• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Collaborative Governance yang dilakukan berbagai pihak untuk berkolaborasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Collaborative Governance yang dilakukan berbagai pihak untuk berkolaborasi"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini berkaitan dengan pengelolaan sampah dalam kerangka

Collaborative Governance yang dilakukan berbagai pihak untuk berkolaborasi

dalam pengembangan pengelolaan sampah. Seperti dalam studi ini, Pemerintah merupakan salah satu aktor yang memberikan transformasiterhadap pembangunan dengan maksud agar lebih memajukan lagi kapasitas hidup masyarakat khusunya pada sektor pengelolaan sampah.

Berikut ini, peneliti akan menjelaskan beberapa teori dan konsep yang digunakan sebagai batasan dasar dan referensi ketika menjabarkan hasil pada pengkajian. Adapun konsep maupun teori yang hendak dipergunakan saat menganalisis skripsi yang berjudul Collaborative Governanace dalam Pengelolaan Sampah pada Super Depo Suterejo di Kota Surabaya tersebut akan di sajikan pada bab ini. Berdasarkan hal tersebut, maka yang akan dijelaskan sebagai berikut:

2.1 Collaborative Governanace

1. Pengertian Collaborative Governanace (Tata Kelola Kolaborasi)

Pemerintah berusaha mencari solusi terhadap permasalahan sosial yang tengah dihadapi melalui penyelenggaraan pemerintah dengan menjalin kerjasama dengan stakeholder yang di mana pemerintah mencoba untuk dapat memberikan respon kepada masyarakat untuk menangani permasalahan publik. Secara sederhana, salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah yang melibatkan

stakeholder/pemangku kepentingan dalam membuat suatu keputusan yang sepakati

(2)

Collaborative governance menurut Ansell dan Gash merupakan sebuah

peraturan pemerintah dalam hal ini lembaga publik secara langsung melibatkan pihak di luar lembaga publik (non-pemerintah) dalam pengambilan suatu keputusan secara kolektif formal, berorientasi pada kesepakatan bersama, delibratif yang tujuannya adalah untuk menciptakan dan menerapkan kebijakan publik serta mengelola Program atau aset publik (Ansell & Gash, 2008: 544). Collaborative

governance sesungguhnya menjad respon terhadap keinginan bagi para pemangku

kepentingan yang terlibat dalam melaksanakan pembangunan.

Ada 6 kriteria penting yang didirikan agar dapat menjabarkan tata kelola kolaborasi yang mencakup forum yang di prakarsai lembaga publik, melibatkan pihak swasta/non-pemerintahan, masing-masing aktor terlibat langsung dalam membuat keputusan, dan forum musyawarah dilakukan secara formal dan merupakan pertemuan bersama, pengambilan keputusan hanya didasarkan pada persetujuan bersama, fokus kerja sama dalam hal kebijakan dan manajemen publik. (Ansell & Gash, 2008: 544).Dengan kata lain, kolaborasi masih menggambarkan bahwa pemerintah sebagai aktor utama, meskipun melibatkan aktor diluar dari pemerintahan. Selain itu, tatakelola kolaborasi hadus dilakukan secara formal dan juga bersifat konsensus serta dilakukan dalam proses formulasi, pelaksanaan kebijakan serta dalam hal pelayanan publik.

Secara umum, kolaborasi juga menganalisis kerja sama di antara beberapa

stakeholder yang tertarik untuk mengelola suatu program atau sumber daya yang

telah disepakati sebagai sebuah tujuan dalam kolaborasi. Adapun pelaku dalam kegiatan kolaborasi diantaranya pemerintah, lembaga non-pemerintah/swasta,

(3)

halnya dengan strategi pemerintah dalam pengelolaan sampah di Super Depo Suterejo Kota Surabaya yang mana Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya melakukan kerjasama dengan Perusahaan Pengolah Sampah asal Jepang yaitu Nishihara Corporation serta dengan memberdayakan masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai pemulung untu turut berkontribusi terhadap pengelolaan sampah.

