• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB. IV ABSTRAK. Kata kunci: jagung pulut, komponen hasil, daya gabung umum, daya gabung khusus, dan toleran kekeringan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB. IV ABSTRAK. Kata kunci: jagung pulut, komponen hasil, daya gabung umum, daya gabung khusus, dan toleran kekeringan"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB. IV

Daya Gabung Karakter Hasil dan Komponen Hasil Galur-galur Jagung Pulut (waxy corn) pada Kondisi Lingkungan Tanpa Cekaman dan Lingkungan

Tercekam Kekeringan ABSTRAK

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi potensi hibrida nilai daya gabung, nilai heterosis galur jagung pulut, toleran terhadap lingkungan tercekam kekeringan sebagai kandidat tetua pembetukan varietas hibrida. Materi genetik yang digunakan adalah satu set hibrida terdiri dari 100 hibrida hasil silang diallel di evaluasi pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan tercekam kekeringan, menggunakan rancangan diallel metode 1 model 1 dari Griffing, diulang tiga kali, setiap genotipe ditanam dalam dua baris dengan panjang 5 m dan jarak tanam 0,75 m x 0,20 m. Percobaan pertama dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikeumeuh Bogor, mulai bulan Februari hingga Mei 2008 dan Percobaan kedua dilaksanakan di Kebun Percobaan Balitsereal Maros Sulawesi Selatan, dan Kebun Percobaan Muneng Jawa Timur, mulai bulan Juli hingga November 2008. Hasil percobaan menunjukkan bahwa terdapat beberapa genotipe memiliki daya gabung baik untuk karakter bobot biji pertanaman dan anthesis silking interval pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan, karakter bobot biji pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan menunjukkan perilaku daya gabung yang sama, sedangkan karakter anthesis silking interval pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan menunjukkan perilaku daya gabung yang berbeda, genotipe yang toleran terhadap cekaman kekeringan di lokasi Muneng adalah persilangan P2/P9, P2/P10, P5/P9, P7/P9, P8/P2, P8/P4, P9/P1, P9/P5, P9/P6, dan P10/P5 sedangkan di lokasi Maros adalah persilangan P1/P4, P1/P9, P3/P4, P3/P8, P4/P6, P4/P10, P5/P1, P5/P4, P5/P9, P7/P6, P8/P4, P10/P5, dan P10/P6.

Kata kunci: jagung pulut, komponen hasil, daya gabung umum, daya gabung khusus, dan toleran kekeringan

(2)

Combining Ability Analysis of Yield Characters and Components of Waxy Corn Lines Under Normal and Stress Environment Conditions

ABSTRACT

The objectives of this research were to obtain the information of combining ability value, heterosis value of waxy corn lines, and tolerance to drought of several promising corn parental materials. The genetic materials included one set of hybrid consists of 100 diallel cross hybrids and evaluated at normal and drought conditions. Diallel design 1 model 1 method of Griffing was followed, with three replications. Each genotype was planted in two rows of 5 meters long and 0.75 m x 0.20 m planting distance The experiment was conducted at the ICERI experimental station Maros South Sulawesi, and Muneng experimental station East Java, from July until November 2008. The results showed that there were several genotypes possess good combining ability for grain weight character and interval silking anthesis on normal and drought stress. The grain weight character on normal and drought stress indicated similar combining ability behavior, while silking anthesis character on both conditions showed different combining ability behavior. The drought tolerant genotypes in Muneng were cross of P2/P9, P2/P10, P5/P9, P7/P9, P8/P2, P8/P4, P9/P1, P9/P5, P9/P6, and P10/P5, while the ones in Maros were cross of P1/P4, P1/P9, P3/P4, P3/P8, P4/P6, P4/P10, P5/P1, P5/P4, P5/P9, P7/P6, P8/P4, P10/P5, and P10/P6.

Keyword: waxy corn, yield components, general combining ability, spesific combining ability, and drought tolerance

(3)

PENDAHULUAN

Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur atau tetua, yang bila disilangkan dengan galur lain akan menghasilkan hibrida dengan penampilan superior. Konsep daya gabung sangat penting dalam pemuliaan, berkaitan dengan prosedur pengujian galur-galur berdasarkan penampilan kombinasi keturunannya. Nilai masing-masing galur terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan keturunan unggul bila dikombinasikan dengan galur-galur lain (Allard 1960).

Daya gabung ada dua macam yakni daya gabung umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (specific combining ability). Daya gabung umum (DGU) adalah nilai rata-rata dari galur-galur dalam seluruh kombinasi persilangan bila disilangkan dengan galur-galur lain. Daya gabung umum yang baik adalah nilai rata-rata kombinasi persilangan mendekati nilai rata-rata-rata-rata keseluruhan persilangan. Daya gabung khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu. Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik daripada nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan daya gabung khususnya baik (Poehlman dan Sleeper 1995).

Daya gabung umum merupakan simpangan dari nilai rata-rata seluruh persilangan, sehingga nilai daya gabung umum dapat positif atau negatif. Dengan demikian jumlahnya sama dengan nol. Jadi nilai daya gabung umum merupakan angka yang relatif terhadap nilai daya gabung umum yang lain. DGU yang besar menunjukkan tetua/galur yang bersangkutan mempunyai kemampuan bergabung dengan baik, sedangkan nilai DGU yang rendah menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kemampuan bergabung yang lebih rendah daripada tetua yang lain. Nilai positif atau negatif dari DGU tergantung pada karakter yang diamati dan bagaimana cara menilainya. Daya gabung yang diperoleh dari suatu persilangan antar kedua tetua, dapat memberikan informasi tentang kombinasi-kombinasi yang dapat memberikan turunan yang berpotensi hasil tinggi. Hasil tinggi dapat diperoleh apabila kombinasi tersebut memiliki nilai heterosis dan daya gabung khusus yang besar. Galur yang mempunyai efek daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan efek daya gabung khusus yang tinggi pula (Silitonga et al. 1993).

Daya gabung umum dan daya gabung khusus yang bermakna untuk karakter yang dievaluasi berindikasi bahwa keragaman karakter disebabkan oleh efek gen aditif dan

(4)

non aditif. Nilai DGU dan DGK dari semua karakter dari suatu galur dapat diketahui, diantaranya karakter hasil, tinggi tanaman, bobot biji, ketahanan terhadap hama penyakit dan lain-lain. Menurut Setiyono dan Subandi (1996) hasil pipilan suatu hibrida F1 akan tinggi apabila kedua tetua komponen pembentuk hibrida tersebut memiliki efek DGU dan DGK yang tinggi. Untuk umur masak, efek DGU dan DGK yang negatif sangat bermanfaat untuk merakit varietas yang berumur genjah.

Beberapa varietas jagung bersaribebas yang telah dirilis oleh pemulia tanaman Badan Litbang Pertanian. Varietas Bisma yang dirilis tahun 1995 dan varietas Lamuru 2000 telah populer karena keunggulannya dalam beberapa pengujian di lahan kering (Subandi et al. 1998). Perakitan suatu varietas toleran terhadap lingkungan spesifik dengan menyeleksi materi pemuliaan pada lingkungan target sebagai suatu populasi yang akan diperbaiki sifat toleransinya terhadap lingkungan cekaman kekeringan, perlu dilakukan untuk mengetahui kemajuan genetik yang diperoleh akibat seleksi pada lingkungan target.

Pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperbaiki karakter tanaman sesuai dengan kebutuhan manusia dengan memanfaatkan potensi genetik dan interaksi genotipe x lingkungan. Lingkungan seleksi menentukan keberhasilan pemuliaan untuk mendapatkan varietas yang sesuai dengan lingkungan yang menjadi target. Seleksi pada lingkungan yang mirip dengan lingkungan target akan menghasilkan kemajuan seleksi yang lebih besar daripada seleksi tak langsung atau seleksi pada lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan target (Banziger et al. 1997). Lebih lanjut Banziger et al. (1997) menyatakan masih terdapat perbedaan pendapat pada lingkungan mana sebaiknya seleksi dilakukan. Oleh karena itu pada lingkungan cekaman kekeringan yang mana seleksi selayaknya dilakukan agar mendapatkan varietas toleran lingkungan tercekam kekeringan.

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi nilai daya gabung dan nilai heterosis galur-galur jagung pulut (waxy corn) yang memiliki kandungan amilopektin tinggi, toleran terhadap lingkungan tercekam kekeringan sebagai kandidat tetua pembetukan hibrida.

(5)

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama dilaksanakan di KP. Cikeumeuh, Balai Besar Penelitian Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik (BB-Biogen) Bogor dari Februari hingga Mei 2008. Percobaan kedua dilaksanakan di KP. Muneng Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang dan di KP. Maros Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) Maros dari bulan Juli hingga November 2008.

Percobaan 1: Pembentukan hibrida F1.

Materi genetik yang digunakan adalah sepuluh galur jagung pulut (waxy corn) yang memiliki jarak genetik jauh hasil seleksi pada kegiatan penelitian pertama (Tabel 9).

Tabel 9 Materi genetik yang digunakan dalam persilangan diallel

No. Materi genetik Populasi Asal Warna/Tipe biji Klaster Jarak Genetik 1. PTBC4-7-5-BB Tuxpeno/Pulut Takalar Putih/Semi flint III 0,58 2. PTBC4-9-3-BB Tuxpeno/Pulut Takalar Putih/Semi flint III 0,54 3. PTBC4-17-1-BB Tuxpeno/Pulut Takalar Putih/Semi flint III 0,60 4. PTBC4-10-1-BB Tuxpeno/Pulut Takalar Putih/Semi flint II 0,59 5. PTBC4-15-1-BB Tuxpeno/Pulut Takalar Putih/Semi flint II 0,65 6. PTBC4-20-1-BB Tuxpeno/Pulut Takalar Putih/Semi flint II 0,71 7. PTBC4-22-2-BB Tuxpeno/Pulut Takalar Putih/Semi flint II 0,62 8. MSP2(10)-82-1-BB Populasi Pulut Sul-Sel Putih/flint I 0,73 9. MSP2(10)-113-1-BB Populasi Pulut Sul-Sel Putih/flint I 0,66 10. MSP2(10)-125-2-BB Populasi Pulut Sul-Sel Putih/flint I 0,66 Sepuluh galur jagung yang memiliki jarak genetik cukup jauh ditanam masing-masing lima belas baris per genotipe menggunakan jarak tanam 0,75 x 0,20 m dengan panjang barisan 2,5 m, benih sebelum ditanam diberikan perlakuan dengan metalaksil untuk mencegah penyakit bulai (Perenosclerospora maydis), saat tanam lubang tanam diberi karbofuran untuk mencegah serangan ulat bibit, penanaman dilakukan dengan menggunakan sistem tugal, pemupukan pertama diberikan saat tanaman berumur tujuh hari setelah tanam dengan takaran pemupukan 150 kg/ha Urea, 200 kg/ha SP36, dan 100 kg/ha KCL, dengan menugal disamping tanaman, pemupukan kedua diberikan saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam dengan takaran pemupukan 150 kg/ha Urea.

(6)

Saat tanaman berumur ±45-55 hari setelah tanam dilakukan persilangan diallel penuh (Lampiran 3). Persilangan dilakukan antara tanaman (plant to plant) dari masing-masing kombinasi. Jumlah tongkol F1yang dihasilkan sedikitnya enam tongkol tiap pasangan persilangan.

Percobaan 2: Evaluasi Daya Gabung

Evaluasi daya gabung karakter hasil dan komponen hasil pada dua kondisi lingkungan yakni kondisi tanpa cekaman dan kondisi lingkungan tercekam kekeringan hibrida F1(hasil persilangan diallel penuh pada musim pertama). Materi hibrida F1(100 genotipe) yang dihasilkan pada percobaan pertama ditanam, disusun mengikuti pola Rancangan Acak Kelompok, diulang tiga, masing-masing genotipe ditanam dua baris, tata letak dilapangan sesuai dengan Lampiran 5.

