• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI IKLAN OBAT DI STASIUN TELEVISI SWASTA NASIONAL TAHUN 2014 BERDASARKAN ATURAN WHO TAHUN 1988,

KEPMENKES NOMOR 386 TAHUN 1994, DPI TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh : Sherly Mecillia NIM : 118114151

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015

(2)

i

EVALUASI IKLAN OBAT DI STASIUN TELEVISI SWASTA NASIONAL TAHUN 2014 BERDASARKAN ATURAN WHO TAHUN 1988,

KEPMENKES NOMOR 386 TAHUN 1994, DPI TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh : Sherly Mecillia NIM : 118114151

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karyaku ini,

untuk Tuhan Yesus Kristus yang selalu membimbing dan

menguatkanku,

untuk Mama dan Papa yang tak pernah jenuh menyemangatiku,

serta untuk adik-adikku, sahabat-sahabatku

serta

Almamaterku.

S

ETIAP PRESTASI

,

BUTUH PROSES

.

T

IDAK ADA YANG INSTAN

.

M

ANFAATKAN SETIAP DETIK AGAR

PROSES TERSEBUT TIDAK

TERBUANG SIA

SIA

.

B

ERSUKACITALAH DALAM

PENGHARAPAN

,

SABARLAH DALAM

KESESAKAN DAN BERTEKUNLAH

DALAM DOA

!

(6)

v PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Iklan Obat di Stasiun Televisi Swasta Nasional Tahun 2014 Berdasarkan Aturan WHO Tahun 1988, Kepmenkes Nomor 386 Tahun 1994, DPI Tahun 2005” sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan, kesabaran, masukan, dan motivasi kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Ipang Djunarko M.Sc., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan koreksi serta saran untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini. 3. Ibu Dita Maria Virginia M.Sc., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah

(7)
(8)
(9)
(10)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PRAKATA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

INTISARI ... xv ABSTRACT ... xvi BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang ... 1 1. Rumusan masalah... 4 2. Keaslian penelitian ... 4 3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis ... 5 b. Manfaat praktis... 5 B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum ... 6

(11)

x

2. Tujuan khusus ... 6

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Iklan ... 8

a. Definisi iklan ... 8

b. Tujuan iklan ... 8

B. Televisi sebagai Salah Satu Media Iklan ... 9

C. Peraturan Periklanan Bidang Obat ... 10

D. Masalah Iklan Obat dan Perilaku Obat untuk Swamedikasi ... 15

E. Keterangan Empiris ... 17

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 18

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 18

C. Bahan Penelitian... 21

D. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21

E. Instrumen Penelitian... 21

F. Tata Cara Penelitian 1. Studi pendahuluan ... 22

2. Tahap pemilihaan sampel ... 24

3. Tahap pengambilan data ... 24

G. Analisis Hasil ... 25

H. Keterbatasan Penelitian ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Iklan Obat ... 27

1. Golongan obat ... 27

2. Kelas terapi... 28

3. Produsen ... 31

B. Evaluasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988 ... 33

C. Evaluasi Iklan Obat Menurut Kepmenkes No. 286 Tahun 1994 Tentang Pedoman Periklanan ... 40

D. Evaluasi Iklan Obat Menurut DPI Tahun 2005 ... 50 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(12)

xi A. Kesimpulan ... 57 B. Saran ... 58 DAFTAR PUSTAKA ... 59 LAMPIRAN ... 62 BIOGRAFI PENULIS ... 89

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Batasan Indikasi Obat Bebas yang Ditetapkan Kepmenkes

(Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 ... 13 Tabel II. Hasil Studi Pendahuluan ... 23 Tabel III. Distribusi Frekuensi Iklan Obat Pada Stasiun Televisi Trans7,

RCTI, SCTV berdasarkan golongan obat ... 28 Tabel IV. Distribusi Frekuensi Iklan Obat Pada Stasiun Televisi Trans7,

RCTI, SCTV Berdasarkan Kelas Terapi ... 29 Tabel V. Distribusi Frekuensi Iklan Obat Pada Stasiun Televisi Trans7,

RCTI, SCTV Berdasarkan Produsen ... 31 Tabel VI. Informasi Iklan Obat yang Harus Ditampilkan Menurut WHO

Tahun 1988 ... 34 Tabel VII. Persentase Kelengkapan Informasi Iklan Obat Periode Juni,

Juli, Agustus 2014 Menurut WHO Tahun 1988 ... 39 Tabel VIII. Informasi Iklan Obat yang Harus Ditampilkan Menurut

Kepmenkes No. 386 tahun 1994 ... 41 Tabel IX. Persentase Kelengkapan Iklan Obat Periode Juni, Juli,

Agustus 2014 Menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994 ... 47 Tabel X. Aturan Iklan Obat Menurut DPI (Dewan Periklanan

Indonesia) Tahun 2005 ... 51 Tabel XI. Persentase Evaluasi Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Persentase Evaluasi Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus 2014 Menurut DPI (Dewan Periklanan Indonesia) Tahun

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Studi Pendahuluan ... 63

Lampiran 2. Form untuk Mencatat Profil Iklan Obat ... 67

Lampiran 3. Form untuk Evaluasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988, Kepmenkes No. 386 Tahun 2014 dan DPI Tahun 2005 ... 68

Lampiran 4. Data Distribusi Frekuensi Iklan Obat Bulan Juni 2014 ... 69

Lampiran 5. Data Distribusi Frekuensi Iklan Obat Bulan Juli 2014 ... 71

Lampiran 6. Data Distribusi Frekuensi Iklan Obat Bulan Agustus 2014 ... 72

Lampiran 7. Data Kelengkapan Informasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988 ... 73

Lampiran 8. Data Kelengkapan Informasi Iklan Obat Menurut Kepmenkes No. 386 Tahun 1994 ... 76

Lampiran 9. Data Evaluasi Klaim Indikasi Obat Menurut Kepmenkes No. 386 Tahun 1994 ... 81

(16)

xv INTISARI

Penyimpangan iklan obat terus meningkat. Secara berturut-turut penyimpangan iklan obat terjadi sebesar 18%, 20% dan 23,8% pada tahun 2007, 2009 dan 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi iklan obat periode bulan Juni, Juli dan Agustus 2014, berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan.

Penelitian ini termasuk observasional dengan rancangan deskriptif. Pengambilan data dilakukan dengan observasi langsung iklan obat pada 3 stasiun televisi swasta (Trans7, RCTI dan SCTV), selama 3 hari dalam 3 bulan yang berbeda. Data yang diambil meliputi produsen obat, kelas terapi obat, golongan obat, kelengkapan informasi dan jumlah frekuensi. Dasar acuan yang digunakan dalam evaluasi iklan obat ini adalah Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO tahun 1998, Kepmenkes No. 386 tahun 1994, Etika Pariwara Indonesia oleh DPI tahun 2005. Analisis data yang digunakan metode statistik deskriptif. Hasil disajikan dalam bentuk tabel dan diagram disertai penjelasan.

Tidak ada iklan obat yang sesuai dengan Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO tahun 1988 dan Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Iklan obat yang tidak sesuai dengan aturan Etika Pariwara Indonesia oleh DPI tahun 2005 sebesar 34,8%.

(17)

xvi ABSTRACT

Deviations of drug advertisement keep increasing. The drug advertisement deviations occurred to be 18%, 20% dan 23,8% in 2007, 2009 and 2012 respectively.The aims of this research is to evaluate drug advertising period in June, July and August 2014, based on established terms use.

This is an observational and descriptive design research. The data were collected by direct observation on drug advertising at 3 private television station (Trans7, RCTI and SCTV), for 3 days in 3 different months. The drug manufactures, therapeutic class of drugs, drug classes, completeness of the drug information and frequency were taken as data. Basic reference which used in this evaluation of drug advertising is Ethical Criteria Drug Promotion by WHO in 1998, the Decree of Health Minister No. 386 in 1994, the Indonesia Advertisement Ethics by DPI 2005. Data were analyzed using descriptive statistical methods. The results presented in tables and diagram with explanation.

There was no drug advertisement which appropriate with Ethical Criteria Drug Promotion by WHO in 1988 and the Decree of Health Minister No. 386 in 1994. Drug advertisement which not appropriate with the rules of Ethics Advertisement Indonesia by DPI in 2005 was 34,8%.

Key word: drug advertisement evaluation, television, WHO, DPI, Decree of Health Minister

(18)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Setiap orang pernah mengalami penyakit dengan gejala ringan. Lewat peristiwa sakit yang dialami, masyarakat akan mencari pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit tersebut. Pengobatan tersebut dapat dilakukan baik oleh dokter maupun oleh diri sendiri (Purwanto, 2007).

