny Jaya, Waropen dan Intan Jaya. Sampai akhir tahun 2014, jumlah pelayanan kesehatan di Papua berupa puskesmas terbanyak berada di Kabupaten Yahukimo, beserta unit perawatan yang tersedia, sementara di Kabupaten Supiori memiliki 5 unit puskesmas dengan jumlah puskesmas perawatan 3 unit (Tabel 1). Jumlah puskesmas dan unit perawatan ini tidak bertambah selama tahun 2012-2014. Mengingat luas wilayah Papua dengan sebaran penduduk dan pelayanan kesehatan yang tidak merata, jarak antara pusat kesehatan masyarakat cukup jauh. Walaupun jumlah layanan kesehatan telah tersedia, namun aksesibilitas dan jangkauan pelayanan kesehatan masyarakat masih rendah. Adanya pemekaran wilayah administratif dan rendahnya akses layanan dan informasi kesehatan di Papua juga menyebabkan permasalahan kesehatan terus bertambah. Penduduk Papua yang tinggal di daerah terisolir juga terancam penyakit menular yang berkembang di wilayah rawa-rawa karena belum memadainya upaya kesehatan lingkungan.
Tabel 1
Jumlah Puskesmas (Unit) Tahun 2014 Provinsi Papua
No. Kabupaten/ Kota Puskesmas Puskesmas Perawatan non Perawatan Pueskemsmas
1 Kab. Merauke 20 11 9
2 Kab. Jayawijaya 13 2 11
3 Kab. Jayapura 19 6 13
4 Kab. Nabire 26 6 20
5 Kab. Kepulauan Yapen 13 4 9
41 19 54 39 26 34 0 10 20 30 40 50 60 2007 2010 2012
No. Kabupaten/ Kota Puskesmas Puskesmas Perawatan non Perawatan Pueskemsmas
6 Kab. Biak Numfor 18 5 13
7 Kab. Paniai 18 3 15
8 Kab. Puncak Jaya 8 2 6
9 Kab. Mimika 13 3 10
10 Kab. Boven Digoel 20 4 16
11 Kab. Mappi 11 6 5
12 Kab. Asmat 13 4 9
13 Kab. Yahukimo 31 4 27
14 Kab. Pegunungan Bintang 29 5 24
15 Kab. Tolikara 25 7 18
16 Kab. Sarmi 9 4 5
17 Kab. Keerom 10 6 4
18 Kab. Waropen 10 3 7
19 Kab. Supiori 5 2 3
20 Kab. Mamberamo Raya 7 4 3
21 Kab. Nduga 8 1 7
22 Kab. Lanny Jaya 10 3 7
23 Kab. Mamberamo Tengah 5 0 5
24 Kab. Yalimo 7 2 5
25 Kab. Puncak 8 2 6
26 Kab. Dogiyai 10 2 8
27 Kab. Intan Jaya 6 1 5
28 Kab. Deiyai 10 1 9
29 Kota Jayapura 12 1 11
Provinsi 394 104 290
Nasional 9.731 3.378 6.336
Sumber: BPS, 2014
Untuk masalah gizi buruk, di Papua masih terdapat kasus kurang gizi pada beberapa distrik. Hal ini terkait dengan status ekonomi masyarakat setempat yang tidak menunjukkan peningkatan yang lebih baik. Peningkatan angka kecukupan gizi harus sejalan dengan peningkatan kesejahteraan keluarga. Program prioritas yang harus dilakukan terkait dengan pembangunan kesehatan harus menyeluruh dari penurunan AKB, peningkatan gizi masyarakat,jaminan kesehatan ibu hamil, serta pelatihan tenaga medis.
2.1.3. Perumahan
Arah kebijakan pada sasaran pembangunan perumahan adalah meningkatkan akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian yang layak, aman, terjangkau serta didukung oleh penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas yang memadai. Kebutuhan rumah layak huni di Papua sangat besar, mengingat masih banyaknya penduduk yang belum meiliki rmah yang layak ditempati, kepemilikan pemukiman yang belum tertata, serta terdapat keterbatasan lahan yang disebabkan oleh kondisi fisik wilayah Papua. Pemenuhan hunian yang layak dengan didukung oleh prasaran, sarana, dan utilitas yang memadai perlu mendapatkan
perhatian khusus. Masyarakat berpenghasilan rendah masih banyak yang belum tinggal di rumah layak huni karena rendahnya keterjangkuan mereka untuk membangun maupun membeli rumah. Untuk memenuhi kebutuhan rumah layak huni bagi masyarakat Papua dibutuhkan peran developer dalam membangun rumah yang dapat dijual pada masyarakat dengan kriteria tertentu.
Pembangunan perumahan yang layak huni bagi masyarakat juga harus memperhatikan akses air minum dan sanitasi layak. Selama tahun 2010-2013 rumah tangga di Papua yang mendapatkan kriteria sanitasi dan air minum layak cenderung meningkat, meskipun masih di bawah nasional (Gambar 11). Jumlah rumah tangga dengan kelayakan sanitasi di Provinsi Papua meningkat tajam pada tahun 2011 ke tahun 2012, yaitu dari 24,31 persen menjadi 55,57 persen; walaupun kemudian turun kembali menjadi 49,06 persen. Sementara itu jumlah rumah tangga dengan kriteria kelayakan air minum di Papua selama 2010-2013 sedikit peningkatannya, dan masih jauh di bawah rata-rata nasional.
Gambar 11
Persentase Rumah Tangga Kriteria Kelayakan Sanitasi dan Air Minum
Sanitasi Air Minum
Sumber: BPS, 2013
Tantangan terbesar dalam meningkatkan akses terhadap air bersih dan sanitasi di Papua adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengadakan perilaku hidup bersih dan sehat. Permasalahan dalam penyelenggaraan air minum dan sanitasi adalah minimnya keberlanjutan sarana dan prasarana yang telah terbangun, semakin terbatasnya sumber air baku untuk air minum dan kurang optimalnya sinergi pembangunan air minum dan sanitasi. Minimnya keberlanjutan sarana dan prasarana disebabkan oleh belum optimalnya kesadaran dan pemberdayaan masyarakat, keterlibatan aktif pemerintah daerah baik dari aspek regulasi maupun pendanaan, serta penerapan manajemen aset. Penyediaan layanan sanitasi belum tersinergikan dengan penyediaan layanan air minum sebagai upaya pengamanan air minum untuk pemenuhan aspek 4K (kuantitas, kualitas, kontinuitas dan keterjangkauan).