Pelaksanaan:

Pengolahan tanah dilakukan dengan baik sehingga tanah menjadi remah, sehingga pertumbuhan tanaman jagung akan tumbuh baik apabila tanahnya gembur. Pembuatan saluran drainase diantara petakan perlakuan untuk pembuangan air yang berlebih dan mencegah terjadi rembesan dari samping sehingga perlakuan yang diberikan tetap pada kondisi yang diinginkan. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara membajak tanah dua kali kemudian dilakukan penggaruan untuk menghancurkan bongkahan tanah dan dilakukan perataan serta rotari untuk lebih memperhalus tekstur tanah, kemudian dibuat plot dengan ukuran 1,5 m x 5,0 m. Penanaman dilaksanakan menggunakan tugal jarak tanam yang digunakan adalah 0,75 x 0,20 m, panjang barisan 5 m, benih sebelum ditanam diberikan perlakuan dengan metalaksil untuk mencegah penyakit bulai (Perenosclerospora maydis), saat tanam lubang tanam diberi karbofuran untuk mencegah serangan ulat bibit, penanaman dilakukan dengan menggunakan sistem tugal, pemupukan pertama diberikan saat tanaman berumur tujuh hari setelah tanam dengan takaran pupuk 150 kg/ha Urea, 200 kg/ha SP36, dan 100 kg/ha KCl, dengan cara menugal disamping tanaman, pemupukan kedua diberikan saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam dengan takaran pemupukan 150 kg/ha Urea.

Penyiangan dilakukan 2–3 kali tergantung keadaan gulma dengan membersihkan gulma yang berada di sekitar tanaman. Penyiangan pertama pada waktu tanaman

(7)

berumur 2–3 minggu setelah tanam (mst) dan 4–6 mst. Penyiangan kedua dilakukan bersamaan dengan pembumbunan, pembumbunan dilakukan untuk mempermudah pengairan. Pengendalian hama dan penyakit utama pada tanaman dilakukan untuk mengurangi penurunan hasil dengan menggunakan pestisida atau fungisida sesuai dengan dosis anjuran.

Perlakuan pengairan pada petakan tanpa cekaman kekeringan, pemberiaan air dilakukan setiap dua minggu sekali sampai tanaman menjelang panen saat tanaman memasuki fase masak fisiologis dengan ditandai terbentuknya black layer pada biji. Pemberian perlakuan pada petakan cekaman kekeringan, penghentian pemberian air pada dua minggu sebelum pembungaan (umur tanaman ±45 hst) sampai saat panen. Pelaksanaan panen dilakukan pada saat tanaman memasuki fase masak fisiologis dengan ditandai terbentuknya black layer pada biji (sekitar umur 100 –115 hst), menggunakan tenaga manusia untuk menghindari kehilangan hasil.

Pengamatan:

Pengamatan dilakukan terhadap karakter bobot biji per tanaman (gram), anthesis silking interval (hari), hasil (t ha-1).

Analisis Data:

Analisis daya gabung dilaksanakan dua tahap, yaitu analisis varians untuk mengetahui perbedaan respon antar genotipe, jika pada analisis varians diperoleh respon genotipe yang berbeda nyata maka dilanjutkan analisis daya gabung. Analisis perbedaan genotipe dengan model statistiknya (Singh dan Chaudhary 1979) sebagai berikut:

Yijk = m + Tij + Rk + {(RT)ijk + eijk} dimana:

Yijk : genotipe i x j dalam ulangan ke k m : rata-rata umum

Tij : efek genotipe i x j Rk : efek ulangan ke k

RTijk: interaksi ulangan dengan perlakuan eijk : galat

(8)

Tabel 10 Analisis varians perbedaan genotipe Sumber

Variasi

Derajat

Bebas Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah F0.05 % Ulangan (R) r –1   rt x t x ij 2 2 j .   1 r JKR  KTGalat Replikasi KT Perlakuan (T) t –1   rt x r x ij 2 2 . i   1 t JKT  KTGalat Perlakuan KT

Galat (r-1) (t-1) Jk Total JK Perlakuan

-JK Replikasi

  

r 1 r 1 JKGalat   Total rt-1

rt 2 ij x 2 ij x

Keterangan: r = jumlah ulangan, t = jumlah perlakuan

Analisis Daya Gabung:

Analisis daya gabung dilakukan jika pada analisis perbedaan antara genotipe terdapat perbedaan yang nyata. Data dianalisis daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) dengan menggunakan metode 1 (tetua, F1 dan resiprokalnya) model 1 dari Griffing (1956). Tetua yang dianalisis adalah sepuluh.

Model statistika untuk analisis daya gabung menurut Griffing (1956) adalah: Yij = m + gi + gj + sij + rij + b 1



eijk dimana: Yij : rata-rata genotipe ke i x j m : nilai rata-rata umum

gi : efek daya gabung umum tetua ke- i gj : efek daya gabung umum tetua ke-j

sij : efek DGK untuk persilangan antara tetua ke-i dan tetua ke-j, sedemikian sehingga sij= sji

rij : pengaruh resiprokal untuk persilangan antara tetua ke-i dan tetua ke-j, sedemikian sehingga rij= -rji

b 1



eijk : pengaruh galat percobaan pada pengamatan ke ijk

i = j= 1,2,3,……….,n (galur) k = 1,2,3,……….….,r(ulangan)

(9)

Tabel 11 Analisis varians daya gabung metode I model 1 dari Griffing Sumber

Variasi

Derajat

Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhitung

DGU p –1 Sg 1 p g S  KTGalat KTDGU DGK p(p-1)/2 Ss 2 / ) 1 p ( p Ss  KTGalat KTDGK Resiprokal p(p-1)/2 Sr 2 / ) 1 p ( p Sr  KTGalat . s Re KT Galat (t-1) (r-1) Se r Se

Dimana: p: jumlah tetua, r: jumlah ulangan, t : jumlah perlakuan

Sg=

2 2 2 i j . . i Y.. p 2 Y Y p 2 1

Ss=



i j i i i ji ij ij Y p Y Y p Y Y Y . . 2 2 ..2 1 2 1 2 1 Sr=



  i j ji ij Y Y 2 2 1

Bila dalam analisis daya gabung ternyata ketiga kuadrat tengah berbeda nyata terhadap galat maka dapat dihitung secara tersendiri ketiga pengaruh sumber variasi tersebut. Perhitungannya mengacu pada Singh and Chaudhary (1979) sebagai berikut:

1. efek daya gabung umum :

Y .. 2 n 1 j . Y . i Y n 2 1  

2. efek daya gabung khusus :

 

Y..

2 n 1 j . Y .j Y i . Y . i Y n 2 1 ji Y ij Y 2 1 3. efek resiprokal :      ji Y ij Y 2 1

Perbedaan efek daya gabung umum diuji dengan uji-t dan nilainya dibandingkan dengan besarnya nilai beda kritis (BK). Nilai BK ini digunakan untuk melihat perbedaan efek DGU dari dua galur yang dibandingkan.

Nilai BK dihitung dengan formula dari Singh and Chaudhary (1979) sebagai berikut:

BK = S.E. x t (tabulated) dimana: S.E. = a

(10)

Estimasi Nilai Heterosis:

Jika uji daya gabung khusus berbeda nyata pada uji F taraf 5% berarti ada efek heterosis. Besar nilai heterosis biasanya dinyatakan dengan persen (%) dan besarnya dapat dihitung sebagai berikut (Halloran 1979):

1. Heterosis tetua tertinggi (High-parent heterosis)        HP HP -F h 1 x 100

2. Heterosis rata-rata tetua (Mid-Parent Heterosis)

          /2 P P 2 / P P F h 2 1 2 1 1 x 100 Keterangan:  1

F rata-rata penampilan hybrida 

1

P rata-rata penampilan tetua pertama 

2

P rata-rata penampilan tetua kedua HP = rata-rata penampilan tetua tertinggi

Pengaruh efek heterosis yang nyata diestimasi dengan menggunakan uji t-Student (α= 0,05): Uji beda nyata rata-rata F1dengan rata-rata tetua dan tetua terbaik dilakukan dengan uji t, dengan rumus sebagai berikut:

2 2 2 1 2 1 n S n S Sd   d S x x t 12 db t-tabel= (n1+ n2) - 2

Keterangan: Sd = ragam gabungan

2 1

S = ragam F1

2 2

S = ragam kedua tetua atau tetua terbaik n1 = jumlah data kedua tetua atau tetua terbaik n2 = jumlah data pada x..

1

x = rata-rata F1

2

x = rata-rata kedua tetua atau tetua terbaik t = t-hitung

dengan ketentuan bahwa jika:

t-hitungt-tabel, maka nilai heterosisnya nyata t-hitung < t-tabel, maka nilai heterosisnya tidak nyata.

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Genotipe Jagung Pulut

Analisis daya gabung dilakukan jika terdapat perbedaan yang nyata antar genotipe berdasarkan uji F terhadap karakter bobot biji per tanaman dan Anthesis Silking Interval (ASI). Tabel 12 menunjukkan perbedaan yang nyata dan sangat nyata antar genotipe untuk kedua karakter yang dievaluasi baik untuk lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan. Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan nilai daya gabung dapat dilakukan pada semua lokasi dan kondisi lingkungan.

Tabel 12 Kuadrat tengah perbedaan antara genotipe karakter bobot biji per tanaman dan anthesis silking interval pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan tercekam kekeringan di Muneng dan Maros pada MK2008

Sumber Keragaman db

Bobot biji per tanaman Anthesis Silking Interval Tanpa Cekaman Cekaman Tanpa Cekaman Cekaman Muneng Maros Muneng Maros Muneng Maros Muneng Maros

Ulangan 2 3304,53 3520,76 1004,80 789,30 1,110 0,760 1,043 1,773

Genotipe 99 3081,29* 4671,95** 1167,53** 2757,50** 1,644** 1,474** 0,733** 1,207*

Galat 198 2169,27 1379,18 1167,53 596,28 0,702 0,911 0,380 0,850

Keterangan: db = derajat bebas, tn = berpengaruh tidak nyata, * = berpengaruh nyata taraf 1%, ** = berpengaruh sangat nyata taraf 1%

Pengaruh Lingkungan Pengujian

Kekeringan dapat terjadi pada awal pertumbuhan, fase pengisian biji dan fase berbunga sampai panen. Prosedur CIMMYT (Banziger et al. 2000) dalam seleksi untuk kekeringan dengan mengevaluasi galur atau famili dengan cekaman pada waktu berbunga atau waktu pengisian biji (cekaman sedang) sehingga hasilnya dapat mencapai 30 - 60% dari hasil normal, dan cekaman kekeringan waktu berbunga sampai panen dan hasilnya 15 - 30%. Evaluasi dilakukan di tempat yang tidak ada curah hujan sehingga dapat diatur pengairannya.

Kriteria lingkungan untuk melaksanakan seleksi terhadap keragaman untuk toleransi terhadap cekaman abiotik, selain diperlukan kriteria yang tepat juga harus dilakukan pada lingkungan seleksi yang tepat. Pemilihan lingkungan seleksi yang tepat untuk seleksi karakter ketahanan terhadap kekeringan memerlukan pemahaman yang mendalam tentang sifat cekaman kekeringan (Sopandi 2006). Kekeringan merupakan

(12)

cekaman lingkungan yang bersifat sulit diduga, karena tidak terjadi sepanjang tahun berbeda dengan cekaman lingkungan edafik.

Reynolds et al. (2004) membagi cekaman kekeringan menjadi tiga pola cekaman yaitu (1) cekaman yang terjadi pasca anthesis, (2) cekaman kekeringan yang terjadi sebelum anthesis, dan (3) kekeringan yang terjadi secara terus menerus. Kondisi lingkungan seleksi pada percobaan yang dilakukan ini yakni pertanaman diatur dengan pemberian air secukupnya sampai umur 42 hari setelah tanam atau tanaman dalam fase keluarnya malai (tasseling stage), sedangkan pada lingkungan tanpa cekaman pemberian air dilakukan setiap dua minggu sekali dan diberikan sampai menjelang panen (maturity stage).

Lingkungan pengujian yang digunakan merupakan lingkungan pengujian dengan perbedaan waktu musim kering dan musim hujan yang sangat ekstrim. Lokasi Muneng merupakan lahan kering, jenis tanah andosol, ketinggi tempat 10 m dari permukaan laut, dengan tipe iklim E1 (musim hujan <6 bulan) dan lokasi Maros merupakan lahan sawah, jenis tanah latosol, ketinggian tempat 5 m dari permukaan laut, dan tipe iklim C3. Hasil analisis gabungan (Tabel 13) memperlihatkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata. Hal tersebut mengambarkan bahwa genotipe yang memiliki potensi bobot biji per tanaman yang berbeda, terdapatnya pengaruh lokasi sangat nyata dan interaksi antara genotipe x lokasi sangat nyata.