2. Tujuan Pelaksanaan Collaborative Governanace

Tatakelola Kolaborasi pada manajemen pemerintah menjadi sebuah keharusan dalam praktik pemerintah khususnya di era sekarang ini. Ada hal yang menjadi alasan di balik lahirnya kolaborasi di berbagai instansi atau lembaga pemerintahan. Sesunggunya, proses pemerintahan kolaboratif tidak hanya muncul dengan sendirinya, melainkan hal itu diakibatkan adanya inisiatif beberapa aktor yang mempromosikan koordinasi atau kerja sama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi publik.

Pemerintahan kolaboratif ternnayata dapat terlihat dari segi kebutuhan institusi untuk membuat menjalin sebuah kemitraan. Hal tersebut tentu disebabkan adanya keterbatasan dalam membuat program institusi. Selain itu, kolaborasi juga timbul karena adanya kendala pembiayaan yang disediakan sehingga dengan dilakukanya kolaborasi, secara tidak langsung lembaga lain yang berpartisipasi dalam kolaborasi akan membantu menyelesaian kendala yang dihadapi seperti kendala keterbatasan anggaran. Kolaborasi juga bisa disebut sebagai aspek pengembangan ilmu pemerintahan, apalagi dengan munculnya konsep

(4)

pemerintahan yang mansyaratkan adanya partisipasi disektor pemerintahan, sektor non-pemerintah, serta masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.

Kolaborasi bisa menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah publik yang begitu kompleks, solusi untuk gagalnya pelaksanaan kebijakan, efisiensi pembiayaan, serta bisa mengerahkan kepentingan politik masing-masing pihak dan mengurangi konflik antara pihak berkepintang yang biasnya susah untuk dihilangkan. (Junaidi, 2015: 10). Oleh sebab itu, dapat kita pahamu bahwa dikakukanya kolaborasi bukan lain sebagai adanya saling ketergantungan dari tiap institusi. Collaborative Governanace juga dirasa hadir sebagai jawaban terhadap gagalnya penerapan kebijakan serta anggaran yang tinggi dan munculnya politisasi terhadap peraturan/regulasi (Ansell & Gash, 2008: 544). Oleh karena itu, kolaborasi diharapkan mampu mengerahkan pihak yang memiliki kepentingan. Kolaborasi juga dirasa sebagai pemecahan masalah terhadap penerapan program/kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu lembaga karena keterbatasan kemampuan dan mengatasi besarnya biaya program.

3. Model Collaborative Governance

Model pemerintahan kolaboratif dimulai dari keadaan masalah sekitar bahwa kolaborasi ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah atau isu yang sedang berkembang/dihadapi di masyarakat. Pada akhirnya memerlukan kolaborasi untuk mengatasinya, dengan adanya kolaborasi, komunikasi antara para aktor yang terlibat diperlukan dan dapat mencegah rasa tidak percaya, ketidakseimbangan antara pihak-pihak berkepentingan dan tidak adanya adanya lagi konflik antara pihak yang berpartisipasi. Selain situasi masalah lokal dalam proses kebijakan

(5)

kolaboratif, Ansel & Gush pun menguraikan variabel desain kepemimpinan dan kelembagaan pada umumnya yang mendominasi proses kolaboratif, berikut penjabaran model kolaboratif pada gambar 2.1:

Gambar 2.1

Model Collaborative Governance

Sumber: Ansell & Gash, 2008: 550

a) Kondisi Awal (Start Condition)

Kondisi awal menjadi tahap permulaan dimana proses kolaborasi diterapkan. Kondisi awal umumnya dilatar belakangi dari samanya visi yang hendak dicapai, kemudian adanya manfaat yang didapatkan dari proses kerjasama. Ada tiga variabel penting dalam kondisi awal terjadinya tata kelola kolaboratif yang

Participatory Inclusiveness, Forum Exclusiveness, Clear Ground Rules, Process Transparency

Influences

Collaborative Process

Trust-Building Commitment to Process

- Mutual recognition of interdependence - Shared Ownership of Process - Openness to Exploring Mutual Gains - Clear Mission Shared Understanding - Common Problem Definition - Identification of Common Values Intermediate Outcomes - “Small Wins” - Strategic Plans - Joint Fact-Finding - Good Faith Negotiation Face-to-Face Dialogue Outcomes Institutional Design Facilitative Leadership (Including Empowerment) Starting Conditions Power-Resource Knowledge Asymmetries

