• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPESIALISASI DAN KONSENTRASI SPASIAL INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KOTA SEMARANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SPESIALISASI DAN KONSENTRASI SPASIAL INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KOTA SEMARANG"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

SPESIALISASI DAN KONSENTRASI SPASIAL INDUSTRI

KECIL DAN MENENGAH DI KOTA SEMARANG

Agustina

Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro

Dra. Hj. Tri Wahyu Rejekiningsih, Msi

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro

Abstraksi

Pembangunan ekonomi dapat difokuskan pada pembangunan ekonomi regional, karena akan memberikan kontribusi pada pembangunan propinsi dan juga akan memberikan kontribusi pada pembangunan nasional. Terbentuknya Forum for

Economic Development and Employment Promotion (FEDEP) oleh Pemerintah Kota

Semarang pada tahun 2008, merupakan peran Pemerintah Kota Semarang dalam menyusun kebijakan pengembangan industri kecil dan menengah yang terarah dan berkesinambungan. Klaster/kawasan yang dibentuk FEDEP sampai dengan saat ini adalah Klaster Hasil Pengolahan Ikan dan Klaster Batik Semarangan. Permasalahan dalam penelitian ini terkait dengan pembentukan klaster oleh FEDEP yang diharapkan terdapat kesesuain lokasi dan subsektor industri yang ditetapkan oleh FEDEP dengan potensi Kota Semarang dan lokasinya. Sehingga prioritas perencanaan ekonomipun diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi secara tepat sasaran dan menghemat anggaran Pemerintah Kota Semarang.

Metode analisis yang digunakan adalah Indeks Location Quotient, Indeks Herfindahl, Indeks Spesialisasi dan Bilateral Krugman serta Indeks Ellison-Glaeser. Indeks Herfindahl digunakan untuk melihat tingkat spesialisasi yaitu share industri dari suatu wilayah. Wilayah dalam hal ini adalah kecamatan di Kota Semarang. Indeks LQ guna melihat share wilayah dan distribusi lokasi dari suatu industri. Indeks Spesialisasi dan Bilateral Krugman digunakan untuk menganalisis kesamaan struktur IKM wilayah dengan wilayah benchmark dan antar wilayah dalam mengukur tingkat kekuatan spesialisasi pada wilayah yang dianaisis. Tahun analisis yaitu tahun 1999 sampai 2006 oleh karena terbatasnya sumber data dari dinas perindustrian dan perdagangan Kota Semarang.

Hasil analisis Subsektor IKM unggulan Kota Semarang berdasarkan spesialisasi tingkat kecamatan adalah subsektor industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC 3.1), subsektor industri tekstil, pakaian jadi dan kulit (ISIC 3.2), dan subsektor kayu dan sejenisnya (ISIC 3.3). Terdapat pula beberapa wilayah konsentrasi IKM di Kota Semarang di antaranya Kecamatan Genuk (ISIC 3.6), dimana wilayah konsentrasi tersebut terjadi karena adanya agglomeration effect, dan wilayah Kecamatan Gayamsari (ISIC 3.9). Selain itu juga terdapat beberapa wilayah

(2)

konsentrasi IKM yang potensial untuk dikembangkan yaitu Kecamatan Semarang Selatan, Gajah Mungkur, Candisari, dan Tembalang (ISIC 3.4).

Kata Kunci : Spesialisasi, Konsentrasi Spasial, Industri, IKM

Latar Belakang

Tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia adalah mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Dimana salah satunya strateginya adalah melalui pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pembangunan ekonomi dapat difokuskan pada pembangunan ekonomi regional kabupaten dan kota, sebagai tujuan pembangunan ekonomi nasional. Pembangun kabupaten dan kota akan memberikan kontribusi pada pembangunan Provinsi dan juga akan memberikan kontribusi pada pembangunan nasional (Mudrajad, 2002). Salah satu ciri hal yang paling mencolok dari aktivitas ekonomi secara geografis adalah adanya konsentrasi yang menyebabkan ketimpangan (Fujita, et al, 1991).

Kontribusi paling besar dalam PDRB Provinsi Jawa Tengah adalah pada Sektor Industri manufaktur. Pembangunan sektor industri manufaktur (manufacturing

industry) hampir selalu mendapat prioritas utama dalam rencana pembangunan

negara-negara sedang berkembang (NSB), hal ini karena sektor industri manufaktur dianggap sebagai sektor pemimpin (the leading sector) yang mendorong perkembangan sektor lainnya, seperti sektor jasa dan pertanian. Pengalaman pertumbuhan ekonomi jangka panjang di negara industri dan negara sedang berkembang menunjukkan bahwa sektor industri secara umum tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian (Lincoln, 1991). Berdasarkan kenyataan ini tidak mengherankan jika peranan sektor industri manufaktur semakin penting dalam berkembangnya perekonomian suatu negara termasuk juga Indonesia.

Kota Semarang ditetapkan sebagai pusat utama Jawa Tengah. Kecenderungan yang terjadi adalah perkembangan Kota Semarang sebagai Ibukota Jawa Tengah. Hal ini merupakan salah satu indikator tingkat prestasi Kota Semarang terhadap kota-kota

(3)

lain di Jawa Tengah. Sebagai ibukota Provinsi, Kota Semarang menjadi parameter kemajuan kota-kota lain di Provinsi Jawa Tengah (Bappeda, 2006)

Pengembangan Kota Semarang memiliki arah sebagai berikut:

1. Sebagai pusat kegiatan ekonomi untuk wilayah Jawa Tengah yang ditunjang dengan keberadaan Pelabuhan Tanjung Emas.

2. Sebagai kota utama yang secara sosio-ekonomi mempengaruhi perkembangan sistem perwilayahan Jawa Tengah.

3. Sebagai pusat urban yang menunjang kegiatan sosio-ekonomi wilayah.

Kota Semarang sebagai kota Jawa Tengah memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Jawa Tengah. Pertumbuhan ekonomi disamping dapat berdampak pada peningkatan pendapatan, pada akhirnya juga akan berpengaruh pada pendapatan daerah. Semakin mampu menggali potensi perkonomian daerah yang dimiliki akan semakin besar PDRB maupun PAD, sehingga mampu meningkatkan keuangan daerah dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah.

Pada tahun 2000 Pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian pada perspektif dan pendekatan klaster dalam kebijakan nasional dan regional. Pendekatan klaster tersebut ditujukan pada sektor industri manufaktur untuk mendorong spesialisasi produk serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas (Kompas, 19/8/2000). Di tahun 2006 Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD) Jawa Tengah menerapkan program pengembangan IKM dengan pendekatan Klaster. Dari hasil baseline studi FPESD, kendala dalam pembinaan IKM adalah program yang masih sektoral, belum adanya sinergi antar sektor, serta kurang melibatkan peran banyak pihak. Oleh sebab itu diperlukan dibentukya lembaga pengembangan ekonomi lokal pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dimana lembaga itu terdiri dari Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.

Beberapa alasan memilih pendekatan klaster menurut Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD) Jawa Tengah adalah pertama, sebagai pengembangan UMKM secara mengelompok yang akan mempermudah kebijakan

(4)

dan pengalokasian sumberdaya. Kedua, yaitu berprinsip pada penguatan sumber daya lokal: potensi dari sumber daya manusia, mobilisasi stakeholder lokal, kerjasama dan kebersamaan, sesuai dengan visi misi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Visi misi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yaitu “Bali Desa Mbangun Desa”, mendorong usaha mikro dan kecil mendapatkan manfaat external economy dan efisiensi kolektif serta meningkatkan produktifitas, value added dan penyerapan tenaga kerja. Kota Semarang sendiri membentuk Forum for Economic Development and Employment

Promotion (FEDEP) di tahun 2008.

Dari Tabel 2 dapat dilihat tingkat Kesempatan Kerja mengalami trend yang menurun. Peningkatan jumlah penduduk bekerja di tahun 2005 dan penurunan di tahun 2006, ternyata juga diikuti dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja IKM (2005) dan penurunan penyerapan tenaga kerja (2006) (lihat Tabel 1.3). IKM memiliki beberapa keunggulan dalam pelaksanaan usahanya. Keunggulannya yaitu memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan usaha besar. Hal ini dikarenakan IKM dinilai lebih efisien, modal usahanya tidak terlalu besar, serta tenaga kerja yang diserap lebih banyak (Manggara, 2004). Oleh sebab itu, dengan meningkatnya jumlah unit usaha dan penyerapan tenaga kerjanya, IKM diharapkan mampu memberi kontribusi besar dalam perekonomian.