Tabel 13 Analisis gabungan karakter bobot biji per tanaman (gram) hasil persilangan diallel genotipe (1-100), lokasi (Maros dan Muneng), dan lingkungan (tanpa cekaman dan cekaman kekeringan) pada MK2008

Sumber Keragaman db JK KT F. Hitung

Ulangan 2 3429,408 1714,704 1,5529 Fak. A (Genotipe) 99 700503,817 7075,796 6,4081** Fak. B (Lokasi) 1 215480,814 215480,814 195,146** AB (G x L) 99 169074,539 1707,824 1,5467** Fak. C (Lingkungan) 1 520561,248 520561,248 471,4361** AC (G x Lingk) 99 153194,602 1547,42 1,4014** BC (Lok x Lingk) 1 37673,112 37673,112 34,1179**

ABC (G x Lok x Lingk) 99 133382,463 1347,298 1,2202tn

Galat 798 881154,084 1104,203

Total 1199 2814454,086

(13)

Hal ini menunjukkan bahwa di antara seratus genotipe jagung pulut yang diuji, tanggapnya terhadap dua lingkungan tumbuh (lokasi) untuk karakter bobot biji pertanaman tidak sama dan dapat diartikan diantara genotipe tersebut terdapat genotipe yang tumbuh baik pada lingkungan (lokasi) tertentu.

Analisis gabungan memperlihatkan adanya interaksi genotipe x lingkungan untuk karakter bobot biji per tanaman. Interaksi genotipe x lingkungan tersebut mengakibatkan adanya perbedaan penampilan karakter bobot biji per tanaman pada setiap lingkungan. Hasil suatu tanaman ditentukan oleh faktor genetik, faktor lingkungan dan interaksi faktor genetik x lingkungan. Faktor lingkungan tersebut meliputi lokasi, musim atau teknik budidaya termasuk lingkungan tercekam kekeringan. Kesesuaian antara faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor penentu utama dalam peningkatan produktivitas tanaman.

Anthesis silking interval (ASI) merupakan kriteria utama dalam merakit varietas jagung toleran cekaman kekeringan karena berpengaruh terhadap produksi. Nilai ASI sekitar -1,0 sampai +3,0 hari merupakan nilai terbaik untuk varietas jagung toleran cekaman kekeringan (Bolanos & Edmeades 1993). Semakin tinggi nilai ASI semakin rendah hasil karena tidak terjadi sinkronisasi pembungaan. ASI negatif diartikan bahwa rambut terlebih dahulu siap diserbuki sebelum tersedia bunga jantan, sehingga seleksi dilakukan berdasarkan ASI yang kecil atau minus. Pengamatan ASI dilakukan pada saat 50% jumlah dari seluruh tanaman telah berbunga jantan dan betina, perhitungan ASI merupakan pengurangan hari berbunga betina dengan hari berbunga jantan.

Analisis gabungan untuk karakter ASI memperlihatkan genotipe berpengaruh sangat nyata (Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa diantara genotipe uji terdapat perbedaan nilai ASI. Pengaruh lokasi dan interaksi antara genotipe x lokasi berpengaruh sangat nyata mengindikasikan bahwa diantara genotipe yang dievaluasi terdapat genotipe yang adaptif pada lokasi Muneng tetapi tidak adaptif pada lokasi Maros atau sebaliknya akan terjadi.

Pengaruh lingkungan sangat nyata tetapi interaksi antara genotipe x lingkungan berpengaruh tidak nyata menunjukkan bahwa perlakuan kondisi lingkungan tanpa cekaman dan kondisi lingkungan cekaman kekeringan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap karakter ASI. Diduga faktor lingkungan yang berkontribusi dalam hal

(14)

ini adalah faktor lingkungan lainnya, baik faktor struktur, tekstur tanah, faktor suhu, dan kelembaban lingkungan pada masing-masing lokasi.

Tabel 14 Analisis gabungan karakter anthesis silking interval (hari) hasil persilangan diallel genotipe (1-100), lokasi (Maros dan Muneng), dan lingkungan (tanpa cekaman dan cekaman kekeringan) pada MK2008

Sumber Keragaman db JK KT F. Hitung

Ulangan 2 0,38 0,19 0,2762 Fak. A (Genotipe) 99 191,417 1,934 2,8107** Fak. B (Lokasi) 1 478,803 478,803 696,0247** AB (G x L) 99 115,697 1,169 1,6988** Fak. C (Lingkungan) 1 173,28 173,28 251,8929** AC (G x Lingk) 99 74,553 0,753 1,0947tn BC (Lok x Lingk) 1 59,853 59,853 87,0073**

ABC (G x Lok x Lingk) 99 104,313 1,054 1,5317**

Galat 798 548,953 0,688

Total 1199 1747,25

Keterangan: db = derajat bebas, tn = berpengaruh tidak nyata, ** = berpengaruh sangat nyata taraf 1%

Hal lainnya terlihat bahwa interaksi antara lokasi x lingkungan dan interaksi antara genotipe x lokasi x lingkungan berpengaruh sangat nyata terhadap karakter ASI. Hal tersebut menunjukkan bahwa penampilan suatu tanaman pada suatu lingkungan tumbuh merupakan interaksi antara faktor genetik dengan lingkungannya. Penampilan suatu genotipe pada lingkungan yang berbeda dapat berbeda pula, sehingga interaksi antara genotipe × lingkungan (G × E) merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diketahui dalam program pemuliaan. Informasi tersebut memberikan keyakinan bahwa pada dasarnya genotipe tanaman akan menunjukkan penampilan sesuai dengan kondisi lingkungan tempat asal. Padahal sangat sulit memperoleh lingkungan tumbuh yang seragam pada kisaran ruang spatial yang luas.

Analisis Daya Gabung

Pendugaan nilai daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) dilakukan dengan menggunakan metode 1 (tetua, F1 dan resiprokalnya) model 1 dari Griffing (1956). Hasil analisis diallel sepuluh galur jagung pulut untuk karakter bobot biji per tanaman dan ASI pada lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan di

(15)

lokasi Muneng dan Maros menunjukkan daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) bermakna pada1% (Tabel 15).

Tabel 15 Kuadrat tengah DGU, DGK, dan resiprokal pada persilangan diallel (10 x 10) genotipe jagung pulut karakter bobot biji per tanaman dan ASI pada kondisi tanpa cekaman dan lingkungan cekaman kekeringan di Muneng dan Maros, MK2008

Sumber Keragaman db

Bobot biji per tanaman Anthesis silking interval Kondisi:

Tanpa Cekaman Cekaman Tanpa Cekaman Cekaman Muneng Maros Muneng Maros Muneng Maros Muneng Maros

DGU 9 2954,98** 4652,56** 360,90** 2810,49** 1,399** 1,439** 0,371** 0,282*

DGK 45 1392,10** 1987,20** 680,21** 1043,14** 0,612** 0,469* 0,301** 0,467*

Resiprokal 45 276,52tn 508,39tn 103,79tn 416,93tn 0,313tn 0,323tn 0,161tn 0,361tn

Galat 198 723,09 459,73 78,61 198,76 0,2342 0,3038 0,126 0,283

Keterangan: db = derajat bebas, tn = berpengaruh tidak nyata, * = berpengaruh nyata taraf 1%, ** = berpengaruh sangat nyata taraf 1%

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat satu atau lebih galur jagung pulut merupakan penggabung yang baik pada kondisi tanpa cekaman dan kondisi cekaman kekeringan. Pada karakter bobot biji per tanaman, nilai kuadrat tengah DGU lebih besar dibandingkan DGK. Hal ini menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen aditif dalam menentukan ekspresi toleransi terhadap cekaman kekeringan pada karakter ASI nilai kuadrat tengah DGU lebih besar dibandingkan DGK pada kondisi lingkungan tanpa cekaman sedangkan pada lingkungan cekaman kekeringan hal sebaliknya terjadi, fenomena ini mengindikasikan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen yang berbeda.

Efek resiprokal berpengaruh tidak nyata berarti tidak adanya pengaruh tetua betina (maternal effect). Kenyataan tersebut di atas memberikan indikasi bahwa pada tanaman jagung efek tetua betina tidak berpengaruh terhadap pewarisan karakter yang diamati baik pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan cekaman kekeringan dengan kata lain karakter yang diamati dikendalikan oleh gen di dalam inti.

Rasio varians DGU/DGK karakter bobot biji per tanaman dan karakter ASI (Tabel 16) menunjukkan bahwa karakter tersebut dikontrol oleh gen non aditif (dominan) baik pada kondisi tanpa cekaman maupun cekaman kekeringan dimana varian DGK lebih besar dari varian DGU, sehingga varian DGU/DGK lebih kecil.

(16)

Tabel 16 Estimasi varian komponen genetik persilangan diallel 10 x 10 genotipe jagung pulut pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan cekaman kekeringan MK2008

Sumber Keragaman

Bobot biji per tanaman Anthesis silking interval Tanpa Cekaman Cekaman Tanpa Cekaman Cekaman Muneng Maros Muneng Maros Muneng Maros Muneng Maros

DGU 78,5114 134,1071 15,6349 88,8313 0,0395 0,0486 0,0036 0,0091

DGK 367,5892 839,2695 330,5530 463,9448 0,2078 0,0911 0,0963 0,1009

Resiprokal 223,288 24,3320 12,5937 109,0844 0,0397 0,0098 0,0175 0,0391

Galat 723,0915 459,7282 78,6078 198,7629 0,2342 0,3038 0,1267 0,2836

DGU /DGK 0,2136 0,1598 0,0473 0,1915 0,1901 0,5335 0,0373 0,0902

Analisis Daya Gabung Umum

Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur atau tetua, yang bila disilangkan dengan galur lain akan menghasilkan hibrida dengan penampilan superior. Konsep daya gabung sangat penting dalam pemuliaan, berkaitan dengan prosedur pengujian galur-galur berdasarkan penampilan kombinasi keturunannya. Nilai masing-masing galur terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan keturunan unggul bila dikombinasikan dengan galur-galur lain (Allard 1960).

Nilai duga efek DGU tiap galur untuk karakter bobot biji per tanaman dan ASI disajikan pada Tabel 17 dan 18.

Tabel 17 Nilai efek daya gabung umum 10 genotipe jagung pulut karakter bobot biji per tanaman pada kondisi tanpa cekaman dan lingkungan cekaman kekeringan MK2008

Genotipe Tanpa Cekaman Cekaman Jarak

Genetik

Muneng Maros Muneng Maros

PTBC4-7-5-B (P1) -2,85 13,91 -2,71 8,25 0,58 PTBC4-9-3-B (P2) 2,48 1,20 -2,37 -0,72 0,54 PTBC4-17-1-B (P3) 7,85 18,72 7,52 2,80 0,60 PTBC4-10-1-B (P4) 13,53 7,77 -5,44 10,89 0,59 PTBC4-15-1-B (P5) 3,84 1,65 -0,33 15,60 0,65 PTBC4-20-1-B (P6) 3,97 14,50 -0,39 7,92 0,71 PTBC4-22-2-B (P7) 16,89 1,73 -3,51 1,06 0,62 MSP2(10)-82-1-B (P8) -14,06 -12,13 0,11 -21,74 0,73 MSP2(10)-113-1-B (P9) -21,14 -22,58 -0,02 -11,26 0,66 MSP2(10)-125-2-B (P10) -10,51 -24,79 7,12 -12,79 0,66 SE (gi-gj) 8,503 6,780 2,804 4,458 BK 5,716 5,104 3,282 4,138

Beberapa genotipe cukup tinggi dan bernilai positif pada karakter bobot biji per tanaman dan ASI. Nilai duga efek daya gabung umum (Tabel 17) karakter bobot biji

 2 g   2 s   2 r   2 e   2 s   2 g 

(17)

per tanaman di Muneng pada kondisi lingkungan tanpa cekaman beberapa genotipe memiliki nilai DGU cukup tinggi tetapi pada kondisi cekaman kekeringan nilai DGU dari genotipe tersebut mengalami penurunan kecuali genotipe MSP2(10)-82-1-B dan MSP2(10)-125-2-B pada kondisi lingkungan tanpa cekaman, dengan nilai DGU berturut-turut -14,06 dan -10,51 sedangkan pada kondisi cekaman kekeringan mengalami peningkatan menjadi 0,11 dan 7,12 dengan nilai jarak genetik 0,73 dan 0,66. Hal tersebut menunjukkan bahwa genotipe memiliki mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan tetapi pada lokasi Maros hampir semua genotipe memperlihatkan kecenderungan nilai DGU menurun pada kondisi cekaman kekeringan kecuali genotipe PTBC4-15-1-B (1,65 menjadi 15,60) dengan nilai jarak genetik 0,65 mengalami peningkatan.