Incentives for and Constraints on Participation Prehistory of Cooperation or Conflict (initial trust level)

(6)

mencakup ketidakseimbangan sumber daya, sejarah dan insentif masa lalu. (Ansell & Gash, 2008: 551).

b) Kepemimpinan Fasilitatif (Facilitative Leadership)

Kepemimpinan menjadi penyedia yang nantinya dapat mengarahkan aktor-aktor yang terlibat pada proses kolaborasi. Lasker dan Weiss mengatakan bahwa pemimpin kolaboratif yang ideal harus memiliki keahlian dalam melakukan (1) promosian partisipasi yang aktif dan luas; (2) memastikan pengaruh dan kontrol yang luas; (3) memberikan fasilitas yang produktif terhadap dinamika kelompok; serta (4) memperluas ruanglingkup proses (Lasker & Weis, 2001: 31; Ansell & Gash, 2008: 554).

Kepemimpinan fasilitatif memegang peran penting yang dapat merangkul, memanfaatkan dan mengikutsertakan segenap elemen yang memiliki keterlibatan sehingga proses kolaborasi dapat berfungsi dengan apa yang diharapkan. Urgensinya adalah untuk membawa para stakeholders bersama-sama dan membuat semua aktor terlibat dalam program satu sama lain dalam semangat kolaborasi. Peran kepemimpinan fasilitatif menjadi salah satu hal penting untuk memperkuat elemen yang lemah agar nantinya dapat beradaptasi. (Ansell & Gash, 2008: 555).

c) Desain Institusional (Institutional Design)

Desain institusional mengacu pada ketentuan dasar yang mengatur tata kelola kolaborasi yang jelas dan konsisten mengaktualisasikan pihak yang berkepentingan bahwa prosesnya adil dan terbuka (Muldock, Wiessner, & Sexston, 2005; Ansell & Gash, 2008: 557). Dalam hal ini mengarah pada bagaimana nantinya semua anggota forum yang berkolaborasi di rancang, keikutsertaan,

(7)

pertemuan yang hadiri seluruh anggota, mempunyai referensi yang jelas, dan tahapanya yang terbuka.

d) Proses Kolaborasi (Collaborative Process)

Proses kolaborasi ini menerangkan tahap yang ingin dilakukan oleh semua aktor. Gray memetakan proses kolaborasi kedalam tiga tahap yakni penataan masalah, penataan arah dan pelaksanaanya (Gray; 1989; Ansell & Gash, 2008: 557). Model proses kolabosi menjadi penting untuk menarik perhatian pada strategi kolaborasi yang berubah saat konteks berubah. Ansell dan Gash menjelaskan bahwa dalam proses kolaborasi ada variabel yang saling terkait yang diantaranya (Ansell & Gash, 2008: 558–561) diawali dengan dialog dan pertemuan (Face to face

dialogue) yang menjadi inti dari kolaborasi, Dialog tatap muka merupakan

pertemuan tatap muka atau seringkali disebut komunikasi langsung antara aktor yang terlibat. Sehingga terjadilah interaktif antara para aktor untuk membicarakan kepentingan bersama secara langsung agar aktor yang terlibat tidak merasa dirugikan.

Pengembangan Kepercayaan (Trust building), Membangun kepercayaan antara pihak-pihak yang terlibat di mana semua pihak yang dilibatkan mempunyai maksud yang serupa untuk memilih kebijakan terbaik bagi semua pihak. Kepercayaan umumnya tercipta dari hubungan antara pihak-pihak terkait. Komunikasi pada proses (Comitment to Proces) ialah kewajiban untuk mengimplementasikan proses agar dapat tercapainya tujuan yang diinginkan bersama-sama.Setelah itu, share understanding (Berbagi pengetahuan) yaitu berbagi pengetahuan kedalam suatu kolaborasi, bahwa sanya misi dan forum-forum yang dibentuk menjadi kewajiban bersama. Terakhir adalah outcomes, yaitu hasil

(8)

yang diperoleh dari proses saat ini yang dapat memberikan manfaat dan memiliki nilai penting dari pihak yang terlibat.

e) Intermediate Outcomes

Hasil selanjutnya dari proses kolaborasi yaitu dilakukan secara wujud nyata.