Tabel 1

Tenaga Kerja Industri Besar Sedang dan Industri Kecil Menengah di Kota Semarang

Selama Tahun 2004-2006 di Kota Semarang Dalam Orang dan Persen

Jenis Industri 2004 2005 2006

IKM 65.551 44,24% 65.777 45,58% 41.893 30,34% IBS 82.618 55,76% 78.535 54,42% 96.208 69,66% Total 148.169 100% 144.312 100% 138.101 100% Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, BPS

IKM : Industri Kecil dan Menengah IBS : Industri Besar dan Sedang

(5)

Tabel 2

Jumlah Angkatan Kerja, Bekerja, Mencari Kerja, di Kota Semarang Tahun 2003-2008 Dalam Orang dan Persen

Tahun Angkatan Kerja Penduduk Bekerja Mencari Kerja Tingkat Kesempatan Kerja

2003 978.949 599.554 51.583 61,24% 2004 962.916 570.509 79.270 59,25% 2005 952.056 633.432 65.584 66,53% 2006 1.176.275 633.308 68.810 53,84% 2007 1.193.076 663.053 85.249 55,58% 2008 1.215.414 658.929 85.710 54,21%

Sumber : Kota Semarang Dalam Angka, BPS

Salah satu pendekatan terintegrasi yang dipandang sesuai dengan pengembangan IKM yaitu melalui pendekatan kelompok serta membangun jaringan usaha yang saling terkait. Pendekatan pengembangan aktivitas usaha IKM secara berkelompok ini dikenal dengan istilah sentra, dimana beberapa IKM melakukan kegiatan usaha yang sejenis. Kemudian untuk meningkatkan kapasitas serta daya saing usaha IKM dalam sentra ini dapat dikembangkan beberapa usaha yang cakupannya berbeda tetapi masih saling terkait menjadi bentuk klaster.

Kota Semarang telah membentuk Forum for Economic Development and

Employment Promotion FEDEP sebagai pengembangan kelembagaan ekonomi

kerakyatan guna mengembangkan ekonomi daerah dan penciptaan/perluasan lapangan kerja. FEDEP menjadi salah satu sarana guna memberikan platform ideal untuk mendiskusikan isu-isu strategis atas pembangunan daerah dalam program jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Salah satu tugasnya adalah mengembangkan IKM melalui pendekatan klaster.

Hingga saat ini FEDEP Kota Semarang telah membentuk 2 klaster. Pertama klaster hasil pengolahan ikan di wilayah Pantai Utara Kota Semarang yaitu Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, Semarang Timur dan Genuk. Kedua adalah klaster batik semarangan yang berpusat di Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur.

Masalah dari penelitian ini terkait pada Program FEDEP yang mengembangkan IKM di Kota Semarang dengan pendekatan klaster/kawasan. Klaster

(6)

yang dibentuk hingga saat ini adalah klaster hasil pengolahan ikan (ISIC 3.1) di Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, danh Genuk. Serta Batik Semarangan (ISIC 3.2) di Kecamatan Semarang Timur. Penelitian ini akan melihat kesesuain lokasi dan subsektor industri yang ditetapkan oleh FEDEP dengan potensi Kota Semarang dan lokasinya. Sehingga prioritas perencanaan ekonomipun diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi secara tepat sasaran dan menghemat anggaran Pemerintah Kota Semarang.

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan spesialisasi industri kecil dan menengah di Kota Semarang sesuai dengan potensi wilayahnya.

2. Mendeskripsikan dimana Industri Kecil Menengah di Kota Semarang terkonsentrasi secara spasial.

Landasan Teori Konsentrasi Spasial

Konsentrasi spasial merupakan pengelompokan setiap industri dan aktivitas ekonomi secara spasial, dimana industri tersebut berlokasi pada suatu wilayah tertentu (Fujita et, al 1999). Krugman menyatakan bahwa dalam konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial, ada 3 hal yang saling terkait yaitu interaksi antara skala ekonomi, biaya transportasi dan permintaan. Untuk mendapatkan dan meningkatkan kekuatan skala ekonomis, perusahaan-perusahaan cenderung berkonsentrasi secara spasial dan melayani seluruh pasar dari suatu lokasi. Sedangkan untuk meminimalisasi biaya transportasi, perusahaan perusahaan cenderung berlokasi pada wilayah yang memiliki permintaan lokal yang besar, akan tetapi permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar terkonsentrasinya aktivitas ekonomi, seperti kawasan industri maupun perkotaan (Fujita et, al 1999). Konsentrasi spasial adalah aktivitas ekonomi secara spasial menunjukkan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses yang selektif dan hanya terjadi pada kasus tertentu bila dipandang dari segi geografis.

(7)

Klaster (Cluster)

Marshal (Kacung Marijan, 2005) mengemukakan klaster industri pada dasarnya merupakan kelompok aktifitas produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan kebanyakan terspesialisasi pada satu atau dua industri utama saja. Marshall juga menekankan pentingnya tiga jenis penghematan eksternal yang memunculkan sentra industri: konsentrasi pekerja terampil, berdekatannya para pemasok spesialis, dan tersedianya fasilitas untuk mendapatkan pengetahuan. Adanya jumlah pekerja terampil dalam jumlah yang besar memudahkan terjadinya penghematan dari sisi tenaga kerja. Lokasi para pemasok yang berdekatan menghasilkan penghematan akibat spesialisasi, yang muncul dan terjadinya pembagian kerja yang meluas antar perusahaan dalam aktifitas dan proses yang saling melengkapi. Tersedianya fasilitas untuk memperoleh pengetahuan terbukti meningkatkan penghematan akibat informasi dan komunikasi melalui produksi bersama, penemuan dan perbaikan dalam mesin, proses dan organisasi secara umum.

Secara singkat, klaster adalah firm-firm yang terkonsentrasi secara parsial dan saling terkait dalam industri (Porter, 1998). Klaster sebagai konsentrasi geografis yang terbentuk dari keterkaitan kebelakang, keterkaitan kedepan, keterkaitan vertikal dan keterkaitan tenaga kerja (Nadvi dan Schmitz, 1999).

Ada tiga bentuk klaster berdasarkan perbedaan tipe dari eksternalitas dan perbedaan tipe dari orientasi dan intervensi kebijakan (Kolehmainen, 2002), yaitu :

1. The Industrial Districts Cluster

a. Industrial district cluster atau yang biasa disebut dengan Marshalian Industrial District adalah kumpulan dari perusahaan pada industri yang terspesialisasi dan terkonsentrasi secara spasial dalam suatu wilayah (Marshal,1920). Pandangan Marshal mengenai industrial district masih relevan sampai saat ini dan secara empiris masih dapat dijumpai.

2. The industrial complex cluster.

Industrial complex cluster berbasis pada hubungan antar perusahaan yang

(8)

wilayah. Hubungan antar perusahaan sengaja dimunculkan untuk membentuk jaringan perdagangan dalam klaster.

3. The Social Network cluster.

Social Network cluster menekankan pada aktifitas sosial, ekonomi, norma–norma

institusi dan jaringan. Model ini berdasarkan pada kepercayaan dan bahkan hubungan informal antar personal. hubungan interpersonal dapat menggantikan hubungan kontrak pasar atau hubungan hirarki organisasi pada proses internal dalam klaster.

Spesialisasi

Menurut OECD (2000), spesialisasi industri menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi pada suatu wilayah dikuasai oleh beberapa industri tertentu. Suatu wilayah dapat diartikan sebagai wilayah yang terspesialisasi apabila dalam sebagian kecil industri pada wilayah tersebut memiliki pangsa yang besar terhadap keseluruhan industri. Struktur industri yang terspesialisasi pada industri tertentu menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki keunggulan berupa daya saing pada industri tersebut.

