• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POLA SPASIAL PENGGUNAAN LAHAN KOTA MAKASSAR SULAWESI SELATAN. Oleh : AKHMAD ARIESTA GEMILANG A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS POLA SPASIAL PENGGUNAAN LAHAN KOTA MAKASSAR SULAWESI SELATAN. Oleh : AKHMAD ARIESTA GEMILANG A"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POLA SPASIAL PENGGUNAAN LAHAN

KOTA MAKASSAR SULAWESI SELATAN

Oleh :

AKHMAD ARIESTA GEMILANG

A24104091

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

RINGKASAN

Akhmad Ariesta Gemilang. Analisis Pola Spasial Penggunaan Lahan Kota Makassar Sulawesi Selatan. (Di bawah bimbingan Ernan Rustiadi dan M. Ardiansyah).

Kota Makassar merupakan salah satu kota metropolitan yang berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan pembangunan nasional. Akan tetapi kecenderungan yang terjadi memberi fakta bahwa pertumbuhan kota di pihak lain menimbulkan permasalahan berupa tidak optimalnya penggunaan lahan seiring degan proses urbanisasi yang kurang terkendali, perkembangan wilayah yang tidak berimbang, serta berbagai permasalahan pembangunan lainnya. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi pola sebaran spasial dan pola pencampuran lahan yang ada di Kota Makassar, (2) Menganalisis pengaruh pola spasial penyebaran (spatial distribution) dan pencampuran (spatial mixture) penggunaan lahan terhadap hirarki perkembangan desa (IPD) di Kota Makassar, serta (3) Mengidentifikasi pola gradien keterkaitan kepadatan penduduk, ULR dengan jarak desa ke wilayah pusat di Kota Makassar melalui model peluruhan (decay function model).

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah overlay citra Kota Makassar tahun 2005 untuk melihat sebaran dan luasan penggunaan lahan, selanjutnya dilakukan analisis entropi untuk melihat indeks sebaran tipe penggunaan lahan dan indeks pencampuran lahan, analisis skalogram untuk menentukan IPD berdasarkan jumlah jenis fasilitas, decay function analysis digunakan untuk melihat pola hubungan antara jarak ke pusat kota terhadap ULR dan kepadatan penduduk, serta metode regresi berganda untuk menduga faktor-faktor yang secara nyata

(3)

mempengaruhi entropi pencampuran lahan di Kota Makassar.

Berdasarkan hasil yang diperoleh gambaran bahwa umumnya desa-desa yang berada di sekitar pusat kota memiliki pencampuran penggunaan lahan rendah yang didominasi oleh penggunaan lahan pemukiman, sedangkan desa dengan pencampuran penggunaan lahan tinggi tersebar di daerah yang jauh dari pusat kota. Komposisi pencampuran lahan tersebut antara lain pemukiman, pertanian, semak, rawa dan air.

Dari hasil analisis skalogram desa diperoleh tiga tingkat hirarki, yakni: 16 desa Hirarki I, 38 desa Hirarki II, dan 89 desa Hirarki III. Dari hasil tersebut terdentifikasi juga desa yang memiliki IPD sangat kecil adalah desa Tamalanrea, Gunung sari, Mampu dan Parang Tambung, sehingga perlu adanya perhatian khusus terhadap desa-desa tersebut. Pola spasial hubungan antara jarak dari pusat kota terhadap kepadatan penduduk dan Urban land ratio (ULR) berturut-turut diperoleh persamaan sebagai berikut: Kepadatan penduduk = 282.0194*exp (-0.2033*x) dan ULR = 0.7487*exp(-0.1026*x).

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda teridentifikasi bahwa faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi pencampuran penggunaan lahan secara spasial di Kota Makassar adalah IPD, ULR dan jarak ke pusat kota.

(4)

SUMMARY

Akhmad Ariesta Gemilang. Analysis of Land Use Spatial Pattern of Makassar City Sulawesi Selatan. (Under guidance of Ernan Rustiadi. and M. Ardiansyah).

Makassar is one of metropolitan that rapidly developed together with the growth of national development. But the trend which happen gives fact that the city growth in other side causing problems like the land uses that are not optimum along with the uncontrolled urbanization process, unbalanced regional development, and many other development problems. The aims of this research were: (1) Identifying spatial distribution pattern and spatial mixture pattern in Makassar. (2) Analyzing the effect of spatial distribution and spatial mixture pattern of land usage for village development hierarchy (IPD in Makassar), and also (3) identifying correlation gradient pattern of population density, Urban Land Ratio (ULR) with distance between village and city center in Makassar by using decay function model.

The analysis methods that were used in this research were overlay of 2005’s Makassar city image to identify land use the distribution and then entropy analysis was employed to identify spatial distribution type index of land use and index of land use mixture; scalogram analysis to determine IPD based on quantity of facility type; decay function analysis was employed to see the correlation pattern between the distance to city center to ULR and population density; and also multiple regression method to identify factors affecting entropy of land use mixture in Makassar.

Based on the obtained results, the villages that were located around the city center tend to had low land use mixture which was dominated by settlement areas,

(5)

while villages with high land use mixture are distributed in area far from the city center. Compositions of the land use mixture were settlement, farm, bushes, swamp and water.

According to the results of village scalogram, the villages could be grouped into three hierarchy levels, which were: 16 villages of Hierarchy I, 38 villages of Hierarchy II, and 89 villages of Hierarchy III. It was also identified villages that had very law IPD (less developed) which were Tamalanrea, Gunung Sari, Mampu and Parang Tambung, so that those villages had to be given special attention. Spatial pattern of correlation between the distance to city center to population density and Urban Land Ratio (ULR) respectively were obtained equations as follow: population density = 282.0194*exp(-0.2033*x) and ULR = 0.7487*exp(-0.1026*x).

Based on the result of multiple regression analysis, it was identified that the significant factors that affecting spatial land use mixture in Makassar were IPD, ULR and distance to the city center.

(6)

ANALISIS POLA SPASIAL PENGGUNAAN LAHAN

KOTA MAKASSAR SULAWESI SELATAN

Oleh :

AKHMAD ARIESTA GEMILANG

A24104091

Skripsi,

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pertanian

pada Departemen Tanah Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(7)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Analisis Pola Spasial Penggunaan Lahan Kota Makassar Sulawesi Selatan.

Nama Mahasiswa : Akhmad Ariesta Gemilang Nomor Pokok : A24104091

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Skripsi I Dosen Pembimbing Skripsi II

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. M. Ardiansyah NIP. 131 879 339 NIP. 131 803 639

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 4 April tahun 1987, sebagai putra pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Maman Suparman dan Hamidah. Pada saat berusia kurang dari satu tahun penulis berhijrah dan dibesarkan di Makassar.

Pendidikan formal yang pernah penulis lalui adalah SDN negeri 4 Sungguminasa (1992-1998), SLTPN 2 Sungguminasa (1998-2001), SMUN 1 Sungguminasa (2001-2004) dan kemudian di terima sebagai Mahasiswa Fakultas Pertanian Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2004.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Perencanaan Pengembangan Wilayah (2007). Selain itu penulis juga aktif dalam beberapa organisasi internal maupun eksternal kampus yakni sebagai Staf koperasi Mahasiswa (KOPMA) IPB 2004-2005, Staf Departemen Informasi dan Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) IPB tahun 2004-2005, Staf Departemen Sosial politik Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB tahun 2005-2006, Kepala Departemen Pengembangan Organisasi IKAMI SUL-SEL cabang Bogor tahun 2005-2007, Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB tahun 2006-2007 sekaligus menjadi Presidium Nasional Ikatan Badan Eksekutif Mahasiswa Pertanian Indonesia (IBEMPI) 2007-2008, dan juga sebagai Badan Penasehat Organisasi Ikatan Badan ksekutif Mahasiswa Pertanian Indonesia (IBEMPI) 2008-2009. Selama mahasiswa penulis juga aktif dalam kepanitian kegiatan kampus, menjadi mahasiswa delegasi fakultas pertanian untuk pertemuan-pertemuan mahasiswa pertanian skala nasional, serta giat membuat publikasi berupa opini publik yang berisi tentang wacana isu yang tengah hangat menjadi perbincangan. Kemudian pada tahun 2008 penulis melakukan penelitian yang berjudul ‘Analisis Pola Spasial Penggunaan Lahan Kota Makassar Sulawesi Selatan.

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah serta inayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian penelitian dengan judul “Analisis Pola Spasial Penggunaan Lahan Kota Makassar Sulawesi Selatan”. Penulis mengucapkan ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr selaku Pembimbing Skripsi I yang telah banyak memberi konstribusi berupa bimbingan serta tenaga dan waktu kepada anak bimbingnya untuk menjadi lebih baik.. Juga kepada Bapak Dr. Ir. M. Ardiansyah selaku Pembimbing Skripsi II atas segala masukan dan saran yang sangat berarti bagi penulis.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. My Parents : Mama dan Papaku tercinta, ”Tak ada kata yang sanggup mengungkapkan balasan atas rasa sayang dan cinta yang kalian berikan”. My Brother Farid (Armada Masa Depan).

2. Ibu Dyah Retno Panuju dan Bapak Kukuh Murtilaksono selaku Pembimbing Akademik, “Terima kasih atas doa dan bimbingan Ibu danBapak selama ini”. 3. Seluruh staf Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB dan

staf P4W yang telah tulus banyak membantuku dalam segala hal, terima kasih Mba dian dan Kak ode yang udah baik banget, ”Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian..” juga buat Mba Mia, Mba Emma, dan semuanya.

