• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh keturunan, maka timbullah hubungan antara laki-laki dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh keturunan, maka timbullah hubungan antara laki-laki dan"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Lantar belakang

Pernikahan adalah fitrah manusia yang mana Allah telah menciptakan makluk yang berpasangan dan saling membutuhkan. Dalam rangka pemenuhan untuk memperoleh keturunan, maka timbullah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi kodrat alam bahwa dua orang manusia dengan dua jenis kelamin yang berbeda, seorang laki-laki dan perempuan ada daya tarik

satu sama lain untuk hidup bersama.1 Laki-laki dan wanita diciptakan untuk saling

melengkapi satu sama lain dan saling membutuhkan dalam hal ini disatukan dalam bentuk perkawinan. Dengan demikian maka perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan mempunyai kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat, atau dengan kata lain, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Artinya, tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan ketenangan dalam hidup. karena adanya iklim cinta, kasih sayang dan kemesraan tujuan itu pula yang melandasi dan menjadi motifasi dan cita-cita seorang disaat memutuskan untuk menikah, disamping keluarga yang bahagia lahir batin merupkan tujuan dari sebuah bangsa, maka tidaklah heran jika ada pepatah yang

mengatakan keluarga adalah tiangnya negara dan bangsa.2

1

Ahmad. Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, (Jakarta : Pradnya Pramita, 1979) hal 18

2

(2)

2 Meskipun demikian, dalam praktiknya, tidak menutup kemungkinan suatu perkawinan mengalami goncangan yang berdampak pada terciptanya ketidak harmonisan antara suami istri, misalnya percekcokan yang tiada henti-hentinya, silang pendapat yang tidak dapat menghasilkan kesepakatan karena masing-masing pihak masih membawa egonya sendiri sehingga perkawinan yang

diharapkan membahagiakan justru berubah menjadi menyengsarakan.3

Aneka faktor yang menyebabkan ketidak harmonisan keluarga, antara lain disebabkan oleh adanya faktor psikologis, biologis, ekonomis, idiologis,

organisasi, dan perbedaan budaya serta tinggkat pendidikan antara suami istri.4

Akibat beragam faktor dishamoni itulah sehingga keduanya akhirnya dihadapkan pada persoalan yang tak bisa dihindarkan yaitu perceraian (talak) yang merupakan salah satu jalan keluar bila tidak ditemukan dengan cara keduanya (suami istri) untuk berdamai. Talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara

langsung untuk masa yang akan datang dengan lafal yang khusus.5

Lafal untuk talak dapat berupa kalimat yang terang-terangan, misalnya, “Saya talak kamu”, “saya berpisah darimu” yang diucapkan suami kepada istrinya, dapat pula kalimat yang menggunakan sindiran, misalnya, “Pulanglah

kamu ke rumah orang tuamu” dengan syarat disertai niat menceraikan.6

3

Hasbul Wanni Maq, Perkawinan Terselubung Berbagai Pandangan, ( Jakarta : Golden Teragon Press, 1994), hal 2

4

Hasan Basri, Keluarga Sakinah : Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 1995) hlm 3

5

Ibid

6

(3)

3 Menurut aturan fiqh atau hukum Islam yang dirumuskan oleh para ulama, suami yang telah mentalak istrinya boleh rujuk pada istrinya kapan saja selama

masa iddah istri belum habis.7 Bahkan tidak banyak seorang pasangan suami istri

ketika dalam perceraian ingin kembali kepada istrinya lagi. Untuk itulah agama

Islam mensyari’atkan adanya iddah8

ketika terjadi perceraian. Hal ini akan memberi peluang bagi keluarga yang mengalami perceraian untuk kembali bersatu. Manfaat iddah salah satunya untuk memberi kesempatan pada keduanya (suami istri) untuk berfikir secara jernih untuk sekali lagi mencoba membangun kembali sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah sebagaimana yang mereka inginkan.

Para ulama fiqh sepakat rujuk itu diperbolehkan dalam Islam. Rujuk ini diberikan sebagai alternatif untuk menyambung kembali hubungan lahir batin yang telah terputus, sebagaiman firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqorah ayat 228 sebagai berikut : 

. . .

















ج . . . . 7

Ibnu Mas’udi, Edisi Lengkap Fiqh Madzab Syafi’i Jilid II, (Bandung : Pustaka Setia, 2007) hlm 383

8

Sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah iaditinggal mati suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya atau berakhirnya beberapa quru’, atau brakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

(4)

4 “Dan suami-suami mereka lebih berhak merujuk mereka (isteri-isteri) dalam masa menanti (iddah) itu jika mereka (para suami) itu menghendaki islah”.9

Alasan para ulama’ dalam masalah rujuk tersebut tidak memerlukan persetujuan dari seorang isteri dikarenakan perempuan yang ditalak raj’i masih memiliki ikatan zaujiyyah (suami istri) dengan mantan suaminya, oleh karena itu

suami masih berhak untuk menceraikannya, mendhihar”10, meng-i’laa11, dan

tetapnya hak saling mewarisi serta adanya kewajiban bagi seorang isteri yang masih dalam masa iddah tersebut tidak boleh menerima pinangan dari orange lain,

karena yang lebih berhak atas dirinya adalah mantan suaminya tersebut.12

Berbeda dengan yang dirumuskan oleh ulama fiqh, berdasarkan hukum positif Indonesia, suami yang ingin merujuk mantan istrinya yang telah di talak dan dicatatkan pada Pegawai Pecatat Nikah (PPN), tidak boleh seenaknya langsung mencampuri tanpa menghiraukan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi. Dalam hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 163 sampai pasal 169, apabila prosedur-prosedur tidak di penuhi, maka rujuknya dianggap tidak sah atau cacat hukum dan tidak mengikat.

Banyak hal yang beda dalam konsep rujuk dan sudah tertulis dengan jelas bahwa dalam hal ini banyak mengalami perbedaan yaitu konsep rujuk menurut fiqih yaitu mutlak ditangan seorang suami tanpa persetujuan mantan istri,

9

Departemen Agama, AL-Quran dan terjemah Hlm 55

10

Dhihar yaitu mengharamkan isterinya terhadap dirinya sendiri

11

Seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli isterinya secara mutlak atau selama jangka waktu lebih dari empata bulan.

12

http://app.Syariahcourt.gov.sg/syariah/front-end/Type Ofa Daiavaoarcea-Talakaaa.M.asps.diakses pada tanggal 1 Maret 2013

(5)

5 sedangkan menurut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu suami boleh merujuk mantan istrinya dan harus dengan persetujuan mantan istrinya dan mantan istrinya juga berhak menolak ajakan suami untuk rujuk kembali. Dengan demikian, istri memiliki hak untuk menerima inisiatif rujuk dari suaminya atau menolaknya.