Indikator lain dalam pembangunan perumahan sanitasi dan air minum adalah berkurangnya kawasan kumuh perkotaan dan menurunnya jumlah kekurangan tempat tinggal berdasarkan perspektif penghuni. Kebutuhan rumah di Provinsi Papua banyak tersebar di Kota Sorong, Jayapura, Kabupaten Manokwari, Mimika, Jayawijaya, dan Puncak Jaya. Belum
23.97 24.31 55.57 49.06 55.53 55.6 57.35 60.91 0 10 20 30 40 50 60 70 2010 2011 2012 2013 Papua Nasional 32.42 40.82 42.82 44.12 44.19 63.48 65.05 67.73 0 20 40 60 80 2010 2011 2012 2013 Papua Nasional
optimalnya pembangunan prasarana dasar pada permukiman yang dibangun menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan kawasan kumuh di perkotaan.
2.1.4. Mental/Karakter
Untuk mencapai Indonesia yang maju, makmur dan mandiri diperlukan sumberdaya manusia yang unggul dan memiliki pendidikan yang baik, keahlian dan keterampikan, pekerja keras, memiliki etos kemajuan, bersikap optimis, serta memiliki nilai luhur budaya bangsa. Nilai-nilai luhur yang penting ditanamkan untuk mencapai kemandirian tersebut antara lain gotong royong, toleransi, solidaritas, saling menghargai dan menghormati. Negara Indonesia merupakan negara majemuk dengan latar belakang budaya dan adat istiadat yang beragam.
Pembangunan mental dan budaya masyarakat penting dilakukan untuk mendukung pembangunan fisik dan mengatasi permasalahan sosial. Pembangunan mental sangat diperlukan, termasuk dalam hal perlindungan hukum bagi perempuan dan anak-anak. Pembangunan karakter di setiap wilayah berbeda, tergantung dari budaya, agama, serta kehidupan masyarakatnya. Di Papua, pembangunan karakter membutuhkan peran kepala suku dan gereja sebagai pihak yang dominan membentuk karakter kehidupan sosial masyarakat Papua. Pendidikan karakter bisa ditanamkan melalui sekolah, tempat ibadah, serta lembaga sosial dalam masyarakat. Pendidikan karakter di sekolah dapat mempengaruhi karakter peserta didik karena guru membantu dalam pembentukan murid dalam hal memberikan keteladanan, menyampaikan materi, sikap toleransi, dan cara berperilaku. Implementasi pendidikan karakter yang dilakukan melalui media masyarakat adat dan gereja juga merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk membantu mengembangkan pendidikan karakter melalui budaya lokal.
Pendidikan karakter di Papua dapat dikembangkan melalui budaya lokal berbasis gereja dan masyarakat adat. Unsur budaya dan agama perlu diikutsertakan dalam kurikulum dan program pendidikan masyarakat Papua. Keberadaan tempat ibadah untuk pendidikan karakter masyarakat menjadi penting untuk dikembangkan (Tabel 2). Media gereja dan tempat ibadah lain adalah komponen masyarakat Papua yang dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan.
Tabel 2
Data Umat, Tempat Ibadah, Penyuluh PNS Provinsi Papua Agama Kristen Katholik Islam Hindu Budha
Jumlah Umat 2.159.086 846.655 456.510 5.357 3.816
Tempat Ibadah 4.121 1.170 711 25 10
Penyuluh PNS 45 17 18 1
Sumber: Kementerian Agama Kanwil Papua, 2015
Adanya keberagaman etnis dan agama dan berkembangnya lembaga sosial dalam kehidupan masyarakat membutuhkan peran pemuda sebagai aset pembangunan sosial. Untuk menjamin kesejahteraan sosial keterlibatan pemuda dipelukan untuk mendorong proses pembelajaran serta membangun komitmen bersama dalam pembangunan. Pengembangan karakter pemuda dapat dilakukan melalui lembaga sosial dan organisasi kemasyarakatan karena keterlibatan pemuda dalam hal ini sangat tinggi. Pada akhir tahun 2012 jumlah organisasi kemasyarakatan dalam ruang lingkup Provinsi Papua berjumlah 286 organisasi, dengan anggota terbanyak pada organisasi profesi (Gambar 12). Melalui peran organisasi ini
pengembangan karakter yang positif dapat dilakukan. Pemuda memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun daerahnya untuk kepentingan masyarakat.
Gambar 12
Data Organisasi Kemasyarakatan Terdaftar Provinsi Papua Tahun 2012
Sumber: Website Pemerintah Provinsi Papua, 2012
https://papua.go.id/download/kategori_6/DATA%20ORMAS.pdf - diolah (tanggal akses 24 November 2015)
Pendidikan karakter bersifat menanamkan kebiasaan dan hal yang baik. Melalui media sekolah, tempat ibadah, serta organisasi masyarakat kebiasaan langsung dipraktekkan. Pembangunan karakter di Papua dapat terwujud melalui konsep pendidikan budaya dan agama menuju masyarakat Papua yang maju dan cerdas.
2.2. ANALISIS PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN
2.2.1. Pengembangan Sektor Pangan
Terwujudnya kedaulatan pangan merupakan salah satu cerminan kemandirian ekonomi nasional. Pertanian menjadi sektor strategis pembangunan di Papua karena potensi sumberdaya pertanian yang melimpah di wilayah ini. Potensi tersebut perlu dimanfaatkan dan dikembangkan untuk ketahanan pangan masyarakat Papua. Sumber pangan lokal di Provinsi Papua antara lain tanaman pangan dan holtikultura, peternakan, perkebunan, dan perikanan.
Produksi padi di Provinsi Papua tahun 2015 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, dan mencapai 204.891 ton (Gambar 13). Peningkatan produksi ini disebabkan karena bertambahnya luas panen seluas 6.834 hektar (15,02 persen) dan naiknya produktivitas sebesar 0,48 kuintal/hektar. Kontribusi produksi padi di provinsi Papua tahun 2015 sebesar 0,30 persen terhadap produksi padi Nasional.