(10)

4. Arniaty Hasan, juga semua sepupu-sepupu aku yang selama empat tahun tak henti memberi spirit ”saat ku jatuh, kalian selalu ada meski jauh”.

5. Xenia atas motivasi dan dorongannya, Teman-teman seperjuangan di Bangwil : Rahmi, Ekayana, Budi, Riris, Anto, Rita, Septi, dan Fremy. ”Ayo maju dan melangkah bersama kawan..”

6. Orang-orang yang memberi pengaruh besar dalam hidupku dan banyak mengajar bagaimana menjadi seorang pemimpin : Eka Yudha, Wahyu, Mas Supri , zulkipli serta teman-teman di Kelembagaan BEM, HIMPRO, dan mitra kerja yang selalu mengerti keadaanku. Thanks a lot.

7. Teman-teman soil 41 yang uda baik ama gue : Dypta, Andi, Dinalv, Gita, Yume, Roni, CPR Leonard, dan semuanya yang gak bisa gue sebut satu persatu, “Selamat berjuang kawan,,, Semoga kita adalah insan-insan yang menjadi sejarah untuk masa depan”.

8. My eiffel band (Yudi, Afrian, Awal, Reza dan Ina), teruslah merangkak langit seperti mimpi-mimpi yang pernah kita patri bersama.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2008

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian……….…….…….. 4

II. TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Wilayah……... 5

2.2 Pencampuran Penggunaan Lahan………... 6

2.3 Kesesuaian Lahan………... 6

2.4 Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan……… 8

2.5 Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent)………...……….. 9

2.6 Urbanisasi dan Suburbanisasi………. 10

2.7 Sistem Informasi Geografi (SIG)……… 11 III. METODE PENELITIAN

(12)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……… 15

3.3 Jenis dan Sumber Data………. 15

3.4 Teknik Pengumpulan Data………...………… 15

3.5 Teknik Analisis Data……… 16

3.5.1 Overlay Peta ……...………....……… 16

3.5.2 Penentuan Titik Centroid………. 17

3.5.3 Model Pendugaan Perubahan (Decay Function Analysis)… 17

3.5.4 Analisis Entropi………...………. 18

3.5.5 Analisis Skalogram……… 20

3.5.6 Analisis Regresi Berganda……….… 22

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Pembagian Administratif………..………... 25

4.2 Kondisi Demografi………... 26

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi………... 27

4.4 Penggunaan Lahan... 27

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Spasial Penggunaan Lahan………..…... 28

5.2 Pencampuran Spasial Penggunaan Lahan (spatial land use mixture) dan Sebaran Spasial Tipe Penggunaan Lahan (spatial land use distribution) di Kota Makassar... 29

5.2.1 Pencamuran Spasial Penggunaan Lahan Kota Makassar... 29

5.2.2 Penyebaran Spasial Penggunaan Lahan Kota Makassar... 33

5.3 Hirarki Wilayah Berdasarkan Jumlah Jenis Fasilitas dan Indeks .Perkembangan Desa... 34

(13)

5.4 Gradien Fungsi Pertumbuhan/Peluruhan (Growth/Decay Function)

Kota Makasar... 37

5.4.1 Gradien Proporsi Pemukiman... 38

5.4.2 Gradien Kepadatan Penduduk... 39

5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluruhan/Pertumbuhan Entropi Pencampuran Penggunaan Lahan Desa (Hj) di Kota Makassar... 43

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan………...……….….. .. 45

6.2 Saran……….………...……... 46

DAFTAR PUSTAKA... 47

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal.

1.Tujuan Penelitian, Metode Analisis, Data dan Hasil yang diharapkan... 24

2. Luas Desa dan Jumlah Penduduk Kota Makassar... 26

3. Luasan Tipe Penggunaan Lahan Kota Makassar ... 29

4. Entropi Spasial Pencampuran Penggunaan Lahan Kota Makassar ... 32

5. Entropi Spasial Tipe Jenis Penggunaan Lahan ... 33

6. Prediksi Kepadatan Penduduk dan ULR Kota Makassar ... 41

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal.

1.Bagan Alir Tahapan Penelitian... 14

3. Batas Wilayah Kota Makassar ... 25

4. Peta Tutupan Lahan Kota Makassar Tahun 2005... ... 29

5. Peta Sebaran Entropi Pencampuran Lahan Kota Makassar.... ... 29

6. Grafik Entropi Penyebaran Tipe Jenis Penggunaan Lahan Kota Makassar 34 6. Peta Hirarki Kota Makassar ... 37

7. Grafik Hubungan antara Jarak dan ULR... 39

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Hal.

1. Penggunaan Lahan Kota Makassar Tahun 2005... 49

2. Entropi Spasial Tipe Jenis Penggunaan Lahan Kota Makassar... 50

3. Entropi pencampuran Penggunaan Lahan Kota Makassar... 51

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan perkotaan akibat pembangunan ekonomi mengakibatkan lahirnya kota-kota yang berdasarkan indikator jumlah penduduk telah layak disebut sebagai kota besar atau kota metropolitan. Kota Makassar merupakan salah satu kota metropolitan yang berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan pembangunan nasional. Pertumbuhan kota metropolitan memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi pertumbuhan kota tersebut dipihak lain menimbulkan permasalahan berupa tidak optimalnya penggunaan lahan seiring degan proses urbanisasi yang kurang terkendali, pertumbuhan penduduk, perkembangan wilayah yang tidak berimbang, serta berbagai permasalahan pembangunan lainnya.

Analisis pola spasial pengunaan lahan di Kota Makassar penting untuk mengetahui penyebaran dan pencampuran penggunaan lahan serta mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyebaran dan pencampuran penggunaan lahan di wilayah tersebut. Untuk itu diperlukan alat ukur kuantitatif yang mampu mengidentifikasi penyebaran penggunaan lahan di Kota Makassar. Secara kuantitatif pola penyebaran dan pencampuran penggunaan lahan dapat diukur dengan menggunakan entropi sebaran spasial penggunaan lahan dan entropi pencampuran penggunaan lahan. Pengukuran entropi ini dapat mengidentifikasi seberapa besar proporsi penyebaran penggunaan lahan dan mengukur besarnya pencampuran pengunaan lahan di setiap desa yang ada di Kota Makassar.

(18)

tingkat perkembangan wilayah, tingkat urbanisasi, kepadatan penduduk, jarak ke pusat kota dan lain-lain. Untuk itu diperlukan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan dan alokasi penggunaan lahan yang efisien dengan melakukan analisis pola spasial penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan dan mengikuti kaidah–kaidah tata ruang. Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jarak Jauh/Remote Sensing merupakan dua contoh teknik yang banyak digunakan untuk menganalisa proporsi penggunaan lahan dan perkembangan suatu wilayah, sedangkan analisis diperlukan sebagai alat ukur kuantitatif yang digunakan dalam menganalisa penyebaran dan pencampuran penggunaan lahan serta mengetahui hubungan antara faktor–faktor yang mempengaruhi penyebaran dan pencampuran penggunaan lahan di wilayah tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Pola spasial penggunaan lahan merupakan salah satu indikator perkembangan wilayah. Suatu wilayah dikatakan berkembang apabila memiliki indeks perkembangan yang tinggi, pemanfaatan lahan yang optimal serta menyebar lebih luas. Seiring dengan pertumbuhan sosial ekonomi dan pembangunan nasional maka kebutuhan lahan pun meningkat dan wilayah perkotaan juga turut berkembang menjadi kawasan kota besar atau metropolitan. Namun kondisi ini mengakibatkan terbentuknya pola penyebaran dan pencampuran penggunaan lahan yang tidak optimal.

Penggunaan lahan yang tidak optimal mengakibatkan kesenjangan dan ketidakmerataan dalam pembangunan. Untuk itu diperlukan kajian mengenai pola

(19)

penyebaran dan pencampuran penggunaan lahan dengan menggunakan alat ukur kuantitatif di Kota Makassar. Identifikasi mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola spasial pencampuran penggunaan lahan juga perlu dilakukan agar pembangunan dan pengembangan wilayah kota Makassar dapat diwujudkan secara optimal dengan tetap mengikuti kaidah-kaidah penataan ruang.

Berdasarkan ilustrasi di atas dapat ditarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pola sebaran spasial penggunaan lahan dan pola pencampuran

lahan yang ada di Kota Makassar?

2. Bagaimana penggunaan lahan mempengaruhi hirarki perkembangan desa (IPD) di Kota Makassar?

3. Bagaimana pola gradien keterkaitan antara kepadatan penduduk, ULR dengan jarak desa ke wilayah pusat di Kota Makassar?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi pola sebaran spasial penggunaan lahan dan pola pencampuran lahan yang ada di Kota Makassar

2. Menganalisis pengaruh pola spasial penyebaran (spatial distribution) dan pencampuran (spatial mixture) penggunaan lahan terhadap hirarki perkembangan desa (IPD) di Kota Makassar.

3. Mengidentifikasi pola gradien keterkaitan kepadatan penduduk, ULR dengan jarak desa ke wilayah pusat di Kota Makassar melalui model peluruhan (decay

(20)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:

1. Pemerintah daerah, sebagai bahan masukan dalam membuat regulasi pemanfaatan lahan dan pengembangan tata ruang di Kota Makassar.