Aglomerasi

Aglomerasi mengandung dua pengertian. Pengertian pertama adalah proses yang dilakukan secara bersama-sama dalam melakukan mobilitas secara spasial. Pengertian kedua menjelaskan suatu bentuk lokasional, terutama bagaimana aktivitas ekonomi terkonsentrasi secara spasial. Konsep aglomerasi ekonomi bersumber dari fenomena nyata dan diawali oleh teori lokasi yang dikemukakan Weber, dimana menurut Weber, ada 3 faktor yang menjadi alasan firm dalam menentukan lokasi industri, yaitu:

1. Perbedaan biaya transportasi 2. Perbedaan biaya upah 3. Penghematan aglomerasi

Usaha Kecil dan Menengah

UKM sebagai sumber pertumbuhan ekonomi regional yang mampu mereduksi ketimpangan. Pentingnya peran UKM dalam pembangunan regional tercermin dari

(9)

UKM sebagai faktor-faktor pembangunan asli. Adanya dampak positif yang berlanjut dari keberadaan UKM dalam pembangunan daerah. Kontribusinya terhadap pembangunan lokal atau daerah adalah kemampuannya menggali potensi daerah sekaligus menentukan pola pembangunan ekonominya.

Industri Kecil dan Menengah

Definisi industri kecil menurut Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah yang diterbitkan Disperindag Republik Indonesia (2002) yaitu, industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang maupun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai nilai kekayaan bersih paling banyak dua ratus juta rupiahdan mempunyai nilai penjualan pertahun sebesar satu milyar rupiah atau kurang.

Industri menengah adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial yang mempunyai nilai penjualan pertahun lebih besar dari satu milyar rupiah namun kurang dari 50 milyar rupiah.

Industri Manufaktur

Industri merupakan suatu kegiatan atau usaha mengolah bahan atau barang agar memiliki nilai yang lebih baik untuk keperluan masyarakat di suatu tempat tertentu. Pada hakekatnya pembangunan industri ditujukan untuk menciptakan struktur ekonomi yang kokoh dan seimbang, yaitu struktur ekonomi dengan titik berat pada industri yang maju dan didukung oleh pertanian yang tangguh.

FEDEP

Provinsi Jawa Tengah teah mengembangkan kelembagaan ekonomi kerakyatan dengan nama FPSED (forum pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya), sejalan dengan hal tersebut di Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah telah terbentuk kelembagaan yang disebut FEDEP dan Kota Semarang sesuai dengan surat Gubernur dan Kepala Bappeda diharapkan segera menyusul untuk membentuk FEDEP tersebut, yang diharapkan dapat terjalin komunikasi antar kabupaten dan Kota se Jawa Tengah.

(10)

FEDEP (Forum for Economic Development and Employment Promotion) atau forum pengembangan ekonomi dan peciptaan atau perluasan lapangan kerja merupakan forum kemitraan yang terlembaga bagi para pelaku di daerah yang relevan bertujuan untuk mempercepat pembangunan ekonomi melalui kegiatan-kegiatan usaha bersama, FEDEP menggabungkan organisasi dan individu dari sector public maupun swasta.

Metode Analisis

Metode analisis data meliputi analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kualitatif, digunakan untuk menilai objek penelitian berdasarkan sifat tertentu dimana dalam penilaian sifat dinyatakan tidak dalam angka-angka dan digunakan untuk menjelaskan analisis data yang diolah. Dalam analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah LQ, Indeks Spesialisasi Krugman, Indeks Herfindahl, Indeks Ellison Glaeser.

Spesialisasi

Spesialisasi didefinisikan sebagai keunggulan yang dimiliki suatu wilayah dalam mengoptimalkan sumberdaya lokal, dimana subsektor IKM di wilayah tersebut memiliki kontribusi lebih besar dibanding wilayah aggregat. Tingkat spesialisasi diukur dari share tenaga kerja IKM subsektor S di kecamatan i terhadap Jumlah tenaga kerja IKM di kecamatan i secara keseluruhan (Nurul, 2005).

Spesialisasi IKM dapat dilihat dari besaran indeks spesialisasi Krugman dan indeks spesialisasi bilateral. Keduanya menganalisis kesamaan struktur IKM suatu wilayah dengan wilayah benchmark dan antar wilayah dalam mengukur tingkat kekuatan spesialisasi pada wilayah yang dianalisis. Tidak adanya kesamaan struktur antara wilayah menunjukkan bahwa masing-masing wilayah terspesialisasi pada industri unggulan masing-masing. Sebaliknya, adanya kesamaan struktur industri menunjukkan semakin berkurangnya tingkat spesialisasi wilayah yang berarti semakin menurunnya daya saing daerah.

Kim (1995) menyatakan bahwa nilai yang menjadi standar pengukuran KSPEC dan BSPEC berkisar antara nilai nol dan dua. Nilai nol menunjukkan bahwa adanya

(11)

kesamaan struktur industri antara wilayah yang dianalisis dengan wilayah yang dijadikan benchmark. Nilai dua menunjukkan tidak adanya kesamaan struktur antara wilayah yang dianalisis sehingga masing-masing wilayah yang dianalisis terspesialisasi pada industri unggulan masing-masing (Erlangga, 2004).

(1)

KSPEC atau indeks spesialisasi regional menunjukkan tingkatan spesialisasi suatu

wilayah bila dengan wilayah lain dengan wilayah bersama sebagai benchmark. Dalam konteks Kota Semarang, yang menjadi benchmark dalam menganalisis KSPEC pada i

adalah struktur industri Kota Semarang. KSPEC bernilai dua apabila struktur industri

industri pada wilayah i tidak memiliki kesamaan dengan struktur industri di Kota Semarang secara keseluruhan. KSPEC bernilai nol apabila struktur industri daerah i

memiliki kesamaan dengan struktur industri Kota Semarang secara keseluruhan.

KSPEC wilayah i bernilai lebih besar daripada satu sampai dengan lebih kecil sama

dengan dua menunjukkan bahwa wilayah i lebih terspesialisasi dari pada wilayah lain di Kota Semarang, Erlangga (2004).

(2)

Pada sisi lain, BSPEC digunakan untuk melihat apakah ada persamaan struktur antara

dua wilayah yang dianalisis secara bilateral. Dalam Kota Semarang, wilayah yang dianalisis secara bilateral adalah wilayah i dan j dimana j juga melambangkan kecamatan di Kota Semarang. BSPEC sebesar dua menunjukkan bahwa wilayah i dan j

memiliki struktur indutsri yang berbeda. BSPEC sebesar nol menunjukkan bahwa

wilayah i dan j memiliki kesamaan struktur industri yang sangat berkaitan dengan konsentrasi spasial pada IKM.

3.5 Konsentrasi Spasial

BSPEC = Σ

|

ViS - VjS

|

S=1

(12)

Konsentrasi spasial yang lebih luas di lambangkan dengan Xi yang menunjukkan kontribusi tenaga kerja IKM kecamatan i (TKi) terhadap tenaga kerja IKM Kota Semarang (TK). Perbandingan nilai Xi antara daerah i= (1…..N) menunjukkan distribusi lokasional IKM di Kota Semarang. Salah satu pendekatan yang paling sering digunakan adalah dalam menganalisis spesialisasi daerah yang disebut Hoover-Balassa koefisien (Erlangga, 2004). Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi relatif dalam industri pada suatu wilayah terjadi apabila spesalisasi industri pada suatu wilayah lebih besar daripada spesialisasi industri pada wilayah

agregat (Mudrajad, 2004).

Nilai LQ>1 menunjukkan bahwa subsektor S terspesialisasi secara relatif di wilayah i. Berdasarkan tinjauan pustaka dan teori basis, Subesektor S merupakan subsektor unggulan yang layak untuk dikembangkan di wilayah i dan demikian pula sebaliknya apabila LQ<1 maka subsektor S bukan merupakan subsektor unggulan daerah tersebut.

