• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASSERTIVE BEHAVIOR ON EARLY TEEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASSERTIVE BEHAVIOR ON EARLY TEEN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ASSERTIVE BEHAVIOR ON EARLY TEEN

MADE CHRISTINA NOVIANTI, DR. AWALUDDIN TJALLA

Undergraduate Program, 2008

Gunadarma University

http://www.gunadarma.ac.id

key words:

ABSTRACT :

Early adolescence is a period where a child has a desire to know the different kinds of things and

want to have freedom in deciding what he wanted to do. Not all teenagers can behave assertively.

Assertive behavior itself is defined as a disclosure of direct and honest expression that allows us

to maintain our individual rights without doing any aggressive actions that interfere with

personal rights of others. This is because not all children of adolescent boys and girls are aware

that they have the right to behave assertively. Many teenagers are anxious or afraid to act

assertively, or even many individuals other than teenagers less skilled in expressing themselves

assertively. This gets the effect of cultural background in which the teenager's family lived, the

order of the child in the family, parent upbringing, gender, socioeconomic status, parent or even

a parent the power system. In this case, assertive behavior will be discussed in depth views on

early adolescence. In this study, researchers would like to see: 1. How assertive behavioral

characteristics that appear in early adolescence, 2. What factors that influence early adolescent

assertive behavior, and 3. How does the process of development of assertive behavior in early

adolescence. Therefore, researchers using a qualitative approach to obtain a broad and deep

understanding about the phenomenon under study. Researchers are also using the techniques of

interview and observation data collection using the tools of research that is guided interview,

observation and recording device to facilitate the research process. The subjects studied are

teenagers with a lifespan of 12 years to 15 years with male sex and female. Researchers chose

teens with a lifespan of 12 years to 15 years because at that age range, adolescents are

categorized as early teens. Preferred gender is male and female, because there are differences in

assertive behavior based on gender. After doing research, it was found that all three subjects

were not able to develop assertive behavior within the family environment and social

environment. Generally they're reluctant to behave assertively to avoid punishment from parents

and also the fear was shunned by her friends. In this study, parents are expected to help the

subjects to practice being assertive in a family environment with no physical punishment, verbal

and socially when subject to rejection. To the three subjects, it is suggested that practice in order

to behave assertively in the future, the subject realizes that he has the right to refuse, put forward

opinions and have the right to live freely without influence from authority figures or peers.

(2)

PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL MADE CHRISTINA NOVIANTI

DR. AWALUDDIN TJALLA

ABSTRAKSI

Masa awal remaja adalah masa dimana seorang anak memiliki keinginan untuk mengetahui berbagai macam hal serta ingin memiliki kebebasan dalam menentukan apa yang ingin dilakukannya. Tidak semua remaja dapat berperilaku asertif. Perilaku asertif itu sendiri didefinisikan sebagai suatu pengungkapan ekspresi secara langsung dan jujur yang memungkinkan kita untuk mempertahankan hak-hak pribadi kita tanpa melakukan tindakan agresif yang mengganggu hak-hak pribadi orang lain. Hal ini disebabkan karena tidak semua anak remaja laki-laki maupun perempuan sadar bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif. Banyak pula anak remaja yang cemas atau takut untuk berperilaku asertif, atau bahkan banyak individu selain anak remaja yang kurang terampil dalam mengekspresikan diri secara asertif. Hal ini mendapat pengaruh dari latar belakang budaya keluarga dimana anak remaja itu tinggal, urutan anak tersebut dalam keluarga, pola asuh orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi orang tua atau bahkan sistem kekuasaan orang tua. Dalam hal ini, perilaku asertif yang akan dibahas secara mendalam dilihat berdasarkan usia remaja awal.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat : 1. Bagaimana ciri-ciri perilaku asertif yang tampak pada remaja awal, 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku asertif remaja awal, serta 3. Bagaimana proses perkembangan perilaku asertif pada remaja awal. Oleh karena itu, peneliti menggunakan metode pendekatan kualitatif agar memperoleh pemahaman yang luas dan mendalam tentang fenomena yang diteliti. Peneliti juga menggunakan teknik pengambilan data wawancara dan observasi dengan menggunakan alat bantu penelitian yaitu pedoman wawancara, pedoman observasi dan alat perekam untuk mempermudah proses penelitian. Subjek yang diteliti adalah remaja dengan rentang umur 12 tahun sampai dengan 15 tahun dengan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Peneliti memilih remaja dengan rentang umur 12 tahun sampai dengan 15 tahun karena pada rentang umur tersebut, remaja dikategorikan sebagai remaja awal. Jenis kelamin yang dipilih adalah laki-laki dan perempuan, karena ada perbedaan perilaku asertif berdasarkan jenis kelamin.