Pendugaan nilai efek daya gabung umum untuk karakter ASI di dua lokasi pengujian baik di Muneng dan Maros (Tabel 18). Terdapat kecenderungan mengalami penurunan perbedaan waktu keluarnya bunga jantan dengan bunga betina dan bahkan bernilai nol, artinya terjadi sinkronisasi pembungaan sehingga pembentukan biji sebagai akumulasi hasil asimilat berjalan secara normal, potensi tanaman ditentukan oleh seberapa banyaknya biji yang terbentuk.

Tabel 18 Nilai efek daya gabung umum 10 genotipe jagung pulut karakter anthesis silking interval pada kondisi tanpa cekaman dan lingkungan cekaman kekeringan MK2008

Genotipe Tanpa Cekaman Cekaman Jarak

Genetik

Muneng Maros Muneng Maros

PTBC4-7-5-B (P1) 0,04 -0,08 0,08 0,10 0,58 PTBC4-9-3-B (P2) -0,19 -0,16 -0,15 -0,18 0,54 PTBC4-17-1-B (P3) 0,01 -0,25 -0,19 -0,08 0,60 PTBC4-10-1-B (P4) 0,36 -0,18 0,16 0,05 0,59 PTBC4-15-1-B (P5) 0,29 0,09 0,25 -0,06 0,65 PTBC4-20-1-B (P6) 0,34 -0,18 0,03 0,25 0,71 PTBC4-22-2-B (P7) 0,04 -0,28 -0,07 -0,01 0,62 MSP2(10)-82-1-B (P8) -0,28 0,20 -0,09 -0,08 0,73 MSP2(10)-113-1-B (P9) -0,26 0,49 0,01 0,00 0,66 MSP2(10)-125-2-B (P10) -0,34 0,35 -0,04 0,00 0,66 SE (gi-gj) 0,153 0,174 0,113 0,168 BK 0,766 0,818 0,658 0,804

Kekeringan menyebabkan berkurangnya jumlah biji karena proporsi bahan kering yang dihasilkan saat pembungaan berkurang. Rendahnya ketersediaan air pada saat

(18)

pembungaan menyebabkan bunga menjadi steril serta bunga dan zygot gugur (Westgate dan Boyer 1986).

Analisis Daya Gabung Khusus

Genotipe mempunyai nilai DGK cukup tinggi merupakan gambaran bahwa genotipe tersebut memiliki kemampuan bergabung dengan genotipe lain dan memberikan peluang penampilan terbaik. Poehlman (1990) jika nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik dari pada nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan memiliki daya gabung khusus yang baik. Nilai efek daya gabung khusus persilangan diallel 10 x 10 genotipe jagung pulut pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan cekaman kekeringan di Muneng dan Maros (Tabel 19 dan 20).

Pendugaan nilai DGK karakter bobot biji per tanaman di lokasi Muneng memperlihatkan beberapa genotipe memiliki kecenderungan menurun pada kondisi lingkungan cekaman kekeringan (Tabel 19). Namun terdapat 13 diantaranya mengalami peningkatan dan bernilai positif, serta genotipe-genotipe tersebut memiliki nilai jarak genetik cukup tinggi (0,7 dan 0,8) diharapkan genotipe-genotipe tersebut memiliki kemampuan berdaya gabung khusus yang baik dan memiliki karakter toleran terhadap lingkungan cekaman kekeringan.

Kecenderungan yang sama juga terjadi di lokasi Maros terdapat 15 genotipe diantaranya mengalami peningkatan dan bernilai positif pada kondisi cekaman kekeringan serta memiliki nilai jarak genetik cukup tinggi (0,7 dan 0,8).

Nilai efek daya gabung khusus positif pada karakter bobot biji per tanaman mengindikasikan bahwa genotipe tersebut memiliki nilai DGK yang baik. Sebaliknya, nilai DGK negatif artinya genotipe tersebut tidak dapat bergabung dengan baik. Persilangan antara galur memiliki nilai efek DGK untuk karakter bobot biji per tanaman yang cukup tinggi diduga karena gen-gen yang menguntungkan pada suatu genotipe dapat menutupi gen-gen yang merugikan pada genotipe pasangannya dan mampu bergabung dengan baik.

(19)

Tabel 19 Nilai efek DGK persilangan diallel 10 x 10 genotipe jagung pulut karakter bobot biji per tanaman pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan cekaman kekeringan MK2008

No. Persilangan Tanpa Cekaman Cekaman Jarak Genetik Muneng Maros Muneng Maros

1 P1/P2 -1,58 -9,8 -10,6 8,25 0,6 2 P1/P3 2,63 -3,18 0,07 19,97 0,4 3 P1/P4 15,84 0,2 -7,02 -11,83 0,6 4 P1/P5 4,49 24,81 -0,1 19,71 0,8 5 P1/P6 1,89 51,71 -8,53 5,9 0,8 6 P1/P7 -15,68 19,42 -2,45 16,21 0,5 7 P1/P8 16,07 6,83 12,99 5,18 0.7 8 P1/P9 13,63 0,21 18,41 7,73 0,7 9 P1/P10 23,17 -3,18 17,6 -0,09 0,6 10 P2/P3 47,01 39,2 -5,96 9,43 0,5 11 P2/P4 22,32 5,59 16,26 13,21 0,6 12 P2/P5 15,8 13,18 -8.00 6,71 0,6 13 P2/P6 4,82 4,03 -2,69 -4,87 0,7 14 P2/P7 -18,2 3,13 1,93 0,64 0,6 15 P2/P8 -4,46 7,41 12,89 14,98 0,7 16 P2/P9 6,28 25,18 18,18 15,73 0,7 17 P2/P10 10,89 10,46 21,01 2,3 0,8 18 P3/P4 -4,41 42,23 10,64 15,02 0,6 19 P3/P5 7,26 10,74 -1,34 -6,25 0,6 20 P3/P6 16,1 -7,96 -2,34 16,01 0,8 21 P3/P7 -24,83 -4,67 -3,33 -7,61 0,6 22 P3/P8 22,38 3,08 4,88 14,38 0,8 23 P3/P9 4,96 2,55 -0,35 25,62 0,8 24 P3/P10 15,27 22,82 21,69 9,04 0,7 25 P4/P5 -1,08 -15,79 -0,55 -7,32 0,6 26 P4/P6 -9,65 -31,55 -3,66 4,99 0,6 27 P4/P7 1,32 8,23 4,04 10,28 0,7 28 P4/P8 13,15 0,62 23,95 17,14 0,8 29 P4/P9 11,21 21,5 -2,55 -6,57 0,7 30 P4/P10 6,82 36,67 2,61 23,96 0,7 31 P5/P6 17,06 -11,8 6,95 -7,87 0,6 32 P5/P7 2,63 20,1 1,79 17,6 0,6 33 P5/P8 22,45 15,78 23,17 7,86 0,8 34 P5/P9 8,16 -1,35 18,46 15,08 0,7 35 P5/P10 3,5 8,58 15,76 12,48 0,8 36 P6/P7 -22,32 -5,63 -14,49 -6,8 0,6 37 P6/P8 6,23 11,45 6,3 0,78 0,7 38 P6/P9 -2,84 24,18 12,43 6,8 0,7 39 P6/P10 3,54 2,87 3,33 8.00 0,8 40 P7/P8 -10,26 27,35 11,6 -11,16 0,5 41 P7/P9 -13,02 12,62 17,34 1,71 0,6 42 P7/P10 3,37 15,08 13,13 17,52 0,7 43 P8/P9 -2,3 -10,83 -19,27 -9,92 0,5 44 P8/P10 -18,88 -18,88 -28,89 -13,17 0,5 45 P9/P10 11,01 -5,25 -13,78 -4,16 0,4 SE (gij-gkl) 24,051 19,177 7,9301 12,609 BK 9,612 8,583 5,519 6,959

(20)

Tabel 20 Nilai efek DGK persilangan diallel 10 x 10 genotipe jagung pulut karakter anthesis silking interval pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan cekaman kekeringan MK2008

No. Persilangan Tanpa Cekaman Cekaman GenetikJarak Muneng Maros Muneng Maros

1 P1/P2 -0,21 0,28 0,09 0,1 0,6 2 P1/P3 0,24 -0,37 -0,23 -0,14 0,4 3 P1/P4 -0,02 0,36 0,02 0,65 0,6 4 P1/P5 -0,57 -0,14 -0,05 -0,67 0,8 5 P1/P6 0,26 0,3 0,4 -0,34 0,8 6 P1/P7 0,39 -0,1 -0,16 0,1 0,5 7 P1/P8 -0,29 -0,59 0,02 0.00 0.7 8 P1/P9 -0,31 -0,54 -0,08 -0,09 0,7 9 P1/P10 -0,56 -0,24 -0,2 -0,25 0,6 10 P2/P3 -0,69 0,05 0,67 0,31 0,5 11 P2/P4 0,21 0,61 0,59 -0,07 0,6 12 P2/P5 -0,01 -0,22 -0,15 0,45 0,6 13 P2/P6 -0,01 -0,12 -0,2 -0,22 0,7 14 P2/P7 -0,21 -0,19 0,07 -0,12 0,6 15 P2/P8 0,11 0,33 -0,25 -0,05 0,7 16 P2/P9 0,26 -0,29 -0,35 0,2 0,7 17 P2/P10 0,34 -0,32 -0,13 -0,47 0,8 18 P3/P4 -0,17 -0,54 -0,23 -0,3 0,6 19 P3/P5 0,11 -0,2 -0,3 -0,12 0,6 20 P3/P6 0,44 -0,1 -0,01 0,21 0,8 21 P3/P7 -0,26 0,16 -0,41 -0,19 0,6 22 P3/P8 0,06 -0,32 0,27 -0,29 0,8 23 P3/P9 -0,29 0,06 -0,16 0,13 0,8 24 P3/P10 -0,87 0,03 -0,28 -0,37 0,7 25 P4/P5 0,18 -0,14 -0,05 0,33 0,6 26 P4/P6 0,51 0,3 0,07 0.00 0,6 27 P4/P7 1,31 0,23 0.00 -0,4 0,7 28 P4/P8 -0,71 -0,09 -0,31 0.00 0,8 29 P4/P9 -0,56 -0,87 -0,08 -0,25 0,7 30 P4/P10 -0,31 0,76 0,14 -0,25 0,7 31 P5/P6 0,13 -0,2 0.00 -0,65 0,6 32 P5/P7 -0,57 -0,27 -0,06 -0,05 0,6 33 P5/P8 -0,26 0,25 -0,21 0,18 0,8 34 P5/P9 -0,61 0,3 -0,15 -0,4 0,7 35 P5/P10 0,48 0,26 0,24 -0,07 0,8 36 P6/P7 0,09 -0,5 -0,28 0,11 0,6 37 P6/P8 -0,59 -0,15 -0,26 0,51 0,7 38 P6/P9 -0,44 0,56 0,47 -0,57 0,7 39 P6/P10 -0,86 0,03 -0,48 -1,07 0,8 40 P7/P8 -0,46 -0,39 -0,16 -0,55 0,5 41 P7/P9 -0,31 -0,34 -0,6 0,2 0,6 42 P7/P10 -0,39 -0,04 -0,21 0,36 0,7 43 P8/P9 1,01 1,18 0,25 -0,57 0,5 44 P8/P10 0,76 0,65 0,14 0,76 0,5 45 P9/P10 0,58 -0,64 -0,3 0,51 0,4 SE (gij-gkl) 0,432 0,493 0,318 0,476 BK 1,288 1,376 1,105 1,352

Nilai efek DGK merupakan indikator terdapatnya aksi gen non aditif dan epistasis yang mengendalikan suatu karakter. Nilai daya gabung khusus yang cukup tinggi dan didukung dengan nilai ragam non aditif positif akan memberikan hasil lebih baik (Mangoendidjojo 2003).