Salah satu pendekatan yang sering digunakan menganalisis konsentrasi spasial adalah Herfindahl Indeks yang dilambangkan dengan HS yang menunjukkan distribusi lokasi pada subsektor S di wilayah Kota Semarang. Nilai HS berkisar antara nol dan satu, semakin tinggi HS maka distribusi lokasi semakin tidak merata dan industri kecil

dan menengah pada subsektor S cenderung terkonsentrasi pada wilayah tertentu (3)

Pendekatan lain dalam menganalisis konsentrasi spasial dikemukakan oleh Ellison dan Glaeser (1997), ditujukan untuk mengisolasi efek dari konsentrasi spasial. Model yang dikemukakan diturunkan dari indeks yang berbasis tenaga kerja:

(4) LQ = = Vi S VS Xi SiS HS = Σ (SiS)2 M i=1 gEG = Σ (SiS – Xi )2 M i=1

(13)

γ

EG =

GEG – H f

1 – H f

gEG biasa disebut dengan Gini lokasional, manunjukkan tingkat spesialisasi

suatu sektor dan konsentrasi spasial antara beberapa wilayah. Indeks yang dikembangkan dari gEG telah digunakan oleh Ellison dan Glaeser untuk menganalisa

konsentrasi spasial dari industri manufaktur di Amerika Serikat, berdasarkan analisa yang telah dilakukan, Ellison dan Glaeser berkesimpulan bahwa pada industri yang terspesialisasi, konsentrasi spasial terjadi karena natural advantage dan knowledge

spillover (disebut juga Marshal-Arrow-Romer atau MAR eksternalitas). Akan tetapi

sangat sulit untuk mengukur dorongan dari knowledge spillover terhadap konsentrasi spasial. Oleh karena itu, Ellison dan Glaeser (1999) mengemukakan tentang kontribusi natural advantages berdasarkan factor endowment yang secara simultan mempengaruhi dan mendorong skala ekonomi internal perusahaan, untuk itu Ellison dan Glaeser membangun indikator untuk merefleksikan kontribusi dari natural

advantages dan knowledge spillover yaitu:

(5) Indikator

EG tersebut dibangun dari persamaan (6) dan persamaan (7), dimana:

(6)

GEG atau yang biasa disebut dengan raw concentration menunjukkan besarnya

kekuatan agglomerasi yang mendorong konsentrasi spasial dan disusun berdasarkan persamaan.

(7)

H f merupakan firm size’s herfindahl yang menunjukkan distribusi tenaga kerja pada industri sedangkan ZSf adalah firm size yang dikalkulasi berdasar share tenaga kerja

firm terhadap tenaga kerja industri. Karena tidak tersedianya data, maka dalam penelitian ini digunakan H sebagai proxy untuk menggantikan H f dengan

GEG = gEG 1 – Σ (Xi)2 M i=1 H = Σ (ZSf)2 L f =1

(14)

berdasarkan pada pendekatan yang dilakukan oleh Combes dan Lafourcade dalam Ellison dan Glaeser (1997) dimana:

(8)

Oleh karena itu, dengan mengganti H f dengan H maka persamaan (5) akan berubah menjadi:

(9)

Berdasarkan pengamatan empiris yang dilakukan oleh Ellison dan Glaeser, γEG menunjukkan pengaruh natural advantage dan knowledge spillover terhadap konsentrasi spasial dari industri. Ellison dan Glaeser (1997) menyatakan bahwa standar pengukuran dari indeks tersebut adalah: dibawah 0,02 menunjukkan dispersi dan diatas 0,05 menunjukkan terjadinya agglomerasi yang kedua-duanya disebabkan oleh pengaruh natural advantage dan knowledge spiller.

Penelitian ini menggunakan metode yang digunakan oleh Ellison Glaeser dalam penelitiannya. Ellison dan Glaeser dalam penelitiannya menentukan 0,02 dan 0,05 sebagai standar pengukuran. Nilai standar pengukuran 0,02 berasal dari median γEG dan standar pengukuran 0,05 berasal dari mean γEG. Pendekatan dalam menentukan standar median dan mean γEG diikuti oleh berbagai pengamatan empiris antara lain yang dilakukan oleh Maurel dan Sedillot (1999) maupun Lafourcade dan Mion (2003). Oleh karena dalam penelitian ini, standar pengukurannya menggunakan metode yang sama dangan penelitian sebelumya yaitu: nilai γEG dibawah median γEG menunjukkan dispersi dan diatas mean γEG menunjukkan terjadinya aglomerasi dimana terjadinya dispersi dan agglomerasi disebabkan oleh pengaruh natural

advantage dan knowledge spillover. Analisis Data dan Pembahasan

Dari data tenaga kerja tahun 1999 sampai 2006 menunjukkan bahwa struktur industri kecil dan menengah di Kota Semarang memiliki struktur yang didominasi oleh industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC 3.1). Dominasi industri

γ

EG =

GEG – H

(15)

makanan, minuman dan tembakau selalu mendominasi sejak tahun 1999 hingga tahun 2006. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.6 yang memperlihatkan bahwa struktur industri kecil dan menengah Kota Semarang masih tradisional yang dilihat dari dominasi subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau (ISIC 3.1). Subsektor lainnya yang memiliki tenaga kerja besar setelah subsektor industri makanan, minuman dan tembakau adalah Industri Kayu dan Sejenisnya (ISIC 3.3) sebesar 19 persen dan industri tekstil, pakaian jadi dan kulit (ISIC 3.2) sebesar 17 persen.

Distribusi aktivitas IKM di Kota Semarang secara umum relatif tidak merata dan cenderung terkonsentrasi pada beberapa wilayah bahwa IKM di Kota Semarang terkonsentrasi pada Kecamatan Genuk dan Gayamsari. Kecamatan Genuk menjadi daerah terkonsentrasinya tenaga kerja IKM di Kota Semarang, dimana menyerap lebih dari 26 persen tenaga kerja dari keseluruhan tenaga kerja IKM di Kota Semarang.

Spesialisasi dan Karakteristik Industri Kecil dan Menengah di Kota Semarang

Pada Tabel 4.8 diperlihatkan Krugman Spesialisasi Indeks (KSPEC) pada wilayah Kecamatan Gunung Pati di tahun 1999 sebesar 1,6433. Nilai ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah yang terspesialisasi secara relatif apabila dibandingkan dengan kecamatan lain di Kota Semarang dan memiliki perbedaan struktur IKM yang paling besar apabila dibandingkan dengan Kecamatan lain dengan struktur IKM Kota Semarang sebagai benchmark. Perkembangan Krugman Spesialisasi Indeks (KSPEC) tiap tahunnya tidak selalu didominasi dari Kecamatan Gunung Pati saja, Gunung Pati hanya mendominasi nilai indeks pada tahun 1999 dan 2004. Tahun 2000 sampai 2002 indeks tertinggi oleh Kecamatan Mijen sedangkan Kecamatan Gajah Mungkur mendominasi di tahun 2003. Untuk tahun 2005 dan 2006 nilai indeks terbesar oleh Kecamatan Banyumanik.

(16)

Tabel 4.8

KSPEC Indeks berdasarkan Kecamatan di Kota Semarang

Tahun 1999 Sampai 2006 Kecamatan 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tugu 0,7745 0,8145 0,8176 0,8181 0,8408 0,8335 0,5421 0,5789 Genuk 0,5182 0,5160 0,5247 0,5104 0,4888 0,4554 0,5483 0,5382 Pedurungan 0,4869 0,4299 0,3699 0,4473 0,5425 0,5491 0,6645 0.6138 Ngaliyan 0,9700 0,9924 0,9893 0,8941 0,8109 0,7819 0,8178 0,6244 Gunngpati 1,6433 0,9817 0,9644 0,9611 0,9553 0,9413 0,9799 0,9911 Mijen 1,3826 1,0338 1,0641 1,0606 0,9793 0,9530 0,9501 0,9759 Tembalang 0,8190 0,6202 0,6102 0,5202 0,7136 0,6568 0,8222 0,6904 Candisari 0,5452 0,6151 0,6381 0,6405 0,5981 0,5230 0,3471 0,3072 Gayamsari 0,7764 0,8171 0,8220 0,8128 0,7609 0,7690 0,6193 0,6260 Gajahmungkur 0,9171 1,0272 1,0130 1,0114 0,9868 0,8758 0,9186 0,8968 Banyumanik 0,9496 0,9051 0,9076 0,9100 0,9035 0,8972 1,0527 1,0357 Semarang timur 0,5569 0,5197 0,5199 0,5209 0,5412 0,5123 0,6182 0,6219 Semarang barat 0,4506 0,3942 0,4028 0,4068 0,3003 0,3209 0,3934 0,3632 Semarang selatan 0,7866 0,6834 0,6677 0,6490 0,5686 0,5683 0,6069 0,5201 Semarang tengah 0,8712 0,6626 0,6781 0,6867 0,7289 0,7208 0,4480 0,4542 Semarang utara 0,5408 0,5322 0,5489 0,5494 0,5713 0,5427 0,3572 0,3671

Apabila diperbandingkan struktur industri antara kecamatan di Kota Semarang secara bilateral dengan Krugman bilateral indeks (BSPEC), akan terlihat bahwa secara kumulatif pada tahun 1999, Kecamatan Gunung Pati dan Kecamatan Semarang Tengah memiliki struktur ekonomi yang berbeda dan memiliki spesialisasi masing-masing yang juga sangat berbeda. Sementara perbandingan antara Kecamatan Semarang Timur dengan Kecamatan Semarang Barat secara relatif merupakan dua daerah yang memiliki kesamaan struktur industri di Kota Semarang dengan nilai BSPEC terendah. Dilihat dari BSPEC Krugman bilateral indeks menurut kecamatan, Kecamatan Banyumanik dan Gajah Mungkur merupakan dua wilayah yang memiliki struktur ekonomi yang berbeda dan memiliki spesialisasi masing-masing yang juga sangat berbeda. Sementara perbandingan antara Kecamatan Semarang Timur dengan Kecamatan Semarang Barat secara relatif merupakan dua daerah yang memiliki kesamaan struktur.

