ANALISIS KETERKAITAN PENGGUNAAN LAHAN,
RENCANA POLA RUANG DAN HIRARKI WILAYAH DI
KOTA CILEGON
ANGELA PURNAMASARI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Keterkaitan Penggunaan Lahan, Rencana Pola Ruang dan Hirarki Wilayah di Kota Cilegon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Angela Purnamasari
ABSTRAK
ANGELA PURNAMASARI. Analisis Keterkaitan Penggunaan Lahan, Rencana Pola Ruang dan Hirarki Wilayah di Kota Cilegon. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan SETYARDI PRATIKA MULYA.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis tingkat perkembangan wilayah (hirarki wilayah), 2) menganalisis penggunaan lahan eksisting Kota Cilegon dan inkonsistensinya terhadap rencana pola ruang RTRW, 3) mengidentifikasi faktor – faktor penyebab inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang serta, 4) menganalisis keterkaitan antara penggunaan lahan dengan rencana pola ruang RTRW dan penggunaan lahan dengan hirarki wilayah. Penggunaan lahan eksisting diinterpretasi dengan menggunakan citra Google Earth dan diverifikasi dengan pengecekan lapang. Penelitian ini menggunakan QGIS, Arc View, dan Statistica 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat perkembangan wilayah Kota Cilegon terbagi menjadi 3 hirarki wilayah, yaitu 6 desa di hirarki 1, 11 desa di hirarki 2, dan 26 desa lainnya sebagai hirarki 3. Penggunaan lahan eksisting tahun 2013 di Kota Cilegon didominasi dengan permukiman yang terdiri atas permukiman tidak teratur dan permukiman teratur, diikuti oleh luas penggunaan lahan hutan dan emplasemen. Walaupun Kota Cilegon berkembang pesat dengan kegiatan perindustriannya, penggunaan lahan Kota Cilegon konsisten 92,60% terhadap rencana pola ruang dan inkonsisten hanya sebesar 7,40% didominasi oleh bentuk inkonsistensi penggunaan lahan permukiman di kawasan perindustrian. Penggunaan lahan yang lebih awal berkembang sebelum adanya penetapan RTRW merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi luas inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang. Menurut hasil analisis korelasi, ada kecenderungan keterkaitan antara penggunaan lahan hutan, lahan terbuka, dan rumput, semak, ilalang dengan inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang. Penggunaan lahan tidak memiliki korelasi yang kuat dengan hirarki wilayah namun adanya keterkaitan yang lemah antara hirarki tinggi dengan penggunaan lahan permukiman teratur. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan yang sifatnya tidak produktif memiliki keterkaitan dengan perkembangan wilayah yang relatif rendah karena kurangnya aktivitas ekonomi yang diperoleh melalui penggunaan lahan tersebut.
ABSTRACT
ANGELA PURNAMASARI. Correlation Analysis Between Existing Land Use, Spatial Plan and Regional Hierarchy in Cilegon. Supervised by SANTUN R.P. SITORUS and SETYARDI PRATIKA MULYA.
This study was conducted 1) to analyze regional development level by hierarchy in Kota Cilegon, 2) to analyze existing land use of Kota Cilegon in 2013 and its inconsistency to land use plan, 3) to identify the driving factors of land use inconsistency, and 4) to analyze how land use, land use plan, and regional development correlated to each other. Existing land use of Kota Cilegon was mapped by interpreting Google Earth Imagery and was verified by ground check. The study employed QGIS, Arc View, and Statistica 7. Based on the number of facilities and accessibility, Cilegon was divided into 3 hierarchy. In the first hierachy, there are 6 desa, while 11 desa are in the second hierarchy and the remaining 26 desa are in the last hierarchy. Settlements that consist of irregular settlement and regular settlement are the largest share of land use, then followed by forest and built – up area for industry. Although Kota Cilegon is a rapidly developing city due to its industrial activity, land use of Kota Cilegon has 92,60% consistency to its land use plan. The 7,40% of land use inconsistency is dominated by existing land use of settlements in industrial area. The main driving factor of inconsistency is historical land use of Kota Cilegon that had already developed before the plan existed. Land use of forest, open spaces, shrubbery have positive correlation to land use inconsistency. There is no signifant correlation between land use and regional development in Kota Cilegon. Therefore, regular settlement shows the tendency of more developed area. In general, it can be concluded that less productive land use correlate positively to less developed area due to its low economic activities.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
ANALISIS KETERKAITAN PENGGUNAAN LAHAN,
RENCANA POLA RUANG DAN HIRARKI WILAYAH DI
KOTA CILEGON
ANGELA PURNAMASARI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Puji syukur penulis atas segala nikmat dan karunia dari Allah subhanahu wa
ta’ala sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini adalah Analisis Keterkaitan Penggunaan Lahan, Rencana Pola Ruang dan Hirarki Wilayah di Kota Cilegon.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus dan Bapak Setyardi Pratika Mulya, S.P., MSi selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan saran dalam penelitian ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr Ir Widiatmaka, DAA selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan bagi penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.
2. Kepala Bappeda Kota Cilegon bidang prasarana dan pengembangan wilayah, Pak Edi Sabri, Pak Irfan Fahlevi, beserta staf lainnya atas bantuan, penerimaan, dan kerjasamanya dengan baik.
3. La Ode Syamsul Iman, S.P., MSi dan Dyah Retno Panuju, S.P., MSi serta seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya.
4. Mama tercinta Ari Dwi Yanti atas kasih sayang dan pengorbanan yang begitu besar kepada penulis serta Papa yang selalu memberikan dukungan dan motivasi selama ini.
5. Tante Ita, Om Bachrul, serta Ocean atas bantuan selama pengecekan lapang dan motivasi selama penelitian.
6. Enci sekeluarga, Nenek, Adik - Adik serta seluruh keluarga yang telah membantu selama penelitian, memberikan doa dan kepercayaan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S1 ini.
7. Nia dan Teman – teman di Divisi Perencanaan Pengembangan Wilayah 47 Zulfa, Lutfia, Emi, Dwi, Salimah, Andang, Aeni dan Ardy atas kebersamaan dan dukungan semangat selama penelitian.
8. Siti Rohmah, Rina, Tatu, Yekti, Keluarga besar ITSL 47, ITSL 46, dan ITSL 48 atas kebersamaannya selama kegiatan perkuliahan di IPB.
9. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Penggunaan Lahan Perkotaan 3
Penataan Ruang 4
Pengembangan Wilayah 5
Sistem Informasi Geografis 6
BAHAN DAN METODE 7
Waktu dan Lokasi Penelitian 7
Prosedur Analisis Data 8
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 17
Administrasi, Geografi, dan Iklim 18
Penduduk 18
Pembagian Wilayah Kota 19
Perkembangan Ekonomi Kota Cilegon 21
Pola Ruang berdasarkan RTRW Kota Cilegon 2010 – 2030 23
HASIL DAN PEMBAHASAN 25
Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Cilegon 25
Penggunaan lahan di Kota Cilegon 28
Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Rencana Pola Ruang RTRW 36 Keterkaitan penggunaan lahan, rencana pola ruang dan hirarki wilayah 40 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang 42
SIMPULAN DAN SARAN 43
Saran 43
DAFTAR PUSTAKA 44
LAMPIRAN 46
RIWAYAT HIDUP 56
DAFTAR TABEL
1. Jenis dan Sumber Data Penelitian 8
2. Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis dan Output yang
diharapkan 8
3. Variabel yang digunakan dalam analisis skalogram 12 4. Padanan Jenis Penggunaan Lahan terhadap Peruntukan Ruang 14 5. Matrik Logika Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Kota Cilegon 15 6. Interval Nilai Koefisien Korelasi dan Kekuatan Hubungan 16 7. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan tahun 2013 19 8. BWK, Pemanfaatan Ruang, serta Pengembangan Fungsi Kawasan 19 9. PDRB Kota Cilegon Tahun 2012 Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Lapangan Usaha 21
10.Luas dan Proporsi Peruntukan Ruang Kota Cilegon Menurut RTRW
Kota Cilegon Tahun 2010 - 2030 25
11.Hirarki, IPD, Jumlah Jenis, dan Jumlah Fasilitas di Kota Cilegon tahun
2012 27
12.Luas dan Proporsi Penggunaan Lahan Eksisting Kota Cilegon tahun
2013 30
13.Luas dan Proporsi Bentuk Inkonsistensi dalam Urutan 5 terbesar 38
DAFTAR GAMBAR
1. Lokasi Penelitian 7
2. Peta Sebaran Titik Cek Lapang 10
3. Persentase setiap sektor untuk PDRB tahun 2009 – 2012 tanpa sektor
industri pengolahan 22
4. Persentase Sektor Industri Pengolahan untuk PDRB tahun 2009 – 2012 22
5. Peta Pola Ruang Kota Cilegon 24
6. Peta Hirarki Wilayah Kota Cilegon Tahun 2012 26
7. Peta Penggunaan Lahan Eksisting Kota Cilegon Tahun 2013 29 8. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
Permukiman Tidak Teratur 31
9. Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
Permukiman Teratur 31
10.Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Hutan 32 11.Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
12.Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Lahan
Terbuka 33
13.Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Kebun
Campuran 33
14.Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra
Kompleks Olahraga 34
15.Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Tanaman
Pertanian Lahan Basah 34
16.Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Tanaman
Pertanian Lahan Kering 35
17.Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Rumput,
Semak, Ilalang 35
18.Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Badan
Air 35
19.Peta Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Rencana Pola Ruang 37 20.Luas dan Proporsi Inkonsistensi Tiap Kecamatan 38 21.Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Rencana Pola Ruang 40 22.Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Luas Inkonsistensi 41 23.Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Hirarki Wilayah dan IPD 42
DAFTAR LAMPIRAN
1. Luas dan Proporsi Kecamatan di Kota Cilegon yang Teranalisis 46 2. Keterangan Setiap Padanan Jenis Penggunaan Lahan dengan
Peruntukan Ruang 46
3. Luas (hektar) penggunaan lahan eksisting dengan rencana pola ruang 49
4. Luas dan Proporsi Bentuk Inkonsistensi 49
5. Luas bentuk inkonsistensi di setiap kecamatan 50 6. Hasil analisis korelasi penggunaan lahan dengan rencana pola ruang 51 7. Hasil analisis korelasi penggunaan lahan dengan luas inkonsistensi,
hirarki dan IPD 52
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan lahan dan tutupan lahan merupakan gambaran penting untuk memahami interaksi manusia dengan lingkungannya. Adanya pembangunan dan industrialisasi berimplikasi pada pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan serta aktivitasnya yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya. Semakin maju ekonomi suatu daerah maka kebutuhan infrastruktur fisiknya akan semakin berkembang. Perkembangan kota sangat tergantung pada ketersediaan dan kualitas fasilitas yang secara signifikan mempengaruhi pola perkembangan penggunaan lahan. Semakin banyak jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah (Rustiadi et al. 2011). Hirarki wilayah dapat menggambarkan perkembangan wilayah berdasarkan jumlah dan jenis fasilitas serta aksesibilitasnya. Rencana tata ruang dibutuhkan dalam mengalokasikan penggunaan lahan yang optimal. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) disamping sebagai “guidance of future actions”, pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dengan dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2003). Pemanfaatan ruang kota berubah dengan cepat mengarah pada pemanfaatan yang lebih menguntungkan secara ekonomi sehingga diperlukan adanya upaya untuk menjaga konsistensi pemanfaatan ruang yang tearah dan terkendali terhadap rencana tata ruang wilayah. Ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan rencana tata ruang wilayah seringkali menyebabkan kerusakan pada lingkungan.
Jumlah penduduk di Kota Cilegon mengalami pertambahan yang semakin besar setiap tahunnya. Kota Cilegon merupakan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang berperan sebagai pusat jasa, pengolahan, dan simpul transportasi dari beberapa kabupaten. Menurut Perda Kota Cilegon Nomor 3 Tahun 2011 tentang RTRW 2010-2030, penataan ruang Kota Cilegon bertujuan untuk mewujudkan Kota Cilegon sebagai kota industri, perdagangan dan jasa terdepan di Pulau Jawa yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peningkatan ekonomi Kota Cilegon sebagian besar merupakan efek dari aktivitas sektor perindustrian yang merupakan penopang utama ekonomi Kota Cilegon, terutama industri kimia dan industri baja. Lahan yang telah dialokasikan di Kota Cilegon dalam rencana tata ruang dipersiapkan untuk pengembangan industri hingga mampu menjadi pusat pertumbuhan ekonomi nasional di ujung barat Pulau Jawa.
Perumusan Masalah
2
sekitarmya. Ketersediaan sarana dan prasarana dapat digambarkan dengan tingkat perkembangan wilayah (hirarki wilayah). Pemerintah Kota Cilegon telah berupaya untuk mengalokasikan penggunaan lahan agar efisien, efektif, dan terpadu dalam rencana pola ruang Kota Cilegon. Selain itu diperlukan adanya evaluasi kekonsistenan penggunaan lahan terhadap rencana pola ruangnya karena seringkali ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan rencana pola ruang menyebabkan kerusakan lingkungan dan permasalahan lainnya seperti kemacetan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah Kota Cilegon berdasarkan hirarki wilayahnya?
2. Bagaimana penggunaan lahan eksisiting di Kota Cilegon dan apakah konsisten dengan rencana pola ruang?
3. Apa faktor penyebab inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang jika ada inkonsistensi?
4. Bagaimana keterkaitan antara penggunaan lahan dengan rencana pola ruang dan keterkaitan penggunaan lahan dengan hirarki wilayah di Kota Cilegon?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
1. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah (hirarki wilayah) di Kota Cilegon,
2. Menganalisis penggunaan lahan eksisting Kota Cilegon dan inkonsistensinya terhadap rencana pola ruang RTRW,
3. Mengidentifikasi faktor – faktor penyebab inkonsistensi penggunaan lahan dengan rencana pola ruang RTRW Kota Cilegon,
4. Menganalisis keterkaitan antara penggunaan lahan dengan rencana pola ruang RTRW dan penggunaan lahan dengan hirarki wilayah.
Manfaat Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan Lahan Perkotaan
Jumlah penduduk di daerah perkotaan menunjukkan kecederungan pertumbuhan yang semakin meningkat dan cepat karena daerah perkotaan mempunyai daya tarik yang kuat, yaitu menjanjikan kesempatan kerja yang besar, memberikan pendapatan yang lebih tinggi, memberikan peluang pengembangan karir dan kemampuan profesional, serta penyediaan berbagai kemudahan lainnya (Adisasmita 2006). Pertumbuhan ekonomi seringkali disertai dengan mobilitas sosial. Migrasi ke pusat – pusat pertumbuhan yang tinggi menjanjikan jalan untuk keluar dari kemiskinan dengan meningkatkan keuntungan ekonomi pada investasi sumberdaya manusia (Liu et al. 2014). Hai et al. (2011) berpendapat bahwa pertumbuhan populasi perkotaan yang pesat terjadi sebagai respons atas meningkatnya penduduk bermigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan memperbaiki kondisi hidup. Peningkatan jumlah penduduk memiliki konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan untuk permukiman, industri, infrastruktur dan jasa (Munibah et al. 2009). Liu et al. (2014) menyatakan bahwa kepadatan penduduk di Indonesia lebih tinggi di daerah perkotaan dan semakin meningkat membentuk urbanisasi. Keberhasilan industrialisasi dalam merelokasi tenaga kerja ke aktivitas yang lebih produktif, melalui migrasi desa-kota serta evolusi industri non – pertanian di perdesaan, merupakan fenomena umum yang secara luas diteliti di sebagian besar negara – negara berkembang di Asia.
