• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Kondisi Geografis Kecamatan Gunung Sindur. ujung sebelah utara Kabupaten Bogor yang langsung berbatasan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Kondisi Geografis Kecamatan Gunung Sindur. ujung sebelah utara Kabupaten Bogor yang langsung berbatasan dengan"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

60 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

1. Kondisi Geografis Kecamatan Gunung Sindur

Kecamatan Gunung Sindur merupakan Kecamatan yang berada di ujung sebelah utara Kabupaten Bogor yang langsung berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan. Kecamatan Gunung Sindur bukanlah merupakan pegunungan yang tinggi seperti yang timbul dibayangan kita saat mendengar namanya, pada kenyataannya topografi permukaan daratan Gunung Sindur relatif datar tidak ada pegunungan dan perbukitan yang tampak.

Gambar IV.1

(2)

61

Luas wilayah Kecamatan Gunung Sindur adalah 4.881 Ha, sebelah utara berbatasan langsung dengan Kota/Kabupaten lain bahkan Provinsi lain yaitu Banten, hal inilah yang menyebabkan adanya keanekaragaman budaya, agama, suku dan bahasa. Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Gunung Sindur adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten b. Sebelah Barat : Kecamatan Rumpin

c. Sebelah Timur : Kecamatan Parung dan Kota Depok d. Sebelah Selatan : Kecamatan Parung dan Ciseeng

Tabel IV.1

Wilayah Administrasi Kecamatan Gunung Sindur

Wilayah Administrasi Jumlah

Desa 10

RT 375

RW 92

(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur 2014)

Secara administrasi Kecamatan Gunung Sindur terdiri dari 10 Desa yaitu Desa Jampang, Desa Cibadung, Desa Cibinong, Desa Cidokom, Desa Pedurenan, Desa Curug, Desa Rawa Kalong, Desa Pengasinan, Desa Gunung Sindur dan Desa Pabuaran.

2. Monografi Penduduk

Dengan luas wilayah Kecamatan Gunung Sindur 48,81 Km2 maka rata-rata tingkat kepadatan penduduknya yaitu 1.764 jiwa/Km2. Desa yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Desa Pedurenan yaitu

(3)

62

2.506 jika/Km2, sedangkan yang paling rendah adalah Desa Jampang yaitu 758 jiwa/Km2.

Tabel IV.2

Jumlah penduduk, Luas Desa dan Kepadatan Penduduk Kec. Gunung Sindur Tahun 2013 No Desa Jumlah Penduduk Luas Wilayah (Km2) Kepadatan Penduduk/Km2 1 Jampang 4.462 5.89 758.56 2 Cibadung 7.940 5.2 1526.92 3 Cibinong 9.990 4.49 2224.94 4 Cidokom 6.652 2.95 2254.92 5 Pedurenan 7.241 2,89 2505.54 6 Curug 13.046 5.67 2300.88 7 Rawa kalong 8.104 5.25 1543.62 8 Pengasinan 11.383 5.18 2197.19 9 Gunung Sindur 9.986 5.73 1743.76 10 Pabuaran 7.980 5.56 1435,25 Jumlah 86.784 48.81 1778.00

(Sumber : Data Kecamatan Gunung Sindur 2013)

Karena letak Kecamatan Gunung Sindur berdekatan dengan Ibu Kota Negara dan berbatasan langsung dengan kota Tangerang Selatan maka hal tersebut berdampak pada pertumbuhan penduduk yang pesat di sebabkan oleh banyaknya pendatang. Berdasarkan data Kecamatan, jumlah penduduk di Kecamatan Gunung Sindur berdasarkan jenis kelamin di jabarkan sebagai berikut :

(4)

63

Tabel IV.3

Jumlah Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan Jenis Kelamin

No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah

Penduduk 1 Jampang 2.241 2.221 4.462 2 Cibadung 3.946 3.994 7.940 3 Cibinong 9.174 4.816 9.990 4 Cidokom 3.378 3.274 6.652 5 Pedurenan 3.784 3.457 7.241 6 Curug 6.832 6.214 13.046 7 Rawa kalong 4.202 3.902 8.104 8 Pengasinan 5.853 5.530 11.383 9 Gunung Sindur 5.125 4.861 9.986 10 Pabuaran 4.131 3.849 7.980 Jumlah 44.284 41.795 86.784

(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur Dalam Angka, 2014)

Sex ratio (perbandingan antara penduduk laki-laki dengan penduduk

perempuan) di Kecamatan Gunung Sindur adalah 106, yang artinya dari 100 penduduk perempuan terdapat 106 penduduk laki-laki. Semua desa di Kecamatan Gunung Sindur memiliki sex ratio diatas 100, kecuali Desa Cibadung yang cenderung lebih rendah yaitu 98 yang artinya setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98 penduduk laki-laki. Sex ratio terbesar terdapat di Desa Curug sebesar 110 yang berarti dari setiap 100 penduduk perempuan terdapat 110 penduduk laki-laki.

3. Kondisi Sosial Budaya

a. Mata Pencaharian Penduduk

Masyarakat Kecamatan Gunung Sindur sebagian besar berpencaharian sebagai wiraswasta, memiliki peternakan ayam,

(5)

64

peternakan lele, pabrik tahu/tempe serta budidaya tanaman hias. Budidaya tanaman hias yang terkenal dan menjadi primadona adalah budidaya tanaman anggrek baik anggrek yang dijual bunganya maupun anggrek yang dijual dalam pot.

Tabel IV.4

Produksi Tanaman Hias Kecamatan Gunung Sindur 2013 Nama Tanaman Hias Produksi (Pohon / Tangkai) Anggrek potong 2.507.680 Anggrek Pot 132.320 Dracaena 28.500 Palem 12.250 Aglaonema 57.000 Phylodendron 86.425 Monstrea 131.595 Anturium Daun 9.930

(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur 2014)

Selain itu dari sektor pertanian atau tanaman pangan seperti padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu dan kacang tanah, tidak kalah memiliki andil yang besar dalam mensejahterakan masyarakat.

Tabel IV.5

Produksi Tanaman Pangan Kecamatan Gunung Sindur 2013 Tanaman

Pangan

Luas Panen/Ha Produktivitas kw/ Ha Produksi /Kw Padi 550.04 62 3402.48 Jagung 145 44 6380 Ubi Kayu 251 20.4 5120.4 Ubi Jalar 35 14.14 494.9 Kacang .T 36 13.6 489.6

(6)

65

Walaupun lahan pertanian di Kecamatan Gunung Sindur semakin sempit tergerus oleh arus modenisasi akibat pembangunan perumahan, pabrik yang mulai perlahan menjamur dan bangunan lainnya, namun sektor pertanian masih merupakan salah satu mata pencaharian penduduk yang utama. Hal ini didukung dengan curah hujan di daerah ini yang relatif tinggi sehingga membuat berbagai tanaman petani tumbuh subur. Saat musim kemarau biasanya petani menyiasati dengan menanam umbi-umbian yang tahan terhadap terik matahari. RSD menjelaskan :

“Walau itungannya kami dekat sekali dengan ibu kota yang identik

dengan kehidupan yang modern tapi sebagian besar masyarakat masih mencari rejeki dibidang pertanian, ya mau itu nanam singkong, kentang, cabe, kunyit, jahe, segala macem kembang-kembangan, sampe rumput gajah juga ada yang dijual per-meter. bisa jadi karena tanah disini juga subur dan sering hujan jadi mau nanam apapun ya idup aja.

(Sumber : Wawancara Senin 29 Juni 2015)

Gambar IV.2

(7)

66

Di Kecamatan Gunung Sindur terdapat 17 kelompok tani yang bergerak dibidang peternakan dan perikanan, 16 perusahaan yang bergerak di bidang peternakan ayam ras dan peternakan lainnya seperti bebek, lele, ikan gurame, belut, sapi, babi, dan kambing. Hampir setiap rumah memiliki hewan ternak baik dalam jumlah besar maupun dalam jumlah yang kecil atau ternak rumahan.

Gambar IV.3

Beragam Hewan Ternak Sumber Mata Pencaharian Masyarakat Kecamatan Gunung Sindur

Tidak harus memiliki sawah atau tambak yang luas bagi masyarakat untuk dapat beternak lele atau jenis ikan lainnya karena mereka bisa langsung membuat kolam dari semen atau bahkan terpal di dekat rumah, dengan begitu pengawasan terhadap ternak dari gangguan hewan pemangsa seperti anjing, kucing bahkan burung bisa diminimalisir karena pemilik bisa setiap waktu menunggu. Banyaknya peternakan yang ada ditunjang pula dengan adanya dua instansi pemerintah yaitu Balai pengujian Mutu Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) dan Pos Pengawasan Lalu Lintas Ternak yang ada di Kecamatan Gunung Sindur.

(8)

67

Dalam sektor industri, mayoritas masyarakat Kecamatan Gunung Sindur membuka usaha pabrik tahu dan makanan ringan. Untuk usaha pabrik tahu, produsen membaginya kedalam dua hasil produksi yaitu tahu kuning dan susu tahu (susu kedelai). Tahu tersebut di distribusikan ke berbagai macam pembeli, ada yang memesan untuk di jual lagi ke luar kota seperti Jakarta dan Tangerang, ada pula yang dijual untuk masyarakat setempat.