Implikasi dari pengukuran spesialisasi bilateral adalah dalam kebijakan industri antar daerah, dimana dalam pembangunan industri pada suatu daerah tidak

(17)

terlepas dengan peranan daerah pendukung dari industri tersebut. Pada dasarnya, koordinasi dan kerjasama sebaiknya ditekankan pada wilayah aglomerasi industri yang mencakup wilayah kecamatan dalam suatu kabupaten/ kota maupun wilayah yang memiliki keseragaman dalam struktur industri antar wilayah. (Erlangga, 2004).

Konsentrasi Spasial dan Distribusi Lokasional

Survei literatur dan penelitian sebelumnya pada tinjauan pustaka telah dijelaskan bahwa terdapat perbedaan makna antara spesialisasi dan konsentrasi. Spesialisasi pada IKM di Kota Semarang telah dijelaskan sebelumnya, oleh karena itu kemudian akan dijelaskan tentang konsentrasi spasial dari IKM berdasarkan subsektor di Kota Kota Semarang.

Herfindahl indeks menurut subsektor IKM di Kota Semarang sepanjang tahun 1999 sampai 2006 terkonsentrasi pada ISIC 3.6 (Subsektor Industri Barang Galian Non Logam, Kecuali Minyak Bumi dan Batu Bara). IKM dengan ISIC 3.6 memiliki Herfindahl indeks terbesar pada tahun 2000 sampai tahun 2002 yaitu sebesar 0,6560 yang menunjukkan bahwa IKM tersebut memiliki distribusi spasial yang paling tidak merata dan cenderung terkonsentrasi secara spasial pada salah satu Kecamatan di Kota Semarang. Hal tersebut seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Ellison-Glaeser mengemukakan peranan knowledge spillover dan

natural advantage dalam mendorong terjadinya konsentrasi spasial. IKM pada

subsektor industri barang galian non logam, kecuali minyak bumi dan batu bara (ISIC 3.6) tersebut terkonsentrasi pada Kecamatan Genuk, bahkan sepanjang tahun 1999 sampai 2006 nilainya selalu tertinggi dibandingkan kecamatan lainnya di Kota Semarang. Untuk nilai Herfindahl Indeks paling rendah sepanjang tahun 1999 sampai 2006 adalah pada subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau (3.1) dan terkonsentrasi pada wilayah Kecamatan Pedurungan. Hal tersebut menunjukkan semakin meratanya distribusi spasial IKM di subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau (3.1).

Tabel 3

(18)

di Kota Semarang Tahun 1999 Sampai 2006 Subsektor 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 3.1 0,1186 0,1158 0,1151 0,1137 0,1124 0,1118 0,1370 0,1317 3.2 0,2768 0,2498 0,2471 0,2471 0,2445 0,2445 0,1477 0,1466 3.3 0,2292 0,2321 0,2577 0,2425 0,2186 0,2077 0,1636 0,1603 3.4 0,1392 0,1122 0,1128 0,1103 0,1105 0,1067 0,1355 0,1280 3.5 0,1807 0,1799 0,1799 0,1782 0,1757 0,1729 0,1439 0,1402 3.6 0,5929 0,6560 0,6560 0,6560 0,5181 0,5181 0,4814 0,4648 3.7 0,4610 0,4768 0,4768 0,4768 0,4626 0,4626 0,4364 0,4364 3.8 0,4204 0,4111 0,4111 0,4034 0,4034 0,4076 0,2153 0,1947 3.9 0,2628 0,3518 0,3416 0,3392 0,3287 0,3131 0,2422 0,2382 Berdasarkan kecamatan kontribusi terbesar natural advantage dan knowledge

spillover pada konsentrasi spasial IKM di Kota Semarang terlihat pada ISIC 3.6

(subsektor industri barang galian non logam, kecuali minyak bumi dan batu bara) yang memiliki Ellison-Glaeser terbesar yaitu 0,57 (Tabel 4). IKM tersebut terkonsentrasi di Kecamatan Genuk namun dari data dapat diketahui bahwa sejak tahun 1999 sampai 2006 nilai dari Ellison-Glaeser Indeks berkisar antara 0,62 sampai 0,81 untuk subsektor 3.6 pada Kecamatan Genuk. Hal ini berarti lebih dari 60 persen tenaga kerja dari seluruh kecamatan di Kota Semarang terspesialisasi di Kecamatan Genuk. Nilai ini mengalami naik turun yang relatif stabil tiap tahunnya. Walau mengalami penurunan nilai di tahun 2003 namun kembali meningkat di tahun 2005 dan turun lagi di tahun 2006. Naik turunnya nilai ini menunjukan naik turunnya kontribusi natural advantage dan knowldge spillover pada konsentrasi spasial IKM di subsektor ISIC 3.6

Tabel 4

g

EG, GEG dan

γ

EG IKM Menurut Subsektor

di Kota Semarang Tahun 1999 Sampai 2002

Subsekto r 1999 2000 2001 2002 gEG GEG γEG gEG GEG γEG gEG GEG γEG gEG GEG γEG 3.1 0.0580 0.067 3 0.067 9 0.057 1 0.066 2 0.066 8 0.057 8 0.067 2 0.067 8 0.054 0 0.062 7 0.063 2 3.2 0.1089 0.126 4 0.127 6 0.096 7 0.112 1 0.113 1 0.097 0 0.112 9 0.113 9 0.097 1 0.112 7 0.113 7 3.3 0.0335 0.038 9 0.039 3 0.033 3 0.038 6 0.039 0 0.042 3 0.049 2 0.049 7 0.037 3 0.043 3 0.043 7 3.4 0.0222 0.025 8 0.026 1 0.022 8 0.026 4 0.026 7 0.021 5 0.025 0 0.025 2 0.018 9 0.022 0 0.022 2 3.5 0.0472 0.054 8 0.055 3 0.046 1 0.053 4 0.053 9 0.045 0 0.052 3 0.052 8 0.042 9 0.049 8 0.050 2

(19)