2. Penulis, untuk mengaplikasikan teori pengembangan wilayah yang diperoleh selama masa kuliah dengan realita yang ada di lapangan tentang pola spasial penyebaran dan pencampuran penggunaan lahan di suatu wilayah.

3. Kalangan akademis, sebagai kajian permasalahan serta data dasar bagi para peneliti dalam bidangnya, dalam rangka menegembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

4. Masyarakat yang ingin menambah pengetahuan serta wawasan mengenai pola spasial penggunaan lahan di Kota Makassar.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini terbatas pada kajian pola spasial di Kota Makassar dengan menggunakan data citra tahun 2005 dan data podes kota Makassar pada tahun 2000, 2003 dan 2006. Dari hasil ini kemudian dikaji bagaimana mengalokasikan dan memanfaatkan lahan untuk berbagai sektor sehingga mampu memaksimalisasi pemanfaatan lahan di kota Makassar.

Kajian dan pengamatan tentang pola spasial Kota Makassar dilakukan di Kota Makassar dan Bogor. Untuk memudahkan penelitian digunakan data-data sekunder dari pemerintah daerah dan menggunakan peta citra, podes dan berbagai referensi mengenai data spasial kota Makassar untuk melakukan pengamatan.

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Wilayah

Wilayah didefinisikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Dari definisi tersebut, dapat diturunkan tipologi-tipologi wilayah berdasarkan sifat hubungannya, fungsi masing-masing komponennya atau berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomi, maupun politis lainnya. Diantara tipologi-tipologi yang ada terdapat salah satu tipologi yang disebut dengan tipologi wilayah nodal, yang merupakan pengembangan dari konsep sel hidup. Dalam penjabaran wilayah nodal ini, wilayah diasumsikan sebagai suatu sel hidup yang terdiri dari inti dan plasma, yang masing-masing mempunyai fungsi yang saling mendukung. Inti dalam hal ini diasumsikan sebagai pusat kegiatan industri dan pusat pasar serta pusat inovasi, sedangkan plasma atau hinterland merupakan pusat pemasok bahan mentah, tenaga kerja, dan pusat pemasaran barang-barang hasil industri yang diproduksi di pusat (inti) (Rustiadi et al.,2003).

Berdasarkan konsep wilayah nodal tersebut, pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan kelengkapan fungsi pelayanan dalam suatu wilayah. Kelengkapan fungsi dalam suatu wilayah dapat diidentifikasi dengan menggunakan parameter jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya. Parameter tersebut kemudian digunakan sebagai alat penentu dalam menentukan hirarki atau tingkat perkembangan suatu wilayah. Semakin lengkap jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan penduduk dengan kualitas dan kuantitas

(22)

yang tinggi maka semakin tinngi pula hirarki wilayah tersebut. Pusat kota merupakan kawasan dengan jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan penduduk dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi.

2.2 Pencampuran Penggunaan Lahan

Pencampuran penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang mampu digunakan untuk analisis spasial terhadap komposisi pencampuran penggunaan lahan dalam suatu wilayah. Secara umum daerah pencampuran rendah yang didominasi oleh lahan pemukiman dan industri biasanya berada pada pusat kota, sementara daerah dengan komposisi pencampuran tinggi yang memiliki penggunaan lahan lebih beragam berada pada daerah hinterland. Adapun daerah pencampuran penggunaan lahan rendah yang letaknya semakin jauh dari pusat kota dengan dominasi penggunaan lahan pertanian.

Jika ditinjau secara geografi, pencampuran penggunaan lahan desa dapat menunjukkan pencampuran lahan pertanian dan lahan pemukiman untuk menjadi rumusan dalam mengukur pencampuran penggunaan lahan dalam desa tersebut (Rustiadi et al.,2003). Pencampuran penggunaan lahan dapat mengidentifikasikan tingkat ekonomi desa berdasarkan komposisi penggunaan lahan yang terdapat pada setiap desa.

2.3 Kesesuaian Lahan

Lahan didefinisikan sebagai suatu kesatuan lingkungan fisik yang terdiri dari tanah, tata air, iklim, vegetasi dan segala aktivitas manusia yang mempengaruhi pengembangannya. Berdasarkan definisi tersebut lahan di bagi berdasarkan tipologi

(23)

penggunaannya secara umum seperti lahan pertanian, lahan permukiman, lahan industri dan lain-lain. Hasil klasifikasi dan berdasarkan karaketristik dan kesesuaian lahan dengan menggunakan penamaan dari sistem tertentu disebut satuan lahan. Perubahan penggunaan lahan terjadi sebagai akibat dari kebutuhan lahan yang terus meningkat diikuti perkembangan penduduk yang tak terkendali. Dalam skala nasional, dalam kurun waktu tiga dekade terakhir, setidaknya terdapat dua trend utama proses alih fungsi lahan yang menonjol, yakni proses deforestasi dan urbanisasi-suburbanisasi (Kitamura dan Rustiadi, 1997).

Evaluasi kelas potensi lahan untuk berbagai kelompok/jenis komoditas yang akan dikembangkan dinilai berdasarkan (1) Pengelompokan kelas kesesuaian lahan aktual, (2) Penilaian kelas potensi lahan melalui pembandingan antara hasil pengelompokan kesesuaian lahan aktual dan kriteria penilaian kelas potensi lahan, dan (3) Hasil penilaian kelas potensi lahan kelas potensi lahan dan pengelompokannya berdasarkan jenis/kelompok komoditas tertentu. Dari uraian tersebut pemanfaatan lahan berdasarkan potensinya dijadikan sebagai data dasar dalam menyusun rencana tata ruang dan wilayah. Namun akibat banyaknya kendala dan keterbatasan lahan maka terjadi perubahan penggunaan lahan untuk pengembangan tertenu yang tidak sesuai dengan potensi lahannya.

Di dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Land rent merupakan nilai keuntungan bersih dari suatu aktivitas penggunaan lahan per satuan luas lahan dan waktu tertentu (Sitorus, 2004).

(24)

2.4 Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan

Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untik menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut (Sitorus, 2004). Untuk pengembanangan lahan berkelanjutan maka banyak aspek yang perlu diperhatikan serta memperkirakan bagaimana dampak dari setiap pelaksanaan program pembangunan disuatu wilayah.

Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk pengunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Evaluasi lahan bersifat menjembatani antara data kualitas lahan dengan pengguna data tersebut untuk pengembanagan tertentu yang bersifat berkelanjutan. Sasaran evaluasi lahan adalah untuk terciptanya tata ruang yang baik, dipandang dari aspek fisik, hukum, sosial ekonomi dan politik.

Evaluasi kesesuaian lahan digunakan sebagai rujukan untuk pengembangan sumberdaya lahan yang berkelanjutan. Untuk akurasi data maka dibutuhkan kegiatan survey dan pemetaan sumberdaya lahan dengan mengkorelasikan beberapa data fisik wilayah seperti data klim, data tanah, dan data topografi sebagai acuan untuk nilai evaluasi lahannya. Sehingga untuk membuat suatu peencaaan dan pengembangan wilayah berkelanjutan maka aspek kesesuaian dan evaluasi lahan menjadi indikator utama dalam pelaksanaannya.

Pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan proyek pembangunan untuk menghasikan surplus atau atau dana yang cukup sebagai masukan (input) untuk pembagunan lebih lanjut (”the abiity of a development project to generate sufficiently a net surplus as an input for further development”), (Sitorus,

(25)

2004). Pembangunan berkelanjutan lahir sebagai konsep untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa merusak atau mengancam ketersediaan sumberdaya lahan di masa mendatang. Tiga aspek kehidupan yang menjadi indikator utama dalam pembanguanan berkelanjutan yang harus diperhatikan adalah aspek eknomi, aspek sosial dan aspek ekologi yang harus dipertahankan dalam suatu hubungan sinergis.

Agar tercipta hubungan yang sinergis dari aspek-aspek indikator pembangunan berkelanjutan, maka alokasi pemanfaatan lahan perlu disesuaikan dengan kondisi lahan aktual pasca pembangunan disertai adanya evaluasi rutin tentang kelayakan suatu proyek pembangunan. Hasil evaluasi tersebut kemudian dapat dijadikan referensi tentang keberhasilan kebijakan pembangunan agar dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan pembangunan dan dapat merevisi kesalahan-kesalahan pembangunan yang ada selama ini. Pengalokasian sumberdaya merupakan jembatan yang dapat menciptakan jalannya roda perekonomian yang lebih mengarah pada tujuan-tujuan yang paling mendasar dari pembangunan itu sendiri misalnya: pengentasan kemiskinan, semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat, dan menurunnya tingkat ketidakmerataan pendapatan (Rustiadi et al, 2007).

2.5 Nilai Ekonomi Lahan (Land rent)

Land rent adalah sisa surplus ekonomi sebagai bagian dari nilai produk total atau pendapatan total yang ada setelah pembayaran dilakukan untuk semua faktor biaya total (Barlowe dalam Pravitasari, 2007). Surplus ekonomi sumberdaya lahan dapat dilihat berdasarkan kualitas lahannya (ricardian rent) maupun karena lokasi areal lahan yang strategis (locational rent). Berdasarkan konsep ricardian rent lahan

(26)

berkualitas adalah lahan yang subur sehingga mampu menghasilkan output yang lebih tinggi dengan biaya total produksi yang sama. Kondisi tersebut mengakibatkan nilai land rent pada lahan yang subur akan lebih tinggi daripada lahan yang tidak subur. Sedangkan locational rent ditentukan oleh kemudahan aksesbilitas suatu lahan untuk memperoleh surplus ekonomi yang sebesar-besarnya. Semakin strategis lokasi suatu areal lahan maka semakin tinggi pula nilai lahan areal tersebut.