Gambar IV.4

Produksi Tahu Kuning Khas Kecamatan Gunung Sindur b. Kepercayaan dan Sarana Ibadah

Letak Kecamatan Gunung Sindur yang berada dibatas Kabupaten Bogor dan dekat dengan ibu kota membuat Kecamatan Gunung Sindur memiliki ciri multietnis dan multiagama. Berdasarkan data Kecamatan Gunung Sindur tahun 2014 agama Islam merupakan agama mayoritas dengan prosentase 91,03% dari total penduduk. Agama Protestan 3,71 %, Budha 2,4%, Konghucu 2,18%, Katholik 0,64% dan prosentase terkecil

(9)

68

yaitu agama Hindu 0,04%. Walaupun agama yang ada sangatlah beragam namun tidak sama sekali mengurangi solidaritas antar masyarakat, mereka semua berbaur tidak peduli etnis maupun agama, saling gotong-royong, bahkan dihari-hari besar keagamaan.

Gambar IV.5

Prosentase Agama di Kecamatan Gunung Sindur

Sarana peribadatan merupakan salah satu fasilitas yang sangat penting ketersediaannya. Secara umum di Kecamatan Gunung Sindur terdapat 289 tempat ibadah yang terdiri dari 73 Masjid, 9 Gereja, 6 Wihara dan 8 Klenteng. Walaupun terdiri dari berbagai etnis dan agama namun semuanya hidup berdampingan dan harmonis. Berikut penuturan RSD mengenai keharmonisan umat beragama di Kecamatan Gunung Sindur :

“Dari dulu memang selalu begini, semua agama akur-akur aja. Kalau di daerah lain sering kan kita dengar speaker masjid aja bisa jadi masalah, kalau disini alhamdulillah semua saling

Prosentase Agama

lslam 91,03 % Protestan 3,71 % Katolik 0,64 % Hindu 0,04 % Budha 2,4 %

(10)

69

menghargai, tidak membeda-bedakan dia orang Tionghoa atau orang Betawi”

(Sumber : Wawancara Senin 29 Juni 2015)

Tabel IV.6

Sarana Peribadatan di Kecamatan Gunung Sindur

No Desa Masjid Gereja Vihara Klenteng

1 Jampang 5 0 0 0 2 Cibadung 5 1 0 1 3 Cibinong 10 0 1 1 4 Cidokom 6 0 0 0 5 Pedurenan 7 0 1 0 6 Curug 10 4 1 1 7 Rawa kalong 8 0 0 0 8 Pengasinan 7 1 1 0 9 Gunung Sindur 9 0 1 1 10 Pabuaran 6 3 1 4 Jumlah 73 9 6 8 (Sumber : BPS, Posdes 2014)

Meskipun mayoritas masyarakat Kecamatan Gunung Sindur beragama islam namun keberadaan agama lain sangatlah dihormati, hal ini terbukti dari banyaknya jumlah klenteng yang merupakan tempat peribadatan masyarakat Tionghoa di Kecamatan tersebut. Bahkan tidak jarang saat ada acara atau peringatan hari besar tertentu di klenteng membuka pengobatan gratis bagi semua masyarakat desa baik yang muslim maupun non-muslim yang membutuhkan pengobatan.

(11)

70

Gambar IV.6

Klenteng Ciu Lung Wang yang Berada di Kp. Cikoleang c. Sarana Pendidikan

Saat ini pendidikan menjadi salah satu hal yang paling penting dan menjadi perhatian masyarakat Kecamatan Gunung Sindur. Dahulu, awalnya kemampuan masyarakat untuk mengenyam pendidikan di Kecamatan ini sangatlah minim. Selain karena kondisi ekonomi yang pas-pasan di tambah lagi dengan tidak adanya semangat untuk belajar. Sebagai daerah yang termasuk masih pedesaan, setiap anak setelah lulus sekolah dasar tidak meneruskan ke bangku sekolah menengah tetapi mereka lebih memilih membantu orangtua bertani atau bahkan menjadi buruh di pabrik konveksi. Namun seiring berjalannya waktu pendidikan di Kecamatan Gunung Sindur mulai digalakan, saat ini tidak ada anak yang tidak bersekolah. Hal ini sejalan dengan dengan harapan para orang tua agar generasi penerusnya tidak seperti mereka yang minim pendidikan. Berikut Penuturan US :

“Awalnya dikit sekali anak yang beruntung karena disekolahkan orang tuanya, tapi makin kesini makin baik kemajuannya. Malah kalo kita liat aneh ya zaman sekarang jika ada anak usia sekolah

(12)

71

tetapi tidak sekolah. Orang tua zaman sekarang mungkin semakin tau apa yang paling baik. Kalau dulu lebih mentingin untuk beli sapi atau kambing daripada untuk sekolah. Selain itu dibantu juga adanya penyuluhan dari pemerintah daerah dan kadang-kadang dari mahasiswa KKN”

(Sumber : wawancara Jumat 19 Juni 2015)

Saat ini di Kecamatan Gunung Sindur terdapat 37 SDN, 3 SMPN, 1 SMAN dan 1 SMKN. Sedangkan untuk sekolah yang dikelola oleh pihak swasta antara lain 2 SD, 9 SMP dan 8 SMA / SMK. Selain itu terdapat pula 17 pesantren baik modern maupun Salafiah.

Gambar IV.7

Sekolah Dasar Negeri Pabuaran 02

Baik sekolah negeri maupun swasta yang ada di Kecamatan Gunung Sindur peminatnya tetaplah sama. Selain negeri dan swasta ada pula sekolah-sekolah yang berada di naungan Kementrian Agama Kabupaten Bogor. Diantaranya ada 10 MI, 7 MTs dan 2 MA yang menyebar

(13)

72

di berbagai desa. Berdasarkan data Kecamatan tahun 2013 murid MI ada 1375 siswa, MTs 1532 siswa dan MA sebanyak 112 siswa.

Tabel IV.7

Sarana Pendidikan Kecamatan Gunung Sindur

No Desa Negeri Swasta

SD SMP SMA SD SMP SMA 1 Jampang 3 0 0 0 0 0 2 Cibadung 5 1 0 0 1 1 3 Cibinong 4 0 0 1 1 2 4 Cidokom 2 0 0 0 1 1 5 Padurenan 3 0 0 0 1 0 6 Curug 4 0 0 0 1 1 7 Rawa Kalong 4 1 1 0 0 0 8 Pengasinan 4 1 0 0 1 1 9 Gunung Sindur 4 0 1 0 1 0 10 Pabuaran 4 0 0 1 1 2 Jumlah 37 3 2 2 9 8

(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur, 2014) d. Sarana Kesehatan

Dalam bidang kesehatan, Kecamatan Gunung Sindur didukung oleh sarana kesehatan yang meliputi 2 Puskesmas, 3 Puskesmas pembantu dan 94 Posyandu yang tersebar hampir diseluruh RW. Sarana kesehatan yang ada tersebut ditunjang dengan tenaga medis yaitu 10 orang dokter umum, 1 orang dokter gigi, dan 19 orang bidan. Sebagai daerah yang masih tradisional, dukun bayi (Ibu Paraji) seringkali dibutuhkan jasanya dalam membantu proses melahirkan, ada sekitar 28 dukun bayi di Kecamatan Gunung Sindur yang tersebar rata disetiap desa.

(14)

73 B. Hasil Penelitian

Dalam sub-bab ini peneliti berusaha untuk mendeskripsikan hasil penelitian mengenai amalgamasi yang terjadi antara etnis Betawi dengan etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor merupakan tempat dimana budaya Betawi dan Tionghoa berbaur. Penduduk asli Kecamatan Gunung Sindur adalah mayoritas beretnis Betawi dan sedikit orang Sunda sedangkan etnis Tionghoa merupakan pendatang. Masyarakat Tionghoa yang mendiami Kecamatan Gunung Sindur sudah datang sejak ratusan tahun yang lalu, berawal dari berdagang, kemudian mereka berusaha membaur dan beradaptasi dengan mempelajari budaya dan bahasa sekitar, sampai akhirnya banyak dari mereka yang melakukan perkawinan campuran dengan etnis pribumi atau lazim kita menyebutnya dengan sebutan amalgamasi.