3.6 0.2773 0.321 7 0.331 0 0.313 7 0.363 7 0.374 2 0.304 4 0.354 1 0.364 3 0.307 2 0.356 6 0.366 9 3.7 0.3539 0.410 7 0.422 8 0.362 1 0.419 7 0.432 1 0.363 6 0.422 9 0.435 4 0.364 5 0.423 2 0.435 6 3.8 0.1384 0.160 6 0.162 4 0.130 7 0.151 5 0.153 2 0.124 9 0.145 3 0.146 9 0.121 5 0.141 0 0.142 6 3.9 0.2110 0.244 8 0.248 6 0.258 3 0.299 4 0.304 0 0.256 1 0.297 9 0.302 5 0.253 2 0.293 9 0.298 5 Tabel 5

g

EG, GEG dan

γ

EG IKM Menurut Subsektor

di Kota Semarang Tahun 2003 Sampai 2006

Subsektor 2003 2004 2005 2006 gEG GEG γEG gEG GEG γEG gEG GEG γEG gEG GEG γEG 3.1 0.0540 0.0625 0.0630 0.0432 0.0500 0.0504 0.0236 0.0266 0.0268 0.0208 0.0233 0.0235 3.2 0.0949 0.1099 0.1109 0.0971 0.1123 0.1134 0.0390 0.0440 0.0444 0.0403 0.0452 0.0456 3.3 0.0279 0.0323 0.0327 0.0234 0.0271 0.0274 0.0554 0.0625 0.0632 0.0541 0.0608 0.0614 3.4 0.0182 0.0211 0.0213 0.0177 0.0204 0.0207 0.0346 0.0390 0.0394 0.0360 0.0404 0.0408 3.5 0.0407 0.0471 0.0475 0.0389 0.0450 0.0454 0.0269 0.0303 0.0306 0.0321 0.0360 0.0363 3.6 0.2243 0.2598 0.2673 0.2204 0.2552 0.2625 0.3116 0.3513 0.3614 0.3029 0.3400 0.3498 3.7 0.3559 0.4122 0.4243 0.3575 0.4138 0.4259 0.3713 0.4185 0.4308 0.3717 0.4172 0.4295 3.8 0.1214 0.1406 0.1422 0.1224 0.1416 0.1432 0.0535 0.0603 0.0610 0.0449 0.0504 0.0510 3.9 0.2454 0.2842 0.2886 0.2399 0.2777 0.2819 0.1347 0.1518 0.1541 0.1336 0.1500 0.1523 Pada Tabel 4 dan Tabel 5 juga menunjukkan terjadi kenaikan pada subsektor industri logam dasar (ISIC 3.7) pada tahun 1999 sebesar 0,3596 menjadi 0,3717 pada tahun 2006. Kenaikan nilai

g

EG menunjukkan bahwa keanekaragaman karakteristik antar wilayah pada industri logam dasar semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh terjadinya MAR (Marshal-Arrow-Romer) eksternalitas (knowledge spillover) dan eksternalitas yang disebabkan oleh natural advantage yang besar pada industri tersebut (ditunjukkan oleh γEG sebesar 0,4228 pada tahun 1999). Kenaikan γEG menjadi 0,4295 pada tahun 2006 menunjukkan juga kenaikan eksternalitas yang disertai dengan kenaikan dari kekuatan aglomerasi (terlihat dari penurunan GEG dari 0,4107 pada tahun 1999 menjadi 0,4172 pada tahun 2006.

Keterkaitan antara Spesialisasi dan Konsentrasi Spasial

Analisis konsentrasi IKM di Kota Semarang di tahun awal analisis yaitu tahun 1999 Sampai 2006. Pada peta konsentrasi IKM tahun 1999 terdapat empat wilayah konsentrasi IKM di Kecamatan Ngaliyan, Semarang Timur, dan Semarang Utara

(20)

khususnya pada industri makanan, minuman, dan tembakau (ISIC 3.1) dengan pusat pada Kecamatan Ngaliyan.

Tabel 6

Subsektor Industri dan LQ Terbesar Menurut Kecamatan di Kota Semarang Tahun 1999 Sampai 2006

Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Semarang (diolah) Keterangan:

1. Subsektor Industri IKM yang tertinggi 2. Nilai LQ tertinggi

Wilayah konsentrasi IKM ISIC 3.3 industri kayu dan sejenisnya berada pada satu wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Pati yaitu pengelompokan industri berdasarkan subsektor terakhir terdapat beberapa wilayah konsentrasi IKM baru. Diantaranya konsentrasi IKM subsektor industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC 3.1) pada Kecamatan Semarang Barat, dimana pusat konsentrasinya adalah Kecamatan Ngaliyan. Serta konsentrasi IKM subsektor industri tekstil, pakaian jadi dan kulit (ISIC 3.2) di wilayah Kecamatan Semarang Tengah. Kedua wilayah konsentrasi tersebut dapat menjadi wilayah potensial dalam pengembangan IKM ISIC 3.1 dan ISIC 3.2. Namun dalam analisis lebih lanjut, diketahui bahwa IKM yang terkonsentrasi pada masing-masing wilayah umumnya bukan merupakan

Kecamatan 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Potensi LQ 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Tugu 3.5 3,18 3.5 3,12 3.5 3,19 3.5 3, 24 3.5 3,35 3.9 3,63 3.5 2,62 3.5 2,89 3.5 Genuk 3.6 2,68 3.6 2,83 3.6 2,75 3.6 2,78 3.6 2,42 3.6 2,41 3.6 3,54 3.6 3,57 3.6 Pedurungan 3.6 3,67 3.6 2.24 3.6 2,19 3.6 1,89 3.6 4,55 3.6 4,44 3.6 5,46 3.6 5,24 3.6 Ngaliyan 3.1 2,50 3.1 2,51 3.1 2,50 3.1 2,37 3.1 2,30 3.1 2,23 3.1 2,25 3.5 2,08 3.1 Gunung Pati 3.3 5,60 3.3 2,33 3.3 2,23 3.3 2,12 3.3 2,86 3.3 2,86 3.3 3,18 3.3 3,09 3.3 Mijen 3.6 8,15 3.6 5,33 3.6 5,21 3.6 5,31 3.6 3,54 3.6 2,54 3.6 3,57 3.6 2,85 3.6 Tembalang 3.3 3,11 3.4 4,26 3.4 4,30 3.4 3,96 3.4 2,85 3.4 2,62 3.3 2,82 3.3 3,09 3.4 Candisari 3.4 2,48 3.4 2,45 3.4 2,42 3.4 2,39 3.4 2,32 3.4 2,08 3.4 1,72 3.6 2,85 3.4 Gayamsari 3.2 3,04 3.9 3,79 3.9 3,81 3.9 3,82 3.9 3,70 3.9 3,67 3.9 3,39 3.9 1,46 3.9 Gajahmungkur 3.4 4,11 3.4 7,13 3.4 7,21 3.4 7,22 3.4 6,83 3.4 6,65 3.4 5,61 3.4 5,58 3.4 Banyumanik 3.7 8,23 3.7 8,00 3.7 8,15 3.7 8,27 3.7 8,52 3.7 8,79 3.7 10,87 3.7 11,10 3.7 Semarang Timur 3.1 1,9 3.1 1,79 3.1 1,79 3.1 1,78 3.1 1,84 3.1 1,77 3.2 2,29 3.2 2,35 3.1 Semarang Barat 3.4 2,13 3.1 1,37 3.1 1,51 3.1 1,51 3.1 1,41 3.4 1,44 3.4 1,62 3.4 1,59 3.1 Semarang Selatan 3.4 4,36 3.4 3,50 3.4 3,49 3.4 3,50 3.4 1,58 3.4 3,40 3.4 2,89 3.4 2,70 3.4 Semarang Tengah 3.9 5,96 3.2 2,46 3.2 2,38 3.2 2,34 3.2 2,46 3.2 2,45 3.9 2,05 3.9 2,10 3.2 Semarang Utara 3.1 1,85 3.1 1,95 3.1 1,98 3.1 1,98 3.1 2,07 3.1 1,99 3.9 1,52 3.9 1,54 3.1

(21)

IKM yang menjadi spesialisai wilayah tersebut, sehingga perlu upaya untuk dapat meningkatkan kontribusi pada industri terkait di masing-masing wilayah konsentrasi dalam menciptakan spesialisasi industri.

Kesesuaian Kebijakan FEDEP dengan Hasil Pembahasan

Penelitian ini terkait pada Program FEDEP yang mengembangkan IKM di Kota Semarang dengan pendekatan klaster/kawasan. FEDEP yang membentuk Klaster Hasil Pengolahan Ikan (ISIC 3.1) di Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, dan Genuk. Serta Batik Semarangan (ISIC 3.2) di Kecamatan Semarang Timur.

Kesesuaian dengan kebijakan FEDEP yang telah ditetapkan dapat dilihat bahwa hasil analisis data Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Utara berkonsentrasi dan cenderung membentuk klaster pada subsektor ISIC 3.1 di wilayah Pantai Utara Kota Semarang. Kecamatan Tugu dan Genuk memiliki nilai LQ yang tinggi masing-masing pada ISIC 3.5 dan ISIC 3.6 (Tabel 6). Sehingga akan lebih tepat bila kecamatan ini berspesialisasi pada subsektor tersebut. Menurut hasil analisis LQ Kecamatan Semarang Timur dan Ngaliyan sangat berpotensi membentuk klaster bersama Kecamatan Semarang Barat, Semarang Utara karena nilai BSPEC antar kecamatan relatif rendah yang berarti terdapat kesamaan struktur wilayah diantara kecamatan tersebut.