LSM 16% Kewanitaan 8% Sosial 21% Profesi 23% Pemuda 18% Keagamaan 14%
Gambar 13
Produksi (Ton) dan Produktivitas (Ku/Ha) Tanaman Padi Provinsi Papua
Sumber: BPS, 2015
Produksi jagung di Provinsi Papua pada tahun 2015 mencapai 7.079 ton, turun sebesar 200 ton (3,06 persen) dari tahun 2014 sebesar 7282 ton (Gambar 14). Penurunan produksi ini juga dikarenakan menurunnya luas panen sebesar 317 ha (10,31 persen). Adanya penambahan lahan jagung di Provinsi Papua diharapkan dapat menambah produksi jagung di wilayah ini
sehingga mampu mengurangi impor jagung
.
Gambar 14
Produksi (Ton) dan Produktivitas (Ku/Ha) Tanaman Jagung Provinsi Papua
Sumber: BPS, 2014
Untuk komoditas kedelai, kontribusi Provinsi Papua terhadap nasional cenderung menurun dari 0,59 persen pada tahun 2013, 0,42 persen pada tahun 2014, dan menurun lagi
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 2011 2012 2013 2014 2015
Produksi Padi Produktivitas Padi Produktivitas Nasional
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 5,800 6,000 6,200 6,400 6,600 6,800 7,000 7,200 7,400 2011 2012 2013 2014 2015
menjadi 0,32 persen pada tahun 2015. Selama tahun 2011-2015 tanaman kedelai di Papua menghasilkan produksi tertinggi yaitu mencapai 4.610 ton, namun kemudian menurun menjadi 3.983 ton di tahun 2014 dan 3.086 ton pada tahun 2015 (Gambar 15). Produksi kedelai menurun tetapi produktivitasnya meningkat pada tahun 2015 karena produksi kedelai yang menurun juga diikuti oleh menurunnya luas panesn kedelai.
Gambar 15
Produksi (Ton) dan Produktivitas (Ku/Ha) Tanaman Kedelai Provinsi Papua
Sumber: BPS, 2014
Kondisi agroekosistem Papua sangat mendukung untuk pengembangan komoditas pertanian. Selain padi dan jagung, berbagai sumber pangan lokal di Papua telah dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan. Tanaman pangan lokal yang sudah dimanfaatkan masyarakat Papua antara lain umbi-umbian dan sagu. Sagu umumnya dikonsumsi oleh masyarakat pesisir, sedangkan umbi-umbian merupakan makanan pokok penduduk yang tinggal di pegunungan. Komoditas tersebut juga dapat dikembangkan sebagai sumber pangan sehingga mengurangi ketergantungan pada beras.
Kebutuhan bahan pangan selain bersumber dari pertanian juga bersal dari peternakan. Kebutuhan konsumsi daging di di Provinsi Papua dipenuhi dari produksi sendiri dan pasokan daerah lain. Kabupaten Merauke merupakan penyuplai daging terbesar di wilayah Papua. Sebagian besar produksi daging di Kabupaten Merauke juga memenuhi kebutuhan daging di Kabupaten Biak, Jayapura, Wamena, dan Kota Jayapura. Terdapat kendala pada aspek produksi dan produktivitas ternak dalam penyediaan daging di Papua khususnya daging sapi, yaitu jumlah kepemilikan ternak yang tidak ekonomis dan sistem pemeliharaan ternak dengan subsistem. Produksi daging di Provinsi Papua didominasi oleh daging babi yang terus mengalami peningkatan produksi setiap tahunnya (Gambar 16). Produksi daging babi dan sapi di Papua tahun 2014 berkontribusi masing-masing sebesar 0,59 persen dan 2,06 persen terhadap produksi daging babi dan sapi nasional.
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 0 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 4,500 5,000 2011 2012 2013 2014 2015
Gambar 16
Produksi Daging Provinsi Papua (Ton)
Sumber: BPS, 2014
Gambar 17
Populasi Ternak Unggas Provinsi Papua (Ribu Ekor
)
Sumber: BPS, 2014
Peternakan unggas di Provisi Papua juga mengalami peningkatan dengan hasil produksi yang terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah populasi ternak terbesar di Papua adalah ayam pedagang yaitu sebanyak 2,7 juta ekor pada tahun 2014, meningkat sebesar 8,36 persen dari tahun sebelumnya (Gambar 17). Peningkatan jumlah produksi dan populasi unggas didukung adanya pemberian bantuan bibit ternak, bantuan pakan ternak, serta pengobatan ternak dari
2,770 2,737 2,903 2,733 3,172 63 111 84 116 78 118 63 132 67 140 3,973 4,306 5,242 6,267 6,411 0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 2010 2011 2012 2013 2014
Daging Sapi Daging Kerbau Daging Kuda Daging Kambing Daging Domba Daging Babi
1,771.60 1,731.30 1,881.20 1,942.20 2,017.70 115.8 89.8 102.2 123.7 127.5 2,761.50 2,247.80 2,506.20 2,518.10 2,728.50 84.4 81.7 82.9 80.8 87.9 0.00 500.00 1,000.00 1,500.00 2,000.00 2,500.00 3,000.00 2010 2011 2012 2013 2014
pemerintah. Kebutuhan pakan ternak di Papua didatangkan dari Makassar dan Surabaya karena produksi bahan utama pembuat pakan ternak masih terbatas.
Tercapainya kondisi ketahanan dan kemandirian pangan di Provinsi Papua juga dipengaruhi adanya inovasi dan adopsi teknologi dalam pengembangan usaha tani tanaman pangan, usaha tani hortikultura, usaha peternakan, dan usaha perkebunan yang mampu memberikan dampak bagi peningkatan produksi dan produktivitas petani dan peternak. Pemerintah daerah mendorong peningkatan jumlah lahan pertanian dengan memfungsikan kembali lahan sawah untuk ditanam padi, jagung, dan kedelai sesuai dengan musimnya. Ketersediaan lahan di Papua cukup luas untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan produksi tanaman pertanian dan kebutuhan pangan lainnya. Kabupaten Merauke merupakan salah satu wilayah yang potensial untuk perluasan areal tanaman pangan. Upaya perluasan areal sawah sangat penting untuk mendukung ketahanan pangan karena kebutuhan produksi tanaman pangan khususnya padi terus meningkat sedangkan alih fungsi lahan cukup luas setiap tahunnya. Untuk mendukung Papua sebagai salah satu lumbung pangan nasional diperlukan pembukaan lahan pertanian dalam memenuhi target produksi tanaman pangan di tahun 2019 (Tabel 3).