Intermediate Outcomes adalah hasil dari proses kritis dan esensial dalam

pengembangan momentum yang mengarahkan agar tercapainya sebuah keberhasilan kolaborasi. Hasil selanjutnya muncul jika tujuannya dimungkinkan dan mendapat manfaat dari kolaborasi yang relatif konkret dan, ketika "small wins" kolaborasi dapat dimungkinkan terwujud.

Oleh karena itu, mengacu pada penjelasan sebelumnya, tata kelola kolaboratif dalam implementasinya memiliki serangkaian tahapan dan terdiri dari beberapa elemt. Elemen-elemen ini adalah faktor yang nantinya dapat mempengaruhi/menjadi penentu berhasil atau tidaknya tata kelola kolaboratif. Dengan demikian, setiap stake holder/aktor yang terlibat dalam tata kelola kolaboratif harus memperhatikan elemen-elemen ini. Selain itu, tahapan tata kelola kolaboratif juga mengarahkan bahwa implementasi kolaboratif tidak selalu memerlukan partisipasi pemerintah, aktor swasta dan publik, tetapi juga dibantu oleh elemen penting yang mencakup kondisi awal, kepemimpinan pasilitatif, desain kelembagaan, dan proses kolaboratif, serta hasil kolaborasi sementara berupa referensi maupun umpan balik terhadap pelaksanaan kolaborasi di masa yang akan datang.

(9)

2.2 Pengelolaan Sampah’ 1. Pengertian.Pengelolaan.

Pengelolaan merupakan suatu proses pengawasan kepada semua hal yang terkait didalam mengimplementasikan kebijakan untuk mencapai tujuan. Secara umum pengelolaan adalah aktivitas mengubah sesuatu hal untuk menjadi lebih baik yang bisa menghasilkan nilai tinggi dari sebelumnya. Pengelolaan merupakan proses merumuskan kebijakan dan tujuannya untuk mengawasi segala sesuatu yang terlibat dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan (Salim & Salim, 2002: 534).

Pengelolaan menjadi salah satu bentuk kerjasama sama dengan individu-individu pribadi dan kelompok untuk mencapai tujuan organisasi institusi. Satu hal yang harus diingat bahwa pengelolaan berbeda dari kepemimpinan. Pengelolaan terjadi jika ada kolaborasi antara individu ataupun kelompok, oleh karena itu, seorang pemimpin dapat mencapai tujuan yang diinginkan tanpa perlu menjadi seorang manajer yang efektif (Manullang, 1990: 54). Pengelolaan pada umumnya sering dikaitkan dengan kegiatan dalam Suatu organisasi yang tunjukan oleh seorang manajer atau pemimpin dalam bentuk perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan (Fattah, 2004: 1). Dari beberapa definisi yang dijabarkan sebelumnya, pengelolaan dapat diartikasn sebagai Merencanakan, mengatur, memimpin dan mengendalikan proses kerja organisasi di semua aspek untuk mencapai tujuan organisasi dengan tepat.

2. Pengertian Sampah

Dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak kita sadari, nyaris sebagian atau bahkan seluruh aktivitas publik akan memproduksi barang atau bahan sisa yang kita

(10)

kenal dengan sampah. Meski demikian, eksistensi sampah pada kenyataanya masih dianggap remeh. Bahkan, jika dijelaskan dengan benar, sampah pada dasarnya lebih dari sekadar barang yang tidak terpakai.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengartikan sampah sebagai hal yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disukai, atau dibuang dan berasal dari aktivitas manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. (Chandra, 2006). Sedangkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 Pasal 1 menyebut bahwa sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau alam yang berbentuk padat (Undang-Undang No 18, 2008). Kedua definisi definisi sebelumnya cenderung menggambarkan bahwa sampah merupakan barang yang tidak memiliki nilai maupun kegunaan dan juga hanya berbentuk padat dan bukan barang cair.