(21)

Efek DGK untuk karakter ASI di lokasi Muneng dan Maros (Tabel 20) terlihat ada kecenderungan mengalami peningkatan interval waktu keluarnya bunga jantan dan betina pada kondisi lingkungan cekaman kekeringan, kecuali genotipe P4/P7 (PTBC4 -10-1-B/PTBC4-22-2-B), dan P5/P6 (PTBC4-15-1-B/PTBC4-20-1-B) di Muneng memiliki kecenderungan turun dan bahkan nol pada kondisi lingkungan cekaman kekeringan, hal yang sama terjadi di Maros beberapa genotipe juga mengalami kecenderungan penurunan nilai efek daya gabung khusus diantaranya genotipe P1/P8 (PTBC4-7-5-B/MSP2(10)-82-1-B), P4/P6 (PTBC4-10-1-B/PTBC4-20-1-B), dan P4/P8 (PTBC4-10-1-B/MSP2(10)-10-1-B).

Heterosis

Hibrida yang dapat direkomendasikan sebagai kandidat hibrida terbaik adalah hasil dari persilangan tetua yang memiliki nilai efek daya gabung umum, daya gabung khusus dan nilai heterosis tinggi.

Kondisi Lingkungan Tanpa Cekaman dan Cekaman Kekeringan Karakter Bobot Biji per Tanaman

Penampilan tetua, F1, dan jarak genetik karakter bobot biji per tanaman pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan di Muneng dan Maros Tabel 21. Nilai tengah F1 karakter bobot biji per tanaman pada kondisi lingkungan tanpa cekaman di Muneng dengan kisaran 98,6 –189,3 gram memiliki kecenderungan menurun pada kondisi lingkungan tercekaman kekeringan kisaran 67,6 –120,1 gram, kecuali 12 genotipe memberikan hasil yang cukup tinggi. Sedangkan nilai tengah F1 karakter bobot biji per tanaman di Maros pada kondisi lingkungan tanpa cekaman memperlihatkan nilai rata-rata cukup tinggi dan relatif lebih konsisten memberikan hasil tinggi pada kondisi lingkungan tercekaman kekeringan walaupun hasilnya sedikit lebih rendah tetapi dapat dikatanakah bahwa semua genotipe memiliki mekanisme adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan mampu mempertahankan potensi hasil.

Menurut Banziger et al. (2000) penentuan karakter seleksi toleransi genotipe jagung sebaiknya dapat mencirikan atau mengelompokkan toleransi genotipe jagung pada kondisi cekaman kekeringan dan berkorelasi dengan hasil.

(22)

Tabel 21 Penampilan tetua, F1, dan jarak genetik karakter bobot biji per tanaman persilangan diallel 10 x 10 genotipe jagung pulut pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan di Muneng dan Maros pada MK2008

Persilangan

Muneng Maros Muneng Maros

Jarak Genetik T. Cekaman T. Cekaman Cekaman Cekaman

P1(g) P2(g) F1(g) P1(g) P2(g) F1(g) P1(g) P2(g) F1(g) P1(g) P2(g) F1(g) P1/P2 75,6 63,8 131,3 98,1 61,4 182,8 63,1 41,1 75,6 72,4 59,1 141,3 0,6 P1/P3 75,6 82,4 150,2 98,1 68,1 170,3 63,1 54,1 73,2 72,4 53,0 176,0 0,4 P1/P4 75,6 93,9 133,9 98,1 92,9 139,6 63,1 44,5 84,8 72,4 99,2 129,2 0,6 P1/P5 75,6 77,2 147,0 98,1 130,5 264,3 63,1 47,8 99,3 72,4 74,5 156,0 0,8 P1/P6 75,6 134,8 150,6 98,1 149,0 267,0 63,1 90,8 75,1 72,4 119,8 134,7 0,8 P1/P7 75,6 272,5 146,5 98,1 65,2 197,4 63,1 52,3 82,6 72,4 90,6 155,7 0,5 P1/P8 75,6 69,2 136,5 98,1 90,3 168,1 63,1 41,5 95,5 72,4 57,3 118,0 0,7 P1/P9 75,6 62,3 132,5 98,1 43,4 144,3 63,1 40,0 89,0 72,4 52,3 144,4 0,7 P1/P10 75,6 62,0 158,1 98,1 38,6 145,5 63,1 50,7 114,3 72,4 45,4 118,9 0,6 P2/P3 63,8 82,4 164,8 61,4 68,1 218,2 41,1 54,1 73,0 59,1 53,0 128,4 0,5 P2/P4 63,8 93,9 171,5 61,4 92,9 150,0 41,1 44,5 99,8 59,1 99,2 166,1 0,6 P2/P5 63,8 77,2 182,3 61,4 130,5 204,2 41,1 47,8 84,4 59,1 74,5 151,5 0,6 P2/P6 63,8 134,8 151,1 61,4 149,0 180,3 41,1 90,8 97,4 59,1 119,8 134,2 0,7 P2/P7 63,8 272,5 130,9 61,4 65,2 171,3 41,1 52,3 86,6 59,1 90,6 117,3 0,6 P2/P8 63,8 69,2 126,9 61,4 90,3 147,7 41,1 41,5 97,4 59,1 57,3 110,4 0,7 P2/P9 63,8 62,3 118,0 61,4 43,4 161,4 41,1 40,0 114,1 59,1 52,3 124,7 0,7 P2/P10 63,8 62,0 138,0 61,4 38,6 125,3 41,1 50,7 111,9 59,1 45,4 112,7 0,8 P3/P4 82,4 93,9 145,6 68,1 92,9 178,6 54,1 44,5 100,4 53,0 99,2 173,6 0,6 P3/P5 82,4 77,2 170,6 68,1 130,5 194,0 54,1 47,8 87,5 53,0 74,5 102,3 0,6 P3/P6 82,4 134,8 187,6 68,1 149,0 175,8 54,1 90,8 74,2 53,0 119,8 116,8 0,8 P3/P7 82,4 272,5 189,3 68,1 65,2 189,2 54,1 52,3 85,2 53,0 90,6 114,9 0,6 P3/P8 82,4 69,2 158,7 68,1 90,3 158,0 54,1 41,5 91,7 53,0 57,3 143,1 0,8 P3/P9 82,4 62,3 140,3 68,1 43,4 143,1 54,1 40,0 94,3 53,0 52,3 127,5 0,8 P3/P10 82,4 62,0 157,6 68,1 38,6 169,9 54,1 50,7 118,6 53,0 45,4 135,1 0,7 P4/P5 93,9 77,2 165,5 92,9 130,5 181,3 44,5 47,8 86,1 99,2 74,5 135,4 0,6 P4/P6 93,9 134,8 138,2 92,9 149,0 139,4 44,5 90,8 79,0 99,2 119,8 130,0 0,6 P4/P7 93,9 272,5 168,9 92,9 65,2 191,9 44,5 52,3 98,5 99,2 90,6 133,0 0,7 P4/P8 93,9 69,2 146,8 92,9 90,3 149,6 44,5 41,5 97,6 99,2 57,3 133,6 0,8 P4/P9 93,9 62,3 135,5 92,9 43,4 142,2 44,5 40,0 85,4 99,2 52,3 107,6 0,7 P4/P10 93,9 62,0 129,3 92,9 38,6 165,5 44,5 50,7 86,0 99,2 45,4 152,7 0,7 P5/P6 77,2 134,8 186,2 130,5 149,0 191,7 47,8 90,8 112,3 74,5 119,8 126,2 0,6 P5/P7 77,2 272,5 163,9 130,5 65,2 223,8 47,8 52,3 101,5 74,5 90,6 158,2 0,6 P5/P8 77,2 69,2 150,3 130,5 90,3 168,8 47,8 41,5 120,1 74,5 57,3 138,0 0,8 P5/P9 77,2 62,3 134,3 130,5 43,4 158,6 47,8 40,0 117,9 74,5 52,3 145,3 0,7 P5/P10 77,2 62,0 145,3 130,5 38,6 170,5 47,8 50,7 112,4 74,5 45,4 119,2 0,8 P6/P7 134,8 272,5 128,2 149,0 65,2 165,5 90,8 52,3 68,4 119,8 90,6 93,6 0,6 P6/P8 134,8 69,2 137,4 149,0 90,3 184,4 90,8 41,5 95,4 119,8 57,3 114,4 0,7 P6/P9 134,8 62,3 129,1 149,0 43,4 196,9 90,8 40,0 94,7 119,8 52,3 135,5 0,7 P6/P10 134,8 62,0 126,2 149,0 38,6 159,1 90,8 50,7 85,3 119,8 45,4 132,0 0,8 P7/P8 272,5 69,2 131,1 65,2 90,3 185,7 52,3 41,5 92,4 90,6 57,3 94,9 0,5 P7/P9 272,5 62,3 130,9 65,2 43,4 143,4 52,3 40,0 117,5 90,6 52,3 121,5 0,6 P7/P10 272,5 62,0 146,2 65,2 38,6 139,7 52,3 50,7 109,8 90,6 45,4 144,3 0,7 P8/P9 69,2 62,3 98,6 90,3 43,4 100,5 41,5 40,0 70,6 57,3 52,3 86,9 0,5 P8/P10 69,2 62,0 101,7 90,3 38,6 109,4 41,5 50,7 67,6 57,3 45,4 83,4 0,5 P9/P10 62,3 62,0 125,3 43,4 38,6 116,3 40,0 50,7 85,0 52,3 45,4 104,0 0,4

Keterangan: P1= Parental 1, P2= Parental 2

Penampilan nilai heterosis rata-rata tetua (HMP), dan heterosis rata-rata tetua tertinggi (HHP) karakter bobot biji per tanaman pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan di Muneng dan Maros Tabel 22. Nilai HMPberkisar antara 6,7

(23)

sampai -37,1% dan nilai HHP berkisar antara 1,9 sampai -140,7% di Muneng pada kondisi lingkungan tanpa cekaman kekeringan tertinggi ditunjukkan oleh pasangan hibrida P2/P5 (PTBC4-9-3-B x PTBC4-15-1-B) dengan nilai masing-masing HMP = 158,7% dan HHP= 136,3%, serta nilai jarak genetiknya 0,6 (tergolong jauh) (Tabel 22). Hal tersebut memperlihatkan bahwa genotipe tersebut memiliki bobot biji per tanaman lebih tinggi dibandingkan rata-rata kedua tetua dan rata-rata tetua tertinggi.

Terdapat delapan genotipe yang memiliki nilai HMP bernilai negatif memperlihatkan bahwa bobot biji per tanaman lebih rendah dibandingkan rata-rata tetuanya dan terdapat sebelas genotipe yang memiliki nilai positif serta menunjukkan nilai heterosis tertinggi artinya keturunan (F1) menunjukkan potensi nilai heterosis tertinggi dibandingkan rata-rata kedua tetuanya dengan kisaran 1,7 sampai 58,1% lebih tinggi pada lingkungan tanpa cekaman.

Menurut Bruce 1910; Jones 1917; 1945, 1958 dikutip Fehr 1987 bahwa nilai heterosis tertinggi diperoleh dari persilangan antara tetua yang mempunyai perbedaan frekuensi gen dominan tinggi, sehingga pada hibridanya akan terkumpul gen-gen yang baik dan dominan diberbagai losi serta alil-alil dominan yang menguntungkan akan menutupi alil-alil resesif yang merugikan.