Tabel 3
Sasaran Kedaulatan Pangan Provinsi Papua Desa
Mandiri Benih
Cetak Sawah (Ha)
Target Produksi 2019 (ribu ton)
Padi Jagung Kedelai Daging Sapi dan kerbau
20 31.000 214.220 4.207 13.079 4.187
Sumber: Perhitungan Bappenas, 2015
Dalam pemanfaatan dan pengolahan lahan sawah petani perlu mendapatkan pembinaan dan didampingi secara intensif baik dalam pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, panen, dan pasca panen oleh penyuluh pertanian dengan menerapkan inovasi teknologi spesifik lokasi. Dinas pertanian perlu memantau penyaluran benih dan pupuk agar lahan sawah bisa diusahakan secara berkelanjutan sehingga meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan. Petani juga perlu mendapatkan fasilitas berupa kemudahan dalam mengakses sarana produksi, sumber permodalan, pengolahan hasil serta pemasaran untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahterannya.
Salah satu upaya dalam mendorong produksi dan produktivitas pangan adalah tersedianya infrastruktur pertanian yang memadai. Pembangunan infrastruktur yang saat ini diperlukan antara lain berupa perbaikan dan pembangunan infrastruktur pengairan, seperti waduk dan saluran irigasi, serta pembangunan jalan yang menghubungkan sentra produksi kepada konsumen akhir. Untuk mewujudkan ketersediaan infrastruktur tersebut, dukungan dan koordinasi antara instansi yang membidangi pembangunan fisik serta pemerintah daerah melalui dukungan kebijakan yang mempermudah implementasi pembangunan tersebut, mutlak diperlukan. Selain pembangunan infrastruktur, peningkatan produksi dan produktivitas pertanian juga memerlukan dukungan penyediaan teknologi dan sarana produksi, serta sumber daya manusia yang baik.
2.2.2. Pengembangan Sektor Energi
Sumber daya energi Papua yang melimpah berupa minyak bumi, batu bara, gas bumi, panas bumi, tenaga air, dan tenaga matahari umumnya belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena pemanfaatan sumber energi tersebut memerlukan program konservasi, diversifikasi, intensifikasi energi. Sebagian besar kebutuhan energi di Papua baik untuk sektor ekonomi maupun sebagai pembangkit tenaga listrik masih mengandalkan potensi migas yang sebagian besar dimanfaatkan untuk memenuhi komoditas ekspor.
Peran energi terbarukan di provinsi Papua akan menjadi penting mengingat seluruh pasokan bahan bakar minyak (BBM) dan LPG ke provinsi ini berasal dari luar Papua. BBM diperoleh dari depot utama di Maluku dan LPG masih bergantung pada pasokan dari wilayah Jawa. Keberadaan beberapa kilang di Papua tidak mampu memenuhi kebutuhan provinsi Papua, dan kilang tersebut hanya menghasilkan BBM. Disisi lain, pemanfaatan sumber energi terbarukan bersifat lokal dan tidak ekonomis jika ditransportasikan antar wilayah. Kondisi ini menyebabkan pengembangan sumber energi terbarukan sangat cocok dalam peningkatan pemanfaatan energi di wilayah terpencil dan terisolasi.
Pemadaman listrik dan kelangkaan BBM menjadi fenomena yang biasa terjadi di Papua. Papua memiliki sumber daya energi terbarukan yang melimpah dan belum dimanfaatkan, antara lain luasnya wilayah pegunungan dengan potensi hutan yang mengandung sumber energi air dan biomasa energi biogas dari produk pertanian dan peternakan. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat harus diimbangin dengan ketersediaan tenaga listrik karena meningkatnya permintaan tenaga listrik. Rasio elektrifikasi di Provinsi Papua tahun 2014 masih di bawah 100 persen, lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar 81,70 persen (Gambar 18). Rasio elektrifikasi merupakan perbandingan jumlah rumah tangga yang berlistrik dan jumlah keseluruhan rumah tangga (RUPTL PLN 2015-2024). Rasio elektrifikasi ini menggambarkan tingkat ketersediaan energi listrik untuk masyarakat. Wilayah Pulau Papua secara keseluruhan memiliki rasio elektrifikasi yang rendah karena luas wilayahnya dan jarak antarrumah tangga cukup jauh.
Gambar 18
Rasio Elektrifikasi (%) Tahun 2014
Tidak termasuk pelanggan non PLN Sumber: Statistik PLN, 2014 81.70 0 20 40 60 80 100 120 Ac eh Sum at er a Ut ar a Sum at er a B ar at R ia u Ja m bi Sum at er a Se la ta n B en gkul u La m pun g K ep B an gka B el it un g K ep ula ua n R ia u D K I J aka rt a T an ge ra ng Ja wa B ar at Ja wa T en ga h D .I Yo gy aka rt a Ja wa T im ur B an te n B A L I N us a T en gg ar a B ar at N us a T en gg ar a T im ur K al im an ta n B ar at K al im an ta n T en ga h K al im an ta n Se la ta n K al im an ta n T im ur d an … Sula we si U ta ra Sula we si T en ga h Sula we si S el at an Sula we si T en gg ar a G or on ta lo Sula we si B ar at M al uku M al uku Ut ar a Pa pua B ar at Pa pua
Pengembangan kelistrikan di Papua terus ditingkatkan karena wilayah ini masih mengalami defisit listrik. Pembangunan Pembangkit listrik Tenaga Mikrohidro Provinsi Papua merupakan salah satu upaya mengembangkan energi baru terbarukan. PLTMH banyak dimanfaatkan untuk menyediakan energi listrik di wilayah terpencil namun harga pokok produksi listrik yang dibangkitkan PLTMH sangat kompetitif dibandingkan teknologi pembangkit lainnya. Pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan listrik dengan pemenuhan yang terfokus di Kabupaten Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, Paniai, Puncak Jaya, Puncak, Mamberamo Tengah, Mamberamo Raya, Yalimo, Nduga, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya, Puncak, Asmat, Waropen, Supiori dan Lanny Jaya yang selama ini relatif masih belum memperoleh pelayanan energi yang memadai dibandingkan daerah lainnya. Pelayanan sistem jaringan kelistrikan merupakan salah satu program yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua. Rencana penyediaan kebutuhan listrik selain untuk meningkatkan ketersediaan listrik, juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat membantu kegiatan sosial dan pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua.