Dalam ikatan amalgamasi baik yang didasari atas kepentingan individu maupun kepentingan kelompok sama-sama memiliki pengaruh yang besar dalam terjalinnya hubungan yang mengarah pada integrasi masyarakat dan asimilasi kultural. Hasil penelitian yang akan dideskripsikan dalam sub-bab ini adalah mengenai amalgamasi yang terjadi antara warga Etnis Betawi dengan Etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor meliputi alasan melakukan amalgamasi serta faktor pendukung dan penghambat dalam amalgamasi baik yang berasal dari pihak pasangan Etnis Betawi maupun Tionghoa dan bentuk asimilasi yang terlihat dalam keluarga amalgamasi antara

(15)

74

etnis Betawi dengan etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur. Berikut adalah pemaparan hasil penelitian dari masing-masing poin tersebut :

1. Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor

Sudah ratusan tahun lamanya masyarakat Etnis Tionghoa mendiami daerah Gunung Sindur dan hidup bersama-sama dengan penduduk pribumi yang beretnis Betawi. Walaupun berstatus sebagai pendatang dan minoritas, tapi masyarakat Etnis Tionghoa tidak hidup terpencil di suatu titik, mereka tinggal di pusat-pusat perdagangan yang berdekatan dengan aktivitas masyarakat seperti di dekat pasar, pertokoan, pinggir jalan utama dan wilayah ramai lainnya yang memudahkan mereka untuk membaur dengan masyarakat pribumi. Hal ini diperkuat dengan berbagai ritual sosial tegur sapa, kerjasama dan tolong menolong pada berbagai kegiatan. Kenyataan ini semakin memungkinkan terjadinya perkawinan campuran atau amalgamasi antara penduduk asli yang beretnis Betawi dengan penduduk Tionghoa. Seperti apa yang diceritakan oleh informan 10 :

“Kalau sejarahnya sudah lama sekali ya, orang-orang Tionghoa itu mulai bermukim disini bahkan sebelum Belanda datang. Kebanyakan memang laki-laki karena memang tujuan mereka ingin mengadu nasib dengan menjual barang-barang dari negaranya, yang dijual juga macem-macem ada keramik, obat herbal (ramuan-ramuan), kain. Lama-lama mereka makin dekat dengan orang kita kan, pelajarin budaya kita, bahasa kita, lama-lama bisa juga dia. Selama proses penyesuaian itu tidak

(16)

75

sedikit laki-laki Tionghoa yang nikah sama perempuan asli sini, keturunannya yang kita sebut sekarang cina peranakan”

(Sumber : Wawancara Senin 29 Juni 2015) a. Alasan Terjadinya Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan

Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor

1) Amalgamasi Antara Laki-laki Tionghoa dengan Perempuan Betawi Dalam penelitian ini, peneliti menemukan beberapa hal yang menjadi alasan bagi seorang laki-laki Tionghoa menikahi perempuan Betawi. Alasan yang dituturkan informan berbeda-beda dan mayoritas disebabkan oleh faktor-faktor non-rasial diantaranya adalah karena alasan pekerjaan, alasan saling ketergantungan dan alasan ketertarikan fisik atau suka sama suka. Walaupun sebenarnya ada keyakinan bahwa baik laki-laki maupun perempuan Tionghoa sama-sama harus menikahi pasangan satu etnis, namun saat ini sudah banyak sekali ditemukan orang Tionghoa yang menikah dengan masyarakat pribumi, terlebih laki-laki Tionghoa. Kaum laki-laki dalam Etnis Tionghoa dipandang lebih bisa membawa diri jika menikah dengan orang pribumi, hal tersebut didukung pula oleh banyaknya kaum laki-laki Tionghoa yang berhirjah ke Indonesia, maka dari itu tidak heran jika kita lebih sering menemukan kaum laki-laki yang menikah dengan etnis pribumi dibandingkan kaum perempuan.

Alasan amalgamasi antara laki-laki Betawi dengan perempuan Tionghoa dilatar belakangi oleh berbagai hal. Salah satunya adalah

(17)

76

alasan pekerjaan seperti yang dialami oleh informan ke-5. Sebelum saling mengenal dan menikah, istri dari informan 5 bukanlah merupakan penduduk Kecamatan Gunung Sindur, ia pindah karena alasan pekerjaan dimana orang tuanya saat itu membuka usaha pabrik tahu di Kecamatan Gunung Sindur. Berikut penuturan informan 5 :

(Istri) : “Memang dari dulu tetanggaan di kampung ini mba,

tapi suami saya malah yang asli sini, kalau saya dulu orang tua asli Kebayoran tapi pindah kesini buka usaha pabrik tahu disini, udah lama sekali jadi bisa dibilang sudah sama seperti orang sini asli, dapet jodohpun orang sini.”

(Sumber : Wawancara Sabtu 23 Mei 2015)

Amalgamasi yang dilandasi oleh pekerjaan juga di alami oleh informan 4. Dimana suami dan istri bertemu dan kemudian saling kenal karena sama-sama bekerja di suatu perusahaan roti. Pertemuan yang intens membuat mereka semakin akrab hingga akhirnya menjalin hubungan dan berlabuh pada relasi perkawinan. berikut penuturan informan 4 :

(Suami) : “Kami memang tetangga, dulu saat saya masih kerja

nganter roti ke warung-warung istri saya ini kerja di pabrik rotinya. Sering ketemu juga sampe akhirnya ada hubungan dan sampe menikah seperti sekarang ini.”

(Sumber : Wawancara Rabu 20 Mei 2015)

Dari penuturan beberapa informan di atas dapat kita simpulkan bahwa bidang pekerjaan turut memiliki andil dalam terjadinya amalgamasi antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan Betawi di

(18)

77

Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Selain karena alasan pekerjaan, dalam penelitian ini ditemukan pula pasangan laki-laki Tionghoa dengan perempuan Betawi yang menikah karena alasan ketertarikan fisik atau suka sama suka, seperti yang dituturkan oleh informan 3 berikut :

(Suami) : “Dulu sekali, kami memang sudah saling mengenal

tapi masih biasa saja belum ada ketertarikan karena memang usia kami terpaut sangat jauh, saat saya sudah dewasa dia masih kecil sekali. Sampai akhirnya saya menikah dengan mantan istri saya hingga kemudian kami bercerai. Saat kondisi duda itulah kami mulai saling tertarik, istri saya ini juga sudah dewasa saat itu usianya 20 tahun lebih, saat saya masih kerja kami juga sering bertemu dan sejak itu juga jadi makin kenal satu sama lain.”

(Sumber : Wawancara Senin 18 mei 2015) Selain informan 3, amalgamasi yang didasari oleh alasan ketertarikan secara fisik juga terjadi pada informan ke 1 dimana pihak suami menyukai istri saat pertama kali melihat istri menyanyi gambang kromong di pernikahan kerabatnya, seperti yang di tuturkan oleh informan 1 berikut :

(Istri) : “Waktu ketemunya dulu ngga disangka-sangka ya pak

ya, kalau bakal jadi pasangan begini, saya dulu kan kerjanya nyanyi gambang kromong, waktu itu kebetulan lagi ada kerjaan di daerah Cikoleang, itu ternyata acara pernikahan temennya suami saya, dan suami saya minta tolong temannya untuk dikenalkan, dari situ kenalannya dek.”

(19)

78

(Suami) : “Ya benar, waktu itu saya langsung suka dan sempat

minta tolong teman untuk di kenalkan hehe.”

(Sumber : Wawancara Jumat 15 Mei 2015) Selain informan 3 dan informan 1, ketertarikan secara fisik juga di alami oleh istri dari informan 2 terhadap suaminya yang beretnis Tionghoa. Perawakan suaminya yang bersih dan selalu berpenampilan wangi menjadi daya tarik tersendiri baginya. Berikut penuturan istri dari informan 2 :

(Istri) : “Suami saya cukup pengertian, tidak banyak menuntut,

kadang lebih teliti dan telaten ketimbang saya yang perempuan, lebih pendiam dibanding saya karena saya cerewet sekali, dan suami juga bersih. Saya senang walaupun dia laki-laki tapi perawakannya bersih sekali dan selalu wangi.”

(Sumber : Wawancara Srnin 11 Mei 2015) Selain didasari oleh alasan latar belakang pekerjaan dan perasaan suka sama suka, ada juga pasangan informan laki-laki Tionghoa dengan perempuan Betawi yang melakukan amalgamasi dengan alasan kepercayaan dan saling ketergantungan antara kedua belah pihak seperti yang dialami oleh informan 3 berikut :

(Istri) : “Kalau dari orangtua saya awalnya memang tidak

setuju, mereka seperti tidak ikhlas anak gadisnya menikah dengan seorang duda, tapi lama-lama ya luluh juga karena usia saya sudah 23 tahun lebih ya, zaman saya dulu usia segitu buat perempuan udah tua sekali ya kalau belum menikah malah jadi omong-omongan tetangga di bilang perawan tua”

(20)

79

(Suami) : “Menurut saya istri pilihan saya yang sekarang

tidak ada hubungannya dengan kejelekan sifat mantan istri saya. saya bisa membedakan dia orang yang baik, lagi pula kami seiman, jadi apalagi yang harus disangsikan? Saya sadar semakin lama juga saya akan semakin tua, kalau hidup sendiri saya ngga akan bisa, jadi saya putuskan untuk menikahi dia, orang tua lama-lama juga setuju”

(Sumber : Wawancara Senin 18 Mei 2015) Dari penuturan informan 3 di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan yang mendasari terjadinya amalgamasi pada pasangan tersebut adalah karena kedua pihak saling tergantung dan saling membutuhkan satu sama lain, pihak istri yang awalnya tidak mendapat restu dari orang tua karena ingin menikah dengan seorang duda beretnis Tionghoa lambat laun menjadi di restui untuk menikah karena saat itu di tempat tinggalnya yang masih terbilang pedesaan, perempuan mayoritas menikah di usia muda dan saat itu usia istri sudah terbilang sangat dewasa, selain itu orang tua mengkhawatirkan adanya cibiran dari tetangga jika anaknya tidak segera menikah. Sedangkan dari pihak suami memiliki alasan karena statusnya sebagai duda tidak membuat ia nyaman karena semua hal dalam hidupnya harus dilakukan sendiri. Maka ia memutuskan untuk segera menikah dengan pasangan pilihannya karena ia merasa khawatir tidak ada yang menjaga dan mengurusnya di masa tua, selain itu ia juga belum memiliki anak dari perkawinannya yang pertama dan ia berharap di perkawinannya yang kedua dapat diberikan keturunan. Harapan yang

(21)

80

di inginkan oleh suami informan 3 tersebut di perkuat oleh pernyataannya bahwa calon istri yang ia pilih seiman dan berkepribadian baik sehingga dianggap mampu untuk mengurus segala urusan keluarga.