Di Muneng pada kondisi lingkungan tercekam kekeringan kisaran nilai HMPantara 181,3 sampai -4,4% dan tertinggi ditunjukkan oleh hibrida P2/P9 (181,3%) menunjukkan bahwa genotipe tersebut memiliki bobot biji per tanaman lebih tinggi dibandingkan rata-rata kedua tetua. Nilai HHP berkisar antara 177,5 sampai -24,6%. Hibrida P2/P9 (177,5%) dengan nilai jarak genetik 0,7 memiliki bobot biji per tanaman tertinggi dibandingkan rata-rata tetua tertinggi (Tabel 22). Hal ini menunjukkan bahwa beberapa genotipe toleran terhadap cekaman kekeringan dengan nilai heterosis yang cukup tinggi. Heterosis rata-rata tetua (HMP) bernilai negatif pada dua genotipe yakni P6/P7 (-4,4) dan P1/P6 (-2,5) berturut-turut memiliki nilai jarak genetik 0,6 dan 0,8 mengindikasikan bahwa bobot biji per tanaman lebih rendah dibandingkan rata-rata tetua dan terdapat empat puluh tiga genotipe yang memiliki nilai positif serta menunjukkan nilai heterosis tinggi artinya keturunannya (F1) menunjukkan potensi nilai heterosis tinggi dibandingkan rata-rata kedua tetua dengan kisaran 2,4 sampai 181,3% lebih tinggi pada lingkungan cekaman kekeringan.

(24)

Tabel 22 Nilai heterosis rata-rata tetua, heterosis rata-rata tetua tertinggi, dan nilai jarak genetik karakter bobot biji per tanaman persilangan diallel 10 x 10 genotipe jagung pulut pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan di Muneng dan Maros MK2008

Persilangan

Muneng Maros Muneng Maros

Jarak Genetik T. Cekaman T. Cekaman Cekaman Cekaman

HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) P1/P2 88,4 73,8 129,2 86,3 45,2 19,9 115,1 95,3 0,6 P1/P3 90,2 82,3 105,0 150,3 24,9 16,0 180,7 143,3 0,4 P1/P4 58,1 42,6 46,2 42,3 57,8 34,5 50,6 30,2 0,6 P1/P5 92,5 90,5 131,2 169,4 79,1 57,4 112,5 109,5 0,8 P1/P6 43,1 11,7 116,1 172,1 -2,5 -17,3 40,2 12,5 0,8 P1/P7 -15,8 -46,2 141,8 101,2 43,1 30,9 91,0 71,7 0,5 P1/P8 88,5 80,6 78,5 71,3 82,7 51,4 82,0 63,1 0,7 P1/P9 92,2 75,4 104,0 47,1 72,8 41,2 131,5 99,5 0,7 P1/P10 129,7 109,1 112,8 48,3 100,9 81,1 101,8 64,2 0,6 P2/P3 125,3 99,9 237,2 220,5 53,5 35,1 129,0 117,3 0,5 P2/P4 117,5 82,7 94,5 61,4 133,3 124,4 109,9 67,4 0,6 P2/P5 158,7 136,3 112,8 56,4 89,9 76,7 126,9 103,4 0,6 P2/P6 52,2 12,1 71,4 21,0 47,7 7,3 50,0 12,0 0,7 P2/P7 -22,2 -52,0 170,8 162,9 85,4 65,5 56,7 29,4 0,6 P2/P8 90,8 83,4 94,8 140,7 135,8 134,8 89,6 86,9 0,7 P2/P9 87,1 84,9 208,3 272,3 181,3 177,5 123,8 111,1 0,7 P2/P10 119,3 116,2 150,8 224,8 143,9 120,9 115,8 90,9 0,8 P3/P4 65,2 55,1 121,8 92,1 103,8 85,7 128,0 75,0 0,6 P3/P5 113,8 107,0 95,4 185,0 72,0 62,0 60,4 37,3 0,6 P3/P6 72,8 39,2 61,9 158,3 2,4 -18,3 35,2 -2,4 0,8 P3/P7 6,7 -30,5 184,0 177,9 60,3 57,7 59,9 26,7 0,6 P3/P8 109,3 92,5 99,6 132,1 91,9 69,6 159,3 149,6 0,8 P3/P9 93,8 70,2 156,8 110,2 100,6 74,5 141,9 140,3 0,8 P3/P10 118,3 91,3 218,6 149,6 126,5 119,4 174,4 154,7 0,7 P4/P5 93,5 76,2 62,3 38,9 86,7 80,3 55,9 36,4 0,6 P4/P6 20,8 2,5 15,2 -6,5 16,8 -13,0 18,7 8,5 0,6 P4/P7 -7,8 -38,0 142,8 194,5 103,5 88,3 40,1 34,1 0,7 P4/P8 80,0 56,4 63,3 61,0 127,1 119,4 70,6 34,6 0,8 P4/P9 73,5 44,3 108,6 53,0 102,2 91,9 41,9 8,4 0,7 P4/P10 65,9 37,7 151,6 78,0 80,8 69,8 111,1 53,9 0,7 P5/P6 75,7 66,6 37,1 46,9 62,0 23,6 29,9 5,3 0,6 P5/P7 -6,2 -140,7 128,7 71,4 102,7 94,0 91,6 74,5 0,6 P5/P8 105,4 94,8 52,9 29,3 169,0 151,3 109,4 85,3 0,8 P5/P9 92,5 74,0 82,5 21,6 168,7 146,7 129,2 95,2 0,7 P5/P10 108,8 88,3 101,6 30,6 128,3 121,8 98,8 60,0 0,8 P6/P7 -37,1 -53,0 54,6 11,1 -4,4 -24,6 -11,0 -21,8 0,6 P6/P8 34,7 1,9 54,1 23,7 44,2 5,0 29,2 -4,4 0,7 P6/P9 31,0 -4,2 104,7 32,1 44,8 4,3 57,4 13,1 0,7 P6/P10 28,2 -6,4 69,6 6,8 20,6 -6,1 59,8 10,2 0,8 P7/P8 -23,3 -51,9 139,0 185,0 97,0 76,6 28,2 4,6 0,5 P7/P9 -21,8 -52,0 164,2 120,0 154,7 124,7 69,9 34,0 0,6 P7/P10 -12,6 -46,3 169,2 114,3 113,4 110,0 112,1 59,2 0,7 P8/P9 50,0 42,5 50,4 131,8 73,3 70,2 58,5 51,6 0,5 P8/P10 55,0 46,9 69,8 183,5 46,7 33,4 62,3 45,5 0,5 P9/P10 101,6 101,0 183,8 168,2 87,5 67,7 112,7 98,7 0,4

Keterangan: HMP= Heterosis rata-rata tetua, HHP= Heterosis rata-rata tetua tertinggi

Nilai heterosis tetua tertinggi (HHP) pada lingkungan cekaman kekeringan dimiliki oleh dua genotipe yang bernilai negatif diantaranya P6/P7 (-24,62) dan P6/P10 (-6,06) serta terdapat 43 lainnya yang bernilai positif dengan kisaran nilai heterosis tetua tertinggi antara 4,3 sampai 177,5%.

(25)

Diharapkan bahwa galur-galur yang memiliki efek DGK tinggi juga memiliki nilai efek heterosis tinggi. Tetapi belum tentu galur yang memiliki efek DGK tinggi juga memiliki nilai heterosis tinggi, karena nilai heterosis relatif terhadap tetuanya sedangkan DGK relatif terhadap galur-galur yang diuji. Kisaran nilai tengah F1karakter bobot biji per tanaman pada kondisi lingkungan tanpa cekaman di Maros (Tabel 21). Kisaran antara 100,5 –267,0 gram, nilai HMPberkisar antara 15,2 sampai 218,6% dan tertinggi ditunjukkan oleh hibrida P3/P10 (PTBC4-17-1-B/MSP2(10)-125-2-B = 218,6%) dengan nilai jarak genetik 0,7 (tergolong jauh). Hal ini memperlihatkan bahwa genotipe tersebut memiliki bobot biji per tanaman lebih tinggi dibandingkan rata-rata kedua tetua, sedangkan nilai HHPberkisar antara -6,5 sampai 272,1% (Tabel 22).

Nilai HHP pada kondisi lingkungan tanpa cekaman kekeringan menunjukkan genotipe P2/P9 (PTBC4-9-3-B/MSP2(10)-113-1-B = 272,3%) dengan nilai jarak genetik 0,7 memiliki bobot biji per tanaman yang tinggi dibandingkan rata-rata tetua tertinggi (Tabel 22). Terdapat 26 genotipe memiliki nilai HMPbernilai positif dan menunjukkan nilai heterosis tertinggi artinya keturunan (F1) menunjukkan potensi nilai heterosis tertinggi dibandingkan rata-rata tetua lebih tinggi pada lingkungan tanpa cekaman. Nilai HHPterdapat 22 genotipe bernilai positif dan menunjukkan nilai heterosis tertinggi artinya keturunan (F1) menunjukkan potensi nilai heterosis lebih tinggi dibandingkan tetua tertinggi pada lingkungan tanpa cekaman.

Kisaran nilai tengah F1karakter bobot biji per tanaman pada kondisi lingkungan cekaman kekeringan di Maros berkisar antara 83,4 –176,0 gram (Tabel 21), nilai HMP berkisar antara -11,0 sampai 180,8%. Terlihat ada kecenderungan semua genotipe yang diuji terhadap kondisi lingkungan cekaman kekeringan ditunjukkan dengan nilai HMP bernilai positif, hanya ada satu genotipe yang bernilai negatif yakni pasangan genotipe P6/P7 (PTBC4-20-1-B/ PTBC4-22-2-B = -11,0%) dan tertinggi ditunjukkan oleh genotipe P1/P3 (PTBC4-7-5-B/PTBC4-17-1-B = 180,8%) menunjukkan bahwa genotipe tersebut memiliki bobot biji per tanaman lebih tinggi dibandingkan rata-rata kedua tetuanya. Nilai heterosis tetua tertinggi (HHP) berkisar antara -21,9 sampai 154,8%, kecenderungan yang sama yakni pada lingkungan cekaman kekeringan genotipe menunjukkan nilai positif artinya hampir semua persilangan memiliki bobot biji per tanaman tinggi dan responsif terhadap kondisi lingkungan cekaman kekeringan. Genotipe P3/P10 (PTBC4-17-1-B/MSP2(10)-125-2-B = 154,8%) menunjukkan

(26)

persilangan tersebut memiliki bobot biji per tanaman tertinggi dibandingkan rata-rata tetua tertinggi.

Pemilihan sepuluh genotipe terbaik berdasarkan nilai heterosis rata-rata tetua dan nilai heterosis tetua tertinggi pada karakter bobot biji per tanaman (Tabel 23) memperlihatkan bahwa genotipe yang terpilih berbeda pada masing-masing lokasi dan lingkungan yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa genotipe yang dievaluasi bersifat spesifik lokasi dan lingkungan tertentu.

Tabel 23 Sepuluh genotipe terbaik berdasarkan nilai heterosis rata-rata tetua, dan heterosis rata-rata tetua tertinggi karakter bobot biji per tanaman persilangan diallel 10 x 10 genotipe jagung pulut pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan di Muneng dan Maros MK2008

No.

Tanpa Cekaman Cekaman Kekeringan Muneng Maros Muneng Maros HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) 1 P2/P5 P2/P5 P2/P3 P2/P9 P2/P9 P2/P9 P1/P3 P3/P10 2 P1/P10 P2/P10 P3/P10 P2/P10 P5/P8 P5/P8 P3/P10 P3/P8 3 P2/P3 P1/P10 P2/P9 P2/P3 P5/P9 P5/P9 P3/P8 P1/P3 4 P2/P10 P3/P5 P3/P7 P4/P7 P7/P9 P2/P8 P3/P9 P3/P9 5 P3/P10 P9/P10 P9/P10 P3/P5 P2/P10 P7/P9 P1/P9 P2/P3 6 P2/P4 P2/P3 P2/P7 P7/P8 P2/P8 P2/P4 P5/P9 P2/P9 7 P3/P5 P5/P8 P7/P10 P8/P10 P2/P4 P5/P10 P2/P3 P1/P5 8 P3/P8 P3/P8 P7/P9 P3/P7 P5/P10 P2/P10 P3/P4 P2/P5 9 P5/P10 P3/P10 P3/P9 P1/P6 P4/P8 P3/P10 P2/P5 P1/P9 10 P5/P8 P1/P5 P4/P10 P1/P5 P3/P10 P4/P8 P2/P9 P9/P10

Keragaan pada Lingkungan Tanpa Cekaman dan Cekaman Kekeringan Karakter Anthesis Silking Interval

Kebutuhan air paling banyak pada tanaman jagung adalah periode tassellling (munculnya bunga jantan) sampai dua minggu setelah silking (munculnya bunga betina). Beberapa hasil penelitian menunjukakan bahwa kekurangan air pada saat tasselling dan sesudah silking menyebabkan penurunan produksi yang besar. Genotipe peka cekaman kekeringan menunjukkan penurunan bobot biji per tanaman yang lebih besar dibandingkan genotipe medium toleran, bahkan pada periode cekaman yang lebih lama menunjukkan genotipe peka tidak mampu menghasilkan biji.