2.2.3. Pengembangan Sektor Kemaritiman dan Kelautan
Pembangunan ekonomi bidang maritim merupakan salah satu prioritas program kerja pembangunan. Papua memiliki wilayah perbatasan dengan Papua Nugini (Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen), dengan potensi maritim antara lain industri bioteknologi kelautan, perairan dalam, wisata bahari, energi kelautan, mineral laut, pelayaran, pertahanan, dan industri maritim. Batas maritim memberikan kepastian hukum untuk seluruh kegiatan kelautan, penegakan kedaulatan dan hukum laut, khususnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan.
Kawasan perbatasan di Papua yang dikembangkan menjadi model pusat kegiatan kelautan dan perikanan terintegrasi adalah Merauke, sementara itu pengembangan Pelabuhan Jayapura merupakan salah satu sasaran untuk pengembangan tol laut dalam RKP 2016. Saat ini, aktivitas di dermaga Pelabuhan Merauke terdiri atas pelayaran lokal, pelayaran antarpulau, dan pelayaran samudera. Dermaga pelabuhan Merauke merupakan pelabuhan utama di Kabupaten Merauke yang disinggahi oleh kapal penumpang dan kapal perintis. Pelabuhan di Provinsi Papua yang melayani kunjungan kapal pelayaran luar negeri terdapat di Pelabuhan Merauke, Biak, Jayapura, dan Serui. Jumlah aktivitas pelayaran di Papua sebanyak 3.554 unit dengan volume 12.595.272 GRT (Tabel 4). Jumlah kunjungan kapal dapat digunakan untuk menganalisis aktivitas suatu pelabuhan karena data jumlah kunjungan kapal di suatu pelabuhan menunjukkan tingkat kesibukan aktivitas pelabuhan. Semakin rendahnya aktivitas pelabuhan, biaya logistik semakin tinggi sehingga biaya operasional kurang efisien. Transportasi laut bisa mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis maritim dan menekan angka inflasi karena disparitas harga antarwilayah makin rendah. Namun tingginya biaya logistik menyebabkan pengiriman barang di Papua lebih mahal daripada pengiriman barang ke luar negeri. Mahalnya biaya logistik ini menyebabkan transportasi maritim Indonesia tidak masuk dalam peta perdagangan maritim dunia.
Tabel 4
Aktivitas Pelabuhan di Provinsi Papua Tahun 2014 Pelabuhan Jumlah Pelayaran
Unit GRT)*
Merauke 418 799.881
Biak 734 2.564.624
Jayapura (Kota Jayapura) 542 3.636.358
Nabire 693 3.173.400
Serui (Kep. Yapen) 865 2.187.300
Sarmi 302 233.709
Total 3.554 12.595.272
)* 1 GRT = 2.83m3
Sumber: Statistik Perhubungan Provinsi Papua, 2014
Papua memiliki potensi sumber daya besar pada wilayah pesisir dan laut. Hal ini didukung dengan wilayah teritorial perairan yang luas, sekaligus memiliki potensi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi. Sektor perikanan dan kelautan menjadi salah satu sektor unggulan di Provinsi Papua. Sebagian besar produksi perikanan di Provinsi merupakan perikanan tangkap laut dengan hasil produksi tahun 2013 sebesar 286.339 ton. Hasil perikanan budidaya di Papua terdiri atas budidaya laut, tambak, kolam, karamba, jaring apung dan sawah (mina padi) dengan hasil produksi yang kecil (gambar 19). Jenis ikan yang dibudidayakan antara lain udang windu, udang galah, gurame, mujair, nila dan ikan mas. Jenis alat tangkap yang digunakan masyarakat lokal masih bersifat tradisional, seperti jaring insang, pancing, tonda, tambak, serta kalawai.
Gambar 19
Produksi Perikanan (ton) Provinsi Papua Tahun 2013
Sumber: BPS, 2013
97% 2%
Tangkap Laut Perairan Umum Budidaya Laut Tambak
Hasil produksi perikanan tangkap laut Papua menyumbang 5,02 persen terhadap hasil produksi perikanan tangkap laut nasional yang sebesar 5.707.012 ton pada tahun 2013. Potensi perikanan yang besar di Papua terdapat di Kabupaten Asmat, Mimika, Sarmi, Waropen, Nabire, dan Biak, sertai didukung dengan perbedaan pasang surut arus laut yang tinggi sehingga potensi perikanan cukup tinggi. Tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan sektor perikanan di Papua antara lain belum terpadunya usaha penangkapan ikan, tambak ikan, serta budidaya perikanan lainnya, dan penggunaan teknologi penangkapan dan pengolahan hasil ikan yang belum memadai. Strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan perekonomian berbasis kelautan ini antara lain pemberian kredit mikro kepada nelayan, peningkatan kualitas produk perikanan di pasar lokal dan untuk ekspor, dan pengembangan industri yang berasal dari produk olahan ikan. Pengembangan sektor kelautan ini harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan agar memberikan dampak yang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2.2.4. Pengembangan Sektor Pariwisata dan Industri
Sektor pariwisata dan industri merupakan salah satu komponen dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan pariwisata dan industri harus dilakukan secara berkelanjutan sehingga memberikan manfaat langsung untuk kesejahteraan masyarakat. Arah kebijakan dalam pengembangan sektor pariwisata meliputi: pemasaran pariwisata nasional dengan mendatangkan jumlah wisatawan nusantara dan mancanegara; pembangunan destinasi pariwisata dengan meningkatkan daya tarik daerah tujuan wisata sehingga berdaya saing di dalam dan luar negeri; pembangunan industri pariwisata dengan meningkatkan partisipasi usaha lokal dalam industri pariwisata nasional serta meningkatkan keragaman dan daya saing produk dan jasa pariwisata nasional di setiap destinasi pariwisata yang menjadi fokus pemasaran; dan pembangunan kelembagaan pariwisata dengan membangun sumberdaya manusia pariwisata serta organisasi kepariwisataan nasional. Arah kebijakan dalam pengembangan sektor industri meliputi pengembangan perwilayahan industri di luar Pulau Jawa, penumbuhan populasi industri, serta peningkatan daya saing dan produktivitas.