Selain itu, Hadiwiyoto memberikan penjelasan mengenai sampah secara rinci bahwa sampah adalah bahan sisa, baik bahan-bahan yang tidak lagi maupun bahan-bahan yang bagian utamanya telah diambil, dalam hal sosial ekonomi tidak lagi ada harganya, dan banyak masalah yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan merusak kelestarian lingkungan. (Hadiwiyoto, 1983: 12).Berdasarkan penjelasan tentang sampah tersebut, ternyata sampah memiliki sudut pandang yang jelas, yaitu suatu hal yang tidak diinginkan, berasal dari aktivitas manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Berikut, penjelasan mengenai prinsip-prinsip sampah:

1. Ada beberapa benda atau bahan padat.

2. Berhubungan langsung dengan aktivitas manusia

(11)

4. Buang dalam arti memberikan bentuk persetujuan publik 3. Jenis-jenis Sampah

Jika dipahami secara mendalam, Karakteristik sampah sesunggunya sangat dipengaruhi oleh sumbernya. Mulai dari komposisi, jenis atau bentuk sampah akan terpengaruh oleh kebiasaan dan standar kehidupan ekonomi sosial masyarakat serta keadaan alam. Jika dilihat dari jenisnya, ada dua kelompok sampah yang sangat umum yang kita kenal, yaitu sampah yang bersumber dari senyawa organik alam (sampah organik) dan sampah yang bersumber dari sumber daya alam tak terbarui (sampah anorganik), tidak ada yang lebih baru. Berdasarkan jenis sampah tersebut Bambang Wintioko mengkelompokkan lagi jenis-jenis sampah menjadi 3 kelompok sebagai berikut (Suwerda, 2012: 7–8):

a) Sampah yang degradable, yaitu, sampah yang mudah di urai secara alami oleh tubuh tubuh (terutama mikroorganisme);

b) Sampah yang sifatnya non-degradable, yaitu sifat sampah yang secara alami sulit atau sangat sulit terurai secara hayati;

c) Sampah khusus, merupakan sampah yang membutuhkan pengelolaan tertentu agar dapat mencegah terjadinya limbah berbahaya. Sampah khusus ini meliputi limbah rumah sakit, aki bekas dan aki kering, maupun cairan.

Berdasarkan pendapat sebelumnya, bisa diambil kesimpulan bahwa sampah dibedakan menjadi 2 kategori, diantaranya sampah organic dan non-organik. Untuk jenis sampah sendiri bisa dibedakan menjadi tiga kategori yaitu, limbah organik yang mudah terurai, limbah organik yang sulit terurai, diurai, serta limbah

(12)

anorganik/nondeggeadable yang sulit diurai, serta sampah spesifik yang mengandung B3.

4. Sumber-sumber Sampah

Sampah pada realitanya mempunyai suumber yang menjadi lokasi yang bisa menimbulkan sampah. Menurut Bambang Suwerda, ia menambahkan bahwa jenis sumber ada lima diantaranya (Suwerda, 2012: 9–11):

a) Rumah Tangga

Sampah yang bersumber dari limbah domestik yang telah didapatkan dari sisa kegiatan publik saat aktivitas setiap harinya. Secara umum, Sampah bersumber dari rumah tangga dalam bentuk proses pangan lainnya dan sampah taman/halaman serta bersifat terurai sendiri, bekas peralatan rumah, karton, kain, kertas serta lainnya yang bersifat tidak terurai.

b) Lingkungan Pertanian

Sampah yang bersumber dari kegiatan pertanian berjenis sampah yang mudah terurai (organic) seperti rumput dan jerami yang dapat dengam mudah dimusnahkan secara alami dan sampah yang tidak dapat terurai (an-organik) seperti plastic sisa wadah pertanian ataupun kaleng yang tidak bisa terurai secara alami.

c) Sisa Bangunan

Sampah yang bersumber dari sisa bangunan dapat berjenis bahan organic seperti triplek dan sisa-sisa kayu; dan bisa juga berjenis bahan anorganik seperti sisa semen, kaleng, kramik, kaleng, serpihan genteng, batu klikil dan sejenisnya.