(27)

Penampilan karakter anthesis silking interval dan hubungannya dengan jarak genetik pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan di Muneng dan Maros ditampilkan pada Tabel 24.

Tabel 24 Penampilan tetua, F1, dan jarak genetik karakter anthesis silking interval persilangan diallel 10 x 10 genotipe jagung pulut pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan di Muneng dan Maros MK2008

Persilangan

Muneng Maros Muneng Maros

Jarak Genetik T. Cekaman T. Cekaman Cekaman Cekaman

P1(g) P2(g) F1(g) P1(g) P2(g) F1(g) P1(g) P2(g) F1(g) P1(g) P2(g) F1(g) P1/P2 5,0 3,7 3,3 3,0 1,7 2,7 3,0 2,0 2,7 2,7 1,3 1,7 0,6 P1/P3 5,0 6,0 5,0 3,0 3,0 1,0 3,0 3,7 2,7 2,7 2,7 1,3 0,4 P1/P4 5,0 4,0 4,3 3,0 1,7 2,7 3,0 3,0 2,7 2,7 2,0 2,7 0,6 P1/P5 5,0 5,0 3,7 3,0 2,0 1,3 3,0 3,0 2,3 2,7 2,7 0,7 0,8 P1/P6 5,0 5,0 4,3 3,0 1,7 2,3 3,0 3,0 3,0 2,7 4,3 1,3 0,8 P1/P7 5,0 4,3 4,7 3,0 3,0 2,0 3,0 4,3 2,3 2,7 2,3 2,0 0,5 P1/P8 5,0 3,7 3,3 3,0 1,7 2,3 3,0 3,0 2,3 2,7 1,7 2,0 0,7 P1/P9 5,0 4,0 3,7 3,0 3,7 2,3 3,0 3,7 3,0 2,7 2,7 1,7 0,7 P1/P10 5,0 4,0 3,0 3,0 2,3 2,3 3,0 3,7 2,7 2,7 2,7 1,7 0,6 P2/P3 3,7 6,0 3,3 1,7 3,0 2,0 2,0 3,7 3,3 1,3 2,7 2,3 0,5 P2/P4 3,7 4,0 4,0 1,7 1,7 3,0 2,0 3,0 4,0 1,3 2,0 1,7 0,6 P2/P5 3,7 5,0 4,3 1,7 2,0 1,7 2,0 3,0 2,0 1,3 2,7 2,0 0,6 P2/P6 3,7 5,0 3,7 1,7 1,7 1,7 2,0 3,0 2,7 1,3 4,3 1,3 0,7 P2/P7 3,7 4,3 3,3 1,7 3,0 1,3 2,0 4,3 2,3 1,3 2,3 1,0 0,6 P2/P8 3,7 3,7 3,0 1,7 1,7 3,0 2,0 3,0 2,0 1,3 1,7 2,0 0,7 P2/P9 3,7 4,0 3,3 1,7 3,7 2,3 2,0 3,7 2,3 1,3 2,7 2,0 0,7 P2/P10 3,7 4,0 4,0 1,7 2,3 1,0 2,0 3,7 2,0 1,3 2,7 0,3 0,8 P3/P4 6,0 4,0 4,3 3,0 1,7 2,0 3,7 3,0 2,7 2,7 2,0 1,7 0,6 P3/P5 6,0 5,0 5,0 3,0 2,0 1,7 3,7 3,0 2,3 2,7 2,7 1,7 0,6 P3/P6 6,0 5,0 5,0 3,0 1,7 1,3 3,7 3,0 2,7 2,7 4,3 2,0 0,8 P3/P7 6,0 4,3 4,3 3,0 3,0 2,3 3,7 4,3 2,0 2,7 2,3 1,7 0,6 P3/P8 6,0 3,7 3,0 3,0 1,7 1,7 3,7 3,0 3,3 2,7 1,7 1,3 0,8 P3/P9 6,0 4,0 3,7 3,0 3,7 2,3 3,7 3,7 3,0 2,7 2,7 2,0 0,8 P3/P10 6,0 4,0 3,0 3,0 2,3 2,0 3,7 3,7 2,7 2,7 2,7 1,3 0,7 P4/P5 4,0 5,0 4,7 1,7 2,0 2,0 3,0 3,0 3,0 2,0 2,7 2,0 0,6 P4/P6 4,0 5,0 4,7 1,7 1,7 2,7 3,0 3,0 3,0 2,0 4,3 2,3 0,6 P4/P7 4,0 4,3 4,3 1,7 3,0 1,3 3,0 4,3 2,7 2,0 2,3 1,0 0,7 P4/P8 4,0 3,7 3,0 1,7 1,7 2,0 3,0 3,0 2,7 2,0 1,7 1,7 0,8 P4/P9 4,0 4,0 3,3 1,7 3,7 1,7 3,0 3,7 2,7 2,0 2,7 1,3 0,7 P4/P10 4,0 4,0 4,3 1,7 2,3 3,7 3,0 3,7 3,7 2,0 2,7 1,3 0,7 P5/P6 5,0 5,0 4,0 2,0 1,7 1,7 3,0 3,0 2,7 2,7 4,3 1,7 0,6 P5/P7 5,0 4,3 3,0 2,0 3,0 1,3 3,0 4,3 2,3 2,7 2,3 1,7 0,6 P5/P8 5,0 3,7 3,3 2,0 1,7 2,3 3,0 3,0 2,3 2,7 1,7 1,3 0,8 P5/P9 5,0 4,0 3,0 2,0 3,7 2,7 3,0 3,7 2,7 2,7 2,7 1,0 0,7 P5/P10 5,0 4,0 4,3 2,0 2,3 3,0 3,0 3,7 3,0 2,7 2,7 1,7 0,8 P6/P7 5,0 4,3 4,7 1,7 3,0 1,0 3,0 4,3 2,3 4,3 2,3 2,3 0,6 P6/P8 5,0 3,7 3,0 1,7 1,7 1,7 3,0 3,0 1,7 4,3 1,7 2,7 0,7 P6/P9 5,0 4,0 4,0 1,7 3,7 3,0 3,0 3,7 3,7 4,3 2,7 1,7 0,7 P6/P10 5,0 4,0 3,0 1,7 2,3 1,7 3,0 3,7 2,3 4,3 2,7 1,0 0,8 P7/P8 4,3 3,7 3,3 3,0 1,7 2,0 4,3 3,0 2,7 2,3 1,7 1,3 0,5 P7/P9 4,3 4,0 3,0 3,0 3,7 2,7 4,3 3,7 2,0 2,3 2,7 2,0 0,6 P7/P10 4,3 4,0 3,3 3,0 2,3 2,0 4,3 3,7 2,7 2,3 2,7 2,0 0,7 P8/P9 3,7 4,0 5,0 1,7 3,7 3,0 3,0 3,7 2,7 1,7 2,7 -1,0 0,5 P8/P10 3,7 4,0 4,0 1,7 2,3 3,3 3,0 3,7 3,0 1,7 2,7 2,7 0,5 P9/P10 4,0 4,0 3,7 3,7 2,3 2,0 3,7 3,7 2,3 2,7 2,7 2,3 0,4

(28)

Nilai tengah F1karakter ASI pada kondisi lingkungan tanpa cekaman di lokasi Muneng berkisar antara 3 –5 hari. Nilai duga HMP untuk karakter ASI berkisar antara 7,6 sampai -10% sedangkan nilai duga HHP berkisar antara 36,4 sampai -50% (Tabel 25). Nilai duga HMP dan HHP bernilai negatif menunjukkan bahwa genotipe tersebut memiliki interval berbunga jantan dan betina lebih kecil. Terdapat kecenderungan nilai HMP dan HHP bernilai negatif, mengidikasikan F1 hasil persilangan tersebut memiliki nilai ASI lebih kecil, artinya perbedaan antara umur berbunga jantan dan betina semakin kecil.

Heterosis yang bernilai positif memperlihatkan perbedaan keluarnya bunga jantan dan betina lebih besar. Terdapat satu persilangan yang agak ekstrim yakni P8/P9 (MSP2(10)-82-1-B x MSP2(10)-113-1-B) dengan nilai jarak genetik 0,5 dan menunjukkan nilai HMP7,6% sedangkan nilai HHP36,4% berarti nilai ASI pada hibrida tersebut 7,6% lebih tinggi dibandingkan rata-rata tetua dan 36,4% lebih tinggi dibandingkan tetua tertinggi. Karakter ASI merupakan karakter yang mampu memberikan informasi tentang sinkronisasi pembungaan pada tanaman jagung.

Karakter ASI di Maros pada kondisi lingkungan tanpa cekaman memiliki nilai tengah F1berkisar antara 1 –3,7 hari (Tabel 24). Nilai duga HMP, karakter ASI berkisar antara 20,8 sampai -16,7% sedangkan nilai duga HHPberkisar antara 120 sampai -66,7% dengan nilai jarak genetik cukup jauh (Tabel 25).

Nilai duga heterosis karakter ASI memiliki kecenderungan bernilai negatif bahkan nol. Terdapat empat genotipe yang memiliki nilai heterosis rata-rata tetua yang bernilai nol. Hal tersebut menunjukkan bahwa F1hasil persilangan memiliki ASI tidak berbeda dengan rata-rata tetua. Sedangkan lima genotipe memiliki nilai nol berdasarkan nilai heterosis tetua tertinggi artinya nilai ASI F1 turunanya sama dengan ASI tertua terbaiknya. Tetapi terdapat tiga genotipe memiliki nilai HMP cukup tinggi diantaranya P2/P4 (20,0%), P2/P8 (20,0%), dan P4/P10 (20,8%) dengan nilai jarak genetik antara 0,6, dan 0,7 serta terdapat dua genotipe memiliki nilai HHP cukup tinggi yakni P8/P10 (100,0%) dan P4/P10 (120,0%) dengan nilai jarak genetik 0,5 dan 0,7. Artinya genotipe tersebut memiliki peluang perbedaan waktu berbunga jantan dan betina yang cukup besar.