Kontribusi sektor pariwisata terhadap perekonomian Provinsi Papua masih rendah dibandingkan dengan potensi pariwisata yang dimilikinya. Wisatawan asing maupun domestik yang berkunjung ke Papua belum begitu besar. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke tempat wisata di Papua meningkat setiap tahunnya walaupun peningkatan jumlah kunjungan tersebut dianggap tidak signifikan. Hal ini juga terlihat dari jumlah tamu yang menginap di hotel dan akomodasi lainnya di Provinsi Papua dibandingkan Indonesia secara keseluruhan Tahun 2010-2014 (Gambar 20). Jumlah tamu asing dan domestik pada hotel dan akomodasi lain di Papua mengalami peningkatan terutama pada tahun 2013 sebesar 147,62 persen dari tahun sebelumnya yaitu dari 364.763 orang menjadi 903.225 orang. Sementara itu, tingkat kunjungan ke objek wisata di Papua ditargetkan meningkat 2000 orang setiap tahunnya. Salah satu penyebab peningkatan jumlah kunjungan yang tidak signifikan adalah terkendala biaya transportasi yang sulit untuk menjangkau lokasi wisata. Pertimbangan faktor biaya karena sulitnya transportasi menjadi salah satu kendala bagi wisatawan yang berkunjung ke Papua.
Gambar 20
Jumlah Tamu yang Menginap Tahun 2010-2014
Sumber: BPS, 2014
Sektor pariwisata mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan lapangan kerja dan menjadi multiplier effect untuk pengembangan sektor perekonomian yang lain. Objek wisata yang dimiliki Papua belum ditata dengan baik menjadi daya tarik wisata unggulan, padahal potensinya sangat besar karena alam yang dimiliki masih asli dan memiliki budaya khas dan unik Papua. Salah satu objek wisata yang menarik di Papua adalah keberadaan salju abadi di Pegunungan Tengah dan Taman Nasional Lorentz yang menjadi kawasan konservasi terluas di Asia Tenggara. Kawasan ini tersebar di Kabupaten Jayawijaya, Mimika, Puncak Jaya, dan Asmat. UNESCO menetapkan Taman Nasional Lorentz menjadi situs warisan dunia yang memiliki lebih dari 43 jenis ekosistem, kawasan daerah tropis yang memiliki gletser di Puncak Cartenz, dan Danau Habema yang dihiasi padang rumput dan rawa-rawa.
Untuk sektor industri, salah satu tantangan yang dihadapi industri nasional saat ini
adalah daya saing yang rendah di pasar internasional. Faktor yang menyebabkan rendahnya
daya saing tersebut antara lain adanya peningkatan biaya energi, tingginya biaya ekonomi, serta belum memadainya layanan birokrasi. Tantangan lain yang dihadapi adalah masih lemahnya keterkaitan antar industri (industri hulu dan hilir maupun antara industri besar dengan industri kecil dan menengah), adanya keterbatasan berproduksi barang setengah jadi dan komponen di dalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi, kesenjangan kemampuan ekonomi antardaerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa komoditas tertentu.
Sektor industri Papua hanya berkontribusi sebesar 2 persen terhadap pembentukan PDRB provinsi karena saat ini kegiatan perekonomian masih didominasi oleh kegiatan pertambangan. Potensi sumberdaya alam Papua yang besar dalam perekonomian harus berimbas pada kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha mandiri, seperti keberadaan industri rakyat. Sektor industri usaha mikro, kecil, dan menengah perannya tidak begitu besar dalam pembentukan ekonomi Papua, namun berperan dalam menciptakan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan di Provinsi Papua (Gambar 21). Penyerapan tenaga kerja di sektor industri mikro kecil dan menengah banyak terdapat di Kabupaten Merauke, Kota Jayapura dan Kota Mimika. Kabupaten Nduga, Yalimo, Puncak, dan Dogiyai belum terdapat
8,614 11,287 14,269 70,735 20,137 272,155 348,002 350,494 832,490 858,790 10,000,000 20,000,000 30,000,000 40,000,000 50,000,000 60,000,000 70,000,000 80,000,000 90,000,000 100,000,000 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 900,000 1,000,000 2010 2011 2012 2013 2014
Jumlah Tamu Asing (Provinsi) Jumlah Tamu Indonesia (Provinsi) Jumlah Tamu Asing (Nasional) Jumlah Tamu Indonesia (Nasional)
industri yang mampu menyerap lapangan kerja besar. Pelatihan dan ketrampilan berwirausaha perlu diberikan kepada masyarakat di wilayah ini untuk meningkatkan daya saing saat memiliki industri mandiri.
Gambar 21
Jumlah Tenaga Kerja Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Tahun 2014
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Provinsi Papua, 2014
Jumlah industri mikro, kecil dan menengah di Provinsi Papua pada tahun 2014 sebesar 22.586 industri, dengan jumlah industri tertinggi terdapat di Kabupaten Mimika, yaitu sebanyak 4.178 industri dan terendah di Kabupaten Boven Digoel, sebanyak 34 industri (Tabel 5). Pertumbuhan produksi industri manufaktur Pengembangan usaha industri manufaktur mikro, kecil dan menengah belum menunjukkan hasil maksimal karena masih terkendala keterbatasan modal, bahan baku, serta pemasaran. Untuk meningkatkan skala industri dan menjadi industri yangberdaya saing industri, jenis usaha manufaktur sering mengalami kendala infrastruktur berupa akses jalan dan jembatan, misalnya sektor usaha perkebunan tebu mengalami kesulitan dalam pengangkutan tebu dari kebun ke pabrik gula.