Setelah dilakukan penelitian, didapatkan bahwa ketiga subjek penelitian belum dapat mengembangkan perilaku asertifnya di dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial. Umumnya mereka enggan untuk berperilaku asertif karena menghindari hukuman dari orang tua dan juga takut akan dijauhi oleh teman-temannya. Dalam penelitian ini diharapkan para orang tua membantu subjek untuk berlatih bersikap asertif dalam lingkungan keluarga dengan tidak memberikan hukuman fisik, verbal maupun sosial bila subjek melakukan penolakan. Kepada ketiga subjek, disarankan agar berlatih berperilaku asertif agar di masa mendatang, subjek menyadari bahwa dirinya memiliki hak untuk menolak, mengemukakan pendapat serta memiliki hak untuk hidup bebas tanpa pengaruh dari figur otoritas ataupun teman sebaya.

Kata Kunci : Perilaku Asertif, Remaja Awal

PENDAHULUAN

Perilaku asertif sangat penting bagi remaja awal, karena apabila seorang remaja tidak memiliki keterampilan untuk berperilaku asertif atau bahkan tidak dapat berperilaku asertif, disadari ataupun tidak, remaja awal ini akan kehilangan hak-hak pribadi sebagai individu dan cenderung tidak dapat menjadi individu yang bebas dan akan selalu berada dibawah kekuasaan orang lain. Alasan seorang remaja awal tidak dapat berperilaku asertif adalah karena mereka belum menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif. Remaja awal dipilih, karena pada masa ini terdapat keraguan akan identitas diri sebagai seorang remaja awal karena pada masa ini individu telah merasa dewasa namun masih ada orang-orang disekelilingnya yang menyebutnya “anak remaja”. Perilaku asertif dibutuhkan oleh remaja awal , terlebih apabila seorang remaja awa berada dalam lingkungan yang kurang baik

(3)

seperti lingkungan perokok atau pecandu narkoba, pada satu sisi sorang remaja tidak ingin kehilangan teman dan pada sisi lainnya seorang remaja tidak ingin terjerumus pada hal-hal negatif.

Tidak semua individu dapat berperilaku asertif. Hal ini disebabkan karena tidak semua anak remaja laki-laki maupun perempuan sadar bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif. Banyak pula anak remaja yang cemas atau takut untuk berperilaku asertif, atau bahkan banyak individu selain anak remaja yang kurang terampil dalam mengekspresikan diri secara asertif. Hal ini mungkin mendapatkan pengaruh dari latar belakang budaya keluarga dimana anak remaja itu tinggal, urutan anak tersebut dalam keluarga, pola asuh orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi orang tua atau bahkan sistem kekuasaan orang tua. Perilaku asertif berbeda dengan perilaku agresif, karena dalam berperilaku asertif, kita dituntut untuk tetap menghargai orang lain dan tanpa melakukan kekerasan secara fisik maupun verbal. Sedangkan perilaku agresif cenderung untuk menyakiti orang lain apabila kehendaknya tidak dituruti.

Remaja awal belum dapat mengkomunikasikan perasaan yang dirasa kepada orang lain secara jujur, mereka menganggap mereka tidak memiliki hak untuk melakukan hal tersebut. Peneliti tertarik mengamati perilaku asertif pada remaja awal lebih jauh karena peneliti menilhat banyaknya remaja awal yang enggan berperilaku asertif karena mereka merasa bahwa suara atau keinginana mereka akan diabaikan oleh figur otoritas seperti orang tua, guru, atau bahkan teman sebaya. Alasan pentingnya penelitian ini dilakukan adalah, karena apabila seorang remaja awal tidak dapat berperilaku asertif, maka dimasa yang akan datang remaja tersebut akan merasa merasa rendah diri dan tidak berani mengemukakan perasaanya kepada orang lain karena merasa apa yang disampaikannya selalu tidak dipedulikan orang lain.

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri perilaku asertif yang tampak pada remaja awal. Penelitian ini pun memiliki tujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku asertif pada remaja awal, serta mengetahui bagaimana proses perkembangan perilaku asertif pada remaja awal.