(29)

Tabel 25 Penampilan nilai heterosis rata-rata tetua, heterosis rata-rata tetua tertinggi, dan nilai jarak genetik karakter anthesis silking interval persilangan diallel 10 x 10 genotipe jagung pulut pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan di Muneng dan Maros MK2008

Persilangan

Muneng Maros Muneng Maros

Jarak Genetik T. Cekaman T. Cekaman Cekaman Cekaman

HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) P1/P2 -23,1 -33,3 14,4 -11,0 6,7 -11,1 -16,7 -37,5 0,6 P1/P3 -9,1 -16,7 -66,7 -66,7 -20,0 -27,3 -50,0 -50,0 0,4 P1/P4 -3,7 -13,3 14,4 -11,0 -11,1 -11,1 14,3 0,0 0,6 P1/P5 -26,7 -26,7 -46,8 -55,7 -22,2 -22,2 -75,0 -75,0 0,8 P1/P6 -13,3 -13,3 -0,2 -22,3 0,0 0,0 -61,9 -69,2 0,8 P1/P7 0,0 -6,7 -33,3 -33,3 -36,4 -46,2 -20,0 -25,0 0,5 P1/P8 -23,1 -33,3 -0,2 -22,3 -22,2 -22,2 -7,7 -25,0 0,7 P1/P9 -18,5 -26,7 -30,1 -22,3 -10,0 -18,2 -37,5 -37,5 0,7 P1/P10 -33,3 -40,0 -12,6 -22,3 -20,0 -27,3 -37,5 -37,5 0,6 P2/P3 -31,0 -44,4 -14,4 19,8 17,7 -9,1 16,7 -12,5 0,5 P2/P4 4,4 0,0 79,6 79,6 60,0 33,3 0,0 -16,7 0,6 P2/P5 0,0 -13,3 -9,0 0,0 -20,0 -33,3 0,0 -25,0 0,6 P2/P6 -15,4 -26,7 0,0 0,0 6,7 -11,1 -52,9 -69,2 0,7 P2/P7 -16,7 -23,1 -43,0 -20,4 -26,3 -46,2 -45,5 -57,1 0,6 P2/P8 -18,2 -18,2 79,6 79,6 -20,0 -33,3 33,3 20,0 0,7 P2/P9 -13,0 -16,7 -12,7 39,5 -17,7 -36,4 0,0 -25,0 0,7 P2/P10 4,4 0,0 -50,0 -40,1 -29,4 -45,5 -83,3 -87,5 0,8 P3/P4 -13,3 8,3 -14,4 -33,3 -20,0 -27,3 -28,6 -37,5 0,6 P3/P5 -9,1 -16,7 -33,2 -44,3 -30,0 -36,4 -37,5 -37,5 0,6 P3/P6 -9,1 -16,7 -43,0 -55,7 -20,0 -27,3 -42,9 -53,9 0,8 P3/P7 -16,1 -27,8 -22,3 -22,3 -50,0 -53,9 -33,3 -37,5 0,6 P3/P8 -37,9 -50,0 -28,5 -44,3 0,0 -9,1 -38,5 -50,0 0,8 P3/P9 -26,7 -38,9 -30,1 -22,3 -18,2 -18,2 -25,0 -25,0 0,8 P3/P10 -40,0 -50,0 -25,0 -33,3 -27,3 -27,3 -50,0 -50,0 0,7 P4/P5 3,7 -6,7 9,0 19,8 0,0 0,0 -14,3 0,0 0,6 P4/P6 3,7 -6,7 59,9 59,9 0,0 0,0 -26,3 -46,2 0,6 P4/P7 4,0 0,0 -43,0 -20,4 -27,3 -38,5 -53,9 -57,1 0,7 P4/P8 -21,7 -25,0 19,8 19,8 -11,1 -11,1 -9,1 -16,7 0,8 P4/P9 -16,7 -16,7 -37,5 0,0 -20,0 -27,3 -42,9 -50,0 0,7 P4/P10 8,3 8,3 83,5 119,8 10,0 0,0 -42,9 -50,0 0,7 P5/P6 -20,0 -20,0 -9,0 -16,5 -11,1 -11,1 -52,4 -61,5 0,6 P5/P7 -35,7 -40,0 -46,8 -33,5 -36,4 -46,2 -33,3 -37,5 0,6 P5/P8 -23,1 -33,3 27,0 16,5 -22,2 -22,2 -38,5 -50,0 0,8 P5/P9 -33,3 -40,0 -5,8 33,5 -20,0 -27,3 -62,5 -62,5 0,7 P5/P10 -3,7 -13,3 38,6 50,0 -10,0 -18,2 -37,5 -37,5 0,8 P6/P7 0,0 -6,7 -57,2 -40,1 -36,4 -46,2 -30,0 -46,2 0,6 P6/P8 -30,8 -40,0 0,0 0,0 -44,4 -44,4 -11,1 -38,5 0,7 P6/P9 -11,1 -20,0 12,4 79,6 10,0 0,0 -52,4 -61,5 0,7 P6/P10 -33,3 -40,0 -16,5 0,0 -30,0 -36,4 -71,4 -76,9 0,8 P7/P8 -16,7 -23,1 -14,4 -33,3 -27,3 -38,5 -33,3 -42,9 0,5 P7/P9 -28,0 -30,8 -19,9 -11,0 -50,0 -53,9 -20,0 -14,3 0,6 P7/P10 -20,0 -23,1 -25,0 -33,3 -33,3 -38,5 -20,0 -14,3 0,7 P8/P9 30,4 25,0 12,4 79,6 -20,0 -27,3 -146,2 -137,5 0,5 P8/P10 4,4 0,0 66,5 99,4 -10,0 -18,2 23,1 0,0 0,5 P9/P10 -8,3 -8,3 -33,3 -45,5 -36,4 -36,4 -12,5 -12,5 0,4

Keterangan: HMP= Heterosis rata-rata tetua, HHP= Heterosis rata-rata tetua tertinggi

Nilai tengah F1untuk karakter ASI pada kondisi lingkungan cekaman kekeringan di Muneng berkisar antara 1,7 –4 hari (Tabel 24). Menurut Edmeades (1992) dan Mejaya et al. (1998) bahwa makin kecil nilai anthesis silking interval maka genotipe tersebut memiliki peluang keberhasilan penyerbukan atau peluang terjadinya

(30)

sinkronisasi pembungaan lebih besar, sebab kegagalan dalam pembentukan biji pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan banyak disebabkan karena tertundanya pembungaan betina.

Nilai duga HMP pada kondisi lingkungan tercekam kekeringan di Muneng untuk karakter ASI berkisar antara 30,4 sampai -40,0% sedangkan nilai duga HHP berkisar antara 25,0 sampai -50,0% (Tabel 24). Nilai duga HMP dan HHP memiliki kecenderungan bernilai negatif menunjukkan bahwa genotipe-genotipe tersebut memiliki waktu keluarnya bungan betina lebih dahulu dan diikuti oleh keluarnya bunga jantan mengakibatkan nilai ASI menjadi sangat kecil.

Heterosis yang bernilai positif memperlihatkan perbedaan keluarnya bunga jantan dan betina lebih besar, terdapat satu persilangan yang agak ekstrim yakni P2/P4 menunjukkan nilai HMP 15,0% sedangkan nilai HHP 100% dimana karakter ASI merupakan karakter yang mampu memberikan informasi tentang sinkronisasi pembungaan dan merupakan salah satu karakter seleksi toleransi terhadap lingkungan cekaman kekeringan pada tanaman jagung.

Karakter ASI memiliki nilai tengah F1di Maros pada kondisi lingkungan cekaman kekeringan berkisar antara -1 sampai 2,7 hari (Tabel 24). Nilai duga HMP, karakter ASI berkisar antara -146,2 sampai 33,3% sedangkan nilai duga HHP berkisar antara -137,5 sampai 20,0% (Tabel 25). Nilai duga heterosis memiliki kecenderungan bernilai negatif bahkan nol, terdapat tiga genotipe yang memiliki nilai heterosis rata-rata tetua dan nilai heterosis tetua tertinggi yang bernilai nol pada kondisi cekaman kekeringan, mengindikasikan F1 hasil persilangan tersebut memiliki waktu berbunga betina dan berbunga jantan bersamaan, artinya genotipe tersebut memiliki peluang perbedaan waktu berbunga jantan dan betina yang cukup besar serta kemungkinan sinkronisasi pembungan tidak tercapai yang berakibat pada pengisian biji tidak sempurna bahkan kosong.

Diantara genotipe yang diseleksi berdasarkan karakter ASI (Tabel 26) memperlihatkan bahwa terdapat variasi yang muncul pada lokasi dan lingkungan yang berbeda. Hal tersebut dikarenakan kekeringan dapat mempengaruhi kecepatan fotosintesis, dimana dapat menurunkan persediaan aliran asimilat. Aliran asimilat untuk pertumbuhan organ-organ menurun, sejak perkembangan rambut (silk) selama seminggu sebagai sink. Pertumbuhan rambut (silk) akan tertunda, ASI meningkat,

(31)

sehingga mempengaruhi polinasi. Struktur organ reproduktif betina lebih peka dari pada malai, malai lebih awal rusak apabila suhu tanaman mencapai 38oC.

Tabel 26 Sepuluh genotipe terbaik berdasarkan penampilan nilai heterosis rata-rata tetua, dan heterosis rata-rata tetua tertinggi ASI persilangan diallel 10 x 10 genotipe jagung pulut pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan di Muneng dan Maros MK2008

No.

Tanpa Cekaman Cekaman Kekeringan Muneng Maros Muneng Maros HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) HMP(%) HHP(%) 1 P1/P4 P5/P10 P7/P8 P4/P7 P5/P6 P2/P6 P7/P10 P3/P9 2 P5/P10 P9/P10 P2/P9 P5/P6 P1/P9 P4/P8 P1/P2 P2/P4 3 P1/P7 P1/P7 P1/P10 P1/P2 P5/P10 P5/P6 P4/P5 P4/P8 4 P2/P5 P4/P5 P2/P5 P1/P4 P8/P10 P2/P3 P9/P10 P7/P9 5 P6/P7 P4/P6 P5/P6 P7/P9 P1/P6 P3/P8 P6/P8 P7/P10 6 P4/P5 P6/P7 P5/P9 P2/P5 P3/P8 P1/P6 P4/P8 P2/P3 7 P4/P6 P2/P4 P1/P6 P2/P6 P4/P5 P4/P5 P1/P8 P9/P10 8 P4/P7 P2/P10 P1/P8 P4/P9 P4/P6 P4/P6 P2/P4 P1/P4 9 P2/P4 P4/P7 P2/P6 P6/P8 P1/P2 P4/P10 P2/P5 P4/P5 10 P2/P10 P8/P10 P6/P8 P6/P10 P2/P6 P6/P9 P2/P9 P8/P10

Indeks Sensivitas Kekeringan

Indikator seleksi genotipe jagung toleran cekaman kekeringan dapat dievaluasi berdasarkan penurunan relatif biji yang dihasilkan pada kondisi cekaman kekeringan dibandingkan pada kondisi optimum. Berdasarkan indeks sensivitas cekaman kekeringan pada peubah bobot biji per tanaman menunjukkan nilai rata-rata bobot biji per tanaman, hasil, penurunan hasil, dan indeks sensivitas pada kondisi tanpa cekaman dan cekaman kekeringan di Muneng dan di Maros disajikan pada Tabel 27 dan 28.

Nilai sensivitas terhadap cekaman kekeringan dinilai dengan mengukur perbedaan hasil antara kondisi tanpa cekaman dengan kondisi cekaman kekeringan. Menilai produktivitas rata-rata pada kondisi tanpa cekaman dan cekaman kekeringan dengan menggunakan indeks sensivitas terhadap cekaman kekeringan.

Estimasi nilai indeks sensivitas kekeringan dengan mengukur perbedaan hasil antara kondisi lingkungan tanpa cekaman dengan kondisi lingkungan cekaman kekeringan pada karakter bobot biji per tanaman, hasil, penurunan hasil, dan indeks sensivitas di Muneng (Tabel 27).

Gambar

Tabel 9 Materi genetik yang digunakan dalam persilangan diallel
Tabel 10 Analisis varians perbedaan genotipe Sumber
Tabel 11 Analisis varians daya gabung metode I model 1 dari Griffing Sumber
Tabel 12 Kuadrat tengah perbedaan antara genotipe karakter bobot biji per tanaman dan anthesis silking interval pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan tercekam kekeringan di Muneng dan Maros pada MK2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Genotipe 276-4, 425-3 dan 969 memiliki nilai daya gabung umum untuk karakter panjang tongkol dan jumlah biji per tongkol terbaik di lokasi Bogor dan Lampung.. Sementara,

Genotipe tetua IPB C5 memiliki daya gabung umum terbaik untuk karakter diameter batang, panjang daun, lebar daun, bobot per buah, diameter buah, tebal kulit buah, umur

Genotipe tetua IPB C5 memiliki daya gabung umum terbaik untuk karakter diameter batang, panjang daun, lebar daun, bobot per buah, diameter buah, tebal kulit buah, umur

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya gabung galur dan heterosis hibrida dari persilangan 10 galur (5 galur PT. Agri Makmur Pertiwi dan 5 galur introduksi) melalui

menunjukkan bahwa genotipe uji memiliki nilai daya gabung khusus cukup baik terhadap salah satu tester baik dengan CML154 maupun dengan CML156 untuk karakter bobot biji per

Nilai DGK yang positif pada karakter panjang tangkai buah menunjukkan bahwa genotipe IPB C2 x IPB C15 memiliki daya gabung yang baik untuk menghasilkan tangkai buah