Permukiman perkotaan merupakan habitat paling penting bagi manusia. Hampir 50-60% dari populasi dunia hidup di daerah perkotaan membentuk hingga 80% dari output ekonomi global. Metabolisme dari aktivitas perkotaan menimbulkan ancaman bagi lingkungan global (Pauleit et al. 2000). Kelemahan dalam penerapan manajemen tanah perkotaan tampak dari meningkatnya harga tanah yang mendorong timbulnya spekulasi, kelangkaan pengembangan tanah perkotaan untuk permukiman, serta menjamurnya permukiman liar. Pada umumnya, tanah perkotaan itu diperoleh melalui proses alih fungsi tanah pertanian, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta (Sumardjono 2008). Sebagai salah satu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, lahan di pusat perkotaan menghadapi tekanan yang semakin meningkat yang berasal dari ruang, lalu lintas, dan lanskap (Junyan et al. 2012). Isu – isu kunci dari perkembangan lahan di Indonesia termasuk buruknya koordinasi dalam manajemen lahan perkotaan, peraturan dan kebijakan lahan yang tidak fleksibel, pajak lahan yang tidak sesuai, kurangnya keamanan dalam kepemilikan lahan, dan kurangnya informasi dan data mengenai lahan perkotaan (Firman 2004). Akar permasalahan perkotaan yang terkait dengan lahan perkotaan adalah: (1) semakin pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan sebagai implikasi pembangunan dan industrialisasi; (2) semakin terbatasnya lahan perkotaan serta masih belum terpenuhinya secara memadai pelayanan prasarana dan sarana perkotaan (Pontoh et al. 2008).
4
kering (7%) dan permukiman (6%). Bagian barat dan timur Kota Cilegon didominasi oleh perubahan penggunaan lahan sawah menjadi permukiman pada tahun 2011 karena topografinya yang datar sehingga menjadi tempat terkonsentrasinya penduduk.
Penataan Ruang
Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan : (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; dan (c) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang memiliki peranan penting dalam perkembangan perkotaan. Ada empat tingkat dalam perencanaan: kebijakan nasional, rencana regional, rencana umum untuk provinsi atau kota dan rencana rinci daerah (meliputi permukiman, lingkungan, atau industri). Penyusunan rencana rinci daerah merupakan langkah awal dalam proyek pengembangan wilayah dan merupakan prasyarat untuk persetujuan alokasi lahan dan pembangunan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi (Phuc et al. 2014).
Perencanaan pembangunan wilayah sering disalahartikan sebagai suatu proses dimana perencana mengarahkan masyarakat untuk melakukan. Lahirnya pandangan seperti tersebut sebenarnya terutama sebagai akibat proses pendekatan perencanaan wilayah yang selama ini umumnya bersifat top-down. Perencanaan wilayah umumnya dilakukan secara asimetrik, dimana pihak pemerintah dianggap memiliki kewenangan secara legal karena memegang amanat yang legitimate. Padahal dibalik amanat yang diterimanya, pemerintah berfungsi melayani/memfasilitasi masyarakat yang berkepentingan secara langsung di dalam pemanfaatan sumberdaya ruang yang ada (Rustiadi 2001). Rencana Tata Ruang disusun dengan perspektif menuju keadaan masa depan yang diharapkan, bertitik tolak dari data, informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang dapat digunakan (Mirsa 2012). Pemanfaatan lahan di area perkotaan harus berdasarkan perencanaan tata ruang. Masalah Rencana Tata Ruang Wilayah di Indonesia yaitu tata ruang didesain dan dimaksudkan untuk mengendalikan perkembangan kota secara rinci. Hal ini jelas tidak dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk mengimplementasikan rencana tersebut. Rencana tata ruang harus lebih memberikan pedoman yang fokus pada komponen strategis jangka panjang dari pengembangan kota, dibandingkan dengan mencoba untuk menyediakan desain fisik kota yang detail (Firman 2004).
Berdasarkan Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2003), dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni:
5 interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dengan dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).
(b) Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
(c) Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
Penataan ruang merupakan instrumen legal untuk mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan wilayah melalui pemanfaatan sumberdaya secara efektif, efisien, dan terpadu, sekaligus mewujudkan ruang yang berkualitas. Dengan memanfaatkan berbagai teori dan konsep pengembangan wilayah, penataan ruang merupakan instrumen yang digunakan untuk memahami interaksi antara 4 (empat) unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, manusia, buatan, dan sistem aktivitas) secara komprehensif.
Timbulnya agenda “sustainability” selama tiga dekade akhir ini membawa pertimbangan ke depannya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan lingkungan dan sosial (Karadimitrou 2013). Urgensi atas penataan ruang timbul sebagai akibat dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya intervensi publik atau
collective action terhadap kegagalan mekanisme pasar (market failure) dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama (Rustiadi
et al. 2011). Pembedahan permasalahan produktivitas penyelenggaraan penataan ruang perlu dilakukan secara sistematis dan bertahap. Berdasarkan kondisi produktivitas saat ini, ada kecenderungan penilaian dari masyarakat bahwa terjadi kelambanan proses penataan ruang di daerah. Terdapat pula prasangka bahwa lambatnya proses penyusunan RTRW di daerah adalah upaya untuk menghindari pertanggungjawaban pemanfaatan ruang terkait sanksi yang telah terakomodasi dalam UUPR. Menurut Kepmen Kimpraswil No 327/KTPS/M/2002, pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi, dan mekanisme pengenaan sanksi. Permasalahan dalam pengendalian tata ruang antara lain disebabkan karena: pemberian izin tidak sesuai dengan RTRW; kurangnya sosialisasi RTRW; sistem informasi spasial belum memadai (tidak jelas batas – batas koordinat setiap peruntukan lahan), didukung minimnya jumlah benchmark, sehingga sulit untuk mengetahui kesesuaian ketepatan lokasi di lapangan dengan peta.
Pengembangan Wilayah
6
fungsional/sistem yang sederhana karena memandang suatu wilayah secara dikotomis (terbagi atas dua bagian). Secara operasional, pusat – pusat wilayah mempunyai hierarki yang spesifik yang hierarkinya ditentukan oleh kapasitas pelayanannya. Sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat – pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari: (1) jumlah sarana pelayanan, (2) jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana pelayanan. Semakin banyak jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah. Dengan demikian, pusat – pusat berorde tinggi seringkali mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Pusat – pusat yang berhierarki tinggi melayani pusat – pusat dengan hierarki yang lebih rendah disamping juga melayani hinterland di sekitarnya (Rustiadi et al. 2011).
Prasarana dan sarana perkotaan dan berbagai fasilitas pelayanan sosial ekonomi untuk dapat disediakan dalam jumlah yang cukup sehingga dalam pembangunannya, peranan pemerintah kota sangat besar dan menentukan. Di samping peranan pemerintah kota diperlukan pula peran serta pihak swasta dan masyarakat yang bersifat partisipatif agar mencapai tujuan pembangunan perkotaan yang optimal dan berkelanjutan (Adisasmita 2006). Seringkali adanya campur tangan pemerintah yang tidak efisien menyebabkan distribusi sumberdaya lahan tidak optimal sehingga beberapa ahli kebijakan berpendapat bahwa cara terbaik untuk mengatur penggunaan lahan dan pola perkembangan adalah dengan bergantung pada mekanisme pasar. Namun, tanpa perencanaan dan peraturan, pasar lahan cenderung menciptakan biaya eksternal yang tinggi dan gagal untuk menyediakan ruang publik. Kenyataannya, tanpa campur tangan pemerintah, fasilitas publik yang mendasar seperti taman, ruang terbuka, dan infrastruktur utama serta pelayanan kota, tidak akan disediakan oleh pihak swasta karena tidak menguntungkan dan memiliki nilai jual (Dowall et al. 1996).
Sistem Informasi Geografis
7
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Cilegon, Provinsi Banten. Analisis data dilakukan di Studio Divisi Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Penelitian berlangsung mulai dari bulan April 2014 hingga Desember 2014. Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Lokasi Penelitian
8
Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Penelitian
No Data Sumber
Data Kegunaan
1. Citra Kota Cilegon eksisting tahun 2013
Google Earth
membuat peta penggunaan lahan eksisting
2. Cilegon dalam Angka 2013
BPS mengetahui profil Kota Cilegon
3. Peta Administrasi Kota Cilegon
Bappeda
mengetahui batas wilayah admnistrasi Kota Cilegon per desa
4. Peta RTRW Kota Cilegon 2010
-2030 Bappeda
mengetahui alokasi ruang menurut rencana tata ruang 5. Data jumlah penduduk, fasilitas
pelayanan (fasilitas kesehatan,
2012 mengetahui hirarki wilayah
Perangkat yang digunakan dalam penelitian yaitu komputer yang dilengkapi dengan software untuk mengolah data, GPS untuk membantu menentukan titik koordinat di lapang, kamera digital, dan alat tulis. Software yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Office Excel untuk tabulasi data, QGIS 2.2.0
Valmiera untuk mendigitasi dan mengolah data spasial, Arc View untuk joint data dan mengolah data spasial, dan Statistica 7 untuk mengolah data atribut.