TINJAUAN PUSTAKA

Cawood (1988) menyebutkan bahwa perilaku asertif adalah ekspresi yang langsung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan atau hak-hak individu tanpa kecemasan yang tidak beralasan. Alberti & Emmons (2002) memberikan pengertian bahwa perilaku yang asertif mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, yang memungkinkan kita untuk bertindak menurut kepentingan kita sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, untuk menerapkan hak-hak pribadi kita tanpa menyangkali hak-hak orang lain.

Lange dan Jakubowski (1978) memberikan pengertian tentang perilaku asertif sebagai berikut: “Standing up for

personal rights and expressing toughts, feelings, and beliefs in direct, honest, and appropriate ways which do not violate another person’s rights” Dalam pengertian yang mereka kemukakan, mereka menyatakan bahwa perilaku

(4)

asertif adalah mempertahankan hak-hak kita dan mengekspresikan apa yang kita yakini, rasakan serta inginkan secara langsung dan jujur dengan cara yang sesuai yang menunjukkan penghargaan terhadap hak-hak orang lain.

Pengertian lainnya dikemukakan oleh Rini (2001), yaitu bahwa asertif adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan kepada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain. Sedangkan Rathus dan Nevid (1983) menyatakan bahwa asertif adalah tingkah laku yang menampilkan keberanian untuk secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan dan pikiran-pikiran apa adanya, mempertahankan hak-hak pribadi serta menolak permintaan-permintaan yang tidak masuk akal dari figur otoritas dan standar-standar yang berlaku pada suatu kelompok.

Selanjutnya, Beddel & Lennox (1997) memberikan pengertian mengenai perilaku asertif, yaitu: “Assertiveness

promotes interpersonal behavior that simultaneously attempts to maximize the person’s satisfaction of wants while considering the wants of other people, thus promoting respect for the self and others”. Mereka mengatakan bahwa,

asertifitas akan mendukung tingkah laku interpersonal yang secara simultan akan berusaha untuk memenuhi keinginan individu semaksimal mungkin dengan secara bersamaan juga mempertimbangkan keinginan orang lain karena hal itu tidak hanya memberikan penghargaan pada diri sendiri tetapi juga kepada orang lain.

Ciri-Ciri Individu dengan Perilaku Asertif

Lange dan Jakubowski (1978) mengemukakan lima ciri-ciri individu dengan perilaku asertif. Ciri-ciri yang dimaksud adalah:

a. Menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri

Menghormati orang lain berarti menghormati hak-hak yang mereka miliki, tetapi tidak berarti menyerah atau selalu menyetujui apa yang diinginkan orang lain. Artinya, individu tidak harus menurut dan takut mengungkapkan pendapatnya kepada seseorang karena orang tersebut lebih tua dari dirinya atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

b. Berani mengemukakan pendapat secara langsung

Perilaku asertif memungkinkan individu mengkomunikasikan perasaan, pikiran, dan kebutuhan lainnya secara langsung dan jujur.

c. Kejujuran

Bertindak jujur berarti mengekspresikan diri secara tepat agar dapat mengkomunikasikan perasaan, pendapat atau pilihan tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain.

d. Memperhatikan situasi dan kondisi

Semua jenis komunikasi melibatkan setidaknya dua orang dan terjadi dalam konteks tertentu. Dalam bertindak asertif, seseorang harus dapat memperhatikan lokasi, waktu, frekuensi, intensitas komunikasi dan kualitas hubungan.

(5)

Dalam bertindak asertif yang terpenting bukanlah apa yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya. Bahasa tubuh yang menghambat komunikasi, misalnya: jarang tersenyum, terlihat kaku, mengerutkan muka, berbicara kaku,

bibir terkatup rapat, mendominasi pembicaraan, tidak berani melakukan kontak mata dan nada bicara tidak tepat.

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, hal ini dilakukan untuk mengembangkan pemahaman dalam mengerti dan menginterpretasikan apa yang ada dibalik peristiwa, latar belakang pemikiran manusia yang terlibat didalamnya serta bagaimana manusia meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi (Sarantakos dalam Poerwandari, 1998). Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena peneliti ingin memahami dan memiliki pengertian yang mendalam tentang bentuk perilaku asertif pada remaja awal.