Pemberian hak menerima atau menolak dapat menjadikan istri melakukan tindakan hukum berdasarkan kehendaknya, bukan hanya menjadi pihak yang pasif menerima keputusan suaminya untuk bercerai dan rujuk. Berbicara tentang pemberian hak oleh hukum positif, menarik untuk mengkaitkan dengan wacana Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak asasi perempuan, karena HAM ada, bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan

berdasarkan martabatnya sebagai manusia.13 Pengakuan atas eksistensinya

manusia menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup adalah ciptaan Allah SWT. Yang patut memperoleh apresiasi secara positif. Sedangkan hak asasi perempuan, adalah hak dasar yang melekat karena seseorang itu terlahir dengan berjenis kelamin perempuan.

Hak Asasi Perempuan, yaitu hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui

pengaturannya dalam berbagai system hukum tentang hak asasi manusia.14

13

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Kontitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007) hlm, 12

14

(6)

6 Di samping itu, menarik pula melihat pemberian hak menerima atau menolak rujuk ini dari perspektif Maqasid al syariah atau tujuan pemberlakuan hukum. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa pembuat KHI memiliki maksud dan tujuan tertentu ketika memberlakukan ketentuan yang mengatur bahwa istri memiliki hak atas rujuk dari suaminya. Maqasid al syariah secara sederhana dapat diringkas dalam konsep maslahat, atau kebaikan. Artinya, pembuat KHI memiliki tujuan agar istri mendapatkan kemaslahatan dengan memiliki hak atas rujuk.

Maqasid Syari’ah yang ditujukkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan

dan harta.15 Kehidupan dunia ditegakkan atas lima pilar tersebut, tanpa

terpeliharanya kelima hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna

Dalam permasalahan-permasalhan tersebut peneliti ingin mengkaji lebih lanjut tentang Hak Istri Menolak Atau Menerima Rujuk Dalam Masa Iddah Persepektif Hak Asasi Manusia Dan maqasid syari’ah

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan pokok permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pemberian hak atas rujuk bagi Isri oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam tinjauan Hak Asasi Manusia?

15

(7)

7 2. Bagaimana pemberian hak atas rujuk bagi Isri oleh Kompilasi Hukum

Islam (KHI) dalam tinjauan Maqasid Syariah?

C. Tujuan penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pemberian hak atas rujuk bagi Istri oleh Kompilasi Hukum Islam dalam Hak Asasi Manusia.

2. Untuk mengetahui pemberian hak atas rujuk bagi Istri oleh Kompilasi Hukum Islam dalam Maqasid Al Syariah.

D. Manfaat penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis

Bagi peneliti sendiri diharapkan dengan melakukan peneliti ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan masalah hak istri menolak atau menerima permohonan rujuk yang dilakukan oleh suaminya, dan bagi lembaga pendidikan diharapkan bisa menambah referensi hukum Islam terutama yang berkaitan dengan hukum Islam terutama yang berkaitan masalah perkawinan,rujuk dan aspek hukumnya.

(8)

8

I. Bagi peneliti, diharapkan dengan menyelesaikan penulisan

karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini akan memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar sarjana syari’ah (Ssy).

II. Bagi pasangan suami istri dan konsultan hukum, diharapkan

bisa menjadi masukan dalam memecahkan problem

perkawinan khususnya masalah rujuk.

III. Bagi lembaga peradilan, diharapkan dapat menjadi masukan

atau solusi dalam mengatasi problema perkawinan terutama yang menyangkut masalah rujuk.

E. Penegasan Istilah

Untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian, maka diperlukan adanya penegasan istilah. Adapun yang dimaksud dengan penegasan istilah adalah penjelasan beberapa kata kunci yang berkaitan dengan judul atau penelitian, yang terdiri atas:

1. Talak raj’i yang dimaksud dalam penelitian ini adalah talak satu atau talak dua yang dijatuhkan oleh suami kepada isterinya yang berakibat isteri berada dalam masa iddah dan suami boleh merujuki isterinya tersebut apabila suami menghendaki islah.

2. Iddah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, sebagai akibat perceraian dengan suaminya itu, dalam hal ini iddah yang dimaksud

(9)

9 dalam permasalahan ini adalah iddah yang dihitung setelah adanya putusan cerai dari Pengadilan Agama.

3. Kompilasi Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jelmaan dari kitab-kitab fiqh islam dari berbagai madzhab dengan menggunakan undang-undang yang termasuk di dalamnya dalam hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.

4. Hak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yaitu hak asasi manusia, dalam hal ini hak yang dimaksud adalah hak isteri untuk dapat menolak atau menerima kehendak rujuk dari mantan suaminya

5. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dengan akal budinya dan nuraninya, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan

sendiri perbuatannya. Disamping itu, untuk mengimbangi

kebebasannya tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

6. Maqasid as-syar’iyyah adalah Nilai yang dipertimbangkan syara’ dalam sebuah hukum atau bertujuan akhir dari syari’at dan rahasia- rahasia yang diletakkan Allah dalam setiap hukumnya.

(10)

10 1. Jenis penelitian

Dalam menyusun skripsi ini peneliti mengunakan jenis penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Dengan demikian, jika dilihat dari tempatnya, penelitian ini tergolong pada penelitian kepustakaan (library research). Hal ini disebabkan peneliti mengunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai data

yang hendak dianalisis 16.yaitu analisia dalam fiqih tentang tidak adanya

hak istri menolak rujuk dalam masa iddah dan Kompilasi Hukum Islam analisis terhadap undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan analisis terhadap maqasid syariah yang mengandung nilai falsafah. Selanjutnya peneliti akan memaparkan data-data yang diperoleh dari buku-buku , laporan penelitian, makalah, artikel dan bahan pustaka lainya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas peneliti yaitu hak istri menolak atau menerima rujuk dalam masa iddah. Kemudian dari data data yang diperoleh tersebut akan dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan.

2. Pendekatan Penelitian

Untuk menjawab persoalan tersebut tentu dibutuhkan sebuah pendekatan yang tentu saja haruslah pendekatan yang relevan dengan masalah yang sedang dikaji. Sebagai perangkat Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang datanya berupa teori, konsep, dan ide. Pendekatan deskriptif kualitatif, bertujuan

16

Soerjono Soekanto, Penantar Penelitian Hukum, Cet 3 (Jakarta: Penerbit Uii 2006) hal 63.

(11)

11 mengungkapkan atau mendeskripsikan data atau teori yang telah diperoleh.