Perubahan penggunaan lahan pertanian yang marak terjadi sangat erat kaitannya dengan land rent, paradigma bahwa nilai lahan dari aspek lokasi lebih memberikan surplus ekonomi yang besar dibandingkan dengan kualitas lahannya menjadi faktor utama yang mengakibatkan semakin tingginya perubahan fungsi lahan pertanian ke sektor non pertanian.

2.6 Urbanisasi dan Suburbanisasi

Urbanisasi adalah proses berpindahnya sejumlah penduduk dari daerah kecamatan menuju daerah perkotaan. Sedangkan suburbanisasi diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan juga kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat-tempat bermukim untuk kegiatan industri (Rustiadi et al., 2003). Pada umumnya urbanisasi mempunyai kaitan dengan timbulnya beberapa masalah sosial, ekonomi, dan pemukiman, baik di kota maupun di desa. Menurut Bintarto dalam P4W LPPM-IPB press (2006) sebab-sebab timbulnya masalah tersebut antara lain: (1) Sebagai akibat dari pertambahan penduduk alami kota, (2) Sebagai akibat dari perpindahan penduduk desa ke kota,

(27)

dan (3) Berkembangnya daerah tepian kota. Kadang-kadang ketiga sebab tersebut terjadi bersamaan, sehingga dapat mempercepat proses urbanisasi di suatu wilayah tertentu.

Urbanisasi merupakan suatu proses yang mengakibatkan terjadinya peningkatan proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Tingkat urbanisasi pada suatu wilayah atau negara dapat dinyatakan sebagai besarnya proporsi penduduk perkotaan wilayah atau negara tersebut (Rustiadi et al., 2005). Urbanisasi menyebabkan suatu kecenderungan terjadinya suatu titik pusat aktivitas yang mengarah pada bentuk aglomerasi metropolitan.

Sub urbanisasi merupakan suatu dinamika logis yang mengakibatkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan permukiman dan industri. Fenomena ini muncul sebagai akibat peningkatan populasi penduduk dan makin berkurangnya ketersediaan lahan. Suburbanisasi juga merupakan suatu proses pertumbuhan daerah pinggiran yang secara sistematis lebih cepat dibandingkan dengan pusat kotanya, dan adanya gaya hidup yang mempengaruhi kegiatan sehari-hari sebagai commuter (penglaju) untuk bekerja di kota (Rustiadi et al., 2005).

2.7 Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkordinat geografi. (Barus dan Wiradisastra, 2000). Dengan kata lain SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja.

(28)

Sistem informasi geografi berdasarkan operasinya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yakni: (1) SIG secara manual dan (2) SIG otomatis. SIG manual memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan) dalam operasinya dan bersifat data analog, sedangkan SIG otomatis bekerja dengan menggunakan komputer sehingga datanya berupa data digital. Menggunakan SIG memungkinkan untuk melakukan operasi timpang-tindih serta melakukan analisa statistik dari hasil survei-survei lapangan.

Dengan menggunakan SIG dimungkinkan mengkorelasikan antara data atribut dan data tematik sehingga diperoleh kesatuan informasi yang dibutuhkan. Menurut Star dan Estes dalam Barus dan Wiradisastra (2000) SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial.

(29)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual

Kota Makassar sebagai metropolitan Indonesia Timur berperan strategis sebagai wilayah penopang dan distribusi aliran barang dari berbagai daerah di sekitarnya baik wilayah lokal maupun regional. Kondisi ini jelas menunjukkan tingginya aktivitas perekonomian di Kota Makassar.

Dewasa ini pengembangan pembangunan kawasan metropolitan lebih diprioritaskan ke arah sektor industri dan sektor-sektor lain (non pertanian). Hal ini mengakibatkan penggunaan lahan yang ada dalam kawasan metropolitan tidak proporsional dan terbentuk secara tidak optimal.

Untuk menganalisis pola spasial penyebaran dan pencampuran penggunaan lahan kota Makassar terhadap arahan pengembangan wilayah dan pembangunan di wilayah tersebut, dalam penelitian ini digunakan analisis entropi untuk mengetahui pencampuran dan penyebaran spasial penggunaan lahan di Kota Makassar, analisis skalogram untuk mengetahui tingkat hirarki perkembangan wilayah kota Makassar, decay Function analysis untuk mengetahui pola gradien keterkaitan kepadatan penduduk, ULR dan jarak ke pusat kota, serta analisis regresi berganda untuk menduga faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola spasial pencampuran penggunaan lahan di Kota Makassar.

Analisis tersebut akan menghasilkan data mengenai pola spasial pencampuran dan penyebaran penggunaan lahan dan tingkat perkembangan wilayah untuk selanjutnya digunakan sebagai alat evaluasi bagi pihak pelaksaa pembangunan dalam

(30)

menyusun atau mengevaluasi rencana tata ruang untuk kawasan metropolitan Makassar. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dibuat bagan alir kerangka pemikiran konsptual dalam Gambar 3.1 berikut.

Data PODES 2006

Kota Makassar Peta Administrasi Kota Makassar Tahun 2005

Peta Penggunaan Lahan Kota Makassar

Tahun2005 Pemilihan Variabel

Skalogram

Overlay Analisis Skalogram Pengukuran titik

centroiid

ULR

Luasan dan Proporsi Pengunaan Lahan Kepadatan

Penduduk

Jarak Desa ke Pusat Kota

Gambar 3.1. Bagan Alir Tahapan Penelitian Pemilihan Variabel

Entropi Pencampuran dan Penyebaran Spasial

Penggunaan Lahan IPD

- Decay Function Analysis - Analisis Regresi Berganda

(31)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Kota Makassar dengan analisis di Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April–Agustus 2008. Wilayah studi mencakup seluruh kecamatan dengan 135 desa dari total 143 desa yang ada di Kota Makassar. Delapan desa tidak diikutsertakan dalam penelitian ini karena tidak adanya informasi mengenai peta penggunaan lahan. Desa tersebut antara lain : Barang Caddi, Barang Lompo, Kodingareng, Maloku, Mampu, Malaya Baru, Sudiang Raya dan Ujung Tanah.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa peta citra Kota Makassar tahun 2005 dan data podes Kota Makassar tahun 2006. Data sekunder diperoleh dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W LPPM-IPB), SEAMEO BIOTROP dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Sulawesi Selatan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mendatangi instansi terkait dan meminta sejumlah data yang dibutuhkan terkait dengan penelitian ini. Selain itu, sumber data sekunder juga diperoleh dengan mengakses internet dan beberapa pustaka yang relevan.

(32)

3.5 Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul dan diperoleh untuk tujuan penelitian dianalisis untuk menjawab tujuan penelitian. Beberapa analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Overlay peta, (2) Penentuan titik centroid, (3) Decay Function Analysis, (4) Analisis entropy, (5) Analisis skalogram, serta (6) Analisis Regresi Berganda.

3.5.1 Overlay Peta

Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik operasi tumpang-tindih (overlay) yang dilakukan dengan cara menumpang-tindihkan peta administrasi dan peta penggunaan lahan, sehingga diperoleh peta dengan informasi jenis penggunaan lahan untuk setiap unit administrasi. Software yang digunakan untuk proses overlay ini adalah ArcView 3.3

Informasi penutupan dan penggunaan lahan diektrak dari citra landsat. Ektraksi penutupan/penggunaan lahan tidak dilakukan sendiri, tetapi menggunakan hasil ektraksi (peta penutupan/penggunaan lahan) yang diperoleh dari SEAMEO BIOTROP (2007). Untuk menentukan satuan penggunaan lahan digunakan delapan jenis penggunaan lahan yakni: (1) Pemukiman, (2) Sawah, (3) Hutan, (4) Ladang/ Lahan terbuka, (5) Semak, (6) Air, (7) Rawa dan (8) Unclasified. Lahan pertanian meliputi Sawah + Ladang, kedua satuan penggunaan ini didefinisikan lahan pertanian karena kedua penggunaan lahan tersebut secara intensif diuasahakan untuk kegiatan pertanian..