HASIL

Menurut Lange & Jakubowski (1978), terdapat beberapa ciri-ciri individu dengan perilaku asertif, ciri-ciri yang dimaksud adalah :

1. Menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri. Hal yang dimaksud adalah bahwa setiap individu memiliki hak yang sama dengan individu lainnya tanpa melihat perbedaan usia, jabatan atau golongan. Pada kasus subjek 1, 2 dan 3, terlihat bahwa ketiga subjek yang diambil dalam penelitian ini tidak dapat mengemukakan hak nya untuk menolak pada masalah-masalah sepele yang terjadi di lingkungan rumahnya. Subjek 1, 2 maupun 3 menyatakan bahwa pada akhirnya mereka akan melakukan perintah yang diminta oleh orang tua karena menghindari hukuman atau merasa tidak enak terhadap orang tua. Mereka melakukan perintah tersebut walaupun merasa terpaksa. Hal ini menjadi bukti bahwa remaja awal masih mementingkan hak orang lain dibandingkan harus meminta hak yang dimiliki secara jujur kepada orang lain, khususnya orang tua dan teman sebaya. Dilihat dari tingkah laku memberi (the give), yang dikemukakan Cawood (dalam Zulkaida, 2006) tentang memberikan keputusan: Mengatakan “Ya” (menerima) atau “Tidak” (menolak) dimana individu dapat mempertahankan haknya dengan fokus secara jelas terhadap apa yang ingin dikatakan, maka dapat dilihat bahwa ketiga subjek belum dapat menghormati haknya untuk menolak.

2. Berani mengemukakan pendapat secara langsung. Hal yang dimaksud adalah bahwa setiap individu dengan perilaku asertif akan mampu mengungkapkan segala perasaan yang dirasakannya atau sesuatu yang dipikirkannya. Pada kasus subjek 1, 2 dan 3 terlihat bahwa mereka tidak dapat mengungkapkan kepada orang lain apabila sedang merasa marah dengan orang tersebut. Ketiga subjek lebih merasa nyaman untuk tetap diam tanpa mengkomunikasikan perasaannya kepada orang lain karena takut akan dijauhi dan tidak memiliki banyak teman. Namun dalam hal pengungkapan pikiran, baik subjek 1, 2 maupun subjek 3, mampu untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan kepada orang lain. Dilihat dari tingkah laku memberi

(6)

(the give), yang dikemukakan Cawood (dalam Zulkaida, 2006) tentang memberikan pendapat atau opini dimana individu sebenarnya memiliki hak untuk menyatakan pendapat, terlepas apakah pendapat tersebut benar atau salah, baik atau kurang baik, maka dapat dilihat bahwa ketiga subjek belum dapat mengemukakan pendapat secara langsung.

3. Kejujuran. Dalam hal ini, kejujuran yang ditunjukkan dalam mengekspresikan diri agar dapat mengkomunikasikan perasaan, pendapat ataupun pilihan yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Pada kasus subjek 1, 2 dan 3, terlihat bahwa mereka mampu mengemukakan pendapat secara jujur kepada teman atau dalam keluarga serta berusaha memberikan pendapat yang tidak menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain. Dilihat dari tingkah laku memberi (the give), yang dikemukakan Cawood (dalam Zulkaida, 2006) tentang berbagi perasaan, dimana individu perlu memahami bahwa mengakui dan berbagi perasaan akan dapat membangun komitmen yang lebih kuat dengan orang lain karena dapat membuat kontak dan secara efektif meningkatkan kerjasama dengan orang lain, maka dapat dilihat bahwa ketiga subjek dapat mengekspresikan kejujuran kepada orang lain sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan Cawood (dalam Zulkaida, 2006).

4. Memperhatikan situasi dan kondisi. Hal yang dimaksud adalah, bahwa setiap individu yang berperilaku asertif akan mampu memperhatikan situasi, lokasi, frekuensi serta intensitas komunikasi. Pada kasus subjek 1 dan 2, terlihat bahwa mereka memperhatikan sekali tempat dan waktu untuk memberikan masukan, pendapat ataupun saran. Dari kedua subjek tersebut, dapat dilihat bahwa masing-masing dari mereka memiliki tempat dan waktu khusus untuk mengemukakan pendapatnya kepada orang lain. Sedangkan pada kasus subjek 3, subjek merasa akan lebih baik apabila dirinya memberikan masukan, pendapat atau saran langsung pada saat orang lain berbuat kesalahan, tanpa mempertimbangkan tempat ataupun waktu yang baik. Dilihat dari tingkah laku memberi (the give), yang dikemukakan Cawood (dalam Zulkaida, 2006) tentang memberikan kritik atau pujian, dimana individu memiliki penentuan waktu yang tepat dengan mengetahui kondisi seseorang untuk mengatakan sesuatu membuat perilaku asertif menjadi lebih asertif, maka apa yang dilakukan oleh subjek 1 dan 2 di dukung oleh pernyaaan Cawood (dalam Zulkaida, 2006) dimana subjek 1 dan 2 dapat memperhatikan situasi dan kondisi, namun subjek 3 belum dapat memperhatikan situasi dan kondisi.