3. Bahan Hukum

a. Bahan hukum Primer dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku maupun kitab-kitab yang berhubungan dengan permasalahan rujuk dan juga buku-buku gender , KHI, HAM, Kovensi Wanita, DUHAM, Usul Fiqih, Al-Muafaqat dan buku-buku yang mengenai hal tersebut.

b. Bahan hukum sekunder: adalah berupa informasi-informasi yang berkaitan dengan pembahasan di atas baik berupa internet, ensiklopedi dan lain-lain.

c. Bahan tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan primer dan bahan sekunder, seperti kamus17.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Oleh karena itu penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) maka penelitian ini didasarkan atas studi kepustakaan, teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah secara normatif (studi kepustakaan), yaitu dengan mengumpulkan berbagai bahan hukum primer maupun sekunder yang berkaitan dengan kewenangan penolakan rujuk istri dalam menolak rujuk suami.

17 Lihat. Soerjono Sukanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT.

(12)

12

G. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu berguna sebagai pembanding apakah hasil akhir penelitian tersebut sama dengan hasil akhir pada penelitian yang akan kita kerjakan ataukah berbeda. Penelitian yang baik adalah menemukan hasil akhir dan memberikan kesimpulan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam hal ini Peneliti tidak menemukan judul yang sama dengan judul yang akan diteliti oleh Peneliti. Namun ada judul yang berkaitan dengan judul yang akan diteliti oleh peneliti. Yaitu penelitian yang ditulis oleh.

1. Munawwar Khalil, Dengan Judul Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Pandangan Empat Imam Madhab. Hasil penelitianya menyimpulkan bahwa Iman Hambali berpendapat bahwa Rujuk hanya terjadi melalui percampuran. Apabila ada pencampuran, maka terjadilah Rujuk walaupun tanpa niat. Menurut Imam Hanafi, selain melalui pencampuran rujuk bisa terjadi melalui sentuhan, ciuman dan hal-hal sejenisnya. Imam Malik menambahkan harus ada niat rujuk dari suami disamping perbuatan, pendapat ini bertolak belakang dengan Imam Hanafi yang menyatakan bahwa rujuk bisa terjadi dengan perbuatan saja tanpa adanya niat. Sedangkan Imam Syafi’i rujuk harus dengan ucapan yang jelas bagi orang yang dapat mengucapkannya, dan tidak sah jika dengan perbuatan. Sedang pendapat yang dianggap relavan dengan konteks Indonesia adalah

(13)

13 pendapatnya Imam Syafi’i yang mewajibkan adanya saksi dalam

permasalahan rujuk.18

2. Penelitian yang ditulis oleh Ujin Ahmad Faizi, skripsi yang berjudul “ Konsep Rujuk Dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah Persepektif Gender”, hasil analisis dari penelitian tersebut addalah imam empat madzhab mempenyuai pandangan yang sama dalam memposisikan istri yang dirujuk, yang mana suami boleh merujuk istrinya selama masa iddah meskipun tanpa persetujuan dan kerelaan istri. Konsep rujuk dalam kitab Fiqh ala Madzahib al-arba’ah telah terjadi ketidak adilan, dimana perempuan harus menerima rujuk suami

tanpa berhak untuk menolaknya.19

3. Skripsi, Pada tahun 2011, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Suwandi, M.H.. Dosen UIN Maliki Malang yang berjudul “Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam dan Pandangan Imam Mazhab”. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa rujuk terjadi melalui percampuran (Hubungan biologis), ketika hubungan tersebut sudah dilakukan, secara sah istri dirujuk kembali walaupun tanpa niat. Dan menurut penelitian tersebut, konsep rujuk yang paling relevan di Indonesia adalah konsep Imam Syafi’I yang menyatakan bahwa rujuk harus dengan ucapan yang jelas dan tidak sah jika hanya dengan

18 Munawwar Khalil,Skripsi Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam

(KHI) Dan Pandangan Empat Imam Madhab

19 Ujin Ahmad Faizi, Skripsi Konsep Rujuk Dalam Kitab Fiqh ‘Ala Madzahib

(14)

14 perbuatan. Dan juga diwajibkan baginya untuk mendatangkan dua saksi.20

4. Penelitian yang selanjutnya dilakukan oleh mahasiswa IAIN Semarang yang bernama Purwanto pada tahun 2008 yang berjudul “Studi Komparasi Pendapat Imam Al-Syafi'i Tentang Keharusan Istri Menerima Rujuk Suami Dengan KHI Pasal 164 Tentang Kewenangan Istri Untuk Menolak Rujuk Suami”.

Berdasarkan kajian terhadap beberapa penelitian yang telah ada maka belum terdapat penelitian yang membahas tentang tema yang sedang peneliti kaji. Misalnya pada penelitian yang dilakukan oleh Dr. Suwandi dengan judul “Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam dan Pandangan Imam Madhab” dalam pembahasannya hanya sebatas mengulas konsep rujuk dari imam-imam mazhab, dan diadakan sebuah analisis dengan mengaitkan konsep tersebut dengan realitas yang sedang berkembang di Indonesia guna mengetahui relevansi dari konsep-konsep tersebut di Indonesia.

Kemudian penelitian yang dilakukan mahasiswa IAIN Semarang dengan judul “Studi Komparasi Pendapat Imam Al-Syafi'i Tentang Keharusan Istri Menerima Rujuk Suami Dengan KHI Pasal 164 Tentang Kewenangan Istri Untuk Menolak Rujuk Suami”. Penelitian

20 Suwandi, Skripsi Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam dan

(15)

15 tersebut berusaha memberikan perbedaan dan persamaan antara konsep KHI dan Fiqih Kontemporer. Adapun penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti ini adalah studi tentang pasal dalam pandangan ulama empat madzhab, yang nantinya akan menitik beratkan pada hasil ijtihad atau pandangan dari masing-masing mdzhab dari empat madzhab tersebut tentang kewenangan istri dalam menolak rujuk

suami bukan kewajiban istri.21

5. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Nur Amaliyah, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tahun 2004 dalam Skripsinya yang berjudul “Studi Analisa Pendapat Ibnu Hazm Tentang Mewakilkan Talak” membahas tentang pendapat Ibnu Hazm bahwa talak adalah milik dari pihak suami, maka oleh karena itu tidak ada satu pihakpu yang bisa mengambil alih hak tersebut. Ini juga diperkuat dengan tidak adanya nash (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang membolehkan tentang peralihan hak tersebut.

H. Sistematika Pembahasan

Secara global, skripsi ini dibagi dalam lima pembahasan yang satu sama lain saling berkaitan dan merupakan suatu sistem yang urut untuk mendapatkan suatu kesimpulan dalam mendapatkan suatu kebenaran ilmiah.