2) Amalgamasi Antara Laki-laki Betawi dengan Perempuan Tionghoa Amalgamasi yang terjadi antara laki-laki Betawi dengan perempuan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur didasarkan pada alasan kesamaan pekerjaan, ketertarikan secara fisik dan adanya saling ketergantungan. Amalgamasi yang didasarkan atas alasan pekerjaan di alami oleh informan 7 dimana keduanya saling kenal karena mereka merupakan rekan di tempat bekerja, berikut penuturan informan 7 :

(Suami) : “Kami kenal karena dulu kerja satu pabrik, karena

rumah kami dekat makanya sering pulang bareng, makin lama makin akrab lalu memutuskan untuk berpacaran.”

(Sumber : Wawancara Rabu 10 Juni 2015) Selain kesamaan tempat kerja, alasan lainnya yang menyebabkan amalgamasi antara laki-laki Betawi dengan perempuan Tionghoa adalah karena adanya ketertarikan secara fisik. Perempuan Tionghoa terkenal dengan kulitnya yang putih bersih. Seperti yang dikatakan oleh suami informan 8 yang mengatakan bahwa awalnya ia tertarik dengan sang istri karena kecantikannya sebagai peremuan Tionghoa, selain memiliki kulit yang bersih, sang istri juga memiliki dialek mandarin ketika berbicara, hal tersebut yang menjadi daya tarik tersendiri bagi suami informan 8. Berikut penuturannya :

(22)

81

(Suami) : “Ya sudah cukup saling memahami, selain itu saya

juga senang dan bersyukur bisa menikahi dia, dia cantik, putih, sikapnya halus, dan satu yang menarik, logat mandarin di setiap ucapan istri saya jadi hal yang menyenangkan buat saya dengar, lucu kedengarannya.”

(Sumber : Wawancara Sabtu 13 Juni 2015) Alasan ketertarikan secara fisik juga disampaikan oleh suami informan 6 yang mengaku bersyukur karena dapat menikahi istrinya yang semasa sekolah dulu banyak yang menyukai karena kecantikannya. Berikut adalah penuturan suami informan 6 :

(Suami) : “Iya karena kami tetangga juga, tapi dari masa

sekolah pun saya memang sudah suka sama dia, dia dulu banyak yang suka karena cantik dan ikut organisasi, jadi saya beruntung lah bisa dapetin dia sekarang, tinggal dijaga aja mudah-mudahan langgeng”

(Sumber : Wawancara Senin 25 Mei 2015) Selain alasan kesamaan pekerjaan dan ketertarikan secara fisik, ditemukan pula pasangan amalgamasi antara laki-laki Betawi dengan perempuan Tionghoa yang berdasarkan pada alasan saling ketergantungan, seperti apa yang dituturkan oleh informan 8 berikut :

(Suami) : “Untungnya, orang tua saya dan juga mertua sudah sepenuhnya merestui karena mereka sudah percaya kami memang pantas hidup bersama, apalagi setelah menikah ini makin terlihat bahwa istri saya aslinya baik dan giat sekali, tidak seperti yang mereka kira diawal. Malah saat ini orang tua saya ngasih kami kepercayaan untuk ngelola toko, istri saya yang lebih banyak ditoko karena dia ulet sekali.”

(23)

82

Dari penuturan informan 8 di atas kita bisa melihat adanya relasi saling ketergantungan yang mendasari amalgamasi dimana pihak orang tua sang suami meminta menantunya untuk meneruskan mengelola toko milik keluarga karena orang tua sang suami mengetahui menantunya yang beretnis Tionghoa tersebut ternyata pandai dalam mengelola bisnis, disamping itu hal tersebut juga menguntungkan bagi pasangan amalgamasi karena mereka hanya tinggal meneruskan usaha tersebut saja.

b. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan Etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur

Dalam keluarga amalgamasi, budaya akan memberikan pengaruh besar dalam setiap aspek pengalaman manusia ketika melakukan kegiatan komunikasi dan interaksi dengan pasangan karena budayalah yang mengatur kita dalam berperilaku. Di sisi lain komunikasi dan interaksi pula yang membuat suatu budaya bisa berkembang dan bahkan mengalami suatu pembauran. Bagaimana amalgamasi bisa terjadi hingga menimbulkan peleburan kebudayaan / asimilasi? Tentu karena adanya faktor pendukung dalam amalgamasi tersebut berupa potensi didalam diri masing-masing pasangan pelaku amalgamasi. Potensi-potensi tersebut bisa berupa sikap saling percaya, saling tukar menukar, saling bekerjasama, solidaritas, partisipsi dan termasuk didalamnya nilai dan norma yang mendasari hubungan tersebut.

(24)

83

Di samping faktor pendukung ada pula faktor penghambat dalam amalgamasi. Faktor penghambat tersebut bisa berasal dari pihak pasangan amalgamasi maupun keluarga besarnya yang terdiri dari sikap etnosentrisme, prasangka yang selalu negatif dan sikap stereotip terhadap pasangan yang berasal dari budaya yang berbeda. Berikut deskripsi dari masing-masing faktor tersebut :

1) Faktor Pendukung Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur

Amalgamasi yang terjadi antara Etnis Betawi dengan Etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor sangat memicu terjadinya asimilasi atau peleburan kebudayaan dimana masing-masing dari mereka sama-sama berusaha untuk saling menghargai dan menyesuaikan budaya pasangannya secara sukarela. Terlebih dengan bantuan potensi yang dimiliki masing-masing dari individu pelaku amalgamasi. Potensi tersebut dapat berbentuk rasa saling percaya, saling toleransi, solidaritas, mampu bersikap egaliter (menyamakan kedudukan), dan lain sebagainya. Berikut berbagai potensi pendukung terjadinya amalgamasi yang ditemukan dalam penelitian terhadap delapan pasangan perkawinan campuran di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor :

a) Rasa Saling Percaya

Sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang

(25)

84

lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan integritas. Kepercayaan dalam keluarga bisa di artikan juga sebagai sebuah pengharapan yang muncul agar anggota lainnya berperilaku jujur, wajar / normal, memiliki toleransi dan kemurahan hati. Adanya jaminan tentang kejujuran dalam keluarga dapat memperkuat rasa kepercayaan dalam keluarga tersebut. seperti yang dituturkan oleh informan 1 saat menghadapi masalah restu orangtua yang tidak kunjung didapatkan, mereka berbekal saling percaya jika hubungannya akan tetap berjalan juka mau berusaha :

(Istri) : “Kurang lebih dua tahunan lah kami dalam kondisi

sulit itu, bermodal saling percaya aja waktu itu, kalau memang bener-bener mau serius ya mungkin memang harus berusaha, apalagi kondisi kita bener-bener berbeda saat itu.”

(Sumber : Wawancara Jumat 15 Mei 2015) Berbeda dengan pasangan informan 1 yang menggunakan kepercayaan sebagai modal dalam memperjuangkan restu, informan ke 3 justru menggunakan kepercayaan sebagai tanda bahwa ia sudah sangat yakin terhadap jodoh yang ia pilih dan ia percaya bahwa stereotip orang tuanya yang mengatakan orang Betawi bukan orang yang baik untuk dijadikan pasangan hidup hanyalah sesuatu yang tidak masuk akal karena menurutnya kita tidak bisa menilai sifat seseorang berdasarkan etnisnya, semua

(26)

85

kembali ke individu masing-masing. Berikut penuturan informan 3 mengenai kepercayaan :

(Suami) : “....Tapi memang tidak masuk akal saja, orang

tua saya bilang „jangan lah lu cari bini orang Betawi, kemaren kan udah kerasa asem garemnya berumah tangga sama orang Betawi gimana‟. Sedangkan saya sendiri percaya tiap orang kan tabiatnya beda-beda, kita ngga bisa mematok semua orang Betawi sama. Nyatanya rumah tangga kami langgeng sampai saya setua ini istri setia sekali.”