5. Bahasa tubuh. Selain dari beberapa ciri perilaku asertif yang telah dijelaskan sebelumnya, ciri perilaku asertif lainnya dapat ditunjukkan dengan bahasa tubuh. Tidak berani melakukan kontak mata serta mengemukakan nada bicara yang tidak tepat dapat menghambat komunikasi. Subjek 1 mengaku bahwa dirinya tidak memiliki kesulitan dalam melakukan komunikasi dengan orang lain. Sedangkan subjek 2 dan 3 merasa sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa mereka merasa kesulitan dalam berkomunikasi. Pada kasus subjek 1, walaupun subjek merasa tidak memiliki kesulitan dalam berkomunikasi namun subjek tidak dapat selalu menatap mata lawan bicara dan merasa pernah melakukan kesalahan dalam pengungkapan nada kemarahan. Pada kasus subjek 2, subjek mengemukakan bahwa subjek memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dan diperkuat dengan sikap subjek saat berbicara yang tidak mau menatap mata lawan bicara. Sedangkan subjek 3, walaupun merasa kesulitan dalam berkomunikasi namun subjek tetap menatap

(7)

mata lawan bicara dengan harapan orang yang berbicara dengannya merasa diperhatikan saat berbicara. Dilihat dari tingkah laku memberi (the give), yang dikemukakan Cawood (dalam Zulkaida, 2006) tentang memberikan informasi, dimana informasi yang diberikan sebaiknya bersifat langsung, deskriptif, tidak ada bias dan tidak bersifat menasihati, maka dapat dilihat bahwa subjek 1 dan 2 belum mampu menggunakan bahasa tubuh yang baik ketika memberikan

informasi kepada orang lain, sedangkan subjek 3 merasa nyaman apabila menggunakan bahasa tubuh secara tepat ketika memmemberikan informasi kepada orang lain.

Menurut Rathus dan Nevid (1983), terdapat enam hal yang mempengaruhi perkembangan perilaku asertif, yaitu:

1. Jenis kelamin. Jenis kelamin mempengaruhi perkembangan perilaku asertif. Wanita pada umumnya lebih sulit bersikap asertif seperti mengungkapkan perasaan dan pikiran dibandingkan dengan laki-laki. Subjek 1 adalah seorang perempuan, subjek 2 adalah perempuan, dan subjek 3 adalah laki-laki, menurut ketiga subjek, mereka merasa jenis kelamin mempengaruhi perilaku mereka. Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang kesalahan dalam menganggap perilaku non asertif sebagai suatu bentuk kesopanan, dimana ketiga subjek menganggap jenis kelamin mempengaruhi perilaku mereka, dan sebagai seorang anak perempuan subjek 1 dan 2, sering menganggap lebih baik diam sebagai bentuk kesopanan.

2. Self esteem. Disebut juga dengan harga diri. Individu yang berhasil untuk berperilaku asertif adalah individu yang harus memiliki keyakinan. Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki kekuatiran sosial yang rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri. Pada kasus subjek 1, 2 dan 3, terdapat kesamaan, yaitu bahwa ketiga subjek merasa memiliki harga diri yang tinggi dan dengan harga diri yang tinggi tersebut, ketiga subjek mampu menunjukkan perilaku asertifnya kepada orang lain. Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang kegagalan menerima hak pribadi, maka ketiga subjek tidak merasakan kegagalan dalam menerima hak pribadi, melainkan ketiga subjek merasa memiliki harga diri yang tinggi dan mampu berperilaku asertif kepada orang lain.