(13)

d) Perdagangan dan Perkantoran

Sampah perdagangan biasanya memproduksi banyak limbah dengan sifat yang mudah busuk diantaranya buah dan sayur yang sudah rusak ataupun membusuk yang biasanya berasal dari area komersial seperti pasar, pos serta supermarket. Sementara aktivitas kantor, termasuk didalamnya sarana pendidikan juga memproduksi sampah anorganik yang tidak dapat diurai diantaranya kertas bekas, bahan pecetakan dan lainnya.

e) Industri

Sampah yang bersumber dari aktivitas industri bersumber dari semua kumpulan pembuatan produk. Limbah industri juga bisa berjenis bahan anorganik seperti bahan atau cairan kimia beracun yang membutuhkan pengelolaan tersendiri sebelum dibuang.

5. Pengelolaan Sampah

Pegelolaan sampah merupakan seluruh rangkaian aktivitas yang dijalankan agar bisa mengelola sampah mulai dari dihasilkannya sampah tersebut hingga pada proses pembuangan akhir. Secara umum, aktivitas pengelolaan limbah termasuk mengendalikan timbunan sampah, pengumpulan sampah, transfer dan transportasi, pemrosesan serta pembuangan akhir. Mengacu pada UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pada Pasal 1 Ayat 5 yang dimaksud dengan pengelolaan sampah adalah kegiatan sistematis yang menyeluruh dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Bentuk kegiatan pengelolaan sampah dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 19 yang terdiri dari pengurangan dan pengelolaan sampah.

(14)

Sebagaimana pengurangan sampah yang dimaksud dalam Pasal 19 mencakup pembatasan aktivitas pada timbunan sampah, pendauran ulang sampah. Serta pemanfaatan ulang sampah. Berikut penjabaran kegiatan penanganan sampah diantaranya (Undang-Undang No 18, 2008):

1) Klasifikasi dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan limbah sesuai dengan jenis, jumlah serta sifat limbah;

2) Koleksi dalam bentuk pembuangan dan transfer sampah dari sumber limbah ke tempat penampungan sementara atau situs pemrosesan limbah terintegrasi;

3) Transportasi dalam bentuk pengangkutan sampah dari sumber dan / atau dari tempat penampungan sementara atau dari tempat pemrosesan limbah terintegrasi ke tempat pemrosesan akhir;

4) Pemrosesan dalam bentuk pengubahan karakteristik, komposisi dan jumlah residu;

5) Pemrosesan akhir limbah sebagai penggantian limbah atau residu hasil pemrosesan sebelum artinya lingkungan dengan cara yang aman.

Pengelolaan sampah dimaksudkan sebagai bagi peningkatan kesehatan dan kualitas lingkungan masyarakat, Selain itu juga, pengelolaan sampah bertujuan untuk menjadikan sampah sebagai sumber daya (Undang-Undang No 18, 2008). Berdasarkan pendapat dari Syafaatur Rofiha, pengelolaan sampah adalah proses dengan maksud memiliki dua tujuan, yaitu mengubah limbah menjadi bahan yang memiliki nilai ekonomi dan pemrosesan limbah pada bahan yang tidak membahayakan lingkungan dan masyarakat pada umumnya. (Rofiah, 2013: 2).

Pengelolaan sampah sesungguhnya bukan hanya bagi kepentingan kesehatan semata, melainkan juga untuk keasrian lingkungan serta yang dapat dipahami dari pengelolaan sampah di sini adalah mencakup pengumpulan, transportasi hingga penghancuran/pemrosesan sampah dengan berbagai banyak cara sehingga sampah bukanlah lagi menjadi gangguan masyarakat dan lingkungan. (Soekidjo, 2007: 191). Pendapat tersebut memperlihatkan bahwa pengelolaan

(15)

sampah ialah sebuah usaha yang sistematis, komrehensif serta berkelanjutan untuk mengurangi dengan memilah sampah dari sumberya. Sehingga, sumpah bukan lagi menjadi gangguan bagi lingkungan dan pada khususnya masyarakat. Implementasi pengelolaan sampah sesungguhnya harus memperhitungkan aspek lingkungan dan kesehatan masyarakat, Selain itu pula hal terpentingnya yaitu diharpkan bisa mempengaruhi individu agar mau secara aktif berpartisipasi dalam pengelolaan sampah.