(Sumber : Wawancara Senin 18 Mei 2015) b) Sikap Toleransi

Selain sikap saling percaya, faktor pendukung dalam amalgamasi lainnya adalah harus adanya sikap toleransi didalam keluarga baik dengan keluarga inti maupun keluarga besar. Biasanya toleransi dalam keluarga amalgamasi berhubungan dengan agama yang di anut atau berbagai tradisi budaya yang dilakukan. Seperti yang dijelaskan oleh informan 4 yang berbeda agama, pihak istri beragama Islam dan pihak suami beragama Kristen, namun dalam kesehariannya mereka saling menghargai agama yang dianut masing-masing dan bahkan saling mengingatkan untuk beribadah, berikut penuturan informan 4 :

(Istri) : “Suami saya luar biasa. Misalnya saat bulan

puasa, suami saya sangat menghormati keadaan saya yang tidak segar, pekerjaan yang biasanya saya kerjakan sendiri

(27)

86

dibantu, jadi lebih ringan. selain itu Bapak juga tidak pernah namanya makan minum didepan saya saat saya puasa, sering mengingatkan saya untuk sholat dan sedekah walaupun seadanya. Saya yakin dalam agama apapun pasti arahnya adalah kebaikan”

(Sumber : Wawancara Rabu 20 Mei 2015) Selain informan 4, informan 8 juga menuturkan bahwa toleransi merupakan hal yang sangat penting dalam kasus amalgamasi. Informan 8 mengatakan walaupun dalam keluarga mereka terdapat dua budaya yang berbeda namun jika mereka memiliki sikap saling menghargai dan menghormati mereka yakin semua akan baik-baik saja. Berikut penuturan informan 8 :

(Suami) : “Ya pokoknya walaupun berbeda budaya tetap

harus saling menghargai, apalagi dalam suatu keluarga. walaupun kita berbeda tapi kan itu hanya etnisnya saja, kalau kita kompak bukan akan bisa lebih kuat daripada orang yang satu etnis? kalo saya selama saya dihargai, ya saya akan balik menghargai. Itu saja.”

(Sumber : Wawancara Sabtu 13 Juni 2015)

c) Sikap Egaliter

Faktor pendukung terjadinya amalgamasi lain yang di temukan dalam penelitian ini yaitu adanya sikap egaliter yang dimiliki oleh seorang individu terhadap anggota keluarga lain. Sikap egaliter bisa diartikan sebagai sikap dimana kita menganggap bahwa semua orang dari etnis manapun memiliki derajatnya sama. Sederajat disini seringkali mengalami salah penafsiran, kesamaan

(28)

87

derajat disini bukan berarti orang yang lebih muda merasa sederajat dengan orang yang lebih tua sehingga bisa seenaknya dan tidak sopan, dalam keluarga amalgamasi sikap egaliter lebih memandang bahwa semua etnis itu sebenarnya memiliki derajat yang sama dan inti dari ajarannya pun sama yaitu mengarah ke kebaikan. Seperti yang di jelaskan oleh informan ke 3 :

(Istri) : “Dalam mendidik anak tidak melulu memakai tata

cara Betawi atau Tionghoa, saya percaya semua intinya sama. Sama-sama mengajarkan kebaikan. Mudah-mudahan anak juga bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk seiring bertambahnya usia.”

(Sumber : Wawancara Senin 18 Mei 2015) Berbeda dengan informan 3 yang memandang kesamaan derajat antara budaya Betawi dengan Tionghoa melalui cara mendidik anak, informan 6 lebih memandang kesamaan derajat kedua budaya ketika di tanyakan mengenai sifat-sifat orang Betawi dan orang Tionghoa, berikut penuturan informan 6 :

(Suami) : “kami kan sudah lama membaur, jadi sama saja

sepertinya. Kalau omongan orang Betawi mah males, ga mau kerja dan lainnya itu. Tapi menurut saya ya sama aja sih disini juga banyak orang Tionghoa yang hidupnya susah dan mereka malas juga ngga kerja juga. Katanya kan kalo jaman dulu orang Tionghoa itu kaya, tapi sekarang udah sama aja lah, harta benda yang ada juga dari turunan orangtua. Itu juga abisnya cepet karena dijual-jualin.

(29)

88

Dari penuturan informan 3 dan informan 6 di atas bisa di simpulkan bahwa baik budaya Betawi maupun budaya Tionghoa sama-sama mengajarkan kebaikan. dari penjelasan di atas juga kita bisa melihat bahwa sebenarnya stereotip yang berkembang di masyarakat tentang suatu etnis tidak berarti apa-apa, semua kembali lagi pada individunya masing-masing terkait bagaimana ia bersikap dan membawa diri.

d) Partisipasi

Adanya partisipasi dalam hasil penelitian ini tercermin pada keikutsertaan seseorang ketika keluarga besar pasangan mereka merayakan tradisi budaya atau hari besar agamanya meskipun tradisi tersebut mungkin saja sangat berbeda dengan tradisi yang biasa ia lakukan dalam keluarganya sendiri. Partisipasi dilakukan demi terciptanya hubungan baik dan membangun momentum kekeluargaan walaupun latar belakang mereka sebenarnya berbeda. Seperti yang di katakan oleh informan 5 berikut ini :

(Istri) : “Hampir semua sepertinya hasil pembauran karena

hidupnya bareng-bareng kan, jadi menyatu aja gitu. Tetangga juga banyak Tionghoa banyak Betawi juga. Kalau dari keluarga besar suami merayakan imlek saya ikut juga merayakan eforianya. Disitulah indahnya jadi semua rukun.”

(Sumber : Wawancara Sabtu 23 Mei 2015) Partisipasi juga tergambar sebagai semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain. Seperti yang dijelaskan

(30)

89

oleh informan 7 berikut ini dimana suami berasal dari Etnis Betawi dan istri berasal dari Etnis Tionghoa. Suami ikut membantu saat perayaan imlek seperti membantu masak, membantu dekorasi dan lain sebagainya. Sebagai gantinya adik dari pihak istri setiap menjelang lebaran pasti berkunjung kerumahnya sekedar untuk membantu membuat kue kering atau membantu keperluan lainnya. Berikut penjelasan informan7:

(Istri) : “Di keluarga saya misalnya, tradisi imlek ya sudah

tidak seperti dulu lagi, paling jadi ajang kumpul-kumpul saja, makan bersama, karena kan selain saya juga ada beberapa anak yang menikah dengan orang islam. Intinya saya tau tradisi keluarga besar dia, dia juga tau tradisi saya, saling bantu aja, bantu masak bantu dekorasi dan persiapan lainnya. Saat lebaran pun sama adik saya seringkali datang kerumah saya untuk membantu membuat kua atau membantu persiapan lainnya. Jadi ngga ada pemisah, orang Betawi ngga boleh ini, orang Tionghoa ngga boleh itu”

(Sumber : Wawancara Rabu 10 Juni 2015) Selain itu partisipasi juga bisa dilihat dari bentuk solidaritas antar anggota keluarga amalgamasi. Solidaritas adalah rasa kebersamaan, rasa saling memiliki, rasa simpati, dan rasa kekeluargaan yang dimiliki orang-orang didalam suatu kelompok. Solidaritas bukan hanya dicapai secara fisik dalam sebuah aktivitas saja tetapi kita juga harus mampu memiliki solidaritas kepada sesama secara psikologis yang menjadikan segala tindakan kita

(31)

90

menjadi lebih tulus. Bentuk solidaritas dalam keluarga amalgamasi dalam penelitian ini tercermin dari penjelasan informan 1 :

(Istri) : “Hubungan dengan orangtua dari kedua belah

pihak sangat baik, apalagi saat anak kami beranjak dewasa, akrab sekali dia dengan kakek neneknya, cucu perempuan pertama juga mungkin. Kalau keluarga suami kan di Tangerang, setiap ada acara, hari imlek atau hari-hari besar lainnya kami pasti datang untuk silaturahmi dan sekedar bawa kue dari rumah atau bantu-bantu masak disana, saya pribadi juga sudah tidak ada rasa canggung sama sekali, sudah seperti keluarga sendiri.”

(Sumber : Wawancara Jumat 15 Mei 2015) 2) Faktor Penghambat Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan

Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur

Latar belakang budaya yang berbeda dalam suatu keluarga sangat memengaruhi seseorang dalam berhubungan atau berkomunikasi dengan anggota keluarga lainnya, karena budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif serta maksud dari sebuah makna yang dimiliki oleh setiap orang. Latar belakang budaya termasuk didalamnya nilai, norma, dan tradisi yang berbeda bisa menjadi suatu masalah besar yang mengakibatkan amalgamasi tidak berlangsung secara lancar. Masalah yang menghambat terjadinya amalgamasi tersebut muncul akibat adanya faktor-faktor yang menyebabkan interaksi dan komunikasi antar etnis seseorang tidak berjalan secara efektif.

(32)

91

Faktor-faktor penghambat tersebut berupa sikap etnosentrisme, stereotip dan prasangka negatif yang masing-masing ditemukan dalam penelitian ini, berikut penjabarannya :

a) Etnosentrisme

Sikap etnosentrisme sangat bersifat destruktif dalam komunikasi antar etnis. Menurut Tubbs dan Moss (2001:254) etnosentrisme muncul ketika manusia tidak menyadari bahwa banyak aspek kebudayaan dalam kelompok mereka berbeda dengan kelompok-kelompok yang lain. Mereka menganggap bahwa budaya yang mereka miliki merupakan bawaan sejak lahir sehingga menjadi sesuatu yang mutlak. Ketika budaya menjadi sudah menjadi standar mutlak maka etnosentrisme bisa kita artikan sebagai kecenderungan menghakimi nilai adat istiadat, prilaku, atau aspek-aspek budaya lain dengan menggunakan adat istiadat sendiri sebagai standar atau ukuran bagi semua.