3. Kebudayaan. Kebudayaan juga mempengaruhi perilaku yana muncul. Kebudayaan biasanya dibuat sebagai pedoman batas-batas perilaku setiap individu. Subjek 1 yang memiliki ayah dari suku Jawa dengan ibu dari suku Sunda. Subjek 2 yang memiliki ayah dari Suku Sumatra (Padang) dengan ibu dari suku Jakarta, dan subjek 3 memiliki kedua orang tua dari suku yang sama, suku Sunda. Pada kasus subjek 1 dan 3, terlihat bahwa subjek merasa bahwa kebudayaan mempengaruhi perilakunya. Pada kasus subjek 2 dapat dilihat subjek merasa kebudayaan tidak mempengaruhi perilakunya. Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang kecemasan akan adanya akibat yang bersifat negatif, dimana dari hasil diatas, dapat dilihat bahwa subjek 1 dan 3 merasa akan mendapatkan akibat negatif apabila mereka mengabaikan sisi kebudayaan mereka.

(8)

4. Tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin luas wawasan berpikir sehingga memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dengan lebih terbuka. Pada kasus subjek 1 dan 2 terdapat kesamaan. Menurut mereka tingkat pendidikan mempengaruhi perilakunya. subjek 3 mengatakan bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi perilakunya. Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang tidak adanya keterampilan untuk berperilaku asertif, dimana subjek 1 dan 2 merasa tingkat pendidikan saat ini membuat mereka merasa tidak memiliki keterampilan untuk berperilaku asertif.

5. Tipe kepribadian. Hal ini dipengaruhi oleh tipe kepribadian, dimana seseorang akan bertingkah laku berbeda dengan individu kepribadian lain. Pada kasus subjek 1 dan 3 terdapat kesamaan, yaitu memiliki kepribadian yang terbuka. Pada kasus subjek 2, terlihat bahwa subjek lebih pendiam dan tertutup Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang kesalahan dalam membedakan antara perilaku asertif dan agresif, dimana subjek 1 dan 3 dengan tipe kepribadian yang terbuka berusaha untuk tidak mengkomunikasikan keinginannya dengan suara yang keras atau yang sifatnya memaksa agar tidak terjadi kesalahan dalam membedakan perilaku asertif dan agresif. 6. Situasi tertentu lingkungan sekitarnya. Dalam berperilaku, seseorang akan melihat kondisi dan situasi dalam

arti luas. Pada kasus subjek 1 dan 3, terlihat bahwa subjek dapat menolak perintah orang tua sedangkan kasus subjek 2 terlihat bahwa subjek merasa tidak dapat menolak permintaan orang lain. Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang kesalahan menganggap perilaku asertif adalah sebagai usaha untuk membantu orang lain, dimana subjek 2 tidak dapat menolak permintaan orang lain dan menganggap perilakunya tersebut sebagai usaha untuk membantu orang lain.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

Subjek 1 kurang dapat menghormati hak pribadi, berani mengemukakan pendapat secara langsung, dapat berlaku jujur tentang perasaan, memperhatikan situasi dan kondisi serta tergolong mampu berperilaku asertif dengan menggunakan bahasa tubuh. Subjek merasa jenis kelamin mempengaruhi perilaku, subjek merasa memiliki self

esteem yang baik, dalam hal budaya dan tingkat pendidikan subjek merasa budaya dan tingkat pendidikan

mempengaruhi. Subjek merupakan orang yang terbuka dan merasa mampu menolak perintah yang ditujukan kepadanya.

Subjek 2 kurang dapat menghormati hak pribadi, berani mengungkapkan pendapat secara langsung, dapat berlaku jujur tentang perasaan, memperhatikan situasi dan kondisi tetapi kurang mampu berperilaku asertif dengan menggunakan bahasa tubuh. Subjek merasa jenis kelamin mempengaruhi perilaku, subjek merasa memiliki self

esteem yang baik, dalam hal budaya, subjek merasa budaya tidak mempengaruhi sedangkan pada tingkat

pendidikan, subjek merasa tingkat pendidikan mempengaruhi. Subjek merupakan orang yang tertutup dan merasa sulit untuk menolak perintah yang ditujukan kepadanya.

(9)

Subjek 3 kurang dapat menghormati hak pribadi, berani mengungkapkan perasaan secara langsung, dapat berperilaku jujur tentang perasaan, kurang dapat memperhatikan situasi dan kondisi serta tergolong mampu

berperilaku asertif dengan

menggunakan bahasa tubuh. Subjek merasa jenis kelamin mempengaruhi perilaku, subjek merasa memiliki self

esteem yang baik, dalam hal budaya, budaya mempengaruhi dan tingkat pendidikan subjek merasa tingkat

pendidikan mempengaruhi. Subjek merupakan orang yang tebuka dan merasa mampu menolak perintah yang ditujukan kepadanya.