Pengobatan sendiri adalah suatu tindakan yang diupayakan untuk mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat tanpa resep secara tepat dan bertanggungjawab (rasional). Selama proses swamedikasi berlangsung, penderita bebas mendiagnosa sendiri penyakit yang dideritanya dan bebas memilih sendiri produk obat yang akan digunakan (Djunarko, dan Hendrawati, 2011).

Masyarakat membutuhkan informasi yang jelas dan dapat dipercaya dalam memenuhi upaya swamedikasi. Masyarakat juga kerap menggunakan informasi yang mudah dan cepat diakses seperti televisi untuk memutuskan pemilihan obat (Purwanto, 2007). Iklan merupakan sarana komunikasi yang menghubungkan komunikator dalam hal ini perusahaan sebagai produsen untuk menyampaikan informasi tentang barang atau jasa kepada publik, melalui suatu media massa. Iklan juga mempunyai peran yang penting dalam membangun dan mengembangkan citra positif suatu jasa atau produk yang dihasilkan (Kholid, 2012).

(19)

Sebuah penelitian menemukan sebanyak 60% responden menghabiskan waktu untuk menonton televisi, dengan durasi antara 1-5 jam dalam sehari. Bahkan sebanyak 30% responden memiliki durasi menonton televisi lebih dari 5 jam (Widanenci, 2007). Pakar komunikasi Amerika Serikat, menyatakan televisi adalah media yang telah berhasil mengubah kehidupan sehari-hari manusia atau masyarakat (Biagi, 2010). Berdasarkan fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa televisi erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

Konsumen memerlukan iklan sebagai salah satu alat informasi untuk mengetahui informasi barang yang mereka butuhkan. Konsumen juga sangat bergantung sepenuhnya pada informasi yang diberikan oleh pelaku usaha. Informasi yang jelas, akurat, dan memadai tentang suatu produk merupakan kewajiban yang harus diberikan perusahaan. Hal tersebut juga berlaku untuk informasi tentang hal-hal yang perlu diwaspadai oleh konsumen dalam menggunakan produk tertentu. Informasi kesehatan komersial yang salah atau tidak tepat dapat membuat konsumen terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan yang benar. Hal itu dapat mengakibatkan kemubaziran dan dapat mengancam jiwa konsumen (Turisno, 2012).

Ironisnya, sekitar 20% iklan obat bebas yang selama ini dipercaya masyarakat belum memenuhi aturan. Iklan obat seharusnya memberikan informasi yang obyektif, lengkap, tak menyesatkan dan tidak menggunakan kata yang berlebihan (Sidik, 2009). Pada tahun 2012, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menemukan sebanyak 23,8% iklan obat yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan (Anonim, 2013b).

(20)

Iklan obat dikatakan menyesatkan juga jika membawa pesan yang tidak lengkap dan kandungan produknya tidak sesuai dengan iklan, padahal masyarakat sebagai konsumen memiliki hak atas informasi yang benar. Lewat informasi tersebut, konsumen dapat memutuskan hak pilihnya yang kita ketahui bahwa hak pilih merupakan hak dasar yang tidak dapat dihapuskan oleh siapa pun juga. Informasi yang lengkap, benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa, dapat membantu konsumen untuk mengukur kesesuaian antara barang dan/atau jasa yang ditawarkan dengan kebutuhan masing-masing konsumen (Turisno, 2012).

Hak konsumen telah diatur dalam Pasal 4.c Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa:

Pasal 4.c.

Hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Hak konsumen tersebut dapat tercapai bila pelaku usaha atau produsen farmasi, melakukan kewajibannya yang telah dinyatakan Pasal 7.b Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa:

Pasal 7.b.

Kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

(Anonim, 1999). Hal-hal tersebut yang melatarbelakangi peneliti untuk meneliti iklan obat yang disiarkan di stasiun televisi.

(21)

1. Rumusan masalah

a. Seperti apa profil iklan obat di stasiun televisi swasta nasional selama 3 hari di bulan Juni, Juli dan Agustus pada tahun 2014?

b. Seperti apa hasil evaluasi iklan obat pada televisi swasta nasional berdasarkan pedoman dan aturan WHO tahun 1988, Kepmenkes No. 386 tahun 1994, dan DPI tahun 2005 yang berlaku?

2. Keaslian penelitian

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan evaluasi iklan obat pada stasiun televisi swasta yang pernah dilakukan, antara lain:

a. Evaluasi kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk anak-anak di empat stasiun televisi swasta nasional. Hasil yang didapat yaitu tidak ada iklan obat yang rasional menurut Kriteria Etik Promosi Obat-WHO tahun 1998, 7,1% iklan obat tanpa resep dinilai rasional kelengkapan informasinya menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994, dan 57,1% iklan obat dinilai rasional klaim indikasinya menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 (Purwanto, 2007).

b. Evaluasi kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional. Hasil yang didapat yaitu tidak ada iklan obat yang rasional menurut Kriteria Etik Promosi Obat-WHO tahun 1998, terdapat 18,9% iklan obat tanpa resep dinilai rasional kelengkapan informasinya menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri

(22)

Kesehatan) No. 386 tahun 1994, dan sebanyak 58,5% iklan obat dinilai rasional klaim indikasinya menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 (Yunari, 2007).

Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis, penelitian mengenai “Evaluasi Iklan Obat di Stasiun Televisi Swasta Nasional Tahun 2014 Berdasarkan Aturan WHO Tahun 1988, Kepmenkes Nomor 386 Tahun 1994, DPI Tahun 2005” belum pernah dilakukan.

Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan yang telah disebut di atas yaitu penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi iklan obat yang tidak hanya ditampilkan dalam acara televisi untuk anak-anak dan ibu-ibu. Bahan penelitian, tempat penelitian, waktu pelaksanaan dan aturan pedoman yang digunakan juga berbeda. Penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan penelitian deskriptif. Persamaan dengan penelitian terdahulu terletak pada topik penelitian, yaitu evaluasi iklan obat pada stasiun televisi swasta nasional.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya teori dan pemahaman mengenai praktik iklan obat dalam industri farmasi dan dunia periklanan televisi.

b. Manfaat praktis

(23)

Industri farmasi dapat semakin memperhatikan kesesuaian iklan obat berdasarkan pedoman dan aturan WHO tahun 1988, Kepmenkes No 386 tahun 1994 dan DPI tahun 2005 yang berlaku.

2) Bagi Badan Pengawas Obat dan Makanan

Badan Pengawas Obat dan Makanan dapat semakin meningkatkan pengawasan kesesuaian iklan obat.

3) Bagi masyarakat

Masyarakat dapat mengetahui jumlah pelanggaran iklan obat di televisi meskipun secara tidak langsung sehingga masyarakat dapat semakin waspada dan selektif dalam memilih sumber informasi saat swamedikasi.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Mengevaluasi iklan obat pada stasiun televisi swasta nasional pada bulan Juni, Juli dan Agustus tahun 2014.

2. Tujuan khusus

a. Mendiskripsikan profil iklan obat di stasiun televisi swasta nasional selama 3 hari di bulan Juni, Juli dan Agustus tahun 2014.

(24)

b. Mendiskripsikan hasil evaluasi iklan obat pada televisi swasta nasional berdasarkan pedoman dan aturan WHO tahun 1988, Kepmenekes No. 386 tahun 1994 dan DPI tahun 2005 yang berlaku.

(25)

8 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Iklan 1. Definisi iklan

Menurut KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), iklan merupakan sebuah bentuk promosi terhadap barang, jasa, perusahaan, dan ide yang harus dibayar oleh sebuah sponsor dari apa yang di tawarkan dalam iklan tersebut (Anonim, 2011). Iklan juga merupakan salah satu bentuk promosi yang paling dikenal orang, hal ini kemungkinan karena daya jangkauannya yang luas. Iklan menjadi instrumen promosi yang sangat penting, khususnya bagi perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang ditujukan kepada masyarakat luas (Morissan, 2010).

Definisi iklan menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 1787 Tahun 2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan, yaitu

Pasal 1

Iklan adalah informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan

(Anonim, 2010). 2. Tujuan iklan

Iklan bertujuan untuk meningkatkan respon konsumen terhadap penawaran produk perusahaan yang dapat memberikan laba dalam jangka waktu yang panjang (Sufa dan Munas, 2012). Iklan berperan penting bagi perusahaan

(26)

untuk menunjang sekaligus meningkatkan usahanya. Pengusaha mencoba mempengaruhi dan membangkitkan minat (animo) konsumen untuk membeli produk barang atau jasa lewat kehadiran iklan. Iklan obat seharusnya berperan untuk memasarkan produknya, tetapi pada kenyataannya tidak mempunyai reputasi baik. Kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik akan produknya (Turisno, 2012).