Jika subsektor ISIC 3.1 difokuskan pada klaster pengolahan hasil ikan akan lebih baik memperhatikan lokasi yang mendukung sumber daya alam, proses, dan pembuangan limbahnya. Oleh sebab itu akan tepat bila lokasi klaster berada di perbatasan pantai saja yaitu Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara dan Semarang Timur.

(22)

Gambar 2

Pemetaan Klaster FEDEP dan Pemetaan Klaster Kecamatan Menurut Subsektor Industri di Kota Semarang

Untuk Klaster Batik Semarangan yang termasuk dalam subsektor ISIC 3.2 terletak pada Kecamatan Semarang Timur. Dari analisis LQ (Tabel 6), Kecamatan Semarang Timur memiiki nilai LQ terbesar terletak pada ISIC 3.1 di tahun

(23)

1999-2004 dan ISIC 3.2 pada tahun 2005 dan 2006 dan bepotensi untuk mengklaster. Namun dari hasil analisis Semarang Timur berpotensi untuk berspesialisasi pada subsektor ISIC 3.1.

Sedangkan Semarang Tengah sendiri memiliki nilai LQ terbesar pada ISIC 3.2 sehingga lebih baik untuk membentuk klaster subsektor industri tekstil, pakaian jadi dan kulit di Kecamatan ini. Akan tetapi melihat nilai BSPEC kecamatan Semarang Timur dan Tengah yang termasuk rendah yang menunjukan kesamaan struktur wilayah, maka tidak menutup kemungkinan adanya perubahan konsentrasi spasial maupun spesialisasi pada kedua kecamatan yang selain berpotensi pada subsektor ISIC 3.1 juga cenderung berpotensi pada subsektor ISIC 3.2.

Kesimpulan

Dengan melihat hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Spesialisasi subsektor IKM di Kota Semarang berdasarkan spesialisasi tingkat kecamatan adalah subsektor industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC 3.1), subsektor kayu dan sejenisnya (ISIC 3.3), dan subsektor industri tekstil, pakaian jadi dan kulit (ISIC 3.2). Untuk Subsektor IKM yang berpotensial dikembangkan menjadi subsektor unggulan adalah subsektor industri kertas, percetakan, dan penerbitan (ISIC 3.4) dan subsektor industri pengolahan lain (ISIC 3.9).

Konsentrasi Spasial IKM di Kota Semarang terdapat pada Kecamatan Genuk, dan Gayamsari. Wilayah tersebut umumnya memiliki struktur IKM dan aktivitas ekonomi yang sama dan IKM yang menjadi konsentrasi pada masing-masing wilayah merupakan IKM unggulan dan terspesialisasi pada wilayah tersebut. Pada Kecamatan Genuk spesialisasi IKM pada industri subsektor (ISIC 3.6). Untuk Kecamatan Gayamsari spesialisasi IKM pada industri subsektor (ISIC 3.9). Selain itu juga terdapat beberapa wilayah konsentrasi IKM yang potensial untuk dikembangkan yaitu Kecamatan Semarang Selatan, Gajah Mungkur, Candisari, dan Tembalang dengan spesialisasi industri pada subsektor (ISIC 3.4).

(24)

Kesesuaian kebijakan FEDEP yang telah ditetapkan dengan hasil analisis data dapat dilihat bahwa Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Utara tepat berkonsentrasi, spesialisasi dan cenderung membentuk klaster pada subsektor ISIC 3.1 sedangkan Kecamatan Tugu maupun Genuk tidak, karena masing-masing memiliki nilai LQ yang dominan. Menurut analisis LQ Ngaliyan sangat berpotensi membentuk klaster bersama Kecamatan Semarang Barat, Semarang Utara oleh karena nilai BSPEC antar kecamatan relatif rendah.

Keterbatasan yang ditemukan meliputi kelemahan setelah dilakukannya analisis dan interpretasi hasil pada penelitian ini sebagai berikut : Hasil penelitian terbatas pada metode analisis pada masing-masing indeks. Sebagai contoh, dalam analisis indeks Ellison-Glaeser hanya dapat menjelaskan ada atau tidaknya pengaruh

knowledge spillover dan natural advantage terhadap IKM tanpa dapat menjelaskan natural advantage yang mempengaruhi, sehingga tidak dapat melihat lebih detail

potensi dan kondisi wilayah yang dianalisis.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disampaikan, maka terdapat beberapa saran sebagai berikut : Upaya untuk menumbuhkan IKM di Kota Semarang adalah dengan memprioritaskan pengembangkan subsektor unggulan industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC 3.1), subsektor kayu dan sejenisnya (ISIC 3.3), dan subsektor industri tekstil, pakaian jadi dan kulit (ISIC 3.2). Hal ini merupakan strategi pembangunan yang diwujudkan pada pendekatan prioritas (prority approach) yang didukung oleh kedekatan lokasional dan diharapkan dapat menciptakan pola keterkaitan antar kegiatan baik di dalam sektor IKM sendiri (keterkaitan horizontal) maupun antar sektor IKM dengan seluruh jaringan yang terkait (keterkaitan vertikal). Dengan adanya eksternalitas positif dari konsentrasi spasial dan keterkaitan dalam IKM, diharapkan dapat menjadi dasar bagi kalangan pengusaha untuk mengembangkan usaha dengan bergabung menjadi bagian dari klaster IKM agar mendapatkan keuntungan dari agglomeration economies dan localization economies.

Pengembangan IKM yang dapat diterapkan di Kota Semarang untuk masing-masing kecamatan yaitu pada subsektor (ISIC 3.6) pada Kecamatan Genuk, Mijen,

(25)

Pedurungan dan subsektor (ISIC 3.9) pada Kecamatan Gayamsari. Untuk Kecamatan Semarang Selatan, Gajah Mungkur, Candisari, dan Tembalang berpotensi untuk mengembangkan IKM pada subsektor (ISIC 3.4). Industri yang berpotensi berkembang industri kecil menengahnya adalah industri subsektor (ISC 3.1) yang terkonsentrasi di Kecamatan Ngaliyan, Semarang Barat, Semarang Utara, Semarang Timur. (ISIC 3.2) pada Kecamatan Semarang Tengah. Untuk Kecamatan Gunung Pati memiliki industri unggulan yang mutlak pada subsektor (ISIC 3.3), sedangkan Kecamatan Tugu dan Banyumanik masing-masing berpotensi pada industri dengan subsektor (ISIC 3.5) dan (ISIC 3.7). Konsentrasi pada industri ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang merupakan strategi pembangunan yang komprehensif. Strategi pembangunan komprehensif adalah dengan memberikan prioritas pembangunan pada sektor yang mempunyai daya akselerasi tinggi (sektor basis berdasar output) dan sektor yang mempunyai daya serap tenaga kerja juga tinggi.

FEDEP dalam membentuk klaster Pengolahan Hasil Ikan akan lebih baik menambahkan lokasi pengklasterannya pada Kecamatan Semarang Timur yang memiliki lokasi berbatasan langsung dengan pantai utara Semarang. Batik Semarangan akan lebih baik melokasikannya pada Kecamatan Semarang Tengah melihat besarnya nilai konsentrasi ISIC 3.2 di kecamatan tersebut.

Pengembangan IKM Kota Semarang dilakukan dengan pendekatan sektoral dan memperhatikan spesialisasi regional sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi secara tepat sasaran dan menghemat anggaran sehingga strategi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang komprehensif dapat digunakan sebagai alternatif pencapaian target pertumbuhan ekonomi di Kota Semarang. Prioritas anggaran perencanaan ekonomi pun hendaknya diprioritaskan pada sektor unggulan mengingat terbatasnya anggaran.

(26)

Daftar Pustaka

Aiginger, K. and Hansberg ,E. 2003. Specialization versus Concentration: A Notes of

Theory and Evidence. SIEPR Working Paper.