21

Purwanto, Studi Komparasi Pendapat Imam Al-Syafi'i Tentang Keharusan Istri

Menerima Rujuk Suami Dengan KHI Pasal 164 Tentang Kewenangan Istri Untuk Menolak Rujuk Suami, (Semarang, 2008)

(16)

16 BAB I adalah pendahuluan yang dirinci atas beberapa anak bab, yakni: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tela’ah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Pada dasarnya bab ini tidak termasuk dalam materi kajian, tetapi lebih ditekankan pada pertanggungjawaban ilmiah.

Pada BAB II berisi tentang kumpulan kajian teori yang akan dijadikan alat analisis dalam menjelaskan dan mendeskripsikan obyek penelitian. Pada bab ini peneliti akan menjelaskan tinjauan umum tentang rujuk dalam hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Maqasid Al Syariah.

Pada BAB III, berisi deskripsi data hasil penelitian, yakni bagian-bagian dalam HAM dan Maqasid al syariah yang relevan dengan pembahasan tentag hak rujuk bagi istri.

Pada BAB IV, yakni analisis penelitian dan titik temu Hak asasi manusia tentang hak wanita dalam konsep rujuk serta filosofis dalam Maqasid syariah.

Pada BA V, yakni penutup dari penyusunan skripsi ini yang meliputi kesimpulan dan saran-saran, yang diharapkan dapat berguna/bermanfaat baik secara teoritis maupun praktik untuk masyarakat, akademisi maupun praksi.

(17)

17

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG RUJUK, HAK ASASI MANUSIA DAN

MAQASID AL SYARIAH

A. Pengertian Rujuk

Menurut bahasa rujuk berasal dari bahasa arab yaitu dari kata roja’a – yarji’u – rujk’an yang berarti kembali, dan mengembalikan.22

Sedangkan dalam istilah hukum Islam, para fuqoha’ mengenal istilah “ruju” dan istilah “raj’ah” yang kedua semakna. Desinisi rujuk dalam pengertian fiqh menurut al-Mahali adalah : kembali kedalam hubungan pernikahan dari cerai yang bukan talak bain,

selama masa iddah.23 Ulama’ Hanafiyah memberi difinisi ruju’ sebagaimana

dikemukakan oleh Abu Zahrah, yaitu : ruju’ ialah melestarikan pernikahan dalam masa iddah talak (raj’i).24

Sedangkan rujuk menurut para ulama’ madzhab adalah sebagai berikut :

a. Hanafiyah: rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya pengganti dalam masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang bila habis masa iddah.

b. Malikiyah: rujuk adalah kembalinya isteri yang dijatuhi talak, karena takut berbuat dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya

22

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2008), hlm 285

23

Amir Syarifudin, Pernikahan di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang pernikahan, (Jakarta : Kencana, 2006) hlm 337

(18)

18 tersebut dari talak ba’in, maka harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk.

c. Syafi’iyah: rujuk adalah kembalinya isteri kedalam ikatan pernikahan setelah dijatuhi talak satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa isteri diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan orang lain, meskipun suami berhak merujuknya dengan tanpa kerelaan, oleh karena itu rujuk menurut golongan Syafi’iyah adalah mengembalikan hubungan suami isteri kedalam ikatan yang sempurna.

d. Hanabilah: rujuk adalah kembalinya isteri yang dijatuhi talak selain talak ba’in kepada suaminya dengan tanpa akad, baik dengan

perkataan atau perbuatan (bersetubuh) dengan niat atau tidak.25

Pada dasarnya para ulama’ madzhab sepakat, walaupun dengan redaksi yang berbeda bahwa rujuk adalah kembalinya suami kepada isteri yang dijatuhi talak satu atau dua, dalam masa iddah dengan tanpa akad nikah yang baru, tanpa melihat apakah isteri mengetahui rujuk suaminya atau tidak, apakah ia senang atau tidak, dengan alasan bahwa isteri selama masa iddah tetap menjadi milik suami yang telah menjatuhkan talak tersebut kepadanya.

Rujuk yang berasal dari bahasa arab telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia terpakai yang artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (yang

selanjutnya disingkat KBBI) adalah:26 kembalinya suami kepada isteri yang

ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika isteri masih di masa iddah. Definisi yang dikemukakan KBBI tersebut secara esensial bersamaan maksudnya dengan yang dikemukakan dalam kitab fiqh, meskipun redaksionalnya sedikit berbeda. Dari definisi-definisi tersebut terdapat beberapa kata kunci yang menunjukan hakikatdari perbuatan hukum yang benama rujuk, yaitu:

25

Al-Jaziri, fiqh ala Mazabib al-Arba’ah, hlm. 377-378

(19)

19 a. Ungkapan “kembalinya suami kapada isterinya” mengandung arti bahwa diantara keduanya sebelumnya telah terikat dalam pernikahan, namun ikatan tersebut sudah berakhir dengan perceraian. Laki-laki yang kembali kepada orang lain dalam bentuk pernikahan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini.

b. Ungkapan “yang telah ditalak dalam bentuk talak raj’i” mengandung arti bahwa isteri yang dicerai oleh suaminya itu dalam bentuk yang belum putus. Hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada isteri yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’i tidak disebut rujuk.

c. Ungkapan “masih dalam masa iddah”. Mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selam isteri masih dalam masa iddah. Bila waktu iddah telah habis, mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada isterinya dengan nama rujuk. Untuk maksud tersebut suami harus memulai lagi nikah baru

dengan akad yang baru.27

Rujuk adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh sang suami setelah menjatuhkan talak terhadap isterinya, baik melalui ucapan yang jelas atau melalui perbuatan dengan tujuan kembali ke dalam ikatan pernikahan, konsep rujuk dalam bahasa fiqh Islam dibicarakan dalam permasalahan talak satu dan talak dua. Dapat dirumuskan bahwa rujuk ialah mengembalikan status hukum

27

(20)

20 pernikahan secara penuh setelah terjadinya talak raj’i yang dilakukan oleh mantan

suami terhadap mantan isterinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu.28

Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadinya talak antara suami isteri meskipun bersetatus talak raj’i namun pada dasarnya talak itu mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-laki lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, kendati mantan suami dalam masa iddah berhak merujuk mantan isterinya itu dan mengembalikannya sebagaimana suami isteri yang sah secara penuh, namun karena timbulnya itu berdasarkan talak yang diuccapkan oleh mantan suami terhadap mantan isterinya itu, maka untuk menghalalkan kembali mantan isterinya menjadi isterinya lagi haruslah dengan pernyataan rujuk yang diucapkan oleh mantan suami dimaksud.