(33)

3.5.2. Penentuan Titik Centroid

Centroid merupakan pusat geometrik suatu poligon. Centroid dapat juga didefinisikan sebagai titik tengah (mid-point) antara awal dan akhir suatu jarak alamat (address range). Penentuan titik centroid digunakan untuk mengetahui jarak antar satu poligon dengan poligon lainnya, dalam penelitian ini penentuan titik centroid digunakan untuk mengetahui jarak dari masing-masing desa yang tersebar pada 14 kecamatan di Kota Makassar ke pusat kota. Sebagai pusat kota diasumsikan Lapangan Karebosi yang terletak di Desa Baru Kecamatan Ujung Pandang. Penentuan titik centroid dilakukan dengan Software ArcView 3.3, sehingga dapat diketahui nilai koordinat suatu poligon. Setelah itu dilakukan perhitungan jarak antar poligon dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

(

) (

)

2 0 1 2 0 1 1 0 x x y y d = − − − dimana :

d01 : Jarak desa ke pusat kota (Karebosi)

X0 : Koordinat X poligon asumsi (pusat kota)

X1 : Koordinat X poligon analisis (desa yang ada di Kota Makassar)

Y0 : Koordinat Y poligon asumsi (pusat kota)

Y1 : Koordinat Y poligon analisis (desa yang ada di Kota Makassar)

3.5.3 Model Pendugaan Perubahan (Decay Function Analysis)

Decay function digunakan untuk melakukan pendugaan pola kecenderungan terhadap kepadatan penduduk dan ULR seiring dengan ukuran atau jarak dari posisi

(34)

referensi. Suatu wilayah yang arah pengembangannya mengikuti kaidah tata ruang akan memiliki kepadatan penduduk dan ULR yang lebih menyebar secara merata dalam kawasan tersebut.

Dalam metode pendugaan perubahan dikenal tiga jenis model dalam melakukan pendugaan perubahan wilayah. Model tersebut antara lain linear, eksponensial dan sigmoid. Namun secara umum perubahan wilayah digambarkan dengan model eksponensial atau model sigmoid. Model linear terjadi jika pertumbuhan variabel yang ada dalam suatu kawasan bersifat statis dan konstan. Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah model eksponensial, karena berdasarkan variabel yang digunakan model ini memberikan keragaman data paling tinggi. Persamaan model eksponensial untuk melihat hubungan antara ULR dan kepadatan penduduk terhadap jarak ke pusat kota adalah sebagai berikut:

Y = a*exp(b*X) Dimana :

X = Jarak ke Lapangan Karebosi (km) Y = Kepadatan penduduk (jiwa/km2) / ULR a = Konstanta intercept

b = Laju

3.5.4 Analisis Entropi

Analisis entropi dapat digunakan untuk mengetahui keberagaman/penyebaran spasial penggunaan lahan yang ada di dalam suatu wilayah. Perkembangan suatu sistem dapat dipahami dari semakin meningkatnya jumlah komponen sistem tersebut

(35)

serta bagaimana penyebaran (jangkauan spasial) komponen tersebut (Rustiadi et al 2005). Pada penelitian ini analisis entropi digunakan untuk mengetahui bagaimana perkembangan pencampuran dan keragaman/penyebaran spasial penggunaan lahan serta mengidentifikasi penyebaran spasial setiap tipe jenis pengunaan lahan di Kota Makassar. Terdapat dua jenis entropi yang diidentifikasi dalam penelitian ini, yakni:

(1) Entropi pencampuran/keragaman spasial penggunaan lahan dan (2) Entropi penyebaran setiap jenis tipe penggunaan lahan (Hj). Dalam entropi pencampuran spasial penggunaan lahan, semakin tinggi entropi suatu desa (Hj) maka pencampuran spasial penggunaan lahan di desa j semakin tinggi. Sedangkan dalam entropi penyebaran spasial penggunaan lahan, semakin tinggi entropi penggunaan lahan ke-i (Hi) maka penggunaan lahan i semakin menyebar secara spasial, entropy yang rendah menunjukan penggunaan lahan cenderung terkonsentrasi di suatu/beberapa lokasi. Persamaan umum entropy penyebaran spasial (Hj) adalah sebagai berikut :

Dimana:

Hj = Entropi pencampuran jenis-jenis tipe penggunaan lahan di desa j. qij = Nilai proporsi luasan per jenis penggunaan lahan ke i di desa j (luas

penggunaan lahan ke-i dibagi luas desa ke-j) j = desa (1,2,3.. n, dimana n =135)

Dan ii PP S= −∑

(36)

qij = Nilai proporsi luasan penggunaan lahan i di desa j. (luas penggunaan lahan ke-i dibagi luas desa ke-j)

i = tipe penggunaan lahan (1,2,3...m, dimana m=8)

3.5.5 Analisis Skalogram

Analisis skalogram digunakan untuk menentukan tingkat perkembangan wilayah serta menentukan hirarki pusat-pusat wilayah penopang yang mendukung wilayah sebagai pusat pelayanan atau aktivitas. Secara teknik analisis perkembangan suatu wilayah dapat dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya.

Unit wilayah yang memiliki fasilitas dengan kualitas dan kuantitas yang lebih kompleks memiliki tingkat hirarki yang lebih tinggi. Metode skalogram lebih menekankan kriteria kuantitatif dibandingkan kriteria kualitatif mencakup jumlah dan jenis fasilitas umum dalam suatu wilayah administratif. Beberapa asumsi yang berlaku dalam analisis skalogram adalah bahwa penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di suatu lokasi dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang secara relatif terbaik untuk komunitasnya. Tahapan dalam penyusunan skalogram adalah sebagai berikut :

1. Memilih peubah yang digunakan sebagai penyusun indeks hirarki. Dalam pemilihan ini, peubah dibagi menjadi dua kelompok, yaitu peubah yang berbanding lurus dengan hirarki wilayah seperti jumlah fasilitas, dan peubah yang berbanding terbalik dengan hirarki wilayah.

(37)

menuju fasilitas). Selanjutnya menggantikan nilai yang tadinya berisi “DIV/0!” dengan nilai ”Max(1/Dj) + sd”, dimana Max(1/Dj) adalah nilai maksimum

invers jarak dari seluruh nilai setelah nilai “DIV/0!” dihilangkan untuk peubah ke-j dan sd adalah standar deviasi invers jarak dari seluruh nilai setelah nilai

“DIV/0!” dihilangkan untuk peubah ke-j.

3. Menghitung bobot indeks penciri dengan persamaan: Iij = (Xijn)/(X.jaj),

dimana i = 1, 2, …, n menunjukkan jumlah wilayah dan j = 1, 2, …, p menunjukkan jumlah seluruh peubah penciri.

4. Melakukan pembakuan indeks untuk seluruh peubah baik yang melalui tahapan invers maupun yang tidak melalui tahapan invers, sehingga hasil akhir adalah indeks baku dengan persamaan berikut :

Kij = { Iij – min(I)j }/ sd ,

dimana Kij adalah nilai baku indeks hirarki untuk wilayah ke-i dan ciri ke-j, Iij

adalah nilai bobot indeks penciri untuk wilayah ke-i dan ke-j, min(I)j adalah

nilai minimum indeks pada ciri ke-j, dan sd adalah nilai standar deviasi.

5. Tahap berikutnya adalah menjumlahkan indeks baku, dengan menggabungkan indeks baku baik yang melalui tahapan invers maupun tidak. Penjumlahan dilakukan untuk setiap wilayah sehingga diperoleh jumlah indeks per wilayah 6. Selanjutnya adalah menyusun hirarki berdasarkan indeks baku masing-masing

desa dengan urutan dari indeks paling tinggi.

(38)

dan terendah. Hirarki wilayah dalam hal ini dibagi menjadi 3, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Untuk menetapkan indeks baku ini, maka terlebih dahulu dicari parameter-parameter rataan (x) dan standar deviasi (sd).

3.5.6. Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi berganda digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap nilai suatu parameter dari parameter-parameter atau variabel penjelas yang dianalisis. Dalam analisis regresi berganda ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi untuk menghasilkan model dengan penduga yang baik, asumsi-asumsi tersebut antara lain:

1) E (ei) = 0, untuk setiap i; dimana i = 1, 2, ..., n; artinya rata-rata kesalahan pengganggu adalah nol.

2) Kov (ei,ej) = 0, i ≠ j; artinya kovarian (Ei,Ej) = 0, dengan kata lain tidak ada autokorelasi antara pengganggu kesalahan yang satu dengan yang lain.

3) Var (ei2) = σ2; untuk setiap i, dimana i = 1, 2, ..., n; artinya setiap kesalahan pengganggu memiliki varian yang sama.

4) Kov (ei,x1i) = Kov (ei,x2i) = 0; artinya kovarian setiap kesalahan pengganggu

memiliki varian yang sama setiap variabel bebas tercakup dalam persamaan linier berganda.

5) Tidak ada Multikolinearitas; artinya tidak ada hubungan linier yang eksak antara variabel-variabel penjelas, atau variabel penjelas harus saling bebas. 6) ei ≈ N ( 0;σ), kesalahan pengganggu menyebar normal dengan rata-rata nol

(39)

Persamaan (model) yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah: Y = A0 + A1X1 + A2X2 + A3X3 +A4X4

dimana:

Y : Variabel tak bebas (entropi pencampuran penggunaan lahan desa (Hj)) A : Konstanta ; A1, A2, A3, & A4 = Koefisien Regresi

X : variabel bebas yang terdiri dari : X1 = Jarak (km) ke pusat kota (Karebosi); X2 =

Indeks Perkembangan Desa (IPD) X3 = Kepadatan Penduduk (jiwa/km2); dan

X4 = Urban Land Ratio (ULR).

Dari hasil analisis berganda, variabel yang memiliki p-level < 0,5 memberi pengaruh nyata terhadap Y, sedangkan variabel yang memiliki p-level < 0,1 memberi pengaruh yang sangat nyata terhadap Y

(40)

Tabel 3.1 Tujuan dan Metode Analisis

No Tujuan Metode Analisis Data yang digunakan

Hasil yang diharapkan 1. Melihat sebaran

dan luasan land use di Kota Makassar per unit

administrasi

Overlay peta I. Peta land use 2005 II. Peta

Administra si

Diperoleh satu peta hasil overlay yang memberi informasi mengenai luasan dan jenis penggunaan lahan

2. Mengukur jarak dari pusat kota ke masing-masing desa. Penentuan titik centroid Peta Administrasi

Diperoleh jarak dari pusat geometrik poligon per desa ke pusat kota.