Arifin Z. dan M. Kuncoro. 2002. Konsentrasi Spasial dan Dinamika Pertumbuhan

Industri Manufaktur di Jawa Timur. Empirika, Vol. 11, No. 1 BPFE-UGM

Amstrong, Harvey, and Jim Taylor. 2000. Regional Economics and Policy (Third

Edition. New York : Harvester Wheatsheaf

BPS (Berbagai Edisi). Berita Resmi Statistik. Biro Pusat Satistik

BPS (Berbagai Edisi). Kota Semarang Dalam Angka. Biro Pusat Satistik

BPS (Berbagai Edisi). PDRB Jawa Tengah Berdasarkan Kabupaten dan Kota. Biro Pusat Satistik.

BPS .2006. Sensus Ekonomi Kota Semarang. Biro Pusat Statistik.

Choirul Djamhari. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sentra

UKM Menjadi Klaster Dinamis. Infokop No.29 Tahun XXII.

Dyah R Sulistyastuti. 2004. Dinamika Usaha Kecil dan Menengah (UKM) : Analisis

Konsentrasi Regional UKM di Indonesia 1999-2001. Jurnal Ekonomi

Pembangunan, Vol.9 No.2.

Ellison. G dan Glaeser. E. 1997. Geographic Concentration in US Manufacturing

Industries : A Darthboard Approach. Journal Political Economy. Vol. 105.

Ellison. G dan Glaeser. E. 1999. The Geographic Concentration of Industry : Does

Natural Advantage Explain Agglomeration. American Economic Review Vol

89.

Emilia dan Imelia, 2006. Modul Ekonomi Regional. FE Universitas Jambi.

Erlangga Agustino Landiyanto. 2004. Konsentrasi Spasial Industri manufaktur:

Tinjauan Empiris di Kota Surabaya. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Indonesia, Vol.V No.02, Januari 2005.

(27)

__________________________. 2005. Spesialisasi dan Konsentrasi Spasial pada

Sektor Industri Manufaktur di Jawa Timur. dipresentasikan dalam parallel

session VIB : Industry and Trade di Hotel Borobudur Jakarta 17 November 2005

Fujita, M., Krugman, P., and Venables, A.J. 1999. The Spatial Economy : Cities,

Regions, and International Trade. Cambrige and London : The MIT Press

Glaeser, E, and Kohlase, J. 2003. Cities, Regions and the Decline of Transport Cost. Harvard Institute of Economic Research Discussion Paper No.2014

Gordon, I.R. and McCann, P. 2000. Industrial Clusters: Complexess, Agglomeration

and/or Social Network?. Urban Studies. Vol 37. pp 513-532

Harian Kompas, Sabtu, 19 Agustus 2000. Kebijakan Nasional Sektor Industri

Aglomerasi dengan kemitraan.

Harisons, B. 1992. Industrial District; Old Wine in New Bottles?. Regional Studies, Vol 26. pp 469-483

Head, K and Mayer, T. 2003. The Empirics of agglomeration and Trade. Cepil Working Paper No:2003-15

Henderson, J. V. 1988. Urban Development, Theory, Fact, and Illusion. New York: Oxford University Press.

Kacung Marijan. 2005. Mengembangkan Industri Kecil Menengah Melalui

Pendekatan Kluster. Insan Vol. 3 No. 7

Kim, S. 1995. Expansion of Markets and the Geographic Distribution of Economics

Activities: The Trends in U.S. Regional Manufacturing Structure 1860-1987.

The Quarterly Journal of Economics. November. No 110. pp 881-908. Krugman, P. 1991. Geography and trade. Cambridge: MIT Press.

Kolehmainen .J. 2002. Territorial Agglomeration as a Local Innovation

Environment, MIT Industrial Performace Center Working Paper.

Lafourcade, M. and Mion, G. 2003. Concentration, Spatial Clustering and Size of

Plants: Disentangling the Sources of Co-location Externalities. CORE Working

Paper.

Lincoln Arsyad. 1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi.

(28)

Manggara Tambunan. 2004. Melangkah Ke Depan Bersama UKM. Makalah pada Debat Ekonomi ESEI 2004, Jakarta Convention Centre 15-16 september 2004.

Marshall, A. 1920. Principles of Economics, 8. MacMilland and Co. London.

Maurel, F and Sedillot, B. (1999). A Measure Geographic Concentration In French

Manufacturing Industries. Regional Science and Urban Economics. Vol. 53.

pp 469-481.

Mudrajad Kuncoro. 2002. Analisis Spasial dan Regional. Jogjakarta: AMP YKPN. _______________.2004.Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi,

Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta : Penerbit Erlangga

Mohammad Jafar Hafsah. 2004. Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah

(UKM). Infokop No.25 Tahun XX, Hal 40

Muhammad Taufik. 2002. Pengembangan UKM pada Era Otonomi Daerah dan

Perdagangan Bebas. Infokop No.21 Tahun XVIII

_______________. 2004. Proyeksi Sentra Menjadi Klaster. Infokop No.25 Tahun XX

Nadvi, K. and Schmitz, H. 1999. Clustering and Industrialization: Introduction. World Development 27(9):1503-14.

Nurul Istifadah. 2005. Sektor Unggulan dan Penyerapan Tenaga Kerja Pada

Kawasan Strategik Surabaya-Sidoarjo-Gresik.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 2000. The

Competitiveness of European Industry : The 1999 Report. Working Document

of the Services of the European Commision.

Porter, M.E. 1998. Cluster and New Economics of Competition. Harvard Business Review, November-December (6).

Raines, P. 2002. Local of National Competitive Advantage. European Policies Research Centre, University of Strathclyde : Glasgow.

Rena Ardianawati. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi

Spasial Industri Manufaktur di Propinsi Jawa Tengah 2002-2004. skripsi

(29)

Richardson, H. W. 1979. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional. LPFE-UI, Jakarta Terjemahan : Paul Sitohang

Robinson Taigan. 2005. Ekonomi Regional. Jakarta: Bumi Aksara.

Schimitz, H. and Nadvi, K. 1999. Clustering and Industrialization: Introduction,

World Development.

Sadono Sukirno. 1985. Ekonomi Pembangunan. Jakarta : LPFEUI

Safrizal. 2008. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi. Padang : Baduose Media. Tulus T.H Tambunan. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang. Gharia

Indonesia, Jakarta

__________________. 2002. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia : Beberapa

Isu Penting. Penerbit Salemba Empat, Jakarta

Thee Kian Wie. 1993. Industrialisasi di Indonesia, Beberapa Kajian. LP3ES : Jakarta Zainal Arifin dan Nazaruddin malik. 2001. Konsentrasi Spasial Pertumbuhan

Industri Manufaktur di Kawasan Timur Indonesia. Empirika, Vol. 11, No.1,

2002, BPFE-UGM, Jogjakarta.

Pendekatan Klaster Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2009, http://galeriukm.web.id/news/pendekatan-klaster-pengembangan-usaha-kecil-dan-menengah diakses pada hari: Selasa, 2 Pebruari 2010

Referensi

Dokumen terkait

Hospes definitifnya adalah mamalia (kucing, anjing, dan mamalia pemakan ikan berbagai termasuk manusia) yang bias terinfeksi apabila menelan ikan yang

Berdasarkan Tabel 8 diatas dapat diketahui bahwa nilai koefisien determinasi yang diperoleh sebesar 0.495. atau sebesar 49.5 bahwa variabel loyalitas pelanggan dapat dijelaskan oleh

Gerakan upstroke yang terjadi tidak akan merubah tekanan pada reservoir bawah (p4), sehingga dapat dikatakam bahwa tekanan pada reservoir bawah akan selalu konstan.

Peningkatan SDM Anggota Manggala Agni melalui pembinaan cara mendownload data Hotspot dari website sipongi, Pemantauan data cuaca dari BMKG, Pengamatan dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas uji capture -ELISA dengan menggunakan antibodi poliklonal untuk diagnosa infeksi Fasciola gigantica pada

Retribusi izin gangguan fungsinya sama dengan pajak untuk meningkatkan pendapatan daerah, maka untuk menikatkan pendapatan tersebut pemerintah membuat Peraturan

tivitas fisik berpengaruh terhadap kualitas hidup dengan nilai koefisien yaitu sebesar -0.369 artinya bahwa jika aktivitas fisik mengalami kenaikan satu poin ke arah yang

%kala prioritas usulan rencana kegiatan pembangunan desa untuk 1 (satu) tahun anggaran berikutnya yang tercantum dalam dokumen RPJM