Tidak hanya pengusaha yang membutuhkan iklan. Konsumen pun memerlukan iklan sebagai salah satu alat informasi untuk mengetahui informasi barang yang mereka butuhkan. Konsumen sangat bergantung sepenuhnya pada informasi yang diberikan oleh pelaku usaha dalam memanfaatkan barang dan atau jasa (Turisno, 2012).

B. Televisi sebagai Salah Satu Media Iklan

Iklan berperan penting dalam memperkenalkan dan memperkuat citra merek dari sebuah produk. Media periklanan yang banyak diminati oleh industri adalah media televisi, karena media ini merupakan media audiovisual yang canggih dan menarik. Televisi juga mempunyai daya jangkau yang luas karena puluhan juta bahkan ratusan dan ribuan juta pasang mata dapat menyaksikan iklan suatu produk walaupun hanya dengan sebuah tayangan berdurasi kurang lebih 60 detik (Sufa dan Munas, 2012).

Menurut Lane (2009), sekitar 99% rumah tangga memiliki paling sedikit satu perangkat televisi. Terdapat sebuah penelitian di Indonesia yang menyatakan bahwa sebanyak 60% responden menghabiskan waktu untuk menonton televisi,

(27)

dengan durasi antara 1 - 5 jam dalam sehari, bahkan sebanyak 30% responden memiliki durasi menonton televisi lebih dari 5 jam (Widanenci, 2007). Televisi masih menjadi media utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia dengan persentase 95%. Internet (33%), radio (20%) dan surat kabar (12%) juga masih dikonsumsi masyarakat Indonesia (Anonim, 2014b). Menurt hasil penelitian Lane (2009), televisi menempati peringkat pertama sebagai media yang paling berpengaruh (81,8%) dan paling membujuk (66,5%).

Kelebihan iklan lewat media televisi dibandingkan dengan jenis media lainnya yaitu mempunyai daya jangkau yang luas. Harga televisi yang semakin murah, menyebabkan berbagai kelompok masyarakat dapat mempunyai dan menikmati siaran dari perangkat elektronik ini. Hal tersebut memungkinkan pemasar dapat memperkenalkan dan mempromosikan produknya secara serentak ke seluruh wilayah suatu negara. Televisi merupakan media yang ideal untuk mengiklankan produk konsumsi massal (mass-consumption products), yaitu barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari misalnya makanan, minuman, perlengkapan mandi, pembersih, kosmetik, obat-obatan, dan sebagainya (Morissan, 2010).

C. Peraturan Periklanan Bidang Obat

Obat mempunyai kedudukan yang khusus dalam masyarakat karena diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Penggunaan obat yang salah, tidak tepat dan tidak rasional dapat membahayakan masyarakat. Pemerintah melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap

(28)

penyebaran informasi obat, termasuk periklanan obat, agar masyarakat dapat terhindar dari kemungkinan penggunaan obat yang salah, tidak tepat dan tidak rasional akibat pengaruh promosi melalui iklan. Periklanan obat menghadapi masalah yang relatif kompleks karena aspek yang dipertimbangkan tidak hanya tentang kesesuaian dengan aturan periklanan, tetapi juga menyangkut manfaat-resikonya terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat luas. Masalah tersebut dapat diatasi dengan merancang isi, struktur maupun format pesan iklan obat dengan tepat agar tidak menimbulkan presepsi dan interpretasi yang salah oleh masyarakat luas (Supardi, 2009).

Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen, menyebutkan fungsi Badan POM antara lain adalah pre review dan pasca audit iklan dan promosi obat dan obat tradisional, sebelum dipublikasikan. Pengawasan iklan obat yang dilakukan oleh pemerintah, mencakup penilaian sebelum iklan ditayangkan dan pengawasan terhadap iklan yang sudah ditayangkan (Supardi, Handayani, Herman, Raharni, dan Susyanty, 2011). Kenyataannya, walaupun telah diadakan tahap pre review, masih banyak iklan obat yang tidak memenuhi syarat (Turisno, 2012).

Obat yang dapat diiklankan kepada masyarakat adalah obat yang sesuai peraturan undang-undang yang berlaku tergolong dalam obat bebas atau obat bebas terbatas, kecuali dinyatakan lain. Iklan obat dapat dimuat di media periklanan setelah rancangan iklan tersebut mendapat persetujuan dari Departemen Kesehatan RI. Iklan obat hendaknya dapat bermanfaat bagi

(29)

masyarakat untuk pemilihan penggunaan obat bebas secara rasional (Anonim, 1994).

WHO (World Health Organization) sejak tahun 1988 mengeluarkan Kriteria Etik Promosi Obat (Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion) untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan peredaran obat yang tidak memenuhi syarat akibat periklanan dan informasi yang tidak benar dan menyesatkan. Kriteria Etik Promosi Obat menjelaskan bahwa informasi iklan obat yang ditujukan kepada masyarakat awam harus mengandung komposisi zat aktif; nama merek dagang; indikasi utama; kontraindikasi; peringatan perhatian (precaution) dan nama dan alamat produsen atau distributor (Anonim, 1988).

Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 menjelaskan bahwa iklan obat harus mencantumkan informasi mengenai komposisi zat aktif obat, indikasi utama obat, informasi mengenai keamanan obat dan merek dagang obat. Selain itu perlu dicantumkan pula informasi nama industri farmasi yang memproduksi obat tersebut dan nomor registrasi obat. Nomor registrasi obat diwajibkan khusus media cetak (Anonim, 1994).

Beberapa hal juga diatur dalam Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994, khususnya tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas. Dikatakan bahwa iklan obat dapat ditampilkan di media periklanan setelah disetujui oleh Departemen Kesehatan RI. Iklan obat juga tidak boleh diperankan oleh tenaga profesi kesehatan atau menggunakan setting laboratorium. Spot peringatan BACA ATURAN PAKAI JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER harus ditampilkan dalam iklan obat, sedangkan untuk iklan vitamin

(30)

harus dicantumkan peringatan BACA ATURAN PAKAI. Kedua peringatan tersebut harus ditayangkan minimal selama 3 detik. Klaim indikasi yang ditampilkan dalam suatu iklan harus sesuai dengan batasan yang ditetapkan oleh Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994, yang dijabarkan pada tabel I dibawah ini:

Tabel I. Batasan Klaim Indikasi Obat Bebas yang Ditetapkan Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 (Anonim) No. Sub Kelas Terapi

Obat

Indikasi yang ditetapkan Kepmenkes No. 386 tahun 1994

1. Vitamin C a. mengatasi kekurangan vitamin C seperti pada sariawan dan perdarahan gusi.

b. untuk keadaan dimana kebutuhan akan vitamin C meningkat seperti pada keadaan sesudah operasi, sakit, hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan dan lansia

2. Multivitamin dan mineral

mencegah dan mengatasi kekurangan vitamin dan mineral, misalnya sesudah operasi, sakit, wanita hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan serta lansia.

3. Obat pereda sakit dan penurun panas

meringankan rasa sakit misalnya: sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot; dan atau menurunkan panas. 4. Obat flu meredakan gejala flu seperti demam, sakit kepada,

hidung tersumbat dan pilek

5. Obat asma meringankan gejala sesak napas karena asma 6. Antitusif meredakan batuk yang tidak berdahak. 7. Ekspektoran meredakan batuk yang berdahak 8. Antitusif, ekspektoran,

antihistamin

meredakan batuk berdahak yang disertai pilek 9. Antasida mengatasi gejala sakit maag seperti: perih,

kembung, mual 10. Obat gosok untuk

analgesia lokal

meringankan gejala-gejala flu, otot kaku dan nyeri, gatal-gatal serta gigitan serangga

11. Obat kulit (topikal) mengatasi infeksi karena jamur 12. Obat tetes mata meredakan iritasi mata yang ringan.

13. Obat laksans/pencahar mengatasi sembelit (susah buang air besar)

14. Obat kumur melegakan sakit tenggorokan dan membantu menjaga higinitas mulut

15. Obat cacing untuk pengobatan infeksi kecacingan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui oleh Departemen Kesehatan

(31)

DPI (Dewan Periklanan Indonesia) juga mengeluarkan aturan iklan obat yaitu Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia) tahun 2005. Iklan tidak diperbolehkan secara langsung maupun tersamar menganjurkan penggunaan obat yang tidak sesuai dengan ijin indikasinya dan pemakaian suatu obat secara berlebihan. Kata, ungkapan, penggambaran atau pencitraan yang menjanjikan penyembuhan tidak boleh ditampilkan pada iklan. Hanya ungkapan untuk membantu menghilangkan gejala dari sesuatu penyakit yang dapat ditampilkan pada iklan. Tidak diperbolehkan menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti “aman”, “tidak berbahaya”, “bebas efek samping”, “bebas risiko” dan ungkapan lain yang bermakna sama, tanpa disertai keterangan yang memadai. Iklan tidak boleh menggambarkan atau menimbulkan kesan pemberian anjuran, rekomendasi, atau keterangan tentang penggunaan obat tertentu oleh profesi kesehatan. Anjuran bahwa suatu obat merupakan syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan tubuh, dilarang ditampilkan dalam iklan. Iklan tidak diperkenankan memanipulasi atau mengekspolitasi rasa takut orang terhadap sesuatu penyakit karena tidak menggunakan obat yang diiklankan. Penawaran diagnosa pengobatan atau perawatan melalui surat menyurat dan jaminan pengembalian uang dilarang dalam suatu iklan obat (Anonim, 2005).