SARAN

Saran yang diberikan, yaitu : 1. Kepada Subjek

Diharapkan subjek memulai melatih diri untuk bersikap asertif kepada orang tua, teman sebaya ataupun orang-orang disekitar. Diharapkan subjek mampu menolak perintah apabila perintah yang diberi dirasa merugikan bagi diri sendiri, namun tetap tidak merugikan hak-hak orang lain. Subjek juga diharapkan mampu untuk berkata jujur dan langsung kepada orang lain tentang perasaannya. Subjek harus merasa yakin walaupun subjek masih tergolong remaja awal, namun subjek memiliki hak-hak pribadi yang sama seperti individu dewasa. 2. Kepada Keluarga Subjek

Diharapkan keluarga dapat membantu subjek dalam melatih perilaku asertif subjek di dalam lingkungan keluarga, dengan tidak memberikan hukuman fisik maupun verbal apabila subjek menolak melakukan perintah.

3. Kepada Masyarakat

Diharapkan masyarakat sekitar turut membentu subjek dalam melatih perilaku asertif subjek di lingkungan sekitar, dengan tidak menanamkan kebiasaan yang menunjukkan penolakan yang dilakukan subjek atau remaja awal khususnya sebagai suatu bentuk pemberontakan dan gambaran ketidakdisiplinan seorang anak kepada orang tua, namun melihat penolakan tersebut sebagai pengungkapan hak-hak pribadi dari seorang remaja awal. 4. Kepada Peneliti Selanjutnya

Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk mengambil subjek dengan usia remaja awal yang lebih beragam, tidak hanya mengambil subjek dengan usia yang sama yaitu 13 tahun. Diharapkan pula dari perbedaan usia yang lebih beragam, peneliti akan melihat perilaku asertif yang ditunjukkan dari setiap subjek penelitian berdasarkan tingkat umur berbeda yang masih termasuk remaja awal, supaya mendapatkan data yang lebih mendalam tentang perilaku asertif remaja awal.

DAFTAR PUSTAKA

Alberti, R & Emmons, M. (2002). Your perfect right, hidup lebih bahagia dengan menggunakan hak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

(10)

Beddel, J. R & Lenox, S. S. (1997). Handbook for communication and problem solving skills training: A cognitive

behavioral approach. New York: John Willy & Sons, Inc

Cawwod, D. (1988). Assertiveness for managers: Learning effective skill for managing people. (2nd ed). Canada: International Self-Counsel Press, ltd

Lange, A. J & Jackubowski, P. (1978). Responsible assertive behavior: Cognitive behavioral procedures training. Illionis: Research Press

Poerwandari, E. K. (2005).Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.

Depok: Lembaga pengembangan sarana pengukuran dan penelitian psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia

Rathus, S. A & Nevid, J. S. (1983). Adjustment and growth: The challenges of life. (2nd ed). New York: CBS College Publishing

Zulkaida, A. (2006). Tingkah laku asertif yang bertanggung jawab. Makalah: (Ditampilkan pada seminar pelatihan tingkah laku asertif). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Referensi

Dokumen terkait

Bertolak dari latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu: “Apakah Penerapan Strategi Pembelajaran Tugas

Pasien maternal yang memiliki hipertensi sebelum atau pada masa kehamilan lebih berisiko mengalami preeklampsia karena pada kondisi hipertensi akan terjadi vasokontriksi

Tesis yang berjudul “Kajian Implementasi Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Surakarta” ini adalah karya penulis sendiri dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan optimal kadar lignin bagas dengan kehilangan minimal a-selulosa terjadi pada waktu inkubasi dua minggu untuk setiap variasi kultur

Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala

Jika amplitudo ( A) diperbesar tanpa redaman (tidak ada energi yang hilang) maka aliran energi menjadi semakin besar... Jika jarak dari sumber digandakan maka

309 Dagregister van Jan Greeve, Raad extra ordinair van Nederlands Indie, Mitsgaders Gouverneur en Directeur op en langs Java's Noordoost Kust in den jaar 1788 naar Solo en Djocja,

hipotesa (Ho) diterima dan Ha ditolak artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel Budaya Organisai (X) terhadap variabel Kinerja Pegawai (Y) pada kantor