B. Kedudukan Isteri Dalam Rujuk Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam KHI telah memuat aturan-aturan rujuk secara terperinci. Dalam tingkat tertentu, KHI hanya mengulang penjelasan fiqih. Namun berkenaan

dangan proses, KHI lebih maju daripada fiqh itu sendiri.29 Mengapa KHI

dikatakan lebih maju karena KHI memberikan hak yang sama anatara laki-laki dan perempuan khususnya permasalahan rujuk. Permasalahan rujuk di dalam KHI diungkapkan pada buku pertama tentang hukum perkawinan dan secara khusus diatur dalam Bab XVIII pasal 163 sampai pasal 169.

28 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hlm 286-287 29

Amir Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum

(21)

21 Pasal 163 KHI

(1) Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.30

Isteri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak

dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah31, karena

dalam masa itu mantan isteri tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, karena di masa iddahlah masih ada kemungkinan untuk bersatu kembali hubungannya dan rujuk itu sendiri hanya berlaku bagi wanita yang sedang menjalani masa iddah talak raj’i (talak satu dan talak dua).

(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:

a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah terjatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla ad-dukhul.

b. putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan atau

alasan-alasan selain zina dan khuluk.32

Selanjutnya pada pasal 164 dsn 165 KHI ada penjelasan yang sangat signifikan dan berbeda dengan fiqh yaitu: Diantara pasal-pasal yang mengatur rujuk, yaitu pasal 164dan 165 KHI tidak sejalan dengan aturan fiqh, karena rujuk dalam pandangan fiqh tidak memerlukan persetujuan dari pihak isteri dengan alasan, bahwa yang demikian adalah hak mutlak seorang suami yang dapat digunakan tanpa sepengetahuan orang lain, termasuk isteri yang akan dirujukinya

30

...,Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007) hlm 286

31

Amir Syarifuddin, hukum perkawinan Islam di Indonesia... hlm 322

32

(22)

22

tersebut.33 Sedangkan dalam KHI rujuk tanpa persetujuan dari mantan isteri tidak

sah hukumnya. Sesuai dengan pasal berikut:

Pasal 164 KHI

Seorang wanita dalam iddah talak raj‘i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari mantan suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.

Pasal 165 KHI

Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak

sah dengan putusan Pengadilan Agama.34

Dalam pasal ini dijelaskan bahwasannya dalam rujuk selain harus mendapat persetujuan dari isteri juga harus di catat oleh pegawai pencantat nikah (PPN) sebagai bukti bahwa kedua belah pihak telah resmi rujuk. Selanjutnya tentang tatacara pelaksanaan rujuk itu diatur secara panjang lebar dalam pasal 167sampai dengan pasal 169.

Dalam kitab fiqh lebih banyak memuat hukum materiil dan hampir tidak membahas tata cara atau hukum acaranya. Jadi kesimpulannya aturan yang terdapat dalam KHI merupakan kemajuan dari aturan yang telah ditetapkan dalam

kitab fiqh.35 Berikut adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hukum formil

33

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat

dan Undang-undang Perkawinan, (jakarta: Kencana, 2006), hlm 347

34 Ibid., hlm 287 35

(23)

23 atau tata cara rujuk dalam kompilasi hukum Islam. Dalam pasal Pasal 167 disebutkan bahwa suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami -istri dengan membawa penetapan tentang

terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.36

Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila suami dengan istri setelah bercerai dan ingin rujuk selain harus atas persetujuan dari mantan isterinya juga diharuskan membawa surat keterangan dari pengadilan Agama yang menjelaskan tentang terjadinya perceraian terebut dan dalam hal ini harus masih dalam masa iddah serta melapor ke pegawai pencatat nikah setempat. Selanjutnya diatur bahwa rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat

Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.37 Oleh karena dalam rujuk tanpa

adanya persetujuan dari mantan isteri rujuknya tidak sah hukumnya menurut KHI selain itu harus dilakukan dihadapan pegawai pencatan nikah setempat, untuk mengetahui bahwa seorang suami isteri yang telah cerai tersebut benar-benar telah rujuk kembali .

Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj‘i, apakah perempuan yang akan dirujuk

36

...,Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam,hlm 288

(24)

24

itu adalah istrinya.38 Jadi menurut poin ini pegawai pencatan nikah sebelum

melakukan proses rujuk antara suami dan isteri yang sudah bercerai haruslah memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu niat mantan suami untuk merujuk mantan isteri, isteri tidak keberatan bila diajak rujuk oleh mantan suaminya dan bukti akta perceraian dari Pengadilan Agama guna mengetahui apakah mantan isterinya masih dalam keadaan masa iddah.

Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang

bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.39

Harus ada niat dari mantan suaminya untuk melakukan rujuk selain itu harus atas persetujuan mantan isterinya ketika suami mau merujuknya serta disertai saksi-saksi. Minimal ada dua saksi dalam pengucapan rujuk dihadapan pegawai pencatat nikah. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasihati suami-istri tentang hukum-hukum

dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.40 Dalam hal ini setelah

rujuk dilaksanakan maka hubungan antara suami dan isteri yang telah bercerai tadi resmi rujuk dan bisa meneruskan keluarganya lagi beserta kewajibannya sebagai suami isteri yang sah lagi.

Dalam Pasal 168 disebutkan bahwa dalam hal rujuk yang dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta

38

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam

39

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam

40

...,Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(25)

25 saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan. Selain itu, pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan. Apabila lembar pertama dari Daftar Rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang

sebab-sebab hilangnya.41

Setelah persyaratan dan proses rujuk dijalankan maka tugas dari pegawai pencatat nikah membuatkan surat keterangan mengenai rujuk tersebut untuk memperkuat dan sebagai bukti bahwa kedua belah pihak yang bersangkutan telah resmi rujuk.

Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri

Agama42. Suami-istri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran

Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang

41

Ibid.,, hlm 288

42

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

(26)

26 telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan telah rujuk. Catatan yang dimaksud Ayat (2), berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk, dan tanda

tangan panitera.43 Selain itu, juga sebagai bukti tertulis (dokumen) untuk

memeperjelas bahwa yang bersangkutan telah rujuk secara hukum terhadap isterinya.