Prosedur Analisis Data
Penelitian ini menggunakan jenis data dan teknik analisis yang berbeda untuk setiap tujuannya. Jenis data, teknik analisis, dan output yang diharapkan dari setiap tujuan penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis dan Output yang diharapkan No Tujuan Penelitian Jenis Data Teknik
9
Peta tutupan lahan eksisting diperoleh melalui digitasi citra Google Earth berdasarkan unsur interpretasi citra. Menurut Lillesand et al. (1990), unsur interpretasi citra terdiri atas: bentuk ialah konfigurasi atau kerangka suatu obyek, ukuran yang berhubungan dengan skala, pola ialah susunan spasial obyek, bayangan yang dapat memberikan gambaran profil suatu obyek tetapi dapat menghalangi interpretasi obyek di bawahnya, rona ialah warna atau kecerahan relatif obyek pada citra, tekstur yaitu frekuensi perubahan rona pada citra fotografi, situs atau lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek yang lain. Digitasi dilakukan sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan. Lalu peta tutupan lahan tersebut diverifikasi dengan pengecekan lapang sehingga diperoleh peta penggunaan lahan. Sebaran titik cek lapang disajikan pada Gambar 2.
10
Gambar 2 Peta Sebaran Titik Cek Lapang
Titik pengecekan lapang sebanyak 55 titik tersebar di seluruh kecamatan (Gambar 2) dan diambil berdasarkan purposive sampling, yaitu pengambilan sampel secara selektif yang masing – masing titik mewakili kondisi lapangan. Hasil interpretasi dan pengecekan lapang, klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian ini terdiri atas 11 jenis penggunaan lahan yaitu:
1. Hutan (HTN)
Hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering yang dapat berupa hutan dataran rendah, jenis rumput yang tinggi serta rumput rendah heterogen. Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi dengan berbagai vegetasi alami heterogen dan homogen dengan kerapatan jarang hingga rapat. perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi. 2. Kebun (KBC)
Lahan yang ditanami dengan tanaman keras lebih dari satu jenis atau tidak seragam yang menghasilkan bunga, buah, dan getah dan cara pengambilan hasilnya bukan dengan cara menebang pohon.
3. Kompleks Olahraga (KO)
Kompleks Olahraga terdiri atas lapangan golf dan lapangan sepak bola yang dapat teridentifikasi dengan jelas melalui citra.
4. Rumput, Semak, Ilalang (RSI)
Areal atau bidang lahan yang terbuka dan hanya ditumbuhi jenis – jenis tanaman perdu dari keluarga rumput dan semak.
5. Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB)
11 dengan vegetasi yang diusahakan berupa : padi, tebu, tembakau, rosela, sayur – sayuran.
6. Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK)
Ladang merupakan pertanian lahan kering dengan penggarapan secara temporer atau berpindah – pindah. Lahan yang digarap setelah tiga tahun atau kurang kemudian ditinggalkan.
7. Permukiman Tidak Teratur (PMK)
Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan orang dengan pola yang tidak teratur, serta merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang merupakan permukiman perkotaan maupun pedesaan.
8. Permukiman Teratur (PMT)
Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan orang dengan pola yang teratur, serta merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang merupakan permukiman perkotaan maupun pedesaan.
9. Emplasemen (EMP)
Area yang telah mengalami subtitusi penutup lahan alami ataupun semi alami dengan penutup lahan buatan yang biasanya bersifat kedap air dan relatif permanen. Bangunan industri : areal lahan yang digunakan untuk bangunan pabrik atau industri yang berupa kawasan industri atau perusahaan.
10.Lahan Terbuka (LT)
Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah, semi alamiah maupun artifisial. Bersifat sementara jika areal lahan tidak diusahakan untuk kegiatan budidaya atau non budidaya, tetapi sudah ada rencana peruntukan penggunaan lahannya.
11.Badan Air (BA)
Areal perairan di daratan dengan penggenangan air yang dalam dan permanen, penggenangan dangkal termasuk fungsinya.
Analisis Hirarki Wilayah
Teknik analisis skalogram digunakan untuk mengidentifikasi ordo atau hirarki relatif di suatu wilayah. Data yang digunakan adalah data fasilitas dan aksesibilitas tahun 2012. Semua fasilitas umum dan aksesibilitas yang dimiliki oleh setiap wilayah disusun dalam tabel. Wilayah yang memiliki hirarki tinggi (Hirarki I) merupakan wilayah yang memiliki jumlah unit dan jenis fasilitas yang paling banyak dan beragam serta memiliki aksesibilitas fasilitas yang relatif dekat. Aksesibilitas dalam analisis skalogram ini merupakan variabel negatif. Aksesibilitas adalah jarak yang dihitung apabila jumlah fasilitas tidak terdapat dalam PODES, jarak yang dimaksud yaitu jarak dari pusat desa ke desa terdekat lain yang memiliki fasilitas tersebut. Tingkat perkembangan wilayah dibagi atas tiga hirarki, yaitu:
12
Hirarki II, jika rataan IPD total < IPD < (rataan IPD total + simpangan baku IPD total)
Hirarki III, IPD < rataan IPD
Rincian variabel yang digunakan untuk setiap fasilitas dan aksesibilitas dalam analisis skalogram tertera pada Tabel 3.
Tabel 3 Variabel yang digunakan dalam analisis skalogram
Kelompok Indeks Variabel yang digunakan Fasilitas Pendidikan Jumlah TK
Jumlah SD Jumlah SMP Jumlah SMU Jumlah SMK Jumlah Akademi Jumlah SLB
Jumlah pondok pesantren swasta Jumlah madrasah diniyah swasta Jumlah seminari swasta
Jumlah lembaga bahasa asing Jumlah lembaga komputer Jumlah lembaga menjahit Jumlah lembaga kecantikan Jumlah lembaga montir Jumlah lembaga elektronika Jumlah lembaga lainnya Fasilitas Kesehatan Jumlah Rumah Sakit
Jumlah rumah sakit bersalin Jumlah poliklinik
Jumlah puskesmas
Jumlah puskesmas pembantu Jumlah tempat praktek dokter Jumlah tempat praktek bidan Jumlah poskesdes
Jumlah polindes Jumlah posyandu Jumlah apotek Fasilitas Sosial Jumlah mesjid
Jumlah surau/langgar
Fasilitas Ekonomi Jumlah lokasi pasar tanpa bangunan Jumlah minimarket
13 Jumlah warung/kedai makanan minuman
Jumlah restoran/rumah makan Jumlah hotel
Jumlah penginapan/motel Jumlah koperasi unit desa
Jumlah koperasi industri kecil dan kerajinan rakyat Jumlah koperasi simpan pinjam
Jumlah koperasi lainnya Jumlah bank umum
Jumlah bank perkreditan rakyat Aksesibilitas (Km) Jarak ke TK terdekat
Jarak ke SMP terdekat Jarak ke SMU terdekat Jarak ke SMK terdekat Jarak ke Rumah sakit terdekat Jarak ke RS bersalin terdekat Jarak ke poliklinik terdekat Jarak ke puskesmas terdekat
Jarak ke tempat praktek dokter terdekat Jarak ke tempat praktek bidan terdekat Jarak ke poskesdes terdekat
Jarak ke polindes terdekat Jarak ke apotek terdekat Jarak ke toko obat terdekat Jarak ke pos polisi terdekat Jarak ke gedung bioskop terdekat Jarak ke pub/tempat karaoke terdekat Jarak ke kantor pos terdekat
Jarak ke kelompok pertokoan terdekat Jarak ke pasar terdekat
Jarak ke bank umum terdekat
Jarak ke bank perkreditan rakyat terdekat
Analisis Inkonsistensi Tata Ruang
Bentuk inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kota Cilegon diperoleh melalui
overlay peta penggunaan lahan eksisting dengan peta rencana pola ruang RTRW Kota Cilegon. Hasil overlay tersebut menentukan konsisten dan inkonsistennya penggunaan lahan berdasarkan matriks logika inkonsistensi sehingga menghasilkan peta inkonsistesi penggunaan lahan Kota Cilegon terhadap rencana pola ruangnya. Klasifikasi penggunaan lahan berbeda dengan klasifikasi peruntukan ruang sehingga perlu adanya padanan. Padanan ini disusun berdasarkan keterangan yang
14
diperoleh dalam Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cilegon Tahun 2010 – 2030. Padanan jenis penggunaan lahan terhadap peruntukan ruang tertera pada Tabel 4.