3. Melihat pengaruh jarak dari pusat kota dengan kepadatan penduduk dan Urban Land Ratio (ULR) Decay Function Analysis I. Data Podes II. Hasil pengukuran jarak centroid Diperoleh hubungan antara jarak dari pusat kota terhadap kepadatan pendudk dan Urban Land Ratio (ULR) di Kota Makassar

4. Melihat sebaran pencampuran lahan dan penyebaran spasial setiap jenis penggunaan lahan

Analisis entropi Data

penggunaan lahan Dapat diidentifikasi bagaimana keragaman penggunaan lahan yang ada di setiap desa dan melihat penyebaran setiap tipe penggunaan lahan di Kota Makassar 5. Melihat indeks perkembangan desa di Kota Makassar dan menentukan hirarkinya Analisis skalogram

Data podes Dapat diidentifikasi bagaimana indeks perkembangan desa dan sebaran hirarki di Kota Makassar. 6. Membuat model pendugaan dengan menggunakan variabel entropi pencampuran land use, jarak ke pusat kota, IPD,

kepadatan

penduduk dan ULR

Metode regresi berganda I. Data podes II. Entropi pencampur an land use III. Data jarak

ke pusat kota

Diperoleh satu model yang dapat menjelaskan hubungan antara entropi

pencampuran, jarak ke pusat kota, IPD dan kepadatan penduduk.

(41)

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Pembagian Administratif

Wilayah Kota Makassar terdiri dari 14 kecamatan yang di dalamnya terdapat 143 desa. Kecamatan yang termasuk dalam Kota Makassar adalah Kecamatan Mariso, Mamajang, Manggala, Wajo, Tallo, Biring Kanaya, Panakkukang, Ujung Pandang, Ujung Tanah, Makassar, Rapoocini, Tamalanrea, Tamalate dan Bontoala. Kota Makassar memiliki cakupan pelayanan yang menjangkau wilayah nasional dan berfungsi sebagai pusat pelayanan produksi, distribusi dan jasa serta berfungsi sebagai simpul transportasi untuk melayani wilayah nasional atau beberapa provinsi.

Dalam konsep wilayah nodal Kota Makassar berfungsi sebagai wilayah inti atau pusat dalam konsep metropolitan Maminasata dengan wilayah hinterland yang mencakup Sungguminasa, Maros dan Takalar.

(42)

Secara administratif Kota Makassar mempunyai batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara : Kabupaten Maros

Sebelah Timur : Laut dan Kabupaten Maros Sebelah Selatan : Kabupaten Gowa

Sebelah Barat : Kabupaten Takalar

4.2. Kondisi Demografi

Kota Makassar merupakan pusat aktivitas yang diharapkan mampu menjadi penopang bagi pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan. Saat ini Kota Makassar memiliki jumlah penduduk sebesar

1.223.540 yang terdiri dari 611.049 laki-laki dan 612.491 perempuan dengan luas wilayah total 175,77 km2. Berikut disajikan luas dan jumlah penduduk per kecamatan yang ada di Kota Makassar pada Tabel 4.1 berikut :

Tabel 4.1 Luas Desa dan Jumlah Penduduk Kota Makassar.

Nama Kecamatan Luas (km2) Jumlah penduduk

Mariso 1,82 53.314 Mamajang 2,25 58.968 Tamalate 18,18 148.589 Rappocini 9,23 139.491 Makassar 2,52 80.874 Ujung Pandang 2,63 27.941 Wajo 1,99 34.178 Ujung Tanah 5,94 47.267 Tallo 8,75 132.158 Panakkukang 13,03 131.229 Manggala 24,14 96.632 Biring Kanaya 48,22 125.636 Tamalanrea 31,84 86.987 Bontoala 2,10 60.276 Total 172, 64 1.223.540

(43)

4.3. Kondisi Sosial Ekonomi Kota Makassar

Tingkat perekonomian suatu wilayah dapat diindikasikan dengan melihat tingkat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) wilayah tersebut. PDRB merupakan salah satu pencerminan kemajuan ekonomi suatu daerah, yang didefinisikan sebagai keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dalam waktu satu tahun di wilayah tersebut.

Berdasarkan hasil perhitungan PDRB tahun 2006, nilai PDRB Kota Makassar atas dasar harga berlaku telah mencapai Rp. 18.165,876 milyar rupiah, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan nilainya sebesar 11.341,848 milyar rupiah. Identifikasi pengukuran PDRB perkapita digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk di Kota Makassar.

Pembentukan PDRB di suatu daerah dapat digambarkan dari struktur ekonomi pada masing-masing sektor yang ada pada wilayah tersebut. Semakin besar persentase suatu sektor semakin besar pula pengaruh sektor tersebut dalam perekonomian daerah. Struktur Kota Makassar masih didominasi oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel.

4. 4 Penggunaan Lahan di Kota Makassar

Penggunaan lahan di Kota Makassar meliputi penggunaan lahan permukiman, pertanian yang terdiri dari sawah dan ladang, hutan, rawa, air dan semak. Luasan penggunaan lahan di Kota Makassar didominasi oleh permukiman dan pertanian. Tabel luasan penggunaan lahan kota Makassar dapat dilihat pada pembahasan.

(44)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.I. Analisis Spasial Penggunaan Lahan

Identifikasi penyebaran penggunaan lahan yang ada di Kota Makassar menggunakan citra landsat tahun 2005. Berdasarkan hasil identifikasi/klasifikasi tersebut diketahui jenis dan luasan penggunaan lahan yang ada di Kota Makassar pada setiap desa yang tersebar di 14 kecamatan. Kecamatan yang terdapat pada Kota Makassar meliputi Mariso, Wajo, Tallo, Biring Kanaya, Tamalate, Tamalanrea, Ujung Pandang, Ujung Tanah, Makassar, Rappocini, Panakukang, Manggala, Bontoala dan Mamajang. Kelas penggunaan/penutupan lahan yang digunakan dalam mengidentifikasi dan menganalisis pola penyebaran dan perubahan ruang terbuka hijau dan ruang terbangun dikelompokkan menjadi pemukiman, pertanian yang meliputi sawah dan ladang, hutan, semak, air, dan rawa.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil klasifikasi citra tahun 2005 Kota Makassar, maka diperoleh hasil bahwa dominasi penggunaan lahan yang ada di Kota Makassar adalah pemukiman dengan total luasan 5901,62 ha dan disusul oleh lahan pertanian dengan total luasan 4369,67 ha yang masing-masing tersebar di seluruh kecamatan yang ada di Makassar. Sementara penggunaan lahan yang memiliki persentase paling kecil adalah hutan dengan jumlah luasan 50,25 ha. Berikut disajikan peta pada Gambar 5.1 dan Tabel 5.1 tentang luasan penggunaan lahan kota Makassar.

(45)

Gambar 5.1 Peta Tutupan Lahan Kota Makassar Tahun 2005 Tabel 5.1 Luasan Tipe Penggunaan Lahan Kota Makassar

Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

Permukiman 5901.62 39.41 Sawah 1856.07 12.40 Pertanian Ladang 2513.60 16.79 Semak 1637.21 10.93 Rawa 2181.81 14.57 Hutan 50.25 0.34 Air 811.44 5.42 Uncalisificatied 21.58 0.14 Total 14973.58 100.00

5.2. Pencampuran Spasial Penggunaan Lahan (spatial land use mixture) dan Sebaran Spasial Tipe Penggunaan Lahan (spatial land use distribution) di Kota Makassar

5.2.1. Pencampuran Spasial Penggunaan Lahan Kota Makassar

Pencampuran spasial penggunaan lahan digunakan untuk melihat pencampuran keragaman penggunaan lahan yang terdapat pada setiap desa yang ada di Kota Makassar dengan menggunakan analisis entropi. Nilai entropi diperoleh dari

(46)

penggunaan pada areal desa yang dikaji. Semakin besar nilai entropi pada suatu desa, maka semakin beragam jenis penggunaan lahan yang ada pada desa tersebut.

Berdasarkan hasil yang diperoleh desa-desa yang ada di Makassar memiliki pola spasial pencampuran penggunaan lahan yang berbeda-beda. Umumnya desa yang berada di sekitar pusat kota memiliki nilai entropi rendah (cenderung homogen) karena didominasi penggunaan lahan ruang terbangun (built-up area), sementara desa dengan entropi besar tersebar di desa yang lebih jauh dari pusat kota dalam batas administrasi kota Makassar. Pada kawasan ini terjadi pencampuran penggunaan lahan yang tinggi. Sebaran entropi pencampuran lahan Kota makassar disajikan pada Gambar 5.2 berikut.