Tabel 5
Jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah Menurut Sektor Usaha Tahun 2014 Kabupaten/ Kota Perkebunan/ Pertanian/
Peternakan
Perdagangan Pertanian/ Non Industri Aneka Usaha/ Jasa Jumlah Total Merauke 338 593 824 736 2221 Jayawijaya 306 597 186 289 1378 Jayapura 110 400 75 86 671 Nabire 86 320 59 57 522
Kepulauan Yapen 197 817 108i 116 1238
Biak Numfor 226 520 263 158 1167 Paniai 38 96 39 31 204 Puncak Jaya 51 380 69 68 568 Mimika 1132 2922 68 56 4178 Boven Digoel - 13 8 13 34 Mappi 9 15 2 10 36 3136 719 975 697 965 1599 308 532 2550 66 74 72 126 137 42 449 1735 870 103 415 0 221 1135 0 0 0 914 674 2922 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 M er au ke Jay aw ijay a Jay apur a N ab ir e K epu lau an Y apen B iak N um for Pani ai Pu nc ak Jay a M im ik a B ov en D ig oel M appi As m at Yah uk im o Peg unung an B int ang T oli kar a Sar m i K eer om W ar open Su pi or i M am ber am o R ay a N du ga Lann y J ay a M am ber am o Teng ah Yal im o Pu nc ak D ogi yai Int an J ay a D ei yai K ota J ay apu ra
Kabupaten/ Kota Pertanian/ Perkebunan/ Peternakan Perdagangan Non Pertanian/ Industri Aneka Usaha/ Jasa Jumlah Total Asmat 6 1 - 28 35 Yahukimo 36 87 37 37 197 Pegunungan Bintang 46 195 45 38 324 Tolikara 16 23 5 39 83 Sarmi 55 226 62 42 385 Keerom 228 506 158 292 1184 Waropen 195 636 250 102 1183 Supiori 51 178 96 32 357 Mamberamo Raya 0 1714 - - 1714 Nduga - - - - - Lanny Jaya - 333 - - 333 Mamberamo Tengah 125 632 318 120 1195 Yalimo - - - - - Puncak - - - - - Dogiyai - - - - - Intan Jaya - 350 94 63 507 Deiyai 121 394 91 224 830 Kota Jayapura 259 1077 117 589 2042 Jumlah 3631 13025 2974 3226 22586
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Provinsi Papua, 2014
Permasalahan yang dihadapi daerah saat ini adalah belum diterapkannya perencanaan perekonomian daerah yang menjadi komitmen bersama di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota. Upaya meningkatkan kontribusi sektor industri dalam pembentukan PDRB Papua dapat dilakukan apabila ada jaminan pasokan bahan baku dengan berbagai jenisnya, jumlah produksi dan harga stabil untuk sektor primer yang akan diolah. Dalam hal ini diperlukan mobilisasi pada pelaku usaha sektor primer (petani, nelayan, peternak) agar menjamin kelangsungan produksi di sektor industri.
2.3. ANALISIS PEMERATAAN DAN PEMBANGUNAN KEWILAYAHAN
2.3.1. Pusat Pertumbuhan Wilayah
Pusat pertumbuhan wilayah banyak ditentukan berdasarkan potensi yang dimilikinya. Peningkatan infrastruktur dan ketersediaan sarana mampu mendukung percepatan pembangunan. Ketersediaan infrastruktur yang lengkap di suatu wilayah juga bisa digunakan sebagai dasar dalam penetapan pusat pertumbuhan, karena hierarki suatu kota yang besar akan mempercepat wilayah lain untuk berkembang. Hierarki kota dapat menentukan jenjang pelayanan terkait dengan pusat pelayanan di kota.
2.3.1.1.
Kawasan Ekonomi Khusus
Untuk mempercepat pengembangan ekonomi wilayah dan menjaga keseimbangan kemajuan daerah perlu dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan gesostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Setidaknya ada empat daerah di Pulau Papua yang akan dikembangkan menjadi KEK, salah satunya di Kabupaten Merauke (persiapan penetapan KEK). Pengembangan KEK difokuskan pada sektor pertanian dan
kehutanan. Walaupun saat ini Provinsi Papua belum memiliki KEK, namun pemerintah telah menetapkan lima Kawasan Pengembangan Ekonomi (KPE) berbasis wilayah adat di Papua dengan mengembangkan infrastruktur yang mendukung sektor pertanian dan pertambangan (Tabel 6). Hal ini juga dilakukan untuk mendukung sentra produksi di sektor pangan, peternakan, industri, dan pariwisata.