Tabel 4 Padanan Jenis Penggunaan Lahan terhadap Peruntukan Ruang
No Jenis Penggunaan Lahan Peruntukan Ruang Menurut Pola Ruang RTRW
1. Hutan Kawasan Hutan Lindung
Kawasan Pelestarian Alam Kawasan Perlindungan Setempat Kawasan Ruang Terbuka Hijau
2. Permukiman Tidak Teratur Kawasan Perumahan/Permukiman Perkotaan Kawasan Pemerintahan dan Bangunan Umum Kawasan Pariwisata
Kawasan Perdagangan dan Jasa Kawasan Peruntukan lainnya
3. Permukiman Teratur Kawasan Perumahan/Permukiman Perkotaan Kawasan Pemerintahan dan Bangunan Umum Kawasan Pariwisata
Kawasan Perdagangan dan Jasa Kawasan Peruntukan lainnya 4. Emplasemen Kawasan Perindustrian
Kawasan Pariwisata
Kawasan Pelabuhan dan Pergudangan Kawasan Terminal Terpadu
Kawasan Perdagangan dan Jasa Kawasan TPL B3
Kawasan Peruntukan Lainnya 5. Tanaman Pertanian Lahan
Basah
Kawasan Ruang Terbuka Hijau 6. Tanaman Pertanian Lahan
Kering
Kawasan Ruang Terbuka Hijau 7. Rumput, Semak, dan
Ilalang
Kawasan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perlindungan Setempat Kawasan Pelestarian Alam 8. Kebun Campuran Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perlindungan Setempat Kawasan Pelestarian Alam
9. Lahan Terbuka Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Kawasan TPL B3
10. Badan Air Kawasan Ruang Terbuka Non Hijau
Kawasan Perindustrian
15 11. Kompleks Olahraga Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Penggunaan lahan yang sesuai dengan peruntukannya dikategorikan sebagai konsisten. Berdasarkan padanan jenis penggunaan lahan terhadap peruntukan ruang tersebut maka diperoleh matrik logika inkonsistensi penggunaan lahan di Kota Cilegon seperti pada Tabel 5.
Tabel 5 Matrik Logika Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Kota Cilegon
Pola
Keterangan :V = Konsisten I, O = konsisten II, X = Inkonsisten
KPr = Kawasan Pariwisata, KPP = Kawasan Pelabuhan dan Pergudangan, KPB = Kawasan Pemerintahan dan Bangunan Umum, KPJ = Kawasan Perdagangan dan Jasa, KPi = Kawasan Perindustrian, KPm = Kawasan Perumahan/Permukiman Perkotaan, KPL = Kawasan Peruntukan Lainnya, KRnH = Kawasan Ruang Terbuka Non Hijau, KTT = Kawasan Terminal Terpadu, KTPL = Kawasan TPL B3, TPA = Tempat Pembuangan Akhir Sampah, KHL = Kawasan Hutan Lindung, KPA = Kawasan Perlindungan Alam, KPS = Kawasan Perlindungan Setempat, KRH = Kawasan Ruang Terbuka Hijau
HTN = Hutan, PMK = Permukiman Tidak Teratur, PMT = Permukiman Teratur, EMP = Emplasmen, TPLK = Tanaman Pertanian Lahan Kering, TPLB = Tanaman Pertanian Lahan Basah, RSI = Rumput, Semak, Ilalang, KBC = Kebun Campuran, LT = Lahan Terbuka, BA = Badan Air, KO = Kompleks Olahraga.
Konsisten I merupakan kondisi penggunaan lahan yang sesuai dengan padanan jenis penggunaan lahan terhadap peruntukan ruang di Kota Cilegon pada Tabel 4. Konsisten II yaitu penggunaan lahan sementara/temporary land use berbeda dengan peruntukannya tetapi termasuk konsisten karena berpotensial mengalami perubahan. Inkonsistensi yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan sulit atau hampir tidak dapat dikembalikan ke fungsi lahan semula (irreversible).
16
Analisis Korelasi Berganda
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara beberapa peubah sebagai salah satu pertimbangan dalam melihat ada atau tidaknya hubungan sebab akibat antara peubah – peubah tersebut. Analisis korelasi berganda dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antara penggunaan lahan, rencana pola ruang, dan hirarki wilayah. Data yang digunakan dalam analisis korelasi diperoleh berdasarkan hasil yang telah diperoleh, yaitu: peta penggunaan lahan eksisting Kota Cilegon, peta rencana pola ruang Kota Cilegon, peta inkonsistensi penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang, dan peta hirarki wilayah dengan satuan wilayah per desa. Data tersebut kemudian dijoint dengan menggunakan software Arc View. Kemudian dianalisis korelasi dilakukan dengan menggunakan software Statistica 7. Hasil dari analisis tersebut dapat diinterpretasikan berdasarkan interval nilai seperti tertera pada Tabel 6. Koefisien Korelasi (KK) adalah indeks atau bilangan yang digunakan untuk mengukur derajat hubungan, meliputi kekuatan hubungan dan bentuk/arah hubungan. Untuk kekuatan hubungan, nilai koefisien korelasi berada di antara -1 dan +1. Untuk bentuk/arah hubungan, nilai koefisien korelasi dinyatakan dalam positif (+) dan negatif (-) , atau (-1 ≤ KK ≤ +1). Jika koefisien korelasi bernilai positif maka variabel – variabel berkorelasi positif, artinya jika variabel satu naik/turun maka variabel yang lainnya juga naik/turun. Semakin dekat nilai korelasi ke +1, semakin kuat korelasi positifnya. Sebaliknya semakin dekat nilai korelasi ke -1, semakin kuat korelasi negatifnya.
Tabel 6 Interval Nilai Koefisien Korelasi dan Kekuatan Hubungan
No Interval Nilai Kekuatan Hubungan
1. KK = 0,00 Tidak ada
2. 0,00 < KK ≤ 0,20 Sangat rendah atau lemah sekali 3. 0,20 < KK ≤ 0,40 Rendah atau lemah tapi pasti 4. 0,40 < KK ≤ 0,70 Cukup berarti atau sedang 5. 0,70 < KK ≤ 0,90 Tinggi atau kuat
6. 0,90 < KK < 1,00 Sangat tinggi atau kuat sekali, dapat diandalkan 7. KK = 1,00 Sempurna
Sumber : Hasan (2004)
Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Rencana Pola Ruang Menurut RTRW
17 lama. Responden yang diwawancarai yaitu Kepala bidang prasarana dan pengembangan wilayah Bappeda Kota Cilegon (Edi Sabri), staf dari bappeda yang terkait dalam pembuatan peta rencana pola ruang (Irfan Fahlevi), penduduk yang sudah lama tinggal di Kota Cilegon, penduduk yang berhubungan dengan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana pola ruang. Teknik analisis data yang digunakan berupa analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah teknik analisis yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, kepercayaan orang yang akan diteliti dan tidak dapat diukur dengan angka. Analisis ini berkaitan dengan pengumpulan fakta, identifikasi, dan meramalkan hubungan dalam dan antara variabel.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
18
Administrasi, Geografi, dan Iklim
Kota Cilegon merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0 – 553 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 105°54’05’’ - 106°05’11’’ BT dan 5°52’24’’ - 6°04’07’’ LS yang terdiri atas 8 kecamatan dan 43 kelurahan. Berdasarkan Undang Undang nomor 15 tahun 1999, luas wilayah Kota Cilegon terdiri dari daratan seluas 175,51 km2 termasuk 5 (lima) pulau sekitarnya yaitu pulau Merak Besar, Merak Kecil, Pulorida, Tempurung, dan Pulau Ular. Luas laut yang menjadi kewenangan Kota Cilegon sekitar 185 km2 dengan garis pantai sepanjang 25 km. Secara geografis, Kota Cilegon berbatasan dengan Selat Sunda di sebelah barat dan Kabupaten Serang di utara, timur, dan selatan. Wilayah tertinggi Kota Cilegon berada di bagian utara Kecamatan Pulomerak (Gunung Gede), sedangkan yang terendah di bagian barat yang merupakan hamparan pantai. Berdasarkan karakteristik morfologi daratan dan kemiringan lahan, secara garis besar karakteristik fisik Kota Cilegon dapat dibedakan ke dalam tiga bagian, yaitu:
Bentuk dataran, mempunyai kemiringan lahan berkisar antara 0 -2 % hingga 2 – 7%, tersebar di sepanjang pesisir pantai barat dan bagian tengah Kota Cilegon.