Sikap etnosentrisme yang di temukan dalam penelitian ini adalah seperti yang terjadi pada informan 1 ketika menjelang pernikahan, orang tua dari pihak suami yang beretnis Tionghoa tidak merestui anaknya menikah dengan perempuan Betawi karena sikap etnosentrismenya, berikut penuturan informan 1 :

(Suami) : “Sedikit banyak sih tau, tapi saya kurang terlalu

sependapat, gimana juga kan tergantung orangnya, gabisa dipukul rata gitu kan yah... keluarga sering bilang, kalo cari jodoh baiknya seadat aja, Tionghoa itu abunya beda

(33)

92

sama yang lain, lebih tinggi. Mungkin maksudnya keberadaan Tionghoa itu memang sudah lebih lama dari budaya lain. Kalo orang Betawi terkenalnya malas ya, sama gengsinya katanya besar, jadi katanya prinsip Betawi itu “biar tekor asal kesohor” gitu (tertawa).”

(Sumber : Wawancara 15 mei 2015) Dari penuturan informan 1 diatas bisa disimpulkan bahwa pihak orang tua suami bersikap etnosentris dengan mengangung-agungkan budaya Tionghoa yang menurutnya memiliki derajat yang lebih tinggi dan menganggap budaya lain berada dibawah budayanya. Lain halnya dengan sikap etnosentris yang ditunjukan oleh informan 5, ketika ditanyakan mengenai ajaran budaya apa yang paling ia ingat, informan 5 mengatakan bahwa etnis Tionghoa lebih unggul di bidang ekonomi di banding etnis Betawi, berikut penuturan informan 5 :

(Suami) : “Kalau ajaran di Tionghoa keluarga juga nomor

satu, begitupun di dunia kerja kalau ada lowongan pekerjaan kalau bisa yang dikasih ya sanak saudara dulu, makanya sering kita lihat di beberapa perusahaan milih orang Tionghoa itu pegawainya ya keluarga semua. Menurut saya etnis Tionghoa memang lebih unggul dibidang ekonomi, lebih di didik untuk rajin dan bekerja keras. Mungkin itu bedanya dengan orang Betawi ya.”

(34)

93 b) Stereotip

Sama halnya seperti etnosentrisme, stereotip juga muncul pada tingkat ketidaksadaran. Ketidaksadaran ini mengakar pada kecenderungan manusia untuk memisahkan antara “kita” dan “mereka”. Stereotip berarti menggeneralisasi orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok budaya (Mulyana, 2005:220). Ada banyak sikap stereotip yang di temukan dalam penelitian ini, salah satunya seperti yang dikatakan oleh istri informan 1 yang berasal dari budaya Betawi, walaupun ia tidak merasa ada masalah dengan budaya Tionghoa namun ia pernah mendengar dari orang tua yang menilai negatif tentang etnis Tionghoa. Berikut penuturan dari informan 1:

(Istri) : “Pandangan seperti itu sih biasa memang ada ya

mba, saya sempat terekam sih omongan orang tua, orang Tionghoa itu pelit, perhitungan sekali, susah membaur sama masyarakat jadi agak tertutup gitu.”

(Sumber : Wawancara 15 Mei 2015) Penilaian serupa mengenai etnis Tionghoa juga di sampaikan oleh orangtua dari pihak istri informan 2 yang beretnis Betawi. Pada saat menjelang pernikahan mereka susah sekali untuk mendapatkan restu, ketika ditanyakan kepada orang tua apa alasannya, orang tua memang tidak menjawab langsung, namun istri dari informan 2 menuturkan bahwa di lingkungannya,

(35)

94

stereotip mengenai Etnis Tionghoa masih sangat kuat, berikut penuturan istri informan 2 :

(Istri) : “Ada saat ada pertentangan itu sih bapak ngga

bilang ya karena apa, cuman intinya ngga menyetujui, tapi memang kalau di lingkungan saya ya ada saja anggapan orang keturunan Tionghoa itu orangnya pelit, susah membaur, jadi mau menang sendiri dengan modal uang yang dia punya.”

(Sumber : Wawancara Senin 11 Mei 2015) Stereotip sebagai faktor penghambat amalgamasi yang ditemukan dalam penelitian ini bukan hanya berasal dari etnis Betawi yang ditujukan pada etnis Tionghoa. Namun ada pula stereotip yang di tujukan kepada etnis Betawi, seperti yang di sampaikan oleh suami informan 5 yang berasal dari etnis Tionghoa, ia mengaku sudah biasa mendengar anggapan-anggapan negatif tentang etnis Betawi baik dalam keluarga maupun lingkungan sekitar tetapi ia tidak mau untuk terlalu menanggapi apalagi menjadikan anggapan-anggapan tersebut sebagai batasan dalam memilih pendamping hidup.

(Suami) : “Saya juga tidak terlalu menanggapi omongan

atau anggapan-anggapan kayak begitu. Karena apa, yang ada nanti terbukti kagak, bikin berantem iya. Kan begitu ya? Ya emang begitu pasti ada lah selentingan-selentingan, namanya kita hidup berdampingan, yang bilang Betawi males, Betawi jor-joran kalo punya uang (boros), Betawi gengsinya gede, tuh seperti itu.”

(36)

95

Tidak hanya informan 5, pihak istri dari informan 7 yang berasal dari etnis Tionghoa juga mengakui hal yang sama, bahkan ayahnya sendiri yang menasihati agar ia mencari jodoh orang Tionghoa saja. berikut penuturan istri dari informan 7 :

(Istri) : “Papa saya sering bilang kalau orang Betawi itu

imagenya jelek. Seperti itu pemalas dan gengsian. Tidak malu untuk meminta bantuan orang lain, intinya seperti tidak mau berusaha sendiri jadi kalau bisa cari orang Tionghoa saja.”

(Sumber : wawancara Rabu 10 Juni 2015) c) Prasangka

Faktor penghambat dalam amalgamasi antara warga Etnis Betawi dan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur selanjutnya yang ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya yaitu prasangka. Prasangka berarti penilaian berdasarkan pengalaman terdahulu. Seperti halnya stereotip, prasangka juga umumnya bersifat negatif dimana penilaian didasarkan pada stereotip yang salah dan kaku. perbedaan prasangka dengan stereotip yaitu, stereotip merupakan keyakinan (belief) sedangkan prasangka merupakan sikap (attitude). Maka hubungan erat antara stereotip dengan prasangka adalah prasangka merupakan akibat dari stereotip dan lebih budah diamati dibanding stereotip. Ada beberapa contoh prasangka yang ditemukan dalam penelitian ini, salah satunya yang terjadi pada informan 2 berikut :

(37)

96

(Istri) : “Kelihatan banget lah pokoknya dari sikap bapak

saya, ibu saya juga terlihat agak kurang sreg cuman ya ngga sekeras bapak, dari yang dulu suka ikutan ngobrol bareng terus jadi ngga, bahkan saya ngga dibolehin buat ketemu, di wanti-wanti banget lah pokoknya. Ya sempet frustasi juga, gimanapun saya pacaran udah bertahun-tahun terus ga dapet restu tiba-tiba kan kaget ya. Ibu saya tapi lama-lama mulai bisa nerima dan ada dipihak saya, bantu nenangin, tapi bapak tetep kekeuh”

(Sumber : Wawancara Senin 11 Mei 2015). Pada penuturan informan 2 diatas kita bisa melihat perbedaan stereotip dengan prasangka, prasangka sudah masuk pada tahap tindakan yang dicerminkan oleh perubahan sikap orang tua pihak perempuan setelah mengetahui bahwa calon menantunya adalah orang Tionghoa. Selain itu prasangka juga bisa dilihat melalui tindakan menghindarkan diri dari etnis yang dianggap tidak pantas, seperti yang di alami oleh pihak suami informan 1 saat menjelang pernikahan dan pihak orang tuanya tidak setuju ia menikah dengan perempuan Betawi. Bahkan ia sempat hendak dicarikan jodoh agar menikah dengan sesama Tionghoa. Berikut penuturan informan 1 :

(Suami) : “Pokoknya menunjukan sikap tidak suka, malah

parahnya dulu saya sempat dicarikan jodoh oleh orangtua saya yang seiman dan sama-sama orang Tionghoa.”

(38)

97

Untuk lebih memudahkan dalam menggambarkan amalgamasi yang terjadi antara Warga Etnis Betawi dengan Etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur yang di temukan dalam hasil penelitian, maka peneliti mencoba untuk menerangkannya dalam bentuk matrik seperti berikut ini :

(39)

98

Matrik IV.1

Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor No Faktor

Amalgamasi

Bentuk Deskripsi

1 Pendukung Rasa saling percaya

- Saling percaya bahwa hubungan tetap bisa bertahan saat mengalami permasalahan restu.

- Saling percaya bahwa pasangan yang dipilih merupakan sosok ideal terlepas dari stereotip yang menempel.

Sikap Toleransi

- Menghormati dan menghargai tradisi ataupun agama pasangan yang berbeda. - Saling mengingatkan untuk beribadah bagi

pasangan yang berbeda kepercayaan.

Sikap Egaliter - Menganggap bahwa semua etnis memiliki derajat yang sama.