Peraturan Kepala Badan POM tahun 2009 tentang Pedoman Pengawasan Promosi dan Iklan Obat menyebutkan bahwa apabila ditemukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, Badan POM dapat memberikan sanksi administratif berupa peringatan, penghentian kegiatan iklan, pencabutan ijin edar

(32)

atau sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada industri farmasi atau pemilik ijin edar (Anonim, 2010).

D. Masalah Iklan Obat dan Perilaku Pemilihan Obat untuk Swamedikasi Sakit adalah pengalaman subyektif yang ditandai dengan perasaan tidak enak, sehingga aktivitas seseorang dapat terganggu. Pengobatan sendiri atau swamedikasi kerap dilakukan oleh orang yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan (Sarwono, 2004). Masyarakat kerap kali mengandalkan obat untuk menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit tersebut. Obat-obatan juga dapat menjadi sangat berbahaya bila disalahgunakan. Umumnya masyarakat kurang memahami bahwa obat ternyata juga memiliki efek samping yang dapat merugikan kesehatan (Turisno, 2012).

Konsumen kerap melakukan pembelian beberapa produk atau jasa tertentu dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya (Lane, 2009). Hal itu menyebabkan masyarakat membutuhkan informasi yang jelas dan dapat dipercaya untuk memenuhi upaya tersebut (Purwanto, 2007). Periklanan sangat berperan dalam memberikan informasi seefisien dan seekonomis mungkin bagi calon pembeli (Lane, 2009).

Muatan informasi yang benar, jelas, dan jujur dalam iklan, merupakan hak konsumen yang wajib diberikan pelaku usaha kepada konsumen agar konsumen dapat menentukan pilihan yang tepat. Kenyataannya sebagian iklan obat dapat dikatakan menyesatkan karena membawa pesan yang tidak lengkap dan tidak sesuai dengan kandungan produknya. Produsen hanya menampilkan

(33)

khasiat saja dan hanya menjelaskan sebagian kecil kemungkinan akibat buruk bagi konsumen. Membesar-besarkan manfaat produk diluar proporsi yang wajar, merupakan tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan etika. Mungkin saja para pengguna dan calon pengguna tertarik dan membeli produk tersebut karena terpengaruh kehebatannya yang dibesar-besarkan oleh perusahaan. Informasi kesehatan komersial yang salah atau tidak tepat dapat merugikan konsumen karena membuat konsumen terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan yang benar, sehingga dapat mengancam jiwa konsumen (Turisno, 2012).

Selama tahun 2007 terjadi penyimpangan 703 iklan obat bebas, yang dimana 18% di antaranya tidak sesuai persetujuan Badan POM. Pada tahun 2009, sekitar 20% iklan obat bebas yang selama ini dipercaya masyarakat belum memenuhi aturan (Sidik, 2009). Jumlah penyimpangan obat bebas ini terus bertambah sampai tahun 2012. Pada tahun 2012, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sebanyak 23,8% iklan obat yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan (Anonim, 2013b). Peristiwa tersebut jelas bertentangan dengan hak konsumen dan yang telah dijabarkan pada Pasal 4.c Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tidak hanya bertentangan dengan Pasal 4.c tersebut, peristiwa tersebut juga bertentangan dengan kewajiban pelaku usaha yang dijelaskan dalam Pasal 7.b Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Turisno, 2012).

(34)

E. Keterangan Empiris

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kesesuaiaan iklan obat di stasiun televisi swasta nasional pada bulan Juni, Juli dan Agustus tahun 2014 berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat (Ethical Criteria for

Medicinal Drug Promotion) oleh WHO (World Health Organization) tahun 1988,

Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) Nomor 386 Tahun 1994 dan Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia) oleh DPI (Dewan Periklanan Indonesia) tahun 2005.

(35)

18 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah observasional yaitu penelitian yang dilakukan terhadap subyek uji menurut keadaan apa adanya (in nature) tanpa pemberian perlakuan atau manipulasi (Swarjana, 2012). Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan deskriptif karena penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran yang realistis dan obyektif (Imron, 2010) dari iklan obat di stasiun televisi swasta.

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Iklan obat di televisi adalah informasi obat tanpa resep dari produsen kepada konsumen yang disiarkan pada stasiun televisi swasta nasional Trans7, RCTI, SCTV.

2. Tanggal tayang yang diamati adalah tanggal 17 – 19 Juni, 16 – 18 Juli dan 13 – 15 Agustus 2014.

3. Jam tayang yang diamati adalah pukul 05.00 – 10.00 (Trans7), 10.00 – 15.00 (RCTI) dan 15.00 – 20.00 (SCTV).

4. Jenis iklan yang diteliti adalah iklan obat bebas dan obat bebas terbatas.

5. Profil iklan obat yang diteliti meliputi golongan obat (obat bebas, obat bebas terbatas); kelas terapi berdasarkan MIMS edisi 15 tahun 2015; produsen obat

(36)

(misalnya: PT. Kalbe Farma Tbk, PT. Tempo Scan Pacific Tbk, dan lain-lain) dan jumlah frekuensi.

6. Golongan obat dibagi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MenKes/Per/VI/2000 yaitu obat bebas dengan logo berwarna hijau bergaris tepi hitam dan obat bebas terbatas dengan logo berwarna biru bergaris tepi hitam. Obat yang tidak memiliki logo golongan obat, dalam penelitian ini dieksklusi. Misal: vitamin Enervon C®, Imboost®, dan lain-lain. 7. Unsur-unsur iklan obat dan 3 aturan evaluasi iklan obat dalam penelitian ini

adalah:

a. Kelengkapan informasi iklan berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat (Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion) oleh WHO Tahun 1988, yang meliputi: kandungan zat aktif, nama dagang atau merek, penyampaian indikasi, kontraindikasi, peringatan perhatian (precaution), nama dan alamat produsen atau distributor.

b. Kelengkapan informasi iklan berdasarkan Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 Tentang Pedoman Periklanan, yang meliputi: kandungan zat aktif; nama dagang atau merek; penyampaian indikasi; informasi keamanan obat; nama produsen; tidak diperankan oleh Tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium; terdapat spot peringatan BACA ATURAN PAKAI JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER (untuk obat) atau BACA ATURAN PAKAI (untuk vitamin) dengan durasi selama 3 detik;

(37)

dan kesesuaian klaim indikasi. Klaim indikasi adalah pernyataan tentang indikasi obat yang dicantumkan dalam iklan.

c. Aturan penanyangan dari segi etika berdasarkan Etika Pariwara Indonesia menurut Dewan Periklanan Indonesia (DPI) tahun 2005. 8. Dinyatakan sesuai untuk setiap iklan obat bila semua unsur iklan obat yang

tercantum dalam suatu aturan terpenuhi, dan tidak sesuai bila ada salah satu unsur iklan dari suatu aturan yang tidak terpenuhi.

9. Kontraindikasi dalam penelitian ini adalah keadaan dimana terapi tertentu tidak dianjurkan karena dapat memberikan dampak buruk bagi pasien. Contoh: terdapat obat yang kontraindikasi dengan penderita gangguan fungsi ginjal yang berat.

10. Informasi peringatan perhatian adalah informasi yang disampaikan oleh industri farmasi tentang kejadian yang dapat timbul setelah mengkonsumsi produknya. Biasanya kejadian yang timbul berupa kejadian yang tidak diinginkan dan terjadi pada hampir seluruh konsumen produk tersebut. Contoh: terdapat obat yang dapat menyebabkan kantuk.