Bentuk perbukitan – sedang, mempunyai kemiringan lahan berkisar antara 7 – 15% terdapat di wilayah tengah kota tersebar di bagian utara dan selatan Kecamatan Cilegon dan Cibeber, serta bagian selatan Kecamatan Ciwandan dan Citangkil.
Bentuk perbukitan – terjal, mempunyai kemiringan lahan berkisar antara 15 – 40% hingga lebih dari 40% tersebar di bagian utara Kota Cilegon (Kecamatan Pulomerak dan Grogol) dan sebagian kecil wilayah barat Kecamatan Ciwandan.
Keadaan suhu di Kota Cilegon secara umum panas dengan suhu udara rata – rata di sepanjang tahun 2012 berkisar antara 21,90C – 33,50C. Temperatur rata – rata terendah dan tertinggi terjadi pada bulan September. Sementara itu, kelembaban udara rata – rata antara 74% sampai 86%, terendah pada bulan september, sedangkan tertinggi pada bulan April. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 302 mm2, demikian juga hari hujan tertinggi yaitu selama 26 hari terjadi pada bulan Januari.
Penduduk
19 Tabel 7 Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan tahun 2013
Kecamatan
Kota Cilegon 203.502 194.802 398.304 175,51 2.269,41
Sumber: BPS Kota Cilegon (2013c)
Pembagian Wilayah Kota
Kebijakan pengembangan sistem pusat pelayanan Kota Cilegon salah satunya dilakukan dengan strategi membagi wilayah kota menjadi 5 (lima) Bagian Wilayah Kota (BWK). BWK merupakan wilayah yang secara geografis berada dalam satu pelayanan pusat sekunder. Pembagian BWK dan pemanfaatan ruang serta pengembangan fungsi kawasannya pada masing – masing wilayah seperti yang dijelaskan pada Tabel 8.
Tabel 8 BWK, Pemanfaatan Ruang, serta Pengembangan Fungsi Kawasan
BWK Pemanfaatan
Perdagangan dan jasa Kelurahan Gerem, Rawa Arum, dan Grogol (Kecamatan Grogol), serta Kelurahan Perumahan intensitas
20 Sumber: Pemerintah Daerah Kota Cilegon (2011)
21
Perkembangan Ekonomi Kota Cilegon
Sumber utama biaya pembangunan Kota Cilegon tahun 2012 masih mengandalkan transfer pemerintah pusat dan provinsi sebesar Rp 685,2 milyar atau 64,90% selebihnya berasal dari pendapatan asli daerah. Pendapatan asli daerah Kota Cilegon tahun 2012 mengalami peningkatan sebesar 31,06% dibandingkan dengan tahun 2011. Besarnya peningkatan ini merupakan sumbangan dari lain – lain pendapatan asli daerah yang sah. Gambaran peningkatan aktifitas ekonomi Kota Cilegon terefleksikan pada besaran angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)nya disajikan pada Tabel 9. Nilai PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya yang dimiliki menjadi suatu proses produksi.
Tabel 9 PDRB Kota Cilegon Tahun 2012 Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha
No Lapangan Usaha Juta Rupiah
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 296.121,45
2. Pertambangan dan Penggalian 12.935,68
3. Industri Pengolahan 14.107.542,93
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 1.010.756,92
5. Bangunan 65.161,53
6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 2.357.486,68
7. Pengangkutan dan Komunikasi 951.873,51
8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 442.926,24
9. Jasa – Jasa 225.763,38
Jumlah 19.470.568,33
Sumber: BPS Kota Cilegon (2013b)
22
Gambar 3 Persentase setiap sektor untuk PDRB tahun 2009 – 2012 tanpa sektor industri pengolahan
Pada Gambar 3 nampak bahwa sektor perdagangan, hotel, dan restoran mengalami pertumbuhan setiap tahunnya dengan persentase yang relatif besar dibandingkan sektor – sektor lainnya. Kontribusi utama sektor perdagangan, hotel, dan restoran adalah subsektor perdagangan. Sektor listrik, gas, dan air bersih dipacu dengan kinerja sektor industri. Hal ini dikarenakan sektor energi tersebut merupakan faktor produksi bagi sektor industri pengolahan, terutama subsektor listrik. Maraknya pembangunan infrastruktur, perumahan, gedung perkantoran dan pabrik ternyata belum cukup untuk meningkatkan sektor bangunan dalam perekonomian Kota Cilegon (BPS Kota Cilegon 2012). Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2012, persentase angkatan kerja tercatat 65,74%. Sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran yaitu sebesar 30,24%, diikuti oleh sektor jasa – jasa 22,07% dan sektor industri sebesar 18,90%. Industri pengolahan disajikan terpisah agar pertumbuhan sektor lain dapat terlihat lebih jelas. Persentase sektor industri pengolahan dari tahun 2009 hingga tahun 2012 disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Persentase Sektor Industri Pengolahan untuk PDRB tahun 2009 – 2012 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa – Jasa
%
Persentase Sektor - Sektor non Industri untuk
PDRB
Tahun Tahun Tahun Tahun
72.3 72.35 72.4 72.45 72.5 72.55 72.6 72.65 72.7 72.75 2009
2010 2011 2012
T
a
h
u
n
%
23 Sektor industri pengolahan utama di Kota Cilegon yaitu industri kimia dan industri baja. Nilai yang dihasilkan tersebut sangat tergantung pada potensi sumberdaya dan faktor produksi. Sektor industri pengolahan tetap merupakan tulang punggung perekonomian Kota Cilegon, khususnya industri baja dan industri kimia. Industri petrokimia terutama bagi PT. Chandra Asri Petrochemical di Kota Cilegon memiliki peluang untuk terus tumbuh sebagai pemeran utama dalam industri olefin dan polyolefin nasional. Berbeda dengan industri petrokimia, industri baja regional sepanjang tahun 2012 mengalami tekanan yang disebabkan oleh krisis yang menimpa Eropa dan Tiongkok, krisis tersebut sempat menganggu pasokan dan permintaan baja menjadi tidak seimbang sehingga berakibat pada harga baja yang jatuh.
Pola Ruang berdasarkan RTRW Kota Cilegon 2010 – 2030
Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan fungsi budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya yang dimaksud adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (Pemerintah Republik Indonesia 2007). Pola ruang Kota Cilegon merupakan bagian dari rencana tata ruang yang disusun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengoptimalkan pengembangan dan pembangunan Kota Cilegon sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Selain itu rencana tata ruang disusun dengan pertimbangan bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, wilayah, dan pelaku dalam pemanfaatan ruang di Kota Cilegon serta untuk menyesuaikan dengan peraturan perundang – undangan nasional.