- Menganggap semua ajaran budaya intinya adalah sama yaitu mengajarkan kebaikan. Partisipasi - Ikut merayakan tradisi budaya keluarga

besar pasangan.

- membantu menyiapkan keperluan hari raya baik itu memasak atau merapihkan rumah. 2 Penghambat Etnosentrisme - Etnis Tionghoa mnganggap abunya lebih

tinggi daripada etnis Betawi.

- Etnis Tionghoa menganggap lebih unggul dibidang bisnis.

- Etnis Betawi menganggap lebih terbuka terhadap etnis lain

Stereotip - Etnis Tionghoa pelit

- Etnis Tionghoa tertutup dan sombong - Etnis Tionghoa lebih memilih membantu

sesama Tionghoa. - Etnis Betawi malas - Etnis Betawi boros

- Etnis Betawi gengsinya besar - Etnis Betawi tidak mau berusaha

Prasangka - Menghindarkan diri dari etnis lain dengan mencarikan jodoh untuk anak.

- membicarakan stereotip etnis lain kepada teman, kerabat atau keluarga sesama etnis.

(40)

99

2. Asimilasi dalam Keluarga Amalgamasi Etnis Betawi-Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor

Menurut Koentjaraningrat (2002:255) asimilasi merupakan suatu proses sosial yang terjadi pada golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah bergaul secara intensif dan saling bertoleransi, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Pada bagian ini peneliti akan mencoba untuk menguraikan bagaimana persepsi masing-masing informan tentang asimilasi dan apa saja bentuk-bentuk asimilasi yang di sebabkan oleh amalgamasi antara etnis Betawi dan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.

Pada pihak istri dari informan 8 yang merupakan keturunan etnis Tionghoa mengatakan bahwa ia setuju saja dengan istilah asimilasi, namun ia juga menegaskan bahwa dalam asimilasi tersebut tidak selalu berarti kaum minoritas tertindas oleh kaum mayoritas. Ia juga merasa lebih senang disebut sebagai orang Indonesia daripada orang Tionghoa, ia berpendapat bahwa nasionalisme seseorang itu bukan dilihat dari agama atau etnisnya tapi dari seberapa besar kecintaannya pada negara. Berikut penuturan informan 8 :

(Istri) : “Pembauran sah-sah saja asalkan tidak seperti jaman

orba, kaum minoritas benar-benar tertindas sampai disuruh ganti nama segala macam. Ngga tau ya saya bangga aja kalau orang bilang saya orang Indonesia bukan orang Tionghoa. Saya lahir disini, saya juga keturunan keberapa ngga kenal juga yang di Tiongkok siapanya saya, saya juga ngga bisa bahasa

(41)

100

mandarin, mungkin saya juga nanti matinya disini. Pembauran kalo pihak yang mau membaur sudah cocok juga akan terjadi sendiri ngga usah dipaksa-paksa, ya melalui perkawinan ini contohnya”

(Sumber : Wawancara Sabtu 13 Juni 2015)

Dari penuturan Informan 8 tersebut dapat kita simpulkan bahwa amalgamasi merupakan sarana asimilasi yang efektif. Karena melalui sebuah amalgamasi, asimilasi budaya berlangsung tanpa menyebabkan pihak-pihak yang terlibat merasa dipaksa untuk membaur.

Berbeda dengan yang dikatakan oleh istri informan 8 yang berasal dari Etnis Tionghoa, istri informan 2 yang berasal dari Etnis Betawi justru menilai bahwa masyarakat Tionghoa yang ada di sekitar terlalu menutup diri terhadap masyarakat pribumi dan hal tersebut yang menyebabkan masyarakat pribumi menjadi tidak begitu suka dengan orang Tionghoa :

(Istri) : “Ya memang saya liatnya mereka agak tertutup, tapi

nggak tau juga sebabnya apa, atau memang bawaannya seperti itu. Ya kurang membaur lah intinya. Misalnya ngga kenal sama tetangga pun ya seenggaknya permisi atau nyapa apa lah gitu sepantasnya, tapi kebanyakan ngga ya. mungkin itu yang bikin orang asli sini jadi ngga begitu suka dengan keturunan Tionghoa, bagaimanapun kan disini mayoritasnya masyarakat Betawi, harapannya ya lebih menghormati atau mau bergandengan bersama-sama lah.. tapi tegantung dari orangnya juga, Cuma kebanyakan ya kayak gitu dek.”

(42)

101

Berbeda dengan pendapat kedua informan beda budaya sebelumnya di atas, suami informan 1 yang berasal dari Etnis Tionghoa berpendapat bahwa asimilasi sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Ia mengakui bahwa ia bukan murni orang Tionghoa. Amalgamasi yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya telah membuatnya mewarisi „darah‟ Betawi. Berikut penuturan suami informan 1 :

(Suami) : “Sebelum saya ya sudah ada yang menikah dengan

orang Betawi, Bapaknya engkong (kakek) saya itu dulu nikahnya sama orang Betawi asalnya Cisauk. Bibi saya juga ada yang nikah sama laki-laki Betawi. Bukan saya yang pertama.

(Sumber : Wawancara 15 Mei 2015)

Suami dari informan 1 juga menuturkan bagaimana cara ia menempatkan diri didalam lingkungan saat ini dimana mayoritas masyarakatnya adalah orang Betawi. Berikut penuturan informan 1 :

(Suami) : “Ya yang penting sadar dan bisa menempatkan diri,

kita lagi ada dimana kan kita tau mayoritas orang Betawi, jadi harus mampu bergaul, kalo ada kegiatan apa, rapat apa, ya sebisa mungkin saya sempetin jangan sampe lah menutup diri kaya yang orang-orang nilai tentang kami. Kalau menurut saya saya cocok dengan orang Betawi, humoris jadi saya senang.”

(Sumber : Wawancara 15 Mei 2015) Selain itu, asimilasi antara dua kebudayaan yang terlihat dalam perkawinan campuran juga di benarkan oleh US selaku informan 9 sebagai pemilik kesenian gambang kromong Gaya Baru :

(43)

102

“Ya bukan Cuma orang Tionghoa aja, kalau dia nikahnya sama orang Betawi ya tetep nanggap gambang kok, alat-alat juga ngga cuma orang Tionghoa yang bisa pake, banyak juga karyawan saya orang Betawinya. ya yang nyanyi ya yang main musik. sekarang kan udah lebih modern aransemennya, lagunya juga bahasa indonesia kalau dulu kan bahasa mandarin ya”

(Sumber : Wawancara Jumat 19 Juni 2015)

Gambar IV.8

Kesenian Gambang Kromong dan Tari Cokek

Selain dari segi hiburan, hasil asimilasi antara etnis Betawi dan Tionghoa yang terlihat dalam prosesi pernikahan adalah digunakannya petasan renceng dalam prosesi pernikahan di Kecamatan Gunung Sindur. Hal tersebut merupakan suatu keharusan, petasan di nyalakan saat pihak besan tiba dikediaman mempelai wanita. Petasan yang digunakan biasanya berbentuk renceng dan digantung pada sebuah pohon atau tiang bambu. Jika di telisik lebih jauh ternyata petasan yang terbuat dari bubuk mesiu awalnya berasal dari negeri Cina seperti yang dijelaskan oleh informan 9 :

“....salah satunya tradisi masang petasan itu, kalau besan datang baru deh tuh mulai bunyi “jedar-jedor”. Mungkin banyak yang ngga tau petasan itu asalnya dari Cina dibuatnya pakai bubuk mesiu, orang cina sering pakai itu waktu perang zaman dulu. Nah karena dulu rumah warga itu satu sama lain

(44)

103

berjauhan dipakelah petasan buat alat komunikasi supaya orang-orang tau kalau ada yang sedang pesta/ hajat. Sampai sekarang kalau ada bunyi petasan berentetan masyarakat sini udah pasti spontan bilang “itu dirumah siapa yang hajatan?”.

(Sumber : Wawancara Jumat 19 Juni 2015)

Gambar IV.9

Petasan Renceng di Pasang Saat Hajatan Perkawinan

Asimilasi akibat amalgamasi tanpa membeda-bedakan etnis juga dialami oleh informan 7 dimana suami merupakan keturunan Betawi dan istri merupakan keturunan Etnis Tionghoa, pihak suami menuturkan walaupun dahulu saat menjelang perkawinan hubungannya dengan pihak orang tua istri sempat tidak baik, namun saat ini seiring berjalannya waktu dan setelah saling mengenal satu sama lain hubungan tersebut menjadi sangat baik. Walaupun beda budaya tetapi mereka tetap saling bantu dan kompak. Berikut penuturan suami informan 7 :

(Suami) : “Sekarang beda ngga kayak dulu lagi, kalau kami

kesusahan atau diantara kami ada yang sakit, mertua saya perhatian sekali. Karena papanya istri saya masih sangat memegang ajaran Tionghoa, dalam hal kesehatanpun ia selalu

(45)

104

menasihati agar kami minum obat herbal saja. Kalau dateng kerumah yang di bawa ya rempah jamu godok itu jadi kami ya terbiasa juga hidup sehat karena di ajarkan mertua”