6. Penerapan Prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle)

Penerapan sistem pengelolaan limbah yang terdiri dari pengurangan

(reduce), penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle) atau 3R merupakan

penjabarab dari sistem pengelolaan limbah modern yang dikenal sebagai sistem pengelolaan limbah terintegrasi/terpadu. Sistem pengelolaan sampat terpadu adalah perpaduan oleh sistem pengelolaan sampah dengan daur ulang, pengomposan, pembakaran (insinerator) serta sistem pembuangan akhir melalui sanitasi landfill (Sucipto, 2012: 15).

Sistem 3R bisa dimulai dengan memproses mengklasifikasi sampah mulai dari sumber; Klasifikasi ke dalam jenis sampah organik dan anorganik. Klasifikasi limbah membutuhkan partisipasi atau peran serta masyarakat dan fasilitas untuk sampah padat yang sesuai, dimulai tempat pemilahan sampah, sarana serta prasarana persampahan yang memadai. Selain itu, fasilitas non-fisik juga dibutuhkan melalui saran, pengawasan, pemantauan serta perumusan kebijakan yang kemudian dilakukan dengan benar. Pengelolaan sampah terpadu yang mengandalkan konsep 3R juga merupakan pengelolaan sampah yang sesuai dengan apa yang termasuk dalam UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

(16)

Menurut Cunningham, tahap pengelolaan sampah modern dengan menerapkan konsep 3R dapat dipahami melalui bagan dibawah ini (Hayat & Zayadi, 2018: 136):

Gambar 2.2

Tahap Pengelolaan Sampah Modern

Sumber: Cunningham dalam Hayat & Zayadi, 2018

Berdasarkan bagan sebelumnya, pengelolaan sampah modern terdiri dari proses 3R (pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang) sebelum dihancurkan atau dimusnahkan. Pengelolaan sampah 3R merupakan konsep pengelolaan limbah dengan mengurangi (reduce). Prinsip reduksi adalah untuk mengurangi barang atau bahan yang digunakan. Menggunakan kembali (reuse), prinsip penggunaan kembali adalah untuk menggunakan kembali elemen-elemen yang masih bisa digunakan. Daur ulang (resycle), prinsip daur ulang adalah mendaur ulang elemen-elemen yang dapat didaur kembali.

Ketika sampah berada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), limbah diproses dengan pengisi sanitasi (sanitary landfill) atau incinerator (incinerator), hasil dari pembakaran sampah berbentuk abu dapat digunakan sebagai bahan baku untuk campuran bata dan kompos. Hasil daur ulang kompos dapat dijual ke konsumen dan industri daur ulang. Pengembangan dari sistem pengelolaan limbah terpadu sesungguhnya membutuhkan modal investasi yang cukup besar dan

Produk Digunakan Digunakan Sampah

Pengolahan Tahap Awal : - Reduce

- Reuse - Recucle Pengolahan Tahap Akhir :

- Sanitary Lanfill - Incenaration - Open Dumping

Referensi

Dokumen terkait

Keterikatan terjadi apabila pekerjaan yang hendak dilakukan karyawan telah sesuai dengan nilai – nilai pribadi, minat, kemampuan, dan kepribadian karyawan. Yang

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan (1) pilihan kata yang terdapat dalam kegiatan panjat dinding di

Kunci Ide : Kita dapat membangun 95% selang kepercayaan dari nilai yang masuk akal unutk suatu parameter dengan menyertakan semua nilai yang jatuh pada kedua standar deviasi dari

Kemudian dengan menggunakan teknik pengolahan citra (Image Processing) yang dilakukan oleh Processing Unit akan mempermudah pendeteksian halangan dan manusia terjadi,

Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 7 Bandar Lampung, yang merupakan salah satu institusi pendidikan yang tentunya memiliki tujuan yang tidak berbeda dengan

Bentuk tubuh juga menjadi pertimbangan, jika kamu gemuk jangan pakai celana ketat sampai lututmu tidak terlihat, maka kenakan pakaian bergaris vertikal atau memanjang agar

- Merupakan wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari pemodal untuk diinvestasikan dalam portofolio efek oleh Manajer Investasi, yang pelaksanaan dan pengelolaannya