24
Gambar 5 Peta Pola Ruang Kota Cilegon
25 Tabel 10 Luas dan Proporsi Peruntukan Ruang Kota Cilegon Menurut RTRW Kota
Cilegon Tahun 2010 - 2030
No RTRW Kota Cilegon 2010 - 2030 Luas
Kawasan ha %
Kawasan Budidaya Perkotaan 11013,65 66,92
1 Kawasan Pariwisata 56,28 0,34
2 Kawasan Pelabuhan dan Pergudangan 368,59 2,24
3 Kawasan Pemerintahan dan Bangunan Umum 46,49 0,28
4 Kawasan Perdagangan dan Jasa 627 3,81
5 Kawasan Perindustrian 4.022,11 24,44
6 Kawasan Perumahan/Permukiman Perkotaan 5.396,36 32,79
7 Kawasan Peruntukan Lainnya 301,63 1,83
8 Kawasan Ruang Terbuka Non-Hijau 107,61 0,65
9 Kawasan Terminal Terpadu 33,01 0,2
10 Kawasan TPL B3 35,93 0,22
11 Tempat Pembuangan Akhir Sampah 18,64 0,11
Kawasan Lindung dan RTH 5.443,8 33,08
12 Kawasan Hutan Lindung 2.636,83 16,02
13 Kawasan Pelestarian Alam 357,49 2,17
14 Kawasan Perlindungan Setempat 112,54 0,68
15 Kawasan Ruang Terbuka Hijau 2.336,95 14,2
Luas Keseluruhan 16.524,38 100
Sumber: Bappeda Kota Cilegon (2010)
Kawasan perumahan/permukiman perkotaan merupakan kawasan dengan alokasi terbesar di Kota Cilegon tahun 2010 dengan proporsi 32,79% dari luas wilayah. Kemudian diikuti oleh kawasan perindustrian dengan besar 24,44% atau 4.022,11 hektar. Selanjutnya yaitu kawasan hutan lindung dengan luas 2.636,83 hektar (16,02%). Kawasan TPL B3 merupakan kawasan tempat pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun yang merupakan salah satu program pemerintah Kota Cilegon untuk mengatasi masalah limbah yang berasal dari pabrik. Kawasan ruang terbuka non hijau yang dimaksud dalam peta pola ruang yaitu waduk krenceng dan
retention pond situ rawaarum yang termasuk dalam kawasan budidaya perkotaan. Kawasan hutan lindung yang dimaksud meliputi kawasan hutan lindung yang berada di Kecamatan Pulomerak dan Kecamatan Purwakarta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Cilegon
26
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan sosial ekonomi. Analisis skalogram dapat menjadi salah satu analisis perkembangan wilayah di Kota Cilegon. Berikut merupakan tingkatan hirarki di Kota Cilegon tahun 2012 tertera pada Gambar 6.
Gambar 6 Peta Hirarki Wilayah Kota Cilegon Tahun 2012
27 Tabel 11 Hirarki, IPD, Jumlah Jenis, dan Jumlah Fasilitas di Kota Cilegon tahun
2012
No Hirarki Kecamatan Desa Jumlah
fasilitas
Jumlah
Jenis IPD
1. 1 Purwakarta Ramanuju 137 42 110,72
2. 1 Jombang Jombang Wetan 419 51 94,36
3. 1 Citangkil Deringo 146 43 93,04
4. 1 Cibeber Kedaleman 161 44 80,68
5. 1 Jombang Sukmajaya 350 41 76,74
6. 1 Ciwandan Tegalratu 309 40 74,40
7. 2 Pulomerak Mekarsari 208 39 72,47
8. 2 Cilegon Ciwaduk 117 43 68,45
9. 2 Jombang Masigit 246 46 66,37
10. 2 Cilegon Bendungan 77 40 65,74
11. 2 Grogol Kotasari 108 38 64,29
12. 2 Cibeber Kalitimbang 106 37 63,60
13. 2 Grogol Gerem 278 45 63,59
14. 2 Purwakarta Kotabumi 127 42 61,64
15. 2 Ciwandan Kubangsari 296 40 61,20
16. 2 Jombang Panggung Rawi 107 38 59,72
17. 2 Cibeber Cibeber 131 40 57,83
18. 3 Citangkil Citangkil 533 39 55,39
19. 3 Ciwandan Randakari 301 39 54,84
20. 3 Purwakarta Kebondalem 97 42 54,58
21. 3 Grogol Rawa Arum 144 39 54,48
22. 3 Citangkil Kebonsari 395 42 54,29
23. 3 Citangkil Tamanbaru 88 39 54,28
24. 3 Citangkil Samangraya 120 39 52,06
25. 3 Ciwandan Kepuh 292 35 51,11
26. 3 Citangkil Lebakdenok 73 37 51,07
27. 3 Cilegon Bagendung 65 31 50,69
28. 3 Cibeber Karangasem 69 36 49,64
29. 3 Cilegon Ketileng 95 33 49,09
30. 3 Purwakarta Tegal Bunder 53 34 47,84
31. 3 Cilegon Ciwedus 81 32 47,59
32. 3 Jombang Gedong Dalem 97 34 47,52
33. 3 Cibeber Cikerai 68 29 46,93
34. 3 Ciwandan Gunungsugih 445 34 46,60
35. 3 Pulomerak Tamansari 130 33 43,96
36. 3 Citangkil Warnasari 182 37 42,89
28
38. 3 Cibeber Bulakan 94 33 40,48
39. 3 Ciwandan Banjar Negara 131 32 39,62
40. 3 Pulomerak Lebak Gede 98 32 37,07
41. 3 Purwakarta Pabean 31 30 37,00
42. 3 Purwakarta Purwakarta 42 32 34,89
43. 3 Grogol Gerogol 23 30 33,58
Hasil analisis skalogram menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) desa yang berhirarki I, 11 (sebelas) desa berhirarki II, dan 26 (dua puluh enam) desa berhirarki III. Desa yang termasuk pada Hirarki I merupakan desa yang memiliki tingkat perkembangan wilayah yang lebih maju dibandingkan desa yang termasuk pada Hirarki II dan III. Desa – desa yang berada pada hirarki I yaitu Ramanuju, Jombang Wetan, Deringo, Kedaleman, Sukmajaya, dan Tegalratu. Berdasarkan perencanaan, pemerintah membagi wilayah kota menjadi 5 (lima) bagian wilayah kota (BWK) sebagai salah satu strategi dalam pengembangan sistem pusat pelayanan Kota Cilegon. Pusat pelayanan kota tertinggi berada di sekitar Kelurahan Ramanuju, Kecamatan Purwakarta yang merupakan BWK 1 dengan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan dengan skala pelayanan kota dan regional dengan fungsi perumahan, industri, pelabuhan dan pergudangan, pusat pemerintahan, bangunan umum, perdagangan dan jasa, ruang terbuka hijau, dan kawasan lindung sekitar waduk. Kecamatan Purwakarta memiliki kelengkapan fasilitas berupa rumah sakit terbesar di Kota Cilegon serta merupakan daerah industri Krakatau Steel, Universitas Negeri Tirtayasa dan perumahan elit dilengkapi dengan lapangan golf dan kolam renang. Kecamatan Jombang dengan kepadatan penduduk yang tertinggi di Kota Cilegon memiliki 2 desa dengan hirarki I. Ada beberapa kelemahan yang mungkin dijumpai dalam penggunaan analisis skalogram pada data riil. Pada umumnya, batas – batas wilayah nodal tidak tepat berimpitan dengan wilayah administratif, sehingga data – data yang digunakan dalam analisis perencanaan sering bersifat kompromistis (Rustiadi 2011). Secara umum di Kota Cilegon dapat terlihat bahwa fasilitas yang dikelola oleh pihak swasta lebih baik dibandingkan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.
Penggunaan lahan di Kota Cilegon
Penggunaan lahan di Kota Cilegon berasal dari interpretasi citra Google
Earth yang diklasifikasikan menjadi permukiman tidak teratur (PMK), perumahan teratur (PMT), kebun campuran (KBC), hutan (HTN), rumput semak ilalang (RSI), lahan terbuka (LT), emplasemen (EMP), tanaman pertanian lahan kering (TPLK), tanaman pertanian lahan basah (TPLB), badan air (BA), dan kompleks olahraga (KO). Sebaran penggunaan lahan di Kota Cilegon disajikan pada Gambar 7.