11. Informasi keamanan obat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gambaran mengenai suatu obat yang aman bagi organ tubuh tertentu selama mengkonsumsi obat tersebut. Contoh: terdapat obat yang aman bagi lambung.

(38)

C. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah iklan obat yang ditayangkan melalui media eletronik (televisi). Stasiun televisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah stasiun televisi swasta nasional Indonesia (RCTI, SCTV dan Trans7). Ukuran sampel minimum untuk metode deskriptif adalah 10% dari populasi, dan untuk populasi yang relatif kecil minimal 20% dari populasi (Umar, 2005). Saat ini di Indonesia terdapat 10 stasiun televisi swasta nasional (Anonim, 2013a). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3 stasiun televisi diharapkan agar dapat mewakili iklan obat di semua stasiun televisi Indonesia.

D. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data dilakukan di rumah pribadi penulis yang berlokasi di Bekasi. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 17 – 19 Juni, 22 – 24 Juli dan 13 – 15 Agustus tahun 2014.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah form. Terdapat 2 form yang digunakan dalam penelitian ini. Form yang pertama bertujuan mencatat profil iklan obat baik berdasarkan golongan obat, kelas terapi dan produsen obat. Lewat

form tersebut akan diketahui distribusi frekuensi iklan obat berdasarkan golongan,

(39)

Form kedua bertujuan untuk mendokumentasikan hasil evaluasi iklan

obat. Evaluasi iklan obat dilakukan berdasarkan aturan Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO tahun 1988, Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 dan DPI (Dewan Periklanan Indonesia) tahun 2005. Lewat form tersebut akan diketahui gambaran iklan obat yang beredar di stasiun televisi swasta bulan Juni, Juli dan Agustus 2014. Form yang kedua dapat dilihat pada lampiran 3.

F. Tata Cara Penelitian 1. Studi Pendahuluan

Penelitian dimulai dengan menghitung banyaknya frekuensi iklan obat yang ditayangkan di tiga stasiun televisi swasta nasional Indonesia (RCTI, SCTV dan Trans7). Pemilihan ketiga stasiun televisi swasta tersebut didasarkan pada laporan KPI pada tahun 2011 bahwa terdapat 5 (lima) stasiun televisi swasta yang merupakan stasiun televisi dengan iklan terbanyak, yaitu RCTI, Global TV, Trans TV, Trans7 dan SCTV. Lalu dari kelima stasiun televisi tersebut dipilih 3 stasiun televisi dengan rating audience share tertinggi, yaitu RCTI (23,25), SCTV (13,41) dan Trans7 (13) (Anonim, 2013a).

Studi pendahuluan dilakukan pada tanggal 8 dan 9 April 2014 di SCTV; 17 dan 18 April 2014 di RCTI; dan 24 dan 25 April 2014 di Trans7. Jumlah iklan obat yang terdapat pada ketiga stasiun televisi tersebut dihitung dari pukul 05.00 – 01.00, sehingga dapat ditentukan waktu tayang yang digunakan dalam penelitian. Dari pukul 05.00 – 01.00, rentang waktu jam tayang dikelompokkan menjadi tiap

(40)

5 jam karena menurut hasil penelitian Widanenci (2007), 60% responden menonton televisi dengan durasi selama 5 jam. Berikut hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti:

Tabel II. Hasil Studi Pendahuluan

No. Nama Stasiun Televisi Jam Tayang Frekuensi Iklan Obat

1. RCTI 05.00 – 10.00 8 10.00 – 15.00 >14 15.00 – 20.00 4 20.00 – 01.00 4 2. SCTV 05.00 – 10.00 16 10.00 – 15.00 13 15.00 – 20.00 28 20.00 – 01.00 15 3. Trans7 05.00 – 10.00 33 10.00 – 15.00 15 15.00 – 20.00 17 20.00 – 01.00 6

Selama studi pendahuluan berlangsung, tidak didapatkan data iklan obat yang tayang di RCTI pukul 11.00 – 12.00 karena keterbatasan waktu yang dimiliki peneliti. Hal tersebut tidak mempengaruhi penghitungan frekuensi iklan obat karena pukul 11.00 – 12.00 telah masuk ke dalam kelompok rentang waktu 10.00 – 15.00 yang telah memperoleh frekuensi iklan terbanyak. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tabel II, dapat disimpulkan bahwa iklan obat terbanyak pada RCTI muncul pada jam 10.00 – 15.00 dengan jumlah iklan obat lebih dari 14, SCTV pada jam 15.00 – 20.00 dengan 28 iklan obat dan Trans7 pada jam 05.00 – 10.00 dengan 33 iklan obat.

(41)

2. Tahap Pemilihan Sampel

Pemilihan bahan penelitian diambil dengan metode purposive sampling.

Purposive sampling adalah pemilihan sekelompok bahan penelitian didasarkan

atas sifat-sifat tertentu yang erat dengan sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoadmodjo, 2010). Kriteria subyek penelitian adalah semua iklan obat yang memiliki frekuensi tayang iklan obat tertinggi di tiga televisi swasta nasional Indonesia (RCTI, SCTV, dan Trans7) pada periode Juni, Juli dan Agustus 2014. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang ditampilkan pada tabel II, dapat disimpulkan bahwa iklan obat terbanyak pada RCTI muncul pada jam 10.00 – 15.00, SCTV pada jam 15.00 – 20.00 dan Trans7 pada jam 05.00 – 10.00. Pemilihan jam tayang tersebut berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis terlebih dahulu dengan menghitung banyaknya frekuensi iklan obat yang muncul pada rentang waktu tersebut dan diambil frekuensi tayang tertinggi.

3. Tahap Pengambilan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi langsung iklan obat di tiga stasiun televisi swasta nasional Indonesia (RCTI, SCTV dan Trans7) selama 3 hari pada bulan yang berbeda yaitu: 17 – 19 Juni, 16 – 18 Juli, 13 – 15 Agustus. Batas jam pengamatan untuk Trans7 pukul 05.00 – 10.00, RCTI pukul 10.00 – 15.00 dan SCTV pukul 15.00 – 20.00. Pemilihan tanggal tayang tersebut didasarkan pada ketersediaan waktu yang dimiliki oleh peneliti, sedangkan pemilihan jam tayang berdasarkan studi pendahuluan.

(42)

Data yang dikumpulkan dan didokumentasikan dalam form penelitian ini meliputi tanggal tayang, frekuensi, golongan obat, kelas terapi obat, nama produsen serta kelengkapan informasinya. Selama proses pengambilan data berlangsung, peneliti juga mendokumentasikan bahan penelitian yang berupa iklan obat dengan bantuan alat perekam (handycam). Peneliti juga mengunduh video iklan obat dari website www.youtube.com agar keseluruhan data yang diperlukan untuk mengevaluasi suatu iklan obat, dapat terkumpul. Video iklan obat yang tidak terdapat di website www.youtube.com ada 1 (satu) yaitu iklan Nourish E®, tetapi hal ini tidak menjadi halangan karena data yang diperlukan telah terdokumentasi dengan cukup baik dan jelas di alat perekam (handycam).

G. Analisis Hasil

Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan metode statistik deskriptif, yaitu sebuah pengolahan statistik yang memungkinkan penulis untuk melukiskan dan merangkum hasil pengamatan. Pada statistik deskriptif, data ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik, atau diagram (Sujarweni dan Endrayanto, 2012). Pada penelitian ini, data ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram. Data iklan obat yang telah dievaluasi menurut aturan-aturan dari WHO tahun 1988, Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 dan Dewan Periklanan Indonesia (DPI) tahun 2005, disajikan dalam tabel dan atau diagram sebagai berikut:

1. Presentase frekuensi iklan obat pada masing-masing stasiun televisi berdasarkan golongan obat, kelas terapi dan produsen.

(43)

2. Evaluasi kelengkapan informasi iklan obat berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat WHO tahun 1988 dan presentasenya.

3. Evaluasi kelengkapan informasi iklan obat berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 dan presentasenya.

4. Evaluasi aturan iklan obat berdasarkan Etika Pariwara Indonesia menurut Dewan Periklanan Indonesia (DPI) tahun 2005 dan presentasenya..

Data yang telah dirangkum dalam bentuk tabel dan diagram tersebut, akan dibahas dalam bentuk uraian.

H. Keterbatasan Penelitian

Beberapa iklan obat dalam penelitian ini ada yang tidak tercantum dalam kelas terapi MIMS edisi 15 tahun 2015. Hal tersebut menjadi keterbatasan peneliti dalam meneliti profil iklan obat.