(47)

Peta pada Gambar 5.2 memberikan gambaran tentang pencampuran penggunaan lahan pada setiap desa yang ada di Kota Makassar. Nilai entropi tertinggi terdapat pada desa Tanjung Merdeka yaitu sebesar 0,774. Hal ini menjelaskan bahwa penggunaan lahan di desa Tanjung Merdeka lebih heterogen. Komposisi penggunaan lahan pada daerah yang memiliki entropi tinggi antara lain pemukiman, pertanian, semak, rawa, dan air. Sementara nilai entropi paling kecil berada di Desa Maricayya Selatan dengan nilai entropi sebesar 0,021. Nilai entropi yang kecil menunjukkan bahwa pencampuran penggunaan lahan di desa tersebut homogen. Desa dengan penggunaan lahan homogen tersebar di pusat kota yang menjadi tempat terkonsentrasinya lahan pemukiman. Untuk melihat nilai entropi desa-desa yang ada di Kota Makassar berikut disajikan entropi pencampuran penggunaan lahan Kota Makassar pada Tabel 5.2.

(48)

Tabel 5.2 Entropi Spasial Pencampuran Penggunaan Lahan Kota Makassar

No Nama Desa Entropi No Nama Desa Entropi No Nama Desa Entropi 1 Tanjung Merdeka 0.774 46 Saweri Gading 0.497 91 Tammaung 0.197 2 Paccerakang 0.764 47 Lette 0.483 92 Maricayya Baru 0.196

3 Mannuruki 0.759 48 Lajangiru 0.466 93 Gaddong 0.188

4 Balang Baru 0.745 49 Ujung Pandang Baru 0.464 94 Losari 0.186 5 Bonto Lebang 0.732 50 Sinri Jala 0.453 95 Wala-walaya 0.185

6 Mariso 0.731 51 Manggala 0.434 96 Karampuang 0.184

7 Mattoangin 0.728 52 Pisang Selatan 0.414 97 Rappo Kalling 0.182

8 Mangasa 0.727 53 Melayu 0.410 98 Tompo Balang 0.180

9 Bongaya 0.715 54 Pattunuang 0.404 99 Rappo Jawa 0.180

10 Mario 0.711 55 Balla Parang 0.401 100 Butung 0.172

11 Tamalanrea Indah 0.711 56 Lakkang 0.377 101 Maradekayya Selatan 0.170

12 Tamparang Keke 0.697 57 Bangkala 0.373 102 Baraya 0.170

13 Parang Loe 0.687 58 Layang 0.371 103 Karang Anyar 0.169 14 Kampung Buyang 0.679 59 Sambung Jawa 0.371 104 Mangkura 0.169 15 La'latang 0.678 60 Antang 0.369 105 Mallimongan tua 0.166

16 Daya 0.677 61 Batua 0.367 106 Maccini Parang 0.156

17 Jongaya 0.669 62 Baru 0.361 107 Mamajang luar 0.152

18 Tamalanrea 0.662 63 Bunga Eja Beru 0.359 108 Bonto Makkio 0.151

19 Pa'baeng-baeng 0.661 64 Ende 0.357 109 Suwanngga 0.147

20 Panambungan 0.660 65 Parang Tambung 0.351 110 Totaka 0.145

21 PAI 0.630 66 Buloa 0.344 111 Bonto Biraeng 0.145

22 Untia 0.628 67 Rappocini 0.334 112 Bontoala Parang 0.143 23 Bira 0.622 68 Tamalabba 0.333 113 Pattingalloang baru 0.140 24 Parang 0.612 69 Tamangappa 0.333 114 Parang Layang 0.140 25 Gunung Sari 0.591 70 Bulo Gading 0.330 115 Tammua 0.137 26 Tabaringan 0.589 71 Labuang Baji 0.328 116 Cambaya 0.137 27 Maccini Sombala 0.584 72 Mappala 0.322 117 Bara-baraya Selatan 0.129 28 Bontorannu 0.583 73 Kassi-kassi 0.300 118 Bara-barayya utara 0.128

29 Kapasa 0.580 74 Paropo 0.300 119 Gusung 0.118

30 Bulorokeng 0.578 75 Lembo 0.298 120 Kunjung Mae 0.115

31 Mamajang Dalam 0.573 76 Banta-bantaeng 0.298 121 Camba Berua 0.105

32 Sudiang 0.570 77 Buakana 0.297 122 Pattingalloang 0.105

33 Pampang 0.553 78 Malimongan Baru 0.276 123 Maccini Gusung 0.103

34 Lae-lae 0.547 79 Pandang 0.271 124 Larian Banggi 0.100

35 Tallo 0.542 80 Bontoala Tua 0.266 125 Bunga Ejaya 0.099 36 Tamalanrea Jaya 0.536 81 Masale 0.257 126 Pa'batang 0.095 37 Tamarunang 0.532 82 Pisang Utara 0.252 127 Maccini 0.085 38 Barombong 0.525 83 Mallimongan 0.210 128 Timungan Lompoa 0.076

39 Tello Baru 0.522 84 Bontoala 0.210 129 Maricayya 0.068

40 Kalukuang 0.518 85 Maradekayya 0.208 130 Bara-baraya 0.067

41 Panaikang 0.516 86 Kaluku Bodoa 0.206 131 Mandala 0.064

42 Borong 0.509 87 Maradekayya utara 0.204 132 Barana 0.042 43 Karuwisi 0.504 88 Wajo Baru 0.203 133 Bara-barayya timur 0.039 44 Karuwisi Utara 0.500 89 Pannampu 0.201 134 Baji Mappakasunggu 0.036 45 Tidung 0.500 90 Karunrung 0.200 135 Maricayya Selatan 0.021

(49)

5.2.2 Penyebaran Spasial Tipe Penggunaan Lahan di Kota Makassar

Sebaran spasial tipe penggunaan lahan menggambarkan seberapa menyebar suatu jenis tipe penggunaan lahan yang ada pada suatu kawasan. Entropi sebaran spasial tipe penggunaan lahan digunakan untuk mengukur bagaimana proporsi satu jenis penggunaan lahan cenderung menyebar atau terkonsentrasi. Semakin tinggi nilai entropi maka tipe penggunaan lahan tersebut semakin menyebar pada suatu kawasan. Misalnya apabila tipe lahan pertanian memiliki nilai entropi besar maka lahan pertanian menyebar hampir di seluruh desa. Sementara apabila tipe penggunaan lahan memiliki entropi kecil maka tipe penggunaan lahan tersebut lebih cenderung terkonsentrasi di satu titik.

Penyebaran tipe penggunaan lahan yang merata mengindikasikan besarnya pengaruh tipe penggunaan lahan tersebut terhadap suatu kawasan spasial dalam pembangunan didalam wilayah kawasan tersebut. Berikut disajikan tabel entropi penyebaran spasial setiap tipe penggunaan lahan yang ada di Kota Makassar.

Tabel 5.3 Tabel Entropi Spasial Tipe Jenis Penggunaan Lahan Kota Makassar

Penggunaan lahan Entropi

Permukiman 11.644 Sawah 7.315 Pertanian Ladang 11.013 Semak 7.402 Rawa 7.114 Hutan 2.281 Air 5.278 No Data 2.686

Berdasarkan tabel 5.3 tersebut maka dapat diamati bahwa nilai entropi spasial penggunaan lahan terbesar adalah lahan pemukiman dan pertanian. Hal ini

(50)

menjelaskan bahwa pemukiman dan pertanian memiliki sebaran yang paling luas di Kota Makassar. Besarnya nilai entropi pada kedua penggunaan lahan tersebut juga menjelaskan besarnya pengaruh lahan pemukiman dan lahan pertanian terhadap perkembangan sistem yang ada di Kota Makassar. Sementara entropi penggunaan lahan paling kecil terdapat pada tipe penggunaan lahan hutan, hal ini menjelaskan bahwa hutan memiliki sebaran yang paling kecil atau cenderung terkonsentrasi pada satu titik. Penggunaan lahan hutan hanya tersebar pada sebagian kecil desa yang berada di kecamatan Panakkukang, Biring kanaya, Tamalanrea dan Mariso. Berikut disajikan grafik yang menggambarkan sebaran jenis penggunaan lahan di Kota Makassar (Gambar 5.3). 0 2 4 6 8 10 12 14 Perm ukim an sawa h lada ng sem ak rawa hutan air No Da ta penggunaan lahan en tr opi Entropi

Gambar 5.3 Grafik Entropi Tipe Jenis Penggunaan Lahan Kota Makassar 2005

5.3. Hirarki Wilayah Berdasarkan Jumlah Jenis Fasilitas dan Indeks

.Perkembangan Desa

Analisis hirarki wilayah Kota Makassar menggunakan metode skalogram dengan melihat tingkat perkembangan desa yang dibandingkan dengan

(51)

perkembangan seluruh desa secara umum yang ada di Kota Makassar. Desa yang termasuk hirarki I dengan tingkat perkembangan paling besar memiliki nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) > 30,623. Desa berhirarki II dengan tingkat perkembangan sedang memiliki nilai 30,623 > IPD > 4, 389; sedangkan desa dengan tingkat perkembangan rendah yang tergolong dalam hirarki III adalah desa dengan nilai IPD < 14, 389. Nama desa beserta tingkat hirarkinya tersaji dalam lampiran IV.

Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan hirarki pada setiap desa meliputi: aksesibilitas (jarak dari desa ke ibukota kabupaten), fasilitas pendidikan, sarana dan parasarana perhubungan dan komunikasi, fasilitas kesehatan, prasarana peribadatan, fasilitas sosial, fasilitas perdagangan dan jasa, fasilitas olah raga, koperasi, fasilitas perbankan, serta fasilitas pariwisata.