29
Gambar 7 Peta Penggunaan Lahan Eksisting Kota Cilegon Tahun 2013 Gambar 7 menunjukkan bahwa Kota Cilegon didominasi oleh permukiman yang terpusat di tengah Kota Cilegon namun juga tersebar meluas di seluruh kecamatan. Penggunaan lahan emplasemen untuk industri sebagian besar berlokasi di daerah pesisir pantai dan Kota Cilegon bagian barat karena topografi yang relatif datar yang sangat cocok untuk kegiatan industri. Penggunaan lahan kebun campuran sering berasosiasi dengan permukiman dan berlokasi di sebagian besar Kota Cilegon yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Serang. Rumput, semak, ilalang berlokasi di sekitar penggunaan lahan hutan di Kecamatan Pulomerak.
30
Tabel 12 Luas dan Proporsi Penggunaan Lahan Eksisting Kota Cilegon tahun 2013
No Simbol Penggunaan Lahan Luas
ha %
1 PMT Permukiman teratur 535,17 3,24
2 PMK Permukiman tidak teratur 2.889,52 17,5
3 HTN Hutan 2.978,92 18
4 EMP Emplasemen 2.656,69 16,1
5 TPLB Tanaman Pertanian Lahan Basah 2.531,65 15,3
6 RSI Rumput, Semak, Ilalang 1.651,39 10
7 TPLK Tanaman Pertanian Lahan Kering 1.472,17 8,91
8 KBC Kebun Campuran 998,49 6,05
9 LT Lahan Terbuka 615,46 3,73
10 BA Badan Air 128,41 0,78
11 KO Kompleks Olahraga 58,13 0,35
Jumlah 16.516 100
Penggunaan lahan eksisting di Kota Cilegon tahun 2013 didominasi oleh permukiman yang terdiri atas permukiman teratur dan permukiman tidak teratur sebesar 20,74% total luas penggunaan lahan (3424,69 ha). Kemudian diikuti berturut – turut oleh penggunaan lahan hutan, emplasemen, tanaman pertanian lahan basah, rumput semak ilalang, tanaman pertanian lahan kering, kebun campuran, lahan terbuka, badan air dan kompleks olahraga.
Permukiman tidak teratur. Permukiman merupakan bangunan dan lingkungan sekitarnya yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Permukiman perkotaan merupakan habitat paling penting bagi manusia. Hampir 50-60% dari populasi dunia hidup di daerah perkotaan membentuk hingga 80% dari
31
Gambar 8 Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Permukiman Tidak Teratur
Permukiman teratur. Permukiman teratur merupakan kelompok rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian yang menyebar secara teratur atau memiliki pola yang sama. Berbeda dengan permukiman tidak teratur, permukiman teratur memiliki pola yang teratur dan ukuran rumah yang relatif seragam. Permukiman teratur tersebar relatif dekat dengan permukiman tidak teratur dan mendominasi di bagian Cilegon Timur. Kompleks – kompleks perumahan dilengkapi dengan fasilitas – fasilitas yang lengkap seperti tempat peribadatan dan pertokoan. Permukiman teratur terluas berada di Kecamatan Purwakarta dengan luas sebesar 156,3 hektar. Kecamatan yang tidak memiliki penggunaan lahan permukiman teratur yaitu Kecamatan Ciwandan. Hasil pengamatan lapang permukiman teratur dan kenampakan obyek pada citra tertera pada Gambar 9.
Gambar 9 Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Permukiman Teratur
32
Gambar 10 Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Hutan
Emplasemen. Industri – areal lahan yang digunakan untuk bangunan pabrik atau industri yang berupa kawasan industri atau perusahaan (SNI). Emplasemen merupakan area yang telah mengalami subtitusi penutup lahan alamiah ataupun semialamiah dengan penutup lahan buatan yang bersifat kedap air dan relatif permanen. Penggunaan lahan untuk industri termasuk dalam kategori emplasemen. Industri mendominasi di bagian Cilegon Barat berbatasan langsung dengan Selat Sunda. Hal tersebut dikarenakan kemudahan akses akan pelabuhan untuk kegiatan logistik. Penggunaan lahan emplasemen terluas berada di Kecamatan Ciwandan dengan luas sebesar 1013, 88 hektar. Hasil pengamatan lapang emplasemen dan kenampakan obyek pada citra tertera pada Gambar 11.
Gambar 11 Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Emplasemen
33 pertumbuhan. Kewenangan provinsi akan jalan utama Kota Cilegon merupakan salah satu alasan pemerintah kota merencanakan jalan lingkar selatan dan jalan lingkar utama. Jalan lingkar selatan diharapkan dapat menjadi penyeimbang pertumbuhan. Pengembangan kawasan pemerintahan dan bangunan umum baru di Koridor Jalan Lingkar Luar Selatan (JLS). Hasil pengamatan lapang lahan terbuka dan kenampakan obyek pada citra tertera pada Gambar 12.
Gambar 12 Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Lahan Terbuka
Kebun campuran. Areal atau bidang lahan yang diusahakan untuk kebun dengan tidak ada dominasi jenis tanaman yang diusahakan atau diusahakan untuk tanaman sejenis (SNI). Pengolahan tanah di kebun campuran kurang intensif. Kebun campuran tersebar relatif merata dan seringkali berasosiasi dengan permukiman. Kebun campuran tersebar merata di setiap kecamatan di Kota Cilegon dengan luas terbesar di Kecamatan Cibeber sebesar 215,5 hektar. Hasil pengamatan lapang kebun campuran dan kenampakan obyek pada citra tertera pada Gambar 13.
Gambar 13 Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Kebun Campuran
34
Gambar 14 Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Kompleks Olahraga
Tanaman Pertanian Lahan Basah. Lahan pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utamanya. Tanaman pertanian lahan basah atau sawah terdapat di setiap kecamatan. Sebarannya sebagian besar berada pada Kecamatan Jombang dengan luas 516,28 hektar. Berdasarkan peta pola ruang, kawasan ruang terbuka hijau kawasan pertanian berada pada kecamatan Purwakarta, Jombang, Cibeber, dan Cilegon. Hasil pengamatan lapang tanaman pertanian lahan basah dan kenampakan obyek pada citra tertera pada Gambar 15.
Gambar 15 Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Tanaman Pertanian Lahan Basah
35
Gambar 16 Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Tanaman Pertanian Lahan Kering
Rumput, semak, ilalang. Areal atau bidang lahan yang terbuka dan hanya ditumbuhi jenis – jenis tanaman perdu dari keluarga rumput dan semak. Rumput, semak, ilalang terdapat di setiap kecamatan dengan luas terbesar yaitu 404 hektar. Hasil pengamatan lapang rumput, semak, ilalang dan kenampakan obyek pada citra tertera pada Gambar 17.
Gambar 17 Foto Pengamatan Lapang dan Kenampakan Obyek pada Citra Rumput, Semak, Ilalang
Badan air. Badan air dengan luasan yang terluas di Kota Cilegon adalah waduk krenceng yang digunakan untuk kebutuhan air industri dan pelayanan air bersih untuk rumah tangga di sekitar wilayah. Penggunaan lahan badan air terluas berlokasi di Kecamatan Citangkil dengan luas sebesar 108,15 hektar. Hasil pengamatan lapang badan air dan kenampakan obyek pada citra tertera pada Gambar 18.
36
Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Rencana Pola Ruang RTRW
Inkonsistensi penggunaan lahan eksisting Kota Cilegon terhadap rencana pola ruang RTRW diperoleh dengan meng-overlay peta penggunaan lahan eksisting tahun 2013 dan peta rencana pola ruang Kota Cilegon tahun 2010 – 2030. Inkonsistensi yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana pola ruang secara permanen. Dengan kata lain, penggunaan lahan yang inkonsisten tersebut bersifat irreversible atau sulit untuk dikembalikan pada fungsi penggunaan lahan yang telah dialokasikan. Salah satu contoh penggunaan lahan terbangun atau bersifat irreversible yaitu permukiman di kawasan peruntukan ruang terbuka hijau.
37
Gambar 19 Peta Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Rencana Pola Ruang