(Sumber : Wawancara Rabu 10 Juni 2015) Asimilasi sebagai hasil dari aktivitas pertukaran dalam amalgamasi yang efektif ditandai dengan sikap saling menghargai satu sama lain. Hal tersebut yang disebut oleh Kristina Maharani (dalam Sa‟dun, 1999:51) sebagai konsep asimilasi Salad Bowl yang prinsipnya tetap menjaga keberagaman etnis, berbeda dengan konsep asimilasi Melting Pot yang terjadi pada masa orde baru dimana konsep tersebut menuntut peleburan total kaum minoritas (pendatang) dengan kaum mayoritas (pribumi). Konsep Salad Bowl menyatakan bahwa pluralisme budaya yang mengukuhkan kebhinekaan etnis merupakan suatu kemandirian dan kemerdekaan individu. Seperti yang terjadi pada informan 1 berikut :

(Suami) : “Pembauran dalam kehidupan sehari-hari saya rasa

sangat banyak, dan ngga sedikit juga yang mungkin terjadi tanpa kita sadari. Contohnya makanan khas Tionghoa seperti kue keranjang, kita kalau Idul Fitri juga pasti sedia. Banyak, bahasa-bahasa kadang kita nyebut nominal uang juga ya masih pakai cara orang Tionghoa kayak misalnya captun, cepeh, gopeh, goceng, ceban, gocap, cetiaw, itu bahasa Tionghoa tapi ngga kerasa ya dipake aja buat sehari-hari. Anak saya manggil sodara yang dari keluarga saya juga kokoh, cicik, encim, engkong, kayak gitu kan pembauran masuknya, tapi budaya Betawi juga tetap kami jaga ya.” (Sumber : Wawancara Jumat

(46)

105

Gambar IV.10

Kue Keranjang Khas Tionghoa Selalu di Sajikan Saat Idul Fitri Dari semua penuturan informan terkait asimilasi yang terjadi dalam amalgamasi di atas, dapat disimpulkan bahwa informan dari etnis Tionghoa sebagai kaum pendatang memaknai asimilasi sebagai suatu proses yang seharusnya berlangsung alami, mereka setuju bahwa dengan jalan amalgamasi inilah asimilasi bisa terjadi tanpa adanya unsur pemaksaan apalagi politisasi. Pergaulan secara intensif yang didasari sikap saling menghargai dalam keluarga amalgamasi merupakan cara efektif untuk mencapai titik asimilasi.

(47)

106 Matrik IV.2

Bentuk Asimilasi dalam Keluarga Amalgamasi Etnis Betawi-Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur

No Bentuk Deskripsi

1 Bahasa Bahasa Betawi Bahasa Tionghoa Arti Gua Engkong Sue Kongko Cepe Gope Pangkeng Topo Goa Eng-Kon Soe Kong-Kou Cit-Peh Gou-Peh Pan-Keng Toh-Pou Saya Kakek Naas/Sial Ngobrol Seratus Lima Ratus Ranjang Lap/Kain Pel 2 Makanan - Kue keranjang khas Tionghoa yang selalu disajikan di setiap hari

Idul fitri oleh masyarakat Betawi.

- Ketupat khas masyarakat pribumi ikut di sajikan saat acara besar Tionghoa seperti saat perayaan Cap Go Meh atau Imlek.

- Kue Pek Cun / Bak Cang dan Kue Ku / Bak Pao menjadi makanan sehari-hari baik orang Tionghoa maupun Betawi dan dijajakan oleh penjual keliling setiap pagi / waktu sarapan

- Saat Imlek masyarakat Betawi ikut mengolah masakan berbahan ikan bandeng seperti yang dilakukan masyarakat Tionghoa.

3 Tradisi - Tradisi menyambangi makan leluhur sebelum hari raya atau hari besar lainnya, untuk sekedar mengirim doa atau membersihkan makam. Dalam tradisi Betawi disebut “Nyekar” dalam Tionghoa di sebut “Cheng Beng.

4 Kesenian - Gambang Kromong, Tari Cokek, Palang Pintu dan Petasan Besan. 5 Pakaian - Kebaya Encim, baju kebaya Betawi yang di modifikasi dengan

unsur-unsur Tionghoa, dengan ujung bawah baju yang lancip dan bahan yang sangat halus. Kebaya Encim dulunya hanya di pakai oleh “Nyai” atau Istri dari lelaki keturunan Tionghoa, namun saat ini semua kalangan bisa memakainya.

- Baju Sadayan (Baju Si Pitung), baju luaran merah dengan baju dalam berupa kaos putih polos biasanya di padukan dengan kopiah, kain sarung di bahu dan golok yang menempel pada ikat pinggang.

(48)

107 C. Pembahasan

Kondisi masyarakat yang multikultural di Kecamatan Gunung Sindur menjadi suatu hal yang patut dijaga kelestariannya terlebih karena mereka semua hidup berdampingan dengan harmonis. Hal tersebut tentu akan menjadi kebanggan dan modal sosial tersendiri karena berarti masyarakat didaerah tersebut paham akan nilai dan norma yang berlaku dan bisa saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Sudah ratusan tahun masyarakat Etnis Tionghoa mendiami daerah Gunung Sindur dan hidup bersama-sama dengan penduduk asli yang beretnis Betawi. Walaupun masyarakat Tionghoa berstatus sebagai pendatang dan minoritas, tapi mereka tidak hidup terpencil di suatu titik, mereka tinggal di pusat-pusat perdagangan yang berdekatan dengan aktivitas masyarakat seperti di dekat pasar, pertokoan, pinggir jalan utama dan wilayah ramai lainnya yang memudahkan mereka untuk membaur dengan masyarakat pribumi. Hal ini diperkuat dengan berbagai ritual sosial tegur sapa dan tolong menolong pada berbagai kegiatan. Kenyataan ini semakin memungkinkan terjadinya hubungan sosial yang paling intens yaitu amalgamasi atau perkawinan antar etnis.

Keluarga merupakan skala lembaga yang paling kecil, keluarga amalgamasi bisa kita sebut sebagai sebuah arena sosial yang menjadi ruang bagi proses dialog komunikatif antaretnis dalam upaya asimilasi kultural. Di dalam suatu keluarga amalgamasi, interaksi dan komunikasi antarbudaya berlangsung terus menerus baik yang disadari atau tidak. Karena latar belakang budaya masing-masing berbeda, tentunya akan terdapat sistem nilai, norma,

(49)

108

hukum, dan tujuan hidup yang berbeda pula, maka cara dari masing-masing individu dalam berinteraksi dan berkomunikasi dalam keluarga amalgamasi akan sangat tergantung oleh budaya yang dibawa dan dipegang olehnya.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori pertukaran sosial George Caspar Homans untuk menganalisis fokus penelitian yaitu amalgamasi yang terjadi antara warga etnis Betawi dengan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Pertukaran sosial yang dijelaskan oleh Homans bertumpu pada asumsi bahwa seseorang terlibat dalam suatu perilaku dengan tujuan untuk meperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Rumus dalam teori pertukaran ini adalah keuntungan psikis sama dengan suatu ganjaran yang dikurangi oleh ongkos. Menurut Homans tidak akan ada pertukaran yang berlangsung jika kedua belah pihak tidak saling menguntungkan. Homans mengatakan bahwa rahasia pertukaran sosial antara manusia yang efektif adalah dengan adanya keharusan untuk memberikan perlakuan kepada orang lain melebihi dari dirinya sendiri dan jika seseorang tersebut telah mengeluarkan ongkos (usaha) yang lebih kepada orang lain maka seseorang tersebut akan mendapatkan perlakuan yang lebih berharga (atau setimpal) dari orang lain tersebut (Homans dalam Zeitlin 1995:100). Dalam kasus amalgamasi hal tersebut sudah pasti terjadi, terlebih latar belakang budaya (nilai, norma, dan tradisi) dari masing-masing individu berbeda, maka peneliti berusaha untuk mengkaji lebih dalam amalgamasi antara etnis Betawi-Tionghoa yang terjadi di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor dengan menggunakan teori pertukaran sosial dan proposisi-proposisi fundamentalnya.

Gambar

Gambar IV.1
Tabel IV.1
Tabel IV.2
Tabel IV.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan kapasitas adsorpsipada penelitian ini dilakukan dengan menvariasikan konsentrasi eosin yang teradsorp dengan mengkondisikan pH larutan eosin dan waktu

Selain sentimen global, pergerakan IHSG pada pekan ini akan dipengaruhi pertemuan Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan..

Orang bergantung pada n menggunakan berbagai jenis alat fisik (hardware), perintah dan prosedur pemrosesan informasi (software), saluran komunikasi (jaringan), dan

yang menunjukan nilai sebesar 0.000 lebih kecil dibandingkan tingkat signifikan 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa kecerdasan intelektual dan kecerdasan

Setelah mendengar saran-saran dan pendapat dari para ulama, tokoh-tokoh masyarakat, berbagai organisasi kemasyarakatan, dan pendapat dari Angkatan Bersenjata Republik

Dari i ber berbag bagai ai me meto tode de pe peny nyele elesa saia ian n pr prog ogra ram m li linie nierr, , me meto tode de si simp mple leks ks merupakan metode

Untuk meningkatkan usaha golongan ekonomi kecil, pemerintah melakukan upaya dengan memberikan kredit sebagai modal kerja dengan jumlah yang berbeda sesuai dengan