C. Tinjauan Teoritis tentang Hak Asasi Manusia

Hak merupakan unsur hukum normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan terkait dengan interaksinya antara individu atau instansi, hak juga merupakan suatu yang harus diperoleh. Sedangkan Hak Asasi Manusia (HAM)

dalam diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia.44 HAM merupakan

hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia. Keberadaanya diyakini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Meskipun kemunculan HAM adalah sebagai respons dan reaksi atas berbagai tindakan yang mengancam kehidupan manusia, namun sebagai hak, maka HAM pada hakikatnya telah ada ketika manusia itu ada di muka bumi. Dengan kata lain, wancana HAM bukanlah berarti menafikan eksistensi hak-hak asasi yang sebelumnya memang

telah diakuai oleh manusia itu sendiri secara universal.45 Hak Asasi Manusia

adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia

43

Ibid, hlm 289

44

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm 334

45

(27)

27 sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia

Kini, HAM diperbincangkan dengan intensif seiring dengan intesitas kesadaran manusia atas hak yang dimilikinya. Ia menjadi aktual karena seiring dilecehkan dalam sejarah manusia sejak awah hingga kurun waktu kini. Dalam tataran kontekstual, HAM mengalami proses perkembangan yang sangat kompleks. HAM adalah puncak konseptualisasi manusia tentang dirinya sendiri. Karena itu, jika disebutkan sebagai konsepsi, maka itu berarti pula sebuah upaya maksimal dalam melakukan formasi pemikiran strategis tentang hak yang dimiliki manusia. Perbincangan itu sulit dipisahkan dari sejarah manusia dan peradaban.

1.1 Macam-Macam Hak Dalam Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia

Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun1999 tentang

Hak Asasi Manusia dari:46

a. Bagian Kesatu

Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.

46

(28)

28 b. Bagian Kedua

Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas.

c. Bagian Ketiga

Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk

memperjuangkan hak pengembangan dirinya. Baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara.

d. Bagian Keempat47

Hak memperoleh keadilan. Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadial dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.

e. Bagian Kelima48

Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk Agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.

47 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 164 48

(29)

29

f. Bagian Keenam49

Hak atas rasa aman. Seriap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tentran serta pelindungan terhadap ancaman ketautan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

g. Bagian Ketujuh50

Hak atas kesejahteraan, setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang laindemi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapat jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memeperjuangkan kehidupannya.

h. Bagian Kedelapan51

Hak turut serta dalam pemerintahan. Setia warga negara berhak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantara wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.

i. Bagian kesembilan

Hak wanita, seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, prosesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan

49

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 167

50

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 168

(30)

30 perlindungan khusus dalam melaksanakan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.

j. Bagian kesepuluh52

Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasanya secara melawan hukum.

Secara khusus, dalam hal hak perempuan, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada bagian kesembilan, menyebutkan

pada pasal 50 yaitu:53 bahwa perempuan yang telah dewasa dan/atau telah

menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya,”. Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa seorang wanita memiliki hak untuk melakukan “ perbuatan hukum”. Wanita

dalam pasal tersebut disebut juga sebagai subyek hukum.54 Subyek hukum

mengandung arti bahwa setiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang agama dan kebudayaannya mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum. Sedangkan wanita yang memepunyai hak dalam pasal tersebut terbatas pula pada wanita yang telah dewasa dan atau yang telah menikah. Telah dewasa di sini dapat diartikan sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Karena manusia sebagai hukum

52

Ibid,.., hlm 172

53

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (jakarta : kencana,2007), hlm 171

(31)

31 mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum apabila manusia telah dewasa serta sehat jiwanya (rohaninya) dan tidak sedang dalam pengampuan.

Selanjutnya yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah55 setiap

perbuatan atau tindakan subjek hukum yang mempunyai akibat hukum, dan akibat

hukum itu memang dikehendaki oleh subjek hukum. Menurut R. Soeroso,56

perbuatan hukum adalah setiap subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang akibatnya diatur oleh hukum, karena akibatnya itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang melakukan hukum.

Dalam hal ini penolakan rujuk yang dilakukan oleh isteri dalam masa iddah bisa dikategorikan sebagai perbuatan hukum. Karena penolakan rujuk tersebut berasal dari pihak isteri yang menghendaki penolakan tersebut dan perbuatan tersebut berakibat pada perubahan status isteri, yaitu status menjadi mantan isteri atau status kembali menjadi isteri yang sah dengan adanya akad nikah baru sesuai dengan putusan Pengadilan Agama.

Perbuatan hukum terdiri atas tiga jenis, yaitu:57

1. Perbuatan hukum bersegi satu, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja, misalnya pemberian wasiat.

55

http//hukumonline.com yang diakses pada tanggal 7 januari 2011

56 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) hlm 291 57

(32)

32 2. Perbuatan hukum bersegi dua, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih, misalnya perjanjian yang dilakukan oleh dua orang sebagai subjek hukum.

3. Perbuatan hukum bersegi banyak, yaitu perbuatan hukum yang akibat hukumnyaditimbulkan oleh kehendak dari banyak pihak, seperti perjanjian yang melibatkan banyak pihak.

Dalam konteks masalah menolak atau menerima rujukyang dilakukan oleh isteri ini termasuk pada perbuatan huum segi dua.karena rujuk dalam hal ini sama halnya dengan pernikahan. Sedangkan pernikahan termasuk dalam perjanjian antara dua orang yaitu suami dan isteri.

Perbuatanhukum yang dilakukan oleh isteri dalam masa Iddah ini

memepunyai akibat hukum. Akibat hukum adalah58 akibat yang diberikan

oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum. Ada tiga jenis akibat hukum, yaitu:

1. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, lenyapna sauatu keadaan hukum tertentu.

2. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua subjek hukum atau lebih di mana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.

3. Lahirnya sanksi jika dilakukan tindakan yang melawan hukum.

(33)

33 Sedangkan dalam masalah menolak atau menerima rujuk termasuk dalam akibat hukum kedua, yaitu lahirnya , berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara suami isteri. Setelah adanya putusan talak satu atau talak dua daru seorang suami kemada isteri maka hubungan suami isteri berada dalam batasan masa iddah, yaitu suami mempunyai hak untuk merujuk i isterinya yang sedang dalam masa iddah tersebut bila suami menghendaki rujuk. Namun apabila rujuk yang dilakukan suami dalam masa iddah isteri tersebut ditolak oleh isteri maka maka tidak akan terjadi rujuk kecuali atas putusan hakim pengadilan Agama. Apabila penolakan rujuk isteri dikabulkan oleh hakim pengadilan Agama maka akan menimbulkan akibat hukum kedua, yaitu berupa lahirnya, berubahnya dan lenyapnya suatu hukum antara dua subjek hukum atau lebih dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lain. Artinya, hubungan suami dan isteri tidak bisa kembali seperti semula dengan menjadi keluarga.

Selanjutnya, dalam pasal 50 tersebut terdapat kata-kata “kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”. Hal ini relavan dengan pasal 165 KHI yang menyebutkan bahwa rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan manta isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan hakim peradilan Agama. Sedangkan yang dimaksud dengan “hukum Agamanya” dalam hal ini adalah KHI. Karena KHI merupakan sumber hukum material pegadilan Agama dalam memutuskan suatu permasalahan hukum.