Tidak ada penjabaran tentang definisi informasi keamanan obat yang tercantum dalam Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Hal tersebut menjadi keterbatasan peneliti dalam mengevaluasi iklan obat menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994.

(44)

27 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Iklan Obat

Iklan diperlukan konsumen untuk mengetahui informasi barang yang mereka butuhkan. Konsumen sangat bergantung sepenuhnya pada informasi yang diberikan oleh pelaku usaha dalam memanfaatkan barang atau jasa (Turisno, 2012). Salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen terhadap pemilihan suatu produk adalah frekuensi iklan (Kotler, 2003). Semakin besar frekuensi iklan, iklan tersebut dapat dikatakan semakin menarik minat konsumen untuk membeli produk tersebut. Profil iklan yang disajikan merupakan gambaran distribusi frekuensi iklan obat di stasiun televisi Trans7, RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) dan SCTV (Surya Citra Televisi) selama 3 hari dalam 3 bulan yang berbeda dan ditampilkan berdasarkan golongan obat, kelas terapi dan produsen.

1. Golongan Obat

Golongan obat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari obat bebas terbatas dan obat bebas. Berdasarkan tabel III, dapat kita ketahui bahwa Trans7 memiliki frekuensi iklan obat bebas tertinggi, dengan persentase sebesar 61,9%. RCTI dan SCTV memiliki frekuensi iklan obat bebas terbatas dengan frekuensi tertinggi, sebesar 55,1% dan 58,6%.

(45)

Tabel III. Distribusi Frekuensi Iklan Obat Pada Stasiun Televisi Trans7, RCTI, SCTV Berdasarkan Golongan Obat

No. Golongan Obat*)

Trans7 RCTI SCTV Total

n % n % n % n %

1 Obat Bebas 52 61,9 22 44,9 29 41,4 103 50,7 2 Obat Bebas Terbatas 32 38,1 27 55,1 41 58,6 100 49,3 Total 84 100 49 100 70 100 203 100

Keterangan : n = jumlah iklan, % = persentase, * = penggolongan obat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MenKes/Per/VI/2000

Iklan obat bebas memiliki frekuensi paling tinggi (50,7%) dibandingkan iklan obat bebas terbatas (49,3%) pada ketiga stasiun televisi swasta tersebut. Tumbuhnya pasar obat bebas menyebabkan produsen berlomba – lomba meningkatkan frekuensi iklan obat bebas, sehingga efektivitas iklan dapat tercapai dan masyarakat akan lebih mengenal produk mereka (Turisno, 2012).

2. Kelas terapi

Obat yang diiklankan di stasiun televisi Trans7, RCTI dan SCTV dikelompokkan dalam beberapa kelas terapi menurut MIMS edisi 15 tahun 2015. Persentase frekuensi iklan obat berdasarkan kelas terapi pada ketiga stasiun televisi, disajikan dalam tabel V.

Berdasarkan tabel V tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 12 kelas terapi obat di stasiun televisi Trans7, 12 kelas terapi obat di stasiun televisi RCTI dan 11 kelas terapi obat di stasiun televisi SCTV. Iklan obat batuk dan pilek menempati frekuensi tertinggi pada stasiun televisi Trans7 (25%). Iklan obat analgesik (non opiate) dan antipiretik menempati frekuensi tertinggi pada stasiun

(46)

televisi RCTI (28,6%). Obat-obat yang tidak tercantum dalam MIMS edisi 15 tahun 2015 menempati frekuensi tertinggi pada stasiun televisi SCTV (41,4%).

Secara keseluruhan dapat disimpulkan iklan obat-obat yang tidak tercantum dalam MIMS edisi 15 tahun 2015 yang paling mendominasi dalam 3 stasiun televisi swasta ini yaitu sebesar 21,7%. Iklan obat antiinfeksi dan antiseptik telinga merupakan obat yang memiliki frekuensi paling rendah (0,5%). Hasil ini menunjukkan bahwa penyakit yang berhubungan dengan infeksi telinga pada masyakarat, dapat dikatakan jarang terjadi dibandingkan penyakit pada umumnya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa iklan suplemen terapi penunjang memiliki frekuensi paling rendah (0,5%). Sebenarnya produk suplemen kerap diiklankan di televisi, tetapi banyak produk suplemen yang dieklskusi dalam penelitian ini. Hal tersebut disebabkan karena tidak tercantumnya logo berwarna hijau pada kemasan suplemen yang sering beredar di masyarakat.

Tabel IV. Distribusi Frekuensi Iklan Obat pada Stasiun Televisi Trans7, RCTI, SCTV Berdasarkan Kelas Terapi

No. Kelas Terapi Obat

Trans7 RCTI SCTV Total

n % n % n % n %

1 Golongan obat yang tidak tercantum

14 16,7 1 2 29 41,4 44 21,7 2 Obat batuk dan pilek 21 25 8 16,3 6 8,6 35 17,2 3 Analgesik (non opiate) dan

antipertik

(47)

Lanjutan Tabel IV

4 Antasid, obat antirefluks dan antiulserasi

4 4,8 0 0 16 22,9 20 9,9 5 Obat kulit lain 12 14,3 4 8,2 1 1,4 17 8,4 6 Obat lain yang bekerja pada

sistem muskuloskeletal

7 8,3 2 4,1 1 1,4 10 4,9 7 Laksatif, pencahar 0 0 8 16,3 1 1,4 9 4,4 8 Obat antiinflamasi non steroid

(OAINS)

0 0 0 0 8 11,4 8 3,9 9 Vitamin dan mineral (untuk

masa hamil dan nifas) atau antianemia

2 2,4 4 8,2 0 0 6 3

10 Antijamur dan antiparasit topikal

6 7,1 0 0 0 0 6 3 11 Preparat mulut dan

tenggorokan

5 6 0 0 0 0 5 2,5

12 Antidiare 0 0 0 0 3 4,3 3 1,5

13 Dekongestan nasal dan preparat nasal lain

1 1,2 0 0 2 2,9 3 1,5 14 Antiseptik dan desinfektan

kulit

0 0 2 4,1 0 0 2 1 15 Obat dekongestan, anastesi,

antiinflamasi mata

2 2,4 0 0 0 0 2 1 16 Obat kardiovaskular golongan

lain

0 0 2 4,1 0 0 2 1 17 Vitamin B kompleks atau

dengan vitamin C

1 1,2 1 2 0 0 2 1 18 Preparat Antiasma dan PPOK 0 0 2 4,1 0 0 2 1 19 Antiinfeksi dan antiseptik

telinga

0 0 1 2 0 0 1 0,5 20 Suplemen terapi penunjang 0 0 0 0 1 1,4 1 0,5

TOTAL 84 100 49 100 70 100 203 100

Keterangan :

1)n = jumlah iklan, % = persentase, * = pengelompokkan kelas terapi berdasarkan MIMS Edisi 15 Tahun 2015

(48)

2)Daftar obat yang tidak tercantum dalam MIMS edisi 15 tahun 2015 = Hufagrip®, Ultraflu®, Paramex®, Kalpanax K®, Neo Ultrasiline®, Konidin®, Siladex®, Combantrin® dan Renovit®

3. Produsen

Indonesia memiliki 247 perusahaan farmasi (IAI, 2010). Seluruh perusahaan farmasi tersebut saling berlomba-lomba untuk merebut pangsa pasar dengan mengiklankan produk mereka di stasiun televisi. Terdapat 13 produsen yang mengiklankan produknya di stasiun televisi Trans7, 9 produsen di stasiun RCTI dan 10 produsen di stasiun SCTV. Presentase frekuensi iklan obat setiap produsen dapat dilihat pada tabel V berikut.