Tabel 6
Kawasan Pengembangan Ekonomi Berbasis Wilayah Adat di Provinsi Papua
KPE Wilayah Fokus Pengembangan
Saereri Kabupaten Biak Numfor, Supiori,
Kepulauan Yapen, dan Waropen
Perikanan laut, Industri Pengalengan, Industri Perikanan Laut, pariwisata
Mamta Kabupaten Mamberamo Raya, Jayapura,
Keerom, Sarmi, dan Kota Jayapura
Perkebunan dan industri kelapa sawit dan coklat, pariwisata
Me Pago Kabupaten Nabire, Paniai, Deiyai, Dogiyai,
Intan Jaya, dan Mimika
Perkebunan dan industri sagu, buah merah, ubi jalar,pariwisata
La Pago Kabupaten Mamberamo Tengah,
Jayawijaya, Lanny Jaya, Nduga,
Pegunungan Bintang, Tolikara, Yalimo, Yahukimo, Puncak, dan Puncak Jaya
Perkebunan dan industri sagu, buah merah, ubi jalar,pariwisata
Ha’anim Kabupaten Merauke, Asmat, Mappi, dan
Boven Digoel
Perkebunan dan industri karet, kelapa sawit, industri pengalengan ikan, pangan, dan peternakan
Sumber: Buku III RPJMN 2015-2019
Untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi KPE membutuhkan penguatan konektivitas di masing-masing wilayah adat. Kebutuhan infrastruktur untuk penguatan konektivitas di pusat pertumbuhan ekonomi antara lain mempercepat penyelesaian pembangunan transportasi darat, laut, dan udara, pembangunan ruas jalan strategis nasional, dan mempercepat pembangunan infrastruktur air bersih, listrik, dan telekomunikasi. Beberapa pembangunan infrastruktur untuk penguatan konektivitas di KPE Provinsi Papua antara lain:
1. Pembangunan ruas jalan, antara lain: Ruas Jalan Sarmi-Ampawar-Barapasi-Sumiangga-Kimibay, Jalan Lingkar Numfor dan Kota Biak; Ruas Jalan Depapre-Bongkrang, ruas jalan Warumbaim-Taja-Lereh-Tengon, Ruas Jalan Jayapura-Wamena-Mulia; Ruas Jalan Sumohai-Dekai-Oksibil-Iwur-Waropko, ruas jalan Enarotali-Tiom, Ruas Jalan Wamena-Habema-Kenyam, Ruas Jalan Timika-Potowaiburu-Wagete-Nabire, Ruas jalan Yeti-Ubrub; Ruas Jalan Okaba– Sanomere–Bade, Ruas Jalan Merauke-Okaba-Buraka- Wanam -Bian-Wogikel, Ruas Jalan Okaba-Kumbe-Kuprik-Jagebob-Erambu;
2. Pengembangan Bandara Internasional Frans Kaisepo, Bandara Internasional Sentani, Bandara Internasional Moses Kilangin, Bandara Internasional Mopah; pembangunan Bandara di Yapen Waropen, Wamena, Dekai;
3. Reaktivasi Pelabuhan Biak; pengembangan Pelabuhan Peti Kemas depapre, pelabuhan Jayapura, Pelabuhan Merauke; pengembangan dermaga Kenyam dan Suru-suru;
4. Pembangunan Terminal Tipe A Kota Jayapura, Terminal B Kabupaten Sarmi, Keerom, dan Kota Jayapura;
6. Pengembangan PLTA Supiori, PLTA Mamberamo, PLTA Gayem, PLTA Hotekamp, PLTA Baliem, PLTA Urumuka, PLTS Makro.
Salah satu syarat pengembangan KEK adalah ketersediaan investor yang akan menggerakkan investasi di wilayah tersebut. KEK bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan mengurangi kesenjangan dalam masyarakat melalui hadirnya aktivitas ekonomi yang memberikan nilai tambah. Terbentuknya KEK diharapkan semakin membangun daya saing wilayah dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.3.1.2.
Kawasan Industri
Percepatan pembangunan wilayah juga didukung oleh pembangunan lokasi industri berupa Kawasan Industri (KI). KI bertujuan untuk mengendalikan tata ruang, meningkatkan upaya industri yang berwawasan lingkungan, mempercepat pertumbuhan industri di daerah, meningkatkan daya saing industri, meningkatkan daya saing investasi, serta memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur yang terkoordinasi antar sektor terkait. Arah pengembangan KI di luar Pulau Jawa diharapkan dapat menciptakan pemerataan pembangunan ekonomi dan meningkatkan efisiensi sistem logistik dan KI sebagai pergerakan utama pusat-pusat pertumbuhan baru.
Rencana pembangunan KI membutuhkan: kesiapan infrastruktur yang memadai sehingga semua fasilitas dapat terintegrasi; fasilitas pendukung tumbuhnya industri prioritas berupa area komersil serta penelitian dan pengembangan; dan fasilitas pendukung lainnya. Pemerintah telah menetapkan 14 kawasan industri di Indonesia, namun tidak ada pengembangan KI di Provinsi Papua. Adapun rencana pembangunan industri di Timika Papua antara lain pembangunan smelter, industri hasil perkebunan, industri hasil perikanan, dan industri hasil kehutanan. Penciptaan kawasan industri merupakan salah satu rencana strategis untuk pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat.
2.3.2. Kesenjangan intra wilayah
Tingkat kesenjangan ekonomi antarkota dan kabupaten di Provinsi Papua yang ditunjukan dengan nilai indeks wiliamson dari tahun 2009-2013 cukup tinggi dan berada di atas rata-rata nasional. Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Papua tergolong pada kelompok ketimpangan tinggi. Penyebab kesenjangan ekonomi dan sosial di Provinsi Papua antara lain jarak kualitas pelayanan kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi yang terbatas. Kesenjangan dalam perekonomian menimbulkan disparitas terutama melonjaknya
Gambar 22
Perkembangan Kesenjangan Ekonomi (Indeks Williamson) 2009-2013
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
Kesenjangan ekonomi antarkota dan kabupaten di Provinsi Papua cukup tinggi, terlihat dari besarnya gap antara kabupaten atau kota dengan PDRB perkapita tertinggi dan PDRB perkapita terendah (Tabel 7). Pendapatan perkapita di Provinsi Papua relatif lebih tinggi daripada pendapatan perkapita kabupaten dan kota di Provinsi Papua. Wilayah Papua memiliki tingkat kepadatan penduduk paling rendah daripada wilayah lain di Indonesia dengan konsentrasi penduduk tersebar di perdesaan dan pedalaman. PDRB perkapita di Kabupaten Mimika tergolong tinggi karena potensi sumber daya alam di bidang pertambangan dan didukung oleh keberadaan perusahaan tambang PT Freeport Indonesia yang sudah puluhan tahun melakukan penambangan terhadap bijih tembaga, emas, dan perak. Infrastruktur di Mimika terbangun dengan keberadaan kota modern, bandara, pelabuhan, serta fasilitas jalan. Lapangan kerja di Kabupaten Mimika cukup terbuka meskipun tidak menyerap seluruh penduduk lokal. Perusahaan pendukung kegiatan pertambangan juga bermunculan di Mimika sehingga aktivitas ekonomi di wilayah ini semakin berkembang dan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat. Seluruh lapangan pekerjaan yang digerakkan penduduk lokal maupun pendatang menghasilkan perputaran uang yang cukup besar. Hal ini bukan hanya menjadikan pendapatan per kapita Kabupaten Mimika tinggi, namun juga memberi kontribusi besar terhadap pendapatan daerah.
0.70 0.71 0.65 0.64 0.65 0.77 0.76 0.76 0.76 0.76 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 2009 2010 2011 2012 2013 Papua Nasional