Pembicaraan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia sebetulnya bukan hal yang relatif baru. Meskipun demikian, hak asasi

(34)

34 perempuan yang sudah mulai terangkat dari beberapa waktu sebelumnya, kelihatannya semakin menguat dari waktu-ke waktu. Seseorang yang menjadi korban tidak lagi hanya akan cukup menerima bahwa ia memiliki hak, namun ia akan mulai mencari dimana letak jaminan akan hak tersebut dan bagaimana caranya agar hak tersebut dapat diperoleh. Tentu saja proses ini bukan proses yang sekali jalan, melainkan mensyaratkan hal-hal tertentu. Yang sangat mendasar bagi upaya untuk memperoleh hak adalah pengetahuan dasar tentang hak tersebut dan jaminannya ada dimana. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dengan berbagai cara yang antara lain melalui bacaan, berdiskusi secara intens, dan olahan pengalaman. Tulisan ini memberikan informasi dasar tentang hak perempuan, instrumen-instrumen yang mencantumkannya dan secara khusus membahas Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Hak Asasi Perempuan, yaitu hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. Sistem ini meliputi berbagai instrumen hukum dan perangkat pelaksanaan sistem hukum baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Berbagai sistem tersebut tidak saja mencantumkan hak yang diakui namun juga bagaimana menjamin dan mengakses hak tersebut. Dalam konteks Indonesia misalnya, pengaturan hak asasi manusia kaum perempuan dapat ditemui di dalam UUD 1945, KUHPidana, KUHPerdata, UU No. 1 tahun 1974 tentang

(35)

35 Perkawinan, UU Peradilan HAM dan berbagai peraturan lain. Penegakannya dilakukan oleh institusi negara dan para penegak hukum.

Salah satu sumber utama hak asasi perempuan adalah adalah UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. UU tersebut secara jelas mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang dibuat pada tahun 1979 dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang muncul pada tahun 1947 dan disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini (selanjutkan akan disebut sebagai DUHAM), merupakan awal kodifikasi tentang standar pengakuan hak manusia yang di dalamnya termasuk hak perempuan. Deklarasi ini diakui sebagai standart umum bagi semua masyarakat dan semua bangsa untuk

berjuang bagi kemajuan martabat manusia.59

Diantara hak-hak yang dideklarasikan adalah hak atas persamaan, kebebasan, dan keamanan setiap orang, kebebasan dari perbudakan, siksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia, pengakuan sebagai seorang pribadi di depan hukum mencari keadilan, dan kebebasan untuk

berekspresi dan partisipasi politik.60 Disamping pasal-pasal tersebut berbagai

hak yang relevan dengan perempuan misalnya hak memilih pasangan, menikah dan mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, dan di saat

59

omen, Law and Development, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan, Langkah

demi langkah, terjemahan dan terbitan LBH APIK (Jakarta, 2001), hal. 13.

60

(36)

36 perceraian, Pasal 16 DUHAM : (1) Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa perekawinan dan di saat perceraian. (2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai . memiliki harta sendiri, P asal 17 DUHAM (1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, hak atas upah yang sama , Pasal 23 (2) Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama. hak perawatan dan bantuan istimewa, Pasal 25 (2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus

mendapat perlindungan sosial yang sama.61

Kewajiban negara dalam hal ini adalah membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan, kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan dan menjamin agar hak-hak tersebut dipenuhi. Negara juga berkewajiban untuk mengambil tindakan yang perlu termasuk perubahan perundang-undangan untuk menetapkan usia minimum perkawinan, dan mewajibkan pendaftaran perkawinan di kantor Catatan Sipil yang resmi. Dengan demikian negara akan menyatakan pertunangan dan perkawinan anak dibawah umur tidak mempunyai akibat hukum (tidak sah).

(37)

37

D. Tinjauan Teoritis tentang Maqasid Syari’ah

Secara bahasa Maqasid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqasid dan Syari’ah. Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqasid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki

atau memaksudkan, Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.62

Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti ءاملا يلا ردحت عضاوملا artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju

sumber kehidupan.63

Sebagai suatu disiplin ilmu, hukum Islam mengembangkan istilah-istilahnya sendiri sebagaimana disiplin ilmu lain. Oleh karena itu dalam Hukum Islam dapat ditemukan beberapa istilah tehnis yang hampir mirip namun berbeda pengertiannya yaitu Fiqih, Syari’ah dan Hukum Islam. Sebagai kajian awal memahami istilah-istilah tersebut dirasa sangat penting. Oleh karena itu istilah– istilah tersebut akan diuraikan secara singkat.

Fiqih secara harfiah berarti memahami atau mengerti, dan dalam pengertian terminologi berarti memahami dan mengetahui wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan penalaran akal dan metode tertentu sehingga diketahui ketentuan hukum perbuatan subyek hukum (mukallaf) dengan

dalil-dalilnya secara rinci.64 Sedangkan pengertian syariah dalam segi bahasa berarti

62

Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet, II), h. 170.

63

Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, ( Bandung: Pustaka, 1994), h. 140.

64

(38)

38 sumber air atau sumber kehidupan, sedangkan syari’ah dalam pengertian ahli hukum mempunyai pengertian ketetapan hukum yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur’an dan sunnah dengan menggunakan metode tertentu (ushul fiqh). Berdasarkan istilah syari’ah itulah terbentuk istilah hukum Islam yang berarti peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan landasan dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam

al-Qur’an dan Sunnah.65

1.2 Sifat-Sifat Hukum Islam

Hukum Islam yang berkembang dan diakui kebenarannya oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang bersumber dari sesuatu yang diyakini mempunyai nilai sakralitas yang tinggi, dan diharapkan dapat menuntun umat ke jalan yang lebih baik. Yaitu dengan berkembangnya hukum Islam ke masyarakat maka hukum Islam bisa menjadi pedoman masyarakat dalam mengambil suatu tindakan dalam bertindak sehari.