Tabel V. Distribusi Frekuensi Iklan Obat Pada Stasiun Televisi Trans7, RCTI, SCTV Berdasarkan Produsen

No. Produsen

Trans7 RCTI SCTV Total

n % n % n % n %

1 PT. Tempo Scan Pacific, Tbk 11 13,1 16 32,7 8 11,4 35 17,2 2 PT. Konimex Pharm.

Laboratories

29 34,5 2 4,1 2 2,9 33 16,3 3 PT. Kalbe Farma 4 4,8 0 0 19 27,1 23 11,3 4 PT. Henson Farma 0 0 0 0 17 24,3 17 8,4 5 PT. Transfarma Medica Indah 12 14,3 4 8,2 1 1,4 17 8,4 6 PT. Boehringer Ingelham 3 3,6 12 24,5 1 1,4 16 7,9 7 PT. Bayer Indonesia 0 0 0 0 13 18,6 13 6,4 8 PT. Combiphar 8 9,5 0 0 0 0 8 3,9

(49)

Lanjutan Tabel V

9 PT. Merck Tbk 1 1,2 5 10,2 0 0 6 3 10 PT. Graha Husada Farma

(HUFA) 0 0 0 0 5 7,1 5 2,5 11 PT. Novell Pharmaceutical Laboratories 5 6 0 0 0 0 5 2,5 12 PT. Pharos 0 0 5 10,2 0 0 5 2,5 13 PT. Taisho 4 4,8 0 0 0 0 4 2 14 PT. Darya-Varia Laboratoria Tbk 1 1,2 0 0 2 2,9 3 1,5 15 PT. Pfizer Indonesia 0 0 1 2 2 2,9 3 1,5 16 PT. Supra Ferbindo Farma 0 0 3 6,1 0 0 3 1,5

17 PT. Beirsdorf 2 2,4 0 0 0 0 2 1

18 PT. Saka Farma 2 2,4 0 0 0 0 2 1 19 PT. Sterling Products Indonesia 2 2,4 0 0 0 0 2 1 20 PT. Medikon Prima

Laboratories

0 0 1 2 0 0 1 0,5

TOTAL 84 100 49 100 70 100 203 100

Keterangan : n = jumlah iklan, % = persentase

Tabel V menunjukkan bahwa produsen yang paling banyak mengiklankan produknya di stasiun televisi Trans7 adalah PT. Konimex Pharm. Laboratories (34,5%), PT. Tempo Scan Pacific, Tbk (32,7%) di stasiun televisi RCTI dan PT. Kalbe Farma (27,1%) di stasiun televisi SCTV. Berdasarkan tabel V, dapat kita simpulkan juga bahwa 3 produsen tersebut juga yang paling menguasai dunia periklanan obat di ketiga stasiun televisi Indonesia, dengan presentase sebagai berikut PT. Tempo Scan Pacific, Tbk (17,2%), PT. Konimex Pharm. Laboratories (16,3%) dan PT. Kalbe Farma (11,3%). Produsen dengan frekuensi tertinggi, mengharapkan bahwa iklan obatnya dapat menarik perhatian

(50)

masyarakat dibandingkan iklan obat produsen lain, sehingga masyarakat tertarik untuk memilih produknya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sufa dan Munas (2012) bahwa frekuensi penayangan iklan berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas iklan.

B. Evaluasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988

Iklan bertujuan untuk menarik minat masyarakat untuk membeli produk yang dibutuhkan. Masyarakat kerap menggunakan iklan sebagai sumber untuk memutuskan barang mana yang akan dipiih sebagai terapi kesembuhan penyakitnya. Durasi iklan yang terbatas, merupakan halangan masyarakat untuk menerima informasi sebanyak-banyaknya mengenai barang yang akan dipilih.

Produsen akan lebih mengutamakan kreatifitas iklan untuk menarik perhatian masyarakat, sedangkan informasi iklan obat yang seharusnya diutamakan, akan dikesampingkan. Masyarakat yang tertarik pada iklan obat dengan tingkat kreatifitas yang tinggi, akan meningkatkan penjualan produk produsen farmasi (Arfianto, 2010). Produsen pun akan mencapai keuntungan yang besar tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan pada konsumen jika konsumen tidak mendapatkan informasi yang cukup. Peran iklan yang pada awalnya sebagai sumber informasi obat, menjadi tidak efektif (Yunari, 2007).

Evaluasi iklan obat pada penelitian ini dilakukan berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO (World Health Organization) tahun 1988. Evaluasi iklan obat dikatakan sesuai menurut WHO bila semua informasi ditampilkan dalam iklan dan dikatakan tidak sesuai jika terdapat salah satu informasi yang

(51)

tidak ditampilkan. Informasi yang harus ditampilkan dalam iklan obat menurut WHO (World Health Organization) tahun 1988 ditampilkan pada tabel VI.

Tabel VI. Informasi Iklan Obat yang Harus Ditampilkan Menurut WHO Tahun 1988 (Anonim)

No. Informasi dalam Iklan Obat 1. Zat aktif

2. Merek 3. Indikasi

4. Peringatan perhatian (precaution) 5. Kontraindikasi

6. Nama dan alamat produsen atau distributor

Hasil penelitian evaluasi kelengkapan informasi iklan obat menurut WHO (World Health Organization) dapat dilihat pada lampiran 7. Lampiran 7 tersebut menunjukkan bahwa dari 46 iklan obat, tidak ada yang memenuhi kriteria kelengkapan informasi menurut WHO. Iklan obat yang tidak memenuhi kriteria kelengkapan informasi, dapat dikatakan belum mencukupi untuk dijadikan dasar pemilihan obat karena tidak banyak informasi yang dapat diberikan kepada masyarakat. Semakin lengkap informasi yang terdapat pada iklan obat, masyarakat dapat semakin menilai apakah obat tersebut sesuai atau tidak dengan kebutuhan dan keadaaan tubuh mereka (Turisno, 2012). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa iklan obat yang memenuhi kriteria kelengkapan informasi, lebih dipercaya oleh masyarakat dalam pelaksanaan swamedikasi.

(52)

Menurut Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO (World Health

Organization) tahun 1988, iklan obat harus mencantumkan informasi sebagai

berikut: zat aktif; merek; penyampaian indikasi; kontraindikasi; peringatan perhatian (precaution); dan nama dan alamat produsen atau distributor.

Informasi tersebut sangat dibutuhkan masyarakat dalam menentukan pilihan terapi yang terbaik baik dirinya, sehingga mereka dapat melakukan pengobatan mandiri yang aman dan efektif. Hal itu disebabkan semakin lengkap informasi yang diberikan, konsumen semakin dapat menilai apakah obat yang diiklankan tersebut sesuai atau tidak untuk penyakit dan kondisi kesehatan tubuhnya (Yunari, 2007). Informasi dalam iklan obat yang paling sering tidak ditampilkan yaitu kontraindikasi; nama dan alamat industri farmasi atau distributor; peringatan perhatian (precaution); zat aktif; indikasi.

Kontraindikasi adalah keadaan dimana terapi tertentu tidak dianjurkan karena dapat memberikan dampak buruk bagi pasien. Suatu obat yang cocok untuk seseorang, belum tentu obat tersebut cocok untuk orang lain, misalnya penggunaan aspirin kontraindikasi dengan penderita asma karena dapat memicu terjadinya asma (Lee dan Stevenson, 2011). Tidak terdapat iklan obat dalam penelitian ini yang mencantumkan kontraindikasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunari (2007) bahwa tidak ada iklan obat yang mencantumkan kontraindikasi karena dengan ditampilkannya kontraindikasi obat, dapat muncul ketakutan masyarakat secara berlebih. Hal tersebut dapat menurunkan minat masyarakat dalam memilih suatu produk, sehingga produk tersebut tidak laku di pasaran.

(53)

Berdasarkan hasil penelitian Purwanto (2007), pihak yang bertanggung jawab atas kualitas kerja atau keberhasilan suatu obat adalah industri farmasi. Menurut Yunari (2007), produsen bertanggung jawab atas kelengkapan sebuah iklan obat sehingga nama dan alamat industri farmasi perlu dicantumkan dalam iklan obat. Iklan obat pada penelitian ini tidak ada yang mencantumkan alamat industri farmasi, tetapi sebagian besar iklan obat telah mencantumkan nama industri farmasi.

Informasi peringatan perhatian (precaution) adalah informasi yang disampaikan oleh industri farmasi tentang kejadian yang dapat timbul setelah mengkonsumsi produknya. Adanya informasi peringatan perhatian (precaution), dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat dalam mengkonsumsi obat. Masyarakat dapat mempertimbangkan kejadian yang tidak diinginkan setelah mengkonsumsi obat tertentu, misal masyarakat yang mempunyai aktivitas mengendarai kendaraan bermotor, dapat memilih untuk menghindari obat yang mengandung Chlorpheniramine Maleate (CTM). Penyakit yang diderita pun dapat teratasi dan aktivitas tetap berlangsung lancar.

Iklan obat yang tidak mencantumkan informasi peringatan perhatian (precaution) sebesar 91,3%. Beberapa contoh iklan obat tersebut yaitu Fatigon®, Fungiderm®, Hufagrip®, Kalpanax K®, Mextril®, dan lain–lain.