Wilayah sebagai satuan area yang saling berinteraksi memberikan keterkaitan yang sangat erat antar tiap hirarki yang ada didalam suatu kawasan. Hirarki I berfungsi melayani pusat-pusat dengan hirarki yang lebih rendah disamping melayani hinterlandnya sendiri. Rustiadi et al. (2003) menyatakan bahwa pusat-pusat wilayah umumnya membentuk hirarki yang spesifik ditentukan oleh jumlah sarana pelayanan yang ada, jumlah jenis sarana pelayanan, dan jumlah penduduk dimana semakin tinggi ketiga hal tersebut, semakin tinngi hirarkinya (korelasi positif).

Hasil analisis skalogram menunjukkan bahwa proporsi dari total 143 desa yang ada di Kota Makassar terdiri dari 16 desa berhirarki I, 38 desa berhirarki II dan 89 desa berhirarki III. Lima desa yang termasuk hirarki I dengan IPD terbesar adalah Untia, Labuang Baji, Bontoala, Bulorokeng, dan Tompo Balang. Dalam konsep

(52)

sebagai tempat terkonsentrasinya penduduk/pemukiman, pusat pelayanan, pasar maupun pemusatan industri manufaktur.

Desa berhirarki III dengan IPD terendah mencakup Mangasa, Tamalanrea, Gunung Sari, Mampu dan Parang Tambung. Desa tersebut memiliki jumlah dan jenis fasilitas terendah sehingga berfungsi sebagai pemasok bahan mentah, tenaga kerja dan penjaga keseimbangan ekologis bagi wilayah pusat. Dalam penentuan pembanguanan fasilitas, ukuran populasi penduduk, banyaknya jumlah fasilitas dan akses terhadap infrastruktur utama seperti jalan adalah faktor penentu yang penting dalam menentukan di mana menempatkan fasilitas infrastruktur penunjangnya (Rustiadi et al.,2003).

Ketersediaan jumlah jenis fasilitas, sarana dan prasarana di setiap desa tidaklah sama. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk melihat sebaran hirarki desa yang ada di Kota Makassar. Berikut disajikan peta hirarki-hirarki di Kota Makassar berdasarkan analisis skalogram (Ganbar 5.4).

(53)

PETA SEBARAN HIRARKI KOTA MAKASSAR 7 6 0 0 0 0 7 6 0 0 0 0 7 6 4 0 0 0 7 6 4 0 0 0 7 6 8 0 0 0 7 6 8 0 0 0 7 7 2 0 0 0 7 7 2 0 0 0 7 7 6 0 0 0 7 7 6 0 0 0 7 8 0 0 0 0 7 8 0 0 0 0 9 4 2 0 0 0 0 9 4 2 0 0 0 0 9 4 2 4 0 0 0 9 4 2 4 0 0 0 9 4 2 8 0 0 0 9 4 2 8 0 0 0 9 4 3 2 0 0 0 9 4 3 2 0 0 0 9 4 3 6 0 0 0 9 4 3 6 0 0 0 TINGKAT HIRARKI Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3 2 0 2 Kilometers SKALA : N E W S

PUSAT KOTA (KAREBOSI)

Gambar 5. 4 Peta Hirarki Kota Makassar

Desa berhirarki I lebih banyak tersebar di pusat Kota Makassar, sementara terdapat satu desa yang terletak jauh dari pusat kota memiliki hirarki I. Hal ini disebabkan adanya pengaruh aktivitas Kabupaten Maros yang berbatasan dengan wilayah tersebut. Kabupaten Maros merupakan Wilayah yang cukup berpengaruh terhadap perekonomian di Kota Makassar karena Maros merupakan lokasi Bandara Hasanuddin yang menjadi sentra aktivitas aliran barang dan penumpang di Provinsi Sulawesi Selatan.

5.4. Gradien Fungsi Pertumbuhan/Peluruhan (Growth/Decay Function) Kota Makasar

Untuk melakukan pendugaan dan analisis pola spasial penggunaan lahan di Kota Makassar digunakan model regresi eksponensial dan logaritma sebagai bagian

(54)

dari fungsi peluruhan/pertumbuhan (Decay/Growth Function). Analisis fungsi peluruhan/pertumbuhan dilakukan dengan melihat hubungan antara ULR dan kepadatan penduduk berdasarkan jarak dari masing-masing desa ke pusat kota.

5.4.1. Gradien Proporsi Pemukiman

Gradien proporsi pemukiman atau urban land ratio dapat memberikan penjelasan hubungan antara pengaruh jarak terhadap proporsi lahan pemukiman. Untuk analisis ini dapat digunakan permodelan y = a*exp (b*x) dimana y adalah kepadatan pemukiman, x adalah jarak dari desa ke titik pusat. a dan b sebagai intercept dan laju perkembangan. Hasil yang diperoleh dengan model dari growth/decay function menunjukkan bahwa ULR berkorelasi negatif dengan jarak ke pusat kota, artinya semakin dekat dengan pusat kota maka semakin padat kawasan pemukiman di wilayah tersebut. Fungsi yang diperoleh berdasarkan hubungan antara jarak (x) dan ULR adalah ULR= 0.7487*exp(-0.1026*x). Gambar 5.5 memperlihatkan hubungan antara ULR dengan jarak dari desa ke pusat kota.

(55)

Hubungan Antara Jarak dan ULR 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 Jarak (Km) UL R

Gambar 5.5 Grafik Hubungan Antara ULR dan Jarak ke Pusat Kota 5.4.2. Gradien Kepadatan Penduduk

Gradien kepadatan penduduk digunakan untuk melihat bagaimana jarak dari pusat kota mempengaruhi kepadatan penduduk. Terdapat perbedaan tren pada setiap kota mengenai hubungan antara kepadatan penduduk dan jarak dari pusat kota Dalam analisis ini terdapat inkonsistensi beberapa data desa yang tidak berkorelasi antar data podes dan data peta, sehingga beberapa desa yang dianggap tidak konsisten tidak dimasukkan dalam hubungan kepadatan penduduk dan jarak desa ke pusat kota. Beberapa desa yang tidak konsisten tersebut antara lain: Sudiang, Tamalanrea Jaya, Tabaringan, Baru, Tamangappa, Ende, Bulorokeng, Rappokalling, Pattunang, Bonto Biraeng, Bulo Gading, Pattingaoang, Manggala, Karunrung, Bontoala Parang,

(56)

Lae-Loe, Tamalanrea, Panaikang, Tamparang Keke, Karuwisi Utara, La’latang, Karuwisi Utara, Pisang Selatan, Mariso, Lette, Bongaya, dan Sinri Jala. Fungsi yang diperoleh berdasarkan hubungan antara jarak (x) dan kepadatan penduduk dalam penelitian ini adalah: Kepadatan penduduk = 282.0194*exp (-0.2033*x). Hubungan antara kepadatan penduduk dengan jarak ke pusat kota disajikan pada Gambar 5.6 berikut.

Hubungan Antara Jarak dan Kepadatan Penduduk

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 Jarak (Km) K p d tn P d dk ( Ji w a/ K m 2 )

Gambar 5.6 Grafik Hubungan Kepadatan Penduduk dan Jarak ke Pusat Kota Dari grafik di atas dapat diamati hubungan antara kepadatan penduduk dan jarak ke pusat kota. Terdapat hubungan korelasi positif antara kepadatan penduduk dan jarak tedekat ke pusat kota yang menjelaskan bahwa semakin dekat jarak wilayah ke pusat kota maka makin tinggi pula kepadatan penduduk di wilayah tersebut. Hubungan antara jarak dari masing-masing desa ke pusat kota dengan kepadatan

Gambar

Gambar 3.1. Bagan Alir Tahapan Penelitian Pemilihan Variabel
Tabel 3.1 Tujuan dan Metode Analisis
Tabel 4.1 Luas Desa dan Jumlah Penduduk Kota Makassar.
Gambar 5.2 Peta Sebaran Entropi Pencampuran Lahan Kota Makassar
+7

Referensi

Dokumen terkait

ANGELA PURNAMASARI. Analisis Keterkaitan Penggunaan Lahan, Rencana Pola Ruang dan Hirarki Wilayah di Kota Cilegon. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan SETYARDI PRATIKA

Maris Silver Sirait. Analisis Spasial Hubungan Penggunaan Lahan Dengan Suhu Udara Kota Medan. Jurusan Pendidikan Geografi. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap 8 kecamatan yang mempunyai akses langsung dengan wilayah pesisir Kota Makassar, ternyata kategori sangat

Pola sebaran spasial Klorofil-a di bagian selatan perairan Selat Makassar tahun 2010 Pada bulan Juni terlihat bahwa pola sebaran konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi

Metode analisis data terdiri atas 3 tahap, yaitu analisis pola spasial longsor, penggunaan lahan, dan lereng; analisis pola spasial bentuklahan, jejaring jalan,

Metode analisis data terdiri atas 3 tahap, yaitu analisis pola spasial longsor, penggunaan lahan, dan lereng; analisis pola spasial bentuklahan, jejaring jalan, sungai;

Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bangka yang terjadi penambahan luas memiliki pola yang sama dengan periode tahun 2004-2009 yaitu penggunaan lahan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola spasial Kota Pekalongan berdasarkan parameter pendekatan spatial metric terhadap adanya dinamika perubahan