Proses perkembangan hukum Islam selalu didasari pada kaidah-kaidah hukum yang disampaikan kepada Nabi melalui wahyu Allah diturunkan secara berangsur-angsur antara lain untuk menghindari kegoncangan dalam masyarakat dan sekaligus pula bertujuan untuk mendidik manusia agar mampu meninggalkan (secara bertahap) kebiasaan-kebiasaan buruk ketika itu dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang didasarkan pada prinsip amar ma’ruf nahi mungkar

(39)

39

yaitu:”perintah melaksanakan perbuatan baik dan mencegah perbuatan buruk”.66

Beberapa sifat karakter hukum Islam yaitu:

Pertama. Bidimensional (dua dimensi) yaitu dimensi duniawi yaitu untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia selama ia hidup di dunia ini dan dimensi ukhrowi yang merupakan tujuan terakhir dari perjalanan hidup manusia. setiap ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an selalu mengandung dua dimensi ini, sekalipun ia menyangkut tentang status individu. Misalnya kedudukan suami sebagai kepala keluarga, ia tetap diperintahkan untuk selalu ingat bahwa ia terikat dalam suatu aqad nikah sebagai suatu perjanjian yang kukuh yang dilandasi oleh iman kepada Allah.

Kedua. Adil, karena dalam hukum Islam keadilan bukan merupakan tujuan, tetapi ia adalah sifat yang sudah melekat sejak kaidah-kaidah dalam syari’ah ditetapkan. keadilan dapat juga disebut sebagai fitrah hukum Islam.

Ketiga. Kemasyarakatan dan Individualistik yang diikat oleh nilai-nilai transendental. Dengan sifat ini Hukum Islam memiliki validitas (kekuatan berlaku) baik bagi perorangan maupun masyarakat. Dalam sistem hukum lainnya sifat semacam inipun ada, tetapi nilai transendental sudah diasingkan.

Keempat. Komprehensif (luas). bahwasanya dalam cakupannya Hukum Islam memiliki wilayah yang luas yaitu: ibadah yang meliputi: iman, shalat, zakat, puasa dan haji. Dan cakupan keluasan selanjutnya yaitu dalam urusan hubungan sosial masyarakat yang meliputi: muamalah, munakahat, wiratsah, ukubat

(40)

40 (pidana), mukhsamat (hukum acara), siyar (hukum interNasional) dan al-Ahkam al-Sultaniah (hukum tata negara).

Kelima. Dinamis, karena Hukum Islam selalu dapat bergerak dengan perputaran zaman. salah satu penyebabnya karena dalam Islam terdapat sumber hukum ketiga yaitu ijtihad yang mana ini merupakan suatu metode untuk merumuskan perincian kaidah Hukum Islam yang berkaitan dengan aspek-aspek kemasyarakatan atau menemukan hukum baru dengan syarat tidak menyimpang

dari jiwa Al-Qur’an dan sunnah Rosul Allah. 67

1.3 Tujuan Hukum Islam

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat

dinamakan Hukum Islam.68 Hal senada juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia

menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’

(membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).69

67

Ibid., hal. 47-50.

68

Ibn Qayyim, I’lam al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, (Beirut:Dar al-Jayl, t.th.), Jilid III h.3

69

Al- Syatiby, al-Muafaqat fi Ushul al- Syari’ah, (Kairo Mustafa Muhammad, t.th.), h. 150

(41)

41 Kalau dipelajari dengan seksama, ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya yang terdapat dalam al-Qur’an dan kitab-kitab hadits, dapat diketahui tujuan Hukum Islam yang secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan Hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia didunia ini dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat bagi jasmani, rohani, individu dan sosial manusia dan mencegah atau menolak yang mudharat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.

Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqasid Syari’ah / Maqasid al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.70

a. Pemeliharaan Agama.

Hal ini disebabkan agama merupakan hak dasar, pedoman dan sikap hidup manusia maka oleh karena itu Hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kebebasan setiap orang untuk beribadat menurut keyakinannya Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

1. Memelihara Agama dalam peringkat Dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti

70

Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Ghazali, mustashfa min ‘Ilm

(42)

42 melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan

terancamlah eksistensi Agama.71

2. memelihara Agama dalam peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.

3. Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.

b. Pemeliharaan Jiwa.

Pemeliharaan jiwa adalah upaya untuk menjaga hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.untuk itu tujuan hukum Islam melarang merusak jiwa seperti: menganiaya, melukai,menyakiti, bahkan pembunuhan (Q.S.17:33):

ُس يهِّييلَويل اَنْلَعَج ْدَقَ ف اًموُلْظَم َليتُق ْنَمَو ِّقَْلْايب َّلَيإ ُهَّللا َمَّرَح يتَِّلا َسْفَّ نلا اوُلُ تْقَ ت َلََو

َلََف اًناَطْل

َقْلا يفِ ْفيرْسُي

اًروُصْنَم َناَك ُهَّنيإ يلْت

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli

71

Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), jilid II, h. 2-3

(43)

43 warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.72

(Q.S.17:33).

Sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk dan mempertahankan

kemaslahatan hidupnya. Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat

kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

1. memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.

2. memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.

3. memelihara dalam tingkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.73

c. Pemeliharaan Akal.

karena dengan mempergunakan akalnya manusia akan dapat berpikir tentang tuhannya, alam semesta dan dirinya sendiri dan dengan akal manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan tanpa akal manusia tidak mungkin pula menjadi pelaku dan pelaksana Hukum Islam.

72

Departemen Agama. Al-Quran dan Terjemah, hlm 429

73

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.128 – 131.

(44)

44 Memelihara aqal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

1. Memelihara aqal dalam peringkat daruriyyat,seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi aqal.

2. Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

3. Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi aqal secara

langsung.74

d. Pemeliharaan Keturunan

Agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan. Hal ini tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat dalam hukum kekeluargaan dan kewarisan sebagai salah satu bagian dari Hukum Islam yang secara khusus diciptakan Allah untuk memelihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

1. memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

2. memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu aqad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misal, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.

3. memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka

Referensi

Dokumen terkait

7 Saya bersemangat mengikuti pelajaran 8 Saya malas mengerjakan tugas dari guru 9 Saya tidak menanggapi teman yang mengajak. bicara saat saya

1. Penyedia barang dan/atau jasa memasukkan Dokumen Penawaran dalam jangka waktu dan sesuai persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan. Dokumen Penawaran

Percobaan menghasilkan simpulan kombinasi perlakuan dosis FMA 7,5 gram/tanaman dengan konsentrasi ZPT akar 25 mg/mL menghasilkan pertumbuhan paling baik terhadap persentase

Kegiatan De#kri2#i Kegiatan Aloka#i 'aktu dengan 2e#an untuk teta2 ela!ar.

Pengelolaan berbasis PHT dapat dilakukan dengan saran sebagai berikut: Berusaha untuk tidak membuat luka pada buah, membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman yang berpenyakit,

Ikterus obstruktif, disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris (yang sering terjadi bila sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktus koledokus) atau kerusakan sel hati

Perawat dalam melaksanakan tugasnya bukan hanya dihadapkan pada berbagai peran dan tugas pokoknya, namun terdapat beberapa penyebab primer yang dapat memicu terjadinya stres