Zat aktif adalah zat dalam obat yang mempunyai khasiat pengobatan akibat dari efek farmakologis yang ditimbulkan. Pencantuman zat aktif bermanfaat dalam pemilihan obat saat swamedikasi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitan Supardi (2009), sebesar 93% responden menyatakan bahwa

(54)

pencantuman zat aktif bermanfaat dalam pemilihan obat sewaktu sakit. Iklan obat yang tidak mencantumkan zat aktif sebesar 71,7%. Beberapa contoh iklan obat yang tidak mencantumkan zat aktif yaitu Albothyl®, Bodrex® (versi nelayan dan ibu rumah tangga), Combantrin®, Cooling 5®, Counterpain®, dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitan Supardi (2009), dapat disimpulkan bahwa iklan obat tersebut tidak bermanfaat bagi masyarakat saat pemilihan obat.

Indikasi menggambarkan kegunaan obat secara spesifik dalam pengobatan penyakit. Penyampaian indikasi pada iklan obat yang tidak tepat atau salah, mengakibatkan masyarakat terlambat mendapat pelayanan kesehatan yang benar sehingga dapat mengancam jiwa (Turisno, 2012). Masyarakat harus mencermati indikasi yang disampaikan pada iklan obat untuk menghindari penggunasalahan obat. Penggunasalahan obat yang kerap terjadi di masyarakat yaitu penggunaan obat tidak sesuai indikasi, misal penggunaan obat antihistamin yang efek sampingnya dapat meningkatkan nafsu makan untuk menambah berat badannya (Purwanto, 2007).

Sebagian besar iklan obat dalam penelitian ini telah mencantumkan indikasi atau kegunaannya, sehingga diharapkan penggunasalahan obat yang masih sering terjadi di masyarakat dapat berkurang. Terdapat 2,2% iklan obat yang tidak mencantumkan indikasi, yaitu iklan obat Promag®.

Berdasarkan pernyataan Turisno (2012), iklan obat yang tidak mencantumkan indikasi tersebut dapat menyebabkan penggunasalahan obat dan masyarakat terlambat mendapat pelayanan kesehatan yang benar. Hal ini dapat membahayakan konsumen karena menurut Yunari (2007) tidak semua masyarakat

(55)

Indonesia memiliki pengetahuan dan informasi tentang obat-obatan. Tidak tercantumnya indikasi juga dapat menyebabkan gagalnya kerasionalan terapi, khususnya dari faktor tepat indikasi (Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2011) karena masyarakat kurang mendapatkan informasi mengenai obat mana yang sesuai dengan kondisi penyakitnya.

PT. Kalbe Farma (sebagai produsen Promag®) dan masyarakat (sebagai konsumen) akan menerima dampak buruk, jika indikasi kedua iklan tersebut tetap tidak dijabarkan. Produk tersebut tidak akan digunakan masyarakat luas karena masih belum jelas indikasinya, sehingga dapat dikatakan iklan tersebut tidak lengkap dan menyesatkan (Turisno, 2012). Hal tersebut akan merugikan kedua industri farmasi tersebut. Dilihat dari pihak konsumen, konsumen tidak akan mendapatkan informasi yang cukup untuk menunjang kesehatannya.

Nama dagang atau nama merek harus dicantumkan dalam iklan obat karena banyaknya obat yang beredar di pasaran yang memiliki zat aktif yang sama, misalnya zat aktif parasetamol memiliki 70 nama dagang (Ping, Lim, Evaria dan Amiths, 2014). Adanya nama dagang ini, diharapkan masyarakat tidak mudah tertukar antara obat yang satu dengan obat lain yang sejenis. Pernyataan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, yang menyatakan bahwa nama dagang berfungsi sebagai pembeda dengan barang lain yang sejenis. Nama dagang juga dapat memudahkan masyarakat mengingat nama obat yang mengandung beberapa macam zat aktif sekaligus (Yunari, 2007). Iklan obat dalam penelitian ini yang telah mencantumkan nama dagang atau merek sebesar 100% dan berdasarkan teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa

(56)

seluruh iklan obat dalam penelitian ini, dapat dibedakan dan mudah diingat masyarakat.

Tabel VII. Persentase Kelengkapan Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus 2014 Menurut WHO Tahun 1988

No. Informasi dalam Iklan Obat Ada

Tidak

Ada Total

n % n % n %

1. Kontraindikasi 0 0 46 100 46 100

2. Nama dan alamat produsen atau

distributor 0 0 46 100 46 100

3. Peringatan perhatian (precaution) 4 8,7 42 91,3 46 100

4. Zat aktif 13 28,3 33 71,7 46 100

5. Indikasi 45 97,8 1 2,2 46 100

6. Merek 46 100 0 0 46 100

Keterangan : n = jumlah iklan, % = persentase

Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO tahun 1988 dapat dikatakan ideal untuk kriteria penilaian iklan obat karena sudah ada pembagian kriteria berdasarkan target iklan dan klasifikasi informasi iklan obat yang harus dicantumkan dalam iklan juga jelas (Yunari, 2007). Tidak ada iklan obat dalam penelitian ini yang memenuhi seluruh kriteria dari WHO. Hasil evaluasi iklan obat ini, menunjukkan bahwa seluruh iklan obat dikatakan tidak lengkap (100%) menurut aturan WHO.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iklan obat yang beredar di Indonesia selama periode Juni, Juli dan Agustus tahun 2014 tidak mencantumkan informasi iklan obat yang lengkap menurut WHO tahun 1988. Informasi iklan obat berupa nama dagang, indikasi, dan zat aktif, telah dicantumkan pada sebagian besar iklan obat. Informasi yang tidak dicantumkan pada sebagian besar

(57)

iklan obat yaitu peringatan perhatian (precaution); kontraindikasi; dan nama dan alamat industri farmasi atau distributor. Beberapa penyebab tidak lengkapnya informasi iklan obat yaitu durasi iklan yang singkat (Yunita, 2007) dan mahalnya biaya iklan televisi dibandingkan media lain (Fajryah, 2009).

C. Evaluasi Iklan Obat Menurut Kepmenkes No. 386 Tahun 1994 Tentang Pedoman Periklanan

Iklan obat tidak hanya dievaluasi berdasarkan aturan dari WHO tahun 1988, tetapi juga berdasarkan aturan dari Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan. Evaluasi iklan obat dikatakan sesuai menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 bila semua informasi ditampilkan dalam iklan dan dikatakan tidak sesuai jika terdapat salah satu informasi yang tidak ditampilkan. Informasi yang harus ditampilkan dalam iklan obat menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan ditampilkan pada tabel VIII.

Hasil penelitian evaluasi kelengkapan informasi iklan obat menurut Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 386 tahun 1994 dapat dilihat pada lampiran 8. Lampiran 8 tersebut menunjukkan bahwa dari 46 iklan obat, tidak ada yang memenuhi kriteria kelengkapan informasi menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Iklan obat yang memenuhi kriteria kelengkapan informasi, dapat membantu masyarakat untuk menilai apakah obat tersebut sesuai atau tidak dengan kebutuhan dan keadaaan tubuh mereka (Turisno, 2012).

Gambar

Tabel I.   Batasan  Indikasi  Obat  Bebas  yang  Ditetapkan  Kepmenkes
Gambar 1.   Persentase  Evaluasi  Iklan  Obat  Periode  Juni,  Juli,  Agustus  2014  Menurut  DPI  (Dewan  Periklanan  Indonesia)  Tahun
Tabel I. Batasan Klaim Indikasi Obat Bebas yang Ditetapkan  Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan) No
Tabel II. Hasil Studi Pendahuluan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun skripsi ini berjudul “ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DALAM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Kasus di Lembaga

Sebuah media form yang berfungsi untuk mencari apa yang kita butuhkan agar lebih mudah dalam mencari sesuatu yang kita butuhkan baik artikel maupun gambar, video, musik dll

Pada tahapan ini, dilakukan pengujian menggunakan data titik panas pada tahun 2015 yang akan digunakan sebagai data testing dan dataset Kalimantan tahun 2005

Walaupun persentase penghambatan dari perlakuan M1 dan M2 cukup tinggi, namun belum bisa dikatakan berhasil sebagai agens hayati antagonis terhadap tipe liarnya karena

Di dalam kotak yang berisi 7 bola merah dan 6 bola kuning akan diambil 2 bola berturut- turut tanpa pengembalian .Peluang terambil yang pertama bola merah dan yang kedua bola

adalah suatu sistem penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan satuan kredit semester (sks) untuk menyatakan beban studi mahasiswa, beban kerja dosen, pengalaman belajar, dan

Dirgantara Indonesia didasarkan oleh faktor egoisme kelompok atau ada faktor lain yang lebih seusai dengan etika dan norma bisnis..  Apakah tindakan perlawanan yang dilakukan oleh

Menurut pendapat Perry & Potter (2005), faktor yang perlu mendapatkan perhatian rumah sakit dalam memberikan pelayanan keperawatan yang dapat meningkatkan kepuasan